• Tidak ada hasil yang ditemukan

BLENDED LEARNING INDONESIA HASIL PENELITIAN 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BLENDED LEARNING INDONESIA HASIL PENELITIAN 2013"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PENELITIAN 2013

ANALISIS KEBUTUHAN PENGEMBANGAN MODEL RANCANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS BLENDED LEARNING (PBBL) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PEMECAHAN MASALAH

Peneliti: Wasis D. Dwiyogo dkk

Abstrak. Sampai awal abad dua puluh, pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan

menggunakan sumber belajar guru dan dosen sebagai aktor utama sumber belajar bagi siswa dan mahasiswa. Namun, sejak ditemukan teknologi cetak maka sumber belajar sudah dapat dimuat dalam buku. Demikian juga perkembangan teknologi audio, audio visual, komputer, dan internet pada abad duapuluh satu, maka sumber belajar dapat dimuat dalam berbagai media tersebut. Namun sayangnya, saat ini masih banyak embaga pendidikan yang sumber belajarnya hanya dimuat dalam benak pengajar dan buku teks. Agar pembelajaran dapat memanfaatkan berbagai

perkembangan teknologi sebagai sumber belajar yang beragam, maka perlu dikembangkan model pembelajaran, yang saat sensitif terhadap kombinasi antara orang dan teknologi disebut

Pembelajaran Berbasis Blended Learning (PBBL). PBBL adalah pembelajaran yang

mengkombinasikan keunggulan dari belajar melalui tiga sumber belajar utama, yaitu pembelajaran: (1) tatap muka, (2) offline, dan (3) online.

Tujuan khusus yang ingin dicapaipada tahun pertama penelitian iniyaitu:(1) mendeskripsikan model rancangan pembelajaran digunakan dosen; (2) menganalisis kebutuhan perlunya Model Rancangan PBBL untuk meningkatkan hasil belajar pemecahan masalah; (3) menemukan karakteristik Model PBBL

Metode penelitian pada tahun pertama menggunakan jenis penelitian deskriptif yang dilakukan dengan metode survey. Subjek penelitian pada penelitian survey terdiri atas 466 dengan rincian 23% dosen dan 77% guru yang tersebar dari 20 kota. Intrumen untuk mengukur variabel-variabel penelitian disusun sendiri berdasarkan variabel-variabel dijabarkan ke dalam indikator-indikator penelitian. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistik deskriptif.

Hasil Berdasarkan hasil analis data kuntitatif yang diperoleh kesimpulan sebagai berikut (1) Sebagian besar responden telah melaksanakan pembelajaran melalui kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pembelajaran. Bahkan sebagian besar tenaga pengajar sudah memiliki format rancangan pembelajaran yang sudah disediakan oleh lembaga; (2) Model rancangan pembelajaran memiliki komponen-komponen sebagai berikut: nama mata kuliah/mata pelajaran, deskripsi mata kuliah/pelajaran, tujuan pembelajaran, \ kegiatan dosen/pengajar, kegiatan mahasiswa/siswa, isi/materi pembelajaran, hasil pembelajaran, dan bahan pembelajaran yang digunakan. Sebagian belum memasukkan komponen prasyarat pembelajaran dan karakteristik mahasiswa/siswa di dalam merancang pembelajaran; (3) Pembelajaran pemecahan masalah untuk meningkatkan kapabilitas pemecahan masalah, sebagian besar responden telah memberikan soal-soal dalam bentuk pemecahan masalah riil dalam kehidupan sehari hari maupun pemecahan masalah masa depan; (4) Dalam kegiatan pembelajaran sebagian besar responden telah memiliki keterampilan dasar komputer yaitu: yaitu pengalah kata, pengolah angka, dan pengolah multi media (teks, gambar, video, animasi); dan (5) Sebagian besar responden belum memahami pembelajaran blended learning, sebagian besar belum pernah mendengar oleh karena itu perlu dikembangkan model pembelajaran pemecahan masalah berbasis blended learning.

Berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut di atas, saran lebih lanjut kegiatan penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran pemecahan masalah berbasis blended learning yang perlu dilakukan pada tahun kedua. Model pemecahan masalah berbasis blended learning yang perlu dikembangkan adalah sebagai berikut: (1) Rancangan pembelajaran pemecahan masalah berbasis

(2)

blended learning; (2) Bahan Ajar Cetak (buku teks) kapabilitas pemecahan masalah; (3) Bahan Ajar cetak (buku teks) pembelajaran berbasis blended learning; (4) Bahan Ajar Audio dalam bentuk MP3 yang dapat dimuat di komputer, MP3 Player, telepon genggam, dan WEB; (5) Bahan Ajar Video; (6) Bahan Ajar komputer (multi media interaktif); dan (7) WEB pembelajaran dengan kata kunci pemecahan masalah dan Blended Learning.

Kata-kata kunci: model, rancangan pembelajaran, pemecahan masalah, blended learning BAB I

PENDAHULUAN Latar Belakang 1.

Tujuan merancang pembelajaran adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas

pembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajaran dilakukan dengan cara memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan

(Degeng, 1991). Usaha meningkatkan kualitas pembelajaran dilakukan oleh perancang

pembelajaran dengan pijakan asumsi tentang hakikat rancangan pembelajaran, yaitu: (1) perbaikan kualitas pembelajaran diawali dengan rancangan pembelajaran, (2) pembelajaran dirancang dengan menggunakan pendekatan system, (3) rancangan pembelajaran didasarkan pada pengetahuan tentang bagaimana seseorang belajar, (4) rancangan pembelajaran mengacu kepada pebelajar secara individual, (5) hasil pembelajaran mencakup hasil langsung dan hasil pengiring, (6) sasaran akhir perancangan pembelajaran adalah memudahkan belajar, (7) rancangan pembelajaran

mencakup semua variable yang mempengaruhi belajar, (8) inti rancangan pembelajaran adalah menetapkan metode yang optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Degeng, 1991). Untuk mengembangkan rancangan pembelajaran, perlu dikaji pula kecenderungan pembelajaran masa depan berkaitan dengan strategi dan isi pembelajaran. Kecenderungan strategi pembelajaran telah mengubah pendekatan pembelajaran tradisional ke arah pembelajaran masa depan –yang disebut sebagai abad pengetahuan– bahwa pebelajar dapat belajar: di mana saja, artinya pebelajar dapat belajar di kelas, di perpustakaan atau di rumah; kapan saja, tidak sesuai yang dijadwalkan sekolah bisa pagi, siang sore atau malam; dengan siapa saja, pebelajar memperoleh sumber belajar melalui dosen, dosen lain, pakar, praktisi atau masyaarakat; melalui apa saja, pebelajar dapat belajar melalui internet, CD ROM, radio, televisi, laboratorium, dan pengalaman langsung. Sedangkan berkaitan dengan isi, hasil belajar masa depan, adalah keterampilan memecahkan masalah. Gagne (1985) menyatakan bahwa salah satu keterampilan yang paling tinggi yang disebut higher order thinking adalah kapabilitas pemecahan masalah, karena di dalam kapabilatas

pemecahan terkandung keterampilan berpikir, keterampilan kolaborasi, keterampilan komunikasi, dan lain-lain. Topik pembelajaran berpikir dan pemecahan masalah mendapat perhatian besar dari para peneliti bidang psikologi pada tahun 1980-an, bahkan disebutnya sebagai keterampilan yang harus dikuasai pada abad 21. Perhatian tersebut didasarkan pada adanya perubahan dan tantangan yang cepat dalam masyarakat yang memerlukan manusia berkemampuan memecahkan masalah (Bransford, dkk., 1986; Marzano, dkk., 1988; Marzano, Pickering, dan McTighe, 1993). Jika kemampuan memecahkan masalah telah diperoleh, seseorang tidak hanya dapat menyelesaikan masalah serupa, akan tetapi juga diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari (Gagne, 1985; Gagne, Briggs, & Wager, 1992; Bransford, Sherwood, dan Reiser, 1986).

Menurut Tennyson (1989) masalah adalah suatu keadaan ketika pengetahuan yang tersimpan di dalam memori belum siap pakai untuk digunakan dalam memecahkan masalah. Masalah timbul jika tujuan yang telah dirumuskan belum diketahui cara mencapainya (Gagne, 1985). Dengan kata lain,

(3)

pemecahan masalah itu merupakan tugas baru, meskipun pengetahuan yang telah dimiliki setelah diorganisasi dapat digunakan untuk memecahkannya (Gredler, 1991; Travers, 1982). Salah satu contoh masalah menurut Hayes (1989) yaitu seseorang yang sedang berada di satu sisi sungai dan ingin menyeberangi sungai tersebut, akan tetapi belum tahu bagaimana caranya. Sedangkan menurut Simon (1978) masalah adalah suatu keadaan di mana ada tugas yang harus diselesaikan akan tetapi belum diketahui bagaimana cara menyelesaikannya. Menurut Klein dan Weitzenfeld (1978) masalah adalah deskripsi tentang kebutuhan untuk mencapai tujuan, tetapi masalah kadang-kadang lebih banyak digunakan untuk mendeskripsikan kesulitan untuk mencapai tujuan.

Dengan demikian, masalah adalah suatu kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan pengetahuan siap pakai yang dimiliki. Pengetahuan siap pakai yang dimaksud adalah pengetahuan yang ada di dalam ingatan seseorang yang dapat dikerahkan untuk menyelesaikan masalah tanpa harus mengorganisasikannya terlebih dahulu.

Frederiksen (1984), demikian pula Sternberg (1999) mengklasifikasi masalah menjadi dua jenis, yaitu well-structured dan ill-structured. Masalah well-structured adalah masalah yang tujuan, algoritma, dan informasi lain yang dibutuhkan untuk memecahkannya sudah tersedia. Masalah ill-structured adalah masalah di mana tujuan yang ingin dicapai lebih kompleks dan kurang pasti (less definite), informasi yang dibutuhkan tidak ada atau tersamar, dan tidak ada rumus untuk

memecahkannya.

