BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
Semua mahkluk hidup menghadapi masalah pokok yang sama, yaitu
bagaimana mereka mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya, tak
terkecuali manusia (Haviland, 1988). Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam,
untuk memenuhi kebutuhan maka manusia membutuhkan kegiatan-kegiatan yang
menyangkut atas kebutuhan. Upaya yang dilakukan manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidup di tengah lingkungan alam dan lingkungan sosialnya serta
dituntut lebih kreatif sering dikenal sebagai kegiatan ekonomi.
Salah satu instrumen penting yang dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan
hidup adalah teknologi. Manusia telah menerapkan teknologi sejak keberadaannya
di muka bumi ini. Manusia merupakan satu-satunya mahluk yang berhasil
mengembangkan emosi dan intelegensianya sampai pada taraf yang sangat tinggi.
Kemampuan yang dimiliki manusi mampu menciptakan teknologi berbagi alat
dan teknologi untuk melakukan abstraksi secara efisien, apa yang dibutuhkan bagi
kehidupannya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekelilingnya
(Sahari 2008, 9-10).
Teknologi yang dimiliki manusia pada awalnya sangatlah sederhana,
tampak pada zaman batu manusia hanya mampu membuat peralatan hidup yang
sangat sederhana dimana bentuk masih sama seperti adanya sebelumnya bahkan
hanya sedikit sentuhan tangan serta tampilan yang masih kasar, adapun
pemukulan, teknik penekanan, teknik pemecahan, dan teknik pengilingan.
Kemampuan manusia semakin meningkat sehingga manusia menemukan unsur
lain selain bebatuan yaitu logam. Seiring peningkatan kemampuan manusia
mampu menjadikan logam sebagai peralatan hidup.
Adapun teknik yang dilakukan dalam pembuatan peralatan dari logam harus
dibedakan menurut macam logamnya, tetapi semua teknologi tradisional dalam
pembuatannya ada 2 yaitu: teknologi menandai dan teknologi menuang.1 Proses
pengolahan bahan dasar logam yang lebih rumit dibandingkan dengan yang lain,
menjadikan teknologi logam merupakan indikator perkembangan peradaban
tinggi yang telah dicapai manusia. Dalam sejarah peradaban manusia, penggunaan
dan pemanfaatan logam merupakan suatu revolusi teknologi, dalam pengertian
bahwa telah terjadi perubahan teknologi dari teknologi batu atau tanah ke
teknologi logam (Haryono, 2008: 50).
Proses pembuatan peralatan logam membutuhkan keahlian serta ketrampilan
dalam pengerjaannya, individu yang memiliki keahlian serta kemampuan tersebut
disebut dengan pandai logam (Subroto dan Pinardi, 1993: 208). Salah satu jenis
logam adalah besi maka yang ahli dalam pengolahan besi disebut dengan pandai
besi begitu juga dengan pandai logam jenis lainnya. Seni pembuatan peralatan
besi biasanya diketahui setiap laki-laki dewasa, yang masing-masing telah belajar
dalam waktu yang relatif singkat dari ayahnya, kakak, atau teman laki-laki
lainnya.2
Sejarah pandai besi apabila dicermati lebih dalam lagi sebenarnya sudah
sangat tua. Bahkan dapat dikatakan usia pandai besi sebanding dengan zaman
logam dikenal di suatu wilayah. Apabila dibandingkan dengan kawasan Eropa,
keberadaan profesi ini dipastikan sudah ada jauh sebelum tahun Masehi dimulai.
Contoh yang paling mudah dari periodesasi ini adalah peperangan-peperangan
yang dilakukan oleh bangsa Romawi. Pada saat itu pandai besi berfungsi untuk
menyuplai kebutuhan senjata bagi para Gladiator.3 Kondisi demikian juga terjadi
di Nusantara yang memiliki ratusan kerajaan. Pada saat itu pandai besi memegang
peranan penting terutama untuk menyuplai kebutuhan senjata bagi para prajurit.
Seiring perkembangan zaman pandai besi berkembang sesuai dengan
kebutuhan. Pandai besi berkembang menjadi pandai alat pertanian dan peralatan
rumah tangga yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa
berburu dan meramu manusia menggunakan peralatan yang sederhana untuk
memudahkan aktivitas, zaman semakin meningkat manusia telah mampu
bercocok tanam sehingga membutuhkan peralatan yang dapat mempermudah
sektor pertanian pada masa itu. Bertambahnya penduduk serta berkembangnya
teknologi berpengaruh terhadap lahan pertanian yang semakin berkurang.
Perkembangan teknologi yang lebih modern menggeser keberadaan pandai besi
tradisional sebagai pemasok peralatan pertanian serta berkembangya teknologi
mempengaruhi menurunnya permintaan pasar terhadap peralatan rumah tangga
yang mana telah banyak diproduksi oleh pabrik yang menggunakan teknologi
canggih.
Pandai besi merupakan mata pencaharian hidup yang eksis pada masa
dimana teknologi yang dipergunakan manusia masih cukup sederhana. Di tengah
berkembangnya teknologi, pandai besi tradisional mengalami penurunan
permintaan barang dikarenakan munculnya hasil produksi pabrik dengan
penggunaan mesin yang berteknologi canggih serta harga terjangkau dan lebih
variatif jenisnya. Mengalami penurunan permintaan dan persaingan yang kuat
dengan produksi pabrik tidak mematahkan semangat keseluruhan pengrajin
pandai besi masih ada yang mampu bertahan di tengah persaingan dan
perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Tetap bertahan bukan karena nilai material saja yang terdapat dalam pandai
besi tradisional tetapi juga dikarenakan adanya seni yang tertuang pada pandai
besi tradisional. Karena pandai besi tradisional bukan hanya sebagai mata
pencaharian tetapi juga sebagai keterampilan yang di dalamnya terdapat seni.
