SKRIPSI
PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
Oleh:
YOSI DHEMAS LARASATI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA
SKRIPSI
PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA
Oleh:
YOSI DHEMAS LARASATI NIM. 101111373
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA
PENGESAHAN
Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan diterima untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM.) pada tanggal 28 Juli 2015
Mengesahkan Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat
Dekan,
Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S. NIP 195603031987012001
Tim Penguji
1. Siti Rahayu Nadhiroh, S.KM., M.Kes. 2. Sho’im Hidayat, dr., M.S.
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM.)
Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga
Oleh :
YOSI DHEMAS LARASATI NIM 101111373
Surabaya, 7 Agustus 2015
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Departemen, Pembimbing,
SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Yosi Dhemas Larasati
NIM : 101111373
Program Studi : Kesehatan Masyarakat Fakultas : Kesehatan Masyarakat Jenjang : Sarjana (S1)
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi saya yang berjudul:
“PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA”
Apabila suatu saat nanti terbukti melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sanksi yang telah diterapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Surabaya, 14 Juli 2015
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA” sebagai salah satu persyaratan akademis dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Dalam skripsi ini dijabarkan tentang analisis pengaruh debu batubara terhadap kondisi faal paru pekerja di bagian boiler PT X. Berdasarkan hasil pengukuran faal paru dan hasil pengukuran kadar debu di bagian boiler serta dibandingkan dengan kondisi faal paru pekerja bagian lain yang tidak terpapar debu batubara, maka akan dapat diketahui seberapa besar potensi paparan debu batubara tersebut untuk menimbulkan risiko gangguan faal paru pada pekerja.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sho’im Hidayat, dr., M.S., selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, koreksi, dan saran serta memberikan waktunya untuk berdiskusi melalui pertemuan langsung hingga terwujudnya skripsi ini.
Terima kasih penulis sampaikan pula kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
2. Mulyono, S.KM., M.Kes., selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 3. Ibu, Bapak, Mas Bimo, dan nenek yang selalu memberikan doa, dukungan,
dan semangat kepada penulis.
4. Jajaran direksi PT X yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di PT X.
5. EHFS Team PT X Surabaya, yaitu Bapak Arifin, Pak Intaha, Mas Dedy, Mas Ardi, Pak Parno, Pak Choirudin, Pak Kosim, Mas Sihab, Mas Dany, Pak Ali, dan Pak Yanto yang telah memberikan arahan dan bantuan selama penelitian. 6. Bapak Benny dan Bapak Muslikan serta seluruh responden yang terhormat,
terimakasih atas waktu dan kesediaan membantu penelitian ini.
7. Ibu Diah dan Ibu Mahmudah yang dengan sabar memberikan bimbingan statistik.
8. Sahabat RAS (Risnia, Fara, Marta, Windy, Denov, Santi, Olin, Oma Ifa, Zia, dan Fenty), Rezza, Marcel, dan Dewi, Adyra, Azzah, Budi, Kirwan, Laila, Tutus, dan Clairine yang selalu membantu dan menemani di segala situasi. 9. Teman-teman seangkatan 2011 FKM UA.
Semoga Allah SWT. memberikan kebaikan atas segala amal yang telah diberikan dan semoga skripsi ini berguna baik bagi diri kami sendiri maupun pihak lain yang memanfaatkan.
ABSTRACT
Coal dust can cause impaired lung function and even pneumoconiosis which led to irreversible lung damage. PT X is one of the industries that use coal as the fuel for its boiler. Boiler unit’s workers have the risk of impaired lung function because of the long-term inhalation of coal dust. The objective of this study was to analyze the effect of coal dust exposure to the worker’s lung function.
This was a desciptive study with cross sectional design. Data was collected by giving questionnaires, dust levels measurement, and the lung function test. The population of this study were 11 workers at boiler unit and 11 workers at packaging warehouse office. Data was analyzed by multiple linear regression to determine the most dominant variable.
The boiler unit’s workers had three times greater risk than packaging warehouse office’s workers to experience impaired lung function. But, the coal dust effect to that damage might be low. The average of the coal dust level at boiler unit was 0,4174 mg/m3. The multiple linear regression showed the most dominant factor that affected to the %FEV1value of boiler unit’s workers was the cigarette dose (β=
-0,522) and the exercise habits (β= -0,779) for %FVC value. Besides, the most dominant factor that affected to the %FEV1 value of packaging warehouse’s workers was age (β= -0,515) and duration of employment (β= 0,595) for %FVC value.
The boiler unit’s workers had three times greater risk than packaging warehouse office’s workers to experience impaired lung function even though the effect of coal dust exposure estimated was low. Workers at boiler unit that have impaired lung function must be rotated to another workplace where there is no coal dust exposure and highly recommended that they have to stop smoking.
ABSTRAK
Batubara adalah bahan bakar fosil yang berpotensi menghasilkan debu batubara yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru hingga penyakit pneumokoniosis. PT X merupakan salah satu industri di Surabaya yang menggunakan mesin boiler berbahan batubara sehingga pekerja di bagian tersebut yang menginhalasi debu batubara dalam waktu lama berisiko mengalami gangguan faal paru. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh paparan debu batubara terhadap status faal paru pekerja di PT X.
Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif dengan rancang bangun
cross sectional. Data penelitian ini didapatkan dengan memberikan kuisioner, pengukuran kadar debu di bagian boiler PT X, serta tes faal paru. Populasi penelitian ini adalah 11 pekerja bagian boiler dan 11 pekerja bagian kantor
packaging warehouse. Data dianalisis menggunakan regresi linier dengan membaca nilai koefisien regresi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja bagian boiler tiga kali lebih berisiko mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja bagian kantor
packaging warehouse. Namun, pengaruh paparan debu batubara terhadap gangguan faal paru tersebut diperkirakan kecil. Kadar debu rata-rata di bagian boiler adalah 0,4174 mg/m3. Hasil analisis regresi linier menunjukkan faktor yang paling dominan mempengaruhi status faal paru responden bagian boiler adalah dosis rokok untuk %FEV1 (β= -0,522) dan kebiasaan olahraga untuk %FVC (β= -0,779).
