• Tidak ada hasil yang ditemukan

AUTOIMUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AUTOIMUN"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II BAB II PEMBAHASAN PEMBAHASAN A. A. TOLERANSITOLERANSI

Toleransi adalah tidak adanya imunologi spesifik, yakni reaksi kekebalan terhadap Toleransi adalah tidak adanya imunologi spesifik, yakni reaksi kekebalan terhadap antigen tertentu (atau epitop) tidak terjadi, meskipun sistem kekebalan tubuh dinyatakan antigen tertentu (atau epitop) tidak terjadi, meskipun sistem kekebalan tubuh dinyatakan berfungsi normal. Secara umum, antigen yang hadir selama kehidupan embrio dianggap berfungsi normal. Secara umum, antigen yang hadir selama kehidupan embrio dianggap "self" dan tidak merangsang sebuah imunologi respon, yaitu, kita toleran terhadap antigen "self" dan tidak merangsang sebuah imunologi respon, yaitu, kita toleran terhadap antigen tersebut. Tidak adanya respon kekebalan janin disebabkan oleh penghapusan

tersebut. Tidak adanya respon kekebalan janin disebabkan oleh penghapusan self-reactive T-self-reactive T-cell precursors

cell precursors dalam thymus. Di sisi lain, antigen yang tidak hadir selama prosesdalam thymus. Di sisi lain, antigen yang tidak hadir selama proses pematangan, yaitu, yang dihadapi pertama ketika tubuh imunologis matang, dianggap pematangan, yaitu, yang dihadapi pertama ketika tubuh imunologis matang, dianggap "nonself" dan biasanya menimbulkan respons kekebalan. Meskipun kedua sel B dan sel T "nonself" dan biasanya menimbulkan respons kekebalan. Meskipun kedua sel B dan sel T berpartisipasi dalam toleransi, itu adalah T-sel toleransi

berpartisipasi dalam toleransi, itu adalah T-sel toleransi yang memainkan peran utama.yang memainkan peran utama.

Gambar penghapusan

Gambar penghapusan self-reactive T-cell precursorsself-reactive T-cell precursors

Toleransi Sel T Toleransi Sel T

Proses utama di mana T limfosit memperoleh kemampuan untuk membedakan diri dari Proses utama di mana T limfosit memperoleh kemampuan untuk membedakan diri dari bukan dirinya terjadi di

bukan dirinya terjadi di timus janin. Proses ini, timus janin. Proses ini, disebut delesi klonal, melibatkan pembunuhandisebut delesi klonal, melibatkan pembunuhan sel T ("seleksi negatif") yang bereaksi terhadap antigen (terutama protein self MHC) yang sel T ("seleksi negatif") yang bereaksi terhadap antigen (terutama protein self MHC) yang ada pada janin pada saat itu.

ada pada janin pada saat itu. Self-reactive sel mengalami kematian dalam peristiwa apoptosis.Self-reactive sel mengalami kematian dalam peristiwa apoptosis. Sistem toleransi yang terjadi di dalam thymus disebut toleransi pusat/sentral, sedangkan Sistem toleransi yang terjadi di dalam thymus disebut toleransi pusat/sentral, sedangkan sistem toleransi yang terjadi di luar thymus disebut sistem toleransi perifer

(2)

a. Toleransi Perifer a. Toleransi Perifer Sel T

Sel T self-reactiveself-reactive yang lolos dari seleksi negatif dalam timus dapat membahayakanyang lolos dari seleksi negatif dalam timus dapat membahayakan karena berpotensi menjadi autoreaktif kecuali dimusnahkan secara efektif. Terdapat 3 karena berpotensi menjadi autoreaktif kecuali dimusnahkan secara efektif. Terdapat 3 mekanisme pemusnahan seleksi:

mekanisme pemusnahan seleksi: 1.

1.  Anergi Anergi

Anergi menunjukkan inaktivasi memanjang atau ireversibel (daripada apoptosis) limfosit Anergi menunjukkan inaktivasi memanjang atau ireversibel (daripada apoptosis) limfosit yang diinduksi melalui pertemuannya dengan antigen pada keadaan tertentu. Sebagai yang diinduksi melalui pertemuannya dengan antigen pada keadaan tertentu. Sebagai perbandinga

perbandingan : n : aktivasi sel T aktivasi sel T memerlukan 2 sinyal, yaitu : memerlukan 2 sinyal, yaitu : pengenapengenalan antigen peptida denganlan antigen peptida dengan molekul MHC-sendiri pada APC dan jumlah sinyal kostimulator kedua (misalnya, melalui molekul MHC-sendiri pada APC dan jumlah sinyal kostimulator kedua (misalnya, melalui molekul B7) yang dihasilkan oleh APC. Jika sinyal kostimulator kedua tidak dikirimkan, molekul B7) yang dihasilkan oleh APC. Jika sinyal kostimulator kedua tidak dikirimkan, maka sel T menjadi anergik. Sel semacam ini tidak akan responsif. Bahkan jika antigen yang maka sel T menjadi anergik. Sel semacam ini tidak akan responsif. Bahkan jika antigen yang cocok diserahkan lagi oleh APC kompeten yang dapat mengirimkan kostimulasi. Karena cocok diserahkan lagi oleh APC kompeten yang dapat mengirimkan kostimulasi. Karena molekul kostimulasi tidak cukup banyak dikeluarkan pada sebagian besar jaringan normal, molekul kostimulasi tidak cukup banyak dikeluarkan pada sebagian besar jaringan normal, maka pertemuan antara sel T autoreaktif dan antigen diri yang spesifik sering menimbulkan maka pertemuan antara sel T autoreaktif dan antigen diri yang spesifik sering menimbulkan anergi. Sel B dapat pula menjadi anergik jika bertemu dengan antigen tanpa adanya sel T anergi. Sel B dapat pula menjadi anergik jika bertemu dengan antigen tanpa adanya sel T helper yang spesifik.

helper yang spesifik.

2.

2. Kematian Sel yang Diinduksi Oleh AktivasiKematian Sel yang Diinduksi Oleh Aktivasi

Merupakan mekanisme lain untuk mencegah aktivasi sel T yang tidak terkendali selama Merupakan mekanisme lain untuk mencegah aktivasi sel T yang tidak terkendali selama respon imun normal. Dengan melibatkan apoptosis sel T aktif oleh sistem ligan Fas-Fas. respon imun normal. Dengan melibatkan apoptosis sel T aktif oleh sistem ligan Fas-Fas. Ligan Fas adalah suatu protein membran yang secara struktural homolog dengan TNF Ligan Fas adalah suatu protein membran yang secara struktural homolog dengan TNF sitokin. Terutama dikeluarkan pada limfosit T aktif. Limfosit juga mengeluarkan Fas. sitokin. Terutama dikeluarkan pada limfosit T aktif. Limfosit juga mengeluarkan Fas. Pengeluaran Fas meningkat pada sel T aktif. Akibatnya, pengikatan Fas oleh ligan Fas, yang Pengeluaran Fas meningkat pada sel T aktif. Akibatnya, pengikatan Fas oleh ligan Fas, yang turut dikeluarkan pada kelompok sel T aktif yang sama, dapat berfungsi menekan respons turut dikeluarkan pada kelompok sel T aktif yang sama, dapat berfungsi menekan respons imun dengan menginduksi apoptosis sel ini. Secara teoritis, proses kematian sel semacam itu imun dengan menginduksi apoptosis sel ini. Secara teoritis, proses kematian sel semacam itu dapat menyebabkan pemusnahan sel T autoreaktif di perifer. Kematian sel yang diinduksi dapat menyebabkan pemusnahan sel T autoreaktif di perifer. Kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dan anergi merupakan mekanisme utama toleransi-diri perifer.

oleh aktivasi dan anergi merupakan mekanisme utama toleransi-diri perifer.

3.

3. Penekanan Perifer Oleh Sel T Penekanan Perifer Oleh Sel T  Merupakan mekanisme

Merupakan mekanisme  fail-safe fail-safe tambahan yaknitambahan yakni sel T regulatorissel T regulatoris yang dapat mengaturyang dapat mengatur fungsi sel T lain. Sel ini menghasilkan sitokin tertentu (misalnya, IL-10) dan faktor fungsi sel T lain. Sel ini menghasilkan sitokin tertentu (misalnya, IL-10) dan faktor pertumbuhan transformasi beta [ TGF-beta ] yang dapat melemahkan berbagai respon sel T. pertumbuhan transformasi beta [ TGF-beta ] yang dapat melemahkan berbagai respon sel T. Selain itu

Selain itu sel T regulatorissel T regulatoris juga mengubah aktivitas sel T melalui jalur yang melibatkanjuga mengubah aktivitas sel T melalui jalur yang melibatkan kontak sel-ke sel secara

(3)

a. Toleransi Perifer a. Toleransi Perifer Sel T

Sel T self-reactiveself-reactive yang lolos dari seleksi negatif dalam timus dapat membahayakanyang lolos dari seleksi negatif dalam timus dapat membahayakan karena berpotensi menjadi autoreaktif kecuali dimusnahkan secara efektif. Terdapat 3 karena berpotensi menjadi autoreaktif kecuali dimusnahkan secara efektif. Terdapat 3 mekanisme pemusnahan seleksi:

mekanisme pemusnahan seleksi: 1.

