• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA

Oleh:

YOSI DHEMAS LARASATI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA

(2)

SKRIPSI

PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA

Oleh:

YOSI DHEMAS LARASATI NIM. 101111373

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT SURABAYA

(3)

PENGESAHAN

Dipertahankan di Depan Tim Penguji Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan diterima untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM.) pada tanggal 28 Juli 2015

Mengesahkan Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat

Dekan,

Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S. NIP 195603031987012001

Tim Penguji

1. Siti Rahayu Nadhiroh, S.KM., M.Kes. 2. Sho’im Hidayat, dr., M.S.

(4)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM.)

Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Airlangga

Oleh :

YOSI DHEMAS LARASATI NIM 101111373

Surabaya, 7 Agustus 2015

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Departemen, Pembimbing,

(5)

SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Yosi Dhemas Larasati

NIM : 101111373

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Fakultas : Kesehatan Masyarakat Jenjang : Sarjana (S1)

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi saya yang berjudul:

“PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA”

Apabila suatu saat nanti terbukti melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sanksi yang telah diterapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Surabaya, 14 Juli 2015

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH PAPARAN DEBU BATUBARA TERHADAP STATUS FAAL PARU PEKERJA DI PT X SURABAYA” sebagai salah satu persyaratan akademis dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Dalam skripsi ini dijabarkan tentang analisis pengaruh debu batubara terhadap kondisi faal paru pekerja di bagian boiler PT X. Berdasarkan hasil pengukuran faal paru dan hasil pengukuran kadar debu di bagian boiler serta dibandingkan dengan kondisi faal paru pekerja bagian lain yang tidak terpapar debu batubara, maka akan dapat diketahui seberapa besar potensi paparan debu batubara tersebut untuk menimbulkan risiko gangguan faal paru pada pekerja.

Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sho’im Hidayat, dr., M.S., selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, koreksi, dan saran serta memberikan waktunya untuk berdiskusi melalui pertemuan langsung hingga terwujudnya skripsi ini.

Terima kasih penulis sampaikan pula kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

2. Mulyono, S.KM., M.Kes., selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 3. Ibu, Bapak, Mas Bimo, dan nenek yang selalu memberikan doa, dukungan,

dan semangat kepada penulis.

4. Jajaran direksi PT X yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di PT X.

5. EHFS Team PT X Surabaya, yaitu Bapak Arifin, Pak Intaha, Mas Dedy, Mas Ardi, Pak Parno, Pak Choirudin, Pak Kosim, Mas Sihab, Mas Dany, Pak Ali, dan Pak Yanto yang telah memberikan arahan dan bantuan selama penelitian. 6. Bapak Benny dan Bapak Muslikan serta seluruh responden yang terhormat,

terimakasih atas waktu dan kesediaan membantu penelitian ini.

7. Ibu Diah dan Ibu Mahmudah yang dengan sabar memberikan bimbingan statistik.

8. Sahabat RAS (Risnia, Fara, Marta, Windy, Denov, Santi, Olin, Oma Ifa, Zia, dan Fenty), Rezza, Marcel, dan Dewi, Adyra, Azzah, Budi, Kirwan, Laila, Tutus, dan Clairine yang selalu membantu dan menemani di segala situasi. 9. Teman-teman seangkatan 2011 FKM UA.

Semoga Allah SWT. memberikan kebaikan atas segala amal yang telah diberikan dan semoga skripsi ini berguna baik bagi diri kami sendiri maupun pihak lain yang memanfaatkan.

(7)

ABSTRACT

Coal dust can cause impaired lung function and even pneumoconiosis which led to irreversible lung damage. PT X is one of the industries that use coal as the fuel for its boiler. Boiler unit’s workers have the risk of impaired lung function because of the long-term inhalation of coal dust. The objective of this study was to analyze the effect of coal dust exposure to the worker’s lung function.

This was a desciptive study with cross sectional design. Data was collected by giving questionnaires, dust levels measurement, and the lung function test. The population of this study were 11 workers at boiler unit and 11 workers at packaging warehouse office. Data was analyzed by multiple linear regression to determine the most dominant variable.

The boiler unit’s workers had three times greater risk than packaging warehouse office’s workers to experience impaired lung function. But, the coal dust effect to that damage might be low. The average of the coal dust level at boiler unit was 0,4174 mg/m3. The multiple linear regression showed the most dominant factor that affected to the %FEV1value of boiler unit’s workers was the cigarette dose (β=

-0,522) and the exercise habits (β= -0,779) for %FVC value. Besides, the most dominant factor that affected to the %FEV1 value of packaging warehouse’s workers was age (β= -0,515) and duration of employment (β= 0,595) for %FVC value.

The boiler unit’s workers had three times greater risk than packaging warehouse office’s workers to experience impaired lung function even though the effect of coal dust exposure estimated was low. Workers at boiler unit that have impaired lung function must be rotated to another workplace where there is no coal dust exposure and highly recommended that they have to stop smoking.

(8)

ABSTRAK

Batubara adalah bahan bakar fosil yang berpotensi menghasilkan debu batubara yang dapat menyebabkan gangguan fungsi paru hingga penyakit pneumokoniosis. PT X merupakan salah satu industri di Surabaya yang menggunakan mesin boiler berbahan batubara sehingga pekerja di bagian tersebut yang menginhalasi debu batubara dalam waktu lama berisiko mengalami gangguan faal paru. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh paparan debu batubara terhadap status faal paru pekerja di PT X.

Penelitian ini merupakan penelitian deskripstif dengan rancang bangun

cross sectional. Data penelitian ini didapatkan dengan memberikan kuisioner, pengukuran kadar debu di bagian boiler PT X, serta tes faal paru. Populasi penelitian ini adalah 11 pekerja bagian boiler dan 11 pekerja bagian kantor

packaging warehouse. Data dianalisis menggunakan regresi linier dengan membaca nilai koefisien regresi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja bagian boiler tiga kali lebih berisiko mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja bagian kantor

packaging warehouse. Namun, pengaruh paparan debu batubara terhadap gangguan faal paru tersebut diperkirakan kecil. Kadar debu rata-rata di bagian boiler adalah 0,4174 mg/m3. Hasil analisis regresi linier menunjukkan faktor yang paling dominan mempengaruhi status faal paru responden bagian boiler adalah dosis rokok untuk %FEV1 (β= -0,522) dan kebiasaan olahraga untuk %FVC (β= -0,779).

Sedangkan, pada responden bagian kantor packaging warehouse yang paling dominan mempengaruhi nilai %FEV1adalah usia (β= -0,515) dan masa kerja untuk

nilai %FVC (β= 0,595).

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pekerja di bagian boiler berisiko tiga kali lebih besar untuk mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja di bagian kantor packaging warehouse meskipun pengaruh debu batubara terhadap gangguan tersebut kemungkinannya rendah. Pihak manajemen PT X harus memindahkan pekerja bagian boiler yang mengalami gangguan faal paru ke lokasi kerja lain yang tidak terdapat paparan debu dan menyarankan pekerja di bagian boiler untuk berhenti merokok.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

HALAMAN PERSETUJUAN iii

SURAT PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xiii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Identifikasi Masalah 6

1.3 Rumusan Masalah 8

2.1.4 Dampak Paparan Debu terhadap Saluran Pernapasan 12

2.2 Batubara 16

2.2.1 Pengertian Batubara 16

2.2.2 Jenis-jenis Batubara 17

2.2.3 Karakteristik Batubara 18

2.2.4 Nilai Ambang Batas Debu Batubara 20

2.2.5 Penyakit Paru Kerja Akibat Debu Batubara 21

2.3 Anatomi dan Fisiologi Pernapasan Manusia 23

2.3.1 Anatomi Pernapasan Manusia 23

2.3.2 Fisiologi Pernapasan Manusia 27

2.3.3 Patofisiologi 29

2.4 Pemeriksaan Faal Paru 30

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Paru 34

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 40

BAB IV METODE PENELITIAN 42

4.1 Jenis dan Rancang Bangun Penelitian 42

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian . 42

(10)

4.4 Variabel, Definisi Operasional, dan Cara Pengukuran 43

4.5 Teknik dan Instrumen pengumpulan data 46

4.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 51

4.6.1 Teknik Pengolahan Data 51

4.6.2 Teknik Analisis Data 52

BAB V HASIL PENELITIAN 53

5.1 Gambaran Umum PT X 53

5.1.1 Profil PT X 53

5.1.2 Kegiatan di Bagian Boiler dan Packaging WH PT X 54 5.2 Gambaran dan Perbedaan Karakteristik Responden 55

5.2.1 Usia Responden 56

5.2.2 Masa Kerja Responden 57

5.2.3 Status Gizi Responden 58

5.2.4 Kebiasaan Merokok Responden 59

5.2.5 Kebiasaan Olahraga Responden 60

5.3 Hasil Pengukuran Kadar Debu Batubara 61

5.4 Gambaran Status Faal Paru Responden 63

5.5 Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Nilai %FEV1

dan %FVC Responden di PT X 64

BAB VI PEMBAHASAN 68

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 78

7.1 Kesimpulan 78

7.2 Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 80

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul tabel Halaman

2.1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan Faal Paru Berdasarkan Balai UPTK3 Surabaya