Sedangkan, pada responden bagian kantor packaging warehouse yang paling dominan mempengaruhi nilai %FEV1adalah usia (β= -0,515) dan masa kerja untuk
nilai %FVC (β= 0,595).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pekerja di bagian boiler berisiko tiga kali lebih besar untuk mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja di bagian kantor packaging warehouse meskipun pengaruh debu batubara terhadap gangguan tersebut kemungkinannya rendah. Pihak manajemen PT X harus memindahkan pekerja bagian boiler yang mengalami gangguan faal paru ke lokasi kerja lain yang tidak terdapat paparan debu dan menyarankan pekerja di bagian boiler untuk berhenti merokok.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 6
1.3 Rumusan Masalah 8
2.1.4 Dampak Paparan Debu terhadap Saluran Pernapasan 12
2.2 Batubara 16
2.2.1 Pengertian Batubara 16
2.2.2 Jenis-jenis Batubara 17
2.2.3 Karakteristik Batubara 18
2.2.4 Nilai Ambang Batas Debu Batubara 20
2.2.5 Penyakit Paru Kerja Akibat Debu Batubara 21
2.3 Anatomi dan Fisiologi Pernapasan Manusia 23
2.3.1 Anatomi Pernapasan Manusia 23
2.3.2 Fisiologi Pernapasan Manusia 27
2.3.3 Patofisiologi 29
2.4 Pemeriksaan Faal Paru 30
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Paru 34
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 40
BAB IV METODE PENELITIAN 42
4.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian 42
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian . 42
4.4 Variabel, Definisi Operasional, dan Cara Pengukuran 43
4.5 Teknik dan Instrumen pengumpulan data 46
4.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 51
4.6.1 Teknik Pengolahan Data 51
4.6.2 Teknik Analisis Data 52
BAB V HASIL PENELITIAN 53
5.1 Gambaran Umum PT X 53
5.1.1 Profil PT X 53
5.1.2 Kegiatan di Bagian Boiler dan Packaging WH PT X 54 5.2 Gambaran dan Perbedaan Karakteristik Responden 55
5.2.1 Usia Responden 56
5.2.2 Masa Kerja Responden 57
5.2.3 Status Gizi Responden 58
5.2.4 Kebiasaan Merokok Responden 59
5.2.5 Kebiasaan Olahraga Responden 60
5.3 Hasil Pengukuran Kadar Debu Batubara 61
5.4 Gambaran Status Faal Paru Responden 63
5.5 Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Nilai %FEV1
dan %FVC Responden di PT X 64
BAB VI PEMBAHASAN 68
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 78
7.1 Kesimpulan 78
7.2 Saran 78
DAFTAR PUSTAKA 80
DAFTAR TABEL
Nomor Judul tabel Halaman
2.1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Faal Paru Berdasarkan Balai UPTK3 Surabaya
33
4.1 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran 43
5.1 Distribusi Usia Responden di PT X Tahun 2015 56
5.2 Gambaran Perbedaan Statistik Usia Responden di PT X Tahun 2015
56
5.3 Distribusi Masa Kerja Responden di PT X Tahun 2015 57 5.4 Gambaran Perbedaan Statistik Masa Kerja Responden di PT
X Tahun 2015
57
5.5 Distribusi Status Gizi Responden di PT X Tahun 2015 58 5.6 Gambaran Perbedaan Statistik IMT Responden di PT X
Tahun 2015
59
5.7 Distribusi Kebiasaan Merokok Berdasarkan Status Perokok Responden di PT X Tahun 2015
59
5.8 Distribusi Kebiasaan Merokok Berdasarkan Dosis Rokok Responden di PT X Tahun 2015
60
5.9 Distribusi Kebiasaan Olahraga Responden di PT X Tahun 2015
61
5.10 Hasil Pengukuran Kadar Debu di Area Boiler Batubara PT X Tahun 2015
61
5.11 Frekuensi Keluhan Subjektif Responden di PT X Tahun 2015
62
5.12 Distribusi Status Faal Paru Responden di PT X Tahun 2015 63 5.13 Gambaran Perbedaan Statistik % FEV1 dan %FVC
Responden PT X Tahun 2015
64
5.14 Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Nilai %FEV1
dan %FVC pada Kelompok Terpapar dan Tidak Terpapar Debu Batubara di PT X, Tahun 2015
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Gambar Halaman
2.1 Kurva aliran volume pada berbagai kondisi: O, kelainan
obstruktif; R(P), kelainan restriktif parenkimial; R(E) kelainan 34 restriktif ekstraparenkimal dengan keterbatasan pada
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Lampiran Halaman
1 Surat Izin Penelitian dari FKM Universitas Airlangga 84
2 Surat Izin Penelitian dari PT X 84
3 Sertifikat Laik Etik 85
4 Lembar Penjelasan Sebelum Penelitian 86
5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian 89
6 Kuisioner Penelitian 90
7 Hasil Pengukuran Kadar Debu di Bagian Boiler 93
8 Hasil Pemeriksaan Faal Paru 94
9 Output SPSS 96
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
ACGIH = American Conference of Governmental Industrial Hygienist
APP = Alat Pelindung Pernapasan
CDC = Centers for Disease Control and prevention FEV1 = Forced Expiration Volume 1 second
FVC = Forced Vital Capacity
VC = Vital capacity
TLC = Total Lung Capacity
VT = Volume Tidal
ERV = Expiration Residual Volume
IRV = Inspiration Residual Volume
RV = Residual Volume
IC = Inspiratory Capacity
FRV = Functional Residual Volume
NAB = Nilai Ambang Batas
MVV = Maximal Voluntary Ventilation ILO = International Labour Organization
IMT = Indeks Masa Tubuh
NIOSH = National Institute of Occupational Safety and Health SCBA = Self-Contained Breathing Apparatus
SNI = Standar Nasional Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Batubara adalah material mudah terbakar berwarna coklat sampai
kehitaman yang terbentuk dari pembusukan tumbuh-tumbuhan dan tertimbun
bebatuan selama jutaan tahun. Batubara merupakan bahan bakar fosil yang
jumlahnya paling melimpah sehingga sering digunakan sebagai bahan bakar
mesin ketel uap (boiler) di industri. Penggunaan batubara sebagai bahan bakar
tersebut menghasilkan debu yang menjadi salah satu sumber polutan udara di
kawasan industri. Paparan debu batubara setiap hari dalam waktu lama dapat
menimbulkan penyakit akibat kerja berupa gangguan saluran pernapasan hingga
penyakit pneumokoniosis (Government of Alberta, 2010).
Beberapa negara di dunia telah menetapkan NAB untuk debu batubara.
Angkanya bervariasi, US menetapkan 2 mg/m3, di Turki 5 mg/m3, dan di United
Kingdom 7 mg/m3. Sementara itu, ACGIH menetapkan NAB yang berbeda untuk
batubara sesuai jenisnya, yaitu 0,4 mg/m3 untuk jenis anthracit dan 0,9 mg/m3
jenis bituminous. Standar internasional menganut ketetapan 2 mg/m3 sebagai NAB
debu batubara (Onder dkk, 2009). Semua ketetapan tersebut lebih rendah
dibanding dengan ketetapan NAB debu umum karena debu batubara lebih
berbahaya dibandingkan debu secara umum. Peraturan SNI 19-0232-2005 tentang
NAB zat kimia di udara tempat kerja juga menyebutkan NAB untuk debu
mengacu pada NAB debu secara umum yang tercantum dalam Permenakertrans
Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang NAB faktor fisika dan kimia di tempat
kerja, yaitu 10 mg/m3, untuk area boilernya yang menggunakan batubara. Hal itu
membuat kemungkinan kadar paparan debu batubara di berbagai tempat kerja di
Indonesia lebih tinggi dari 2 mg/m3 sehingga peluang terjadinya gangguan saluran
pernapasan terhadap pekerjanya lebih tinggi.
Gangguan saluran pernapasan yang dialami oleh pekerja yang terpapar
debu batubara secara berulang dalam waktu lama dapat berupa obstruksi, restriksi,
maupun campuran keduanya. Obstruksi merupakan efek nonspesifik dari paparan
debu batubara karena obstruksi dapat pula terjadi karena paparan selain debu
batubara. Obstruksi dapat terjadi jika debu yang terhirup menumpuk di jaringan
epitel saluran pernapasan dan menyebabkan inflamasi. Akibat inflamasi tersebut
saluran pernapasan menyempit sehingga aliran udara terhambat. Debu batubara
bersifat fibrogenik dapat menimbulkan efek spesifik berupa fibrosis jaringan
interstisial paru, yaitu pembentukan jaringan ikat fibrosa yang dapat menurunkan
elastisitas alveolus. Penurunan elasititas alveolus ini membuat volume udara yang
ditampung alveolus berkurang sehingga terjadi restriksi paru (Suyono, 1995).
Restriksi paru merupakan salah satu indikasi terjadinya penyakit
pneumokoniosis. Debu asbes, silika, dan batubara merupakan penyebab utama
pneumokoniosis. Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja kronis
yang disebabkan oleh inhalasi debu batubara dalam waktu lama, dimana memicu
terjadinya inflamasi alveolus dan akhirnya menghasilkan kerusakan paru (CDC,
workers’ pneumokoniosis atau antrakosis. Prevalensi antrakosis diperkirakan akan
meningkat seiring dengan terus meluasnya area pertambangan batubara dan
perkembangan industri. Pada debu batubara sering terdapat pula debu silika
sehingga risiko terjadinya pneumokoniosis menjadi lebih besar. Fibrosis pada
antrakosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berhenti
progresivitasnya meskipun paparan debunya sudah dihilangkan sehingga sering
berujung pada kematian akibat kegagalan fungsi paru (Susanto, 2011).
Pemeriksaan untuk diagnosis antrakosis umumnya mahal dan rumit
sehingga jarang industri yang memfasilitasi pemeriksaan tersebut untuk
pekerjanya yang terpapar batubara. Hal itu membuat jumlah kasus antrakosis di
Indonesia tidak diketahui secara pasti. Terdapat tiga cara diagnosis, yaitu
pemeriksaan faal paru, analisis debu penyebab, dan pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan faal paru merupakan cara diagnosis yang paling sering dilakukan
dibandingkan yang lainnya karena lebih murah dan mudah (Susanto, 2011).
Analisis debu penyebab dilakukan untuk melihat debu mineral atau produk
metabolismenya yang terdapat dalam makrofag. Pemeriksaan radiologi dengan
foto toraks dan CT scan untuk melihat gambaran fibrosis yang terjadi dan ada
tidaknya opasitas halus pada zona paru atas yang merupakan ciri dari antrakosis.