Sebagai mana yang kita ketahui bahwa pandai besi tradisonal adalah bidang
pekerjaan yang dimiliki masyarakat yang memiliki keahlian serta keterampilan
(Subroto dan Pinardi; 1993:208).
Pandai besi tradisional yang masih bertahan memberikan peluang kepada
generasi berikutnya untuk mengembangkannya menjadi lahan industri yang lebih
besar. Dunham (2008) menjelaskan kehadiran industri pandai besi sebagai industri
kecil di pedesaan dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang luas dengan
penghasilan memadai untuk masyarakat sekitarnya dan juga sebagai industri
Desa Baja Dolok Kecamatan Tanah Jawa salah satu daerah yang masih
dapat ditemui mata pencaharian masyarakatnya adalah sebagai pandai besi
tradisional. Usaha pandai besi tersebut sudah cukup lama dan bersifat turun
temurun dari nenek moyang mereka dan pemasarannya hingga ke luar dari daerah
Kabupaten Simalungun. Peralatan pandai besi yang digunakan oleh para pandai
besi selama ini masih konvensional secara turun temurun, hanya sedikit yang
mengalami pergeseran ke arah yang penggunaan mesin yang memiliki teknologi
canggih dan demikian pula desainnya belum berorientasi pada pasar. Barang yang
dihasilkan industri pandai besi di Kecamatan Tanah Jawa sangatlah berbeda
dengan hasil pengrajin pandai besi di daerah lain yang di mana pengrajin lebih
mengandalkan ketahanan atau kualitas hasil produksinya dan tidak terlalu
mengandalkan bentuk atau modelnya seperti pengrajin pandai besi di daerah lain.
Teknik pembuatan barang produksi yang dihasilkan pandai besi ini pun
masih sama seperti yang dilakukan para tetua yang sudah mewariskan usaha
pertukangan tersebut kepada generasi yang sekarang ini. Industri pandai besi yang
berada di Kecamatan Tanah Jawa ini merupakan mata pencaharian pokok
sebagian besar masyarakatnya. Bahan baku yang dibutuhkan untuk proses
produksi didapatkan dari panglong sekitar yaitu berupa besi batangan bekas per
mobil dan arang/kulit kemiri. Peralatan yang digunakan pandai besi yaitu: palu
besar, palu kecil, tang, pompa (ububan), paron (landasan), tatah, kikir serta
gerenda. Barang yang diproduksi oleh pandai besi tradisional Baja Dolok berupa:
Pandai besi di Nagori Baja Dolok Kecamatan Tanah Jawa dulunya ada ±50
(lima puluh) kelompok pertukangan semakin lama pandai besi di Tanah Jawa ini
berkurang dan sekarang yang masih bertahan sebanyak 15 (lima belas) kelompok
pertukangan. Kelompok-kelompok tersebut terdiri 2-3 orang anggota pekerja.
Tenaga kerja yang terdapat adalah laki-laki yang berasal dari keturunan pengrajin
serta masyarakat kecamatan Tanah Jawa tersebut. Pandai besi ini bersifat turun
menurun tetapi berkurangnya minat generasi dalam pengembangan pandai besi ini
sebagai mata pencaharian hidup membuat pandai besi mengalami keterpurukan.
Pandai besi bukan semata-mata sebagai pemenuhan kebutuhan hidup yang
bersifat ekonomi tetapi juga sebagai usaha keahlian dan keterampilan dalam
pengolahan besi yang dimana dalam pengolahan besi terdapat seni di dalamnya.
Keberadaan pandai besi tradisonal yang berada di Tanah Jawa yang masih
bertahan memberikan peluang pekerjaan bagi masyarakat yang hanya memiliki
bakat meskipun pendidikan yang rendah.
Para pandai besi tradisional saat ini dihadapkan dengan persaingan pasar
dimana mereka bersaing dengan hasil produksi pabrikan yang di jual di toko-toko.
Hasil produksi pabrikan tersebut lebih variatif bentuk dan modelnya serta
harganya sedikit lebih murah dari pandai besi tradisional. Meskipun mengalami
keterpurukan seperti hal tersebut yang terjadi di dalam industri pandai besi
tradisional, masih tetap sedikit banyaknya pengrajin pandai besi tradisional yang
tetap bertahan menggeluti pertukangan pandai besi sebagai mata pencaharian.
Selain merupakan suatu warisan budaya yang perlu dilestarikan, dalam
karena adanya inovasi dalam peningkatan benda-benda kerajinan yang
menyangkut proses pembuatan, bentuk maupun simbol-simbol yang digunakan.
Banyak diantara hasil pandai besi tradisional yang mengandung nilai artistik yang
khas dan sebagian telah memasuki pasaran sehingga memiliki nilai-nilai ekonomi.
1.2 Tinjauan Pustaka
1.2.1 Sistem Mata Pencaharian/Sistem Ekonomi
Sistem mata pencaharian hidup adalah salah satu dari ketujuh unsur
kebudayaan. Berbicara tentang sistem mata pencaharian adalah lebih menekankan
bagaimana cara manusia untuk mempertahankan hidupnya. Semua mahkluk hidup
(organisma) menghadapi masalah pokok yang sama, yaitu bagaimana mereka
mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya, tak terkecuali manusia
(Haviland, 1988). Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam, untuk memenuhi
kebutuhan maka manusia membutuhkan kegiatan-kegiatan yang menyangkut atas
kebutuhan, kegiatan ini disebut juga sebagai kegiatan ekonomi. Sebagaimana
yang didefinisikan oleh ahli antropologi ekonomi yang dikemukakan oleh Karl
Polanyi bahwa ekonomi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidup di tengah lingkungan alam dan lingkungan sosialnya (Polanyi
dalam Sairin, 2002, 16-17).
Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia sebagai
homo economicus yang mejadikan kehidupan manusia terus meningkat. Dalam
tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia sama dengan hewan. Tetapi
tanam, kemudian beternak yang terus meningkat (rising demand) yang
kadang-kadang serakah. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi meliputi
jenis pekerjaan dan penghasilan (Koentrajaningrat, 2002).
Mata pencaharian dibedakan menjadi dua yaitu mata pencaharian pokok dan
mata pencaharian sampingan. Mata pencaharian pokok adalah keseluruhan
kegiatan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada yang dilakukan sehari-hari
dan merupakan mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sedangkan mata pencaharian sampingan adalah mata pencaharian diluar mata
pencaharian pokok (Susanto, 1993).
Sistem ekonomi yang berdasarkan industri memang tidak menjadi perhatian
para ahli antropologi, dan merupakan lapangan para ahli ekonomi sepenuhnya.
Perhatian para ahli antropologi terhadap berbagai macam sistem mata pencaharian
atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem – sistem yang bersifat
tradisional saja, terutama dalam rangka perhatian mereka terhadap kebudayaan
suatu suku bangsa secara holistik. Berbagai sistem tersebut adalah :
1. Berburu dan meramu
Mata pencaharian berburu dan meramu (hunting and gathering) merupakan suatu
mata pencaharian manusia yang paling tua dan sekarang banyak masyarakat yang
beralih pada mata pencaharian lain, hanya kurang-lebih setengah juta dari 3000
juta penduduk dunia sekarang atau kira-kira hanya 0,01% saja hidup dari berburu
dan meramu. Walaupun suku-suku bangsa berburu dan meramu tinggal sedikit
dan sulit didatangi namun para ahli antropologi masih tetap menaruh perhatian
kebudayaan manusia secara historikal. Di Indonesia masih ada juga bangsa yang
hidup dari meramu, yaitu penduduk rawa-rawa di pantai-pantai Irian Jaya yang
hidup dari meramu sagu. Hal-hal yang dianalisis para ahli antropologi pada mata
pencaharian ini adalah sumber alam dan modal, tenaga kerja, produksi dan
teknologi produksi serta konsumsi, distribusi dan pemasaran.
2. Beternak
Beternak secara tradisional atau pastoralism sebagai suatu mata
pancaharian pokok yang dikerjakan dengan cara besar-besaran, pada masa
sekarang dilakukan oleh kurang-lebih tujuh juta manuisa, yaitu kira-kira 0,02%
dari ke-3000 juta penduduk dunia. Sepanjang sejarah, suku-suku bangsa peternak
menunjukan sifat-sifat agresif. Bangsa-bangsa peternak biasanya hidup
mengembara sepanjang musim semi dan musim panas dalam wilayah tertentu
yang sangat luas, dimana mereka berkemah dijalan pada malam hari. Dalam hal
mempelajari masyarakat peternak, ilmu antropologi juga menaruh perhatian yang
sama seperti mata pencaharian lain yaitu masalah peternakan dan modal, masalah
tenaga kerja, masalah produksi,dan teknologi produksi dan akhirnya masalah
konsumsi, distribusi dan pemasaran hasil peternakan.
3. Menangkap ikan
Disamping berburu dan meramu, menangkap ikan juga merupakan mata
pencaharian yang sangat tua. Mata pencaharian ini dilakukan oleh manusia purba
yang kebetulan hidup di sekitar sungai danau atau laut telah menggunakan sumber
alam yang penting itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut para ahli
ekor dengan jarak 10-30 Km dari pantai. Ada laut-laut tertentu yang pantainya
menjadi daerah hidup kawanan ikan tertentu, yang berimigrasi menurut musim. Di
perairan sekitar pantai Nusantara bagian barat terdapat kawanan besar ikan
kembung, dan di sekitar pantai Kepulauan Nusantara bagian timur terdapat ikan
cakalang. Dalam mempelajari suatu masyarakat yang bermatapencaharian sebagai
nelayan, para antropologi juga menaruh perhatian hal serupa yaitu sumber alam
dan modal, tenaga kerja, teknologi produksi, dan konsumsi distribusi dan
pemasaran.
4. Bercocok tanam diladang
Bercocok tanam di ladang merupakan suatu bentuk mata pencaharian
manusia yang lambat laun juga akan hilang, diganti dengan bercocok tanam
menetap. Bercocok tanam di ladang sebagian besar dilakukan di daerah-daerah
rimba tropik terutama di Asia Tenggara dan Kepulauan Asia Tenggara. Cara
bercocok tanam di ladang yaitu membuka sebidang tanah dengan memotong
belukar dan menebang pohon-pohon, dahan-dahan dan batang-batang yang jatuh
bertebaran dibakar setelah kering; kemudian ladang-ladang yang dibuka itu
ditanami dengan pengolahan yang minimum dan tanpa irigasi; sesudah dua atau
tiga kali memungut hasilnya, tanah itu ditinggalkan; sebuah ladang baru dibuka
dengan cara yang sama; setelah 10-12 tahun, mereka akan kembali ke ladang
pertama yang sudah tertutup hutan kembali. Para ahli antropologi menaruh
perhatian terhadap masalah tanah dan modal, tenaga kerja, teknologi dan cara-cara
produksi serta pemasaran hasil bercocok tanam di ladang.
Bercocok tanam menetap pertama-tama timbul di beberapa daerah yang
terletak di daerah perairan di sungai-sungai besar (karena daerah itu subur
tanahnya). Banyak suku bangsa yang melakukan bercocok tanam di ladang dan
sekarang mulai berubah menjadi petani menetap. Perubahan ini terjadi di
daerah-daerah berpenduduk padat yang melebihi kira-kira 50 jiwa tiap km2. Ilmu
antropologi yang menaruh perhatian terhadap masalah yang berkaitan dengan
mata pencaharian ini adalah tanah dan modal, tenaga kerja, teknologi (masalah
organisasi irigasi, pembagian air dan sebagainya), konsumsi, distribusi dan
pemasaran.