Menurut Polya (1981), pemecahan masalah diartikan sebagai upaya menemukan jalan keluar dari sesuatu yang sukar dan penuh rintangan untuk mencapai tujuan. Pada saat seseorang memecahkan masalah, ia tidak sekedar belajar menerapkan berbagai pengetahuan dan kaidah yang telah

dimilikinya, tetapi juga menemukan kombinasi berbagai konsep dan kaidah yang tepat, serta mengontrol proses berpikirnya (Gagne, 1975; 1985; Marzano, 1992).

Pemecahan masalah merupakan suatu cara mengorganisasi pengetahuan dan merepresentasi pengetahuan secara simbolik di dalam ingatan jangka panjang. Faktor kunci di dalam pemecahan masalah adalah penerapan berbagai bagian pengetahuan dan pengalaman sebelumnya secara tepat untuk memperoleh solusi.

Newell dan Simon (1972) menggambarkan proses pemecahan masalah melalui simulasi komputer yang disebut General Problem Solving(GPS), yang mengidentifikasi adanya langkah-langkah sebagai berikut: (1) menyatakan masalah, (2) mengidentifikasi apa yang diketahui dan operator legal yang relevan, (3) menetapkan tujuan dan sub-tujuan dan mulai memecahkan sub-masalah, dan (4)

menggunakan tujuan sebagai kriteria keberhasilan pemecahan masalah. Gagne, Briggs, dan Wager (1992) menyatakan bahwa proses memecahkan masalah, meliputi langkah-langkah: penetapan pengertian tentang masalah yang akan dipecahkan, pengklasifikasian urutan tindakan, pemilihan tindakan, pengidentifikasian kendala, pemecahan masalah, dan pengecekan kembali rumusan tujuan.

Langkah utama proses pemecahan masalah menurut Gagne (1985) adalah merepresentasikan masalah. Langkah ini merupakan langkah yang paling penting dalam proses pemecahan masalah, karena merupakan pijakan bagi langkah berikutnya, yaitu menemukan solusi yang tepat. Bentuk representasi masalah terdiri atas dua jenis, yaitu representasi internal dan representasi eksternal. Representasi internal dalam bentuk proposisi atau kesan di dalam ingatan, sedangkan representasi eksternal dalam bentuk gambaran masalah pada kertas, papan tulis atau media lain.

Melalui pemecahan masalah, mahasiswa dapat menstransfer pengetahuan yang dimilikinya, baik masalah yang sejenis maupun masalah yang baru. Transfer terjadi, jika pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dapat digunakan untuk memecahkan berbagai masalah (Travers, 1982).

(4)

Dengan demikian melalui proses pemecahan masalah, Mahasiswa akan memiliki pengalaman memecahkan berbagai masalah, baik masalah yang sejenis, maupun masalah baru. Pemecahan masalah terdapat pada semua bidang studi (Gagne, 1985), misalnya matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa (Frederiksen, 1984). Dalam ilmu pengetahuan alam, pemecahan masalah dilakukan melalui pendekatan inkuiri dan dalam ilmu sosial melalui bermain peran (Walter, 1980).

Dalam berbagai kajian dan penelitian dinyatakan bahwa pendidikan merupakan indikator kejayaan bangsa, demikian pula guru memegang peran penting dalam membelajarkan para peserta didik (learner). Oleh karena itu, pembelajaran yang dilakukan guru menjadi indikator kunci keberhasilan pendidikan. Memasuki abad dua puluh satu ini, guru sebagai sumber belajar utama dirasa tidak memadai lagi, sumber belajar guru harus terintegrasi dengan sumber belajar lain, yaitu sumber belajar cetak, audia, audio visual, dan komputer. Bahkan perlu juga memanfaatkan handphone sebagai mobile learning.

Pendidik masa depan dalam kegiatan pembelajaran dapat berfungsi sebagai seniman (artist) dan ilmuwan (scientist) dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran dan mengelola sumber-sumber belajar yang sengaja dirancang dan dimanfaatkan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan, sikap, dan keterampilan guru dalam merancang pembelajaran terutama dalam upaya memecahkan masalah atau mengaplikasikan dalam rancangan pembelajaran mata pelajaran agar kualitas

pembelajaran meningkat yang sensitif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di kenal dengan PBBL (PPBL). Dengan PBPL maka pembelajaran bukan hanya berbasis pada tatap muka, tetapi dikombinasikan dengan sumber yang bersifat Offline maupun Online.

Keterampilan yang diperlukan pekerja pada abad 21 berbeda dengan pada abad industri,

keterampilan-keterampilan tersebut menurut Galbreth (1999) meliputi: keterampilan komunikasi, kreativitas dan inovasi, kerja sama dan pemberdayaan, literasi teknologi informasi, kemampuan visual, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, pengembangan dan pengelolaan pengetahuan, serta kecerdasan.

Demikian pula keterampilan dasar yang dahulu dan sampai sekarang masih didengungdengungkan adalah 3 M yaitu Membaca, Menulis, dan Menghitung sudah harus berubah sesuai dengan

kebutuhan pada abad informasi adalah 3 T, yaitu: Teknologi, Tim, dan Transfer. Sejak awal generasi muda kita harus diperkenalkan dengan media yang diperlukan pada abad informasi yaitu teknologi, mulai dari teknologi komputer, internet, dan telpon pintar (smartphone), kemudian keterampilan berikutnya adalah bekerja sebagai tim karena pada abad ini tidak mungkin orang bekerja sendiri untuk menghasilkan suatu produk teknologi, yang kemudian keterampilan berikutnya adalah mentransfer produk yang dimiliki misalnya melalui internet.

Agar para pengajar sensitif terhadap perkembangan pengetahuan tentang pembelajaran masa depan, diperlukan serangkaian kegiatan penelitian dan pengembangan yang melibatkan semua pemangku kepentingan pembelajaran melalui semua jalur pembelajaran. PBBL adalah

mengkombinasikan keunggulan dari belajar melalui tiga kegiatan utama, yaitu: (1) pembelajaran tatap muka, (2) pembelajaran berbasis komputer interaktif offline, dan (3) pembelajaran berbasis komputer melalui internet on line.

Penelitian ini sangat urgen dilakukan untuk menyediakan temuan empirik bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran dengan menggunakan PBBL di perguruan tinggi. Secara umum, temuan penelitian ini akan bermanfaat sebagai temuan awal fungsi pengembangan pembelajaran yaitu teori-riset yang hasilnya dapat dipakai sebagai pijakan pengembangan fungsi lainnya, seperti fungsi produksi sumber-sumber belajar (AECT, 1979; Seel dan Richey, 1994). Dengan ditemukannya model PBBL akan memudahkan bagi dosen yang sekaligus bertindak sebagai perancang pembelajaran

(5)

dalam menyusun preskripsi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menggunakan berbagai modus belajar. Melalui pengembangan PBBL juga akan meningkatkan keterampilan soft skill (keterampilan memecahkan masalah) bagi dosen dan mahasiswa.

Tersusunnya pengembangan PBBL akan membangun jembatan antara konteks pembelajaran yang bersifat teaching-based, instructor-mediated ke arah konteks pembelajaran yang bersifat learning-based. Keuntungan yang akan diperoleh melalui penelitian ini terutama untuk menyediakan sumber-sumber belajar bagi mahasiswa yang berpeluang untuk mengembangkan setiap individu mencapai kemampuan optimal dalam keterampilan hard skill dan soft skill.

Masalah Penelitian 1.

Berdasar latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut.

Bagaimanakah Model Rancangan Pembelajaran yang dilakukan para tenaga pengajar (guru dan dosen)?

Apakah ada kebutuhan perlunya Model Rancangan PBBL untuk meningkatkan hasil belajar pemecahan masalah?

Bagaimanakah karakteristik Model Rancangan PBBL untuk meningkatkan hasil belajar pemecahan masalah?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Model Rancangan Pembelajaran

Pengertian “model” menurut Travers (1982) adalah abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa kompleks atau system dalam bentuk naratif, matematis, grafis, atau lambang lain. Suatu model dapat dipakai untuk menirukan, menunjukkan, menjelaskan, memperkirakan atau

memperkenalkan sesuatu. Model sebagai fungsi praktisnya dalam pembelajaran, yaitu sarana untuk mempermudah berkomunikasi atau petunjuk teratur (algoritma) yang bersifat preskripsi guna mengambil keputusan atau petunjuk perencanaan untuk kegiatan pengelolaan. Dengan demikian, model adalah representasi suatu proses dalam bentuk grafis dan/atau naratif dengan menunjukkan komponen-komponen utama serta menjelaskan struktur dan fungsinya.

Beberapa sebutan untuk menunjuk pada kegiatan rancangan pembelajaran yaitu pengembangan instruksional, pengembangan system instruktisional, desain instruksional, pengembangan program instruksional, pengembangan produk instruksional, pengembangan organisasi, dan pengembangan kemampuan pengajar (Miarso, 1988). Pada pembahasan ini istilah yang dipakai adalah rancangan pembelajaran terjemahan dari Desain Instructional.

Reigeluth (1983) mendefinisikan rancangan pembelajaran sebagai suatu proses untuk menentukan metode pembelajaran apa yang paling baik dilaksanakan agar timbul perubahan pengetahuan dan keterampilan pada di pebelajar ke arah yang dikehendaki. Riegeluth mengibaratkan rancangan pembelajaran sebagai “cetak biru” yang dirancang oleh seorang arsitek dalam membangun gedung atau jembatan, dan pengembangan sebagai kegiatan membangun gedung sesuai dengan cetak biru tersebut.