Pemeriksaan faal paru dilakukan dengan menggunakan spirometri. Spirometri
dapat menunjukkan kapasitas volume paru seseorang sehingga dapat mendeteksi
obstruksi, restriksi, maupun campuran keduanya. Antrakosis berhubungan dengan
spirometri ini tidak dapat memberikan kepastian bahwa gangguan faal paru yang
terjadi merupakan akibat dari paparan debu batubara atau bukan (Susanto, 2011).
Data tentang prevalensi antrakosis bervariasi di tiap negara di dunia. Hasil
penelitian di Amerika menunjukkan adanya peningkatan prevalensi kematian
akibat antrakosis pada pekerja tambang batubara, yaitu 471 kasus pada tahun 2008
menjadi 486 kasus pada tahun 2010 (CDC, 2014). Usia pekerja yang terkena
antrakosis berat relatif masih muda, yaitu dibawah 50 tahun (NIOSH, 2011). Di
China, kasus antrakosis sebesar 48% dari total kasus pneumokoniosis (Liu dkk,
2009). Di Australia, terdapat lebih dari 1000 kasus pneumokoniosis dimana
6%-nya merupakan pneumokoniosis batubara (Smith dan Leggat, 2006).
Di Indonesia, data nasional tentang prevalensi antrakosis masih belum ada.
Data yang ada masih terbatas pada penelitian-penelitian berskala lokal pada
berbagai industri yang berisiko terjadi gangguan saluran pernapasan akibat
batubara. Prevalensi gangguan saluran pernapasan pada pekerja suatu tambang
batubara, yaitu 6% obstruksi dan 7,8% restriksi (Razi dkk, 2008). Sebesar 54,9%
pekerja yang berada di bagian coal handling PT PJB unit pembangkit Paiton
mengalami gangguan faal paru restriktif (Puspita, 2011). Hasil penelitian lain
pada pekerja boiler batubara di PT Indo Aciditama Tbk. sebanyak 25%
mengalami restriksi ringan, 65% mengalami restriksi sedang, dan 10% lainnya
normal (Asna, 2013). Semua hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat
pekerja yang mengalami restriksi paru dan berhubungan dengan paparan debu
batubara. Hal tersebut tidak dapat diabaikan bahwa kemungkinan pekerja tersebut
Mengingat bahwa gangguan faal paru akibat inhalasi debu batubara
bersifat irreversible dan dapat berujung fatal, maka mencegah terjadinya paparan
terhadap debu batubara merupakan hal terpenting. Pencegahan dapat dilakukan
dengan melakukan penyemprotan air di area penyimpanan batubara, pengaturan
ventilasi yang bagus, serta regulasi penggunaan alat pelindung pernapasan. Selain
itu juga harus ada program surveilens kesehatan melalui pemeriksaan faal paru
pekerja yang berfungsi untuk diagnosis dini sebagai langkah pencegahan
selanjutnya. Diagnosis dini bermanfaat agar gangguan faal paru yang terdeteksi
segera mendapatkan perawatan untuk mencegah atau memperlambat progesivitas
fibrosis parunya. (Fiswick, 2008).
Telah lama diketahui bahwa pekerja yang bekerja di area berdebu seperti
pengolahan batubara lebih mungkin megalami gangguan faal paru dibandingkan
pekerja di area lain (Jones dkk, 2002). PT X merupakan salah satu industri yang
mempunyai dua buah boiler berbahan bakar batubara yang beroperasi penuh
selama 24/hari. Sebesar 11 orang pekerja boiler PT X yang terbagi ke dalam tiga
shift kerja setiap harinya terpapar langsung debu batubara ketika
loading-unloading batubara, crusher, pemasukan batubara ke dump hopper, dan
pembersihan stop plant boiler. Pekerja di bagian boiler tersebut tidak semuanya
patuh menggunakan respirator secara rutin saat bekerja sehingga risiko
mengalami gangguan faal paru lebih tinggi. Namun, tidak menutup kemungkinan
pekerja di bagian lain yang tidak terpapar debu batubara langsung juga mengalami
gangguan faal paru. Hal tersebut karena kondisi faal paru seseorang dipengaruhi
individu terdiri dari umur, ukuran tubuh, masa kerja, kebiasaan merokok, dan
kebiasaan olahraga (Harrington, J.M dan Gill, 2005).
Pada masa anak-anak hingga usia 24 tahun paru manusia masih
berkembang seiring pertambahan usia. Namun, pada usia 30 tahun biasanya
fungsi paru sudah mulai menurun secara gradual sekitar 20 ml tiap tahunnya
(Guyton, 1997). Merokok dapat mengakibatkan hipertrofi sel mukosa dan
bertambahnya kelenjar mukus sehingga terjadi obstruksi saluran pernapasan.
Orang yang merokok dengan dosis ≥ 20 batang perhari berisiko enam kali lipat
terkena bronkitis kronis dibandingkan bukan perokok (Menezes dkk, 1994).
Interpretasi hasil pemeriksaan fungsi paru pekerja harus mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut untuk menentukan gangguan fungsi paru yang terjadi
disebabkan oleh paparan debu batubara atau bukan.
1.2 Identifikasi Masalah
PT X adalah industri manufaktur dan agribisnis yang memproduksi
minyak goreng dan margarin dari crude palm oil (CPO). PT X menggunakan dua
buah boiler dengan bahan bakar batubara untuk menghasilkan uap panas bagi
mesin produksi di refinery 1, refinery 2 dan refinery 3. Sebanyak 11 orang pekerja
di bagian boiler yang terbagi ke dalam 3 shift, mempunyai risiko lebih besar untuk
mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja di PT X pada bagian lain
karena setiap hari terpapar debu batubara langsung pada saat melakukan
loading-unloading batubara, crusher, pemasukan batubara ke dump hopper, dan
Data dari laporan hasil pengukuran debu semester II tahun 2014 PT X
menunjukkan konsentrasi debu dan partikulat di area boiler batubara < 0,001 mg/
m3, di cerobong batubara 210 mg/Nm3, dan pada gudang penyimpanan batubara
0,033 mg/Nm3. Meskipun kadar debu yang terukur masih di bawah NAB, namun
tidak menutup kemungkinan bahwa pekerja dibagian boiler yang bertahun-tahun
terpapar debu batubara mengalami gangguan faal paru. Gangguan faal paru
diawali dengan adanya gejala gangguan sistem pernapasan. Kemungkinan pekerja
bagian boiler mengalami gangguan faal paru tersebut diperkuat oleh data hasil
monitoring kesehatan rutin maupun data kunjungan karyawan ke poliklinik
perusahaan selama Maret 2014 - Maret 2015 yang menunjukkan bahwa keluhan
penyakit tertinggi pekerja adalah ISPA. Menurut Suma’mur (2011), gejala pada
gangguan faal paru atau pneumokoniosis antara lain batuk kering, sesak napas,
banyak dahak, dan kelelahan umum dimana gejala tersebut mirip dengan ISPA.
Selama ini belum ada data mengenai pemeriksaan kesehatan khusus
terhadap faaal paru pekerja bagian boiler PT X. Berdasarkan Permenaker Trans
No. Per.02/MEN/1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam
penyelenggaraan keselamatan kerja, terdapat kewajiban melakukan pemeriksaan
kesehatan khusus yang dimaksudkan untuk menilai adanya pengaruh dari
pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja tertentu. Pemeriksaan kesehatan khusus
tersebut dapat dilakukan pada tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu
mengenai gangguan kesehatannya.
Selain karena paparan debu batubara, gangguan faal paru pekerja juga
paparan, status gizi, kebiasaan merokok, kebiasaan penggunaan alat pelindung
pernapasan, kebiasaan olah raga, dan riwayat penyakit saluran pernapasan. Oleh
karena itu, sebagai pembanding kondisi faal paru pekerja bagian boiler yang
terpapar langsung debu batubara diperlukan pemeriksaan terhadap kondisi faal
paru pekerja lain yang tidak terpapar langsung oleh debu batubara, yaitu pekerja
bagian kantor packaging warehouse, sehingga dapat terlihat risiko relatif
gangguan faal paru pada pekerja bagian boiler dibandingkan dengan pekerja di
bagian lain.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahannya yaitu “Apakah terdapat pengaruh paparan debu
batubara terhadap status faal paru pada pekerja di PT X Surabaya?”.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
pengaruh paparan debu batubara terhadap status faal paru pekerja di PT X
Surabaya.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus pada penelitian ini, antara lain:
1. Mengidentifikasi perbedaan karakteristik pekerja (umur, masa kerja, status
gizi, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga) bagian boiler dan bagian
2. Mengidentifikasi konsentrasi paparan debu di bagian boiler dan bagian
packaging warehouse PT X.
