BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata “strafbaar feit” untuk menyebutkan kata tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu terdapat beberapa tindak pidana sebagai berikut:
a. Delik.
b. Peristiwa pidana. c. Perbuatan pidana.
d. Hal yang diancam dengan hukum.
e. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum. f. Tindak pidana (Tri Andrisman, 2009:69).
Menurut Pompe dalam Bambang Purnomo (1981:86), tindak pidana secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”. Selanjutnya dikatakan oleh Pompe
Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut (Suharto RM, 2002:28).
Istilah ini (tindak pidana), tumbuhnya dari pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari pada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk
kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakukan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan, dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena
tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula perbuatan.
Moeljatno (2002:55), tidak menggunakan istilah tindak pidana rumusan di atas, tetapi menggunakan kata “perbuatan pidana”. Kata
a. Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang dilarang. b. Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Rumusan tindak pidana tersebut dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Criminal act”. Dalam hal ini meskipun orang telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang di situ belum berarti bahwa ia mesti dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah ia lakukan untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal dengan istilah “Criminal responsibility.” Bahwa orang dapat dipidana
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidaknya dari dua sudut pandang, yakni (1) dari sudut pandang teoritis dan (2) sudut pandang Undang-undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut Undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.
1) Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis.
Menurut Moeljatno (2008:54), unsur tindak pidana adalah: a. Perbuatan.
b. Yang dilanggar (oleh aturan hukum).
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Menurut R. Tresna (1959:27), tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia).
b. Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan. c. Diadakan tindakan penghukuman.
Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijauti pidana.
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkan pidana. Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos dalam Martiman Prodjohamidjojo (1996:16), dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah:
a. Kelakuan manusia. b. Diancam dengan pidana.
c. Dalam peraturan perundang-undangan.
adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam Undang-undang, dan diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur-unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidanya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya. Akan tetapi jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham monisme, memang tampak berbeda.
Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan (yang).
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan). c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang apat). d. Dipertanggungjawabkan.
Sedangkan Scbravendijk merinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a. Kelakuan (orang yang).
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum. c. Diancam dengan hukuman.
d. Dilakukan oleh orang (yang dapat). e. Dipersalahkan/kesalahan.
2) Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam Undang-undang.
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dalam Buku III adalah pelanggaran. Ternayata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan, walaupun ada pengecualian seperti Pasal 351 KUHP (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan bertanggungjawab. Disamping itu banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu:
a) Unsur tingkah laku.
Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif (handelen), juga dapat disebut perbuatan materiil (materieel feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (nalaten). Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau memalsu dan membuat secara palsu (Pasal 268 KUHP). Sebagian besar (hampir semua) tindak pidana tentang unsur tingkah lakunya dirumuskan dengan perbuatan aktif, dan sedikit sekali dengan perbuatan pasif. Sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan (nalaten), suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban. b) Unsur Sifat Melawan Hukum.
hukum masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari suatu perbuatan terletak pada kedua-duanya seperti perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP), adalah dilarang baik dalam Undang-undang maupun menurut masyarakat. Adalah wajar setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat adalah tercela pula menurut Undang-undang, walaupun kadangkala ada perbuatan yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut Undang-undang, misalnya perbuatan mengemis (Pasal 504 KUHP), bergelandang (Pasal 505 KUHP). Sebaliknya ada perbuatan tercela menurut masyarakat tetapi tidak menurut Undang-undang, contohnya perbuatan bersetubuh suka sama suka antara bujang dan gadis yang berpacaran.
Dari sudut Undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan.
c) Unsur Kesalahan.
subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut.
Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungan jawab dapat dibebankan pada orang itu. Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi dijatuhi pidana.
d) Unsur Akibat Kondusif.
Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada:
1) Tindak pidana materiil (materieel delicten) atau tindak pidana di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana.
2) Tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana.
3) Tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.
pidana. Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materiil adalah berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah percobaannya.
Sedangkan unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana karena bukan merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. Misalnya pada Pasal 288 KUHP jika luka berat (ayat 2) tidak timbul, maka yang terjadi adalah berupa kejahatan yang selesai yakni bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya dikawini dan menimbulkan luka (bukan luka berat, ayat 1), dan bukan percobaan bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya dikawini yang menimbulkan luka berat. Persamaannya ialah, bahwa dalam kedua unsur itu, timbulnya akibat ialah setelah perbatan dilakukan.
e) Unsur Keadaan yang Menyertai.
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat:
1) Mengenai cara melakukan perbuatan.
2) Mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan. 3) Mengenai obyek tindak pidana.
4) Mengenai subyek tindak pidana.
5) Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana. 6) Mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.
f) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dituntut Pidana.
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yaitu Kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor Kejaksaan Negeri setempat.
diperlukan hanya terhadap tindak pidana aduan saja. Pada laporan kedua syarat itu tidak diperlukan.
g) Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana.
Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materiil. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa adanya unsur ini. Misalnya pada penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP), kejahatan ini dapat terjadi (ayat 1), walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka berat hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya pidana.
h) Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana.
terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan (Adami Chazawi, 2002: 78-110).
3. Klasifikasi Tindak Pidana
Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: a) Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (Misdriven)
dimuat dalam buku II dan pelanggaran (Overtredingen) dimuatdalam buku III.
