11 2.1.1 Konsep kecerdasan emosi
2.1.1.1 Pengertian Emosi
Perkataan emosi berasal dari kata latin emover yang bermaksud bergerak, kegembiraan dan kegusaran. Perkataan emosi digunakan menggambarkan pengalaman subjektif seseorang seperti cinta, marah, suka, resah, tertekan, malu, benci, duka, gembira, tenang.
Emosi menurut Goleman (2005: 7) pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja dalam
Bahasa Latin adalah menggerakkan atau bergerak.
Kecenderungan bergerak merupakan hal mutlak dalam emosi. Emosi memancing tindakan, emosi menjadi akar dorongan untuk bertindak terpisah dari reaksi-reaksi yang tampak di mata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anthony Dio Martin, 2003: 91) emosi di definisikan sebagai (1) luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat (2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis.
Menurut Sulaeman (1995:51) (dalam Widyawati, 2012:16). emosi adalah merasakan sesuatu yang berarti “digerakkan”, biasanya mengandung :
a. Perasaan, misalnya takut.
b. Impuls atau dorongan, misalnya dorongan untuk melarikan diri
c. Persepsi atau pengamatan tentang apa yang membangkitkan emosi
Oxford Advanced Learners Dictionary (1995) (dalam Widyawati, 2012:15) menyatakan emosi sebagai suatu perasaan yang kuat contohnya, kasih sayang, keriangan, benci, takut, cemburu, keseronokan ataupun berlakunya gangguan pada perasaan.
Kebahagiaan, rasa takut, marah sedih, dan rasa muak merupakan lima pola emosi yang sering dinyatakan sebagai pola dasar emosi umum. Menurut Robert J. Stenberg (dalam Widyawati, 2012:16). Karakteristik dari kelima pola emosi umum diatas adalah sebagai berikut:
a. Kebahagiaan atau rasa senang
Kebahagiaan atau rasa senang atau setidaknya kepuasan hati merupakan emosi yang paling mendasar. Ekspresi atas perasaan bebas dari ketegangan, yang biasanya disebabkan oleh hal-hal yang bersifat tiba-tiba atau surprise
b. Ketakutan dan kecemasan
Ketakutan adalah karakterisitik emosi ketika merasa takut akan suatu ancaman bahaya atau suatu kejahatan, dan sifatnya spesifik pada beberapa objek atau pengalaman tertentu.
c. Kemarahan
Kemarahan dapat diaktifkan melalui perasaan frustasi atau karena ada sesuatu hal yang mengganggu dalam pencapaian tujuan atau maksud seseorang
d. Kesedihan
Secara relatif, kesedihan berdifat lembut, dangkal, dan sering kali merupakan ungkapan emosi yang singkat dari
penderitaaan, dimana duka cita terasa tajam, dalam dan rasa kehilangan yang begitu lama.
e. Kemuakan
Kemuakan ini dapat memunculkan tujuan adaptif, yaitu dapat memotivasi kita untuk menggerakkan (menghindari) diri seniri dari sesuatu yang bisa menyebabkan kesakitan.
2.1.1.2 Ciri emosi
Untuk lebih mengetahui secara spesifik bagaimana ciri-ciri utama dari pikiran emosional ini, Ekman dan Epstein (Goleman, 1998:414) (dalam Widyawati, 2012:17) telah memberikan daftar pokok ciri-ciri yang membedakan emosi dengan bagian lain kehidupan mental, diantaranya yaitu : a. Respon yang cepat tetapi ceroboh
Pikiran emosional melampaui pikiran rasional dalam bertindak, sehingga terkadang dengan kecepatannya itu pikiran emosional mengesampingkan pemikiran hati-hati dan analitis yang merupakan cirri khas dari pikiran rasional. Pikiran emosional dapat membaca realitas emosi dalam sekejap, tetapi karena kesam-kean dan penilian-penilaian dibuat dalam sekejap, maka dapat keliru atau salah araha.
b. Pertama adalah perasaan, kedua adalah pemikiran
Karena pikiran rasional membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk mendata dan menanggapi daripada waktu yng dibuthkan oleh pikiran emosional, maka dorngan pertama dalam situasi emosioanl adalah dorongan hati bukan dorongan kepala. Dalam urutan respon cepat, perasaan agaknya mendahului atau berjalan serempak dengan pikiran. Reaksi emosional gerak cepat ini lebih menonjol
dalam situasi-situasi yang mendesak yang mendahulukan tindakan penyelamtan diri.
c. Realitas simbolik yang seperti kanak-kanak
Logika pikirn emosional itu bersifat asosiatif menganggap bahwa unsur-unsur yang melambangkan suatu realitas atau memicu kenangan terhadap realitas itu merupakan hal yang sama dengan realitas tersebut. Dan banyak segi dimana akal emosional itu mirip perilaku kanak-kanak, semakin mirip kanan-kanak, semakin kuatlah tumbuhnya emosi tersebut. Salah satu seginya adalah kategoris, dimana segala sesuatu menjadi hitam putih, tidak ada warna kelabu. Cara mirip kanak-kanak ini bersifat menegaskan diri sendiri, dengan menekankan atau mengabaiakan ingatan atau fakta yang akan menggoyahkan keyakinan dan memanfaatkan ingatan serta fakta yang mendukung.
d. Masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang
Apabila sejumlah ciri suatu persitiwa tampak serupa dengan kenangan masa lampau yang mengandung muatan emosi, akal emosional menganggapinya dengan memicu perasaan-perasaan yang berkaitan dengan peristiwa yang diingat itu. Akal emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah-olah keadaan itu adlah masa lampau. Pikiran dan rekasi masa sekarang akan diwarbai pikiran-pikiran dan reaksi di masa lalu, meskipun barang kali agaknya rekasi tersebut disebabkan oleh keadaan lingkungan pada saat itu, akal emosional akan memanfaatkan akal rasional agar tujuannya tercapai.
e. Realitas yang ditentukan oleh keadaan
Bekerjanya akal emosional itu untuk sebagian besar ditentukan oleh keadaan, ditekan oleh perasaan tertentu yang sedang menonjol pada saat tersebut. Dalam mekanika emosi, setiap perasaan mempunyai repeator pikiran, reaksi, bahkan ingatannya sendiri-sendiri. Repeator itu ditentukan oleh keadaan menjadi paling menonjol dalam momen-momen dengan intensitas emosi yang tinggi. Salah satu tanda bahwa salah satu repeator sedang aktif adalah ingatan selektif. Salah satu tugas dari respon pikiran terhadap emosi adalah mengocok kenangan dan pilihan untuk bertindak agar pilihan dan ingatan paling relevan berada di puncak hierarki dan dengan demikian lebih siap dijalankan.
2.1.1.3 Bentuk – bentuk emosi a. Takut
Takut adalah perasaan yang mendorong individu untuk menjuhi sesuatu dengan sedapat mungkin menghindari kontak dengan hal itu. Bentuk ekstrim dari takut adalah phobia, yaitu perasaan takut terhadap hal-hal tertentu dengan begitu kuat tanpa alasan yang nyata, misalnya takut
terhadap ruangan yang sempit dan tertutup
(claustrophobia), takut terhadap ketinggian dan
sebagainya.
b. Kuatir
Kuatir atau was-was adalah perasaan takut yang tidak mempunyai obyek yang jelas dan tanpa obyeknya lama sekali, kekuatirannya menyebabkan rasa tidak senang, gelisah, tegang, tidak tenang dan rasa tidak aman.
c. Cemburu
Merupakan bentuk khusus dari kekuatiran yang didasari oleh kurang adanya keyakinan terhadap diri sendiri dan ketakutan akan kehilangan kasih sayang dan seseorang. Orang yang sedang cemburu selalu mempunyai sikap benci terhadap saingannya.
d. Gembira
Merupakan ekspresi dari kelegaan, yaitu perasaan terbebas dari ketegangan. Biasanya kegembiraan disebabkan oleh hal-hal yang bersifat tiba-tiba (surprise) dan kegembiraan biasanya bersifat sosial, yaitu melibatkan orang-orang lain yang sedang bergembira.
e. Marah
Sumber utama kemarahan adalah hal-hal yang mengganggu aktivitas untuk sampai tujuannya, dengan demikian ketegangan yang terjadi dalam aktivitas itu tidak mereda, bahkan bertambah. Untuk menyalurkan ketegangan itu individu yang bersangkutan menjadi marah.