3. Mengidentifikasi gambaran faal paru pekerja di bagian boiler dan bagian
packaging warehouse PT X.
4. Menganalisis pengaruh paparan debu batubara, umur, masa kerja, status
gizi, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga terhadap status faal paru
pekerja di bagian boiler dan bagian packaging warehouse PT X.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak, antara lain:
1. Bagi perusahaan
Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai kondisi faal paru
perkerja yang terpapar debu batubara dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kondisi faal paru tersebut sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk program kesehatan terkait faal paru pekerja.
2. Bagi penulis
Melatih kemampuan dalam menganalisis permasalahan kesehatan dan
keselamatan kerja serta menambah wawasan peneliti tentang pengaruh
paparan debu batubara terhadap kondisi faal paru pekerja.
3. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi tambahan bagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Debu
2.1.1 Pengertian Debu
Debu adalah partikel zat kimia padat yang terbentuk akibat adanya
kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, penghalusan,
pengepakan secara cepat, peledakan dan sejenisnya dari suatu benda organis
maupun anorganis, misalnya batubara, kayu, bijih logam, kapur, dan batu. Sifat
debu tersebut adalah tidak berflokulasi (tidak menggumpal) kecuali jika ada gaya
tarikan elektris, tidak berdifusi, dan dapat mengendap akibat adanya gaya
gravitasi bumi (Suma’mur, 2011). Menurut definisi IUPAC (1990), selain karena
aktifitas mekanis manusia, debu dapat tersebar di udara karena adanya kekuatan
alam seperti angin dan letusan gunung berapi. Partikel debu tersebut biasanya
berdiameter antara 1 – 100 µm.
Lewis (1998) mendefinisikan debu berdasarkan ukuran dan sifatnya yaitu
partikel kering yang halus atau bubuk yang ringan sehingga dapat
melayang-layang di udara dalam beberapa waktu. Partikel debu berdiameter < 10 µm dan
mempunyai sifat toksik dapat berbahaya jika terhirup dalam saluran pernapasan.
Sedangkan dalam ilmu pencemaran udara, debu difinisikan sebagai partikel yang
paling berpengaruh besar terhadap pencemaran udara. Sifat kimia dan sifat fisik
2.1.2 Jenis-jenis Debu
Menurut Mengkidi (2006), jenis debu dapat dikelompokkan berdasarkan akibat fisiologisnya terhadap manusia atau tenaga kerja yang terpapar debu sesuai
tingkat bahayanya, antara lain:
1) Debu fibrogenik, yaitu debu yang dapat menyebabkan fibrosis pada sistem
pernapasan. Contohnya adalah debu silika, debu asbes, timah putih, dan
batubara.
2) Debu karsinogenik, yaitu debu yang dapat merangsang terbentuknya sel
kanker. Contohnya debu hasil peluruhan radon, arsenik, dan asbes.
3) Debu-debu yang mempunyai sifat toksik terhadap organ atau jaringan
tubuh. Contohnya debu mercury, uranium, radium, torium, mangan,
timbal, arsen, selenium, nikel, dan perak.
4) Debu radioaktif, yaitu debu yang mempunyai radiasi alfa dan beta.
Contohnya bijih-bijih torium, uranium, dan radium.
5) Debu eksplosif, yaitu debu yang mudah meledak pada suhu atau kondisi
teertentu. Contohnya debu metal. Batubara, bijih sulfida, dan debu
organik.
6) debu inert (nuisance dust), yaitu debu yang mengandung < 1% kuarsa.
Debu jenis ini dapat mengganggu kenyamanan dalam bekerja,
menimbulkan iritasi pada kulit dan selaput lendir, serta dapat mengganggu
pandangan mata. Kandungan kuarsanya yang rendah membuat debu jenis
ini tidak dapat menyebabkan fibrosis paru. Contoh nuisance dust adalah
7) Respirable dust, yaitu partikel debu berukuran < 10 mikron yang dapat
masuk ke dalm hidung hingga ke dalam paru bagian dalam.
8) Inhalable dust atau irrespirable dust, yaitu debu yang tidak dapat masuk
ke saluran pernapasan manusia bagian dalam karena ukurannya > 10
mikron. Debu jenis ini akan tertahan di hidung.
2.1.3 Sifat-sifat Debu
Debu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Pudjiastuti, 2002):
1) Dapat mengendap, yaitu debu mengendap ke permukaan tanah atau benda
karena adanya gaya gravitasi bumi. Namun, untuk debu yang berukuran
relatif sangat kecil cenderung tetap melayang di udara.
2) Permukaannya basah, yaitu permukaan debu dilapisi oleh air yang sangat
tipis. Hal ini berhubungan dengan sifat debu lainnya yaitu dapat
menggumpal.
3) Dapat menggumpal, yaitu cenderung menempel satu sama lain bila
kelembaban udara di atas titik saturasi dan adanya turbulensi di udara.
4) Mempunyai listrik statis, yaitu sifat listrik yang dapat menarik partikel lain
yang berlawanan. Hal tersebut juga mempermudah debu untuk
menggumpal.
5) Bersifat opsis, yaitu partikel yang basah/lembab dapat memancarkan sinar
yang dapat terlihat dalam ruangan gelap.
2.1.4 Dampak Paparan Debu terhadap Saluran Pernapasan
Paparan debu yang terinhalasi dan terdeposit di saluran pernapasan dalam
debu untuk menimbulkan gangguan terhadap saluran pernapasan tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
1) Solubility
Solubility adalah kemampuan kelarutan debu dalam air. Kelarutan dalam
air ini berpengaruh terhadap lokasi terdepositnya debu tersebut. Debu yang
mudah larut dalam air (soluble) akan terabsorbsi dari seluruh jalur
pernapasan dan langsung masuk ke pembuluh darah kapiler alveoli.
Sedangkan debu insoluble yang berukuran kecil dapat terdeposit di
berbagai tempat. Debu insoluble dapat menembus alveoli lalu masuk ke
saluran limfa atau ruang peribronkhial. Kemungkinan lain adalah debu
insoluble tersebut ditelan oleh sel fagosit. Sel fagosit tersebut kemudian
masuk ke dalam saluran limfa, atau ke ruang peribronkhial melalui
dinding alveoli, atau ke bronkhioli, dimana selanjutnya oleh
rambut-rambut getar (cillia) dipindahkan ke saluran pernapasan atas (Suma’mur,
2011).
2) Jenis debu
Jenis debu merupakan determinan utama terhadap bentuk gangguan
saluran pernapasan yang timbul.
3) Konsentrasi debu
Semakin tinggi konsentrasi debu yang terinhalasi ke dalam saluran
pernapasan maka semakin banyak debu yang terdeposit di sana. Maka,
efek potensial terhadap terjadinya gangguan semakin tinggi dan semakin
4) Ukuran partikel debu
Ukuran partikel debu menentukan lokasi terdepositnya debu di dalam
saluran pernapasan dimana lokasi terdepositnya debu tersebut menentukan
bentuk gangguan terhadap saluran pernapasannya. Debu berukuran 5-10
mikron akan tertahan di saluran pernapasan bagian atas, ukuran 3-5
mikron akan berada di saluran napas tengah (trakea dan bronkhiolus),
ukuran 1-3 mikron akan mengendap di permukaan alveoli, sedangkan
yang berukuran di bawah 0,1 mikron akan melayang atau bergerak keluar
masuk alveoli karena tidak mengalami pengendapan. Semakin kecil
ukuran partikel debu maka dampak gangguan yang timbul akan semakin
berbahaya (Suma’mur, 2011).
5) Durasi paparan
Pada umumnya, dampak gangguan saluran pernapasan akibat debu akan
nampak setelah paparan dalam waktu bertahun-tahun. Semakin lama
paparan, dosis paparan debu yang diterima juga akan meningkat sehingga
dampak gangguan saluran pernapasan semakin parah.
