• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Perilaku adalah semua tindakan atau tingkah laku seorang individu, baik kecil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Perilaku adalah semua tindakan atau tingkah laku seorang individu, baik kecil"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Perkembangan Perilaku Anak Normal

Perilaku adalah semua tindakan atau tingkah laku seorang individu, baik kecil maupun besar, yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan oleh orang lain atau diri sendiri. Jadi perilaku meliputi bicara atau suara, gerakan-gerakan atau aksi-aksi baik berupa gerakan yang beraturan atau tidak beraturan, tertuju ataupun tidak tertuju, sengaja maupun tidak sengaja, berguna maupun tidak berguna (Handojo, 2006). Semua perilaku individu pasti didahului oleh suatu penyebab, baik eksternal maupun internal. Penyebab eksternal dapat diperoleh dari individu lain maupun lingkungan sekitarnya. Penyebab internal dapat berasal dari sikap dan emosi yang didasari oleh watak dan kepribadian seseorang. Setiap perilaku juga akan memberikan suatu akibat, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, baik bagi individu itu sendiri, orang lain ataupun pada lingkungannya.

Sebelum membahas tentang anak-anak dengan berkebutuhan khusus dimana memiliki kelainan perilaku, maka sebaliknya kita melihat dan memahami terlebih dahulu perkembangan perilaku anak-anak yang ‘normal’. Hal ini penting ketahui dengan beberapa alasan, pertama yaitu untuk mendeteksi secara dini apabila pada anak terjadi penyimpangan perkembangan perilakunya jika dibandingkan dengan anak yang normal. Yang kedua adalah untuk mengetahui sejauh mana

(2)

keterlambatan dari pada anak yang mengalami hambatan perkembangan perilakunya, serta seberapa jauh harus mengejar keterlambatan tersebut.

Ada beberapa hal yang dapat memberikan gambaran mengenai keberadaan anak-anak normal, yang mana semua itu adalah sebuah rangkaian yang saling berkaitan sejak lahir sampai meninggal manusia selalu mengalami perubahan. Perubahan dalam kehidupan manusia meliputi perubahan dalam pertumbuhan yang diartikan sebagai perubahan yang bersifat kuantitatif, dimana di dalamnya mencakup bertambahnya ukuran dan struktur. Sedangkan perubahan dalam perkembangan yang diartikan sebagai perubahan kualitatif yaitu perubahan yang progresif, koheren, dan teratur.

2.1.1. Perubahan yang terjadi pada diri manusia

Menurut Somantri (2006) bahwa ada empat tipe perubahan yang terjadi pada diri manusia yaitu:

1) Perubahan ukuran

Perubahan ini meliputi perubahan fisik seperti bertambahnya berat badan, bertambahnya tinggi badan ataupun besarnya organ-organ. 2) Perubahan proporsi

Yaitu perubahan yang dapat diamati dari perbandingan antara ukuran-ukuran tubuh manusia yang mengalami perubahan.

3) Hilangnya sifat-sifat atau keadaan-keadaan tertentu

Hal ini dapat dilihat seperti hilangnya sifat kekanak-kanakan, hilangnya rambut dan gigi pada bayi serta hilangnya gerakan-gerakan bayi yang tidak bermakna.

(3)

4) Munculnya sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang baru

Yaitu munculnya standar-standar moral, munculnya karakteristik-karakteristik seksual dan sebagainya.

Di bawah ini terdapat tabel perkembangan yang secara singkat dapat menggambarkan perkembangan perilaku anak normal sampai usia 6 tahun (Handojo, 2003)

Tabel 2.1

PERKEMBANGAN PERILAKU ANAK NORMAL

USIA KEMAMPUAN MOTORIK KEMAMPUAN WICARA

Lahir Fiksasi pandangan Bereaksi terhadap suara

5 minggu Tersenyum sosial

2 bulan Mengikuti benda di garis tengah

3 bulan Telapak tangan terbuka Guu,guu

4 bulan Menyatukan kedua tangan Orientasi terhadap suara, a-guu, a-a-guu, mengoceh

5 bulan Mengetahui adanya benda kecil, memindahkan benda antara kedua tangan.