Untuk membedakan bahwa kejahatan merupakan Rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan Wetsledict atau delik Undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya. Sedangkan delik Undang-undang melanggar apa yang telah ditentukan oleh Undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor. b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP) untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan mengambil. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materril, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Tentang bagaimana wujud perbuatan yang menimbulkan akibat terlarang itu tidaklah penting. Misalnya pada pembunuhan (Pasal 338 KUHP) inti larangan adalah pada menimbulkan kematian orang, dan bukan pada wujud menembak, membacok, atau memukul. Untuk selesainya tindak pidana digantungkan pada timbulnya akibat dan bukan pada selesainya perbuatan.
c) Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja (Doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (Culpose delicten).
tidaklah mungkin tindak pidana itu dilakukan tanpa sengaja, misalnya: Pasal 110 (1) KUHP, Pasal 116 KUHP, Pasal 127 KUHP,Pasal 154 KUHP, Pasal 154a KUHP, Pasal 170 (1) KUHP, Pasal 173 KUHP, Pasal 217 KUHP, Pasal 238 KUHP. Sedangkan tindak pidana culpa (Culpose Delicten) adalah tindak pidana yang unsur kesalahannya adalah berupa kelalaian, karena kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur culpa ini, misalnya: Pasal 114 KUHP, Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP. d) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak
pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (Delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (Delica ommisionis).
e) Berdasarkan saat dan jangkak waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindakpidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Misalnya pencurian (Pasal 362 KUHP), jika perbuatan mengambilnya selesai, maka tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voortdurende delicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang. Misalnya pada Pasal 329 KUHP, Pasal 330 KUHP, Pasal 331 KUHP, Pasal 333 KUHP, Pasal 334 KUHP. Kejahatan ini berlangsung lama, tidak selesai seketika. Seperti Pasal 333 KUHP perampasan kemerdekaan itu berlangsung lama, bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan/terbebaskan.
f) Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Buku III KUHP). Sedangkan tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.
g) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (Gewone delicten) dan tindak pidana aduan (Klacht delicten).
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap perbuatannya tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sebagian terbesar tindak pidana adalah berupa tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini. Sedangkan tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata (Pasal 72 KUHP) atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu (Pasal 73 KUHP) atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak.
h) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancam, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (Gepriviligeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).
peggelapan (372), pemalsuan surat (Pasal 363 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP). Karena disebutkan secara lengkap unsur-unsurnya, maka pada rumusan bentuk pokok terkandung pengertian yuridis dari tindak pidana tersebut. Sedangkan pada bentuk yang diperberat dan tau yang diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur pokok itu, melainkan sekedar menyebutkan kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor peringannya, maka ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan daripada bentuk pokoknya.
i) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi.
Maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya.
j) Dari sudut beberapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (Enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten).
selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sedangkan yang dimaksud tindak pidana berangkai (Samengestelde delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga untuk dipandangsebagian selesai dan dapat dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan secara berulang. Contohnya Pasal 481 ayat (1) KUHP, di mana perbuatan membeli, menukar, menerima gadai, menyimpan atau menyembunyikan barang yang diperoleh dari kejahatan itu dilakukan sebagai kebiasaan. Kebiasaan ini disyaratkan telah dilakukan berulang, setidaknya dua kali perbuatan. Contoh lain ialah Pasal 296 KUHP, di mana juga disyaratkan perbuatan itu dilakukan secara berulang (Adam Chazawi, 2002:117-132).
B.Kepolisian Negara Republik Indonesia
1. Pengertian Polisi
sesuai cita-citanya, suatu negara yang terbebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat,tempat keadilan dijunjung tinggi (Azhari,1995:19).
Dilihat dari sisi historis, istilah “Polisi” di Indonesia tampaknya
mengikuti dan menggunakan istilah “politie” di Belanda. Hal ini sebagai akibat dan pengaruh dari bangunan sistem hukum Belanda yang banyak dianut di negara Indonesia.
Menurut Satjipto Rahardjo (2009:111) polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Kepolisian juga sering dikenal sebagai Bhayangkara yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti “menakutkan” (Karjadi M,
1978:69).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia W.j.s Poerwodarminta (1952:549) dikemukakan bahwa istilah Polisi mengandungpengertian:
a) Badan pemerintah (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum.
b) Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Dalam pengertian ini istilah Polisi mengandung 2 (dua) pengertian makna Polisi tugas dan sebagai organnya.
ayat (1) “Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
ayat (2) “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
ayat (3) “Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian.”
2. Tugas, Wewenang, Fungsi dan Kode Etik Profesi Kepolisian
a. Tugas Kepolisian
Dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 13, tugas pokok kepolisian ialah:
1) Memelihara atau menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, 2) Menegakkan hukum dan keadilan,
3) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pada Pasal 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bertugas :
a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. b) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan.
c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peratuan perundang-undangan.
d) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.
e) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.
g) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
h) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.
i) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
j) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.
k) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari tugas-tugas polisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tugas Polisi ada dua yaitu tugas untuk memelihara keamanan, ketertiban, menjamin dan memelihara keselamatan negara, orang, benda dan masyarakat serta mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebagai tugas preventif dan tugas represif.
b. Wewenang Kepolisian
a) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
b) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.
c) Membawa dan mengahadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
d) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
g) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
h) Mengadakan penghentian penyidikan.
i) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
j) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah dan menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.
k) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum, dan l) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
c. Fungsi Kepolisian
1) Fungsi Intelkam (Intelijen keamanan), fungsi kepolisian dalam hal: a) Pembinaan kegiatan intelijen dalam bidang keamanan, antara
lain persandian dan produk intelijen di lingkungan Polres. b) Pelaksanaan kegiatan operasional intelijen keamanan guna
terselenggaranya deteksi dini (early detection), dan peringatan dini (early warning), pengembangan jaringan informasi melalui pemberdayaan personel pengemban fungsi intelijen.