Debu yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dibedakan menjadi
dua macam, yaitu debu kerja yang bersifat fibrogenik (dapat menyebabkan
fibrosis jaringan) dan debu kerja nonfibrogenik. Contoh dari debu kerja yang
mempunyai sifat fibrogenik adalah silika, asbes, dan batubara. Pekerja yang
menghirup debu kerja fibrogenik dapat berpotensi menghasilkan lebih banyak
jaringan ikat paru. Sedangkan akumulasi debu nonfibrogenik biasanya hanya
jaringan ikat, dan efek yang umum adalah iritasi. Debu nonfibrogenik disebut juga
debu inert, contohnya adalah debu kaolin, titanium doiksida, barium sulfat, dan
ferroksida (Harrianto, 2010).
Debu mineral yang bersifat fibrogenik dapat menyebabkan kerusakan paru
sehingga dapat mengakibatkan kematian karena kegagalan napas. Mekanisme
terjadinya kerusakan paru pada pneumokoniosis diawali dengan terjadinya
penimbunan debu berukuran 1 - 3 mikron di alveoli. Adanya endapan debu
tersebut menimbulkan reaksi jaringan berupa perubahan struktur permanen
alveoli, pembentukan kolagen mulai sedang sampai maksimal, serta terbentuknya
jaringan parut permanen dalam paru. Ketika terbentuk nodul-nodul jaringan
kolagen, nodul-nodul tersebut melingkar mengelilingi debu, menarik pembuluh
darah, limfa, dan saluran napas kecil yang ada di sekitarnya sehingga
menyebabkan terjadinya keadaan iskemik paru dan merangsang pembentukan
jaringan parut sekunder. Pembentukan jaringan parut tersebut menurunkan
elastisitas paru untuk mengembang dan mengempis sehingga volume udara yang
ditampung alveolus menurun dan terjadilah restriksi paru (Suma’mur, 2011).
Dampak paparan debu berupa iritasi dan pembengkakan paru biasanya
disebabkan oleh debu nonfibrogenik yaitu beryllium, zinc chloride, boron
hydrides, magnesium, cynamid, dan debu dari pestisida. Bila iritasi tersebut terus
berlanjut dalam waktu lama maka dapat menjadi penyakit bronkitis kronis dan
berkembang menjadi emfisema. Debu organik biasanya dapat menimbulkan efek
alergi pada individu yang sensitif, misalnya debu gandum, spora jamur, teh, kopi,
kerja. Asma kerja merupakan serangan sesak napas paroksimal akibat adanya
peningkatan kepekaan dari trakhea dan bronkhus karena adanya berbagai macam
stimulus yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan secara
menyeluruh. Selain karena debu organik, asma kerja juga dapat terjadi karena
paparan debu logam (platinum, kromium, nikel), senyawa organik (formaldehid,
isosianat, zat pewarna aktif, dan sebagainya), dan obat-obatan (khususnya
antibiotik. Zat-zat alergen tersebut merangsang reaksi imunologis berupa
bronkokonstriksi, pembengkakan mukosa bronkus, dan sekresi lendir yang
berlebihan pada bronkus (Harrianto, 2010).
2.2 Batubara
2.2.1 Pengertian Batubara
Batubara merupakan material mudah terbakar berwarna coklat sampai
kehitaman yang terbentuk dari pembusukan tumbuh-tumbuhan dan tertimbun
bebatuan selama jutaan tahun. Pemrosesan atau pengolahan batubara sebagai
bahan bakar menghasilkan debu batubara. Debu batubara adalah material batubara
yang berbentuk bubuk, berasal dari hancuran batubara saat terjadi proses
pengolahan batubara yang meliputi pemecahan, penghalusan, transportasi, dan
pelapukan. Debu batubara ini mengandung lebih dari 50 zat. Kandungan zat
mineral batubara tersebut bergantung pada besar partikel debunya dan jenis
2.2.2 Jenis-Jenis Batubara
Terdapat empat jenis batubara dimana perbedaan dari keempat jenis
tersebut adalah berdasarkan jenis materi tumbuhan penyusun batubara tersebut.
Keempat jenis batubara itu antara lain:
1) Lignite, yaitu batubara berwarna coklat kehitaman dan paling lembab
sehingga tingkat panas yang dihasilkan rendah. Jumlah batubara jenis
lignite ini paling besar di dunia.
2) Sub-Bituminous, yaitu batubara berwarna hitam yang mengandung
kelembaban 15 – 30%. Jenis ini kurang mudah terbakar dibandingkan
jenis bituminous.
3) Bituminous, yaitu jenis batubara yang paling umum dan penting bagi
industri karena nilai panas dan kulitas karbon batubara jenis ini paling
bagus.
4) Anthracite, yaitu batubara berwarna hitam yang terletak di bagian bumi
paling dalam dibandingkan jenis batubara yang lain. Jumlah batubara
anthracite paling sedikit, konsentrasi karbonnya paling tinggi, dan nilai
panasnya juga tinggi.
Kadar debu yang dihasilkan antar jenis batubara berbeda-beda sesuai
tingkatan umur batubaranya. Jenis lignite merupakan yang paling banyak
menghasilkan debu, sedangkan yang paling sedikit menghasilkan debu adalah
2.2.3 Karakteristik Batubara
Kandungan utama batubara adalah karbon, hidrogen, sulfur, fosfor serta
silika bebas. Komposisi zat-zat tersebut bervariasi tergantung lokasi tambangnya.
Karakteristik batubara meliputi (Aladin, 2011):
1) Berat jenis
Berat jenis batubara berbeda-beda sesuai jenisnya. Berat jenis lignit dan
antrasit 1,5 g/cm3, bituminous 1,25 g/cm3, dan graffit 2,2 g/cm3. Selain
tergantung pada jenis batubaranya, berat jenis batubara juga dipengaruhi
oleh jumlah dan jenis mineral yang dikandung abunya serta kerapatan
porositasnya.
2) Kandungan air/Kelembaban
Baubara yang baik adalah batubara yang kering atau tidak lembab.
Batubara yang lembab akan menjadi lengket sehingga menyulitkan proses
pemecahan batubaranya. Selain itu, kandungan air batubara yang banyak
dapat menurunkan nilai panasnya.
3) Zat terbang (volatile matter)
Zat terbang adalah mineral yang terbentuk jika batubara dipanaskan
sampai suhu 950°C. Zat terbang tersebut terdiri dari campuran gas
senyawa organik yang akan mencair menjadi bentuk minyak dan tar
bertitik didih rendah. Zat terbang ini penting untuk mengendalikan asap
dan pembakaran pada proses pemanfaatan batubara sebagai sumber panas.
Semakin tinggi zat terbang dari suatu pembakaran batubara maka semakin
(lama), semakin mudah melakukan pembakaran rendah Nox, dan mampu
terbakar hingga habis. Sifat batubara yang demikian adalah yang cocok
digunakan untuk bahan bakar boiler. Namun tingginya kandungan zat
terbang juga berbahaya karena dapat terbakar secara spontan (spontaneous
combustation).
4) Porositas
Batubara mengandung dua sistem pori, yaitu pori berukuran rata-rata
500A° dan pori berukuran rata-rata 5-15A°. Porositas ini berkaitan dengan
kemudahan batubara dalam menyerap suatu zat. Contohnya, low volatile
bituminous coal porinya besar, lebih mudah menyerap CH4 sehingga
sering terjadi ledakan dan kebakaran ditambang-tambang jenis batubara
tersebut.
5) Weathering
Weathering adalah sifat kecenderungan batubara untuk pecah bila dalam
kondisi kering. Umumnya setiap batubara cepat atau lambat akan
menunjukkan proses weathering bila kontak dengan atmosfer. Hal ini
menyebabkan batubara di tempat penyimpanan mudah terbakar karena
jumlah panas yang dibebaskan saat proses oksidasi lebih besar
dibandingkan panas yang ada pada proses konduksi atau konveksi.
6) Abu
Abu merupakan residu yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Unsur
utama abu tersebut antara lain natrium, kalsium, magnesium, kalium,
7) Pecahan
Bentuk potongan batubara dapat menentukan sifat dan mutunya. Misalnya,
batubara dengan kandungan zat terbang yang tinggi bentuk pecahannya
cenderung persegi, balok, atau kubus.