2.1.1.4 Gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi
Menurut Salovey Mayer (Goleman, 1998:90 dalam Widyawati, 2012:17) orang cenderung menganut gaya – gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka diantaranya:
a. Sadar diri
Peka terhadap suasana hati ketika mengalaminya, memilki
kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional.
Kejernihan pikiran mereka tentang emosi melandasi cirri-ciri kepribadia lain: mandiri dan yakin akan batas-batas
yang mereka bangun, kesehatan jiwanya baik dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan.
b. Tenggelam dalam permasalahan
Mereka adalah orang-orang yang sering kali merasan dikuasai oleh emosi dan tidak berdaya untuk melepaskan diri, seolah – olah suasana hati mereka telah mengambil kekuasaan.
c. Pasrah
Peka akan apa yang mereka rasakan, cenderung menerima bagitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Ada dua cabang jenis pasrah yaitu : mereka yang terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk mengubahnya tendah dan mereka yang kendati peka akan perasaanya, rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan sikap tidak hirau, tidak melakukan apapun untuk mengubahnya meskkipun tertekan.
2.1.1.5 Pengertian kecerdasan
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, menghitung, sabagai jalur sempit keterampilan kata dan angka yang menjadi fokus dalam pendidikan formal seperti sekolah dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai kejayaan di bidang akademik. Pandangan baru yang berkembang adalah ada kecerdasan lain di luar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional dan lain-lain yang harus juga di kembangkan.
Inteligensi atau kecerdasan menurut Dusek (Casmini, 2007:14) dapat didefinisikan melalui dua jalan yaitu secara kuantitatif adalah proses belajar untuk memecahkan masalah yang dapat diukur dengan tes inteligensi, dan secara kualitatif suatu cara berpikir dalam membentuk konstruk bagaimana menghubungkan dan mengelola informasi dari luar yang disesuaikan dengan dirinya. Howard Gardner (Agus Efendi, 2005: 81) kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu.
Munzert mengartikan kecerdasan sebagai sikap intelektual mencakup kecepatan memberikan jawaban, penyeleasaian, dan kemampuan menyelesaikan masalah. David Wescler juga memberi pengertian kecerdasan sebagai suatu kapasitas umum dari individu untuk bertindak, berpikir rasional dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif (Syaiful Sagala, 2010: 82). Sehingga dapat diartikan pula bahwa kecerdasan atau Intelligensi adalah kemampuan untuk menguasai kemampuan tertentu.
2.1.1.6 Pengertian kecerdasan emosi
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Meyer dari Universitas of New Hampshire (Shapiro, 1997:5), menerangkan kualitas-kualitas emosional yang dampaknya penting bagi keberhasilan.
Kualitas-kualitas ini antara lain adalah empati,
mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sifat hormat.
Kecerdasan emosional mencakupi pengendalian diri, semangat, ketekunan serta kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi kegagalan, kesanggupan mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga supaya beban tekanan tidak melumpuhkan kemampuan berpikir bagi membaca pearsaan terdalam orang lain dan berdoa untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik serta untuk memimpin.
Mayer dan Salovey (dalam Morgan, 2003) mengatakan “Individu yang memiliki kepintaaran emosi mahir dalam empat bidang, mengenal pasti emosi, menggunakan emosi, memahami emosi dan mengawal emosi.” Konsep ini menjelaskan yang berupaya menjelaskan ataupun menyadari emosinya, menggunakan emosinya dengan bijak, memahami emosinya, dan mengawal emosinya dia dianggap mempunyai kecerdasan emosi.
Menurut Weisinger (2006) secara sederhana, kecerdasan emosional adalah penggunaan emosi secara cerdas. Emosi tersebut bermanfaat sebagai pemandu perilaku dan pemikiran anda, sehingga hasil anda meningkat. Weisinger berpendapat kecerdasan emosional sebagai suatu instrumen untuk menyelesaikan masalah dengan rekan kerja, membuat kesepakatan dengan pelanggan yang rewel, mengkritik atasan anda, menyelesaikan tugas sampai selesai, dan dalam berbagai tantangan lain yang mempengaruhi kesuksesan anda.
Definisi kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman (2009: 58) yaitu kecerdasan emosional merujuk pada
kemampuan mengenali diri sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri, mengelola emosi, empati dan berhubungan dengan orang lain. Menurut Goleman dalam T. Hermaya. (2004: 5), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Giovanni Chandra (2010: 10) menyebutkan kecerdasan emosional merupakan suatu bidang yang menyelidiki dan menggali cara manusia mempergunakan keterampilan subjektif dan non kognitifnya agar dapat mengelola dan meningkatkan hubungan sosial dan kondisi kehidupan.
Howes dan Herald (dalam Zakiah, 2013) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosinya. Emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi dan sensasi emosi yang apabila diakui dan
dihormati, kecerdasan emosional akan menyediakan
pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik murni (academic intelligence) yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Garis pembagi utama kecakapan-kecakapan yang dimiliki seseorang
terletak antara pikiran dan hati, atau secara lebih teknis, antara kognisi dan emosi. Sebagian kecakapan bersifat murni kognitif, seperti penalaran analitis atau keahlian teknis. Sedangkan keahlian lain merupakan perpaduan antara pikiran dan perasaan, inilah yang disebut kecakapan emosi (Goleman dalam Ati, 2010).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali diri sendiri dan orang lain, yang didalamnya termasuk aspek pengelolaan emosi, motivasi diri, empati dalam berhubungan dengan orang lain.
2.1.1.7 Wilayah kecerdasan emosional
Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, wilayah tersebut meliputi sekelompok kemampuan emosional atau kemampuan sosial yang turut berperan dalam kecerdasan emosional, terbagi dalam lima wilayah utama yaitu:
a. Kesadaran diri
Menurut Mustaqim dalam bukunya yang berjudul
“Psikologi Pendidikan” mendefinisikan kesadaran diri
adalah kemampuan seseorang dalam mengenali
perasaannya sewaktu perasaan atau emosi itu muncul. Kesadaran diri mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur
yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
Kesadaran diri emosional merupakan pondasi semua unsur kecerdasan emosional, langkah awal yang penting untuk memahami diri sendiri dan untuk berubah, sudah jelas bahwa seseorang tidak mungkin bisa mengendalikan sesuatu yang tidak ia kenal.
Ada 3 kemampuan yang merupakan ciri dari kesadaran diri, yaitu:
1) Kesadaran emosi, yaitu mengenali emosi diri sendiri dan mengetahui bagaimana pengaruh emosi tersebut terhadap kinerjanya.
Ciri orang yang mempunyai kecakapan ini adalah:
a) Tahu mana yang sedang mereka rasakan dan
mengapa hal tersebut dapat terjadi.
b) Menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dengan yang sedang mereka pikirkan, perbuat, dan yang telah dikatakan.
c) Mengetahui bagaimana perasaan mereka
mempengaruhi kinerjanya
d) Mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk
nilai-nilai dan sasaran mereka.
2) Penilaian diri secara teliti, yaitu mengetahui sumberdaya batiniyah dan kekuatan serta batasan-batasan terhadap diri sendiri. Orang dengan kecakapan ini akan:
a) Sadar akan kekuatan dan kelemahan terhadap diri sendiri
c) Terbuka dan bersedia menerima hal yang baru serta mau belajar dan mengembangkan diri menuju perubahan.
3) Percaya diri, yaitu kemampuan dalam meyakini dan menghargai potensi yang ada dalam diri sendiri. Orang dengan kemampuan ini akan:
a) Berani tampil dengan keyakian diri, berani menyatakan kebenaran.
b) Bersedia berkorban demi kebenaran
c) Bersikap tegas dalam menghadapi persoalan dan dengan keadaan apapun
b. Mengelola emosi
Yaitu menangani perasaan agar dapat diungkapkan secara tepat. Orang yang buruk kemampuannya dalam hal ini akan
terus-menerus bergumul dengan kemurungan dan
keputusasaan ketika mereka mengalami kegagalan. Emosi dikatakan berhasil jika dikelola, adapun langkah yang dilakukan hendaknya mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Keterampilan mengelola emosi ini dapat dijelaskan dengan ciri-ciri:
1) Mampu meredakan amarah dengan cepat.
2) Mampu mengatasi kecemasan.