1.  Anergi Anergi

Anergi menunjukkan inaktivasi memanjang atau ireversibel (daripada apoptosis) limfosit Anergi menunjukkan inaktivasi memanjang atau ireversibel (daripada apoptosis) limfosit yang diinduksi melalui pertemuannya dengan antigen pada keadaan tertentu. Sebagai yang diinduksi melalui pertemuannya dengan antigen pada keadaan tertentu. Sebagai perbandinga

perbandingan : n : aktivasi sel T aktivasi sel T memerlukan 2 sinyal, yaitu : memerlukan 2 sinyal, yaitu : pengenapengenalan antigen peptida denganlan antigen peptida dengan molekul MHC-sendiri pada APC dan jumlah sinyal kostimulator kedua (misalnya, melalui molekul MHC-sendiri pada APC dan jumlah sinyal kostimulator kedua (misalnya, melalui molekul B7) yang dihasilkan oleh APC. Jika sinyal kostimulator kedua tidak dikirimkan, molekul B7) yang dihasilkan oleh APC. Jika sinyal kostimulator kedua tidak dikirimkan, maka sel T menjadi anergik. Sel semacam ini tidak akan responsif. Bahkan jika antigen yang maka sel T menjadi anergik. Sel semacam ini tidak akan responsif. Bahkan jika antigen yang cocok diserahkan lagi oleh APC kompeten yang dapat mengirimkan kostimulasi. Karena cocok diserahkan lagi oleh APC kompeten yang dapat mengirimkan kostimulasi. Karena molekul kostimulasi tidak cukup banyak dikeluarkan pada sebagian besar jaringan normal, molekul kostimulasi tidak cukup banyak dikeluarkan pada sebagian besar jaringan normal, maka pertemuan antara sel T autoreaktif dan antigen diri yang spesifik sering menimbulkan maka pertemuan antara sel T autoreaktif dan antigen diri yang spesifik sering menimbulkan anergi. Sel B dapat pula menjadi anergik jika bertemu dengan antigen tanpa adanya sel T anergi. Sel B dapat pula menjadi anergik jika bertemu dengan antigen tanpa adanya sel T helper yang spesifik.

helper yang spesifik.

2.

2. Kematian Sel yang Diinduksi Oleh AktivasiKematian Sel yang Diinduksi Oleh Aktivasi

Merupakan mekanisme lain untuk mencegah aktivasi sel T yang tidak terkendali selama Merupakan mekanisme lain untuk mencegah aktivasi sel T yang tidak terkendali selama respon imun normal. Dengan melibatkan apoptosis sel T aktif oleh sistem ligan Fas-Fas. respon imun normal. Dengan melibatkan apoptosis sel T aktif oleh sistem ligan Fas-Fas. Ligan Fas adalah suatu protein membran yang secara struktural homolog dengan TNF Ligan Fas adalah suatu protein membran yang secara struktural homolog dengan TNF sitokin. Terutama dikeluarkan pada limfosit T aktif. Limfosit juga mengeluarkan Fas. sitokin. Terutama dikeluarkan pada limfosit T aktif. Limfosit juga mengeluarkan Fas. Pengeluaran Fas meningkat pada sel T aktif. Akibatnya, pengikatan Fas oleh ligan Fas, yang Pengeluaran Fas meningkat pada sel T aktif. Akibatnya, pengikatan Fas oleh ligan Fas, yang turut dikeluarkan pada kelompok sel T aktif yang sama, dapat berfungsi menekan respons turut dikeluarkan pada kelompok sel T aktif yang sama, dapat berfungsi menekan respons imun dengan menginduksi apoptosis sel ini. Secara teoritis, proses kematian sel semacam itu imun dengan menginduksi apoptosis sel ini. Secara teoritis, proses kematian sel semacam itu dapat menyebabkan pemusnahan sel T autoreaktif di perifer. Kematian sel yang diinduksi dapat menyebabkan pemusnahan sel T autoreaktif di perifer. Kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dan anergi merupakan mekanisme utama toleransi-diri perifer.

oleh aktivasi dan anergi merupakan mekanisme utama toleransi-diri perifer.

3.

3. Penekanan Perifer Oleh Sel T Penekanan Perifer Oleh Sel T  Merupakan mekanisme

Merupakan mekanisme  fail-safe fail-safe tambahan yaknitambahan yakni sel T regulatorissel T regulatoris yang dapat mengaturyang dapat mengatur fungsi sel T lain. Sel ini menghasilkan sitokin tertentu (misalnya, IL-10) dan faktor fungsi sel T lain. Sel ini menghasilkan sitokin tertentu (misalnya, IL-10) dan faktor pertumbuhan transformasi beta [ TGF-beta ] yang dapat melemahkan berbagai respon sel T. pertumbuhan transformasi beta [ TGF-beta ] yang dapat melemahkan berbagai respon sel T. Selain itu

Selain itu sel T regulatorissel T regulatoris juga mengubah aktivitas sel T melalui jalur yang melibatkanjuga mengubah aktivitas sel T melalui jalur yang melibatkan kontak sel-ke sel secara

(4)

Toleransi Sel B Toleransi Sel B a.

a. Toleransi SentralToleransi Sentral

Sel B imatur yang merupakan sel terdini dalam perkembangan sel, mengekspresikan Sel B imatur yang merupakan sel terdini dalam perkembangan sel, mengekspresikan BCR. Seleksi terhadap sel B autoreaktif mulai terjadi dalam sumsum tulang, BCR berfungsi BCR. Seleksi terhadap sel B autoreaktif mulai terjadi dalam sumsum tulang, BCR berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Bila mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Bila BCR tidak berikatan dengan antigen, sinyal BCR tetap ada pada ambang basal dan sel BCR tidak berikatan dengan antigen, sinyal BCR tetap ada pada ambang basal dan sel memasuki fase transisi untuk dilepas ke sirkulasi perifer. Sel B imatur yang terpajan dengan memasuki fase transisi untuk dilepas ke sirkulasi perifer. Sel B imatur yang terpajan dengan antigen ekstraseluler, akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang. antigen ekstraseluler, akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk berhenti berkembang. Sel B tersebut akan menginisiasi proses untuk mengedit reseptor/memproduksi BCR dengn Sel B tersebut akan menginisiasi proses untuk mengedit reseptor/memproduksi BCR dengn spesifisitas untuk dapat mengikat antigen baru. Bila BCR tidak dapat diubah dengan efektif, spesifisitas untuk dapat mengikat antigen baru. Bila BCR tidak dapat diubah dengan efektif, sel B imatur akan disingkirkan melalui apoptosis untuk mencegah timbulnya sel B sel B imatur akan disingkirkan melalui apoptosis untuk mencegah timbulnya sel B autoreaktif.

autoreaktif.

Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang selfreaktif pada toleransi sel T berlaku juga untuk  Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang selfreaktif pada toleransi sel T berlaku juga untuk  sel B. Sel B yang self-reaktif dihancurkan dalam sumsum tulang. Toleransi sentral sel B sel B. Sel B yang self-reaktif dihancurkan dalam sumsum tulang. Toleransi sentral sel B terjadi bila sel B imatur terpajan dengan self antigen yang multivalent dalam sumsum tulang. terjadi bila sel B imatur terpajan dengan self antigen yang multivalent dalam sumsum tulang. Hal tersebut menbimbulkan apoptosis atau spesifisitas

Hal tersebut menbimbulkan apoptosis atau spesifisitas baru yang disebutbaru yang disebut receptor editing.receptor editing.

b.

b. Toleransi PeriferToleransi Perifer

Seperti dengan sel T, sel B terus berfungsi dalm pengawasan perifer untuk  Seperti dengan sel T, sel B terus berfungsi dalm pengawasan perifer untuk  mempertahankan toleransi. Meskipun sel B terbanyak yang meninggalkan sumsum tulang mempertahankan toleransi. Meskipun sel B terbanyak yang meninggalkan sumsum tulang adalah toleran terhadap self-antigen, namun beberapa sel terlepas dari

adalah toleran terhadap self-antigen, namun beberapa sel terlepas dari proses seleksi negative.proses seleksi negative. Untuk mencegah autoimunitas, ada proses pencegahan toleransi kedua di

Untuk mencegah autoimunitas, ada proses pencegahan toleransi kedua di perifer.perifer. Setelah meninggalka

Setelah meninggalkan sumsum tulang sel B n sumsum tulang sel B yang cukup imatur, berimigrasi ke zona sel Tyang cukup imatur, berimigrasi ke zona sel T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses untuk induksi luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses untuk induksi energi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Siklus hidup sel B energi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Siklus hidup sel B self-reaktif dalam limpa adalah 1-3 hari. Namun beberapa sel B energik selfreaktif masih self-reaktif dalam limpa adalah 1-3 hari. Namun beberapa sel B energik selfreaktif masih dapat mengikat antigen dengan aviditas tinggi, berperan dalam respons terhadap antigen dapat mengikat antigen dengan aviditas tinggi, berperan dalam respons terhadap antigen asing.

asing.

Proses hipermutasi somatik gen imunogglobulin pada sel B matang di sentrum Proses hipermutasi somatik gen imunogglobulin pada sel B matang di sentrum germinativum kelenjar limfoid juga

germinativum kelenjar limfoid juga mempunyai potensi untuk membentuk antibodi. mempunyai potensi untuk membentuk antibodi. ProduksiProduksi antibodi self-reaktif adalah terbatas. Sel B yang mengenal antigen, tetapi tidak menerima antibodi self-reaktif adalah terbatas. Sel B yang mengenal antigen, tetapi tidak menerima bantuan dari sel T akan menjadi energik atau apoptosis dan tidak dapat berfungsi. Bila sel T bantuan dari sel T akan menjadi energik atau apoptosis dan tidak dapat berfungsi. Bila sel T dan sel B mengenal antigen asal patogen pada waktu dan lokasi yang sama, sel T akan dan sel B mengenal antigen asal patogen pada waktu dan lokasi yang sama, sel T akan

(5)

memberikan bantuan untuk sel B

memberikan bantuan untuk sel B dan memacunya untuk memproduksi dan melepas antibodi.dan memacunya untuk memproduksi dan melepas antibodi. Seperti halnya dengan sel T, stimulasi kronis kadar rendah antigen lebih cenderung Seperti halnya dengan sel T, stimulasi kronis kadar rendah antigen lebih cenderung menimbulkan energi, sedang stimulasi yang meningkat dengan cepat, cenderung menimbulkan energi, sedang stimulasi yang meningkat dengan cepat, cenderung menimbulkan aktivasi.

menimbulkan aktivasi.

Kegagalan Sistem Toleransi Kegagalan Sistem Toleransi

Dalam proses seleksi klon baik sel T maupun sel B, tidak sepenuhnya dapat diatasi atau Dalam proses seleksi klon baik sel T maupun sel B, tidak sepenuhnya dapat diatasi atau diseleksi. Adanya beberapa sel yang lolos dari toleransi sentral maupun perifer, akan diseleksi. Adanya beberapa sel yang lolos dari toleransi sentral maupun perifer, akan menimbulkan penyakit

menimbulkan penyakit autoimmuneautoimmune, yakni terjadi akibat adanya kegagalan toleransi imun., yakni terjadi akibat adanya kegagalan toleransi imun. Berikut ini faktor-faktor penyebab terjadinya kegagalan toleransi imun:

Berikut ini faktor-faktor penyebab terjadinya kegagalan toleransi imun: a.

a. Kegagalan Kegagalan Kematian Sel Kematian Sel yang Diinduksi yang Diinduksi oleh Aktivasioleh Aktivasi Aktivasi

Aktivasi sel sel T T yang yang berpotensi berpotensi autoreaktif autoreaktif secara secara persisten persisten dapat dapat menyebabkamenyebabkann apoptosis

apoptosis sel sel tersebut tersebut melalui melalui sistem sistem ligan ligan fas-fas. fas-fas. Hal Hal ini ini berarti berarti kelainan kelainan pada pada jalur jalur iniini memungkinka

memungkinkan terjadinya proliferasi n terjadinya proliferasi dan persistensi sedan persistensi sel T autoreaktif dalam jaringl T autoreaktif dalam jaringan perifer.an perifer. Sebagai penunjang hipotesis ini, dilakukan percobaan, yaitu tikus dengan kelainan genetik  Sebagai penunjang hipotesis ini, dilakukan percobaan, yaitu tikus dengan kelainan genetik  dalam fas atau ligan fas menderita penyakit autoimun kronis menyerupai SLE. Sementara, dalam fas atau ligan fas menderita penyakit autoimun kronis menyerupai SLE. Sementara, sejauh ini tidak ada penderita SLE yang ditemukan mutasi dalm gen fas atau ligan fas, sejauh ini tidak ada penderita SLE yang ditemukan mutasi dalm gen fas atau ligan fas, kelainan kecil lainnya pada kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dapat berperan pada kelainan kecil lainnya pada kematian sel yang diinduksi oleh aktivasi dapat berperan pada penyakit autoimun manusia.

penyakit autoimun manusia.

b.

b. Gangguan pada Anergi Sel TGangguan pada Anergi Sel T

Perlu diingat bahwa sel T yang berpotensi autoreaktif yang lolos dari pembersihan Perlu diingat bahwa sel T yang berpotensi autoreaktif yang lolos dari pembersihan sentral akan menjadi anergik pada saat sel tersebut bertemu dengan antigen sendiri tanpa sentral akan menjadi anergik pada saat sel tersebut bertemu dengan antigen sendiri tanpa adanya constimulasi. Hal ini terjadi setelah anergi semacam itu dapat rusak jika sel normal adanya constimulasi. Hal ini terjadi setelah anergi semacam itu dapat rusak jika sel normal yang biasanya tidak mengeluarkan molekul constimulator dapat diinduksi untuk melakukan yang biasanya tidak mengeluarkan molekul constimulator dapat diinduksi untuk melakukan hal tersebut. Dalam kenyataannya, induksi semacam itu dapat terjadi setelah terdapat infeksi, hal tersebut. Dalam kenyataannya, induksi semacam itu dapat terjadi setelah terdapat infeksi, atau dalam situasi lain yang terjadi nekrosis jaringan dan inflamasi local. Pada penderita atau dalam situasi lain yang terjadi nekrosis jaringan dan inflamasi local. Pada penderita dengan sklerosis multiple telah diperhatikan terjadi pengaturan ( upregulation ) Molekul dengan sklerosis multiple telah diperhatikan terjadi pengaturan ( upregulation ) Molekul Costimulator B7-1 pada sistem saraf pusatnya, yaitu suatu penyakit autoimun yang sel T nya Costimulator B7-1 pada sistem saraf pusatnya, yaitu suatu penyakit autoimun yang sel T nya beraksi terhadap Mielin. Induksi pengeluaran B7-1 yang serupa terjadi dalam sinovium para beraksi terhadap Mielin. Induksi pengeluaran B7-1 yang serupa terjadi dalam sinovium para pasien arthritis rematoid

pasien arthritis rematoid dan kulit pasien psoriasis. dan kulit pasien psoriasis. Pengamatan telah membuka kemungkinanPengamatan telah membuka kemungkinan untuk terjadinya manipulasi imunologis pada penyakit autoimun yang dicapai pada jalur untuk terjadinya manipulasi imunologis pada penyakit autoimun yang dicapai pada jalur konstimulator penghambat.