8) Kandungan karbon
Semakin tinggi kandungan senyawa karbonnya, maka semakin tinggi
panas yang dapat dihasilkan. Jumlah karbon batubara meningkat sesuai
derajat batubara, yaitu rendah pada jenis lignit, meningkat pada antrasit
dan hampir 100% pada jenis grafit.
2.2.4 Nilai Ambang Batas Debu Batubara
Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar pemaparan kerja yaitu
pedoman kualitatif dan kuantitatif bagi penerapan perlindungan kesehatan tenaga
kerja terhadap efek pemarapan kerja. NAB adalah standar Indonesia untuk faktor
bahaya kimia dan fisika di tempat kerja yang merupakan pedoman pengendalian
agar tidak mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan. Nilai ketetapan yang
dipakai NAB megadopsi dari Threshold Limit Value (TLV) yang merupakan
standar ketetapan oleh ACGIH dan bisa juga mengacu pada Maximun Allowable
Conentration(MAC) yang merupakan standar Rusia (Suma’mur, 2011).
Peraturan di Indonesia menetapkan NAB untuk kadar debu total di tempat
kerja adalah 10 mg/m3 (Depnakertrans, 2011). Sedangkan nilai ambang batas
untuk debu batubara tidak disebutkan secara spesifik dalam peraturan tersebut. Di
negara lain, NAB yang ditetapkan untuk debu batubara berbeda-beda. Amerika
Sementara itu, ACGIH menetapkan NAB yang berbeda untuk batubara sesuai
jenisnya, yaitu 0,4 mg/m3 untuk jenis antrachit dan 0,9 mg/m3 jenis bituminous.
Namun, aturan standar internasional menganut ketetapan 2 mg/m3 sebagai NAB
debu batubara (Onder dkk, 2009).
2.2.5 Penyakit Paru Kerja Akibat Debu Batubara
Terdapat beberapa penyakit paru yang diakibatkan oleh paparan debu
batubara, antara lain:
1) Pneumokoniosis batubara
Pneumokoniosis batubara adalah penyakit akibat inhalasi debu batubara
sehingga terjadi penumpukan debu batubara di paru dan menimbulkan reaksi
jaringan paru terhadap tumpukan debu tersebut (ILO, 2002). Pneumokoniosis
batubara disebut juga antrakosis atau coal workers’ pneumoconiosis. Penyakit
ini juga sering disebut black lung disease karena gambaran rontgen paru
menunjukkan adanya warna hitam yang merupakan penumpukan debu
batubara di paru. Rerata lamanya pajanan sekitar 12 tahun baru akan
menimbulkan pneumokoniosis batubara atau tanpa penurunan fungsi paru atau
dapat berkembang menjadi fibrosis masif progresif yang diikuti penurunan
fungsi paru berat (Suma’mur, 2011)
Partikel-partikel batubara berukuran lebih dari 5 µm hingga 15 µm yang
mengendap pada saluran napas menyebabkan iritasi (bronkitis) yang bersifat
dapat sembuh atau kembali pulih. Partikel berukuran 0,5 µm hingga 5 µm
berhasil masuk hingga alveolus, umumnya dibersihkan dan dikeluarkan lagi
tinggi mengakibatkan retensi partikel tersebut di dalam jaringan paru dan
kelenjar limfe. Hanya jika retensi sangat berat (sekurang-kurangnya 50 g/paru)
maka reaksi jaringan derajat rendah baru dapat benar-benar mengakibatkan
gangguan paru (Suyono, 1995). Umumnya, jarang pekerja yang terpapar debu
batubara mengalami kegagalan fungsi paru yang bermakna, karena debu
batubara merupakan debu yang berpotensi fibrogenik rendah (Harrianto, 2010).
Antrakosis mungkin ditemukan dalam tiga gambaran klinis, yaitu
antrakosis murni, silikoantrakosis, dan tubersilikoantrakosis. Apabila terjadi
siliko antrakosis murni disertai emfisema, hal ini sangat berbahaya dan dapat
mengakibatkan kematian. Namun, jika hanya terjadi antrakosis murni tanpa
emfisema biasanya tidak berbahaya dan lambat untuk berkembang menjadi
penyakit yang berat. Masa laten penyakit ini adalah 2-4 tahun. Perjalanan klinis
penyakit ini berlangsung lama, terkadang penderita tidak menunjukkan gejala
meskipun hasil rontgen paru menunjukkan adanya kelainan. Gejala yang
terkadang muncul adalah sesak napas, sering batuk dan mengeluarkan dahak
berwarna hitam dimana hal ini menandakan terjadinya melanoptisis (Suma’mur
2011).
2) Silikosis
Kristalin silica seringkali ditemukan pada debu batubara sehingga
pekerja yang terpapar debu batubara juga berpotensi terkena silikosis. Silikosis
disebabkan oleh debu kristalin silika berukuran < 10 mikron yang terhirup dan
terdeposit di paru. Jaringan paru bereaksi terhadap tumpukan silika tersebut
silika di paru. Jika nodul semakin besar dan lukanya menjadi ekstensif, maka
akan terjadi kesulitan bernapas yang dapat mengakibatkan kematian
(Government of Alberta, 2010).
3) Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
COPD adalah hambatan aliran udara dalam saluran pernapasan karena
adanya bronkitis kronis atau emfisema. Hambatan aliran udara ini dikarenakan
terjadinya inflamasi di saluran pernapasan yang seringkali bersifat progresif
dan tidak dapat sepenuhnya kembali pulih normal. Gejala yang muncul akibat
COPD adalah napas terputus-putus dan pendek. Penurunan fungsi paru timbul
pada saat terjadi peningkatan jumlah pejanan debu batubara dalam tubuh
ditambah dengan adanya kebiasaan merokok (Government of Alberta, 2010).
2.3 Anatomi dan Fisiologi Pernapasan Manusia 2.3.1 Anatomi Pernapasan Manusia
Saluran pernapasan atau tractus respiratorius adalah bagian tubuh
manusia yang berfungsi sebagai jalur lintasan tempat pertukaran gas dalam proses
pernapasan dimana berpangkal pada hidung dan berakhir pada paru-paru.
Pernapasan merupakan proses ganda, yaitu terdiri dari pernapasan dalam
(ekstrinsik) dan pernapasan luar (intrinsik). Pernapasan eksternal adalah proses
resapan oksigen dalam udara di alveoli ke dalam darah di kapiler alveoli serta
proses resapan karbondioksida dalam arah sebaliknya. Sedangkan pernapasan
internal adalah proses pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara kapiler
persediaan oksigennya dan melepaskan produk oksidasinya (H2O dan CO2) pada
saat yang bersamaan (Pearce, 2009).
Pearce (2009) menyebutkan bahwa saluran pernapasan manusia terdiri
dari:
1) Nares Anterior
Nares anterior adalah saluran-saluran dalam lubang hidung yang
bermuara pada bagian yang disebut vestibulum (rongga) hidung. Verstibulum
ini dilapisi oleh epitelium bergaris yang terhubung dengan kulit. Nares anterior
terdiri dari lapisan yang mengandung kelenjar-kelenjar sebasius dan tertutupi
oleh bulu kasar.
2) Rongga hidung
Hidung merupakan saluran pernapasan udara pertama, terdiri dari dua
lubang (cavum nasi) yang dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Rongga
hidung dilapisi selaput lendir yang mengandung banyak pembuluh darah dan
tersambung dengan lapisan faring serta semua selaput lendir dari semua sinus
yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Daerah pernapasan
dilapisi oleh epithelium dan sel epitel berambut yang mengandung sel lendir
dimana sel lendir tersebut berfungsi untuk membuat permukaan nares tetap
basah.
Udara yang masuk ke dalam rongga hidung disaring oleh bulu-bulu yang
terdapat dalam vestibulum. Udara tersebut kemudian kontak dengan permukaan
lendir sehingga membuat udara menjadi hangat dan lembab karena terkena
berfungsi menghubungkan lubang-lubang dari sinus udara para-nasalis yang
masuk ke dalam rongga-rongga hidung, dan juga menghubungkan
lubang-lubang nasolakrimal yang menyalurkan air mata dari mata hingga ke dalam
hidung.
3) Faring (tekak)
Faring atau yang juga lebih dikenal dengan nama tekak adalah pipa
berotot yang membujur mulai dari dasar tengkorak sampai persambungannya
dengan osofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Jadi faring terletak di
belakang rongga hidung, mulut, dan laring. Faring merupakan tempat
persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Pada waktu menelan
makanan, laring akan tertutup oleh epigloting (empang tenggorok).