33

4.1 Variabel, Definisi Operasional dan Cara Pengukuran 43

5.1 Distribusi Usia Responden di PT X Tahun 2015 56

5.2 Gambaran Perbedaan Statistik Usia Responden di PT X Tahun 2015

56

5.3 Distribusi Masa Kerja Responden di PT X Tahun 2015 57 5.4 Gambaran Perbedaan Statistik Masa Kerja Responden di PT

X Tahun 2015

57

5.5 Distribusi Status Gizi Responden di PT X Tahun 2015 58 5.6 Gambaran Perbedaan Statistik IMT Responden di PT X

Tahun 2015

59

5.7 Distribusi Kebiasaan Merokok Berdasarkan Status Perokok Responden di PT X Tahun 2015

59

5.8 Distribusi Kebiasaan Merokok Berdasarkan Dosis Rokok Responden di PT X Tahun 2015

60

5.9 Distribusi Kebiasaan Olahraga Responden di PT X Tahun 2015

61

5.10 Hasil Pengukuran Kadar Debu di Area Boiler Batubara PT X Tahun 2015

61

5.11 Frekuensi Keluhan Subjektif Responden di PT X Tahun 2015

62

5.12 Distribusi Status Faal Paru Responden di PT X Tahun 2015 63 5.13 Gambaran Perbedaan Statistik % FEV1 dan %FVC

Responden PT X Tahun 2015

64

5.14 Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Nilai %FEV1

dan %FVC pada Kelompok Terpapar dan Tidak Terpapar Debu Batubara di PT X, Tahun 2015

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

2.1 Kurva aliran volume pada berbagai kondisi: O, kelainan

obstruktif; R(P), kelainan restriktif parenkimial; R(E) kelainan 34 restriktif ekstraparenkimal dengan keterbatasan pada

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Lampiran Halaman

1 Surat Izin Penelitian dari FKM Universitas Airlangga 84

2 Surat Izin Penelitian dari PT X 84

3 Sertifikat Laik Etik 85

4 Lembar Penjelasan Sebelum Penelitian 86

5 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian 89

6 Kuisioner Penelitian 90

7 Hasil Pengukuran Kadar Debu di Bagian Boiler 93

8 Hasil Pemeriksaan Faal Paru 94

9 Output SPSS 96

(14)

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

ACGIH = American Conference of Governmental Industrial Hygienist

APP = Alat Pelindung Pernapasan

CDC = Centers for Disease Control and prevention FEV1 = Forced Expiration Volume 1 second

FVC = Forced Vital Capacity

VC = Vital capacity

TLC = Total Lung Capacity

VT = Volume Tidal

ERV = Expiration Residual Volume

IRV = Inspiration Residual Volume

RV = Residual Volume

IC = Inspiratory Capacity

FRV = Functional Residual Volume

NAB = Nilai Ambang Batas

MVV = Maximal Voluntary Ventilation ILO = International Labour Organization

IMT = Indeks Masa Tubuh

NIOSH = National Institute of Occupational Safety and Health SCBA = Self-Contained Breathing Apparatus

SNI = Standar Nasional Indonesia

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Batubara adalah material mudah terbakar berwarna coklat sampai

kehitaman yang terbentuk dari pembusukan tumbuh-tumbuhan dan tertimbun

bebatuan selama jutaan tahun. Batubara merupakan bahan bakar fosil yang

jumlahnya paling melimpah sehingga sering digunakan sebagai bahan bakar

mesin ketel uap (boiler) di industri. Penggunaan batubara sebagai bahan bakar

tersebut menghasilkan debu yang menjadi salah satu sumber polutan udara di

kawasan industri. Paparan debu batubara setiap hari dalam waktu lama dapat

menimbulkan penyakit akibat kerja berupa gangguan saluran pernapasan hingga

penyakit pneumokoniosis (Government of Alberta, 2010).

Beberapa negara di dunia telah menetapkan NAB untuk debu batubara.

Angkanya bervariasi, US menetapkan 2 mg/m3, di Turki 5 mg/m3, dan di United

Kingdom 7 mg/m3. Sementara itu, ACGIH menetapkan NAB yang berbeda untuk

batubara sesuai jenisnya, yaitu 0,4 mg/m3 untuk jenis anthracit dan 0,9 mg/m3

jenis bituminous. Standar internasional menganut ketetapan 2 mg/m3 sebagai NAB

debu batubara (Onder dkk, 2009). Semua ketetapan tersebut lebih rendah

dibanding dengan ketetapan NAB debu umum karena debu batubara lebih

berbahaya dibandingkan debu secara umum. Peraturan SNI 19-0232-2005 tentang

NAB zat kimia di udara tempat kerja juga menyebutkan NAB untuk debu

(16)

mengacu pada NAB debu secara umum yang tercantum dalam Permenakertrans

Nomor PER.13/MEN/X/2011 tentang NAB faktor fisika dan kimia di tempat

kerja, yaitu 10 mg/m3, untuk area boilernya yang menggunakan batubara. Hal itu

membuat kemungkinan kadar paparan debu batubara di berbagai tempat kerja di

Indonesia lebih tinggi dari 2 mg/m3 sehingga peluang terjadinya gangguan saluran

pernapasan terhadap pekerjanya lebih tinggi.

Gangguan saluran pernapasan yang dialami oleh pekerja yang terpapar

debu batubara secara berulang dalam waktu lama dapat berupa obstruksi, restriksi,

maupun campuran keduanya. Obstruksi merupakan efek nonspesifik dari paparan

debu batubara karena obstruksi dapat pula terjadi karena paparan selain debu

batubara. Obstruksi dapat terjadi jika debu yang terhirup menumpuk di jaringan

epitel saluran pernapasan dan menyebabkan inflamasi. Akibat inflamasi tersebut

saluran pernapasan menyempit sehingga aliran udara terhambat. Debu batubara

bersifat fibrogenik dapat menimbulkan efek spesifik berupa fibrosis jaringan

interstisial paru, yaitu pembentukan jaringan ikat fibrosa yang dapat menurunkan

elastisitas alveolus. Penurunan elasititas alveolus ini membuat volume udara yang

ditampung alveolus berkurang sehingga terjadi restriksi paru (Suyono, 1995).

Restriksi paru merupakan salah satu indikasi terjadinya penyakit

pneumokoniosis. Debu asbes, silika, dan batubara merupakan penyebab utama

pneumokoniosis. Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja kronis

yang disebabkan oleh inhalasi debu batubara dalam waktu lama, dimana memicu

terjadinya inflamasi alveolus dan akhirnya menghasilkan kerusakan paru (CDC,

(17)

workers’ pneumokoniosis atau antrakosis. Prevalensi antrakosis diperkirakan akan

meningkat seiring dengan terus meluasnya area pertambangan batubara dan

perkembangan industri. Pada debu batubara sering terdapat pula debu silika

sehingga risiko terjadinya pneumokoniosis menjadi lebih besar. Fibrosis pada

antrakosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berhenti

progresivitasnya meskipun paparan debunya sudah dihilangkan sehingga sering

berujung pada kematian akibat kegagalan fungsi paru (Susanto, 2011).

Pemeriksaan untuk diagnosis antrakosis umumnya mahal dan rumit

sehingga jarang industri yang memfasilitasi pemeriksaan tersebut untuk

pekerjanya yang terpapar batubara. Hal itu membuat jumlah kasus antrakosis di

Indonesia tidak diketahui secara pasti. Terdapat tiga cara diagnosis, yaitu

pemeriksaan faal paru, analisis debu penyebab, dan pemeriksaan radiologi.

Pemeriksaan faal paru merupakan cara diagnosis yang paling sering dilakukan

dibandingkan yang lainnya karena lebih murah dan mudah (Susanto, 2011).

Analisis debu penyebab dilakukan untuk melihat debu mineral atau produk

metabolismenya yang terdapat dalam makrofag. Pemeriksaan radiologi dengan

foto toraks dan CT scan untuk melihat gambaran fibrosis yang terjadi dan ada

tidaknya opasitas halus pada zona paru atas yang merupakan ciri dari antrakosis.