(6)

c. Pemintasan Kebutuhan Sel B untuk Bantuan Sel T

Banyak  self  antigen mempunyai determinan yang beragam, beberapa diantaranya dikenali oleh sel B, dan yang lain oleh sel T. Respon antibodi terhadap antigen tersebut hanya terjadi jika sel B yang berpotensi self  – reactive menerima bantuan dari sel T, dan toleransi terhadap antigen tersebut dapat disertai dengan pembersihan atau anergi sel T helper yang toleran tergantikan. Satu cara untuk melakukan hal ini adalah jika epitop sel T dari suatu selfantigen dimodifikasi, yang memungkinkan pengenalan oleh sel T yang tidak  dimusnahkan. Sel ini kemudian dapat bekerja sama dengan sel B, yang membentuk auto antibodi. Modifikasi determinan sel T suatu antigen yang semacam itu dapat dihasilkan dari pembentukan kompleks dengan obat atau mikroorgansime. Sebagai contoh, anemia hemolitk  autoimun, yang terjadi setelah pemberian obat tertentu, dapat disebabkan oleh perubahan yang diinduksi oleh obat pada permukaan sel darah merah yang menghasilkan antigen yang dapat dikenali oleh sel T helper.

d. Kegagalan Supresi yang Diperantarai Sel T

Kemungkinan berkurangnya fungsi sel T regulator yang dapat menyebabkan autoimunitas merupakan hal yang sangat menarik. Penelitian telah menunjukan adanya tipe khusus sel T CD 4+ antigen spesifik yang menyekresi IL  – 10 ; sel CD 4+ ini dapat menekan proliprasi sel T lain yang antigen  – spesifik dan, yang lebih penting adalah mencegah colitis autoimun pada tikus percobaan. Masih diselidiki apabila hilangnya sel T regulator tersebut berperan pada autoimuinitas pada manusia.

e. Mimikri Molekular

Beberapa agen infeksius memberikan epitop kepada antigen-diri, dan respon imun yang melawan mikroba tersebut akan menghasilkan respon yang serupa terhadap antigen diri yang bereaksi silang. Sebagai contoh, penyakit jantung rematik kadang-kadang muncul setelah infeksi streptokokus karena antibodi terhadap protein streptokokus bereaksi silang dengan glikoprotein jantung. Mimikri molekular dapat pula diterapkan pada epitop sel T. Bukti paling kuat mendukung hal ini diperoleh dari klon sel T yang reaktif terhadap protein dasar myelin yang berasal dari penderita skleriosis multiple; klon ini bereaksi pula dengan peptida yang berasal dari sejumlah protein nonsendiri, termasuk banyak yang berasal dari virus.

(7)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam beberapa kasus, toleransi dipertahankan melalui anergi. Namun autoimunitas dapat terjadi jika klon yang self reactive, tetapi anergik tersebut dirangsang oleh mekanisme yang tidak bergantung antigen.

g. Pelepasan Antigen Terasing

Tanpa memperhatikan mekanisme pasti sehingga terjadi toleransi diri, jelaslah bahwa induksi toleransi membutuhkan interaksi antara antigen yang ada dan sitem imun. Jadi, setiap antigen sendiri yang benar-benar telah terasingkan selama perkembangannya mungkin dianggap asing jika selanjutnya bertemu dengan sistem imun. Yang termasuk dalam kategori ini adalah antigen spermatozoa dan antigen okular.

Tabel Self-Tolerance pada sel T dan B

B. PENYAKIT AUTOIMUN

Autoimunitas hadir dalam setiap orang sampai batas tertentu. Namun, autoimun dapat menyebabkan spektrum yang luas dari penyakit manusia, yang dikenal sebagai penyakit autoimun. Penyakit autoimun didefinisikan sebagai penyakit di mana perkembangan dari autoimun jinak untuk otoimun patogen terjadi. Perkembangan ini ditentukan oleh pengaruh genetik dan lingkungan pemicu. Konsep autoimun sebagai penyebab sebenarnya penyakit manusia (bukan akibat atau iringan tidak berbahaya) dapat digunakan untuk menetapkan kriteria yang menentukan penyakit sebagai penyakit autoimun. Dengan pendekatan ini, Rose dan Bona (Imunologi Today, 14: 426-430, 1993) telah dibedakan bukti untuk etiologi autoimun pada tiga tingkatan yang berbeda: langsung, tidak langsung, dan mendalam.

(8)

Gangguan Autoimun

Gangguan autoimun adalah suatu kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh secara keliru menyerang dan menghancurkan jaringan tubuh yang sehat. Ada lebih dari 80  jenis gangguan autoimun.

Penyebab

Biasanya sistem kekebalan tubuh dari sel-sel darah putih membantu melindungi tubuh dari zat berbahaya, disebut antigen. Contoh antigen termasuk bakteri, virus, racun, kanker sel, dan darah atau jaringan dari orang lain atau spesies. Sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang menghancurkan zat berbahaya.

Tapi pada pasien dengan gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh tidak bisa mengatakan perbedaan antara jaringan tubuh yang sehat dan antigen. Hasilnya adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh normal. Respon ini adalah reaksi hipersensitivitas mirip dengan respon alergi. Pada alergi, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap zat eksternal yang biasanya akan mengabaikan. Dengan gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap jaringan tubuh normal.

Gangguan autoimun dapat menyebabkan:

 Kehancuran satu atau lebih jenis jaringan tubuh  Pertumbuhan abnormal organ

 Perubahan fungsi organ

Gangguan autoimun dapat mempengaruhi satu atau lebih organ atau jenis jaringan. Organ dan jaringan umumnya dipengaruhi oleh gangguan autoimun termasuk:

 Sel darah merah  Pembuluh darah  Jaringan ikat

 Endokrin seperti kelenjar tiroid atau pankreas  Otot

 Sendi  Kulit

Penyakit Autoimun Spesifik Organ

1. Penyakit Graves adalah suatu gangguan autoimun yang melibatkan overaktivitas

(9)

kelenjar tiroid (hipertiroidisme). Ciri-ciri kondisi adalah mata melotot (exophthalmos), intoleransi panas, meningkatkan energi, sulit tidur, diare, dan kecemasan.

2. Tiroiditis kronis (penyakit Hashimoto's) adalah peradangan persisten perlahan-lahan berkembang dari tiroid yang sering menyebabkan hipotiroidisme, penurunan fungsi kelenjar tiroid. Wanita paruh baya yang paling sering terkena.

3.  Multiple sclerosis adalah gangguan sistem saraf  pusat ditandai dengan penurunan fungsi saraf  dengan peradangan awal meliputi pelindung mielin saraf dan jaringan parut akhirnya. Gejala dan tingkat keparahan gejala sangat bervariasi dan dapat berlanjut ke episode krisis bergantian dengan episode remisi.

Sumber gambar Diperbarui oleh: Ari S. Eckman, MD, Divisi Endokrinologi dan Metabolisme, Johns  Hopkins School of Medicine, Baltimore, MD. Review provided by VeriMed Healthcare Network. Review  disediakan oleh VeriMed Healthcare Network. Also reviewed by David Zieve, MD, MHA, Medical Director,  ADAM, Inc. Juga ditinjau oleh David Zieve, MD, MHA, Direktur Medis, ADAM, Inc

(10)

Kompleks imun yang bersirkulasi di dalam darah atau yang terdeposit pada beberapa organ dapat menyebabkan penyakit sistemik autoimun. Hal ini terjadi jika kompleks imun melalui kapiler darah kemudian menyumbat pembuluh darah tersebut. Autoantibodi melekat pada self antigen kompleks dan beredar dalam darah mencapai lokasi yang tepat dan menimbulkan penyakit. Ada beberapa penyakit autoimun nonspesifik organ yaitu :

1. Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah gangguan autoimun peradangan kronis yang dapat mempengaruhi banyak sistem organ termasuk kulit, persendian dan organ internal. Penyakit ini mungkin ringan atau berat dan mengancam jiwa. Afrika-Amerika dan Asia yang tidak proporsional terpengaruh.

Karena faktor etiologik belum diketahui

pasti, maka diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkan adanya sejumlah gejala klinik  dan data laboratorium. Untuk membakukan cara diagnosis, ARA ( American  Rheumatism Association) mengemukakan kriteria diagnostik yang telah disepakati

secara internasional, yaitu bahwa diagnosis SLE dipastikan apabila dijumpai sedikitnya empat kriteria dari daftar kriteria diagnostik pada tabel.

Kriteria Manifestasi

Ruam pada muka

Ruam discoid

Fotosensitivitas

Luka-luka pada mulut atau nasofaring Arthritis Serositis Kelainan ginjal Kelainan neurologik  Kelainan hematologik 

Eritema, rata atau sedikit timbul di atas permukaan, menyerupai bentuk kupu-kupu

Ruam berbentuk benjolan yang timbul diatas permukaan, dengan lapisan keratin kulit terepas

Ruam kulit sebagai akibat reaksi berlebihan terhadap sinar matahari Biasanya tidak terasa sakit

Artritis mengenai 2 atau lebih sendi, bengkak dan terasa sakit Pleuritis atau perikarditis

Proteinuria > 3+ atau ada torak bergranula Psikosis atau kejang-kejang

Anemia hemolitik dengan retikulositosis, leukopenia, limfopenia, trombositopenia

(11)

Kelainan imunologik  Antibodi antinuclear

Sel LE positif, anti-DNA dengan titer tinggi anti-Sm positif  Titer ANA meningkat

Pada penderita yang secara genetik menunjukkan predisposisi untuk SLE dapat dijumpai gangguan sistem regulasi sel T dan fungsi sel B yang diinduksi oleh berbagai hal. Gejala awal yang menetap adalah adanya alergi terhadap antigen yang umum (recall antigen). Diduga hal ini timbul akibat adanya anti limfosit T yang menyebabkan limfopenia dan kepekaan terhadap infeksi oportunistik.