3) Tidak cenderung larut dalam depresi atau kesedihan. 4) Bermeditasi atau berdoa bila menghadapi masalah. Remaja yang lebih mampu untuk mengelola emosi, mereka akan lebih mampu lagi dalam mengatasi kehidupan sehari-hari mereka, memfasilitasi penyesuaian diri yang lebih baik sehingga dapat mengatasi segala rasa ketidaknyamanan
yang dialami, (Fernandez & Berrocal 2008:421).
Kemampuan untuk mengendalikan emosi sering disebut dengan kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) (Purwanti, 2014). Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) sering digunakan untuk melukiskan kualitas emosi, yang terdiri dari empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan
memeacahkan masalah pribadi, ketekunan,
kesetiakawanan, keramahan, dan rasa hormat (Purwanti, 2014).
c. Memotivasi diri
Menurut Daniel Goleman motivasi adalah bagaimana
menggunakan hasrat yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu untuk mengambil inisiatif untuk bertindak secara efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan atau frustasi (Goleman, 2002:514). Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting yang berkaitan dengan memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri, dan berkreasi. Adapun selain itu yang berkaitan dengan motivasi adalah optimis. Ada empat kemampuan motivasi yang harus dimiliki (Goleman, 2002:181-182), yaitu:
1) Dorongan prestasi yaitu dorongan untuk meningkatkan atau memenuhi standar keunggulan.
2) Komitmen, yaitu menyelaraskan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
3) Inisiatif (initiative), yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
4) Optimisme, yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.
d. Mampu berempati
Menurut Daniel Goleman, empati adalah memahami perasaan dan masalah orang lain dan berfikir dengan sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal (Goleman,2002:428). Tingkat empati tiap individu berbeda-beda. Menurut Daniel Goleman, pada tingkat yang paling rendah, empati mempersyaratkan kemampuan membaca emosi orang lain, pada tataran yang lebih tinggi, empati mengharuskan seseorang mengindra sekaligus menanggapi kebutuhan atau perasaan seseorang yang tidak diungkapkan lewat kata-kata. Diantara tingkat empati yang paling tinggi adalah menghayati masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang tersirat di balik perasaan seseorang (Goleman, 2002:215). Adapun kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal seperti ekspresi wajah, gerak-gerik dan nada bicara (Goleman, 2002:136).
Menurut Daniel Goleman (2002: 230-231), ada lima kemampuan empati, yaitu :
1) Memahami orang lain, yaitu mengindera perasaan perasaan orang lain, serta mewujudkan minat-minat aktif terhadap kepentingan-kepentingan mereka.
2) Mengembangkan orang lain yaitu mengindera
kebutuhan orang lain untuk berkembang dan
meningkatkan kemampuan mereka.
3) Orientasi pelayanan yaitu mengantisipasi, mengakui, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
4) Memanfaatkan keragaman yaitu menumbuhkan kesempatan (peluang) melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang.
5) Kesadaran politik yaitu mampu membaca arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan
e. Membina hubungan (keterampilan bergaul)
Seni membina hubungan dengan orang lain erat kaitannya dengan keterampilan memahami emosi orang lain. Agar terampil membina hubungan dengan orang lain, kita harus mampu mengenal dan mengelola emosi mereka. Untuk mengelola emosi orang lain kita perlu lebih dahulu mampu mengendalikan diri, mngendalikan emosi yang mungkin berpengaruh buruk dalam hubungan sosial, menyimpan dulu kemarahan dan mengekspresikan perasaan diri. Membina hubungan dengan orang lain merupakan dimensi yang paling berpengaruh, seperti dijelaskan sebelum kita membina hubungan dengan orang maka kita perlu untuk mengenali emosi kita terlebih dahulu, mengenali emosi orang lain agar kita dapat membina hubungan dengan baik. Hal ini di harapkan agar setiap individu mampu berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan tingkah laku dari individu tersebut (Goleman, 2002:158-159).
Kemampuan dari kecakapan ini adalah:
1) Pengaruh, adalah melakukan taktik untuk melakukan persuasi.
2) Komunikasi, yaitu mengirimkan pesan yang jelas secara meyakinkan.
3) Manajemen konflik, yaitu kemampuan dalam
melaksanakan negosiasi dan pemecahan selang pendapat.
4) Kepemimpinan, yaitu membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok dan orang lain.
5) Katalisator perubahan, yaitu kemampuan memulai dan mengelola perubahan.
6) Membangun hubungan, yaitu kemampuan
menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
7) Kolaborasi dan kooperatif, yaitu kemampuan
bekerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama. 8) Kemampuan tim, yaitu menciptakan sinergi kelompok
dalam memperjuangkan tujuan Bersama (Goleman, 2002:271-350).
Mayer dan Salovey (dalam Ghufron 2016:146)
mengemukakan bahwa kecerdasan emosi memiliki empat tahap dan masing-masing tahap memiliki empat kemampuan. Tahap pertama adalah persepsi, penilaian, dan ekpresi emosi. Empat kemampuan dalam tahap ini adalah pertama mengenal emosi secara fisik, rasa dan fikir, mengenal emosi pada orang lain, disain, serta seni, dan lain lain, melalui bahasa, bunyi, penampilan dan perilaku; mengungkap emosi secara cepat, membedakan ungkapan rasa antara tepat dan tidak tepat, jujur dan tidak jujur.
Tahap kedua adalah fasilitasi emosi, empat kemampuan dalam tahap ini adalah emosi mampu memberikan prioritas pada fikiran dengan mengarahkan perhatian pada informasi penting, membantu dalam menilai yang berhubungan dengan rasa, mengubah perspektif individu dari pesimis menjadi optimisme, mendorong untuk mempertimbangkan berbagai pandangan.
Tahap ketiga adalah pengertian dan penguraian emosi. Empat kemampuan dalam tahap ini adalah mampu memberikan label
emosi dan mengambil hubungan antara berbagai kata : mampu mengartikan hubungan emosi dengan hal lain; mampu mengerti rasa yang komplek, mampu mengarah adanya perpindahan emosi.
Tahap keempat adalah pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelek. Empat kemampuan dalam tahap ini adalah : mampu tetap terbuka terhadap perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan: mampu melibatkan diri atau menarik diri atas dasar pertimbangan dan kegunaan; mampu memantau emosi secara reflektif dalam hubungan dengan diri sendiri maupun orang lain; mampu mengelola emosi diri dan orang lain.
2.1.1.8 Ciri-ciri kecerdasan emosional
Sebagai bahan rujukan dan pegangan gambaran kecerdasan emosional yang dimiliki oleh seseorang. Hein mengemukakan tentang tanda tanda atau ciri-ciri kecerdasan emosional secara spesifik. Ciri-ciri tersebut meliputi : (Nurdin ,2009: 104) a. Ciri-ciri kecerdasan emosional yang tinggi meliputi:
1) Dapat mengekspresikan emosi dengan jelas dan tidak merasa takut.
2) Tidak didominasi oleh perasaan-persaan negatif.
3) Dapat memahami (membaca) komunikasi non verbal.
4) Membiarkan perasaan yang dirasakan untuk
membimbingnya.
5) Berperilaku sesuai dengan keinginan, bukan karena keharusan, dorongan dan tanggung jawab.
6) Menyeimbangkan perasaan dengan rasional, logika dan kenyataan.
8) Tidak termotivasi karena kekuasaan, kenyataan, status, kebaikan dan persetujuan.
9) Memiliki emosi yang fleksibel, peduli dengan perasaan orang lain.
10) Optimis, tidak menginternalisasika kegagalan. 11) Tidak digerakkan oleh ketakutan dan kekhawatiran. 12) Dapat mengidentifikasikan berbagai perasaan secara
bersamaan.
b. Ciri-ciri kecerdasan emosional yang rendah meliputi,
1) Tidak mempunyai rasa tanggung jawab terhadap
perasaan sendiri dan lebih menyalahkan orang lain. 2) Tidak mengetahui perasaannya sendiri, sehingga
menyalahkan orang lain, suka memerintah, suka mengkritik, sering mengganggu, sering menggurui, sering memberi nasehat, sering curang, dan sering menilai orang lain.
3) Berbohong terkait dengan sesuatu yang sedang ia rasakan
4) Membiarkan segala hal terjadi atau bereaksi berlebihan terhadap kejadian yang sederhana sekalipun.