Pemeriksaan faal paru dilakukan dengan menggunakan spirometri. Spirometri

dapat menunjukkan kapasitas volume paru seseorang sehingga dapat mendeteksi

obstruksi, restriksi, maupun campuran keduanya. Antrakosis berhubungan dengan

(18)

spirometri ini tidak dapat memberikan kepastian bahwa gangguan faal paru yang

terjadi merupakan akibat dari paparan debu batubara atau bukan (Susanto, 2011).

Data tentang prevalensi antrakosis bervariasi di tiap negara di dunia. Hasil

penelitian di Amerika menunjukkan adanya peningkatan prevalensi kematian

akibat antrakosis pada pekerja tambang batubara, yaitu 471 kasus pada tahun 2008

menjadi 486 kasus pada tahun 2010 (CDC, 2014). Usia pekerja yang terkena

antrakosis berat relatif masih muda, yaitu dibawah 50 tahun (NIOSH, 2011). Di

China, kasus antrakosis sebesar 48% dari total kasus pneumokoniosis (Liu dkk,

2009). Di Australia, terdapat lebih dari 1000 kasus pneumokoniosis dimana

6%-nya merupakan pneumokoniosis batubara (Smith dan Leggat, 2006).

Di Indonesia, data nasional tentang prevalensi antrakosis masih belum ada.

Data yang ada masih terbatas pada penelitian-penelitian berskala lokal pada

berbagai industri yang berisiko terjadi gangguan saluran pernapasan akibat

batubara. Prevalensi gangguan saluran pernapasan pada pekerja suatu tambang

batubara, yaitu 6% obstruksi dan 7,8% restriksi (Razi dkk, 2008). Sebesar 54,9%

pekerja yang berada di bagian coal handling PT PJB unit pembangkit Paiton

mengalami gangguan faal paru restriktif (Puspita, 2011). Hasil penelitian lain

pada pekerja boiler batubara di PT Indo Aciditama Tbk. sebanyak 25%

mengalami restriksi ringan, 65% mengalami restriksi sedang, dan 10% lainnya

normal (Asna, 2013). Semua hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat

pekerja yang mengalami restriksi paru dan berhubungan dengan paparan debu

batubara. Hal tersebut tidak dapat diabaikan bahwa kemungkinan pekerja tersebut

(19)

Mengingat bahwa gangguan faal paru akibat inhalasi debu batubara

bersifat irreversible dan dapat berujung fatal, maka mencegah terjadinya paparan

terhadap debu batubara merupakan hal terpenting. Pencegahan dapat dilakukan

dengan melakukan penyemprotan air di area penyimpanan batubara, pengaturan

ventilasi yang bagus, serta regulasi penggunaan alat pelindung pernapasan. Selain

itu juga harus ada program surveilens kesehatan melalui pemeriksaan faal paru

pekerja yang berfungsi untuk diagnosis dini sebagai langkah pencegahan

selanjutnya. Diagnosis dini bermanfaat agar gangguan faal paru yang terdeteksi

segera mendapatkan perawatan untuk mencegah atau memperlambat progesivitas

fibrosis parunya. (Fiswick, 2008).

Telah lama diketahui bahwa pekerja yang bekerja di area berdebu seperti

pengolahan batubara lebih mungkin megalami gangguan faal paru dibandingkan

pekerja di area lain (Jones dkk, 2002). PT X merupakan salah satu industri yang

mempunyai dua buah boiler berbahan bakar batubara yang beroperasi penuh

selama 24/hari. Sebesar 11 orang pekerja boiler PT X yang terbagi ke dalam tiga

shift kerja setiap harinya terpapar langsung debu batubara ketika

loading-unloading batubara, crusher, pemasukan batubara ke dump hopper, dan

pembersihan stop plant boiler. Pekerja di bagian boiler tersebut tidak semuanya

patuh menggunakan respirator secara rutin saat bekerja sehingga risiko

mengalami gangguan faal paru lebih tinggi. Namun, tidak menutup kemungkinan

pekerja di bagian lain yang tidak terpapar debu batubara langsung juga mengalami

gangguan faal paru. Hal tersebut karena kondisi faal paru seseorang dipengaruhi

(20)

individu terdiri dari umur, ukuran tubuh, masa kerja, kebiasaan merokok, dan

kebiasaan olahraga (Harrington, J.M dan Gill, 2005).

Pada masa anak-anak hingga usia 24 tahun paru manusia masih

berkembang seiring pertambahan usia. Namun, pada usia 30 tahun biasanya

fungsi paru sudah mulai menurun secara gradual sekitar 20 ml tiap tahunnya

(Guyton, 1997). Merokok dapat mengakibatkan hipertrofi sel mukosa dan

bertambahnya kelenjar mukus sehingga terjadi obstruksi saluran pernapasan.

Orang yang merokok dengan dosis ≥ 20 batang perhari berisiko enam kali lipat

terkena bronkitis kronis dibandingkan bukan perokok (Menezes dkk, 1994).

Interpretasi hasil pemeriksaan fungsi paru pekerja harus mempertimbangkan

faktor-faktor tersebut untuk menentukan gangguan fungsi paru yang terjadi

disebabkan oleh paparan debu batubara atau bukan.

1.2 Identifikasi Masalah

PT X adalah industri manufaktur dan agribisnis yang memproduksi

minyak goreng dan margarin dari crude palm oil (CPO). PT X menggunakan dua

buah boiler dengan bahan bakar batubara untuk menghasilkan uap panas bagi

mesin produksi di refinery 1, refinery 2 dan refinery 3. Sebanyak 11 orang pekerja

di bagian boiler yang terbagi ke dalam 3 shift, mempunyai risiko lebih besar untuk

mengalami gangguan faal paru dibandingkan pekerja di PT X pada bagian lain

karena setiap hari terpapar debu batubara langsung pada saat melakukan

loading-unloading batubara, crusher, pemasukan batubara ke dump hopper, dan

(21)

Data dari laporan hasil pengukuran debu semester II tahun 2014 PT X

menunjukkan konsentrasi debu dan partikulat di area boiler batubara < 0,001 mg/

m3, di cerobong batubara 210 mg/Nm3, dan pada gudang penyimpanan batubara

0,033 mg/Nm3. Meskipun kadar debu yang terukur masih di bawah NAB, namun

tidak menutup kemungkinan bahwa pekerja dibagian boiler yang bertahun-tahun

terpapar debu batubara mengalami gangguan faal paru. Gangguan faal paru

diawali dengan adanya gejala gangguan sistem pernapasan. Kemungkinan pekerja

bagian boiler mengalami gangguan faal paru tersebut diperkuat oleh data hasil

monitoring kesehatan rutin maupun data kunjungan karyawan ke poliklinik

perusahaan selama Maret 2014 - Maret 2015 yang menunjukkan bahwa keluhan

penyakit tertinggi pekerja adalah ISPA. Menurut Suma’mur (2011), gejala pada

gangguan faal paru atau pneumokoniosis antara lain batuk kering, sesak napas,

banyak dahak, dan kelelahan umum dimana gejala tersebut mirip dengan ISPA.

Selama ini belum ada data mengenai pemeriksaan kesehatan khusus

terhadap faaal paru pekerja bagian boiler PT X. Berdasarkan Permenaker Trans

No. Per.02/MEN/1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja dalam

penyelenggaraan keselamatan kerja, terdapat kewajiban melakukan pemeriksaan

kesehatan khusus yang dimaksudkan untuk menilai adanya pengaruh dari

pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja tertentu. Pemeriksaan kesehatan khusus

tersebut dapat dilakukan pada tenaga kerja yang terdapat dugaan-dugaan tertentu

mengenai gangguan kesehatannya.

Selain karena paparan debu batubara, gangguan faal paru pekerja juga

(22)

paparan, status gizi, kebiasaan merokok, kebiasaan penggunaan alat pelindung

pernapasan, kebiasaan olah raga, dan riwayat penyakit saluran pernapasan. Oleh

karena itu, sebagai pembanding kondisi faal paru pekerja bagian boiler yang

terpapar langsung debu batubara diperlukan pemeriksaan terhadap kondisi faal

paru pekerja lain yang tidak terpapar langsung oleh debu batubara, yaitu pekerja

bagian kantor packaging warehouse, sehingga dapat terlihat risiko relatif

gangguan faal paru pada pekerja bagian boiler dibandingkan dengan pekerja di

bagian lain.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahannya yaitu “Apakah terdapat pengaruh paparan debu

batubara terhadap status faal paru pada pekerja di PT X Surabaya?”.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

pengaruh paparan debu batubara terhadap status faal paru pekerja di PT X

Surabaya.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus pada penelitian ini, antara lain:

1. Mengidentifikasi perbedaan karakteristik pekerja (umur, masa kerja, status

gizi, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga) bagian boiler dan bagian

(23)

2. Mengidentifikasi konsentrasi paparan debu di bagian boiler dan bagian

packaging warehouse PT X.