4) Laring (tenggorok)
Laring terletak pada bagian faring terendah yang memisahkan dengan
kolumna vertebrata. Bagian laring terdiri dari kepingan tulang rawan yang
terikat bersama ligamen dan membran. Di dalam laring juga terdapat pita suara
yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis. Suara dihasilkan karena adanya
getaran pita yang disebabkan oleh udara yang melalui glottis.
5) Trakhea (batang tenggorok)
Trakhea panjangnya sekitar 9 cm, mulai dari laring sampai kira-kira
ketinggian vertebrata torakalis kelima dan selanjutnya bercabang menjadi dua
bronkhus. Trakhea tersusun atas 14 – 20 cincin tulang rawan yang terikat
dengan jaringan fibrosa. Trakhea juga dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri
gerakan silia ini debu dan butiran halus lainnya yang masuk ke dalam saluran
pernapasan dapat dikeluarkan kembali.
6) Bronkhus
Struktur dan lapisan bronkhus serupa dengan struktur dan lapisan pada
trakhea, yaitu struktur tulang rawan dan lapisan epitelium bersilia serta sel
lendir, karena bronkhus merupakan percabangan dari trakhea. Bronkhus kiri
dan kanan tidak simetris. Bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan
arahnya hampir vertikal dengan trakhea. Sebaliknya, bronkhus kiri lebih
panjang, lebih sempit, dan sudutnya juga lebih langsing. Imlpilasi klinis dari
bentuk anatomi yang demikian adalah jika ada benda asing yang terhirup ke
dalam saluran pernapasan, maka benda tersebut akan lebih mungkin berada di
bronkhus kanan daripada bronkhus kiri karena arah dan bentuknya yang lebih
lebar. Bronkhus kanan mempunyai tiga cabang, yang pertama disebut bronkhus
lobus atas. Cabang kedua disebut bronkhus lobus bawah timbul setelah cabang
utama melalui bawah arteri. Cabang selanjutnya adalah cabang lobus tengah
yang keluar dari bronkus lobus bawah.
Cabang utama bronkhus kiri dan kanan bercabang lagi menjadi bronkhus
lobaris dan kemudian bronkhus segmentalis. Percabangan ini sangat banyak
dan berjalan terus sampai makin lama makin kecil dan akhirnya menjadi
bronkhiolus terminalis. Makin kecil salurannya, susunan tulang rawannya
semakin berkurang dan akhirnya hanya tersusun dari dinding fibrosa berotot
dan silia. Bronkhiolus terminalis masuk ke dalam vestibula, di dalam vestibula
alveoli. Alveoli terdiri dari sel epitelium pipih. Di alveoli terjadi pertukaran
gas.
7) Paru
Paru merupakan alat pernapasan utama karena di dalam paru terdapat
alveolus yang merupakan unit fungsional paru sebagai tempat pertukaran gas
pernapasan. Paru terletak di dalam rongga dada sebelah kanan dan kiri. Paru
kanan terdiri dari tiga lobus sedangkan paru kiri terdiri dari dua lobus. Paru
merupakan organ yang berbentuk kerucut deangn puncak di atas. Pangkal paru
berada di atas diafragma. Setiap paru dilindungi oleh pleura yang terdiri dari
membran serosa rangkap dua. Pleura visceral merupakan selaput yang
langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal adalah selaput yang
melapisi rongga dada sebelah luar. Di antara pleura visceral dan pleura parietal
terdapat sedikit eksudat untuk melumasi permukaannya sehingga dapat
menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu bergerak
karena bernapas.
2.3.2 Fisiologi Pernapasan Manusia
Fungsi paru adalah untuk pertukaran gas oksigen dan karbondioksida
(respirasi). Pernapasan melalui paru disebut ventilasi pulmunari, yaitu proses
pergerakan udara antara atmosfer (udara luar) dengan paru. Pergerakan udara
tersebut terjadi karena adanya perubahan tekanan udara dalam paru. Oksigen
dihirup melalui hidung dan mulut kemudian masuk ke trakhea, ke pipa bronkhial,
dan ke alveoli. Oksigen dalam udara yang terhirup kemudian menembus membran
Sementara itu, karbondioksida yang merupakan salah satu hasil buangan
metabolisme menembus membran alveolar-kapiler dari kapiler darah ke alveolus
kemudian dibawa keluar melalui pipa bronkial, trakhea dan terkhir mulut atau
hidung. Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler
darah tersebut dinamakan difusi.
Pearce (2009) menyebutkan empat proses yang berhubungan dengan
pernapasan pulmoner, yaitu:
1) Ventilasi pulmoner, yaitu gerak pernapasan menukar udara dalam
pernapasan dan atmosfer.
2) Arus darah melalui paru-paru.
3) Distribusi arus darah dan arus udara sehingga semua bagian tubuh
mendapat pasokan dalam jumlah yang tepat sesuai dengan kebutuhannya.
4) Difusi gas menembus membran pemisah kapiler dan alveoli. Gas
karbondioksida lebih mudah berdifusi daripada gas oksigen.
Pada saat keadaan pernapasan normal, darah yang keluar dari paru akan
menerima karbondioksida dan oksigen dalam jumlah yang tepat. Namun, apabila
tubuh bergerak lebih banyak maka darah dari paru akan membawa gas
karbondioksida yang lebih banyak daripada oksigennya. Jumlah karbondioksida
yang terlalu banyak tersebut tidak dapat dikeluarkan sehingga konsentrasinya
dalam darah meningkat. Hal tersebut merangsang peningkatan kecepatan dan
dalamnya pernapasan untuk mengeluarkan lebih banyak karbondioksida dan
2.3.3 Patofisiologi
Debu, aerosol, dan zat iritan kuat merupakan agen yang dapat
menimbulkan terjadinya reflek batuk bahkan spasme laring atau penghentian
napas. Zat-zat tersebut jika dapat masuk hingga ke dalam paru dapat
menyebabkan bronkitis toksis, pembengkakan paru atau pneumonitis. Seseorang
biasanya toleran terhadap paparan zat-zat tersebut dalam kadar rendah karena
adanya mekanisme sekresi mukus yang merupakan mekanisme khas pada
penyakit bronkitis yang juga sering dijumpai pada perokok (Suyono, 1995).
Partikel debu atau aerosol berukuran lebih dari 5 µm – 15 µm hanya
mampu masuk sampai saluran pernapasan bagian atas dan menimbulkan efek
iritasi dan menyebabkan obstruksi atau penyumbatan aliran udara pernapasan.
Sedangkan debu yang berukuran 0,5 µm sampai 5 µm dapat masuk hingga saluran
napas terminal atau alveoli. Sampai di sana, debu tersebut akan dikumpulkan oleh
makrofag dan dibawa kembali menuju mukosiliar (Suyono, 1995).
Penyebab utama terjadinya penyakit saluran pernapasan antara lain adalah
1) mikroorganisme patogen yang mampu melawan makrofag, 2) partikel-partikel
mineral yang mampu menyebabkan kerusakan makrofag sehingga merangsang
reaksi jaringan dengan membentuk jaringan parut, 3) partikel organik yang
merangsang respon imun, 4) sistem pertahanan (imun) saluran pernapasan sudah
kelebihan beban akibat adanya paparan debu respirable dalam kadar tinggi dan
menumpuk di alveoli. Paparan yang terus berulang akan menyebabkan akumulasi
timbunan debu di saluran pernapasan, menyebabkan penebalan dinding bronki,
terhadap infeksi. Sementara itu, jika partikel debu yang masuk bersifat fibrogenik
maka akan menyebabkan penebalan dan pembentukan jaringan parut di alveolus.
Akibatnya, terjadi pengerutan dan kekakuan alveolus sehingga kemampuan
alveolus untuk mengembang kempis menampung udara pernapasan menurun
(Suyono, 1995).