Dari sistem mata pencaharian hidup tersebut, seorang ahli antropologi juga hanya
memperhatikan sistem produksi lokalnya termasuk sumber alam, cara
pengumpulan modal, cara pengarahan dan pengaturan tenaga kerja, serta
teknologi produksi, sistem distribusi di pasar-pasar yang dekat saja, dan proses
konsumsinya. Sistem mata pencaharian mengalami perkembangan hingga
sekarang.
1.2.2 Teknologi
Dalam pemenuhan kebutuhan manusia, teknologi merupakan intrumen
penting dalam menunjang kebutuhan manusia. Manusia telah menerapkan
teknologi sejak keberadaannya di muka bumi ini. Manusia merupakan
satu-satunya mahluk yang berhasil mengembangkan emosi dan intelegensianya sampai
pada taraf yang sangat tinggi.
Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka
dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai
suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup
dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. (Koentjaraningrat, 2002,
205).
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara
akademis dapatlah dikatakan, bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge), dan
teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian
berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana berbagai
sumber, tanah, modal, tenaga kerja, dan keterampilan dikombinasikan untuk
merealisasikan tujuan produksi. Secara konvensional mencakup penguasaan dunia
fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi sosial, terutama
teknologi sosial pembangunan sehingga teknologi itu adalah metode sistematis
untuk mencapai setiap tujuan insani (Dwiningrum, 2012, p.153).
Teknologi dalam karangan etnografi cukup membatasi diri terhadap
teknologi yang tradisional, yaitu teknologi dari peralatan hidupnya yang tidak atau
hanya secara terbatas dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan
Eropa atau kebudayaan “Barat”. Menurut Koentjaraningrat, pada masyarakat tradisional terdapat delapan macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik
yang digunakan oleh kelompok manusia yang hidup berpindah-pindah atau
masyarakat pertanian, antara lain sebagai berikut:
1. Alat-alat produktif
Alat-alat produktif adalah alat yang digunakan untuk memudahkan kegiatan
alat-alat untuk melaksanakan suatu pekerjaan mulai dari alat sederhana seperti
batu tumpuk untuk membuat terigu, sampai yang agak kompleks seperti alat
menenun kain. Berdasarkan hasil bacaan saya dari sebuah jurnal yang berjudul
ANALISIS PENYEBAB KONFLIK PAPUA DAN SOLUSINYA SECARA
HUKUM INTERNASIONAL. WPLO 201, karya John Anari. Perkembangan
peralatan pada yang dipergunakan manusia pada masa praksara hingga
ditemukannya peralatan yang berasal dari besi adalah sebagai berikut.
A. Zaman Batu
Zaman Batu alat-alat kebudayaan terutama dibuat dari batu di samping kayu dan
tulang. Zaman batu ini dapat dibagi lagi atas: Zaman batu tua (Paleolitikum),
alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis.
Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan
meramu makanan tingkat sederhana. Zaman batu tengah (mesolitikum), pada
Zaman batu tengah (mesolitikum), alat-alat batu zaman ini sebagian sudah
dihaluskan terutama bagian yang dipergunakan.Tembikar juga sudah dikenal.
Periode ini juga disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat lanjut. Zaman
batu baru (Neolitikum), alat-alat batu buatan manusia Zaman batu baru
(Neolithicum) sudah diasah atau dipolis sehingga halus dan indah. Di samping
tembikar tenun dan batik juga sudah dikenal. Periode ini disebut masa bercocok
tanam.
B. Zaman Logam
menjadi alat-alat yang diinginkannya. Teknik pembuatan alat logam ada dua
macam, yaitu dengan cetakan batu yang disebut bivalve dan dengan cetakan
tanah liat dan lilin yang disebut acire perdue. Periode ini juga disebut masa
perundagian karena dalam masyarakat timbul golongan undagi yang terampil
melakukan pekerjaan tangan. Zaman logam ini dibagi atas: Zaman tembaga,
menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan. Alat kebudayaan ini hanya
dikenal di beberapa bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk Indonesia)
tidak dikenal istilah zaman tembaga. Zaman perunggu, pada zaman ini orang
sudah dapat mencampur tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 : 10
sehingga diperoleh logam yang lebih keras. Zaman besi , pada zaman ini orang
sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang menjadi alat-alat yang
diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit dari teknik peleburan tembaga
maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas yang sangat tinggi,
yaitu ±3500 °C.
2. Alat membuat api
Alat membuat api masuk dalam alat-alat produksi. Pada masa prasejarah, manusia
menggunakan batu dan kayu sebagai pemantik api. Dengan cara menggesekkan
kedua batu atau kayu tersebut di dedaunan kering sehingga menghasilkan percik
api sehingga terciptalah api. Setelah itu manusia menggunakan minyak dari
hewan sebagai bahan bakar. Pada awal peradaban manusia mulai melakukan
penggalian barang tambang dan menemukan serbuk belerang. Dari serbuk
belerang itu terciptalah korek api. pada perkembangannya, pematik dapat dibuat
3. Senjata
Senjata adalah semua jenis benda yang digunakan untuk berkelahi atau berperang,
berburu, membela diri atau melukai/membunuh. Perkembangan senjata dimulai
dari masa prasejarah, pada jaman itu manusia menggunakan batu dan tulang untuk
berburu. Setelah itu manusia mulai mengenal teknologi logam dan mulai
mengembangkannya menjadi senjata, berupa pedang, tombak, dan lain-lain.
4. Wadah
Secara umum wadah adalah tempat untuk menaruh, menyimpan sesuatu. Wadah
atau alat untuk menimbun, memuat, dan menyimpan barang (container).