3. Mengidentifikasi gambaran faal paru pekerja di bagian boiler dan bagian

packaging warehouse PT X.

4. Menganalisis pengaruh paparan debu batubara, umur, masa kerja, status

gizi, kebiasaan merokok, dan kebiasaan olahraga terhadap status faal paru

pekerja di bagian boiler dan bagian packaging warehouse PT X.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bagi beberapa pihak, antara lain:

1. Bagi perusahaan

Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai kondisi faal paru

perkerja yang terpapar debu batubara dan faktor-faktor yang

mempengaruhi kondisi faal paru tersebut sehingga dapat menjadi bahan

pertimbangan untuk program kesehatan terkait faal paru pekerja.

2. Bagi penulis

Melatih kemampuan dalam menganalisis permasalahan kesehatan dan

keselamatan kerja serta menambah wawasan peneliti tentang pengaruh

paparan debu batubara terhadap kondisi faal paru pekerja.

3. Bagi institusi pendidikan

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi tambahan bagi

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Debu

2.1.1 Pengertian Debu

Debu adalah partikel zat kimia padat yang terbentuk akibat adanya

kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, penghalusan,

pengepakan secara cepat, peledakan dan sejenisnya dari suatu benda organis

maupun anorganis, misalnya batubara, kayu, bijih logam, kapur, dan batu. Sifat

debu tersebut adalah tidak berflokulasi (tidak menggumpal) kecuali jika ada gaya

tarikan elektris, tidak berdifusi, dan dapat mengendap akibat adanya gaya

gravitasi bumi (Suma’mur, 2011). Menurut definisi IUPAC (1990), selain karena

aktifitas mekanis manusia, debu dapat tersebar di udara karena adanya kekuatan

alam seperti angin dan letusan gunung berapi. Partikel debu tersebut biasanya

berdiameter antara 1 – 100 µm.

Lewis (1998) mendefinisikan debu berdasarkan ukuran dan sifatnya yaitu

partikel kering yang halus atau bubuk yang ringan sehingga dapat

melayang-layang di udara dalam beberapa waktu. Partikel debu berdiameter < 10 µm dan

mempunyai sifat toksik dapat berbahaya jika terhirup dalam saluran pernapasan.

Sedangkan dalam ilmu pencemaran udara, debu difinisikan sebagai partikel yang

paling berpengaruh besar terhadap pencemaran udara. Sifat kimia dan sifat fisik

(25)

2.1.2 Jenis-jenis Debu

Menurut Mengkidi (2006), jenis debu dapat dikelompokkan berdasarkan akibat fisiologisnya terhadap manusia atau tenaga kerja yang terpapar debu sesuai

tingkat bahayanya, antara lain:

1) Debu fibrogenik, yaitu debu yang dapat menyebabkan fibrosis pada sistem

pernapasan. Contohnya adalah debu silika, debu asbes, timah putih, dan

batubara.

2) Debu karsinogenik, yaitu debu yang dapat merangsang terbentuknya sel

kanker. Contohnya debu hasil peluruhan radon, arsenik, dan asbes.

3) Debu-debu yang mempunyai sifat toksik terhadap organ atau jaringan

tubuh. Contohnya debu mercury, uranium, radium, torium, mangan,

timbal, arsen, selenium, nikel, dan perak.

4) Debu radioaktif, yaitu debu yang mempunyai radiasi alfa dan beta.

Contohnya bijih-bijih torium, uranium, dan radium.

5) Debu eksplosif, yaitu debu yang mudah meledak pada suhu atau kondisi

teertentu. Contohnya debu metal. Batubara, bijih sulfida, dan debu

organik.

6) debu inert (nuisance dust), yaitu debu yang mengandung < 1% kuarsa.

Debu jenis ini dapat mengganggu kenyamanan dalam bekerja,

menimbulkan iritasi pada kulit dan selaput lendir, serta dapat mengganggu

pandangan mata. Kandungan kuarsanya yang rendah membuat debu jenis

ini tidak dapat menyebabkan fibrosis paru. Contoh nuisance dust adalah

(26)

7) Respirable dust, yaitu partikel debu berukuran < 10 mikron yang dapat

masuk ke dalm hidung hingga ke dalam paru bagian dalam.

8) Inhalable dust atau irrespirable dust, yaitu debu yang tidak dapat masuk

ke saluran pernapasan manusia bagian dalam karena ukurannya > 10

mikron. Debu jenis ini akan tertahan di hidung.

2.1.3 Sifat-sifat Debu

Debu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut (Pudjiastuti, 2002):

1) Dapat mengendap, yaitu debu mengendap ke permukaan tanah atau benda

karena adanya gaya gravitasi bumi. Namun, untuk debu yang berukuran

relatif sangat kecil cenderung tetap melayang di udara.

2) Permukaannya basah, yaitu permukaan debu dilapisi oleh air yang sangat

tipis. Hal ini berhubungan dengan sifat debu lainnya yaitu dapat

menggumpal.

3) Dapat menggumpal, yaitu cenderung menempel satu sama lain bila

kelembaban udara di atas titik saturasi dan adanya turbulensi di udara.

4) Mempunyai listrik statis, yaitu sifat listrik yang dapat menarik partikel lain

yang berlawanan. Hal tersebut juga mempermudah debu untuk

menggumpal.

5) Bersifat opsis, yaitu partikel yang basah/lembab dapat memancarkan sinar

yang dapat terlihat dalam ruangan gelap.

2.1.4 Dampak Paparan Debu terhadap Saluran Pernapasan

Paparan debu yang terinhalasi dan terdeposit di saluran pernapasan dalam

(27)

debu untuk menimbulkan gangguan terhadap saluran pernapasan tersebut

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Solubility

Solubility adalah kemampuan kelarutan debu dalam air. Kelarutan dalam

air ini berpengaruh terhadap lokasi terdepositnya debu tersebut. Debu yang

mudah larut dalam air (soluble) akan terabsorbsi dari seluruh jalur

pernapasan dan langsung masuk ke pembuluh darah kapiler alveoli.

Sedangkan debu insoluble yang berukuran kecil dapat terdeposit di

berbagai tempat. Debu insoluble dapat menembus alveoli lalu masuk ke

saluran limfa atau ruang peribronkhial. Kemungkinan lain adalah debu

insoluble tersebut ditelan oleh sel fagosit. Sel fagosit tersebut kemudian

masuk ke dalam saluran limfa, atau ke ruang peribronkhial melalui

dinding alveoli, atau ke bronkhioli, dimana selanjutnya oleh

rambut-rambut getar (cillia) dipindahkan ke saluran pernapasan atas (Suma’mur,

2011).

2) Jenis debu

Jenis debu merupakan determinan utama terhadap bentuk gangguan

saluran pernapasan yang timbul.

3) Konsentrasi debu

Semakin tinggi konsentrasi debu yang terinhalasi ke dalam saluran

pernapasan maka semakin banyak debu yang terdeposit di sana. Maka,

efek potensial terhadap terjadinya gangguan semakin tinggi dan semakin

(28)

4) Ukuran partikel debu

Ukuran partikel debu menentukan lokasi terdepositnya debu di dalam

saluran pernapasan dimana lokasi terdepositnya debu tersebut menentukan

bentuk gangguan terhadap saluran pernapasannya. Debu berukuran 5-10

mikron akan tertahan di saluran pernapasan bagian atas, ukuran 3-5

mikron akan berada di saluran napas tengah (trakea dan bronkhiolus),

ukuran 1-3 mikron akan mengendap di permukaan alveoli, sedangkan

yang berukuran di bawah 0,1 mikron akan melayang atau bergerak keluar

masuk alveoli karena tidak mengalami pengendapan. Semakin kecil

ukuran partikel debu maka dampak gangguan yang timbul akan semakin

berbahaya (Suma’mur, 2011).

5) Durasi paparan

Pada umumnya, dampak gangguan saluran pernapasan akibat debu akan

nampak setelah paparan dalam waktu bertahun-tahun. Semakin lama

paparan, dosis paparan debu yang diterima juga akan meningkat sehingga

dampak gangguan saluran pernapasan semakin parah.

Debu yang dapat menyebabkan penyakit akibat kerja dibedakan menjadi

dua macam, yaitu debu kerja yang bersifat fibrogenik (dapat menyebabkan

fibrosis jaringan) dan debu kerja nonfibrogenik. Contoh dari debu kerja yang

mempunyai sifat fibrogenik adalah silika, asbes, dan batubara. Pekerja yang

menghirup debu kerja fibrogenik dapat berpotensi menghasilkan lebih banyak

jaringan ikat paru. Sedangkan akumulasi debu nonfibrogenik biasanya hanya

(29)

jaringan ikat, dan efek yang umum adalah iritasi. Debu nonfibrogenik disebut juga

debu inert, contohnya adalah debu kaolin, titanium doiksida, barium sulfat, dan

ferroksida (Harrianto, 2010).