Uji diagnostik terhadap penyakit ini biasanya dilakukan dengan uji  Radio Immunoassay (RIA) untuk mendeteksi adanya imunoglobulin IgG dan IgM dalam serum. Salah satu hal yang dapat menyulut manifestasi penyakit adalah pemaparan terhadap sinar matahari, khusunya sinar UV. Hal ini terjad karena sel-sel langerhans pada kulit yang tergolong monosit dan makrofag, memproduksi interleukin-1 yang merangsang sel T CD4⁺ sehingga

terjadi respon imun seluler secara spontan pada daerah yang terkena sinar UV. Hal lain yang dapat menyulut manifestasi SLE adalah infeksi bakteial atau virus yang dapat merangsang aktifitas makrofag dan monosit, serta penggunaan obat yang dapat mengikat DNA misalnya isoniazid. Salah satu cara diagnosis laboratorium SLE adalah uji serologik, beberapa diantaranya:

Penyakit Autoantibodi Metode deteksi

SLE Antibodi antinuclear (ANA)

Anti ds-DNA, anti ss-DNA, anti z-DNA Antibodi anti-Sm Anti-SS-A, Anti-SS-B Antibodi antihistone Antibodi anti-limfosit Antibodi thd eritrosit Ani-trombosit

Antibodi thd sel neuron

Imunofluoresensi

Farr assay; ELISA, RIA

Hemaglutinasi, counterelektroforesis hemaglutinasi, elektroforesis gel

RIA

RIA, elektroforesis gel RIA, imunofluoresens

Imunofluoresens, uji sitotoksisitas Tes Coomb’s

Imunofluoresens Imunofluoresens

Patofisiologi SLE

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.

(12)

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).

Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun (Silvia and  Isenberg , 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer  / helper ). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Mok  and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan.

Defisiensi sel T penekan merupakan gangguan imunitas seluler yang paling menonjol. Sebaliknya sel B menjadi hiperaktif karena tidak adanya pengendalian oleh sel T penekan, atau aktivasi berlebihan melalui pembentukan BCGF (B cell growth factor) dan BCDF (B cell differentiation factor). Hiperaktifitas sel B dapat menjelaskan hipergamaglobulinemia dan adanya sel B yang memproduksi imunoglobulin berlebihan di darah tepi. Hiperaktifitas

(13)

sel B tidak harus selalu menyulut pembentukan ANA atau Anti DNA secara tidak  terkendalikan yang kemudian berikatan dengan antige yang relevan. Kompleks yang terbentuk selanjutnya dapat mengaktifasi komplemenmyang berakibat kerusakan jaringan, misalnya kerusakan pembuluh darah (vaskulitis), kerusakan glomerulus (glomerulonefritis) dan kerusakan jaringan lain.

2.  Rhematoid Arthritis (RA)

Rematoid Artritis adalah salah satu penyakit autoimun sistemik yang sering terjadi dengan manifestasi extra-articular, salah satunya pembentukan nodula fibrosa di daerah ekstensi ekstremitas (dalam beberapa kasus). RA biasanya timbul setelah umur 40 tahun dengan predominan menyerang wanita (rasio 3:1) dan berpengaruh terhadap inflamasi jaringan ikat terutama daerah sendi.

Pola sendi yang terkena biasanya simetris, melibatkan tangan dan sendi lain dan lebih buruk di pagi hari. Rheumatoid arthritis adalah juga merupakan penyakit sistemik, melibatkan organ tubuh lainnya, sedangkan osteoarthritis adalah terbatas pada sendi. Sistem kekebalan tubuh menyerang membran sinovial sendi, yang mengeluarkan cairan sendi. Sinovium ini menjadi meradang, menghasilkan cairan yang

berlebihan, dan tulang rawan menjadi kasar.

(14)

Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun sistemik yang awalnya menyerang sinovium, membran jaringan ikat yang melapisi rongga antara sendi dan mengeluarkan cairan pelumas.

Penyebab penyakit masih belum jelas, tetapi diduga karena infeksi virus Epstein-Barr (EBV) yang menyebabkan infeksi laten dan persisten sehingga dapat mengaktivasi dan proliferasi limfosit B sinovial untuk memproduksi antibodi IgG yang abnormal sehingga menyebabkan terbentuknya kompleks imun di daerah cairan sinovial sebagai akibat adanya respon imun pada daerah Fc dari IgG yang spesifik terhadap antibodi berupa IgM (disebut rheumatoid factor , RF), selain beberapa faktor penyebab diantaranya faktor genetis dan endokrin. RA dapat menyebabkan kematian terutama jika ada komplikasi dengan infeksi mikroba atau komplikasi karena terapi. Manifestasi klinik penyakit ini berpengaruh pada gangguan sistemik termasuk paru-paru, mata kulit, dan sistem saraf  seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas.

Penyakit ini diawali dengan fase akut kemudian masa pemulihan. Patogenesis penyakit ini diawali dari produksi IgG abnormal oleh limfosit B sinovial kemudian produksi RF dan penimbunan kompleks RF dan IgG di dalam cairan sinovial sendi dan mengaktifkan komplemen C3a dan

C5a dengan pelepasan mediator kimiawi yang mempunyai sifat anafilatoksik yang menyebabkan lokalisasi pembebasan histamin oleh sel mast dan monosit yang menyebabkan gejala pembengkakan pada sendi, meradang, dan rasa sakit bila eksudat bertambah banyak dan faktor kemotaktik yang menyebabkan infiltrasi sel fagosit pada lokasi tersebut yang akan memicu pembebasan enzim lisosoma ke dalam celah sinovia kemudian terjadi inflamasi dan proliferasi sinovium.

Selama perode akut, proliferasi sel dari sinovium dapat tumbuh dalam ruangan sendi dan membentuk pannus (nodul yang terdiri dari jaringan parut fibrosa yang mengandung pembuluh darah yang dapat berkembang menjadi inflamasi pada persambungan tulang rawan). Pembebasan enzim hidrolitik dapat menyebabkan destruksi permukaan sendi dan erosi tulang rawan sehingga mengganggu fungsi normal sendi tersebut. Akibat inflamasi yang berulang dapat menimbulkan penimbunan fibrin dan penggantian tulang rawan oleh

(15)

 jaringan ikat sehingga sendi menyatu (ankilosis) yang menjadi sulit untuk digerakkan. Beberapa substansi yang dapat mengaktifkan sinoviosit yaitu IL-1 dan monosit yang diproduksi oleh TNF. Kemudian sistem saraf terlibat pada pembebasan neuropeptida P yang dapat merangsang proliferasi sinoviosit.

3. Skleroderma

Kondisi ini disebut juga sklerosis sistemik progresif, sindrom CREST, yang merupakan penyakit jaringan ikat yang karakteristik dengan fibrosis, degeneratif, kadang-kadang peradangan di kulit, pembuluh darah, kantong sendi, otot skletal, organ-organ dalam (terutama esofagus, saluran pencernaan, tiroid, jantung, paru-paru, dan ginjal). Biasanya menyerang wanita lebih banyak daripada pria antara usia 30 dan 50 tahun. Sekitar 30% penderita skleroderma meninggal dalam kurun waktu lima tahun setelah serangan. Penyebab penyakit multisistem ini masih belum diketahui. Muncul dalam berbagai bentuk:

 Jaringan yang diserang menunjukkan banyak 

aktivasi CD4+sel T, yang mentrigger sintesis kolagen di fibroblas melalui IL-1 dan IL-2. Peningkatan deposit kolagen di ruang ekstraseluler menyebabkan sklerosis pada jaringan ikat. Pada pembuluh darah, deposit kolagen menyebabkan kerusakan endotel dan penghambatan karena proliferasi intimal. Pada akhirnya menghasilkan penebalan dan indurasi pada kulit, disfungsi pada organ dalam yang terserang, dan infark oleh kerusakan pembuluh darah

 Gejala awal dari skleroderma adalah Sindrom

Raynaud, menurunnya aliran darah ke jari-jari tangan

dan kaki yang menyebabkan kebas dan sakit. Penyakit ini dapat berkembang menjadi sklerodaktil. Karakteristik penderita skleroderma pada wajahnya nampak microstomia dan hidung datar. Fibrosis miokardial dan fibrosis bilateral basal pulmonari terjadi pada 40% penderita skleroderma yang mungkin disebabkan oleh oleh parameter inflamasi CRP dan ESR yang digunakan untuk mendeteksi autoantibodi tipikal pada serum pasien.