Tujuan merancang pembelajaran adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas

(6)

pembelajaran. Peningkatan kualitas pembelajaran dilakukan dengan cara memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan

(Degeng, 1991). Usaha meningkatkan kualitas pembelajaran dilakukan oleh perancang

pembelajaran dengan pijakan asumsi tentang hakikat rancangan pembelajaran, yaitu: (1) perbaikan kualitas pembelajaran diawali dengan rancangan pembelajaran, (2) pembelajaran dirancang dengan menggunakan pendekatan system, (3) rancangan pembelajaran didasarkan pada pengetahuan tentang bagaimana seseorang belajar, (4) rancangan pembelajaran mengacu kepada pebelajar secara individual, (5) hasil pembelajaran mencakup hasil langsung dan hasil pengiring, (6) sasaran akhir perancangan pembelajaran adalah memudahkan belajar, (7) rancangan pembelajaran

mencakup semua variable yang mempengaruhi belajar, (8) inti rancangan pembelajaran adalah menetapkan metode yang optimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Degeng, 1991). Untuk mengembangkan rancangan pembelajaran, perlu dikaji pula kecenderungan pembelajaran masa depan telah mengubah pendekatan pembelajaran tradisional ke arah pembelajaran masa depan –yang disebut sebagai abad pengetahuan– bahwa pebelajar dapat belajar: di mana saja, artinya pebelajar dapat belajar di kelas, di perpustakaan atau di rumah; kapan saja, tidak sesuai yang dijadwalkan sekolah bisa pagi, siang sore atau malam; dengan siapa saja, pebelajar

memperoleh sumber belajar melalui dosen, dosen lain, pakar, praktisi atau masyaarakat; melalui apa saja, pebelajar dapat belajar melalui internet, CD ROM, radio, televisi, laboratorium, dan

pengalaman langsung.

Hasil Belajar Pemecahan Masalah 1.

Pada tahun 1970-an, pembahasan teori belajar oleh pada penganut aliran psikologi kognitif menekankan kepada proses mental, antara lain kemampuan berpikir dan kemampuan pemecahan masalah (Simon, 1978; Covilservo dan Hein, 1983; Resnick dan Glaser, 1976 dalam Gredler, 1986, Eggen dan Kauchak, 1994; Sternberg, 1999). Berdasarkan teori pemrosesan informasi, gambaran terhadap proses pemecahan masalah dan proses internal lain yang terjadi pada saat seseorang sedang belajar dapat dijelaskan lebih mendalam.

Teori pemrosesan informasi berbeda dengan teori behavioristik yang menganalisis hasil belajar dengan meletakkan kekuatan pada asosiasi antara stimulus dan respon melalui mekanisme penguatan (reinforcement). Teori pemrosesan informasi memberi tekanan kepada pelacakan dan pemerian urutan kerja pikiran manusia, tentang cara seseorang mempersepsi, mengorganisasi, dan mengingat sejumlah informasi yang diterima setiap hari dari lingkungannya, untuk dipakai dalam memecahkan masalah (Bell-Gredler, 1991). Asumsi pokok yang mendasari teori pemrosesan informasi ialah hakikat sistem alur informasi dan representasi pengetahuan di dalam ingatan manusia.

Representasi Pengetahuan. Menurut teori pemrosesan informasi, bentuk informasi yang disimpan dalam memori manusia (memori jangka panjang) disebut representasi pengetahuan (Gagne, 1985). Ada dua pandangan pokok tentang representasi pengetahuan di dalam memori jangka panjang, yaitu model dual-code dan model jaringan verbal.

Pandangan model dual-code menyatakan bahwa bentuk informasi yang disimpan pada memori jangka panjang dalam bentuk visual dan verbal. Model ini menjelaskan dua sistem yang berdiri sendiri secara fungsional, meskipun saling berkaitan dalam mengolah dan menyimpan informasi. Benda-benda atau kejadian konkret disimpan dalam bentuk visual, sedangkan gejala abstrak dan struktur linguistik disimpan di dalam bentuk verbal.

Pandangan model jaringan verbal tidak mempersoalkan pentingnya informasi bentuk visual dalam pengolahan informas. Menurut pandangan ini, representasi pengetahuan dalam memori jangka

(7)

panjang disimpan dalam bentuk verbal, karena representasi pengetahuan dalam bentuk visual merupakan susunan dari sandi-sandi verbal.

Di samping model jaringan verbal, beberapa ahli menjelaskan representasi pengetahuan dalam model jaringan semantik. Ada tiga model jaringan semantik, yaitu model jaringan proposisional, model jaringan struktural aktif, dan model sistem produksi (Newell dan Simon, 1972).

Ikhtisar jenis jaringan yang dikemukakan tiga ahli tersebut disajikan pada table berikut. Tabel 1. Ikhtisar Jenis Pengetahuan dalam Model Jaringan Semantik

Model Jenis Pengetahuan Bentuk Representasi

Anderson (1980) Pengetahuan deklaratif Proposisi yang merupakan unitterkecil

Norman dan Rumelhart (1975)

Pengetahuan deklaratif dan prosedural

Jaringan struktural aktif yang merepresentasikan baik

pengetahuan deklaratif maupun prosedural

Newel dan Simon (1972)

Pengetahuan deklaratif dan prosedural

Sistem produksi yang tersusun atas pasangan

“kondisi/tindakan” dengan peryataan jika … maka …

Gagne (1985) dan Tennyson (1989) menyatakan bahwa reprentasi pengetahuan yang disimpan dalam memori jangka panjang terdiri atas dua jenis yaitu pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif diartikan sebagai pengetahuan yang dapat dinyatakan secara konseptual, sedangkan pengetahuan prosedural berkaitan dengan tindakan. Pengetahuan deklaratif berhubungan dengan knowing that yang berimplikasi pada kemampuan seseorang untuk

mengungkap kembali. Pengetahuan prosedural berhubungan dengan knowing how yang

berimplikasi pada tindakan dalam menggunakan konsep, kaidah, dan prinsip dalam situasi tertentu (Gagne, 1985; Tennyson, 1989). Menurut Gagne (1985) pengetahuan deklaratif disimpan dalam bentuk proposisi. Pengetahuan deklaratif dan prosedural disimpan dalam bentuk pasangan kondisi-tindakan yang disebut produksi.

Gagne (1985) berpendapat bahwa pengetahuan deklaratif disimpan dalam bentuk proposisi, sedangkan pengetahuan prosedural disimpan dalam bentuk produksi. Proposisi merupakan satuan unit dasar dari informasi, ide, gagasan, atau pikiran. Proposisi-proposisi tersebut kemudian membentuk suatu jaringan kerja proposisional. Produksi merupakan satuan unit dasar hubungan antara proposisi satu dengan lainnya yang membentuk kausalitas (jika, … maka …). Informasi gabungan antara proposisi dan produksi disimpan dalam bentuk visual.

Penelitian yang berkaitan dengan hubungan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural dalam proses pemecahan masalah telah dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural bukan merupakan dua bentuk pengetahuan yang terpisah, akan tetapi keduanya saling berhubungan (Gagne, 1985; Eggen dan Kauchak, 1994). Pada waktu pebelajar memecahkan masalah, terdapat hubungan interaktif antara pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Sebelum melakukan urutan tindakan prosedural (pengetahuan prosedural dalam bentuk produksi), pebelajar yang sedang memecahkan masalah harus melacak pengetahuan-pengetahuan yang telah dimilikinya yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan (pengetahuan deklaratif dalam bentuk proposisi). Pengetahuan yang telah tersimpan dalam memori merupakan wujud dari pengetahuan deklaratif, sedangkan pelaksanaan tindakan pelacakan secara urut mulai dari representasi masalah, mencari solusi, sampai dengan evaluasi terhadap solusi

(8)

merupakan wujud dari pengetahuan prosedural.

Alur Pemrosesan Informasi. Model pemrosesan informasi terdiri atas tiga komponen, yaitu: penyimpanan informasi, proses kognitif, dan metakognisi (Eggen dan Kauchak, 1994). Alur

pemrosesan informasi pertama kali dimulai dari lingkungan berupa benda-benda, cahaya, suara, bau dan sebagainya yang jumlahnya tidak terbatas diterima oleh receptor yang terkait dengan sistem syaraf. Dari reseptor, informasi disandi oleh sensory register dalam bentuk yang terpola dan setelah itu, informasi tersebut ditahan dalam beberapa saat. Informasi ditahan kira-kira 1 – 4 detik untuk dianalisis pendahuluan. Informasi yang dipilih untuk diolah dikirim ke dalam memori kerja (working memory) atau memori jangka pendek (short-term memory). Kapasitas penyimpanan dalam memori kerja terbatas sekitar 7 butir informasi dengan jangka waktu sekitar 20 detik tergantung jenis informasinya. Penyimpanan informasi visual akan berkisar sekitar 1 detik, dan informasi auditif berkisar 4 detik.

Memori kerja merupakan bagian dari sistem pemrosesan yang sifatnya disadari, dan pada memori ini juga manusia melakukan pemecahan masalah. Dengan pengulangan terhadap informasi yang datang dari register sensori, informasi tersebut akan semakin kuat dan akan memungkinkan informasi tersebut diteruskan ke memori jangka panjang. Informasi yang bermakna dan diberi perhatian kemudian dikirim ke memori jangka panjang (long-term memory) untuk disimpan secara tetap. Dalam memori jangka panjang, informasi tersebut diterjemahkan ke dalam kode-kode tertentu guna memungkinkan penyimpanannya secara lebih efektif. Informasi yang masuk yang tidak

mendapat perhatian yang cukup akan dilupakan dan hilang.

Informasi yang diteruskan dari memori kerja ke memori jangka panjang sifatnya permanen dengan kapasitas yang tidak terbatas yang terdiri atas jaringan kerja, skemata, dan visual. Bila informasi dari memori ini diperlukan oleh memori kerja akan dilakukan pelacakan informasi dari memori jangka panjang ini. Pengkodean informasi dan pengiriman ke memori jangka panjang merupakan akhir proses pengolahan informasi.