Menoleh kepada suara, mengoceh

6 bulan Meraih unilateral Mengoceh, menggumam

(dadada)

7 bulan Memeriksa benda Menoleh kepada suara bel fase II

8 bulan Memeriksa benda Mengerti perintah “tidak boleh”, da-da tanpa arti, ma-ma tanpa arti

9 bulan Pincet grasp prematur, melemparkan

benda Dada, menoleh kepada suara bel fase III 10 bulan Membuka penutup mainan

11 bulan Pincet grasp dengan jari, meletakkan kubus dibawah gelas

Mengerti perintah ditambah mimik, mama dan kata pertama selain mama

12 bulan Melepaskan benda dengan sengaja, mencoret, memasukkan biji ke dalam botol, minum dari gelas sendiri, menggunakan sendok

Kata kedua

13 bulan Kata ketiga

(4)

15 bulan Meniru membuat garis, menyusun 2 kubus

4-6 kata 16 bulan Melepaskan biji spontan, menyusun 3

kubus

17 bulan Menunjuk 5 bagian badan yang

disebutkan, 7-20 kata 18 bulan Membuat garis secara spontan

21 bulan Kalimat pendek 2 kata

24 bulan Kereta api dengan 4 kubus, membuka

baju sendiri 50 kata, kalimat terdiri dari 2 kata

25-27 bulan

Membuat garis datar dan tegak

30 bulan Kereta api dengan cerobong asap, meniru membuat lingkaran

3 tahun Membuat lingkaran spontan, membuat

jembatan dari 3, membuka kancing 250 kata, kalimat terdiri dari 3 kata 4 tahun Membuat pintu gerbang dari 5 kubus,

memasang kancing

Kalimat terdiri dari 4-5 kata, bercerita, menanyakan arti suatu kata, menghitung sampai 20

5 tahun Mengikatkan tali sepatu

6 tahun Membuat tangga dan dinding dari beberapa kubus tanpa contoh

2.1.2. Faktor-faktor yang menentukan perubahan

Somantri (2006) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menentukan terjadinya perubahan pada diri manusia yaitu:

1) Faktor kematangan, dimana faktor ini merupakan pemunculan dari trait-trait yang secara potensial dimiliki individu sebagai pembawaan yang merupakan sifat keturunan.

2) Faktor belajar, dimana faktor ini merupakan hasil dari pengalaman dan latihan.

Kedua faktor tersebut saling berinteraksi, yang satu mempengaruhi yang lainnya serta menjadi kesatuan dalam menentukan perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap individu.

(5)

2.1.3. Periode masa perkembangan anak

Ada beberapa periode masa perkembangan anak yang meliputi lima periode sebagai berikut:

1) Periode pra-natal

Yaitu periode yang meliputi sebelum kelahiran, perkembangan berlangsung dengan sangat pesat, khususnya dalam perkembangan fisiologis dan meliputi pertumbuhan seluruh struktur.

2) Periode infansi (sejak lahir sampai 10-14 hari)

Yaitu periode bayi yang baru dilahirkan. Dalam periode ini bayi secara menyeluruh harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang benar-benar baru di luar tubuh ibunya serta untuk sementara pertumbuhan tidak bertambah.

3) Masa bayi (2 minggu - 2 tahun)

Pada periode ini bayi belajar untuk mengendalikan otot-ototnya sehingga dengan demikian ia dapat bergerak sendiri. Perubahan ini disertai dengan meningkatnya penolakan untuk diperlakukan seperti bayi dan keinginan yang makin meningkat untuk tidak bergantung pada orang lain.

4) Masa anak-anak (2 tahun - masa remaja) Periode ini biasanya dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

(6)

Periode ini merupakan masa prasekolah atau masa kehidupan kelompok. Anak pada masa ini berusaha untuk menguasai lingkungannya dan mulai belajar untuk mengadakan penyesuaian sosial. b). Masa anak-anak akhir (6-13 tahun untuk anak perempuan dan 14 tahun

untuk anak laki-laki). Dalam periode ini terjadi kematangan seksual dan anak mulai memasuki masa remaja. Perkembangan dalam periode ini adalah anak berada pada usia sekolah dasar atau kehidupan berkelompok.

5) Masa pubertas ( 11 tahun-16 tahun)

Pada masa ini merupakan masa-masa yang tumpang tindih, dua tahun tumpang tindih dengan masa anak-anak dan dua tahun dengan masa remaja. Masa puber ini berkisar usia 11-15 tahun pada anak perempuan dan 12-16 tahun pada anak laki-laki. Pada masa ini tubuh anak mulai mengalami perubahan menjadi tubuh orang dewasa.

2.2. Anak Berkebutuhan Khusus 2.2.1. Pengertian

Anak berkebutuhan khusus menurut Heward (dalam Abdurrahman,1999) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada kemampuan mental, emosi atau fisik. Anak berkebutuhan khusus termasuk anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya. Perilaku anak-anak ini, yang antara lain terdiri dari wicara dan okupasi, tidak berkembang seperti pada anak normal (Handojo, 2006). Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami

(7)

kelainan atau penyimpangan baik secara fisik, mental-intelektual, sosial maupun emosional dalam proses pertumbuhan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan penanganan khusus.

Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya sehingga dalam mengembangkan potensi dan kemampuan mereka memerlukan penanganan yang khusus.

Anak berkebutuhan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.

2.2.2. Tipe anak berkebutuhan khusus

Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini ada dua tipe yaitu: 1) Anak berkebutuhan khusus temporer

Anak berkebutuhan khusus yang termasuk ke dalam tipe temporer meliputi anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan, anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah perbatasan pulau terpencil serta anak-anak yang menjadi korban HIV-AIDS. 2) Anak berkebutuhan khusus permanen

Anak berkebutuhan khusus yang termasuk ke dalam tipe permanen adalah anak-anak tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunalaras, autis, ADHD, anak berkesulitan belajar dan anak berbakat.

(8)

2.3.1. Pengertian

Autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri “Isme” yang berarti suatu aliran. Berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autisme adalah suatu keadaan dimana anak berbuat semaunya sendiri, baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini biasanya mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Menurut Autism Research Center (USA), Autis is A spectrum of neurodevelopment condition! It’s a part of brain developmental disorder. Maksudnya adalah kondisi dimana seorang anak mengalami gangguan perkembangan sel-sel saraf otak yang menyebabkan mereka susah berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang terdekatnya sekali pun. Autisme bisa mengenai siapa saja, baik sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak-anak ataupun dewasa dan semua etnis (Rizki, 2010).

Istilah autisme baru diperkenalkan pada tahun 1943 oleh seorang psikiater di Harvard, Leo Kanner. Pada suatu saat dalam pelaksanaaan pekerjaan klinisnya, Leo Kanner mengamati sebelas anak yang mengalami gangguan menunjukkan perilaku yang tidak ditemukan pada anak-anak dengan retardasi mental atau skizofrenia. Ia menamai sindrom tersebut autisme infantil dini karena ia mengamati bahwa “Sejak awal terdapat suatu kesendirian autistik ekstrem yang kapan pun memungkinkan, tidak mempedulikan, mengabaikan, menutup diri dari segala hal yang berasal dari luar dirinya” (Kanner dalam Davidson, Gerald, Neale & Kring, 2010).

(9)

Kanner menganggap kesendirian autisme merupakan simtom fundamental. Ia juga menemukan bahwa sejak awal kehidupan kesebelas anak tersebut tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara wajar. Mereka memiliki keterbatasan yang parah dalam bahasa dan memiliki keinginan yang kuat agar segala sesuatu yang berkaitan dengan mereka tetap persis sama. Berdasarkan pengamatan tersebut, Kanner mendeskripsikan gangguan autisme sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotif, rute ingatan yang kuat dan keinginan untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

Gangguan autisme tidak dimasukkan dalam klasifikasi diagnostik resmi hingga terbitnya Diagnostic and Statistical Manual (DSM-III) pada tahun 1980. Penerimaan resmi diagnosis autisme tertunda karena kebingungan yang terjadi dalam klasifikasi gangguan serius yang berawal di masa kanak-kanak. DSM-II menggunakan diagnosis skizofrenia di masa kanak-kanak untuk kondisi tersebut, menganggap bahwa autisme hanyalah bentuk skizofrenia pada orang dewasa dengan onset dini, namun bukti yang ada mengindikasikan bahwa skizofrenia dengan onset kanak-kanak dan autisme merupakan dua gangguan yang berbeda (Frith, Rutter & Schopler dalam Davidson, Gerald, Neale & Kring, 2010). Meskipun penarikan diri dari kehidupan sosial dan efek yang tidak sesuai yang terlihat pada anak-anak autisme tidak mengalami halusinasi dan delusi, dan dia atas semuanya, tidak mengalami skizofrenia ketika dewasa (Wing & Attwood dalam Davidson, Gerald, Neale & Kring, 2010). Untuk mengklarifikasi

(10)

perbedaan autisme dengan skizofrenia, DSM-III memperkenalkan dan dipertahankan dalam DSM-III-R, DSM-IV, dan DSM-IV-TR, istilah gangguan perkembangan pervasif. Istilah ini menekankan bahwa autisme mencakup abnormalitas serius dalam proses perkembangan itu sendiri hingga berbeda dengan berbagai ganguan jiwa yang berawal di masa dewasa. Pada saat ini Dalam DSM-IV-TR gangguan autisme hanyalah salah satu dari beberapa gangguan perkembangan pervasif.

Autisme menurut istilah ilmiah kedokteran, psikiatri dan psikologi termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (Pervasive Developmental Disorders). Secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai dengan adanya gangguan perkembangan yang menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan berbahasa, bersosialisasi, mengalami gangguan berkomunikasi dan melakukan perilaku secara berulang.

2.3.2. Karakteristik

Penyandang autisme menurut Handojo (2006) mempunyai karakteristik antara lain:

1) Selektif berlebihan terhadap rangsang

2) Kurangnya motivasi untuk menjelajah lingkungan baru 3) Respon stimulus diri sehingga mengganggu integrasi sosial

4) Respon unik terhadap imbalan (reinforcement), khususnya imbalan dari stimulus diri. Anak merasa mendapat imbalan berupa hasil penginderaan terhadap perilaku stimulus dirinya, baik berupa

(11)

gerakan maupun berupa suara. Hal ini menyebabkan dia selalu mengulang perilakunya secara khas.

2.3.3. Jenis Perilaku

Perilaku autisme digolongkan dalam 2 jenis, yaitu: 1) Perilaku eksesif (berlebihan)

Yang termasuk perilaku ini adalah hiperaktif, tantrum(mengamuk), berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar, memukul dan sering terjadi anak menyakiti diri sendiri (self abuse).

2) Perilaku defisit

Pada perilaku ini ditandai dengan adanya gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai serta ada juga defisit sensoris sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, seperti tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab dan melamun.

2.3.4. Penyebab-penyebab autisme

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab gangguan ini yaitu: 1) Faktor Biologis

- Genetik (keturunan)

Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan autisme, meskipun bukti-bukti yang konkrit masih sulit diketemukan. Memang ditengarai adanya kelainan kromosom pada anak autisme, namun kelainan tersebut tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Sampai saat ini penelitian masih terus dilakukan.

(12)

- Kehamilan trimester pertama

Pada fase ini faktor pemicunya adalah adanya infeksi (rubella, candida, toksoplasmosis, dan sebagainya), logam berat, zat aditif (MSG, pengawet dan pewarna), alergi berat, obat-obatan, jamu peluntur, muntah-muntah hebat (hiperemesis), pendarahan berat, dan sebagainya.

- Proses kelahiran

Pada proses kelahiran yang lama (partus lama) juga menjadi faktor pemicu terjadinya autisme, dimana terjadi gangguan nutrisi dan oksigenasi pada janin, pemakaian forsep dan lain-lain.

- Sesudah lahir (post partum)

Pada fase ini yang menjadi faktor pemicu misalnya: infeksi ringan-berat pada bayi, logam ringan-berat, protein susu sapi (kasein) dan protein tepung terigu. Tumbuhnya jamur yang berlebihan di usus sebagai akibat dari pemakaian antibiotika yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya “kebocoran” usus dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten.

2) Gangguan perkembangan otak

- Lobus Parietalis, penyandang autisme 43% mempunyai kelainan lobus parietalis di otaknya yang menyebabkan anak menjadi tidak peduli terhadap lingkungannya.

(13)

- Cerebellum (otak kecil), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil ini bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian).

- Sistem limbik, pada daerah ini terdapat hippocampus dan amygdala. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat sedangkan amygdala bertanggung jawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan rasa takut. Dengan adanya kelainan di area ini maka menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kontrol terhadap agresif dan emosi, dimana anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif atau pasif. Selain itu anak juga mengalami kesulitan menyimpan informasi baru dan munculnya perilaku yang diulang-ulang.

2.3.5. Gejala- gejala autisme

Melihat dari beberapa faktor penyebab di atas maka timbulah gejala yang dapat diamati. Gejala autisme dapat timbul sejak lahir dan anak tidak pernah mengalami perkembangan perilaku yang normal. Namun terkadang ada juga anak yang sejak lahir tampak normal dan baru berusia sekitar 2 tahun terjadi hambatan perkembangan pada perilakunya dan kemudian terjadi kemunduran (regresi).

Berikut ini disajikan beberapa kriteria diagnostik dari DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual), dari grup Psikiatri Amerika.

(14)

Kriteria Gangguan Autistik dalam DSM-IV-TR

1) Enam atau lebih dari kriteria pada A, B, dan C di bawah ini, dengan minimal dua kriteria dari A dan masing-masing satu dari B dan C.

A. Hendaya dalam interaksi sosial yang terwujud dalam minimal dua dari kriteria berikut:

- Hendaya yang tampak jelas dalam pengggunaan perilaku nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, bahasa tubuh.

- Kelemahan dalam perkembangan hubungan dengan anak-anak sebaya sesuai dengan tahap perkembangan.

- Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang lain secara spontan. - Kurangnya ketimbalbalikan sosial atau emosional.

B. Hendaya dalam komunikasi seperti terwujud dalam minimal satu dari kriteria berikut:

- Keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa bicara tanpa upaya untuk menggantinya dengan gerakan nonverbal.

- Pada mereka yang cukup mampu berbicara, hendaya yang tampak jelas dalam kemampuan untuk mengawali atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.

- Bahasa yang diulang-ulang atau idiosinkratik. - Kurang bermain sesuai tahap perkembangannya.

C. Perilaku atau minat yang diulang-ulang atau streotif, terwujud dalam minimal satu dari kriteria berikut ini :

(15)

- Ketertarikan yang kaku pada ritual tertentu. - Tingkah laku stereotif.

- Preokupasi yang tidak normal pada bagian tertentu dari suatu objek.

2) Keterlambatan atau keberfungsian abnormal dalam minimal satu dari bidang berikut, berawal sebelum usia 3 tahun : interaksi sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau permainan imajinatif.

3) Gangguan yang tidak dapat dijelaskan sebagai gangguan Rett atau gangguan disintegratif di masa kanak-kanak.

Untuk dapat melakukan deteksi dini, maka berikut ini diberikan beberapa cara untuk mengenali tanda-tanda atau gejala-gejala autisme.

A. THE CHAT (Checklist for Autism in Toddlers)

The CHAT (dalam Handojo, 2006) berisi beberapa pertanyaan yang akan diajukan kepada orang tua. Adapun daftar pertanyaan sebagai berikut:

a. Apakah anak Anda suka seolah-olah melakukan sesuatu, misalnya membuat teh menggunakan cangkir atau teko mainan, atau berpura-pura yang lainnya?

b. Apakah anak Anda sering menunjuk-nunjuk untuk menyatakan ketertarikannya pada sesuatu?

c. Apakah anak Anda tertarik dengan anak-anak lain?

d. Apakah anak Anda senang bermain ciluk-ba atau petak umpet?

e. Apakah anak Anda sering membawa serta memperlihatkan barang-barang kepada Anda?

(16)

B. CHECK–LIST (ICD–10 dari WHO)

Check-list ini adalah referensi dari World Health Organization (WHO) yang secara lengkap dapat membantu mengamati dan mencari perilaku yang ada pada anak-anak tersebut ( dalam Handojo, 2006)

Kel No. GEJALA V Jml KET.

1 a. Interaksi sosial tidak memadai: Minimal 2 Gejala * Kontak mata sangat kurang

* Ekspresi wajah kurang hidup * Gerak-gerik yang kurang fokus * Menolak untuk dipeluk

* Tidak menengok bila dipanggil * Menangis atau tertawa tanpa sebab * Tidak tertarik pada mainan

* Bermain dengan benda yang bukan mainan

b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya c. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan

orang lain

d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik

2. a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang, menarik tangan bila ingin sesuatu, bahasa isyarat tak berkembang.

Minimal 1 Gejala b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai

untuk komunikasi

c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang

d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru

3. a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan

Minimal 1 Gejala b. Terpaku pada suatu kegiatan yang

ritualistik atau rutinitas yang tak ada gunanya, misalnya makanan dicium dulu c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas

dan diulang-ulang

d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda

(17)

Dari check-list di atas dapat dilihat bahwa autisme dapat ditegakkan apabila jumlah gejala semuanya minimal 6.

2.3.6. Penanganan autisme

Dalam menangani anak autisme adalah dengan cara memberikan terapi yang sesuai, dimana terapi sebaiknya dimulai sedini mungkin sebelum usia 5 tahun. Perkembangan paling pesat dari otak manusia terjadi pada usia sebelum 5 tahun, puncaknya terjadi pada usia 2-3 tahun. Oleh karena itu apabila terapi dilakukan setelah usia 5 tahun hasilnya berjalan lebih lambat.

Terapi yang akan menjadi acuan bagi penanganan anak autis adalah sebagai berikut :

1) Terapi Perilaku

Terapi perilaku ini terdiri dari terapi wicara, okupasi dan menghilangkan perilaku yang asosial.

2) Terapi Biomedik

Terapi ini berhubungan dengan obat-obatan yang sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya diserahkan kepada dokter spesialis yang memahami dan mempelajari autisma.

3) Sosialisasi ke sekolah reguler

Terapi yang satu ini adalah tujuannya untuk melatih kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasi anak penyandang autis dengan teman-teman sebayanya. 4) Sekolah khusus

Di dalam pendidikan khusus ini biasanya telah diprogram dengan terapi yang sesuai dengan kebutuhan anak, dimana ada terapi wicara dan terapi okupasi.

(18)

Apabila perlu ditambah dengan terapi obat-obatan, vitamin dan nutrisi yang memadai.

2.4. Sosialisasi 2.4.1. Pengertian

Menurut Berger (dalam Haryanto dan Nugrohadi, 2011), sosialisasi adalah proses dimana di dalamnya seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Pendapat ahli lain yaitu Cooley (dalam Haryanto dan Nugrohadi, 2011) bahwa konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain.

2.4.2. Jenis Sosialisasi

Berdasarkan jenisnya sosialisasi dibagi menjadi dua yaitu sosialisasi primer yang berada dalam keluarga dan sosialisasi sekunder yang berada dalam masyarakat. Menurut Goffman (dalam Hutomi, 2011) kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkungkung dan diatur secara formal.

A. Sosialisasi primer

Berger dan Luckmann (dalam Hutomi, 2011) mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota keluarga. Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk sekolah, dimana anak mulai

(19)

mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap anak mulai membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.

B. Sosialisasi sekunder

Sosialisasi sekunder adalah lanjutan dari sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat.

2.4.3. Proses Sosialisasi

Mead dalam bukunya Mind, Self and Society (dalam Haryanto dan Nugrohadi, 2011), menguraikan tahap pengembangan diri manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Mead (dalam Hutomi, 2011) berpendapat bahwa pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap yaitu tahap persiapan (preparatory stage), tahap meniru (play stage), tahap siap bertindak (game stage) dan tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage).

a. Tahap persiapan (preparatory stage)

Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri

b. Tahap meniru (play stage)

Tahap dimana seorang anak mulai belajar mengambil peranan orang - orang yang berada disekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang dijalankan orang tuanya atau orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi. Namun dalam tahap ini anak belum bisa memahami isi peranan-peranan yang ditirunya.

(20)

c. Tahap bertindak (game stage)

Pada tahap ini menurut Mead seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang harus dijalankanya, tetapi telah mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Dalam tahap ini seseorang telah dapat mengambil peranan orang lain.

d. Tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage)

Dalam tahap ini seseorang telah dianggap mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat. Ia mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami perannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Hal ini dapat terlihat dimana selaku anak, ia telah memahami peranan yang dijalankan orang tuanya. Mead berpendapat pada tahap ini seseorang telah mempunyai suatu diri.

2.4.4. Agen Sosialisasi

Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Jacobs (dalam Haryanto dan Nugrohadi, 2011) mengindetifikasikan empat agen sosialisasi yang utama yaitu keluarga, kelompok bermain, sistem pendidikan formal dan media massa. Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa juga bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain.

(21)

1) Keluarga (kinship)

Jaeger (dalam Haryanto dan Nugrohadi, 2011), berpendapat bahwa peranan agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam lingkungan keluarganya terutama orang tuanya sendiri. Agen sosialisasi dalam keluarga meliputi ayah, ibu, saudara kandung dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Namun terkadang agen sosialisasi menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti.

2) Kelompok bermain

Kelompok bermain pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat dimana hal ini dapat dilihat dengan adanya perbedaan usia, pengalaman, dan peranan. Sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan-peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.

3) Lembaga pendidikan formal

Agen sosialisasi berikutnya adalah sistem pendidikan formal yaitu sekolah. Di sini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya dalam keluarga. Pendidikan formal mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian hari, dikala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tuanya.

(22)

Dreeben (dalam Haryanto dan Nugrohadi, 2011) berpendapat bahwa dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifitas (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.

4) Media massa

Light, Keller, dan Calhoun (dalam Haryanto dan Nugrohadi, 2011) mengemukakan bahwa media massa yang terdiri dari media cetak dan elektronik. Media cetak yang dimaksud adalah berupa surat kabar, majalah, dan tabloid. Sedangkan media elektronik seperti radio, televisi, video dan film. Besarnya pengaruh media tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.

2.4.5. Aspek-aspek sosialisasi

Menurut Hutomi (2011) ada beberapa aspek yang mempengaruhi sosialisasi yaitu :

1) Kesiapan atau kematangan pribadi seseorang

Pendidikan yang diberikan pada anak mensyaratkan bahwa sosialisasi memerlukan kesiapan dalam menjalani proses tersebut yaitu potensi manusia untuk belajar dan kemampuan bahasa.

(23)

2) Lingkungan/Sarana sosialisasi

Potensi manusia tidak dapat berkembang secara otomatis melainkan memerlukan lingkungan sosial yang tepat. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:

- Interaksi dengan sesama

Dalam interaksi diperlukan pertumbuhan kecerdasan, pertumbuhan sosial, emosional, mempelajari pola-pola kebudayaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Melalui interaksi seseorang dapat belajar tentang pola perilaku yang tepat serta belajar hak, kewajiban dan tanggung jawab.

- Bahasa

Bahasa digunakan untuk mempelajari simbol-simbol kebudayaan, merumuskan dan memahami kebudayaan, memahami gagasan yang kompleks dan menyatakan pandangan maupun nilai seseorang.

- Cinta/Kasih sayang

Cinta sangat diperlukan untuk kesehatan mental dan fisik seseorang. Lingkungan dimana ia tinggal sangat berpengaruh pada sosialisasi. Lingkungan yang baik maupun yang buruk akan mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang terutama anak-anak.

2.4.6. Pola-pola Sosialisasi

Pola-pola sosialisasi menurut Haryanto dan Nugrohadi (2011) terdiri dari dua yaitu:

(24)

1) Sosialisasi refresif (refressive socialization)

Pada pola ini menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lainnya menurut Jaeger seperti penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non verbal dan berisi perintah. Penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai bagian diri terpenting (significant other).

2) Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization)

Pola ini merupakan pola yang di dalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik ; hukuman dan imbalan bersifat simbolik ; anak diberi kebebasan ; penekanan diletakkan pada interaksi ; komunikasi bersifat lisan ; anak menjadi pusat sosialisasi ; keperluan anak dianggap penting ; keluarga menjadi penyamarataan dengan diri sendiri (generalized other).

2.4.7. Bentuk-bentuk Tingkah Laku Sosial

Pola tingkah laku yang terbentuk pada masa bayi adalah sebagai landasan terbentuknya tingkah laku sosial yang ditemui pada masa anak-anak, tetapi beberapa diantaranya merupakan bentuk tingkah laku yang baru dan beberapa diantaranya merupakan bentuk tingkah laku yang tidak sosial bahkan juga anti

(25)

sosial. Meskipun demikian bentuk-bentuk tingkah laku tersebut merupakan hal yang terpenting bagi proses sosialisasi.

Menurut Somantri (2006) bentuk-bentuk tingkah laku sosial yang biasa dijumpai pada masa anak-anak adalah:

1) Negativisme

MacFarlene dkk (dalam Somantri, 2006) mendefinisikan negativisme sebagai gabungan antara keyakinan diri, perlindungan diri dan penolakan terhadap yang berlebihan. Negativisme merupakan akibat dari suatu situasi sosial, seperti disiplin yang terlalu keras atau sikap orang dewasa yang tidak toleran. Negativisme pada anak-anak kecil dinyatakan dalam bentuk tindakan fisik, berpura-pura tidak mendengar, menolak makan dan mengompol. Antara usia anak empat dan enam tahun, pengungkapan dalam bentuk verbal meningkat sedangkan bentuk reaksi fisik menurun. Pada masa ini, anak mulai mempergunakan dusta-dusta untuk mempertahankan diri, mengeluh dan sebagainya. 2) Agresi