(16)

 Sindrom CREST yang terdahulu digunakan dalam menentukan penyakit skleroderma,

dimana akronim ini dibuat dari kata pertama pada karakteristik gejala penyakit ini yaitu calcinosis (C), Raynaud’s syndrome (R), esophagus dismotility (E), sclerodactily (S), telangiectasis (T).

Pada keadaan tertentu digunakan terapi imunosupresif dengan steroid. Antagonis kalsium digunakan untuk mengobati kelainan sirkulasi yang berhubungan dengan Sindrom Raynaud. Prostaglandin digunakan untuk ulserasi kulit, prostasiklin terbukti efektif untuk angiopati.

4. Dermatomiositis

Adalah salah satu gangguan radang menyebar yang tidak diketahui penyebabnya, menghasilkan kelemahan otot serat lintang disertai dengan keterlibatan kulit yang terpapar langsung dengan cahaya (manifestasi umumnya terdapat heliotrope rash), otot-otot utama dari bahu dan otot pinggang, leher, dan faring. Terdapat karakteristik berbentuk papuloid di daerah kulit yang disebut Gottron’s sign di daerah ruas jari. Awalnya terdapat ruam berwarna merah biasanya muncul di wajah, leher, punggung sebelah atas, dada, lengan sekitar dasar kuku. Ruam keunguang yang khas muncul di pelupuk mata diikuti dengan pembengkakan sekitar mata. Lesi berujung pipih berwarna ungu muncul di daerah sendi-sendi jari tangan. Penyakit ini berkembang perlahan dan pada kasus tertentu, dermatositosis berbahaya lebih umum terjadi pada usia diatas 40 tahun.

(17)

Penyakit dermatomiositis dicurigai disebabkan oleh reaksi autoimun dimana sel T penderita tidak mengetahui dengan tepat antigen jaringan otot sebagai benda asing dan menyerang jaringan otot yang menyebabkan degenerasi jaringan otot secara lokal dan menyebar (regenerasi sel-sel otot baru kemudian mengikuti, menghasilkan remisi). Disisi lain, dermatomiositis dapat dicirikan oleh adanya vaskulitis bersamaan dengan inflamasi perivaskular di bawah pengaruh sel T CD4+. Pada kasus ini, kematian miosit terjadi sebagai efek sekunder dari lesi pembuluh darah.

Penyakit dermatomiositis muncul di perimisial pembuluh darah. Oleh karena itu, kerusakan pembuluh darah adalah elemen utama pada patogenesis penyakit ini. Iskemia mengawali kematian sekunder dari sel otot, dapat dikatakan karena keterlibatan perivaskular. Berbeda dengan poliomiositis dimana mekanisme terjadinya penyakit ini dimediasi oleh MHC kelas I, ekspresi menyimpang oleh antigen HLA kelas I terjadi di permukaan sel otot, yang normalnya HLA negatif. Sel sitotoksik kemudian menganggap perubahan miosit adalah zat asing dan harus diserang.

Terapi kortikosteroid dosis tinggi menyembuhkan radang dan menurunkan kadar enzim otot. Bila respon tidak baik terhadap kortikosteroid dapat diberikan obat imunosupresan secara IV dan dibutuhkan terapi pendukung meliputi istirahat total selama fase akut.

(18)

C. HIPERSENSITIVITAS

Pada keadaan normal, kontak kedua atau selanjutnya dengan antigen yang sama akan menimbulkan respons imun sekundar yang lebih kuat. Pada hipersensitivitas, respons sekunder tersebut terjadi secara menyimpang atu berlebihan sehingga menyebabkan reaksi radang atau kerusakan jaringan. Coombs dan Gell mendefinisikan empat tipe reaksi hipersensitivitas. Realsi hipersensitivitas tipe I sampai III diperantarai antibodi, sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe IV diperantarai sel T dan makrofag.

Hipersensitivitas Tipe I

Reaksi hipersensitivitas (reaksi tipe segera) merupakan reaksi jaringan yang terjadi dalam waktu cepat (detik-menit) setelah pajanan antigen dengan IgE yang berikatan dengan sel mast pada permukaan sel mast host. Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan perubahan respons imun tubuh terhadap bahan yang ada dalam lingkungan hidup sehari-hari. Reaksi ini diawali oleh masuknya antigen yang disebut sebagai alergen karena memicu terjadinya reaksi alergi. Banyak alergen ditemukan pada lingkungan sehari-hari dan sifat alergen adalah individual karena hanya susceptible terhadap alergen tertentu saja. IgE merupakan faktor sentral penyebab degranulasi sel mast sehingga terjadi rilis histamin yang bertanggung jawab

(19)

terhadap manifestasi klinis pada reaksi hipersensitivitas tipe 1. Reaksi ini bersifat lokal misalnya pada seasonal rhinitis, asma, dan reaksi anafilaksis.

Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat ditentukan secara jelas:

a. Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh alergen dan menghilang setelah 60 menit.

b. Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel radang akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran  jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.

Mediator-mediator yang dilepaskan oleh Sel Mast

Aksi Mediator

Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler.

Histamin

PAF (Platelet activating faktor) Leukotrin (C4,D4,E4)

Protease neutral yang mengaktifkan komplenen dan kinin Prostaglandin D2

Spasme otot polos Leukotrienes C4, D4, E4

Histamin Prostaglandins

PAF (Platelet activating faktor)

Infiltrasi seluler Sitokines (misalnya, chemokines, TNF) Leukotrien B4

(20)

Manifestasi Klinis

Reaksi tipe 1 dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Seringkali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya bisa lebah atau penisilin) secara sistemik (parenteral) menimbulkan anafilaksis. Dalam beberapa menit setelah pajanan pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mucus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernapasan bagian atas. Otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik  (syok anafilaksis), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit. Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai dengan jalur pemajannya, seperti kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus

(21)

gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi dikendalikan secara genetik, dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi tersebut. Pasien yang menderita alergi nasobronkial (seperti asma) seringkali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetik atopi belum dimengerti secara jelas; namun studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi.

Hipersensitivitas tipe II (sitotoksik dimediasi antibodi)

Pada bentuk hipersensitivitas ini, antibodi terhadap antigen permukaan suatu sel melekat pada sel tersebut dan mengakibatkan kehancuran sel dengan cara mengaktifkan sel pembunuh (kiler ) sitotosik, meningkatkan fagositosis atau menyebabkan lisis melalui aktivasi komplemen. Mekanisme penghancurannya merupakan refleksi proses fisiologi normal untuk  membunuh mikroorganisme patogen.

1. Reaksi yang bergantung komplemen

Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme : lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerang membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Hal ini terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom eksogen dan/atau metabolit toksik (misalnya, sindrom Goodpasture). Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh an tibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut :

 Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak sesuai dirusak 

setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen golongan darah donor.

 Eritroblastosis fetalis karena inkompatibilitas antigen rhesus, antibodi maternal yang

melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan sel darah merah janin yang Rh-positif 

(22)

 Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan

oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya sendiri.

 Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya)

yang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah pemberian penisilin).

 Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibodi terhadap protein desmosom yang

menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis. 2. Sitotoksisitas selular bergantung antibodi

Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisiskan tanpa fagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipun secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi IgG, dalam kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakan adalah antibody IgE.

3. Disfungsi sel yang diperantarai antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot-otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang sel epitel tiroid dan menyebabkan hipertiroidisme.

Hipersensitivitas tipe III (dimediasi kompleks imun)

Terjadinya reaksi kompleks imun dirangsang oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi di dalam sirkulasi jaringan. Reaksi ini mengakibatkan aktivitas komplemen, renspons radang polimorfonuklear, dan kerusakkan jaringan. Tipe hipersensitivitas ini ditemukan pada infeksi mikroba persisten tertentu yang membentuk sejumlah besar kompleks dan tidak dapat dibersihkan secara sempurna oleh sistem retikuloendotelial. Kompleks ini mengendap pada jaringan seperti glomerulus, sinovium, dinding pembuluh darah, serta mengakibatkan kehancuran jaringan tersebut.

(23)

Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa, dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umunya kompleks yang besar dapat denang mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk  dimusnahkan,karena itu dapat lebih lama berada disirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit untuk dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada didalam sirkulasi untuk waktu yang lama, biasanya tidak  berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.