Bahannya bisa terbuat dari apapun. Wadah paling banyak digunakan untuk
peralatan dapur. Dulu wadah dibuat dari tanah liat (gerabah) dan kayu. Setelah
ditemukan logam, manusia mulai beralih menggunakan logam sebagai wadah
karena lebih kuat dan cepat panas bila digunakan untuk memasak.
5. Makanan
Pada masa prasejarah manusia hanya mengumpulkan bahan makanan tanpa diolah
terlebih dahulu. Setelah ditemukan api, manusia mulai mengolah makanan
tersebut dengan menggunakan rempah-rempah untuk menambah rasa. Hasil yang
sangat menarik dari sudut teknologi adalah cara-cara mengolah, memasak, dan
menyajikan makanan dan minuman. Dalam berbagai macam kebudayaan di dunia
ada dua macam cara memasak, yaitu dengan api dan dengan cara memakai
batu-batu panas.
Dipandang dari sudut tujuan konsumsinya, makanan dapat digolongkan ke dalam
(beverages), (c) bumbu-bumbuan (spices), dan (d) bahan yang dipakai untuk
kenikmatan saja seperti tembakau, madat, dan sebagainya (stimulants).
6. Pakaian
Pada awal perkembangannya, manusia memanfaatkan dedaunan dan kulit pohon
untuk menutupi tubuhnya. Setelah memasuki masa berburu, manusia mulai
memanfaatkan kulit hasil buruannya untuk dijadikan pakaian. Dengan
ditemukannya mesin pemintal, manusia dapat mengeloh kapas menjadi benang.
Kemudian benang diolah atau ditenun menjadi pakaian. Seiring berkembangnya
jaman, manusia mulai mengolah, wol, sutera, polyester, dan lain-lain manjadi
pakaian yang nyaman seperti yang kita pakai sehari-hari.
Ditinjau dari sudut fungsi dan pemakaiannya, pakaian itu dapat dibagi paling
sedikit empat golongan, yaitu : (a) pakaian semata-mata sebagai alat untuk
menahan pengaruh dari sekitaran alam, (b) pakaian sebagai lambang keunggulan
dan gengsi, (c) pakaian sebagai lambang yang dianggap suci, (d) pakaian sebagai
perhiasan badan.
7. Tempat berlindung dan perumahan
Tempat berlindung yang digunakan manusia mulai dari masa prasejarah yang
hanya di dalam gua, di atas pohon, atau membuat pondokan sederhana dari kayu
dan daun. Setelah ditemukan semen sebagai perekat, pasir, tanah liat, dan pewarna
manusia mulai membangun rumah yang lebih kuat, kokoh, bahkan indah. Di masa
sekarang, manusia membangun gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah
dengan desain yang indah. Secara garis besar ada tiga macam bentuk pokok dari
dwelling), rumah di atas tanah (surface dwelling), dan rumah di atas tiang (pile
dwelling)
Dipandang dari sudut pemakaiannya, tempat berlindung dapat dibagi ke dalam
tiga golongan, yaitu: (a) tadah angin (b) tenda atau gubuk yang segera dapat
dilepas, dibawa pindah dan didirikan lagi; dan (c) rumah untuk menetap.
Dipandang dari sudut fungsi sosialnya, berbagai macam rumah yang tersebut
terakhir dapat dibagi ke dalam (a) rumah tempat tinggal keluarga kecil, (b) rumah
tempat tinggal keluarga besar, (c) rumah suci, (d) rumah pemujaan, (e) rumah
tempat berkumpul umum, dan (f) rumah pertahanan.
8. Alat-alat transportasi
Transportasi digunakan sebagai sarana penghubung antara satu tempat dengan
tempat lainnya. Manusia membutuhkan alat transportasi untuk mempermudah
kegiatannya, karena semakin besar masyarakat semakin luas pula wilayahnya dan
semakin jauh jarak untuk berinteraksi. Manusia selalu bersifat ingin bergerak,
tidak hanya dalam zaman mobil, kereta api, dan jet sekarang ini, tetapi juga dalam
zaman prehistori, ketika semua manusia di dunia masih hidup dari berburu. Alat
transportasi umumnya ada tiga, yaitu: (1) transportasi darat, (2) transportasi air,
dan (3) transportasi udara. Berdasarkan fungsinya, alat-alat transportasi yang
terpenting adalah (a) sepatu, (b) binatang, (c) alat seret, (d) kereta beroda, (e)
rakit, dan (f) perahu.
1.2.3 Pandai Besi Tradisional
Kehidupan masyarakat kuno umumnya bertumpu pada sektor pertanian dan
mendukung keberadaan kerajaan, yaitu kelompok penggarap industri, khususnya
untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik golongan raja dan bangsawan maupun
masyarakat umum. Data arkeologis menunjukkan bahwa kelompok-kelompok
penggarap industri cukup memegang peranan penting dalam menunjang
kehidupan perekonomian masyarakat pada umumnya, maupun kehidupan
perekonomian, sosial, budaya dalam suatu kerajaan.
Dalam sistem pemerintahan kerajaan dituntut adanya pemenuhan kebutuhan
yang diperlukan oleh berbagai institusi yang ada dalam suatu sistem pemerintahan
tersebut. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, kerajaan perlu melibatkan
rakyatnya untuk mengembangkan bakat dan keahlian yang dimilikinya. Kondisi
seperti inilah yang kemudian menumbuhkan berbagai kelompok pekerja spesialis
dalam masyarakat (Subroto dan Pinardi, 1993: 207).
Salah satu kelompok kerja spesialis tersebut adalah kelompok pandai besi.
Kelompok pandai besi biasanya disebutkan bersama dengan kelompok pandai
logam lainnya, seperti yang terekam dalam beberapa prasasti berikuti ini, prasasti
Watukura di sebutkan adanya kelompok pande, antara lain pande mas, pande
tamta, pande kangsa, pande wsi, pande dadap. Prasasti Ayam Teas
disebutkan pandai malang, pandai tembaga, pandai besi dan pandaigamelan.