Komponen yang berikut adalah proses-proses kognitif yang meliputi perhatian, persepsi,

pengulangan, pengkodean, dan pelacakan, yang menjelaskan rangsangan informasi berpindah dari satu komponen penyimpanan ke komponen penyimpanan lainnya. Perhatian merupakan respon manusia terhadap rangsangan yang ada. Rangsangan yang unik akan menarik perhatian pebelajar dan meningkatkan probabilitas belajar. Persepsi merupakan proses untuk memaknai berbagai informasi yang ada menjadi satu kesatuan makna yang kemudian diteruskan ke dalam memori kerja. Retrieval merupakan proses untuk melacak atau dan mendapatkan kembali informasi yang telah disimpan di dalam memori jangka panjang. Proses kognitif selanjutnya yaitu pengkodean yang merupakan proses pembentukan representasi di dalam memori jangka panjang. Representasi terjadi ketika informasi dari memori kerja diteruskan ke memori jangka panjang dengan cara menghubungkannya dengan informasi yang telah ada sebelumnya dalam memori jangka panjang. Proses menghubungkan inilah yang merupakan ciri pengkodean. Jadi pengkodean bisa ditingkatkan bila informasi dibuat bermakna dengan cara membentuk asosiasi di antara unsur-unsurnya. Lebih jauh kebermaknaan bisa ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan pengorganisasian, elaborasi dan mnemonik. Proses selanjutnya adalah pelacakan di mana informasi dilacak atau dipanggil dari memori jangka panjang.

Menurut Gagne (1985) informasi yang sedang berada pada memori jangka pendek maupun memori jangka panjang dapat dipakai jika diperlukan. Pelacakan informasi yang telah disimpan dalam memori jangka panjang dilakukan oleh response generator yang berfungsi mentransformasikan informasi ke dalam tindakan. Respon generator kemudian menggerakkan effectors yang kemudian menghasilkan informasi yang akan diaktifkan. Untuk menggerakkan dan mengubah informasi yang diperlukan, peranan executive control danexpectancies sangat penting. Harapan terhadap hasil

(9)

belajar tertentu akan mempengaruhi pemrosesan informasi. Misalnya, jika pebelajar mempunyai keinginan tertentu dari apa yang dipelajari, hal itu akan mempengaruhi cara pebelajar mempersepsi rangsangan dari luar, menyandikannya dalam ingatan, dan mentransformasikannya ke dalam

tindakan.

Dengan demikian, menurut teori pemrosesan informasi, memori jangka panjang memegang peranan yang penting, karena dalam memori ini semua pengetahuan yang telah dipelajari disimpan.

Informasi yang telah ada di memori jangka panjang dapat diambil atau diungkapkan kembali untuk suatu keperluan, misalnya memecahkan masalah bidang akademik di sekolah, atau dalam kehidupan sehari-hari di luar sekolah.

Pandangan Teori Pemrosesan Informasi terhadap Masalah dan Proses Pemecahan Masalah. Menurut Gagne (1985) masalah dan strategi pemecahannya dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) satu tujuan dengan dua atau lebih strategi pemecahan yang sama, (2) satu tujuan dengan dua atau lebih strategi pemecahan yang berbeda, (3) satu tujuan dengan beberapa strategi pemecahan yang belum diketahui, dan (4) beberapa tujuan yang belum pasti dan belum ditemukan pula strategi pemecahannya. Masalah pertama, kedua, dan ketiga dikelompokkan ke dalam masalah yang bersifat well defined, sedangkan masalah yang keempat disebut sebagai masalah yang bersifat ill defined.

Proses pemecahan masalah sebagai aktivitas berpikir lengkap terdiri atas: (1) merasakan adanya masalah, (2) membatasi dan mendefinisikan masalah, (3) menemukan berbagai kemungkinan solusi, (4) mengembangkan alasan dari berbagai solusi yang ditemukan, dan (5) melakukan eksperimen dan mengobservasi pada solusi yang dipilih. Tennyson (1989) menyatakan proses kognitif dalam

memecahkan masalah meliputi langkah-langkah: (1) menganalisis situasi yang diberikan, (2) menyusun konseptualisasi dari situasi, (3) menegaskan tujuan-tujuan khusus untuk menanggulangi situasi, dan (4) menyusun solusi.

Sementara itu, Gick (1986) menyatakan bahwa proses memecahkan masalah pada dasarnya hanya terdiri atas dua langkah, yaitu merepresentasi masalah dan merepresentasi tindakan pemecahan masalah. Sternberg (1999) menyatakan bahwa strategi pemecahan masalah terdiri dari tujuh langkah yang merupakan suatu rangkaian kegiatan berputar (cycle) yaitu: (1) mengidentifikasi masalah, (2) mendefinisi masalah, (3) membangun strategi untuk memecahkan masalah, (4) mengorganisasi informasi yang berkaitan dengan masalah, (5) mengalokasi sumber-sumber, (6) memonitor pemecahan masalah, dan (7) mengevaluasi pemecahan masalah.

Dengan demikian, pada dasarnya proses pemecahan masalah dapat dibagi menjadi empat langkah utama yaitu memahami masalah, merepresentasikan masalah, mencari berbagai alternatif solusi tindakan berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki, dan mengevaluasi atas solusi yang sudah dilakukan. Apabila masalah tersebut belum terpecahkan, proses pemecahan masalah dapat diulang kembali dengan melakukan representasi masalah atau mencari solusi baru, demikian seterusnya. Berdasarkan teori pemrosesan informasi, pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang disimpan dalam memori jangka panjang merupakan hasil belajar yang diperoleh dari lingkungan. Pada saat pebelajar dihadapkan pada suatu masalah, maka pebelajar tersebut akan mengorganisasi pengetahuan deklaratif dan mengaktifkan pengetahuan prosedural. Pengorganisasian untuk

merepresentasikan masalah dan merepresentasikan tindakan merupakan suatu rangkaian proses pemecahan masalah. Dengan demikian, menurut teori pemrosesan informasi, proses pemecahan masalah merupakan suatu proses yang diperoleh dari lingkungannya sebagai hasil belajar. Pemecahan Masalah sebagai Hasil Belajar. Pemecahan masalah merupakan suatu suatu kapabilitas, yaitu suatu kemampuan yang diperoleh melalui belajar. Pemecahan masalah sebagai

(10)

suatu kapabilitas, merupakan hasil belajar yang paling kompleks dalam ranah keterampilan intelektual (Gagne, 1975, Gagne, Briggs, dan Wager, 1992). Keterampilan intelektual merupakan kapabilitas penting dalam kegiatan belajar di sekolah. Dengan keterampilan intelektual seseorang dapat merespon kepada lingkungan melalui simbol-simbol, misalnya bahasa, angka, gambar, dan sebagainya. Dengan keterampilan intelektual dimungkinkan pebelajar dapat menentukan apakah dua benda sama atau berbeda, dapat mengklasifikasi benda-benda berdasarkan ciri-cirinya, dan dapat menerapkan aturan/kaidah untuk memecahkan masalah.

Lebih jauh, keterampilan intelektual terdiri atas diskriminasi, konsep konkret, konsep definisi, kaidah, dan pemecahan masalah (Gagne, 1975; Gagne, Briggs, dan Wager 1992). Diskriminasi merupakan hasil belajar yang diperoleh pebelajar untuk membedakan stimulus satu dengan lainnya berdasarkan satu atau lebih karakteristik, seperti bentuk, ukuran, warna, dan sebagainya. Konsep konkret merupakan hasil belajar yang diperoleh pebelajar dengan mengidentifikasi suatu objek atau peristiwa seperti apa adanya (visual). Konsep definisi merupakan hasil belajar yang diperoleh

pebelajar dengan mengidentifikasi suatu objek atau peristiwa ke dalam kategori kelompok tertentu secara verbal. Kaidah merupakan hasil belajar yang diperoleh pebelajar dengan menghubungkan antara konsep satu dengan konsep lainnya. Pemecahan masalah merupakan hasil belajar yang diperoleh pebelajar dalam menerapkan konsep dan kaidah pada suatu masalah tertentu. Dari kelima jenis keterampilan intelektual tersebut, pemecahan masalah merupakan urutan kecakapan yang paling tinggi. Sebab, keberhasilan pemecahan masalah bergantung pada keempat jenis keterampilan intelektual lainnya sebagai prasyarat.

Di samping keterampilan intelektual, strategi kognitif berperanan dalam proses pemecahan masalah. Strategi kognitif adalah kemampuan yang memungkinkan pebelajar mengendalikan dan mengatur proses mengingat dan berpikir. Strategi kognitif digunakan ketika pebelajar dihadapkan pada masalah yang memerlukan pemecahan. Untuk memecahkan masalah tersebut pebelajar

mengingat, menghubungkan, dan mengatur kapabilitas yang telah dimiliki pada ranah keterampilan intelektual.

Pemecahan Masalah dan Transfer Belajar. Pada dasarnya, pemecahan masalah adalah

persoalan transfer yaitu tentang penerapan pengetahuan yang telah dipelajari untuk memecahkan masalah sejenis maupun masalah baru. Menurut Gagne (1985), transfer merupakan kunci dalam pemecahan masalah. Melalui pemecahan masalah diharapkan pebelajar menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah, baik itu masalah yang pernah dipecahkan

maupun masalah baru, masalah akademik di sekolah, maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Royer (1979) membedakan transfer belajar menjadi tiga jenis, yaitu lateral and vertical transfer, specific and non-specific transfer, dannear and far transfer. Lateral transfer ialah penerapan hasil belajar yang telah diperoleh untuk berbagai situasi yang mempunyai tingkat kesulitan yang sama. Vertical transfer ialah penerapan hasil belajar yang telah diperoleh untuk situasi yang secara langsung merupakan pengetahuan dan keterampilan super-ordinat. Specific transfer penerapan hasil belajar yang telah diperoleh untuk situasi yang mempunyai kesamaan khusus. Non-specific transfer ialah penerapan hasil belajar yang telah diperoleh untuk situasi yang berbeda. Near transferialah penerapan hasil belajar yang sederhana untuk situasi yang sedikit lebih kompleks. Sedangkan far transfer ialah penerapan hasil belajar yang telah diperoleh untuk situasi yang berbeda dan kompleks.