Ada dua bentuk pengendapan kompleks imun yang terjadi dalam reaksi hipersensitivitas tipe III :

1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah.

Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten, bahan yang terhirup, atau dari jaringan sendiri. Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tannpa adanya respon antibodi yang efektif. Koompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 (bisa juga IgA) diendapkan dimembran basal vaskuler dan membran basal ginjal yang menimbulkan reaksi inflamasi lokan dan luas. Kompleks yang terjadimenimbulkan agrerasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas vaskuler, aktivasi sel mast, produksi dan pelepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik disertai dengan influx neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan setempat.

2. Kompleks imun mengendap di jaringan.

Hal yang memungkinkan terjadinya oengendapan kompleks imun dijaringan ialah ukuran kompleks imun yang kecil, dan permeabilitas vaskuler yang meningkat, antara lain karena histamin yang dilepas sel mast.

Bentuk reaksi dari hipersensitivitas tipe III dibagi menjadi dua yakni reaksi lokal dan reaksi sistemik.

1. Reaksi lokal atau fenomena arthus .

Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci intradermal berulang kali ditempat yang sama dan menemukan reaksi yang makin menghebat ditempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi eritme ringan dan edem dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang ke esokan harinya. Suntikan kemudian menimbulkan edem yang lebbih

(24)

besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut fenomerna arthus yang merupakan reaksi dari kompleks imun antibodi yang ditemukan adalah jenis presipitin.

Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskuler dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan local dan vaskuler akibat akumulasi cairan (edem) dan SDM (eritma) sampai nekrosis. C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, nmeningkatkan permeabilitas vaskuler yang dapat menimbulkan edem, sebagai faktor kemotaktik. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos, dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi oto polos, degranulasi sel mast, peningkatan permebilitas vaskuler dan respon triple t erhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepaskan berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat.

2. Reaksi sistemik

 – 

serum sickness.

Antigen dalam jumlah besar yang masuk ke dalam sirkulasi darah dapat membentuk  kompleks imun. bila antigen jauh berlebihan disbanding antibodi, komplelks yang dibantuk adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk dibersihkan fagosit sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan tipe III di berbagai tempat.

Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan darah yang meninggi disertai putaran arus, mi salnya dalam kapiler glomerulus, dll. Pada LES, ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun. Pada arthritis rheumatoid, sel plasma dalam sinovium membentuk anti IgG ( Fr berupa IgM) dan membentuk kompleks imun di sendi.

Komplemen juga menimbulkan agrerasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan inflamasi.

Faktor-Faktor Yang Berpengaruh yaitu:

(25)

Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu.

 Kelas Imunoglobulin

Kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan-lahan dari sirkulasi, tetapi IgA tidak melekat pada eritrosit dan tidak dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi.

 Aktivasi komplemen

Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dapat mencegah pengendapan kompleks imun karena C3b yang terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks imun yang besar.

 Permeabilitas pembuluh darah

Penyulut yang penting untuk pengendapan kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas vaskular, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya peningkatan penglepasan vasoactive amine.

 Proses hemodinamik 

Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengendap di glomerulus di mana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding percabangan arteri dan tempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus choroid.

Hipersensitivitas tipe IV (seluler, tipe lambat)

Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini tidak dimediasi oleh antibodi, tetapi dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen. Memerlukan waktu sekitar 2-3 hari untuk berkembang. Berdasarkan keadaan kliniknya tipe IV dapat dibagi menjadi reaksi kontak, tuberkulin, dan granuloma yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut.

Type Reaction time

Clinical appearance

Histology Antigen and site

Kontak 48-72  jam

eczema Limfosit diikuti makrofag; edema epidermis

epidermal (organic chemicals, poison ivy, heavy metals, etc.)

(26)

Tuberkulin 48-72  jam

Indurasi lokal Limfosit, monosit, makrofag intradermal (tuberkulin, lepromin, etc.) Granuloma 21-28 hari Pengerasan (hardening) makrofag, epitheloid dan giant cells, fibrosis

antigen persisten atau keadaan asing tubuh (tuberkulosis, leprosy, etc.)

Terjadinya reaksi ini disebabkan oleh infeksi mikroorganisme yang bersifat i ntraseluler atau suatu antigen tertentu, misalnya :

bakteri : Mikobakterium tbc., Mikobakterium lepra, Isteria monocytogenes, Brucella abortus  jamur : Pneumocytis carinii, Candida albicans, Histoplasma capsulatum, Cryptococcus

neoformans parasit : Leishmania sp

virus : herpes simplex, variola ( smallpox), measles

kontak antigen : hair dyes, nikel salt, poison ivy, picrylchloride

Hipersensitivitas ini tergantung pada limfosit T yang tersensitisasi saat kontak dengan antigen yang terikat makrofag. Limfosit T kemudian berproliferasi dan melepaskan berbagai sitokin. Reaksi ini mengakibatkan akumulasi sel-sel radang yang terlokalisasi dan kerusakan  jaringan.

Tabel Perbandingan Antara Reaksi Tipe I, II, III, & IV Karakteristik Tipe I

(anafilaktik)

Tipe II (sitotoksik)

Tipe III (kompleks imun)

Tipe IV (tipe lambat)

Antibodi IgE IgG, IgM IgG, IgM Tidak ada

Antigen Eksogen Permukaan sel soluble Jaringan dan organ

Waktu respon 15-20 menit Menit-jam 3-8 hr 48-72 hr Ciri-ciri Weal and flare Lisis dan

nekrosis

Eritema, edema, dan nekrosis

Eritema dan indurasi Histologi Basofil dan

eosinofil Antibodi dan komplemen Komplemen dan neutrofil Monosit dan limfosit Diperantarai Antibodi Antibodi Antibodi Sel T Contoh Alergi karena

asma, rhinitis

Eritroblastosis fetalis

(27)

D. OBAT TERAPI KELAINAN IMUNOLOGI

Terapi Antihistamin

a.

Antagonis Reseptor H1 (AH1)

A. Farmakodinamik 

1. Bermanfaat dalam mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen yang berlebihan.

2. AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos bronkus dan usus.

3. Efektif menghambat kerja histamin pada peningkatan permeabilitas kapiler dan edema. 4. Efektivitas AH1 melawan hipersensitivitas bergantung pada seberapa besar kerja

histamin pada hipersensitivitas tersebut, karena hipersensitivitas dipengaruhi oleh banyak faktor.

5. AH1 tidak dapat menghambat efek kerja histamin pada sekresi asam lambung, tetapi

dapat mengurangi hipersekresi kelenjar eksokrin lainnya akibat histamin.

6. AH1 dapat merangsang atau menghambat kerja SSP. Efek perangsangannya dapat

berupa insomnia, gelisah, dan eksitasi. Dosis terapi AH1 biasanya menyebabkan

penghambatan kerja SSP berupa kantuk, berkurangnya kewaspadaan, dan waktu reaksi yang lambat.

7. Golongan etanolamin (difenhidramin) yang paling jelas menyebabkan kantuk.

8. Antihistamin generasi II (terfenadin, astemizol, loratidin, akrivastin, dan setirizin) tidak atau sangat sedikit menembus sawar darah otak, sehingga tidak menimbulkan kantuk, gangguan atau efek lainnya pada SSP, dan disebut sebagai antihistamin nonsedatif 

B. Farmakokinetik 

1. AH1 diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral atau parenteral.

2. Efeknya timbul 15 – 30 menit setelah pemberian oral atau maksimal 1  – 2 jam.

3. Kadar tertinggi terdapat di paru-paru. Di limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah.

4. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi juga ada di paru-paru dan ginjal.

(28)

Terapi Antialergi

a. Natrium Kromolin A. Farmakodinamik 

1. Tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lainnya, dan tidak menghambat respon otot tersebut terhadap berbagai obat yang bersifat spasmogenik.

2. Menghambat pelepasan histamin dan autakoid lainnya termasuk leukotrien dari paru-paru pada proses alergi yang diperantarai IgE., dengan demikian mengurangi bronkospasme.

3. Terutama penting pada pasien asma bronkial, karena leukotrien adalah penyebab utama bronkokonstriksi.

4. Bekerja pada sel mast paru-paru. Tidak menghambat ikatan IgE dengan sel mast tersebut atau interaksi IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekan respon sekresi akibat reaksi tersebut

B. Farmakokinetik 

1. Diabsorpsi amat buruk setelah pemberian oral, karena itu untuk pasien asma bronchial diberikan dengan inhalasi.

2. 10% bubuk halus kromolin mencapai paru-paru bagian dalam, kemudian diabsorpsi ke aliran darah.