Debu mineral yang bersifat fibrogenik dapat menyebabkan kerusakan paru

sehingga dapat mengakibatkan kematian karena kegagalan napas. Mekanisme

terjadinya kerusakan paru pada pneumokoniosis diawali dengan terjadinya

penimbunan debu berukuran 1 - 3 mikron di alveoli. Adanya endapan debu

tersebut menimbulkan reaksi jaringan berupa perubahan struktur permanen

alveoli, pembentukan kolagen mulai sedang sampai maksimal, serta terbentuknya

jaringan parut permanen dalam paru. Ketika terbentuk nodul-nodul jaringan

kolagen, nodul-nodul tersebut melingkar mengelilingi debu, menarik pembuluh

darah, limfa, dan saluran napas kecil yang ada di sekitarnya sehingga

menyebabkan terjadinya keadaan iskemik paru dan merangsang pembentukan

jaringan parut sekunder. Pembentukan jaringan parut tersebut menurunkan

elastisitas paru untuk mengembang dan mengempis sehingga volume udara yang

ditampung alveolus menurun dan terjadilah restriksi paru (Suma’mur, 2011).

Dampak paparan debu berupa iritasi dan pembengkakan paru biasanya

disebabkan oleh debu nonfibrogenik yaitu beryllium, zinc chloride, boron

hydrides, magnesium, cynamid, dan debu dari pestisida. Bila iritasi tersebut terus

berlanjut dalam waktu lama maka dapat menjadi penyakit bronkitis kronis dan

berkembang menjadi emfisema. Debu organik biasanya dapat menimbulkan efek

alergi pada individu yang sensitif, misalnya debu gandum, spora jamur, teh, kopi,

(30)

kerja. Asma kerja merupakan serangan sesak napas paroksimal akibat adanya

peningkatan kepekaan dari trakhea dan bronkhus karena adanya berbagai macam

stimulus yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan secara

menyeluruh. Selain karena debu organik, asma kerja juga dapat terjadi karena

paparan debu logam (platinum, kromium, nikel), senyawa organik (formaldehid,

isosianat, zat pewarna aktif, dan sebagainya), dan obat-obatan (khususnya

antibiotik. Zat-zat alergen tersebut merangsang reaksi imunologis berupa

bronkokonstriksi, pembengkakan mukosa bronkus, dan sekresi lendir yang

berlebihan pada bronkus (Harrianto, 2010).

2.2 Batubara

2.2.1 Pengertian Batubara

Batubara merupakan material mudah terbakar berwarna coklat sampai

kehitaman yang terbentuk dari pembusukan tumbuh-tumbuhan dan tertimbun

bebatuan selama jutaan tahun. Pemrosesan atau pengolahan batubara sebagai

bahan bakar menghasilkan debu batubara. Debu batubara adalah material batubara

yang berbentuk bubuk, berasal dari hancuran batubara saat terjadi proses

pengolahan batubara yang meliputi pemecahan, penghalusan, transportasi, dan

pelapukan. Debu batubara ini mengandung lebih dari 50 zat. Kandungan zat

mineral batubara tersebut bergantung pada besar partikel debunya dan jenis

(31)

2.2.2 Jenis-Jenis Batubara

Terdapat empat jenis batubara dimana perbedaan dari keempat jenis

tersebut adalah berdasarkan jenis materi tumbuhan penyusun batubara tersebut.

Keempat jenis batubara itu antara lain:

1) Lignite, yaitu batubara berwarna coklat kehitaman dan paling lembab

sehingga tingkat panas yang dihasilkan rendah. Jumlah batubara jenis

lignite ini paling besar di dunia.

2) Sub-Bituminous, yaitu batubara berwarna hitam yang mengandung

kelembaban 15 – 30%. Jenis ini kurang mudah terbakar dibandingkan

jenis bituminous.

3) Bituminous, yaitu jenis batubara yang paling umum dan penting bagi

industri karena nilai panas dan kulitas karbon batubara jenis ini paling

bagus.

4) Anthracite, yaitu batubara berwarna hitam yang terletak di bagian bumi

paling dalam dibandingkan jenis batubara yang lain. Jumlah batubara

anthracite paling sedikit, konsentrasi karbonnya paling tinggi, dan nilai

panasnya juga tinggi.

Kadar debu yang dihasilkan antar jenis batubara berbeda-beda sesuai

tingkatan umur batubaranya. Jenis lignite merupakan yang paling banyak

menghasilkan debu, sedangkan yang paling sedikit menghasilkan debu adalah

(32)

2.2.3 Karakteristik Batubara

Kandungan utama batubara adalah karbon, hidrogen, sulfur, fosfor serta

silika bebas. Komposisi zat-zat tersebut bervariasi tergantung lokasi tambangnya.

Karakteristik batubara meliputi (Aladin, 2011):

1) Berat jenis

Berat jenis batubara berbeda-beda sesuai jenisnya. Berat jenis lignit dan

antrasit 1,5 g/cm3, bituminous 1,25 g/cm3, dan graffit 2,2 g/cm3. Selain

tergantung pada jenis batubaranya, berat jenis batubara juga dipengaruhi

oleh jumlah dan jenis mineral yang dikandung abunya serta kerapatan

porositasnya.

2) Kandungan air/Kelembaban

Baubara yang baik adalah batubara yang kering atau tidak lembab.

Batubara yang lembab akan menjadi lengket sehingga menyulitkan proses

pemecahan batubaranya. Selain itu, kandungan air batubara yang banyak

dapat menurunkan nilai panasnya.

3) Zat terbang (volatile matter)

Zat terbang adalah mineral yang terbentuk jika batubara dipanaskan

sampai suhu 950°C. Zat terbang tersebut terdiri dari campuran gas

senyawa organik yang akan mencair menjadi bentuk minyak dan tar

bertitik didih rendah. Zat terbang ini penting untuk mengendalikan asap

dan pembakaran pada proses pemanfaatan batubara sebagai sumber panas.

Semakin tinggi zat terbang dari suatu pembakaran batubara maka semakin

(33)

(lama), semakin mudah melakukan pembakaran rendah Nox, dan mampu

terbakar hingga habis. Sifat batubara yang demikian adalah yang cocok

digunakan untuk bahan bakar boiler. Namun tingginya kandungan zat

terbang juga berbahaya karena dapat terbakar secara spontan (spontaneous

combustation).

4) Porositas

Batubara mengandung dua sistem pori, yaitu pori berukuran rata-rata

500A° dan pori berukuran rata-rata 5-15A°. Porositas ini berkaitan dengan

kemudahan batubara dalam menyerap suatu zat. Contohnya, low volatile

bituminous coal porinya besar, lebih mudah menyerap CH4 sehingga

sering terjadi ledakan dan kebakaran ditambang-tambang jenis batubara

tersebut.

5) Weathering

Weathering adalah sifat kecenderungan batubara untuk pecah bila dalam

kondisi kering. Umumnya setiap batubara cepat atau lambat akan

menunjukkan proses weathering bila kontak dengan atmosfer. Hal ini

menyebabkan batubara di tempat penyimpanan mudah terbakar karena

jumlah panas yang dibebaskan saat proses oksidasi lebih besar

dibandingkan panas yang ada pada proses konduksi atau konveksi.

6) Abu

Abu merupakan residu yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Unsur

utama abu tersebut antara lain natrium, kalsium, magnesium, kalium,

(34)

7) Pecahan

Bentuk potongan batubara dapat menentukan sifat dan mutunya. Misalnya,

batubara dengan kandungan zat terbang yang tinggi bentuk pecahannya

cenderung persegi, balok, atau kubus.

8) Kandungan karbon

Semakin tinggi kandungan senyawa karbonnya, maka semakin tinggi

panas yang dapat dihasilkan. Jumlah karbon batubara meningkat sesuai

derajat batubara, yaitu rendah pada jenis lignit, meningkat pada antrasit

dan hampir 100% pada jenis grafit.

2.2.4 Nilai Ambang Batas Debu Batubara

Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar pemaparan kerja yaitu

pedoman kualitatif dan kuantitatif bagi penerapan perlindungan kesehatan tenaga

kerja terhadap efek pemarapan kerja. NAB adalah standar Indonesia untuk faktor

bahaya kimia dan fisika di tempat kerja yang merupakan pedoman pengendalian

agar tidak mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan. Nilai ketetapan yang

dipakai NAB megadopsi dari Threshold Limit Value (TLV) yang merupakan

standar ketetapan oleh ACGIH dan bisa juga mengacu pada Maximun Allowable

Conentration(MAC) yang merupakan standar Rusia (Suma’mur, 2011).

Peraturan di Indonesia menetapkan NAB untuk kadar debu total di tempat

kerja adalah 10 mg/m3 (Depnakertrans, 2011). Sedangkan nilai ambang batas

untuk debu batubara tidak disebutkan secara spesifik dalam peraturan tersebut. Di

negara lain, NAB yang ditetapkan untuk debu batubara berbeda-beda. Amerika

(35)

Sementara itu, ACGIH menetapkan NAB yang berbeda untuk batubara sesuai

jenisnya, yaitu 0,4 mg/m3 untuk jenis antrachit dan 0,9 mg/m3 jenis bituminous.

Namun, aturan standar internasional menganut ketetapan 2 mg/m3 sebagai NAB

debu batubara (Onder dkk, 2009).

2.2.5 Penyakit Paru Kerja Akibat Debu Batubara

Terdapat beberapa penyakit paru yang diakibatkan oleh paparan debu

batubara, antara lain:

1) Pneumokoniosis batubara

Pneumokoniosis batubara adalah penyakit akibat inhalasi debu batubara

sehingga terjadi penumpukan debu batubara di paru dan menimbulkan reaksi

jaringan paru terhadap tumpukan debu tersebut (ILO, 2002). Pneumokoniosis

batubara disebut juga antrakosis atau coal workers’ pneumoconiosis. Penyakit

ini juga sering disebut black lung disease karena gambaran rontgen paru

menunjukkan adanya warna hitam yang merupakan penumpukan debu

batubara di paru. Rerata lamanya pajanan sekitar 12 tahun baru akan

menimbulkan pneumokoniosis batubara atau tanpa penurunan fungsi paru atau

dapat berkembang menjadi fibrosis masif progresif yang diikuti penurunan

fungsi paru berat (Suma’mur, 2011)

Partikel-partikel batubara berukuran lebih dari 5 µm hingga 15 µm yang

mengendap pada saluran napas menyebabkan iritasi (bronkitis) yang bersifat

dapat sembuh atau kembali pulih. Partikel berukuran 0,5 µm hingga 5 µm

berhasil masuk hingga alveolus, umumnya dibersihkan dan dikeluarkan lagi

(36)

tinggi mengakibatkan retensi partikel tersebut di dalam jaringan paru dan

kelenjar limfe. Hanya jika retensi sangat berat (sekurang-kurangnya 50 g/paru)

maka reaksi jaringan derajat rendah baru dapat benar-benar mengakibatkan

gangguan paru (Suyono, 1995). Umumnya, jarang pekerja yang terpapar debu

batubara mengalami kegagalan fungsi paru yang bermakna, karena debu

batubara merupakan debu yang berpotensi fibrogenik rendah (Harrianto, 2010).

Antrakosis mungkin ditemukan dalam tiga gambaran klinis, yaitu

antrakosis murni, silikoantrakosis, dan tubersilikoantrakosis. Apabila terjadi

siliko antrakosis murni disertai emfisema, hal ini sangat berbahaya dan dapat

mengakibatkan kematian. Namun, jika hanya terjadi antrakosis murni tanpa

emfisema biasanya tidak berbahaya dan lambat untuk berkembang menjadi

penyakit yang berat. Masa laten penyakit ini adalah 2-4 tahun. Perjalanan klinis

penyakit ini berlangsung lama, terkadang penderita tidak menunjukkan gejala

meskipun hasil rontgen paru menunjukkan adanya kelainan. Gejala yang

terkadang muncul adalah sesak napas, sering batuk dan mengeluarkan dahak

berwarna hitam dimana hal ini menandakan terjadinya melanoptisis (Suma’mur

2011).

2) Silikosis

Kristalin silica seringkali ditemukan pada debu batubara sehingga

pekerja yang terpapar debu batubara juga berpotensi terkena silikosis. Silikosis

disebabkan oleh debu kristalin silika berukuran < 10 mikron yang terhirup dan

terdeposit di paru. Jaringan paru bereaksi terhadap tumpukan silika tersebut

(37)

silika di paru. Jika nodul semakin besar dan lukanya menjadi ekstensif, maka

akan terjadi kesulitan bernapas yang dapat mengakibatkan kematian

(Government of Alberta, 2010).

3) Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)

COPD adalah hambatan aliran udara dalam saluran pernapasan karena

adanya bronkitis kronis atau emfisema. Hambatan aliran udara ini dikarenakan

terjadinya inflamasi di saluran pernapasan yang seringkali bersifat progresif

dan tidak dapat sepenuhnya kembali pulih normal. Gejala yang muncul akibat

COPD adalah napas terputus-putus dan pendek. Penurunan fungsi paru timbul

pada saat terjadi peningkatan jumlah pejanan debu batubara dalam tubuh

ditambah dengan adanya kebiasaan merokok (Government of Alberta, 2010).

2.3 Anatomi dan Fisiologi Pernapasan Manusia 2.3.1 Anatomi Pernapasan Manusia

Saluran pernapasan atau tractus respiratorius adalah bagian tubuh

manusia yang berfungsi sebagai jalur lintasan tempat pertukaran gas dalam proses

pernapasan dimana berpangkal pada hidung dan berakhir pada paru-paru.

Pernapasan merupakan proses ganda, yaitu terdiri dari pernapasan dalam

(ekstrinsik) dan pernapasan luar (intrinsik). Pernapasan eksternal adalah proses

resapan oksigen dalam udara di alveoli ke dalam darah di kapiler alveoli serta

proses resapan karbondioksida dalam arah sebaliknya. Sedangkan pernapasan

internal adalah proses pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara kapiler

(38)

persediaan oksigennya dan melepaskan produk oksidasinya (H2O dan CO2) pada

saat yang bersamaan (Pearce, 2009).

Pearce (2009) menyebutkan bahwa saluran pernapasan manusia terdiri

dari:

1) Nares Anterior

Nares anterior adalah saluran-saluran dalam lubang hidung yang

bermuara pada bagian yang disebut vestibulum (rongga) hidung. Verstibulum

ini dilapisi oleh epitelium bergaris yang terhubung dengan kulit. Nares anterior

terdiri dari lapisan yang mengandung kelenjar-kelenjar sebasius dan tertutupi

oleh bulu kasar.

2) Rongga hidung

Hidung merupakan saluran pernapasan udara pertama, terdiri dari dua

lubang (cavum nasi) yang dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Rongga

hidung dilapisi selaput lendir yang mengandung banyak pembuluh darah dan

tersambung dengan lapisan faring serta semua selaput lendir dari semua sinus

yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Daerah pernapasan

dilapisi oleh epithelium dan sel epitel berambut yang mengandung sel lendir

dimana sel lendir tersebut berfungsi untuk membuat permukaan nares tetap

basah.

Udara yang masuk ke dalam rongga hidung disaring oleh bulu-bulu yang

terdapat dalam vestibulum. Udara tersebut kemudian kontak dengan permukaan

lendir sehingga membuat udara menjadi hangat dan lembab karena terkena

(39)

berfungsi menghubungkan lubang-lubang dari sinus udara para-nasalis yang

masuk ke dalam rongga-rongga hidung, dan juga menghubungkan

lubang-lubang nasolakrimal yang menyalurkan air mata dari mata hingga ke dalam

hidung.

3) Faring (tekak)

Faring atau yang juga lebih dikenal dengan nama tekak adalah pipa

berotot yang membujur mulai dari dasar tengkorak sampai persambungannya

dengan osofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Jadi faring terletak di

belakang rongga hidung, mulut, dan laring. Faring merupakan tempat

persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Pada waktu menelan

makanan, laring akan tertutup oleh epigloting (empang tenggorok).

4) Laring (tenggorok)

Laring terletak pada bagian faring terendah yang memisahkan dengan

kolumna vertebrata. Bagian laring terdiri dari kepingan tulang rawan yang

terikat bersama ligamen dan membran. Di dalam laring juga terdapat pita suara

yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis. Suara dihasilkan karena adanya

getaran pita yang disebabkan oleh udara yang melalui glottis.

5) Trakhea (batang tenggorok)

Trakhea panjangnya sekitar 9 cm, mulai dari laring sampai kira-kira

ketinggian vertebrata torakalis kelima dan selanjutnya bercabang menjadi dua

bronkhus. Trakhea tersusun atas 14 – 20 cincin tulang rawan yang terikat

dengan jaringan fibrosa. Trakhea juga dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri

(40)

gerakan silia ini debu dan butiran halus lainnya yang masuk ke dalam saluran

pernapasan dapat dikeluarkan kembali.

6) Bronkhus

Struktur dan lapisan bronkhus serupa dengan struktur dan lapisan pada

trakhea, yaitu struktur tulang rawan dan lapisan epitelium bersilia serta sel

lendir, karena bronkhus merupakan percabangan dari trakhea. Bronkhus kiri

dan kanan tidak simetris. Bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan

arahnya hampir vertikal dengan trakhea. Sebaliknya, bronkhus kiri lebih

panjang, lebih sempit, dan sudutnya juga lebih langsing. Imlpilasi klinis dari

bentuk anatomi yang demikian adalah jika ada benda asing yang terhirup ke

dalam saluran pernapasan, maka benda tersebut akan lebih mungkin berada di

bronkhus kanan daripada bronkhus kiri karena arah dan bentuknya yang lebih

lebar. Bronkhus kanan mempunyai tiga cabang, yang pertama disebut bronkhus

lobus atas. Cabang kedua disebut bronkhus lobus bawah timbul setelah cabang

utama melalui bawah arteri. Cabang selanjutnya adalah cabang lobus tengah

yang keluar dari bronkus lobus bawah.

Cabang utama bronkhus kiri dan kanan bercabang lagi menjadi bronkhus

lobaris dan kemudian bronkhus segmentalis. Percabangan ini sangat banyak

dan berjalan terus sampai makin lama makin kecil dan akhirnya menjadi

bronkhiolus terminalis. Makin kecil salurannya, susunan tulang rawannya

semakin berkurang dan akhirnya hanya tersusun dari dinding fibrosa berotot

dan silia. Bronkhiolus terminalis masuk ke dalam vestibula, di dalam vestibula

(41)

alveoli. Alveoli terdiri dari sel epitelium pipih. Di alveoli terjadi pertukaran

gas.

7) Paru

Paru merupakan alat pernapasan utama karena di dalam paru terdapat

alveolus yang merupakan unit fungsional paru sebagai tempat pertukaran gas

pernapasan. Paru terletak di dalam rongga dada sebelah kanan dan kiri. Paru

kanan terdiri dari tiga lobus sedangkan paru kiri terdiri dari dua lobus. Paru

merupakan organ yang berbentuk kerucut deangn puncak di atas. Pangkal paru

berada di atas diafragma. Setiap paru dilindungi oleh pleura yang terdiri dari

membran serosa rangkap dua. Pleura visceral merupakan selaput yang

langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal adalah selaput yang

melapisi rongga dada sebelah luar. Di antara pleura visceral dan pleura parietal

terdapat sedikit eksudat untuk melumasi permukaannya sehingga dapat

menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu bergerak

karena bernapas.

2.3.2 Fisiologi Pernapasan Manusia

Fungsi paru adalah untuk pertukaran gas oksigen dan karbondioksida

(respirasi). Pernapasan melalui paru disebut ventilasi pulmunari, yaitu proses

pergerakan udara antara atmosfer (udara luar) dengan paru. Pergerakan udara

tersebut terjadi karena adanya perubahan tekanan udara dalam paru. Oksigen

dihirup melalui hidung dan mulut kemudian masuk ke trakhea, ke pipa bronkhial,

dan ke alveoli. Oksigen dalam udara yang terhirup kemudian menembus membran

(42)

Sementara itu, karbondioksida yang merupakan salah satu hasil buangan

metabolisme menembus membran alveolar-kapiler dari kapiler darah ke alveolus

kemudian dibawa keluar melalui pipa bronkial, trakhea dan terkhir mulut atau

hidung. Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler

darah tersebut dinamakan difusi.

Pearce (2009) menyebutkan empat proses yang berhubungan dengan

pernapasan pulmoner, yaitu:

1) Ventilasi pulmoner, yaitu gerak pernapasan menukar udara dalam

pernapasan dan atmosfer.

2) Arus darah melalui paru-paru.

3) Distribusi arus darah dan arus udara sehingga semua bagian tubuh

mendapat pasokan dalam jumlah yang tepat sesuai dengan kebutuhannya.

4) Difusi gas menembus membran pemisah kapiler dan alveoli. Gas

karbondioksida lebih mudah berdifusi daripada gas oksigen.

Pada saat keadaan pernapasan normal, darah yang keluar dari paru akan

menerima karbondioksida dan oksigen dalam jumlah yang tepat. Namun, apabila

tubuh bergerak lebih banyak maka darah dari paru akan membawa gas

karbondioksida yang lebih banyak daripada oksigennya. Jumlah karbondioksida

yang terlalu banyak tersebut tidak dapat dikeluarkan sehingga konsentrasinya

dalam darah meningkat. Hal tersebut merangsang peningkatan kecepatan dan

dalamnya pernapasan untuk mengeluarkan lebih banyak karbondioksida dan

(43)

2.3.3 Patofisiologi

Debu, aerosol, dan zat iritan kuat merupakan agen yang dapat

menimbulkan terjadinya reflek batuk bahkan spasme laring atau penghentian

napas. Zat-zat tersebut jika dapat masuk hingga ke dalam paru dapat

menyebabkan bronkitis toksis, pembengkakan paru atau pneumonitis. Seseorang

biasanya toleran terhadap paparan zat-zat tersebut dalam kadar rendah karena

adanya mekanisme sekresi mukus yang merupakan mekanisme khas pada

penyakit bronkitis yang juga sering dijumpai pada perokok (Suyono, 1995).

Partikel debu atau aerosol berukuran lebih dari 5 µm – 15 µm hanya

mampu masuk sampai saluran pernapasan bagian atas dan menimbulkan efek

iritasi dan menyebabkan obstruksi atau penyumbatan aliran udara pernapasan.

Sedangkan debu yang berukuran 0,5 µm sampai 5 µm dapat masuk hingga saluran

napas terminal atau alveoli. Sampai di sana, debu tersebut akan dikumpulkan oleh

makrofag dan dibawa kembali menuju mukosiliar (Suyono, 1995).

Penyebab utama terjadinya penyakit saluran pernapasan antara lain adalah

1) mikroorganisme patogen yang mampu melawan makrofag, 2) partikel-partikel

mineral yang mampu menyebabkan kerusakan makrofag sehingga merangsang

reaksi jaringan dengan membentuk jaringan parut, 3) partikel organik yang

merangsang respon imun, 4) sistem pertahanan (imun) saluran pernapasan sudah

kelebihan beban akibat adanya paparan debu respirable dalam kadar tinggi dan

menumpuk di alveoli. Paparan yang terus berulang akan menyebabkan akumulasi

timbunan debu di saluran pernapasan, menyebabkan penebalan dinding bronki,

(44)

terhadap infeksi. Sementara itu, jika partikel debu yang masuk bersifat fibrogenik

maka akan menyebabkan penebalan dan pembentukan jaringan parut di alveolus.

Akibatnya, terjadi pengerutan dan kekakuan alveolus sehingga kemampuan

alveolus untuk mengembang kempis menampung udara pernapasan menurun

(Suyono, 1995).

2.4 Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan faal paru dengan cara yang paling mudah dan sederhana

adalah dengan menggunakan spirometri untuk memeriksa ekspirasi paksa. Tes

faal paru menggunakan spirometri seringkali informatif karena sebagian besar

penderita gangguan faal paru memiliki nilai ekspirasi paksa yang abnormal. Oleh

karena itu, pemeriksaan faal paru yang dilakukan secara rutin dapat berguna untuk

mendeteksi penyakit saluran pernapasan pada tahap dini atau dapat memantau

perjalanan penyakit penderita (West, 2011). Orang yang dianjurkan untuk

melakukan pemeriksaan faal paru dengan spirometri antara lain orang yang

mengeluh sesak napas, pemeriksaan berkala bagi pekerja pabrik, penderita PPOK,

penderita asma, dan perokok. Pemeriksaan spirometri tidak boleh dilakukan pada

penderita hemoptisis, pneumotoraks, kardiovaskuler yang tidak stabil, infrank

miokard, emboli paru, pasca bedah mata, aneurisma serebri dan toraks, serta

kecemasan (mual, muntah, vertigo) (Laboratorium UNSOED, 2015).

Pemeriksaan faal paru menggunakan alat spirometri akan dapat diketahui

kapasitas paru-paru dalam menampung (inspirasi) dan mengeluarkan (ekspirasi)

udara melalui interpretasi dari nilai-nilai dalam pengukuran yang meliputi

(45)

1) Volume paru statis, terdiri dari:

a. Vital capacity (VC), yaitu volume total udara yang dapat dikeluarkan oleh

paru setelah inspirasi penuh. Nilainya merupakan gabungan dari IRV + VT

ERV.

b. Forced Vital Capacity (FVC), yaitu sama dengan VC namun dilakukan

secara paksa.

c. Total Lung Capacity (TLC), yaitu jumlah udara yang ada didalam paru

setelah inspirasi penuh. Nilainya merupakan gabungan dari FRV + VT +

ERV + RV.

d. Volume Tidal (VT), yiatu udara yang dihasilkan dari inspirasi dan ekspirasi

normal. Pada orang dewasa normal jumlah volume tidal adalah 500 ml.

e. Expiration Residual Volume (ERV), yaitu jumlah udara yang dapat

dihembuskan secara maksimal sestelah seseorang menghirup napas biasa.