2.4 Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru dengan cara yang paling mudah dan sederhana
adalah dengan menggunakan spirometri untuk memeriksa ekspirasi paksa. Tes
faal paru menggunakan spirometri seringkali informatif karena sebagian besar
penderita gangguan faal paru memiliki nilai ekspirasi paksa yang abnormal. Oleh
karena itu, pemeriksaan faal paru yang dilakukan secara rutin dapat berguna untuk
mendeteksi penyakit saluran pernapasan pada tahap dini atau dapat memantau
perjalanan penyakit penderita (West, 2011). Orang yang dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan faal paru dengan spirometri antara lain orang yang
mengeluh sesak napas, pemeriksaan berkala bagi pekerja pabrik, penderita PPOK,
penderita asma, dan perokok. Pemeriksaan spirometri tidak boleh dilakukan pada
penderita hemoptisis, pneumotoraks, kardiovaskuler yang tidak stabil, infrank
miokard, emboli paru, pasca bedah mata, aneurisma serebri dan toraks, serta
kecemasan (mual, muntah, vertigo) (Laboratorium UNSOED, 2015).
Pemeriksaan faal paru menggunakan alat spirometri akan dapat diketahui
kapasitas paru-paru dalam menampung (inspirasi) dan mengeluarkan (ekspirasi)
udara melalui interpretasi dari nilai-nilai dalam pengukuran yang meliputi
1) Volume paru statis, terdiri dari:
a. Vital capacity (VC), yaitu volume total udara yang dapat dikeluarkan oleh
paru setelah inspirasi penuh. Nilainya merupakan gabungan dari IRV + VT
ERV.
b. Forced Vital Capacity (FVC), yaitu sama dengan VC namun dilakukan
secara paksa.
c. Total Lung Capacity (TLC), yaitu jumlah udara yang ada didalam paru
setelah inspirasi penuh. Nilainya merupakan gabungan dari FRV + VT +
ERV + RV.
d. Volume Tidal (VT), yiatu udara yang dihasilkan dari inspirasi dan ekspirasi
normal. Pada orang dewasa normal jumlah volume tidal adalah 500 ml.
e. Expiration Residual Volume (ERV), yaitu jumlah udara yang dapat
dihembuskan secara maksimal sestelah seseorang menghirup napas biasa.
Besarnya sekitar 1000 ml pada laki-laki dan 700 ml pada perempuan.
f. Inspiration Residual Volume (IRV), yaitu jumlah udara yang dapat dihirup
maksimal setelah menghirup napas biasa. Besarnya sekitar 3300 ml pada
laki-laki dan 1900 ml pada perempuan normal.
g. Residual Volume (RV), yaitu jumlah udara yang masih tetap ada di paru
setelah ekspirasi maksimal. Normalnya 1200 ml pada laki-laki dan 1100 ml
pada perempuan.
h. Inspiratory Capacity (IC), yaitu volume udara total yang masuk ke dalam
i. Functional Residual Volume (FRV), yaitu udara yang masih ada di dalam
paru setelah ekspirasi biasa. Nilainya adalah ERV + RV
2) Volume paru dinamik, terdiri dari:
a. Forced Expiration Volume 1 second (FEV1), yaitu jumlah udara yang dapat
dikeluarkan secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi maksimal.
b. Maximal Voluntary Ventilation (MVV), yaitu total volume udara yang
dapat dihirup dan dihembuskan dari paru selama satu menit setelah
bernapas cepat dan maksimal.
Hasil pemeriksaan spirometri dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
penyakit paru obstruktif, restriktif, atau campuran keduanya.
a. Obstruksi adalah terjadinya hambatan pada aliran udara yang ditandai
dengan penurunan nilai FEV1 dan kecepatan aliran udara pada saat
ekspirasi. Peningkatan penyumbatan aliran udara dapat terjadi di bagian
lumen (akibat adanya sekresi mukus yang banyak, edema karena iritasi
akibat menghirup alergen), di dalam dinding jalan napas yang terjadi
inflamasi dan hipertrofi kelenjar mukosa, serta di daerah peribronkial
(West, 2011).
b. Restriksi adalah penyakit keterbatasan ekspansi (pengembangan) paru
yang disebabkan oleh perubahan pada parenkim paru, penyakit pada
pleura, dinding dada, atau pada aat neuromaskular. Tanda penyakit
restriksi adalah penurunan kapasitas vital paru sehingga nilai FVC
c. Kelainan gabungan antara obstruksi dan restriksi yaitu kejadian penyakit
yang merupakan kombinasi dari menurunnya nilai volume paru, kapasitas
vital, dan aliran udara sehingga nilai FEV1 maupun FVC sama-sama
menurun.
Pada kasus penyakit restriktif, hasil pengukuran TLC dan volume paru
lainnya akan menurun, sedangkan pada kasus paru obstruktif terjadi hiperinflasi
yang menyebabkan TLC dan rasio RV/TLC meningkat. Paru yang normal
memiliki nilai FEV1 > 80% dari nilai FEV1 prediksi dan rasio FEV1/FVC > 75%.
Pada paru yang mempunyai penyakit obstruksi hasil pengukuran FEV1 berkurang
lebih banyak dibandingkan nilai FVC sehingga rasio FEV1/FVC hasilnya
menurun. Sedangkan pada penyakit paru restriksi hasil pemeriksaan FEV1 dan
FVC sama-sama menurun sehingga rasio FEV1/FVC dapat normal atau
meningkat. Rasio FEV1/FVC pada hasil tes seringkali ditulis sebagai nilai %FEV1
(Harrianto, 2010).
Berikut ini adalah interpretasi hasil penilaian kapasitas faal paru oleh Balai
UPTK3 Surabaya:
Tabel 2.1 Interpretasi hasil pemeriksaan faal paru berdasarkan Balai UPTK3 Surabaya
Restriksi (%FVC) Interpretasi Osbtruksi (%FEV1)
≥ 80 Normal ≥ 75
60 – 79 Ringan 60 – 74
30 – 59 Sedang 30 – 59
< 30 Berat < 30
Interpretasi hasil pengukuran faal paru menggunakan spirometri juga dapat
dilihat dari kurva yang tercetak dari spirometri. Gambaran kurva tersebut antara
Gambar 2.1 Kurva aliran volume pada berbagai kondisi: O, kelainan obstruktif; R(P), kelainan restriktif parenkimial; R(E) kelainan restriktif ekstraparenkimal
dengan keterbatasan pada inspirasi dan ekspirasi.
Sumber : Laboratorium fisiologi Unsoed, tahun 2015
Aplikasi klinis dari kelaian obstruksi dapat terjadi karena adanya penyakit
asma, bronkitis kronis atau emfisema, bronchiestasis, cystic fibrosis, dan
bronchiolitis. Aplikasi klinis restriksi parenkimial dapat disebabkan oleh adanya
sarcoidosis, idiopathic pulmonary fibrosis, pneumocoiosis, dan drug or
radiation-induced interstitial lung disease. Sedangkan aplikasi klinis dari restriksi
ekstraparenkimal adalah karena adanya penyakit neuromaskular (diapragmatic
weakness/paralysis, muscular dystrophies, dan cervical spine injury) atau
gangguan yang berhubungan dengan dinding dada (kyphoscoliosis dan obesitas).
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Paru
Faktor yang mempengaruhi kapasitas paru khususnya yang berhubungan
1) Usia
Usia merupakan faktor yang secara alamiah menurunkan kapasitas
fungsi paru. Sistem pernapasan akan berubah secara anatomi dan
imunologi sesuai bertambahnya usia. Daya pengembangan paru, kekuatan
otot pernapasan, kapasitas vital, FEV1, FVC, dan cairan antioksidan
epiteal akan menurun sesuai peningkatan usia (Sharma & Goodwin, 2006).
Seiring bertambahnya usia, mulai dari masa anak-anak hingga dewasa
sekitar 24 tahun kapasitas paru seseorang akan berkembang dan mencapai
optimum. Setelah itu akan menetap (stationer) sampai pada usia 30 tahun,
kemudian menurun secara gradual sesuai pertambahan usia. Rata-rata
penurunan yang terjadi untuk nilai FVC dan FEV1 adalah 20 ml tiap satu
pertambahan usia (Guyton, 1997).
2) Masa kerja
Seseorang yang bekerja di lingkungan kerja yang mengandung
debu atau aerosol kondisi parunya sangat dipengaruhi oleh masa kerja.
Paparan dalam kadar tinggi jika terpejan dalam waktu yang lama maka
akan semakin banyak partikel debu atau aerosol yang akan tertimbun
dalam saluran pernapasan. Akibatnya, risiko terjadinya gangguan fungsi
paru tinggi (Wardhana, 2001).
3) Kebiasaan merokok
Asap rokok adalah salah satu polutan paling penting dalam praktik
karena asap rokok dihirup perokok dalam jumlah yang lebih besar