Gagne (1985) membagi transfer belajar ke dalam dua jenis yaitu identical element dan formal discipline. Identical element ialah penerapan hasil belajar yang dipelajari untuk memecahkan

masalah baru yang unsur-unsurnya identik. Identical element ini dikategorikan sebagainear transfer. Formal discipline ialah penerapan hasil belajar yang telah dipelajari untuk memecahkan masalah yang mempunyai situasi khusus yang telah dipelajari ke dalam situasi baru yang lebih umum.

(11)

Kemampuan melakukan transfer yang dikategorikan sebagai formal discipline ini dikategorikan sebagai far transfer yang memungkinkan pebelajar dapat melakukan pemecahan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari

Temuan penelitian Vesta dan Walls (1967), juga Witrock dan Cook (1975) menyatakan bahwa terjadinya transfer bergantung pada kecocokan atau kesamaan antara situasi baru dengan pengetahuan awal (prior learning). Glaser (1976) dan White (1976), menyatakan bahwa hierarki belajar dari Robert Gagne merupakan contoh terjadinya transfer positif atau transfer vertikal atau proactive transfer(Travers, 1982). Dalam hierarki belajar Gagne, kemampuan pemecahan masalah yang merupakan belajar kognitif tingkat tinggi merupakan transfer hasil belajar kaidah. Hasil belajar kaidah merupakan transfer hasil belajar konsep. Dengan demikian, transfer terjadi jika ada hubungan antara hasil belajar yang menjadi prasyarat dengan situasi tugas baru.

Uraian di atas merupakan konsep-konsep yang perlu menjadi landasan untuk mengembangkan rancangan pembelajaran problem based learning, yang pada dasarnya terdiri atas dua hal yaitu prinsip-prinsip pengembangan model rancangan pembelajaran dan landasan teoretik kapabilitas pemecahan masalah.

Pembelajaran Berbasis Blended Learning (PBBL) 1.

Blended learning terdiri dari kata blended (kombinasi/ campuran) dan learning (belajar). Istilah lain yang sering digunakan adalah hybrid course (hybrid = campuran/kombinasi, course = mata kuliah). Makna asli sekaligus yang paling umum blended learning mengacu pada belajar yang

mengkombinasi atau mencampur antara pembelajaran tatap muka (face to face = f2f) dan pembelajaran berbasis komputer (online dan offline). Thorne (2003) menggambarkan blended learning sebagai “It represents an opportunity to integrate the innovative and technological advances offered by online learning with the interaction and participation offered in the best of traditional learning.Sedangkan Bersin (2004) mendefinisikan blended learning sebagai:

“the combination of different training “media” (technologies, activities, and types of events) to create an optimum training program for a specific audience. The term “blended” means that traditional instructor-led training is being supplemented with other electronic formats. In the context of this book, blended learning programs use many different forms of e-learning, perhaps complemented with instructor-led training and other live formats”.

Istilah blended learning pada awalnya digunakan untuk menggambarkan mata kuliah yang mencoba menggabungkan pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran online. Saat ini istilah blended menjadi populer, maka semakin banyak kombinasi yang dirujuk sebagaiblended learning. Dalam metodologi penelitian, digunakan istilah mixing untuk menunjukkan kombinasi antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Adapula yang menyebut di dalam pembelajaran adalah pendekatan

eklektif, yaitu mengkombinasi berbagai pendekatan dalam pembelajaran. Namun, pengertian PBBL adalah pembelajaran yang mengkombinasi strategi penyampaikan pembelajaran menggunakan kegiatan tatap muka, pembelajaran berbasis komputer (offline), dan komputer secara online (internet dan mobile learning).

PBBL berkembang sekitar tahun 2000 dan sekarang banyak digunakan di Amerika Utara, Inggris, Australia, kalangan perguruan tinggi dan dunia pelatihan. Melalui blended learning semua sumber belajar yang dapat memfasilitasi terjadinya belajar bagi orang yang belajar dikembangkan.

Pembelajaran blended dapat menggabungkan pembelajaran tatap muka (face-to-face) dengan

pembelajaran berbasis komputer. Artinya, pembelajaran dengan pendekatan teknologi pembelajaran dengan kombinasi sumber-sumber belajar tatap muka dengan pengajar maupun yang dimuat dalam media komputer, telpon seluler atau iPhone, saluran televisi satelit, konferensi video, dan media

(12)

elektronik lainnya. Pebelajar dan pengajar/fasilitator bekerja sama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Tujuan utama pembelajaran blended adalah memberikan kesempatan bagi berbagai karakteristik pebelajar agar terjadi belajar mandiri, berkelanjutan, dan berkembang sepanjang hayat.

Gambar 2. Pembelajaran Berbasis Blended Learning

Walaupun masih terjadi perdebatan ekstrim antara pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran berbasis komputer, buku ini tidak berpretensi untuk melemahkan salah satu di antaranya, tetapi justru ingin memadukan atau mengkombinasikan berbagai modus belajar yang telah berkembang sampai saat ini. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan Dziuban, Hartman, dan Moskal (2004) menemukan bahwa program blended learning memiliki potensi untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan juga menurunkan tingkat putus sekolah dibandingkan dengan pembelajaran yang sepenuhnya pembelajaran online. Demikian juga ditemukan bahwa model pembelajaran berbasisblended lebih baik daripada pembelajaran tatap muka (Face to face). Berdasarkan temuannya yang disajikan dalam Tabel 1 menunjukkan perbandingan tingkat keberhasilan (bagi siswa mencapai nilai A, B, atau C) selama dua tahun persembahan Web. Pada tabel 2.1. disajikan hasil penelitian pembelajaran yang dilakukan melalui tatap muka (face to face), pembelajaran kombinasi (blended) dan pembelajaran melalui internet (online) penuh.

Tabel 2. Persentase nilai hasil belajar antara pembelajaran tatap muka (face to face), pembelajaran kombinasi (blended) dan pembelajaran melalui internet (online) (Dziuban, Hartman, & Moskal, 2004)

Pembelajaran Musim

Semi2001 Panas2001 Dingin2001 Semi2002 Panas2002 Dingin2002 Semi2003 Tatap Muka(Face to Face) 91 93 91 90 94 91 91 Kombinasi (Blended) 91 97 94 91 97 92 91 Internet (Online) penuh 89 93 90 92 92 92 91

Gambar 3. Rata-rata persentasi hasil belajar tatap muka dan blended berdasarkan etnis (Rovai dan Jordan, 2004)

PBBL, di samping untuk meningkatkan hasil belajar, bermanfaat pula untuk meningkatkan

hubungan komunikasi pada tiga mode pembelajaran yaitu lingkungan pembelajaran yang berbasis ruang kelas tradisional, yang blended, dan yang sepenuhnya online. Para peneliti memberikan bukti yang menunjukkan bahwa blended learning menghasilkan perasaan berkomunitas lebih kuat antar mahasiswa daripada pembelajaran tradisional atau sepenuhnya online (Rovai dan Jordan, 2004). Dalam penelitian pengembangan SDM di perusahaan, Barbian (2002) menyimpulkan bahwa metode blended learning meningkatkan produktivitas karyawan lebih besar daripada metode pembelajaran tunggal.

Komposisi blended yang sering digunakan yaitu 50/50, artinya dari alokasi waktu yang disediakan, 50% untuk kegiatan pembelajaran tatap muka dan 50% dilakukan pembelajaran online. Atau ada pula yang menggunakan komposisi 75/25, artinya 75% pembelajaran tatap muka dan 25%

pembelajaran online. Demikian pula dapat dilakukan 25/75, artinya 25% pembelajaran tatap muka dan 75% pembelajaran online.

(13)

Pertimbangan untuk menentukan apakah komposisinya 50/50, 75/25 atau 25/75 bergantung pada analisis komptensi yang ingin dihasilkan, tujuan mata pelajaran, karakteristik pebelajar, interaksi tatap muka, strategi penyampaian pembelajaran online atau kombinasi, karakteristik, lokasi pebelajar, karakteristik dan kemampuan pengajar, dan sumber daya yang tersedia. Berdasarkan analisis silang terhadap berbagai pertimbangan tersebut, pengajar akan dapat menentukan komposisi (presentasi) pembelajaran yang paling tepat. Namun demikian, pertimbangan utama dalam merancang komposisi pembelajaran adalah penyediaan sumber belajar yang cocok untuk berbagai karakteristik pebelajar agar dapat belajar lebih efektif, efisien, dan menarik. Dalam skenario pembelajaran berikutnya tentu saja harus memutuskan untuk tujuan mana mana yang dilakukan dengan pembelajaran tatap muka, dan bagian mana yang offline dan online. Misalnya dalam pembelajaran pendidikan jasmani, pada saat menjelaskan pengetahuan dan teknik gerak dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komputer (offline), untuk melihat aplikasi gerakan dalam suatu pertandingan dapat dilakukan melalui akses internet (online), dan pada saat

menjelaskan dan mendemonstrasikan, melatih keterampilan, melatih disiplin, dan sportivitas lebih cocok dilakukan dengan tatap muka. Demikian pula dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di mana guru atau instruktur semua kegiatan berbasis audio (pemahaman

pendengaran, ekspresi oral) akan berlangsung di ruang kelas, sedangkan kegiatan berbasis teks akan dilakukan secara online.

Yang penting, PBBL bertujuan untuk memfasilitasi terjadinya belajar dengan menyediakan berbagai sumber belajar dengan memperhatikan karakteristik pebelajar dalam belajar. Pembelajaran juga dapat mendorong peserta untuk memanfaatkan sebaik-baiknya kontak face-to-face dalam mengem-bangkan pengetahuan. Lalu, persiapan dan tindak-lanjutnya dapat dilakukan secara offline dan online.Program belajar yang total online tidak dianjurkan untuk pembelajaran yang masih mempertimbangkan perlunya kontak tatap muka antara pebelajar dan pengajar. Namun, dalam pembelajaran ada kalanya pebelajar tidak dapat datang karena berbagai kendala, misalnya di jurusan pendidikan jasmani ada sebagian mahasiswa yang aktif sebagai olahragawan yang mempunyai jadwal latihan dan pertandingan yang ketat dan tidak sinkron dengan jadwal perkuliahan, maka pembelajaran berbasis offline dan online menjadi memungkinkan untuk dilakukan pada kelas reguler mahasiswa.