5) Tidak memiliki perasaan dan integritas. 6) Tidak mempunyai rasa empati dan kasihan.
7) Kaku, tidak fleksibel, membutuhkan aturan-aturan dan struktural untuk merasa bersalah.
8) Merasa tidak aman, definisif dan sulit menerima kesalahan dan sering merasa bersalah.
9) Tidak bertanggung jawab, pesimistik dan sering menganggap dunia tidak adil.
10) Sering merasa tidak adequate, kecewa, pemarah, sering
dimilikinya untuk menilai dan mengkritik serta tanpa rasa hormat terhadap perasaan orang lain.
2.1.1.9 Faktor – faktor yang mempengaruh kecerdasan emosional Perkembangan manusia sangat dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah individu yang memiliki potensi dan kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki tersebut, sedangkan faktor eksternal adalah dukungan dari lingkungan disekitarnya untuk lebih mengoptimalkan dari sejua potensi yang dimilikinya, terutama kecerdasan emosional.
(Goleman,2002:271-350) mengatakan bahwa kecerdasan emosi juga dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut, diantaranya faktor otak, faktor keluarga, faktor lingkungan sekolah. Berdasarkan uraian tersebut, maka faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosional adalah:
a. Faktor otak
La Doux mengungkapkan bagaimana arsitektur otak memberi tempat istimewa bagi amigdala sebagai penjaga emosi, penjaga yang mampu membajak otak. Amigdala adalah spesialis masalah-masalah emosional. Apabila amigdala dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya, hasilnya adalah ketidakmampuan yang sangat mencolok dalam menangkap makna emosi awal suatu peristiwa, tanpa amigdala tampaknya ia kehilangan semua pemahaman tentang perasaan, juga setiap kemampuan merasakan perasaan. Amigdala berfungsi sebagai semacam gudang ingatan emosional.
b. Faktor lingkungan keluarga
Orang tua memegang peranan penting terhadap
perkembangan kecerdasan emosional anak. Goleman berpendapat bahwa lingkungan keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak untuk mempelajari emosi.Dari keluargalah seorang anak mengenal emosi dan yang paling utama adalah orang tua. Jika orang tua tidak mampu atau salah dalam mengenalkan emosi, maka dampaknya akan sangat fatal terhadap anak.
c. Faktor lingkungan sekolah
Dalam hal ini, lingkungan sekolah merupakan faktor penting kedua setelah sekolah, karena dilingkungan ini anakmendapatkan pendidikan lebih lama. Guru memegang peranan penting dalam mengembangkan potensi anak melalui beberapa cara, diantaranya melalui teknik, gaya kepemimpinan, dan metode mengajar sehingga kecerdasan
emosional berkembang secara maksimal. Setelah
lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah mengajarkan anak sebagai individu untuk mengembangkan keintelektualan dan bersosialisasi dengan sebayanya, sehingga anak dapat berekspresi secara bebas tanpa terlalu banyak diatur dan diawasi secara ketat.
d. Faktor lingkungan dan dukungan sosial
Di sini, dukungan dapat berupa perhatian, penghargaan, pujian, nasihat atau penerimaan masyarakat. Semuanya memberikan dukungan psikis atau psikologis bagi anak. Dukungan sosial diartikan sebagai suatu hubungan interpersonal yang didalamnya satu atau lebih bantuan dalam bentuk fisik atau instrumenta, informasi dan pujian.
Dukungan sosial cukup mengembangkan aspek-aspek kecerdasan emosional anak, sehingga memunculkan perasaan berharga dalam mengembangkan kepribadian dan kontak sosialnya
Adapun faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecerdasan emosi yang dimiliki seseorang menurut Prayitno 2007:23 (dalam Ghufron 2016:147) adalah:
Pertama, Kondisi neorologis dan mekanisme kerja otak. Bahwa wilayah prefontal otak mengatur reaksi emosi individu sejak awal. Proyeksi terbesar informasi pengindraan berasal dari talamus kemudian menuju ke otak dan pusat-pusatnya untuk diterima dan diberi makna tentang hal-hal yang diserap. Didalam neo kortek serangkaian tahapan sirkuit mendata dan menganalisis informasi tersebut, memahaminya dan mengatur suatu reaksi melalui lobus frontalis. Apabila dalam proses ini
dibutuhkan respon emosional, lobus frontalis akan
memerintahkannya. Lobus frontal akan bekerja sama dengan amignala dan sirkuit-sirkuit lain dalam otak emosional, tetapi apabila terjadi pembajakan emosi, urutan mekanisme tersebut tidak berlaku lagi. Pembajakan emosi suatu keadaan dimana ledakan emosi menguasai rasio, pada awalnya dipicu oleh amigdala dan kemudian diikuti oleh kegagalan pengaktifan proses neo kartalis, yang lazimnya menjaga keseimbangan respon emosional. Hal ini akan menyebabkan orang yang bersangkutan tidak mampu berfikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat berdasarkan pertimbangan rasionya, sehingga ia akan menunjukkan berbagai tingkah laku maladaptif.
Kedua, jenis kelamin. Faktor yang lain yang dapat mempengeruhi kecerdasan emosi adalah jenis kelaminnya,
Anak perempuan lebih trampil berbahasa dari pada anak laki-laki, maka mereka lebih berpengalaman dalam mengutarakan perasaannya dan lebih cakap dalam memanfaatkan kata-kata untuk menjelajahi dan menggantikan reaksi emosional, seperti perkelahian fisik. Sebaliknya, anak laki-laki yang kemampuan ferbalisasi yang perasaannya ditumpukan sebagian besar tampak kurang peka akan keadaan emosi dirinya sendiri dan orang lain.
Ketiga, temperamen. Setiap manusia memiliki sifat bawaan yang disebut temperamen. Temperamen seorang anak mencerminkan suatu rangkaian emosi bawaan tertentu dalam otaknya, untuk ekpresi emosi sekaligus perilakunya-sekarang dan di masa mendatang. Setiap manusia mempunyai perbedaan dalam jaringan sirkuit emosi yang menyebabkan perbedaan hal seberapa mudahnya emosi dipicu, berapa lama berlangsungnya dan seberapa intensinya. Perbedaan ini menentukan apakah seseorang bersifat pemarah, penakut, periang, pemberani atau pemurung.
Keempat, pola asuh orangtua. Perkembangan emosi individu (sebagaimana aspek-aspek psikis lainnya) juga dipengeruhi oleh beberapa foktor, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah sampai lingkungan masyarakat. keluarga terutama orangtua memegang peranan yang penting dalam perkembangan kecerdasan emosi anak khususnya.
Kelima, usia. Efek usia dan jenis kelamin terhadap intensitas emosi menyimpulkan bahwa orang yang lebih muda menunjukkan tingkat rata-rata yang lebih tinggi pada perasaan positif dan negatif. Pada masa remaja akhir individu akan lebih cerdas dalam membuat keputusan, lebih sadar akan bahaya yang timbul, memikirkan akan akibat yang panjang, cenderung untuk memecahkan masalah hati-hati dan dalam
membuat keputusan terlebih dahulu mencari informasi yang benar dan mengkaji seluruh alternatif.
Keenam, teman sebaya. Pada masa remaja individu mulai melepaskan diri dari ikatan keluarga untuk mengembangkan keterlibatannya lebih dekat dengan teman sebayanya. Hal ini cara remaja menemukan identitas diri sebagai pribadi dewasa yang berbeda dengan identitas anak-anak. Tugas-tugas sosial anak dalam persahabatan, antara lain adalah belajar mengelola keinginan diri sendiri dan menysuaikan diri dengan
keinginankeinginan teman, belajar mengekspresikan
perhatian, mengemukakan keinginan dan perasaan, belajar meminta maaf dan belajar peduli dengan teman.
Ketujuh, sekolah. Kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah merupakan sarana pendidikan emosi dan sosial, murid belajar bekerja bersama, mengemukakan pendapat, mengembangkan pendirian, menghargai orang lain, menyelesaikan pertikaian dan bernegoisasi tanpa menimbulkan perpecahan. Selain itu figur guru juga berpengaruh dalam perkembangan ketrampilan pengelolaan emosi anak. Guru menjadi model anak melalui pengamatan anak terhadap cara guru mengajar, cara memperlakukan murid, dan cara menyelesaikan konflik diantara murid.