Prasasti Taji disebutkan adanya pandai mas, pandai besi, pandai tembaga dan
pandai kuningan. Prasasti Telang disebutkan keberadaan pandai mas, pandai
besi, pandai tembaga, dan pandai gamelan. Prasasti Baru disebutkan pandai
mas, pandai besi dan pandai kuningan. Prasasti Kambang Putih disebutkan
pandai gelang dan Prasasti Turu Manganbil disebutkan adanya pandai mas,
pandai tembaga, pandai besi dan pandai gangsa atau gamelan (Subroto dan
Pinardi, 1993: 208). Istilah–istilah tersebut di atas menunjukkan adanya
spesialisasi pekerjaan, baik berdasarkan bahan logam maupun jenis barang yang
diproduksi.
Teknologi logam pada abad VIII tidak lagi dalam tahap eksperimental,
tetapi sudah mencapai tahap yang matang, yang disebabkan oleh faktor kebutuhan
yang lebih banyak terhadap benda-benda yang digunakan dalam sistem budaya
pada saat itu. Penentuan dan pemilihan logam secara sengaja, didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti faktor teknis, faktor simbolis, faktor
estetis dan mungkin juga faktor ekonomis. Pertimbangan-pertimbangan tersebut
akan disesuaikan dengan pertimbangan yang menyangkut segi-segi teknik
perwujudan suatu benda. Tuntutan kebutuhan masyarakat akan benda-benda yang
terbuat dari logam cukup besar, meskipun di wilayah yang bersangkutan tidak
cukup tersedia deposit bijih logam bahan dasar, maka bahan dasar dapat diperoleh
melalui kontak dagang. Pada masa klasik, sebagaimana tampak dari berbagai
prasasti tercermin adanya kegiatan ekonomi menjual logam sebagai bahan dasar
pembuatan artefak-artefak. (Haryono, 2001: 6)
Teknologi pandai besi tradisional dapat dilacak berdasarkan relief Candi
Sukuh di daerah Karanganyar, Jawa Tengah dari abad XV M. Dari gambaran
yang ada, dapat diketahui alat-alat yang digunakan serta posisi masing-masing
tokoh dalam relief tersebut sehingga dapat diketahui cara kerja pande besi pada
tidak diperlukan dua pekerja (1 orang pengubub dan 1 orang pande). Pada salah
satu bangunan di Candi Sukuh digambarkan dua tokoh saling berhadapan, tokoh
yang pertama berada di sebelah kanan (selatan) digambarkan berdiri menghadapi
sebuah ububan (alat penghembus udara), dengan kedua tangannya memegangi
kedua tongkat ububan. Tokoh yang ke 2 berada di sebelah kiri (utara) dalam
posisi duduk jongkok dengan kedua kaki terbuka, sedangkan tangan kiri
memegang sebuah tongkat panjang yang disodorkan ke arah tempat keluarnya api
dari ububan. Di depan tokoh tersebut terdapat bermacam-macam alat atau barang
yang dihasilkan.
Di antara kedua tokoh tersebut terdapat relief yang menggambarkan seorang
manusia berkepala gajah, dengan posisi berdiri di atas satu kaki membelakangi
tokoh yang memegang tongkat ububan. Tangan kanan memegang seekor
binatang, sedangkan tangan kiri memegang ekor binatang tersebut. Sebagai latar
belakang gambar binatang tersebut, tampak adanya gambar seperti lidah api.
Kalau kedua tokoh yang pertama digambarkan lengkap dengan pakaian dan
perhiasan, tetapi tidak demikian halnya dengan tokoh manusia berkepala gajah,
hanya ada surban di kepalanya. Dengan adanya relief pandai besi pada suatu
candi, menunjukkan bahwa golongan pekerja ini mempunyai peranan dan
kedudukan penting dalam menunjang kehidupan suatu kerajaan (Subroto dan
Pinardi, 1993: 213).
Berdasarkan buku hasil bacaan saya berjudul “Introduce To Anthropology” karangan Ralph L. pembagian kerja dalam pembuatan pembuatan alat pemotong
laki-laki dewasa, yang masing-masing telah belajar dalam waktu yang relatif
singkat dari ayahnya, kakak, atau teman laki-laki lainnya. Teknik pembuatan
alat-alat besi, jauh lebih rumit dan tidak begitu cepat untuk diketahui. Hal ini
membutuhkan pengalaman yang cukup untuk menemukan pasir bantalan besi atau
bijih dan mengetahui jenis logam tersebut, yang sama sekali tidak mirip ke besi
murni yang mengandung bahan yang diperlukan. Pelatihan ini juga diperlukan
untuk mempelajari proses peleburan bijih besi dan sebagainya memisahkan logam
murni dari zat-zat asing di mana ia tertanam.
1.3 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang sebelumnya, maka penulis menyimpulkan
beberapa rumusan masalah yang hendak dikaji dan dibahas ke dalam beberapa
pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Bagaimana pandai besi tradisional bertahan sebagai mata pencaharian hidup
ditengah perkembangan teknologi yang dipergunakan pada mata
pencaharian hidup masa kini?
2. Bagaimana regenerasi dari usaha pandai besi tradisional di Nagori Baja
Dolok Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun tersebut?
3. Apa saja hambatan yang dihadapi dalam mempertahankan pandai besi
tradisional sebagai mata pencaharian hidup di Nagori Baja Dolok
Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun?
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam tentang
motivasi pandai besi tradisional mampu bertahan sebagai mata pencaharian hidup
di tengah perkembangan teknologi yang banyak dipergunakan dalam mata
pencaharian masa kini yang berada di Nagori Baja Dolok Kecamatan Tanah Jawa.