PBBL merupakan pilihan terbaik untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan daya tarik yang lebih besar dalam berinteraksi antar manusia dalam lingkungan belajar yang beragam. Belajar blended menawarkan kesempatan belajar untuk menjadi baik secara bersama-sama dan terpisah, demikian pula pada waktu yang sama maupun berbeda. Sebuah komunitas belajar dapat dilakukan oleh pelajar dan pengajar yang dapat berinteraksi setiap saat dan di mana saja karena memanfaatkan yang diperoleh komputer maupun perangkat lain (iPhone) sebagai fasilitasi belajar. Blended

learning memberikan fasilitasi belajar yang sangat sensitif terhadap segala perbedaan karakteristik pskiologis maupun lingkungan belajar.

Hasil penelitian Karen Precel, Yoram Eshet-Alkalai, and Yael (2009) terkait dengan kontribusi komponen-komponen dalam blended learning menunjukkan bahwa komponen pembelajaran yang dianggap paling berkontribusi belajar adalah tugas-tugas (rerata = 4,72), buku cetak (rerata = 4,54), presentasi pertemuan (rerata = 4,42), dan pertemuan kuliah tatap muka dengan instruktur (rerata = 4,15). Video online kuliah memberikan kontribusi terhadap belajar (rerata = 3,83), buku pelajaran online memiliki kontributsi rata-rata untuk belajar (rerata = 3.32), walaupun kontribusinya rendah hampir setengah dari peserta (46,5%) menyatakan sering menggunakannya.

PBBL dimulai sejak ditemukan komputer, walaupun sebelum itu juga sudah terjadi adanya kombinasi (blended). Terjadinya pembelajaran awalnya karena adanya tatap muka dan interaksi antara pengajar dan pebelajar, setelah ditemukan mesin cetak maka guru memanfaatkan media cetak. Pada saat ditemukan media audio visual, sumber belajar dalam pembelajaran mengkombinasi

(14)

antara pengajar, media cetak, dan audio visual. Namun terminologi blended learning muncul setelah berkembangkanya teknologi informasi sehingga sumber dapat diakses oleh pebelajar secara offline maupun online. Saat ini, PBBL dilakukan dengan menggabungkan pemb elajaran tatap muka, teknologi cetak, teknologi audio, teknologi audio visual, teknologi komputer, dan teknologi m-learning (mobile m-learning).

Bersin (2004) menggambarkan sejarah blended learning yang berkembang di dunia pelatihan pada awalnya juga seperti yang dilakukan pada lembaga pendidikan yaitu sumber belajar utama adalah pelatih/fasilitator. Dengan ditemukannya teknologi komputer, pelatihan dilakukan menggunakan mainframe based yang dapat melakukan kegiatan pelatihan secara individual tidak bergantung pada waktu dan materi yang sama (tidak sinkron). Perkembangan berikutnya pembelajaran yang tetap mengguna-kan basis komputer tetapi daya jangkaunya menjadi lebih luas melintasi pulau dan benua karena perkembangan teknologi satelit. Demikian pula, isi pelatihan dilakukan pengebarannya melalui CD ROM dan internet. Saat ini pelatihan menggabungkan semua itu agar pembelajaran menjadi lebih efektif, efisien dengan konsep kombinasi (blended).

Aplikasi dalam PBBL dapat dilakukan melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Masalah. Melalui pembelajaran berbasis masalah, pebelajar akan belajar berdasarkan masalah yang harus

dipecahkan, kemudian melacak konsep, prinsip, dan prosedur yang harus diakses untuk

memecahkan masalah tersebut. Ini berbeda dengan pembelajaran konvensional, yang di tahap awal disajikan konsep, prinsip, dan prosedur yang diakhiri dengan menyajikan masalah. Asumsinya, pebelajar dianggap belum memiliki pengetahuan prasyarat untuk memecahkan masalah, sehingga konsep-konsep tersebut disajikan terlebih dahulu. Melalui pembelajaran berbasis masalah, pebelajar akan secara aktif mendefinisikan masalah, mencari berbagai alternatif pemecahan, dan melacak konsep, prinsip, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut.

Kerjasama atau kolaborasi merupakan salah satu ciri penting pembelajaran masa depan yang lebih banyak mengedepankan kemampuan individual, namun kemampuan ini kemudian disinergikan untuk menghasilkan produk, karena produk masa depan, apalagi produk komputer baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak yang kompleks, diperlukan pendekatan interdisipliner. Oleh karena itu produk masa depan adalah produk yang dihasilkan dari kegiatan kolaborasi. Keterampilan kolaborasi harus menjadi bagian penting dalam PBBL. Hal ini tentu berbeda dengan pembelajaran tatap muka konvensional yang semua pebelajar belajar di dalam kelas yang sama di bawah kontrol pengajar, dalam pembelajaran berbasis blended, maka pebelajar bekaerja secara mandiri dan berkolaborasi. Oleh karena itu, tagihan dalam pembelajaran ini akan berbeda dengan pembelajaran tatap muka.

Evaluasi PBBL tentunya akan sangat berbeda dibanding dengan evaluasi pembelajaran tatap muka. Evaluasi harus didasarkan pada proses dan hasil yang dapat dilakukan melalui penilaian evaluasi kinerja belajar pebelajar berdasarkan portofolio. Demikian pula penilaian perlu melibatkan bukan hanya otoritas pengajar, namun perlu ada penilaian diri oleh pebelajar, maupun penilai pebelajar lain.

Klasifikasi Blended Learning. Untuk memahami e-Learning beberapa ahli mengklasifikasi berdasarkan karakteristik. Pada umumnya pembelajaran e-Learning atau online adalah “asynchronous“, di mana pengajar/ guru/dosen/instruktur dan orang yang belajar siswa tidak bertemu di saat yang sama. Ranganathan, Negash, dan Wilcox, 2007) membagi empat jenis klasifikasi e-Learning, yaitu: (1) e-Learning tanpa kehadiran dan tanpa komunikasi; (2) e-Learning tanpa kehadiran tetapi dengan komunikasi; (3) e-Learning dikombinasikan dengan kehadiran sesekali; dan (4) e-Learning digunakan sebagai alat dalam mengajar di kelas .

Berdasarkan empat klasifikasi tersebut, kemudian dikembangkan menjadi enam jenis e-learning

(15)

yang disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 4. Klasifikasi e-learning sebagai konsep dasar Blended Learning.

Klasifikasi Presentasi Komunikasielektronik Sebutan Pembelajaran

Tipe I YA TIDAK Tatap Muka

Tipe II TIDAK TIDAK Belajar Mandiri

Tipe III TIDAK YA Tidak sinkron

Tipe IV YA YA Sinkron

Tipe V PILIHAN YA Blended/Hybrid-Tidak Sinkron

Tipe VI YA YA Blended/Hybrid-Sinkron

Tipe I: Pembelajaran tatap Muka. Pembelajaran dilakukan dengan adanya kehadiran fisik pengajar yang melakukan presentasi materi secara fisik tetapi tidak melakukan komunikasi

elektronik. Ini merupakan tipe kelas tatap muka di kelas secara tradisional. Pengajar atau instruktur dan orang yang belajar secara fisik hadir di kelas setiap saat penyajian materi pembelajaran.

Komunikasi antara pebelajar dan pengajar terjadi di kelas secara bersama-sama, dalam waktu dan tempat yang sama. Pembelajaran ini dimasukkan sebagai e-learning karena walaupun pembelajaran lebih didominasi oleh kegiatan tatap muka, namun sudah menggunakan media elektronik sebagai kegiatan penyampaian isi pembelajaran, misalnya melalui slide PowerPoint, klip video, dan multimedia untuk memberikan penjelasan dan contoh-contoh isi pembelajaran.

Tipe II: Pembelajaran Mandiri. Pembelajaran dilakukan tanpa presentasi dan kehadiran pengajar dan tanpa komunikasi elektronik, artinya pebelajar belajar sendiri. Pendekatan ini disebut sebagai belajar mandiri (self-learning). Pebelajar menerima isi/materi pembelajaran melalui belajar sendiri. Tidak ada orang yang membantu dalam format belajar mandiri, juga tidak ada komunikasi elektronik antara pebelajar dan pengajar/instruktur. Dalam format ini e-Learning pelajar biasanya menerima konten pra-rekaman atau mengakses arsip rekaman konten. Komunikasi antara pebelajar dan pengajar tidak dilakukan. Contoh pembelajaran tipe ini, isi disampaikan pada pebelajar menggunakan media rekaman seperti CD ROM atau DVD.

Tipe III: Pembelajaran Tidak Sinkron. Pembelajaran dilakukan tanpa kehadiran pengajar namun dilakukan degan komunikasi elektronik yang tidak sinkron (asynchronous). Yang dimaksud dengan tidak sinkron adalah komunikasi elektronik antara pengajar dan pebelajar tidak dilakuksan pada waktu dan tempat yang sama. Dalam format ini, pengajar dan pebelajar tidak secara bersama-sama bertemu dalam suatu ruang yang sama. Namun, pengajar dan pebelajar melakukan komunikasi yang dapat dilakukan melalui email dan pebelajar tidak perlu hadir secara fisik di kelas. Contoh jenis ini adalah pembelajaran e-Learning dengan menggunakan ruang kelas tradisional di mana pengajar dan pebelajar pada saat yang sama menggunakan email.

Tipe IV: Pembelajaran Sinkron. Pembelajaran dilakukan secara maya dan komunikasi elektronik yang sinkron (synchronous). Format ini disebut sinkron, karena pengajar dan pebelajar selalu hadir secara real-time, walau tidak ada kehadiran fisi. Teknologi yang digunakan untuk komunikasi sinkron mencakup semua teknologi yang digunakan dalam e-Learning asynchronous selain dilakukan real-time e-Learning, juga penggunaan instant messaging, chat, live audio, dan video langsung. Contoh tipe ini adalah sebuah kelas virtual dengan video audio, pengajar dan pebelajar bertatap muka melalui video, disertai dengan chatting.

(16)

Tipe V: Blended Learning Tidak Sinkron. Pembelajaran dilakukan dengan kehadiran pengajar sesekali dan komunikasi elektronik yang dikombinasi atau capuran (Blended/Hybrid-asynchronous). Ini adalah format e-Learning blended atau hybrid dengan kehadiran pengajar sesekali. Dalam format ini komunikasi elektronik digunakan dalam format asinkron dan sinkron. Kehadiran pengajar yang kadang-kadang, di mana beberapa pertemuan dilakukan dengan kehadiran fisik (yaitu tatap kelas-muka) dan pada pertemuan yang dilakukan tanpa kehadiran pengajar (asynchronous). Kehadiran fisik pengajar mirip dengan kelas tatap muka tradisional, di mana baik pengajar maupun pebelajar secara fisik hadir di kelas. Contoh tipe ini, isi pembelajaran disampaikan kadang-kadang melalui pertemuan tatap muka dan melalui teknologi e-Learning yang dilakukan secara tidak sinkron Tipe VI: Pembelajaran Blended Learning Sinkron. Pembelajaran dilakukan dengan kehadiran pengajar dan dengan komunikasi elektronik (Blended/Hybrid-sinkron). Dalam format ini komunikasi elektronik dikemas dalam format asinkron dan sinkron. Kehadiran pengajar dapat dilakukan

bergantian antara fisik dan virtual. Beberapa pertemuan kelas dilakukan dengan kehadiran fisik (dalam ruang kelas tradisional yaitu tatap muka langsung) dan pertemuan lainnya dilakukan secara maya (sinkron). Dalam format ini pebelajar dan pengajar selalu bertemu di saat yang sama, kadang-kadang secara fisik dan waktu lainnya melalui tatap muka maya. Contoh tipe ini adalah tempat pengajar dan pebelajar menggunakan kelas untuk beberapa waktu dan menggunakan live

audio/video untuk pertemuan maya. Pertemuan pada yang lain di kombinas tatap muka dan tidak tatap muka. Dalam Blended/ hibrida Learning, kehadiran fisik dan virtual dapat dikombinasi (dicampur) dengan format tidak sinkron dan sinkron.

Jumlah waktu tatap muka dapat sangat bervariasi dari program pembelajaran yang satu ke program lainnya. Beberapa kali melakukan pertemuan kelas tatap muka pertama dan terakhir dalam satu semester. Pembelajaran Blended dapat dilakukan dengan dua puluh lima persen melalui kehadiran pengajar dan tujuh puluh lima persen tanpa kehadiran. Ada juga yang melakukan pembelajaran dengan lima puluh persen tatap muka dan lima puluh persen melalui e-learning. Demikian pula, ada yang melakukan seratus persen kehadiran tatap muka dengan kombinasi kehadiran fisik dan maya. Meskipun tidak ada standar proporsi kehadiran tatap muka dan letidakkehadiran secara fisik, namun yang pasti dalam PBBL selalui mengkombinasi kegiatan tatap muka dan e-learning sebagai upaya untuk memfasilitasi terjadinya belajar (Ranganathan, Negash, dan Wilcox, 2007).

Taksonomi Model Blended Learning 1.

Dalam upaya mengembangkan model pembelajaran blended larning (BL), Innosight Institut (2012) mengidentifikasi model-model yang muncul, telah diidentifikasi lebih dari 80 program penerapan BL di pada sekolah-sekolah di Amerika. Selain itu, pada November 2011 sebanyak 100 ahli pendidikan mengadakan pertemuan selama pra-konferensi International Association for K-12 Online

Learning’s(iNACOL) Virtual School Symposium dengan menyimpulkan adanya taksonomi model BL. Ada empat model BL yang menjadi dasar kategorisasi mayoritas program BL yang saat ini sedang populer di sektor pendidikan dasar dan menengah disajikan sebagai berikut.

Berikut ini adalah definisi setiap model dan sub-model yang mengikutinya, serta satu contoh untuk setiap model.

Rotation Model – sebuah program dalam suatu mata pelajaran (misalnya, matematika) yang 1.

meminta siswa untuk berotasi dalam sebuah jadwal yang telah ditetapkan oleh guru di antara modalitas belajar, setidaknya salah satunya adalah pembelajaran daring. Modalitas lainnya bisa dalam bentuk pembelajaran grup kecil atau grup satu kelas, proyek kelompok, tutoring individu, serta tugas/ujian tertulis.

Station Rotation – sebuah model Rotation dalam suatu mata pelajaran (misalnya, 1.

matematika) yang meminta siswa untuk berotasi dalam sebuah jadwal yang telah

(17)

ditetapkan oleh guru di antara modalitas belajar berbasis kelas. Rotasi ini mencakup setidaknya satu stasiun untuk pembelajaran daring (online), sementara stasiun lainnya bisa dalam bentuk pembelajaran grup kecil atau grup satu kelas, proyek kelompok, tutoring individu, serta tugas/ujian tertulis. Beberapa bentuk penerapannya ialah dengan memindahkan seluruh siswa dalam satu kelas ke berbagai jenis aktivitas lain secara bersama-sama, sedangkan bentuk lainnya bisa dalam bentuk pembagian kelas menjadi kelompok-kelompok kecil atau rotasi satu per satu. Model Station Rotation ini berbeda dari model Individual Rotation sebab siswa berotasi melewati semua stasiun, tidak hanya beberapa stasiun saja menurut jadwal masing-masing stasiun. Contoh: KIPP LA

Empower Academy menyediakan setiap ruang kelas TK dengan 15 unit komputer. Dalam satu hari belajar, guru merotasi siswa-siswanya melewati pembelajaran daring,

pembelajaran kelompok kecil, dan penugasan individu. Gambar berikut menunjukkan salah satu stasiun rotasi di sekolah tersebut (masing-masing rotasi berbeda-beda di setiap mata pelajaran; gambar ini hanya menunjukkan satu contoh rotasi).

Lab Rotation – sebuah model Rotation dalam suatu mata pelajaran (misalnya, 2.

matematika) yang meminta siswa untuk berotasi dalam sebuah jadwal yang telah ditetapkan oleh guru di dalam lokasi yang terbatasi oleh dinding-dinding sekolah. Setidaknya salah satu di antara ruangan yang digunakan adalah Laboratorium Belajar yang memanfaatkan pembelajaran daring, sedang ruang kelas lainnya berfungsi sebagai modalitas belajar lainnya. Model Lab Rotation berbeda dengan Station Rotation sebab siswa diajak berotasi di dalam satu area sekolah, bukan hanya berotasi di satu ruang kelas untuk sebuah pembelajaran blended atau mata pelajaran tertentu. Contoh: Di Rocketship Education, siswa berotasi dari ruang kelasnya ke lab belajar setiap hari selama dua jam untuk memperdalam pembelajaran matematika mereka dan melanjutkan aktivitas membaca lewat pembelajaran daring.

Flipped Classroom – sebuah model Rotation dalam suatu mata pelajaran (misalnya, 2.

matematika) yang meminta siswa untuk berotasi dalam suatu jadwal tetap antara praktik (atau proyek) belajar tatap muka bersama guru di sekolah selama jam belajar standar dan

penyampaian isi dan materi belajar secara daring atas mata pelajaran yang sama dari suatu lokasi yang jauh (biasanya rumah) di luar jam sekolah. Media penyampaian isi dan materi belajar adalah secara daring yang membedakan Flipped Classroom dengan siswa yang mengerjakan tugas secara daring di malam hari. Model Flipped Classroom ini berkesusaian dengan ide dasar BL yang menyertakan elemen kendali siswa atas waktu, tempat, jalur, dan/atau kecepatan sebab model ini membolehkan siswa memilih sendiri lokasi penerimaan instruksi secara daring dan mengendalikan kecepatan belajar mereka dalam koridor elemen daring.Contoh: Di Stillwater Area Public Schools yang berlokasi di sepanjang sungai St. Croix di Minnesota, siswa kelas 4-6 di kelas matematika menggunakan alat yang tersambung dengan Internet setelah jam sekolah di lokasi yang mereka tentukan sendiri untuk menonton video pembelajaran asinkron berdurasi 10-15 menit, lalu menjawab beberapa pertanyaan lewat Moodle. Di sekolah, mereka mempraktikkan apa yang sudah dipelajari lewat video bersama gurunya secara tatap muka.

Individual Rotation – sebuah model Rotation dalam suatu mata pelajaran (misalnya,

3.

matematika) yang meminta siswa untuk berotasi dalam sebuah jadwal tetap yang disusun untuk masing-masing siswa di antara modalitas belajar, setidaknya salah satunya adalah pembelajaran daring. Sebuah algoritma atau guru menetapkan jadwal untuk masing-masing siswa. Model Individual Rotation berbeda dengan model rotasi lainnya sebab siswa tidak perlu berotasi ke setiap rotasi atau modalitas yang ada.

Contoh: Carpe Diem Collegiate High Schol and Middle School memberi setiap siswanya satu jadwal tetap yang akan merotasi mereka di antara pembelajaran daring di pusat pembelajaran dan pembelajaran offline. Setiap rotasi berdurasi 35 menit.

Model Flex – sebuah program yang memanfaatkan Internet sebagai media penyampai isi 4.