Kedelapan, agama. Agama adalah yang telah menjadi unsur pribadi secara khusus atau otomatis, akan berpengaruh terhadap segala perilaku individu baik dalam berfikir, merasa, bersikap atau bertindak. Harmonisasi yang maksimal antara unsur agama akan menjadi daya kontrol, daya kendali dan daya dorong yang sangat kuatAgama adalah yang telah menjadi unsur pribadi secara khusus atau otomatis, akan berpengaruh terhadap segala perilaku individu baik dalam berfikir, merasa, bersikap atau bertindak. Harmonisasi yang
maksimal antara unsur agama akan menjadi daya kontrol, daya kendali dan daya dorong yang sangat kuat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah kondisi neorologis dan mekanisme kerja otak, jenis kelamin, temperaman, pola asuh orangtua, usia, teman sebaya, sekolah dan agama.
Menurut Prayitno 2007:23 (dalam Ghufron 2016:147) faktor yang lain yang dapat mempengeruhi kecerdasan emosi adalah jenis kelaminnya, Anak perempuan lebih trampil berbahasa dari pada anak laki-laki, maka mereka lebih berpengalaman dalam mengutarakan perasaannya dan lebih cakap dalam memanfaatkan kata-kata untuk menjelajahi dan menggantikan reaksi emosional, seperti perkelahian fisik. Sebaliknya, anak laki-laki yang kemampuan ferbalisasi yang perasaannya ditumpukan sebagian besar tampak kurang peka akan keadaan emosi dirinya sendiri dan orang lain.
Wanita lebih menyadari emosi mereka, menunjukkan empati dan lebih baik dalam hubungan interpersonal dibandingkan dengan pria. Penelitian yang dilakukan oleh King (1999), Sutarso (1999), Wing dan Love (2001) dan Singh (2002) (dalam Sarhad, 2009) juga menunjukkan bahwa wanita memiliki kecerdasan emosi yang lebih tinggi daripada pria. Goleman juga (1995) mengatakan wanita lebih beruntung pada lingkungan sosial yang lebih menekankan kepada emosi daripada pria. Contohnya, orang tua lebih menggunakan kata-kata yang mengandung emosi ketika bercerita tentang anak perempuan mereka daripada anak laki-laki, dan ibu juga lebih banyak memperlihatkan emosi yang bervariasi ketika berinteraksi dengan anak perempuan, sehingga anak
perempuan menerima lebih banyak pelatihan pada emosi (Khaterina. Garliah, L. 2012).
2.1.1.10 Pengukuran kecerdasan emosional
Ukuran tingkat kecerdasan emosional diukur melalui angket, angket ini bertujuan untuk mengungkap tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki remaja. Goleman (2009: 58) menyebutkan kecerdasan emosional merupakan kecakapan emosi yang terdiri dari kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (2009: 58–59) adalah sebagai berikut:
a. Kecakapan pribadi 1) Mengenali emosi diri 2) Mengelola emosi 3) Motivasi
b. Kecakapan sosial 1) Empati
2) Membina hubungan
Aspek-aspek kecerdasan emosional tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan kuesioner penelitian.
2.1.2 Teori perilaku bullying 2.1.2.1 Perilaku
a. Pengertian perilaku
Dalam bahasa Inggris disebut dengan behavior yang artinya kelakuan, tindak-tanduk jalan. Perilaku juga tediri dari dua kata peri dan laku, peri yang artinya sekeliling, dekat, melingkupi dan laku artinya tingkah laku, perbuatan, tindak tanduk. Secara etimologis perilaku artinya setiap tindakan manusia atau hewan yang dapat dilihat. Melihat
beberapa uraian tersebut nampak jelas bahwa perilaku itu adalah kegiatan atau aktifitas yang melingkup seluruh aspek jasmaniah dan rohaniah yang bisa dilihat.
Perilaku secara bahasa berarti cara berbuat atau menjalankan sesuatu sesuai dengan sifat yang layak bagi manusia. Secara sosial berarti segala sesuatu mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Sedangkan secara istilah diartkan sebagai berikut ini: Perilaku sosial adalah aktifitas fisik dan psikis seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi kebutuhan diri atau orang lainyang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock, 2003:264).
Perilaku juga sering disebut dengan akhlak atau moral. Moral ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggungjawab atas kelakuan atau tindakan tersebut (Drajat, 2005:89).
Sobur (2003:287) sebenarnya perilaku merupakan serentetan kegiatan. Sebagai manusia, kita melakukan sesuatu seperti berjalan-jalan, berbicara, makan, tidur, bekerja, dan sebagainya. Perilaku manusia adalah refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, persepsi, minat, keinginan dan sikap. Hal-hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri individu sendiri yang disebut juga faktor internal sebagian lagi terletak di luar dirinya atau disebut dengan faktor eksternal yaitu faktor lingkungan.
Leavitt (dalam Sobur, 2010 : 288) mengemukakan kebenaran mendasar dan tanpa kecuali mengenai tingkah laku manusia yaitu:
1) manusia adalah produk dari lingkungan
2) manusia menginginkan keamanan
3) yang dikehendaki manusia adalah makanan
4) manusia pada dasarnya malas
5) manusia pada dasarnya suka mementingkan diri sendiri 6) manusia hanya mengerjakan apa yang harus mereka
kerjakan
7) manusia adalah mahluk yang dibentuk oleh
kebiasaanya
8) manusia adalah produk dari sifat-sifat yang diturunkan oleh nenek moyang mereka
Menurut Leavitt (dalam Sobur, 2010:289) terkandung tiga asumsi penting dalam perilaku manusia yaitu:
1) Pandangan tentang sebab-akibat (causality), yaitu pendapat bahwa tingakah laku manusia itu ada sebabnya, sebagaimana tingkah laku bennda-benda alam tersebut. Sebab musabab merupakan hal yang mutlak bagi paham bahwa lingkungan dan keturunan mempengaruhi tingkah laku dan bahwa apa yang ada di luar mempengaruhi apa yang ada di dalam
2) Pandangan tentang arah atau tujuan (directedness), yaitu bahwa tingkah laku manusia tingkah laku manusia tidak hanya di sebabkan oleh sesuatu, tetapi juga menuju kearah sesuatu, atau mengarah pada satu tujuan, atau bahwa manusia pada hakikatnya ingin menuju sesuatu
3) Konsep tentang motivasi (motivation), yang melatarbelakangi tingkah laku, yang dikenal sebagai suatu “desakan” atau “keinginan”.
b. ciri perilaku
Watson mengemukakan (dalam Walgito, 2004:19) bahwa perilaku manusia mempunyai ciri-ciri yakni:
1) Perilaku itu sendiri kasatmata, tetapi penyebab terjadinya perilaku secara langsung mungkin tidak dapat di amati;
2) Perilaku mengenal berbagai tingkatan, yaitu perilaku sederhana dan stereotip, seperti perilaku binatang bersel satu; perilaku kompleks seperti sosial manusia; perilaku sederhana, seperti reflex, tetapi ada juga yang melibatkan proses mental biologis yang tinggi
3) Perilaku bervariasi dengan klasifikasi ; kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang menunjuk pada sifat rasional, emosional.
c. Jenis perilaku
Brance (dalam Walgito 2004:12) perilaku manusia dapat dibedakan antara perilaku yang refleksif dan perilaku yang non refleksif.
1) Perilaku yang refleksif merupakan perilaku yang terjadi atas reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme tersebut. Misalnya reaksi kedip mata bila kena sinar, menarik jari bila jari kena api dan sebagainya. Reaksi atau perilaku reflektif adalah perilaku yang terjadi dengan sendirinya, secara otomatis. Stimulus yang diterima oleh organisme atau individu tidak sampai ke pusat susunan syaraf atau
otak, sebagai pusat kesadaran, sebagai pusat pengendali dari perilaku manusia.
2) Perilaku non-reflektif. Perilaku ini di kendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran otak. Dalam kaitan ini stimulus setelah diterima oleh reseptor kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat syaraf, baru kemudian terjadi respons melalui afektor. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran ini disebut proses psikologi. Perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologis inilah yang disebut aktivitas psikologis atau perilaku psikologis.
Skinner seorang ahli psikologi (dalam Notoatmodjo, 2010:20) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, respons sehingga teori Skinner ini disebut dengan teori “ S-O-R” (Stimulus, Organisme, Respons ). Notoatmodjo (2010:21) berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1) Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas
dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk “unobservable behavior” atau “covert behavior” yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.