Mengetahui regenerasi usaha pandai besi yang berada di Kelurahan Baja Dolok,
serta hambatan yang dihadapi dalam bertahan sebagai pandai besi. Dengan adanya
hasil penelitian ini, maka masyarakat luas akan mengetahui bahwa pandai besi
tradisonal yang bersifat turun menurun tetap bertahan di tengah perkembangan
teknologi.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dilakukan yaitu sebagai bahan pemikiran,
masukan, dan informasi bagi pandai besi tradisional dalam upaya perkembangan
dan kemajuan usaha. Serta sebagai bahan acuan dan informasi bagi pemerintah
daerah Kabupaten Simalungun dan pihak terkait dalam pembinaan usaha-usaha
kecil khususnya pandai besi. Secara umum penelitian ini bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan. Tuntutan studi perkuliahan untuk memenuhi
kewajiban tugas sebagai mahasiswa adalah motif pelaksanaan penelitian ini.
Penelitian ini memberikan gambaran tentang seberapa dalam pemahaman
penulis/peneliti dalam mengikuti perkuliahan di Departemen Antropologi Sosial
FISIP USU.
1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Nagori Baja Dolok Kecamatan Tanah
Jawa Kabupaten Simalungun. Alasan pemilihan daerah tersebut sebagai lokasi
penelitian adalah dikarenakan salah satu daerah yang berada di Provinsi Sumatera
Utara yang masih banyak ditemui masyarakatnya yang bermata pencaharian
sebagai pandai besi tradisional dan daerah tersebut dekat dengan lahan
persawahan dan perkebunan kelapa sawit sehingga memudahkan proses distribusi
barang yang dibutuhkan pertanian/ perkebunan.
Jarak dari Tanah Jawa ke Kota Pematangsiantar sebagai pusat penyedia bahan
baku dan pusat pemasaran hasil produksi pandai besi yaitu sekitar 21 Km dan
dapat ditempuh dengan angkutan umum selama ±30 (tiga puluh) menit.
1.6.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Etnografi4,
yaitu bertujuan untuk menjelaskan secara terperinci bagaimana pandai besi
tradisional mampu bertahan sebagai mata pencaharian hidup di tengah
perkembangan teknologi saat ini. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai
pandai besi tradisional bersifat turun menurun dan bukan semata-mata mata
pencaharian yang menyangkut ekonomi di dalamnya melainkan ada nilai seni
yang terkandung dalam pandai besi tradisional tersebut.
Dalam penelitian pandai besi tradisional sebagai mata pencaharian hidup di
Nagori Baja Dolok Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun ini, saya
menggunakan beberapa cara dalam menghimpun dan mengumpulkan data, antara
lain:
a) Metode Observasi
Observasi adalah cara pengumpulan data dengan cara melakukan pencatatan
secara cermat dan sistematik. Metode observasi ini dilakukan dengan mengamati
secara langsung sistem ekonomi yaitu usaha pandai besi tradisional yang berada
di Nagori Baja Dolok Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun yang dapat
4
Metode Etnografi merupakan suatu strategi pencapaian dalam mendeskripsikan tentang fenomena-fenomena sosial budaya.
diamati dan dapat membantu peneliti dalam mencari jawaban atas rumusan
masalah (Suparlan, 1986: 6).
Dalam metode ini penulis melakukan pengamatan terhadap pandai besi
tradisional, seperti mengamati proses produksi serta distribusi dan kehidupan
sosial ekonomi pengrajin pandai besi yaitu untuk mengamati dan mengetahui
faktor apa saja yang mendukung tetap bertahannya pandai besi tradisional sebagai
mata pencaharian di daerah tersebut. Dalam metode ini peneliti bukan hanya
melakukan pengamatan menggunakan panca indra saja tetapi juga akan mencatat
dan mendokumentasikan (merekam atau mengambil foto) hal-hal penting yang
berhubungan dengan judul penelitian.
b) Metode wawancara
Tujuan peneliti melakukan metode ini adalah untuk menggali informasi
terkait judul penelitian. Dengan cara seperti ini maka peneliti akan meyimpulkan
bagaimana kebenaran isu yang dimunculkan dalam masalah penelitian serta
memastikan kebenaran teori. Peneliti melakukan wawancara5 dengan pengrajin
pandai besi tradisional mengenai penghasilan, harga barang, harga bahan baku,
modal serta regenerasi dari pandai besi tersebut. Melakukan wawancara
mendalam dengan masyarakat yang tinggal berada di sekitaran pertukangan serta
melakukan wawancara dengan beberapa mantan pengrajin pandai besi yang telah
beralih profesi.
c) Dokumen
Disamping melakukan pengamatan langsung, saya juga telah mengutip data
berupa dokumen-dokumen dari beberapa instansi terkait. Sebagian besar data
penelitian ini saya kutip dari dokumen tahunan Kantor Kelurahan/ Nagori Baja
Dolok.
1. 7 Pengalaman Penelitian
Waktu yang penulis habiskan dalam menyelesaikan penelitian ini tentu
tidaklah sedikit. Dimulai dari pengajuan judul, penulisan proposal, penelitian
lapangan. Oleh karena itu kesabaran penulis sungguh diuji ketika menghadapi
Dosen pembimbing, Ketua Jurusan, Pegawai Administrasi serta dalam
menghadapi pengrajin pandai besi ketika penelitian berlangsung. Dengan
demikian saya beranggapan bahwa penelitian ini merupakan sebuah ajang
pendewasaan diri.
Dalam menjalani bimbingan dengan Dosen Pembimbing yaitu Dra. Ibu Rytha
Tambunan M. Si, saya cukup senang dan banyak bersabar. Karena saya
menyadari bahwa bukan hanya saya yang harus diurus, maka saya juga tidak
terlalu memaksakan diri untuk bimbingan terus-menerus dengan beliau.
Kesibukan beliau dikampus dan diluar kampus membuat saya enggan untuk terus
menemuinya. Walau terkadang rasa enggan tersebut membuat saya dimarahi.