(18)

pembelajaran, sedangkan siswa bergerak menurut jadwal dinamis yang disusun oleh masing-masing individu di antara modalitas belajar, dan guru bersiap sedia di lokasi yang sama dengan siswa. Dalam hal ini, guru atau orang dewasa lainnya bersiap memberikan dukungan secara tatap muka kapanpun siswa membutuhkan bantuan melalui aktivitas seperti kelompok diskusi kecil, proyek kelompok, dan tutoring individu. Pada praktiknya, beberapa program memberikan layanan bantuan tatap muka dalam porsi besar, sedangkan lainnya tidak

memberikan banyak bantuan. Misalnya, beberapa model flex menyediakan guru tersertifikasi untuk memberikan layanan tatap muka yang membantu pembelajaran daring setiap harinya, sedangkan lainnya tidak banyak menyediakan bantuan secara tatap muka. Meski demikian, program lainnya memiliki kombinasi penyusunan staf yang berbeda-beda. Variasi-variasi ini menjadi suatu penanda khas yang akan menjelaskan setiap bentuk model Flex.Contoh: Di San Fransisco Flex Academy, penyedia layanan belajar daring, K-12, Inc., menyediakan kurikulum dan materi pembelajaran, sedangkan guru penyedia bantuan tatap muka menggunakan sebuah dashboard data untuk memberikan intervensi dan suplemen di setiap jam sekolah untuk mata pelajaran inti. Guru-guru yang berjaga di belakang layar (teachers-of-record) untuk mata pelajaran inti juga bertindak sebagai guru tatap muka. (Banyak di antara kelas mata pelajaran elektif (elective courses) yang memakai jasa para guru dari K12, Inc. yang bekerja hanya sebagai guru jaga (teachers-of-record) tanpa melayani pertemuan tatap muka. Kelas-kelas elektif ini tergolong model Self-Blend yang akan dibahas di bagian berikutnya dalam artikel ini.)12 Gambar 10 menunjukkan model yang diterapkan oleh San Fransisco Flex Academy.

Model Self-Blend – merujuk pada sebuah skenario yang membebaskan siswa untuk memilih 5.

satu kelas atau lebih yang diadakan secara daring sepenuhnya sebagai pelengkap kelas-kelas tradisional mereka dengan guru jaga yakni guru daring. Siswa bisa mengambil kelas-kelas daringnya di sekolah atau di luar sekolah. Model ini berbeda dengan pembelajaran daring utuh (full-time) dan model Enriched-Virtual (definisi di bagian berikutnya) sebab model ini tidak memberikan pengalaman belajar yang sepenuhnya kepada siswa. Siswa melakukan self-blend (mencampur model pembelajaran atas inisiatif sendiri) antara kelas-kelas daring di kampus dengan pembelajaran tatap muka bersama guru.Contoh: Quakertown Community School District (QCSD) di Pennsylvania memberi kesempatan kepada siswa di kelas 6-12 untuk mengambil satu kelas daring atau lebih. Sebelum mengambil kelas tersebut, seluruh siswa diharuskan mengikuti orientasi pembelajaran cyber. Kelas-kelas daring itu didesain asinkron dan siswa dapat melaksanakan pembelajarannya kapan pun selama jam pembelajaran. QCSD telah menyediakan “cyber lounges” yang menjadi tempat siswa untuk belajar secara daring di sekolah, tetapi mereka juga boleh menyelesaikan pekerjaannya di lokasi lain yang mereka inginkan. Guru jaga bertindak sebagai guru kelas daring, dan sebagian besar di antaranya juga mengajar di kelas secara tatap muka di QCSD.

Model Enriched-Virtual – sebuah pengalaman belajar di sekolah seutuhnya yang 6.

membolehkan siswa dalam suatu mata pelajaran (misalnya, matematika) untuk membagi waktunya antara mengikuti pembelajaran di sekolah dan belajar mandiri di suatu tempat terpisah dengan penyampaian isi dan materi secara daring. Sebagian besar model Enriched-Virtual bermula sebagai program pembelajaran daring seutuhnya, lalu berupaya

mengembangkan program BL untuk memberi siswa pengalaman belajar di sekolah. Model ini berbeda dengan model Flipped Classroom sebab dalam model ini siswa tidak banyak

mengikuti pembelajaran di sekolah setiap minggunya. Model ini juga berbeda dengan model Self-Blend sebab model ini memberikan pengalaman belajar di sekolah seutuhnya, bukan sekedar kelas-per-kelas. Contoh: Di Albuquerque eCADEMY, siswa kelas 8-12 bertatap muka dengan gurunya pada pertemuan pertama di sebuah ruangan kelas. Setelah itu, mereka bisa meneruskan aktivitas belajarnya di lokasi terpisah, jika mereka mau, selama mereka bisa tetap menjaga nilai rata-rata mata pelajaran di tingkat “C”.14 Gambar 12 menunjukkan model

Enriched-Virtualyang diterapkan di eCADEMY.

(19)

Studi yang telah dilaksanakan dan roadmap penelitian

Kegiatan penelitian pembelajaran dengan domain khusus pemecahan masalah ini sudah dilakukan oleh peneliti sejak tahun 1996 sampai sekarang. Puncak kegiatan yang secara intensif berkaitan dengan penelitian pembelajaran pemecahan masalah adalah penelitian disertasi untuk

menyelesaikan pendidikan doktor (S3). Penelitian berkaitan dengan PBBL baru peneliti lakukan mulai tahun 2011, mengingat konsep ini baru menjadi wacana di Indonesia, demikian pula bagi kalangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Demikian juga penulisan makalah pada berbagai seminar telah peneliti lakukan, baik di Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang maupun di perguruan tinggi lain. Tidak terkecuali dalam perkuliahan Landasan Pendidikan dan Pembelajaran pada berbagai program studi pada tingkat magister PBBL menjadi salah satu pokok bahasan. Berikut adalah judul-judul penelitian yang telah dilakukan peneliti berkaitan dengan topik penelitian ini sebagai berikut.

Kapabilitas pemecahan masalah matematika siswa sekolah dasar di Kodya Malang. Dana 1.

DIP IKIP Malang. Ketua. (1996)

Survey Model Strategi Pembelajaran pada Kelas/ Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Jawa 2.

Timur. Tahun Pertama. Penelitian Hibah Bersaing VII/1 Dirbinlitabmas, Ditjendikti. Ketua. (1998, 1999, 2000)

Kajian Teoretik Perilaku Mengajar, Sikap Guru di Kelas dan kapabilitas Pemecahan 3.

Masalah Siswa Sekolah Dasar. Penelitian Dasar dari Dirbinlitabmas Ditjendikti. Anggota kelompok. (1999).

Proses Pemecahan Masalah Soal Cerita siswa SD Kelas Tiga. Disertasi. (2001). 4.

Proses Pemecahan Masalah Soal Cerita Siswa Sekolah Dasar Kelas Tiga (Disertasi). Mandiri. 5.

(2001)

Pengembangan Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah Melalui Computer-Based 6.

Instruction Siswa Kelas Unggulan SD. Tahun Pertama. Penelitian Hibah Bersaing X/1 Dirbinlitabmas, Ditjendikti. Ketua. (2002, 2003, 2004)

Evaluasi Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat di Indonesia. Penelitian didanai oleh 7.

Balitbang dan Unesco. Anggota Peneliti. 2005.

Evaluasi Program Kemitraan Kepala Sekolah: Manajemen, Pembelajaran, dan Partisipasi 8.

Masyarakat. Direktorat Tenaga Kependidikan, Ditjen PMPTK. 2006.

Evaluasi Program Manajemen Berbasis Sekolah: Manajemen, Pembelajaran, Pemberdayaan 9.

Masyarakat. Badan Perencanaan nasional. 2006.

A Distance Learning Training Program on Future Problem Solving Skills for College 10.

Teacher, Directorate General of High Education Ministry of National Education (Anggota). 2007.

Pengembangan Model Pembelajaran Visioner untuk Meningkatkan Keterampilan 11.

Memecahkan masalah Masa Depan yang Kreatif dan Inovatif. Penelitian Hibah Kompetensi Angkatan I, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Tahun I (Ketua). 2008.

Pengembangan Model Pembelajaran Visioner untuk Meningkatkan Keterampilan 12.

Memecahkan masalah Masa Depan yang Kreatif dan Inovatif. Penelitian Hibah Kompetensi Angkatan I, Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Tahun 2 (Ketua). 2009.

Pengembangan Pembelajaran Berbasis Komputer “Sport Access Learning (SAL)” Untuk 13.

Memasyarakatkan IPTEK Olahraga. Penelitian ASDEP IPTEK Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Mandiri). 2010.

Pengembangan Pembelajaran Berbasis Blended Learning (PBBL) untuk meningkatkan 14.

Gambar

Tabel 4. Klasifikasi e-learning sebagai konsep dasar Blended Learning.
Tabel 3.1. Jumlah Subjek berdasarkan kota asal.

Referensi

Dokumen terkait

PT JAKARTA INTERNATIONAL HOTELS & DEVELOPMENT Tbk DAN ENTITAS ANAK Catatan atas Laporan Keuangan Konsolidasian Untuk Tahun-tahun yang Berakhir.. 31 Desember 2012

bahwa sehubungan dengan peningkatan kelas sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka untuk menyesuaikan kebutuhan dan beban kerja organisasi serta untuk memenuhi mutu

Pemanenan yang baik harus memperhatikan aspek mutu buah pada tandan buah segar (TBS) yang dipanen karena hal itu dapat dijadikan indikator untuk mengetahui

Dengan diperolehnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik rantai, beberapa spesifikasi komponen utama berhasil diidentifikasi seperti motor, rantai, sproket dan

Pengolahan citra ( Image Processing ) merupakan bidang yang bersifat multi-disiplin, yang terdiri dari teknik-teknik banyak aspek pengolahan citra, [7] salah

43 Dengan melihat kasus- kasus yang berhubungan dengan persembahan orang percaya kepada Tuhan, melalui pekerjaan Tuhan dalam hal ini gereja, maka penulis sangat

Meny impan Data Dealer Rek anan Terupdate Meny impan Data Kodepos Terupdate Meny impan Data Bad Debit Terupdate Meny impan Data J awaban Terupdate Meny impan Data Item Terupdate

Dalam penelitian ini, komposit sandwich dengan metode produksi vacuum infusion diharapkan dapat menjadi pilihan sebagai metode produksi pada material kapal, karena