c) Pengumpulan, penyimpanan, dan pemutakhiran biodata tokoh formal atau informal organisasi sosial, masyarakat, politik, dan pemerintahan daerah.
d) Pendokumentasian dan penganalisisan terhadap perkembangan lingkungan strategik serta penyusunan produk intelijen untuk mendukung kegiatan Polres.
e) Penyusunan prakiraan intelijen keamanan dan menyajikan hasil analisis setiap perkembangan yang perlu mendapat perhatian pimpinan.
f) Penerbitan surat izin untuk keramaian dan kegiatan masyarakat antara lain dalam bentuk pesta (festival, bazar, konser), pawai, pasar malam, pameran, pekan raya, dan pertunjukkan/permainan ketangkasan.
temu kader, diskusi panel, dialog interaktif, outward bound, dan kegiatan politik, dan
h) Pelayanan SKCK serta rekomendasi penggunaan senjata api dan bahan peledak.
2) Fungsi Reserse (investigasi), adalah fungsi kepolisian dalam hal: a) Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan
penyidikan, serta identifikasi dan laboratorium forensik lapangan.
b) Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan umum.
d) Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji efektivitas pelaksanaan tugas Satreskrim.
e) Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik pada unit reskrim Polsek dan Satreskrim Polres.
g) Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus, antara lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum Polres.
3) Fungsi Sabhara, yaitu fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pemberian arahan, pengawasan, dan pengendalian pelaksanaan tugas Satsabhara.
b) Pemberian bimbingan, arahan, dan pelatihan keterampilan dalam pelaksanaan tugas di lingkungan Satsabhara.
c) Perawatan dan pemeliharaan peralatan serta kendaraan Satsabhara.
d) Penyiapan kekuatan personel dan peralatan untuk kepentingan tugas Turjawali, pengamanan unjuk rasa dan objek vital, pengendalianmassa, negosiator, serta pencarian dan penyelamatan atau search andrescue (SAR).
e) Pembinaan teknis pemeliharaan ketertiban umum berupa penegakan hukum Tipiring dan TPTKP, dan
f) Pengamanan markas dengan melaksanakan pengaturan dan penjagaan.
4) Fungsi Lantas (Lalu Lintas), yaitu fungsi kepolisian dalam hal: a) Pembinaan lalu lintas Kepolisian.
c) Pelaksanaan operasi Kepolisian bidang lalu lintas dalam rangka penegakan hukum dan keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran lalu lintas (kamseltibcarlantas).
d) Pelayanan administrasi registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor serta pengemudi.
e) Pelaksanaan patroli jalan raya dan penindakan pelanggaran serta penanganan kecelakaan lalu lintas dalam rangka penegakan hukum, serta menjamin kamseltibcarlantas di jalan raya.
f) Pengamanan dan penyelamatan masyarakat pengguna jalan, dan g) Perawatan dan pemeliharaan peralatan dan kendaraan.
5) Fungsi Bimmas, yaitu fungsi kepolisian dalam hal:
a) Pembinaan dan pengembangan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dalam rangka peningkatan kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b) Pengembangan peran serta masyarakat dalam pembinaan keamanan, ketertiban, dan perwujudan kerjasama Polres dengan masyarakat.
c) Pembinaan di bidang ketertiban masyarakat terhadap komponen masyarakat antara lain remaja, pemuda, wanita, dan anak. d) Pembinaan teknis, pengkoordinasian, dan pengawasan Polsus
e) Pemberdayaan kegiatan Polmas yang meliputi pengembangan kemitraan dan kerja sama antara Polres dengan masyarakat, organisasi, lembaga, instansi, dan/atau tokoh masyarakat.
d. Kode Etik Profesi Kepolisian
kepentingan politik, golongan dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Republik Indonesia.
Pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan setiap anggota Polri wajib: a) Setia kepada Polri sebagai bidang pengabdian kepada masyarakat,
bangsa dan negara dengan memedomani dan menjunjung tinggi Tribrata dan Catur Prasetya.
b) Menjaga dan meningkatkan citra, solidaritas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri.
c) Menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural. d) Melaksanakan perintah dinas untuk mengikuti pendidikan dan
pelatihan dalam rangka pembinaan karier dan peningkatan kemampuan profesionalisme Kepolisian.
e) Menjalankan perintah dinas untuk melaksanakan mutasi dalam rangka pembinaan personel, profesi, karier, dan penegakkan KEPP. f) Mematuhi hierarki dalam pelaksanaan tugas.
g) Menyelesaikan tugas dengan seksama dan penuh rasa tanggung jawab.
h) Memegang teguh rahasia yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan harus dirahasiakan.
i) Menampilkan sikap kepemimpinanmelalui keteladanan, ketaatan pada hukum, kejujuran, keadilan, serta menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas. j) Melaksanakan perintah kedinasan dalam rangka penegakan disiplin
dan KEPP berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran disiplin dan/atau Pelanggaran KEPP sesuai dengan kewenangan.
k) Melaksanakan perintah kedinasan yang berkaitan dengan pengawasan internal di lingkunga Polri dalam rangka penguatan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP).
l) Menghargai perbedaan pendapat yang disampaikan dengan cara sopan dan santun pada saat pelaksanaan rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan.
m) Mematuhi dan menaati hasil keputusan yang telah disepakati dalam rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan.
n) Mengutamakan kesetaraan dan keadilan gender dalam melaksanakan tugas.
perundang-undangan sebelum mengajukan gugatan ke Pengadlan Tata Usaha Negara (PTUN).
C.Penyidikan
1. Pengertian Penyidik dan Penyidikan
Istilah penyidikan secara etimologis merupakan padanan kata bahasa Belanda yaitu opsporing dan dari bahasa Inggris yaitu investigation. Sedangkan dari bahasa Latin yaitu investigatio dan dalam bahasa Malaysia yaitu penyiasatan atau siasat (Andi Hamzah, 2000: 118).
Dalam Pasal 1 ayat (10), (12) dan (13) Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan pengertian penyidik dan penyidikan, yaitu:
ayat (10) “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
ayat (12) “Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian NegaraRepublik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-undang.”
ayat (13) “Penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) :
Pasal 1 butir (2) KUHAP “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yangterjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
2. Tugas dan Wewenang Penyidik
Pada Pasal 8 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tugas penyidik:
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak menurangi ketentuan lain dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara. b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Sedangkan wewenang penyidik pada Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu :
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan, dan
Sebelum dilakukannya penyidikan pihak kepolisian melakukan kegiatan penyelidikan, yaitu memeriksa dengan seksama atau mengawasi gerak-gerik musuh sehingga penyelidikan itu dapat diartikan sebagai pemeriksaan, penelitian, atau pengawasan (Andi Hamzah, 1986:94). Proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat digambarkan sebagai berikut : diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana; melakukan tindakan pertama ditempat kejadian, yaitu melakukan berbagai tindakan yang dipandang perlu oleh penyidik; pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi; melakukan upaya paksa yang diperlukan, bentuknya ialah tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan pemeriksaan surat; pembuatan berita acara penyidikan; dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum (Rusli Muhammad, 2007:60-66).
D.Diskresi
1. Pengertian Diskresi
sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.
Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda “Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan
sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan -ketentuan peraturan, Undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan (Pramadya, 1997:91). Thomas J. Aaron dalam M. Faal (1991: 16) mendefinisikan diskresi menjadi: discretion is powerauthority conferred by law to action onthe basic of judgement of
conscience, andits use is more than idea of morals thanlaw. Yang dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan hukum. Sedangkan menurut Barker konsep dari diskresi adalah wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesusi dengan penilaian penilaian dan kata hati instansi atau pengawas itu sendiri.
tindak pidana, tetapi seorang polisi yang mengetahui tindak pidana itu tidak bertindak untuk memprosesnya, hanya menasihati lalu melepasnya. Ia telah mengenyampingkan tindak pidana itu untuk di proses. Tindakan polisi itu seolah-olah mengabaikan ketentuan hukum positif. Namun apabila kita kaji lebih jauh, tindakan itu justru sesuai dengan tujuan hukum yaitu perlindungan terhadap setiap warga negara. Polisi tersebut memutuskan untuk tidak memproses pelajar itu karena pertimbangan bahwa penggunaan hukum pidana bukan satu-satunya cara untuk menanggulangi kejahatan, terlebih terhadap anak-anak.
Sementara itu pada tujuan yang lebih jauh dari hukum pidana yaitu untuk menanggulangi kejahatan dan penggunaan hukum pidana adalah bukan satu-satunya. Louis A. Redelet menyatakan bahwa “law is not an end in it self. Properly understood, it is a means to higher ends in human
affair, much as good order, justice...”. Hal tersebut di atas sesuai juga dengan apa yang dikatakan oleh Sunaryari Hartono (1976:3) bahwa, hukum (kaidah) itu bukan merupakan tujuan akan tetapi hanya merupakan jembatan, yang akan harus membawa kita kepada ide yang dicita-citakan.
dengan memberikan skenario langkah-langkah secara lengkap maka pada waktu itu pula kehidpan akan macet, oleh karena itu sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.
Sehingga tindakan polisi yang memaafkan, menasehati si pelajar tersebut yang mungkin juga atas pertimbangan bahwa tindak pidana itu dianggap tidak begitu serius (terlalu ringan), mungkin karena ia seorang pelajar, kepentingan umum tak terganggu dan sebagainya, adalah di antara alternatif dari berbagai macam pertimbangan yang diyakini oleh anggota Kepolisian itu. Pertimbangan yang menimbulkan tindakan yang diyakini itu jelas dipengaruhi oleh situasi yang senyatanya yang dihadapi secara konkret oleh polisi itu di lapangan, sebagaimana dikatakan oleh Hadisapoetro bahwa diskresi kepolisian yang dilakukan oleh seseorang terhadap masalah yang dihadapi secara nyata, berdasar atas keyakinan, kebenaran dan pertimbangan-pertimbangan pribadi yang terbaik pada saat itu.
2. Konsep Diskresi Penyidik
Konsep mengenai diskresi penyidik terdapat dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 18 ayat (1) dan (2), yaitu :
ayat (1) “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaianya sendiri.”
ayat (2) “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etika profesi Kepolisian.”
Rumusan kewenangan penyidik dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum penyidik untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya, yaitu menjaga dan menjamin ketertiban umum serta menegakkan hukum dan keadilan. Secara umum kewenangan ini dikenal sebagai diskresi penyidik yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban (pflichtmassiges ermessen). Wewenang polisi untuk menyidik ini yang meliputi kebijaksanaan polisi (politie beleid; police discretion) sangat sulit, sebab mereka harus membuat pertimbangan suatu tindakan yang akan diambil dalam waktu yang sangat singkat pada penanggapan pertama suatu delik ( Andi Hamzah, 2000:79).
Penjelasan resmi dari Undang-undang tersebut berbunyi ,“yang dimaksud dengan bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang
dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum”(Satjipto Rahardjo,
2010:103). Sedangkan rumusan dalam Pasal 18 Ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kewenangan penyidik dalam memberikan diskresi kepolisian juga dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf i dan j Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni:
huruf i “mengadakan penghentian penyidikan.
huruf j “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab
Selain itu regulasi mengenai diskresi kepolisian diatur dalam tugas, wewenang, dan Kode Etik Profesi Kepolisian. Pada tugas kepolisian terdapat dalam Pasal 14 huruf k Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni “memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup kepolisian serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Terkait dengan wewenang kepolisian Pasal 16 ayat
huruf h “mengadakan penghentian penyidikan.”
huruf l “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.”
Sedangkan pada Kode Etik Kepolisian terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan setiap anggota Polri wajib “menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural.”
Perincian tugas-tugas polisi seperti yang tercantum dalam Undang-undang di atas membuktikan bahwa untuk mencapai dan memelihara ketertiban merupakan tugas pokok yang harus dilakukan oleh polisi, tentunya pekerjaan tersebut hanya boleh dilaksanakan dengan mematuhi berbagai pembatasan tertentu. Salah satu dari pembatasan itu adalah hukum. Dalam hal ini polisi oleh hukum ditugasi untuk menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku di masyarakat. Di satu pihak memang benar bahwa hukum merupakan sarana pengendalian sosial, akan tetapi di lain pihak hukum mungkin juga berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial.
adalah hukum yang hidup, karena ditangan polisi inilah tujuan-tujuan hukum untuk melindungi dan menciptakan keadaan yang aman di dalam masyarakat dapat diwujudkan. Melalui tangan polisi inilah hal-hal yang bersifat falsafati dalam hukum dapat diwujudkan menjadi nyata, tetapi justru karena sifat pekerjaannya yang demikian itulah, polisi banyak berhubungan dengan masyarakat dan menanggung resiko mendapatkan sorotan yang tajam pula dari masyarakat yang dilayaninya (Satjipto Rahardjo, 2007: 104).
3. Landasan Hukum Diskresi
Selain peraturan di atas terdapat landasan hukum lain yang mengatur tentang diskresi kepolisian yaitu (M. Faal, 1991: 115-120): 1) Undang-undang Dasar 1945
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa:
“... membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”
Berdasarkan pokok pikiran melindungi segenap bangsa Indonesia itu, maka Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 memberikan kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan setiap warga negaranya. Dan kedudukan polisi selaku penegak hukum wajib melindungi warga negara atau masyarakat dan menciptakan keamanan dan ketertiban bagi masyarakat. Sedangkan pokok pikiran ikut melaksanakan ketertiban dunia adalah kewajiban warga negara untuk senantiasa patuh pada norma-norma dalam tata kehidupan yang telah disepakati sehingga tercipta iklim tertib masyarakat.
Menurut Barda Nawawi Arief tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum pidana atau sistem peradilan pidana itu pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan tersebut adalah:
a. Pemeliharaan tertib masyarakat.
b. Perlindungan warga negara dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan yang dilakukan oleh orang lain.
c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum. d. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan
dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat manusia dan keadilan individu.
Lebih lanjut Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa apabila ada perkara-perkara yang tidak diproses adalah dalam rangka melindungi warga negara dari ancaman yang tidak menguntungkan bagi kehidupan pada masa depan. Disinilah peran diskresi itu berada dan hal ini sesuai dengan jiwa pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
2) Yurisprudensi
... untuk sahnya segala tindakan kepolisian (rechtmating) tidak selalu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (wettelijk voor schrift) akan tetapi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Tindakan-tindakan polisi itu tidak bertentangan dengan peraturan
Undang-undang.
b. Tindakan itu adalah untuk mempertahankan ..., ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.
c. Tindakan itu untuk melindungi hak-hak seseorang (ieders recht). Berdasarkan bunyi Arrest Hoge Raad (AHR) tersebut di atas sebenarnya adalah pengakuan akan adanya (dan dalam istilah kepolisian disebut sebagai) diskresi kepolisian. Arrest Hoge Raad (AHR) di atas dimaksudkan bahwa agar polisi dalam menjalankan hukum dan perundang-undangan tidak terlalu kaku. Karena bagaimanapun juga maksud Arrest Hoge Raad (AHR) di atas juga dalam rangka penegakan hukum dan diskresi dilakukan tetap dalam kerangka hukum.
a) Asas keperluan (noodzakelijkheid) yaitu setiap tindakan harus betul-betul diperlukan dalam arti tanpa tindakan itu maka tugas tidak akan terlaksana.
b) Asas kelugasan (zakelijheid) yaitu tindakan tidak boleh didorong oleh motif-motif (kepentingan-kepentingan) pribadi.
c) Asas tujuan sebagai ukuran (doelmatigheld) yaitu tindakan betul-betul dilakukan untuk mencapai tujuan, misalnya keamanan dan ketertiban.
d) Asas keseimbangan yaitu adanya keseimbangan antara komponen tindakan, tujuan dan sasaran.
3) Hukum Tidak Tertulis
Landasan hukum dengan mempergunakan hukum tidak tertulis sebenarnya juga bersifat konstitusional atau dalam kata lain hukum tidak tertulis itu juga konstitusional. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi Hukum dasar yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara. Polisi sebagai pejabat administrasi negara di dalam melaksanakan tugas dan menyelesaiakan persoalan-persoalan hukum dan masyarakat sering didasarkan pada hukum tidak tertulis.
melakukan perlawanan terhadap hukum bukanlah pekerjaan mengadili juga.
Atas dasar pemikiran di atas maka polisi dapat dan diperbolehkan memperluas hukum melalui tindakan diskresi dan tindakan diskresi juga merupakan pekerjaan memutus sebagaimana halnya hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal yang mendapat perhatian juga adalah nilai-nilai, norma-norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia secara general seperti pemaaf, rukun, kekeluargaan, kebersamaan, tenggang rasa, saling menghormati, norma keagamaan, sopan santun dan sebagainya menjadi landasan pula bagi pertimbangan polisi dalam menegakkan hukum melalui kebijakan diskresi.
Dihubungkan dengan pelaksanaan tugas–tugas kepolisian,
didalam menyelesaikan persoalan-persoalam hukum di masyarakat sering dapat diselesaikan berdasar hukum tidak tertulis yang berupa hukum adat, dan dalam kaitannya dengan hukum adat tersebut yang dapat dijadikan pedoman adalah adat kebiasaan yang ada di masyarakat yang sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum positif yang ada, mempunyai tujuan mempertahankan keamanan dan ketertiban didalam masyarakat serta tidak merugikan hak-hak orang lain.
berdasarkan kebiasaan praktek atau hukum tidak tertulis itu biasanya ditempuh dikarenakan apabila dipaksakan berlakunya hukum pidana justru akan menimbulkan permasalahan baru, sehingga adat kebiasaanlah yang dipakai dalam menyelesaikan suatu perkara, karena bagaimanapun juga hal itu dirasa lebih praktis dan lebih murah daripada diselesaikan lewat sistem peradilan pidana. Misalnya saja ditempuh dengan upaya kekeluargaan yang dirasa bisa menyelesaikan masalah tanpa menjadikan hubungan yang ada dimasyarakat tadi menjadi renggang atau pecah. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa hukum adat yang berlaku dimasyarakat juga mempunyai peranan didalam pelaksanaan diskresi oleh polisi.
4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana.
bahwa polisi berwenang karena kewajibannya mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
5) Hukum Ilmuwan
Pendapat, penjelasan, ajaran atau hasil penelitian para sarjana atau ahli dapat dijadikan dasar pemikiran atau menambah wawasan lebih luas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan diskresi kepolisian. Dengan hukum ilmuwan ini ketentuan perundang-undangan atau asas-asas hukum yang kurang jelas dapat diperoleh dari mereka seperti misalnya arti “demi hukum”, asas nullum delictum
nullapoena sinepravia lege yang tercermin dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dengan penjelasan hukum ilmuwan, akan melengkapi hukum yang kurang jelas itu, sehingga kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh para praktisi penegak hukum akan mendapat landasan yang relatif kuat.
Berdasarkan landasan hukum lain yang mengatur mengenai diskresi kepolisian maka akan menjadi pendukung atau memperkuat dasar hukum bagi polisi dalam menyelesaikan perkara pidana melalui Diskresi kepolisian.
4. Prosedur/Mekanisme Diskresi
atau tidak bertindak. Diskresi dalam hal ini sangat berpengaruh besar dalam hal ini bertolak akan suatu asas kepastian hukum yang ada di Indonesia dan lebih mementingkan tujuan dari suatu pemidanaan, diskresi oleh polisi memang merupakan masalah yang selalu menarik untuk diteliti. Bagi polisi, diskresi merupakan bagian integral dari pekerjaaannya. Ia boleh mewakili karakteristik pekerjaan polisi. Dengan menjalankan diskresi maka polisi bending the law and the system, membengkokkan train politica, menjadi policy maker, terkadang juga sekaligus menjadi jaksa dan hakim (Satjipto Rahardjo, 2007: 116).
Sesungguhnya dari Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) ada empat komponen fungsi yang satu dengan lainnya selalu berhubungan dan berkoordinasi. Fungsi-fungsi itu memiliki satu kesatuan persepsi dan satu tujuan yang sama, yaitu usaha untuk menanggulangi kejahatan. Masing-masing fungsi ini adalah fungsi penyidikan, penuntutan, peradilan dan fungsi pemasyarakatan yang masing-masing dilakukan oleh petugas pnegak hukum; Polisi, Jaksa, Hakim dan petugas pemasyarakatan (J.W. Lapatra, 1978: 86).
Bagan 1.
Kerangka Diskresi Dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
tak dilaporkan, tak terlacak
dikesampingkan,
dihentikan (diskresi) dilaporkan,diadukan, diproses ke
dideponir diteruskan ke
diputus bebas, lepas didakwa di bersyarat dan deda
dikirim ke
Remisi, selesai jalani dikembalikan ke hukuman
Sumber: M.Faal, 1991: 2
MASYARAKAT
PELAKU KEJAHATAN
POLISI
JAKSA
PENGADILAN
Adanya penyaringan-penyaringan perkara yang masuk dalam proses peradilan pidana ini, sebagai realisasi dari kebutuhan-kebutuhan praktis Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), asas dan tujuan dari Sistem Peradian Pidana (Criminal Justice System) itu sendiri maupun karena semakin berkembangnya aliran-aliran modern dewasa ini baik di bidang perkembangan hukum pidana maupun kriminologi yang langsung atau tidak sangat mempengaruhi nilai-nilai perkembangan masyarakat.
Adanya diskresi polisi dalam bentuk penyaringan perkara itu didasarkan pada pemikiran bahwa di dalam kenyataannya hukum itu tidak seharusnya secara membabibuta diperlakukan kepada siapapun dalam kondisi apapun persis seperti bunyi peraturan perundang-undangan (M.Faal, 1991: 3). Diskresi kerap diterapkan pada tingkat penyidikan dengan pertimbangan agar polisi yang berada dalam barisan paling depan dalam sistem peradilan pidana tidak disibukkan oleh tumpukan perkara yang seharusnya dapat diselesaikan tanpa proses di pengadilan. Diskresi kepolisian ini dilakukan melalui mediasi penal (Yuliana Pratiwi, 2013: 45-47).
1) Sebagai strategi yaitu model perpolisian yang menegakkan pada kemitraansejajar antara petugas polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikandan mengatasi masalah sosial yang mengancam keamanan dan ketertibanmasyarakat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutanakan kejahatan.
2) Sebagai falsafah, Polmas mengandung makna sutau model perpolisian yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial kemanusiaan danmenampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan wargadalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran fungsi kepolisian dan peningkatkan kualitas hidup masyarakat.
3) Upaya penegakan hukum lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan kesadaran hukum dari pada penindakan.
4) Upaya penindakan hukum merupakan alternatif tindakan paling akhir bila upaya pemecahan masalah bersifat persuasive tidak berhasil.
5) Penerapan konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) yaitu pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif yaitu menetralisir masalah selain melalui proses hukum/ non litigasi (missal perdamaian).
Resolution (ADR). Pada Surat Kepala Polisi Republik Indonesia ini ditentukanbeberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), yaitu:
a. Mengupayakan penanganan kasus yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep Alternative Dispute Resolution (ADR).
b. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan Alternative Dispute Resolution (ADR) harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.
c. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan Alternative Dispute Resolution (ADR) harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan.
d. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.
5. Tolak Ukur Penilaian Penggunaan Diskresi
dengan Diskresi ini maka tindakan yang diambil oleh polisi harus benar sesuai dengan aturan hukum.
Tindakan diskresi yang diputuskan oleh polisi di lapangan secara langsung pada saat itu juga dan tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya adalah diskresi yang bersifat individual, sebagai contoh untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan, petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah dan sebagainya. Adapun tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual petugas kepolisian. Tindakan tersebut merupakan tindakan diskresi birokrasi karena dalam pengambilan keputusan diskresi berdasarkan atau berpedoman pada kebijaksanaan-kebijaksanaan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah dijadikan kesepakatan diantara mereka (Abbas Said, 2012: 158).
James Q Wilson (1972: 85-86), mengemukakan ada empat tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu:
polisi menangkap/menahan seseorang atau tidak, ada di tangan polisi. Jadi kesempatan pemberian diskresi berskala relatif besar.
2) Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat. Di sini pemberian diskresi pada si pelaku kejahatan untuk mengenyampingkan, menghentikan atau tidak memproses relatif kecil. Namun demikian kewenangan polisi untuk memberikan ditu tetap ada seperti dalam kasus-kasus remaja.
3) Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate). Perkaranya ditemukan oleh petugas polisi sendiri, maka kewenangan pemberian diskesi di sini juga relatif besar. 4) Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu
dilakukan walaupun pada umumnya kurang disetujui oleh atasannya. Perkaranya dikehendaki oleh masyarakat agar dicegah terjadinya peristiwa yang akan mengganggu kedamaian, maka keleluasan pemberian diskresi bagi petugas di sini pun relatif besar.
Apabila diskresi diterapkan secara salah maka akan terjadi penyimpangan, menurut Teori dari Klitgard , seperti yang dikutip Meliala (2000: 56) untuk menjelaskan penyimpangan diskresi sebagai korupsi polisi tersebut adalah sebagai berikut:
C = P + D – A
Keterangan: C = Corruption, P = Power, D = Discretion, A = Accountability.
masing-masing perkara itu bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lain.
Tindakan tersebut di atas dilakukan oleh para petugas kepolisian dapat dikerenakan adanya kekaburan pemahaman hukum yang berkaitan dengan kewenangan diskresi, kebijaksanaan-kebijaksanaan dari para pejabat dalam birokrasi, yang mendukung atau merestui tindakan diskresi dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya dan untuk keuntungan pribadiatau kelompok tertentu. Hal tersebut juga dapat diakibatkan kurang baiknya sistem kontrol. Hal lain yang mempengaruhi adalah dari masyarakatnya yang kadang enggan untuk menyelesaikan perkaranya dengan jalur hukum.
Dapat dipahami bahwa, diskresi menjadi kewenangan yang tidak bisa dipisahkan dari tugas kepolisian, namun tolak ukur yang digunakan pada tataran imlementasi belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya aturan yang jelas mengenai penggunaan diskresi oleh polisi, sehingga kewenangan diskresi ini berpotensi untuk disalah gunakan. Oleh karena itu, paling tidak kewenangan diskresi dapat dilakukan dengan pertimbangan tertentu sebagai batasan-batasan tolak ukur bagi kepolisian dalam proses penegakan hukum pidana, sehingga, kewenangan diskresi tidak terkesan unlimited atau tanpa batasan yang jelas.
1) Asas Keperluan.
Tugas dan wewenang kepolisian dalam menegakkan hukum harus berdasarkan pada peraturan yang berlaku, namun dalam pelaksanaannya di lapangan oleh polisi sering ditemukan kendala-kendala seperti tidak ada peraturan pelaksanaan dari Undang-undang yang ada, ketidak jelasan peraturan perundang-undangan, dan/atau Undang-undang tidak mengaturnya. Kendala-kendala seperti ini memungkinkan penggunaan diskresi oleh polisi dalam suatu proses penegakan hukum. Namun penting untuk diingat bahwa diskresi tidak selalu menjadi keharusan dijalankan dalam menangani suatu masalah hukum, dan hanya dapat dilakukan bila masalah yang ditangan benar-benar sudah sangat mendesak untuk diselesaikan sehingga dalam kondisi ini tepat untuk digunakan diskresi. Jadi terdapat situasi yang menentukan sehingga diskresi perlu untuk dilakukan oleh polisi. Jadi tidak semua masalah hukum pidana membutuhkan adanya diskresi dari kepolisian.
2) Asas Lugas dan Integritas.
diterapkan diskresi, dan memprediksi akibat yang timbul dari penerapan diskresi tersebut serta bagaimana mengantisipasinya.
Di samping itu, sebelum seorang polisi mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan (diskresi), wajib mempertimbangkan secara menyeluruh mengenai objek, subjek dan mekanisme diskresi yang diambil. Objek diskresi adalah muatan diskresi, sedangkan subjek diskresi terdiri dari si pengambil diskresi. Apabila diskresi itu dilakukan oleh seorang polisi, maka harus memikirkan dampak terhadap institusinya. Demikian juga bila diskresi dilakukan secara kelembagaan atau institusi, maka perlu untuk dipertimbangkan institusi dan individu polisi secara khusus di mata masyarakat.
masyarakat. Oleh karena itu kontrol terhadap penggunaan diskresi penting untuk dilakukan agar penggunaan diskresi dapat berjalan dengan baik dan diprediksi tidak akan menimbulkan masalah baru. 3) Asas Manfaat dan Tujuan.
Tindakan diskresi terhadap subjek tertentu (pelaku tindak pidana) tentunya dapat diperhitungkan nilai manfaat dan tujuan dari penggunaan diskresi tersebut yaitu berdasarkan tujuan diterapkannya hukum pidana atau sesuai dengan tujuan pemidanaan. Menurut Mardjono Reksodiputro (1994: 84-85), tujuan kebijakan pidana adalah: a. Mencegah individu dan masyarakat menjadi korban.
b. Mencegah yang sedang ataupun telah selesai menjalani pidana tidak mengulangi lagi perbuatan mereka dan apabila si pelaku tindak pidana kembali telah kembali berintigrasi dengan masyarakat serta hidup sebagai warga negara yang taat pada hukum.
c. Melindungi orang yang tidak bersalah dan menghukum perbuatan yang melawan hukum.
Apabila pemidanaan ditinjau dari segi orientasinya, dikenal adanya 2 macam teori pemidanaan, yaitu :
2. Teori Relatif (tujuan), yaitu teori yang berorientasi ke depan berupa penyembuhan luka, baik luka individual maupun luka sosial (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998: 60).
Di dalam masyarakat modern, tampaknya ada kecenderungan untuk mengarah pada teori gabungan. Hal ini juga terjadi di Indonesia, yang perwujudannya tampak pada Ketentuan Pasal 50 Konsep Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Baru Tahun 2000, yang menyebutkan Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam Konsep KUHP tersebut, Sudarto (1984: 4) mengemukakan dalam tujuan pertama tersimpul perlindungan masyarakat (social defience), sedang dalam tujuan kedua dikandung maksud rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Tujuan ketiga sesuai dengan pandangan hukum adat mengenai “adat
reactie”,sedangkan tujuan keempat bersifat spiritual yang sesuai dengan sila pertama Pancasila.
pelakunya tetap harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, sesuai dengan asas equality before the law. Namun jika melihat pada kerangka perlindungan anak, maupun kondisi seorang nenek, maupun anak yang melakukan pencurian sandal jepit tersebut tentunya tidak bijaksana apabila perlakuan pada anak dibawah umur sama dengan perlakuan terhadap orang dewasa karena secara fisik dan psikis, kondisi anak-anak masih labil dibandingkan orang dewasa. Atau perlakuan terhadap seorang nenek yang mengambil beberapa buah kakao dan seorang nenek yang mencuri dua buah semangka hanya karena kondisi tertentu harus disamakan seperti seseorang yang dituduh atau didakwa melakukan tindak pidana korupsi (koruptor) atau tindak pidana berat lainnya. Di sinilah pentingnya diskresi kepolisian diterapkan.
Dengan demikian penggunaan diskresi oleh polisi dalam konteks penegakan hukum pidana harus sejalan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri. Sebab apa yang dimaksud dengan diskresi, Roeslan Saleh (1988: 155) memberikan pengertian sebagai kemungkinan menentukan sendiri keputusan yang diambil dari beberapa kemungkinan sebagai alternatif.
diskresinya atas dasar keinginan atau kepentingannya sendiri tentang hal-hal yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan, maka sangat mungkin tindakannya akan merugikan kepentingan masyarakat umum.
Keadaan yang demikian akan lebih meresahkan masyarakat atau pencari keadilan, manakala aparat penegak hukum menerapkan diskresi dengan kekuatan dan kekuasaan, seperti menahan seseorang atau menjatuhkan pidana penjara dengan bukti yang kurang, tetapi dipaksa-paksakan alasan hukumnya. Tindakan semacam ini tentu jauh dari tujuan pemidanaan sebagaimana digariskan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
4) Asas Seimbang.