Waktu penulisan proposal hingga penulisan hasil penelitian ini memang hampir 3
bulan. Waktu yang sekian banyaknya habis sesungguhnya bukan karena sulitnya
seperti yang saya sampaikan sebelumnya mejadikan saya tidak terlalu
terburu-buru untuk menyelesaikannya. Hubungan saya dengan Dosen pembimbing
terus-terang terjalin dengan baik. Masa-masa bimbingan selalu diwarnai candaan dan
tawa. Pengalaman dalam mengurus surat lapangan cukup membosankan. Butuh
kesabaran juga dalam menunggu surat tersebut dikeluarkan.
Pengalaman ketika berada di lapangan penelitian cukup menarik dan
mengesankan. Saya yang sebelumnya sudah sedikit memiliki pengetahuan pandai
besi dikarenakan ayah saya salah seorang pandai besi, sehingga memudahkan
saya berinteraksi dengan pandai besi yang saya teliti. Jumlah pertukangan yang
saya kunjungi ada 7 (tujuh) pertukangan pandai besi yaitu pertukangan milik
Abdullah Rasit, Ali, TL, Josua, Rizal, Doly dan SPS.
Saya memulai penelitian pada tanggal 24 April 2017, saya menemui salah satu
pandai besi yang merupakan teman lama dari ayah saya yaitu bapak Abdullah
Rasit, beliau merupakan informan yang memberikan saya banyak informasi
mengenai penelitian serta beliau yang memperkenalkan saya kepada beberapa
pandai besi lain yang berada di sekitaran lokasi pandai besi miliknya. Pertukangan
yang berada di Kelurahan Baja Dolok sekitaran 15 pandai besi. Di dalam 1 (satu)
bulan saya melakukan observasi ada 7 (tujuh) pertukangan yang saya kunjungi,
dikarenakan 8 pertukangan lagi sudah tidak begitu jelas lagi dalam menggeluti
pekerjaan sebagai pandai besi.
Penelitian tidak setiap hari dilakukan dikarenakan saya hanya datang pada saat
hari kerja saja itupun tidak menentu. Jika pesanan ada baru dilakukan proses
tidak bekerja. Sehingga saya harus memiliki komuniksai yang baik dengan para
pandai besi agar memiliki kontak dalam memperoleh informasi kapan saja mereka
bekerja. Setelah mendapatkan informasi dari bapak Abdullah Rasit, keesokan
harinya saya melakukan penelitian di pertukangan bapak Ali yang merupakan
adik kandung dari bapak Abdullah. Saya diterima dengan baik tetapi tidak begitu
banyak informasi yang saya dapat dikarenakan bapak Ali masih memiliki
pengalaman 10 tahun sebagi pandai besi, usianya 38 tahun. Sebelumnya dia
merupakan anggota di pertukangan milik abangnya.
Hari-hari selanjutnya saya melakukan penelitian di pertukangan bapak TL, dari
beliau saya mendapatkan informasi banyak mengenai peralatan yang mereka
gunakan, beliau menjelaskan fungsi-fungsi dari peralatan yang digunakan.
Disela-sela kerja beliaupun menunjukkan teknik-teknik pengukiran pada hasil tempa
sebelumnya, beliau merupakan adik kandung dari Abdullah Rasit yang hampir
memiliki pengalaman serupa. Dikarenakan dahulu memiliki waktu merantau yang
sama. Di setiap pembicaraan beliau selalu mengatakan, “tidak banyak uangnya
panoppa bosi dek tapi enak kerjanya karena punya sendiri terus ada seninya sewaktu produksi beda sama tukang-tukang lainnya” sembari tertawa ke arah
saya. Rapport yang saja lakukan dengan bebrapa pandai besi terjalin dengan baik,
memudahkan saya dalam memperoleh data.
Selain mendapatkan data mengenai topik penelitian, saya juga diberikan akses
mempermudah mengunjungi pertukangan yang lumayan sedikit jauh dari lokasi
sebelumnya. Ketika saya melakukan observasi dipertukangan bapak TL, seorang
bantuan bapak TL serta anggotanya dalam pembuatan egrek atahan dikarenakan
pesanan yang diperoleh banyak. Alih-alih bapak Josua sedang berada di
pertukangan saya tidak segan-segan berkenalan dengan beliau dan langsung
mengutarakan maksud dan tujuan saya dalam perkenalan tersebut. Semabri
berjabatan tangan beliau langsung berkata kepada saya,
“bukannya anaknya si SPS kau dek? Saya pun menjawabnya iya tulang, darimana tulang tau. Mirip kau sama bapakmu terus pernahnya tulang lihat kau di pajaknya si Aciang sama bapakmu kau kemaren dulu”.
Ternyata dari hasil perkenalan tersebut saya langsung diajak ke rumahnya
serta memudahkan saya mendapatkan informasi baik mengenai motivasi bertahan,
regenerasi serta hambatannya. Saya memperoleh banyak informasi dari beliau
serta diperkenalkan dengan para anggotanya dan ditemani dalam penelitian ke 3
(tiga) pertukangan yang berada tidak jauh dari pertukangannya. Saya sungguh
beruntung hingga memperoleh data yang memadai serta memudahkan akses saya
dalam mengunjungi setiap pertukangan yang hendak saya kunjungi.
Setelah semua data yang saya butuhkan terkumpul, maka saya mencoba
menganalisisnya. Data-data yang saya peroleh dari lapangan ataupun dari
sumber-sumber tertulis saya gabungkan. Penulisan skripsi ini menurut saya bukanlah hal
yang sulit untuk dilakukan, tetapi kesabaran dan ketelitian sungguh sangat
dituntut. Penulisan skripsi ini tentu tidak lepas dari iringan doa yang selalu saya
sampaikan Kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tetap memberikan kesehatan serta