2) Perilaku terbuka (overt behavior) Perilaku terbuka terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau “observable behavior”
Notoatmodjo (2010:25) mengemukakan bahwa perilaku dapat dibatasi sebagai jiwa (berpendapat, berfikir, bersikap dan sebagainya). Untuk memberikan respon terhadap situasi di luar objek tersebut. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan). Bentuk operasional dari perilaku dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu :
1) Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan rangsangan.
2) Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan perasaan terhadap keadaan atau rangsangan dari luar diri si subyek, sehingga alam itu sendiri akan mencetak perilaku manusia yang hidup di dalamnya, sesuai dengan sifat keadaan alam tersebut (lingkungan fisik) dan keadaan lingkungan sosial budaya yang bersifat non fisik, tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap pembentukan perilaku manusia. Lingkungan ini adalah merupakan keadaan masyarakat dan segala budi daya masyarakat itu lahir dan mengembangkan perilakunya.
3) Perilaku dalam bentuk tindakan, yang sudah konkrit berupa perbuatan terhadap situasi dan suatu rangsangan dari luar.
d. Faktor-faktor mempengaruhi perkembangan perilaku Notoadmodjo (2010:5) ada aliran yang sudah amat populer yang mempengaruhi perkembangan perilaku yaitu sebagai berikut
1) Nativisme
Nativisme dipelopori oleh Schopen houer yang berpendapat bahwa bahwa perilaku manusia itu sudah dibawa atau ditentukan sejak lahir. Sehingga lingkungan tidak mempunyai peran atau kekuatan apa pun dalam membentuk perilaku. Perilaku baik ataupun perilaku buruk seseorang adalah memang sudah terbentuk atau dibawa dari lahir (bawaan)
2) Empirisme
Empirisme dipelopori oleh Aristoteles kemudian dilanjutkan oleh John Locke berpendapat bahwa manusia lahir adalah dalam keadaan kosong seperti meja lilin atau kertas lilin (tabularasa). Kertas atau meja lilin ini akan terisi dan berwarna warni oleh karena lingkungannya. Itulah perilaku manusia, dalam aliran ini pengalaman sangat dominan dalam membentuk perilaku manusia, karena pengalaman indra ini yang akan menggores atau mewarnai kertas lilin yang putih, yakni menyebabkan kebeeragaman perilaku anak atau manusia.
3) Naturalisme
Naturalisme dipelopori oleh Jan Jack Rousseau, ia berberpendapat bahwa manusia pada hakikatnya lahir dalam keadaan baik, tetapi menjadi tidak baik karena lingkungannya. Naturalisme hampir sama dengan nativisme, karena mendasarkan pada konsep lahir. Perbedaanya aliran nativisme konsep lahir itubisa baik
dan bisa juga tidak baik atau jelek. Apabila dilahirkan baik akan berkembang menjadi baik, tetapi kalu dilahirkan tidak baik, juga berkembang tidak baik. Tetapi pada naturalisme berpendapat bahwa anak dilahirkan dalam keadaan yang baik saja. Akhirnya menjadi tetap baik atau bisa menjadi tidak baik karena lingkungan. Naturalisme mengatakan tidak ada seorang pun yang terlahir dengan pembawaan buruk. Anak menjadi buruk karena lingkungan,lingkunganlah yang menyebabkan manusia menjadi buruk atau tidak baik. Oleh sebab itunaturalisme disebut juga negativisme, karena lingkungan termasuk pendidikan berpengaruh negative. Lingkungan yang menyebabkan anak yang dilahirkan baik, akhirnya tumbuh menjadi anak atau orang yang tidak baik
4) Konfergensi
Konfergensi dipelopori oleh William Stem
berpendapat bahwa perkembangan individu
dipengaruhi oleh faktor dasar (pembawaan, bakat, keturunan) maupun lingkungan, yang keduanya memainkan peranan penting, Willian mengatakan bahwa perilaku sesorang tidak semata-semata ditentukan oleh lingkungan dan pembawaan tapi kedua-duanya berperan secara bersama-sama. Hal ini berarti bahwa memang perilaku dapat dikembangkan, tetapi mempunyai keterbatasan-keterbatasan, yakni pembawaan.
Dalam memenuhi segala kebutuhan perilaku yaitu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
1) Faktor pembawaan (herditas)merupakan factor yang mempengaruhi perilaku individu. Dalam hal ini hereditas diartikan sebagai totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik yang dimiliki individu sejak konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan pihak orang tua melalui gen-gen
2) Faktor keluarga dimana lingkungan keluarga banyak berperan dalam menghiasi perilaku anak, dimana kehidupan dalam keluarga akan menjadikan anak itu tumbuh dan berkembang seperti keadaan kelauarga contohnya anak yang hidup dalam keluarga yang otoriter maka dia cenderung akan bersikap keras 3) Faktor pengalaman artinya manusia dianggap seperti
seonggok tanah liat yang dicetak atau dibentuk. Sekarang dipahami bahwa manusia disamping dipengaruhi,juga mempengaruhi lingkungan fisik sosialnya. Segala bentuk kejadian yang dialami sepanjang hidup akan menjadikan individu lebih matang, dan akan mempengaruhi perilaku individu tersebut.
Keterangan-keterangan tersebut disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku itu intinya ada dua:
1) Faktor intern yaitu faktor-faktor yang datangnya dari dalam diri anak baik keturunan, bakat, pembawaan, sangat mempengaruhi dan merubah perilaku anak. Dan jika orang tua mempunyai sifat-sifat baik fisik ataupun
mental psikologis, sedikit banyak akan terwariskan kepada anak
2) Faktor ekstern yaitu faktor yang datang dari luar diri anak seperti faktor lingkungan (orang tua/keluarga, sekolah, masyarakat dan teman-teman bermain) yang juga akan mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak.
Faktor perilaku sosial remaja
Seseorang akan dianggap berperilaku buruk atau menyimpang ketika perbuatan dan tingkah lakunya tidak sesuai dan melanggar norma yang ada. Pada kenyataanya sekarang ini, seseorang akan mudah melakukan pelanggaran terhadap norma yang ada. Bentuk-bentuk
pelanggaran terhadap norma itulah wujud dari
kemerosotan moral dan akhlak (Drajat, 2005:93). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa norma dapat sebagai menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang terhadap norma yang ada, jika melakukan pelanggaran norma nilai moral akan tergolong tidak baik.
Ada beberapa yang umum menjadi penyebab terjadinya penurunan nilai-nilai moral pada anak ataupun remaja. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah
1) Minimnya pengetahuan agama yang didapat
Pengetahuan tentang agama, sangat perlu diterima seorang anak, sebagai benteng moral yang kuat. Jika ia benar-benar memahami ajaran agamanya dengan baik, maka ia akan selalu berusaha menjalankan kebaikan dan menghindari keburukan. Namun
sebaliknya, jika pengetahuan agamanya sangat minim, maka akan sulit pula memelihara moralnya.
2) Kondisi keluarga dan lingkungan anak yang kurang baik
Lingkungan sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku anak, khususnya keluarga. Keluarga yang baik mampu memberikan pendidikan moral, begitu juga dengan lingkungan masyarakat. Namun jika kondisi keluarga dan masyarakat sekitar kurang baik, maka akan memberikan dampak negatif pada perkembangan anak.
3) Adanya pengaruh budaya asing
Budaya asing yang tidak tersaring akan berpengaruh pada pola pikir remaja. Karena masa remaja cenderung meniru apa-apa saja yang ia anggap hebat, sekalipun itu bertentangan dengan norma dan adat istiadat di wilayahnya.
4) Tidak terealisasinya pendidikan moral
Perilaku orangtua dalam kehidupanya sehari-hari sangat berpengaruh pula pada perilaku remaja. Karena remaja cendering menjadi cerminan dari perilaku orangtuanya. Jika orangtua sendiri belum bisa menjalankan kebiasaan-kebiasaan baik, Maka akan sulit pula bagi seorang remaja menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang baik.
Berbagi bentuk perilaku seseorang pada dasarnya merupakan karakter atau ciri kepribadian yang dapat teramati ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain.