3. Waktu paruhnya kira-kira 80 menit.

4. Tidak dibiotransformasi, 50% diekskresikan dalam bentuk asal bersama urin, dan 50% bersama empedu.

b. Nedokromil

Mirip kromolin, hanya diberkan untuk pasien asma berusia 12 tahun ke atas. c. Ketotifen

1.

Ketotifen fumaratdiabsorpsi dari saluran cerna

2.

Bentuk utuh dan metabolitnya diekskresi bersama urin dan tinja. d. Kortikosteroid

Mempengaruhi sistem imun obat ini yang paling efektif untuk terapi karena tidak ada efek sampingnya. Mekanisme kerja :

1. Mengurangi sintesis asam arakidonat dan COX-2

2. Diperikrakan meningkatkan reseptor beta adrenoseptor padasaluran nafas

(29)

4. Mengurangi vasodilatasi, kongesti, dan edema

5. Menstabilisasi membran epitel hidung dan endotel kapiler 6. Mengutang sensitivitas reseptor terhadap irritant

7. Mengurangi efek stimulasi kolinergik (parasimpatis)

(30)

Respon imun spesifik secara sederhana dibagi dalam 2 kategori yaitu: respon yang dimediasi oleh sel dan respon yang dimediasi oleh antibodi. Respon imun yang dimediasi oleh sel dibawakan oleh sel limfosit T. Limfosit T berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi beragam sel efektor termasuk sel T helper dan sel T sitotoksik. Sel T sitotoksik secara spesifik menyerang dan membunuh mikroorganismee pada sel hospes yang rusak atau karena terinfeksi patogen. Sel T helper memproduksi sitokin sitokin merangsang pematangan sel B sehingga sel B memproduksi antibodi yang mampu membunuh organisme yang mengifeksi.

Respon imun yang dimediasi oleh antibodi adalah merupakan protein spesifik yang dihasilkan oleh limfosit B. karena protein bersifat menimbulkan reaksi fungsi imunologis dan memiliki struktur globular pada keadaan aktif maka disebut j uga immunoglobulin.

Antibodi disekresikan ke dalam darah atau cairan limpa (kadangkala pada cairan tubuh lainnya) oleh sel B limfosit atau tetap melekat pada permukaan sel limfosit atau sel lain. Karena sel yang terlibat dalam kategori respon imun ini berada dalam sirkulasi darah tipe imunitas seperti ini disebut juga imunitas humoral. Untuk keperluan penentuan antibodi pada pasien yang telah diproduksi ketika proses melawan infeksi serum pasien (atau kadangkala plasma) diperiksa untuk mengetahui adanya antibodi. Mempelajari diagnosa suatu penyakit berdasarkan penentuan kadar antibodi dalam serum disebut serologi.

Karakteristik Antibodi

Secara genetik manusia memilki kemampuan untuk memproduksi secara langsung antibodi spesifik terhadap hampir semua jenis antigen baik melalui kontak selama hidup dan oleh pengenalan tubuh sebagai benda asing. Antigen dapat berupa bagian struktur fisik atau bahan kimia yang diproduksi dan dilepaskan oleh patogen misalnya eksotoksin. Satu patogen dapat mengandung atau memproduksi banyak antigen yang berbeda-beda yang dapat dikenali oleh hospes sebagai benda asing sehingga infeksi oleh satu agent penyakit dapat menimbulkan produksi antibodi yang berbeda-beda. Sebagai tambahan beberapa antigen memiliki sifat tidak dapat dikenali oleh sel hospes apabila antigen tersebut tidak melalui proses perubahan fisik sebagai contoh sebelum bakteri patogen dicerna oleh leukosit polimormonuklear beberapa antigen pada permukaan sel tidak dapat dikenali oleh sistem imun sekali bakteri tersebut pecah antigen inilah yang akan dikenali sehingga terbentuk  antibodi untuk melawan antigen tersebut. Berdasarkan alasan tersebut pasien dapat memproduksi antibodi yang berbeda pada saat infeksi oleh satu jenis penyakit. Respon imun akan semakin matang dengan adanya paparan yang berulang dan antibodi yang terbentuk  akan lebih spesifik dan lebih dapat terikat dengan kuat.

(31)

1. Melekat pada permukaan patogen dan membuat patogen lebih dapat diterima oleh sel fagosit (opsonisasi antibodi)

2. Berikatan dan menghalangi reseptor permukaan pada sel hospes (antibodi netralisasi) 3. Melekat pada permukaan sel patogen dan berperan dalam penghancuran dengan aktifitas lisis sistem komplemen (fiksasi komplemen antibodi).

Meskipun metode diagnostik serologi rutin biasanya hanya mengukur dua kelas antibodi yaitu IgM dan IgG terdapat lima kelas antibodi yang berbeda yaitu : IgG IgM IgE IgA dan IgD. Pada struktur antibodi terdapat tempat melekatnya antigen (antigen binding site) yang bersifat spesifik pada setiap antibodi yang terbentuk. Berdasarkan spesifitas antibodi antigen dengan beberapa kesamaan tetapi tidak identik dapat berikatan pula dengan antibodi disebut dengan reaksi silang. Komplemen-binding site terletak ditengah-tengah struktur molekul dan semua sama pada setiap kelas antibodi. IgM merupakan respon pertama untuk beberapa antigen walaupun jumlahnya yang tinggi hanya bersifat sementara. Sehingga dengan adanya IgM menandakan bahwa baru terinfeksi atau permulaan infeksi aktif. Dilain pihak IgG merupakan antibodi yang dapat tetap bertahan lama sampai setelah infeksi hilang. Struktur molekul IgM terdiri dari lima monomer antigen dengan sepuluh antigen binding site.

Respon imun humoral yang bermanfaat dalam pengujian diagnostik

Sistem imun manusia mampu memproduksi baik antibodi IgM atau IgG dalam hampir semua patogen. Pada kebanyakan kasus IgM diproduksi oleh pasien hanya setelah interaksi pertama dengan patogen dan tidak lagi terdeteksi setelahnya dalam waktu singkat. Untuk  kepentingan diagnosa secara serologis perbedaan yang penting dari IgM dan IgG adalah IgM tidak dapat menembus plasenta dari ibu hamil sehingga apabila IgM terdeteksi pada serum bayi baru lahir pasti telah dibuat oleh bayi itu sendiri. Dengan molekul yang besar dan jumlah antigen-binding site IgM dapat membantu mempercepat melenyapkan patogen.

IgG merupakan antibodi yang lebih spesifik terhadap antigen walaupun IgG hanya memiliki dua antigen binding site tapi dapat pula terikat pada komplemen. Ketika IgG terikat pada antigen dasar molekul akan melekat dan terikat pada membran sel fagosit meningkatkan kemampuan menelan dan penghancuran patogen oleh sel hospes. Pertemuan kedua dengan antigen yang sama biasanya hanya menimbulkan respon IgG. Karena sel B limfosit menyimpan sel memori dari patogen tersebut sehingga dapat lebih cepat merespon dan lebih banyak dihasilkan antibodi dibandingkan dengan interaksi pertama. Respon cepat tersebut dinamakan respon anamnestik. Karena sel B memori tidak sempurna kadangkala kelompok  sel memori akan distimulasi oleh antigen yang mirip tapi tidak sama seperti antigen asal yang

Gambar

Gambar penghapusan
Tabel Self-Tolerance pada sel T dan B
Tabel Perbandingan Antara Reaksi Tipe I, II, III, & IV Karakteristik  Tipe I

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi bahaya yang memiliki nilai risiko tertinggi sebanyak 3 jenis kecelakaan kerja pada praktikum di Laboratorium SMK

Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh beberapa Seko- lah Dasar adalah Masih rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelaja- ran matematika materi bilangan Romawi serta

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti paparkan di bab sebelumnya baik dari hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara maupun dari hasil observasi,

Usaha bank menunjukkan sesuatu yang dijalankan oleh pihak bank didalam operasinya. Menerima simpanan dalam bentuk giro, deposito, tabungan.. Memberikan kredit terutama

Ketentuan pengendalian rencana disusun sebagai bagian proses penyusunan RTBL yang melibatkan masyarakat, baik secara langsung (individu) maupun secara tidak langsung

[r]

An cylostoma duodenal e dan Nector amer ican us (hookworm, cacing tambang) Larva infektif menembus kulit yang utuh, masuk sirkulasi, dan terbawa ke  paru; setelah matang, larva di

Usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pembelajaran baik itu tujuan, bahan, metode dan alat serta evaluasi merupakan sebuah tindakan nyata seorang guru di kelas dan