Besarnya sekitar 1000 ml pada laki-laki dan 700 ml pada perempuan.

f. Inspiration Residual Volume (IRV), yaitu jumlah udara yang dapat dihirup

maksimal setelah menghirup napas biasa. Besarnya sekitar 3300 ml pada

laki-laki dan 1900 ml pada perempuan normal.

g. Residual Volume (RV), yaitu jumlah udara yang masih tetap ada di paru

setelah ekspirasi maksimal. Normalnya 1200 ml pada laki-laki dan 1100 ml

pada perempuan.

h. Inspiratory Capacity (IC), yaitu volume udara total yang masuk ke dalam

(46)

i. Functional Residual Volume (FRV), yaitu udara yang masih ada di dalam

paru setelah ekspirasi biasa. Nilainya adalah ERV + RV

2) Volume paru dinamik, terdiri dari:

a. Forced Expiration Volume 1 second (FEV1), yaitu jumlah udara yang dapat

dikeluarkan secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi maksimal.

b. Maximal Voluntary Ventilation (MVV), yaitu total volume udara yang

dapat dihirup dan dihembuskan dari paru selama satu menit setelah

bernapas cepat dan maksimal.

Hasil pemeriksaan spirometri dapat digunakan untuk mendeteksi adanya

penyakit paru obstruktif, restriktif, atau campuran keduanya.

a. Obstruksi adalah terjadinya hambatan pada aliran udara yang ditandai

dengan penurunan nilai FEV1 dan kecepatan aliran udara pada saat

ekspirasi. Peningkatan penyumbatan aliran udara dapat terjadi di bagian

lumen (akibat adanya sekresi mukus yang banyak, edema karena iritasi

akibat menghirup alergen), di dalam dinding jalan napas yang terjadi

inflamasi dan hipertrofi kelenjar mukosa, serta di daerah peribronkial

(West, 2011).

b. Restriksi adalah penyakit keterbatasan ekspansi (pengembangan) paru

yang disebabkan oleh perubahan pada parenkim paru, penyakit pada

pleura, dinding dada, atau pada aat neuromaskular. Tanda penyakit

restriksi adalah penurunan kapasitas vital paru sehingga nilai FVC

(47)

c. Kelainan gabungan antara obstruksi dan restriksi yaitu kejadian penyakit

yang merupakan kombinasi dari menurunnya nilai volume paru, kapasitas

vital, dan aliran udara sehingga nilai FEV1 maupun FVC sama-sama

menurun.

Pada kasus penyakit restriktif, hasil pengukuran TLC dan volume paru

lainnya akan menurun, sedangkan pada kasus paru obstruktif terjadi hiperinflasi

yang menyebabkan TLC dan rasio RV/TLC meningkat. Paru yang normal

memiliki nilai FEV1 > 80% dari nilai FEV1 prediksi dan rasio FEV1/FVC > 75%.

Pada paru yang mempunyai penyakit obstruksi hasil pengukuran FEV1 berkurang

lebih banyak dibandingkan nilai FVC sehingga rasio FEV1/FVC hasilnya

menurun. Sedangkan pada penyakit paru restriksi hasil pemeriksaan FEV1 dan

FVC sama-sama menurun sehingga rasio FEV1/FVC dapat normal atau

meningkat. Rasio FEV1/FVC pada hasil tes seringkali ditulis sebagai nilai %FEV1

(Harrianto, 2010).

Berikut ini adalah interpretasi hasil penilaian kapasitas faal paru oleh Balai

UPTK3 Surabaya:

Tabel 2.1 Interpretasi hasil pemeriksaan faal paru berdasarkan Balai UPTK3 Surabaya

Restriksi (%FVC) Interpretasi Osbtruksi (%FEV1)

≥ 80 Normal ≥ 75

60 – 79 Ringan 60 – 74

30 – 59 Sedang 30 – 59

< 30 Berat < 30

Interpretasi hasil pengukuran faal paru menggunakan spirometri juga dapat

dilihat dari kurva yang tercetak dari spirometri. Gambaran kurva tersebut antara

(48)

Gambar 2.1 Kurva aliran volume pada berbagai kondisi: O, kelainan obstruktif; R(P), kelainan restriktif parenkimial; R(E) kelainan restriktif ekstraparenkimal

dengan keterbatasan pada inspirasi dan ekspirasi.

Sumber : Laboratorium fisiologi Unsoed, tahun 2015

Aplikasi klinis dari kelaian obstruksi dapat terjadi karena adanya penyakit

asma, bronkitis kronis atau emfisema, bronchiestasis, cystic fibrosis, dan

bronchiolitis. Aplikasi klinis restriksi parenkimial dapat disebabkan oleh adanya

sarcoidosis, idiopathic pulmonary fibrosis, pneumocoiosis, dan drug or

radiation-induced interstitial lung disease. Sedangkan aplikasi klinis dari restriksi

ekstraparenkimal adalah karena adanya penyakit neuromaskular (diapragmatic

weakness/paralysis, muscular dystrophies, dan cervical spine injury) atau

gangguan yang berhubungan dengan dinding dada (kyphoscoliosis dan obesitas).

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Paru

Faktor yang mempengaruhi kapasitas paru khususnya yang berhubungan

(49)

1) Usia

Usia merupakan faktor yang secara alamiah menurunkan kapasitas

fungsi paru. Sistem pernapasan akan berubah secara anatomi dan

imunologi sesuai bertambahnya usia. Daya pengembangan paru, kekuatan

otot pernapasan, kapasitas vital, FEV1, FVC, dan cairan antioksidan

epiteal akan menurun sesuai peningkatan usia (Sharma & Goodwin, 2006).

Seiring bertambahnya usia, mulai dari masa anak-anak hingga dewasa

sekitar 24 tahun kapasitas paru seseorang akan berkembang dan mencapai

optimum. Setelah itu akan menetap (stationer) sampai pada usia 30 tahun,

kemudian menurun secara gradual sesuai pertambahan usia. Rata-rata

penurunan yang terjadi untuk nilai FVC dan FEV1 adalah 20 ml tiap satu

pertambahan usia (Guyton, 1997).

2) Masa kerja

Seseorang yang bekerja di lingkungan kerja yang mengandung

debu atau aerosol kondisi parunya sangat dipengaruhi oleh masa kerja.

Paparan dalam kadar tinggi jika terpejan dalam waktu yang lama maka

akan semakin banyak partikel debu atau aerosol yang akan tertimbun

dalam saluran pernapasan. Akibatnya, risiko terjadinya gangguan fungsi

paru tinggi (Wardhana, 2001).

3) Kebiasaan merokok

Asap rokok adalah salah satu polutan paling penting dalam praktik

karena asap rokok dihirup perokok dalam jumlah yang lebih besar

Gambar

Tabel 2.1 Interpretasi hasil pemeriksaan faal paru berdasarkan Balai
Gambar 2.1 Kurva aliran volume pada berbagai kondisi: O, kelainan obstruktif; R(P), kelainan restriktif parenkimial; R(E) kelainan restriktif ekstraparenkimal dengan keterbatasan pada inspirasi dan ekspirasi
Gambaran fungsi
Tabel 5.1 Distribusi Usia Responden di PT X Tahun 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

XIV Final Test Able to identify the basic principles in current theory of translation mention the criteria of good translation, able to identify the problems of

Menurut Qodri Azizy, selama ini telah terjadi anggapan negatif terhadap pelaksanaan pendidikan agama (Islam) di lembaga pendidikan. Anggapan yang kurang menyenangkan itu

1 Tahun 1974, bahwa seorang Suami yang akan beristeri lebih dari seorang harus mendapatkan izin dari Pengadilan, Kemudian pengadilan dapat memberi izin kepada

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tax avoidance jangka panjang terhadap nilai perusahaan dengan karakter eksekutif sebagai variabel

On The Job Training merupakan suatu program perkulihan yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa Program Studi Manajemen Perhotelan Akademi Pariwisata dan Perhotelan (APARTEL)

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pada Tugas Akhir ini dikembangkan aplikasi perangkat bergerak pencarian tempat wisata berdasarkan daerah berbasis android (WisataINA)

Termasuk dalam pengertian seluruh biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan bahan dan

Kata samâ' (langit) pada ayat tersebut dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang ada di atas dan menaungi. Maka, segala sesuatu yang ada di sekitar benda-benda langit