Seperti dalam kehidupan berkelompok, kecenderungan perilaku seseorang yang menjadi anggota kelompok akan terlihat jelas diantara anggota kelompok lainnya. Indikator Perilaku dapat dilihat melalui sifat-sifat dan pola respon antar pribadi, yaitu :
1) Kecenderungan Perilaku Peran
a) Sifat pemberani dan pengecut secara social
Orang yang memiliki sifat pemberani, biasanya akan suka mempertahankan dan membela haknya, tidak malu-malu atau tidak segan melakukan sesuatu perbuatan yang sesuai norma di masyarakat dalam mengedepankan kepentingan diri sendiri sekuat tenaga. Sedangkan sifat pengecut menunjukkan perilaku atau keadaan sebaliknya.
b) Sifat berkuasa dan sifat patuh
Orang yang memiliki sifat berkuasa dalam perilaku social, biasanya ditunjukkan oleh perilaku seperti bertindak tegas, berorientasi kepada kekuatan, percaya diri, berkemauan keras, suka member perintah dan memimpin langsung. Sedangkan sifat yang patuh atau penyerah menunjukkan perilaku social yang sebaliknya.
c) Sifat inisiatif secara social dan pasif
Orang yang memiliki sifat inisiatif biasanya suka
mengorganisasi kelompok, tidak suka
mempersoalkan latar belakang, suka member masukan atau saran dalam berbagai pertemuan, dan biasanya suka mengambil alih kepemimpinan. Sedangkan sifat orang yang pasif secara social
ditunjukkan oleh perilaku yang bertentangan dengan sifat orang yang aktif.
d) Sifat mandiri dan tergantung
Orang yang memiliki sifat mandiri biasanya membuat segala sesuatunya dilakukan oleh diri
sendiri, seperti membuat rencana sendiri,
melakukan sesuatu dengan cara sendiri, tidak suka berusaha mencari nasihat atau dukungan dari orang lain, dan secara emosional cukup stabil. Sedangkan sifat orang yang ketergantungan cenderung menunjukkan perilaku social sebaliknya.
2) Kecenderungan perilaku dalam hubungan sosial a) Dapat diterima atau ditolak oleh orang lain
Orang yang memiliki sifat dapat diterima oleh orang lain biasanya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, loyal, dipercaya, pemaaf dan tulus menghargai kelebihan orang lain. Sementara sifat orang yang ditolak biasanya suka mencari kesalahan dan tidak mengakui kelebihan orang lain.
b) Suka bergaul dan tidak suka bergaul
Orang yang suka bergaul biasanya memiliki hubungan social yang baik, senang bersama dengan yang lain dan senang bepergian. Sedangkan orang yang tidak suka bergaul menunjukkan sifat dan perilaku sebaliknya.
c) Sifat ramah dan tidak ramah
Orang yang ramah biasanya periang, hangat,
terbuka, mudah didekati orang, dan suka
bersosialisasi. Sedang orang yang tidak ramah cenderung bersifat sebaliknya.
d) Simpatik dan tidak simpatik
Orang yang memiliki sifat simpatik biasanya peduli terhadap perasaan dan keinginan orang lain, murah hati dan suka membela orang tertindas. Sedangkan orang yang tidak simpatik menunjukkan sifat-sifat yang sebaliknya.
3) Kecenderungan Perilaku Ekspresif
a) Sifat suka bersaing (tidak kooperatif) dan tidak suka bersaing (suka bekerja sama)
Orang yang suka bersaing biasanya menganggap hubungan social sebagai perlombaan, lawan adalah saingan yang harus dikalahkan, memperkaya diri sendiri. Sedangkan orang tidak suka bersain menunjukkan sifat-sifat yang sebaliknya.
b) Sifat agresif dan tidak agresif
Orang yang agresif biasanya suka menyerang orang lain baik langsung ataupun tidak langsung, pendendam, menentang atau tidak patuh pada penguasa, suka bertengkar dan suka menyangkal. Sifat orang yang tidak agresif menunjukkan perilaku sebaliknya.
c) Sifat kalem atau tenang secara sosial
Orang yang kalem biasanya tidak nyaman jika berbeda dengan orang lain, mengalami kegugupan, malu, ragu-ragu, dan merasa terganggu jika ditonton orang.
d) Sifat suka pamer atau menonjolkan diri
Orang yang suka pamer biasanya berperilaku berlebihan, suka mencari pengakuan, berperilaku aneh untuk mencari perhatian orang lain.
e. Perilaku kurang terpuji
Perilaku kurang terpuji adalah perilaku yang tidak sepatutnya untuk di lakukan, karena akan berdampak buruk pada diri sendiri ataupun bagi orang lain.
Supriyanti (2010:3) mengemukakan beberapa contoh perilaku kurang terpuji yaitu
sebagai berikut : 1) Egois
Egois adalah suatu sifat yang mementingkan diri sendiri, perbuatan semacam ini adalah perbuatan yang tidak mau perduli terhadap kepentingan orang lain. Orang yang selalu memikirkan kepentingan sendiri tanpa memperdulikandan menghiraukan kepentingan orang lain, maka perbuatan tersbut dapat di katakan sebagai perbuatan egois. Sebagian besar manusia yang hidup di dunia ini lebih suka mementingkan diri sendiri. Mereka umumnya tidak suka menolong orang lain dan tidak perduli dengan kehidupan orang lain. Mereka juga tidak mau berbagi kenikmatan dengan sesame, terlebih terhadap orang yang membutuhkan uluran tangan kita.
Pada hakikatya perilaku egois yang terjadi, berawal dari kekeruhan batin. Sifat egois muncul karena sesorang ingin dirinya menjadi yang terbaik dan sudah tidak memerlukan bantuan orang lain. Sifat egois juga timbul karena seseorang memiliki sifat kikir dan pelit. Baradja (dalam Supriyanti, 2005:145) mengemukakan egois merupakan suatu sikap yang menunjukan ketamakan, kepentingan dan kemauan yang berlebihan terhadap orang lain untk dirinya. Menurut Heribertus
Gunawan (dalam Supratikna, 2005:55) anak yang egois hanya peduli dengan dirinya sendiri, hanya berfokus pada kesejahteraan dirinya sendiri tanpa peduli orang lain. Anak usia sekolah umumnya masih egosentris karena dunianya masih terpusat pada dirinya sendiri, karena merasa dirinya dan dunia sekitarnya adalah satu.
ada beberapa ciri-ciri anak egois yaitu :
a) anak kurang mampu mengontrol diri/emosi,
cenderung agresif
b) harga diri dan empati kurang berkembang c) memiliki sikap penuntut
d) kualitas hubungan sosialnya buruk, sulit menjalin relasi dengan anaklain; 4) memandang orang lain secara negative
e) sering merebut mainan / barang yang dipegang oleh temannya
f) enggan untuk berbagi kesenangan, mainan, atau makanan dengan orang lain
g) suka merajuk atau menangis atau merengekrengek jika keinginannya tidak segera dituruti.
Supriyanti (2010: 4-14) Penyebab egois antara lain: a) merasa tidak memerlukan bantuan orang lain b) merasa menjadi terbaik dari yang lainnya
c) adanya sifat kikir dan sombong sehingga
menyebabkan seseorang bersifat egois.
2) Marah
Marah bisa diartikan akibat gejolak yang ada pada diri kita, karena rasa jengkel, atau sebab lain yang tidak
sesuai dengan keinginan kita. Marah adalah suatu tindakan yang di lakukan oleh seseorang, kerena sudah tidak bias menahan emosinya. Perasaan marah sering terjadi dan di alami oleh setiap orang. Seseorang sering menggunakan emosinya daripada rasionya dan karena belum ada keseimbangan emosi dan jiwa mereka, maka
timbullah kegoncangankegoncangan jiwa yang
berakibat dan berujung pada suatu kemarahan.
Navaco (dalam sobur, 2003:414) mengemukakan bahwa amarah bisa dipahami sebagai reaksi tekanan perasaan, yang merekan maksudkan pada dasarnya adalah bahwa orang cenderung menjadi marah dan terdorong menjadi agresif jika menghadapi keadaan yang menganggu. Gunarso mengemukakan (dalam Nurkancana, 2009:412 ) bentuk-bentuk kemarahan yang banyak kita hadapi adalah pada anak-anak. Kemarahan yang yang terlihat dan tingkah laku menjatuhkan diri di lantai, menendang, menangis, berteriak, dan kadang-kadang juga menahan nafas. Pada anak-anak yang masih kecil, kemarahan bisa
ditimbulkan oleh adanya pengekangan yang
dipaksakan, gangguan pada gerak-geriknya, hambatan pada kegiatan-kegiatan yang sedang dilakukan, oleh segala sesuatu yang menghala-halangi keinginan seorang anak. Kerap kali kemarahan timbul sebagai sambutan terhadap perasaan jengkel atau mendongkol yang telah bertumpuk-tumpuk.