Agresi merupakan tindakan nyata dan mengancam sebagai ungkapan rasa benci. Semua anak dalam batas-batas tertentu bersifat agresif. Sebelum anak berusia 4 tahun, ia hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk mengadakan kontak dengan orang lain sehingga mempunyai sedikit kesempatan untuk mengungkapkan agresifnya. Penyebab munculnya agresif pada anak-anak adalah frustasi,

(26)

keinginan untuk menarik perhatian, kebutuhan akan perlindungan dari rasa tidak aman, dan identifikasi dari orang tua yang agresif.

Beberapa tingkah laku agresif yang biasa dijumpai pada masa anak-anak adalah:

a. Bertengkar

Merupakan ungkapan rasa marah yang dibuat dengan menyerang orang lain.

b. Mengejek dan mengganggu

Mengejek diartikan sebagai serangan yang bersifat verbal pada orang lain dengan maksud supaya orang yang diejek menjadi marah, sedangkan mengganggu adalah sebagai tindakan yang menimbulkan rasa sakit dalam arti fisik dan orang yang melakukannya memperoleh kenikmatan dengan melihat korbannya kesakitan.

2. Kerjasama

Kerjasama baru terlihat pada saat anak berusia tiga atau empat tahun. Semakin banyak anak bergaul dengan orang lain, maka makin cepat dia dapat bekerja sama.

3. Tingkah laku menguasai

Yaitu tindakan untuk mencapai atau mempertahankan penguasaan suatu situasi sosial, apabila diarahkan dengan tepat akan berkembang menjadi pemimpin.

(27)

4. Kemurahan hati

Adalah kecenderungan anak untuk mengesampingkan diri sendiri demi kepentingan kelompok.

5. Ketergantungan

Yaitu sebagai keinginan untuk mendapat bantuan dari orang lain untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukannya sendiri atau dianggapnya tidak dapat dilakukan sendiri. Pada awalnya anak menunjukkan ketergantungan pada orang tua kemudian beralih kepada kakak-adiknya sebagai pengganti orang tua dan ketergantungan kepada kelompok seusianya.

6. Persahabatan

Anak-anak menunjukkan persahabatan baik dengan orang dewasa maupun dengan anak-anak lain. Kontak sosial merupakan kebutuhan, bila tidak terpenuhi akan menyebabkan perasaan kurang enak pada diri anak. Anak-anak mengungkapkan persahabatan dalam bentuk tindakan seperti memeluk, membelai, mencium dan sebagainya. Dengan meningkatnya kemampuan verbal anak, maka persahabatan diungkapkan dalam bentuk verbal.

7. Simpati

Simpati diartikan sebagai kemungkinan untuk terpengaruh keadaan emosional orang lain, dan hal ini dimungkinkan dengan adanya kemampuan seseorang untuk membayangkan dirinya pada posisi orang lain. Seorang anak menunjukkan simpati pada orang lain dengan cara

(28)

menolong, melindungi atau mempertahankan orang dari hal-hal yang mengganggu. 2.5. Kerangka Berpikir

Autisme

Jenis Perilaku Penyebab Gejala Penanganan Karakteristik

Sosialisasi

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu persoalan utama yang dihadapi Bandung dalam mengembangkan wisata konvensi ini adalah karena hingga kini ibu kota Povinsi Jawa Barat belum memiliki

Sebuah masyarakat tidak akan lepas dari unsur kebudayaan, baik dari cerminan karakteristik dari masyarakat tersebut ataupun sebagai sebuah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah hasil belajar peserta didik pada Kelas X MIPA dengan menerapkan

IUIPHHK PT Sumber Agung Prima dalam kurun waktu Februari 2017 s/d Januari 2018 tidak menerima atau mengolah kayu melalui jasa dengan pihak lain. 27

Tujuan Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan umur panen pohon singkong yang paling efektif dalam menghasilkan kualitas silase karakteristik fisik, fermentatif, dan utilitas

Sistem yang telah dibangun dapat membantu para turis dalam maupun luar negeri untuk mendapatkan informasi perjalanan pariwisata Kota Singkawang serta proses pemesanan

1994 lulus Taman Kanak-Kanak Kristen Bina Bakti Bandung 2.. 2000 lulus Sekolah Dasar Kristen Bina Bakti