Penyebab marah antara lain:
a) seseorang yang mengalami kecemasan, keresahan
b) seseorang yang mengalami frustasi akibat suatu tekanan dan gangguan emosional
c) seseorang yang mengalami suatu kegagalan dalam cita-citanya
d) adanya hinaan dan cemoohan dari orang lain
e) seseorang yang mengalami depresi, seperti
perasaan kecewa tegang dan kesal.
Dalam Ahmad (2008:295-296) ada beberapa penyebab mengapa anak berperilaku kurang terpuji atau berperilaku buruk sebagai berikut:
1) Menarik perhatian
Usaha untuk menari perhatian sudah dilakukan anak-anak. Sebagian dari mereka siap mengambil resiko, yakni siap mendapatkan hukuman ataupun larangan
demi mendapatkan perhatian dan demi di
peruntungkan kehadirannya.
2) Memperebutkan kekuasaan dan kepemimpinan
Semuanya berawal dari emosi antara orang tua dan anak.orang tua menuntut anak untuk melakukan sesuatu. Sedangkan anak menolak melakukannya. Hal tersebut mampu merusak suasana yang ada di dalam keluarga. Khusunya ketika anak bersikukuh untuk tidak memperbaiki perilakunya.
3) Menunjukan kelemahan dan ketidakmampuan
Disaat anak menunjukan ketidakmampuan dirinya dalam melaksanakansuatu tugas yang terbilang mudah, pihak keluarga tidak boleh langsung mencela ataupun membantunnya, karena hal tersebut membuat anak merasa gagal dan tidak berkeinginan untuk bias menjadi lebih baik.
4) Mencari tempat dalam hati keluarga
Anak akan selalu melakukan banyak cara untuk mengetahui posisinya di antara keluarganya. Anak bisa melakukan apa saja agar lebih diperhatikan oleh orang tuanya. Umumnya, anak tidak sepenuhnya menyadari hal yang dilakukannya, ia hanya melakukan dengan refleks
2.1.2.2 Pengertian bullying
Secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. Istilah bullying dalam bahasa Indonesia bias menggunakan menyakat, yang berasal dari kata sakat dan pelakunya disebut penyakat. Menyakat berarti mengganggu, mengusik, dan merintangi orang lain. Sedangkan secara terminologi menurut Olweus, 1952 (dalam Wiyani, 2012) mengatakan bahwa bullying adalah perilaku negatif yang mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak nyaman atau terluka dan biasanya terjadi berulang-ulang, repeated during successiveencounters. Jadi, pada dasarnya bullying adalah perilaku negatif berupa kekerasan fisik maupun kekerasan mental yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat merugikan orang lain.
Bullying merupakan suatu perilaku negatif berulang yang
bermaksud menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan oleh orang lain, baik satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang yang tidak mampu melawannya (Olweus, 2006). Menurut American Psychiatric Association (APA) (dalam Stein dkk., 2006), bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan (b)
perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat.
Definisi bullying sendiri, menurut Komisi Nasional
Perlindungan Anak adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri. Masih munurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, bullying dilakukan dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai, menakuti, atau membuat orang lain merasa tertekan, trauma, depresi, dan tak berdaya.
Liness (Sri Wahyuni & M.G. Adiyanti, 2010) mendefinisikan perilaku bullying sebagai intimidasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok baik secara fisik, psikologis, sosial, verbal atau emosional, yang dilakukan secara terus menerus. Menurut Santrock (2007:213), “bullying didefinisikan sebagai perilaku verbal dan fisik yang dimaksudkan untuk mengganggu seseorang yang lebih lemah”. Senada dengan hal tersebut menurut Rigby Ken (2003:3), perilaku bullying dapat terjadi secara individual ataupun berkelompok yang dilakukan seorang anak ataupun kelompok secara konsisten dimana tindakan tersebut mengandung unsur melukai bagi anak yang jauh lebih lemah dibanding pelaku. Tindakan tersebut dapat melukai secara fisik atau psikis anak atau kelompok lain karena pada umumnya bullying dapat dilakukan secara fisik atau verbal yang berupa kata-kata kasar bahkan dapat berupa hal lain di luar keduanya.
2.1.2.3 Bentuk-bentuk bullying
Menurut Bauman (2008), tipe-tipe bullying adalah sebagai berikut :
a. Overt bullying (Intimidasi terbuka), meliputi bullying secara fisik dan secara verbal, misalnya dengan mendorong hingga jatuh, memukul, mendorong dengan kasar, memberi julukan nama, mengancam dan mengejek dengan tujuan untuk menyakiti.
b. Indirect bullying (Intimidasi tidak langsung) meliputi agresi relasional, dimana bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku
bullying dengan cara menghancurkan hubungan-hubungan
yang dimiliki oleh korban, termasuk upaya pengucilan, menyebarkan gosip, dan meminta pujian atau suatu tindakan tertentu dari kompensasi persahabatan. Bullying dengan cara tidak langsung sering dianggap tidak terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan bullying secara fisik, dimaknakan sebagai cara bergurau antar teman saja. Padahal relational bullying lebih kuat terkait dengan distress emosional daripada bullying secara fisik. Bullying secara fisik akan semakin berkurang ketika siswa menjadi lebih dewasa tetapi bullying yang sifatnya merusak hubungan akan terus terjadi hingga usia dewasa.
c. Cyberbullying (Intimidasi melalui dunia maya), seiring dengan perkembangan dibidang teknologi, siswa memiliki media baru untuk melakukan bullying, yaitu melalui sms,
telepon maupun internet. Cyberbullying melibatkan
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, seperti e-mail, telepon seluler dan peger, sms, website pribadi yang menghancurkan reputasi seseorang, survei di website pribadi yang merusak reputasi orang lain, yang
dimaksudkan adalah untuk mendukung perilaku menyerang seseorang atau sekelompok orang, yang ditujukan untuk menyakiti orang lain, secara berulang-ulang kali.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bentuk-bentuk bullying terdiri dari tiga yaitu overt bullying (intimidasi secara terbuka), indirect bullying (intimidasi secara tidak langsung) dan cyberbullying (intimidasi memanfaatkan teknologi) yang sering digunakan pada umumnya oleh pelaku bullying tersebut.
Ada beberapa jenis bullying menurut Yayasan Semai Jiwa Amini SEJIWA (2008):
a. Bullying fisik
Jenis bullying yang terlihat oleh mata, siapapun dapat melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contoh bullying fisik antara lain:
memukul, menarik baju, menjewer, menjambak,
menendang, menyenggol dengan bahu, menghukum dengan membersihkan WC, menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari lapangan, menghukum dengan cara push up.
b. Bullying verbal
Jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena bisa terungkap indra pendengaran kita. Contoh - contoh bullying verbal antara lain: membentak, meledek, memaki-maki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan didepan umum, menyoraki, menebar gosip, dan memfitnah.
c. Bullying mental atau psikologis
Jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh mata atau telinga kita apabila tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini terjadi diam - diam dan diluar jangkauan pemantauan kita. Contoh-contohnya: mencibir, memandang sinis, memelototi, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan, meneror lewat pesan pendek, telepon genggem atau email, memandang yang merendahkan.
Terkait dengan bentuk perilaku bullying dalam Focus on bullying menyatakan bahwa bentuk-bentuk perilaku bullying antara lain:
a. Agresi secara fisik
Bentuk perilaku bullying yang termasuk ke dalam agresi fisik dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Bentuk perilaku bullying yang perlu diperhatikan a) Mendorong
b) Mendesak c) Meludah d) Menendang e) Memukul
2) Bentuk perilaku bullying dengan perhatian serius
a) Mengancam dengan menggunakan sebuah senjata
b) Mengotori bahkan merusak benda-benda di sekitar c) Melakukan pencurian
b. Agresi secara lisan
Bentuk perilaku bullying yang termasuk ke dalam agresi secara lisan dibagi menjadi 2, yaitu: