• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 SM Publish MEWASPADAI BAHAYA METAFORA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "3 SM Publish MEWASPADAI BAHAYA METAFORA"

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAHmanusia pada dasarnya satu, namun karena letak, bangsa yang jadi pelaku, serta situasi dan kondisi yang dihadapi berbeda, seolah-olah kita hanya mengenal sejarah kebangsaan. Bahkan ketika di antara manusia atau di antara kita saling berbentu-ran. Sejarah Indonesia sebagai perjalanan dan per-juangan kita pada dasarnya juga satu kesatuan. Namun karena sebagai kita memiliki penggalan-penggalan atau periode-periode, seolah-olah sejarah bangsa kita pun terpenggal-penggal.

Lebih-lebih dalam lingkup warga mengingat bangsa kita terdiri atas berbagai kelompok usia, kepentingan, dan budaya, sehingga menjadi tidak mulus dalam proses menuju kesatuan bangsa. Ada sejarah masa Majapahit, masa Islam, masa penjaja-han, masa orde demi orde setelah menjadi bangsa merdeka. Padahal kalau kita perhatikan, semua peng-galan sejarah itu memiliki kesinambungan dan ada benang merah yang menautkan.

Demikian juga di antara kelompok yang berbeda, selalu terjadi proses menepis perbedaan. Caranya yakni dengan kebulatan tekad. Bisa lewat pemba-ngunan monumen kebulatan tekad, mengucap sum-pah, ikatan perkawinan, atau berikrar prasetya. Bisa pula dengan mendeklarasikan kebulatan tekad.

Borobudur adalah monumen tengara bagi tekad untuk bersatu dari dua kekuatan sosial yang bernama dinasti Syailendra di Jawa dan di Sumatera. Menurut Moh Yamin, tidak ada penjajahan Jawa atas Sumatra, atau sebaliknya. Yang ada proses persatuan dengan kembalinya Balaputradewa dari Sumatera, yang ber-asal dari dinasti Syailendra, ke Jawa. Demikian pula ìmudiknyaî Airlangga dari Bali menyeberangi Selat Bali ke Jawa, lalu mengawini putri Raja Jawa, menandakan tekad mempersatukan Jawa-Bali dalam keprabuan Mataram Hindu.

Pada masa Majapahit muncul pula anak zaman untuk menyatakan Sumpah Palapa, sebuah tekad untuk tidak mengikuti arus perpecahan. Sumpah itu merupakan manifestasi dari konsep Bhinneka Tunggal Ika. Bisa berbeda kelompok dan kepenting-an, namun lebih mengutamakan kepentingan untuk bersatu. Lalu tampillah tokoh Gadjah Mada, yang sebenarnya bukan sosok yang disenangi semua pihak.

Gadjah Mada justru tokoh yang berani bertindak salah guna mengatasi perpecahan. Dia juga sosok kontroversial dan berisiko bisa ìmenyakiti hatiî pra-jurit Sunda demi mencapai cita-cita persatuan Nusantara di bawah Majapahit. Secara simbolis Gadjah Mada mengucap sumpah ìtidak akan makan

buah palapaî sebelum persatuan nasional tercapai. Pada masa terakhir penjajahan Belanda, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, sejumlah pemuda yang ter-gabung dalam Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) menggelar Kongres Pemoeda (KP) II di Jakarta. Mereka menyatakan kebulatan tekad untuk mengakui ikatan kesatuan Tanah Air, bangsa dan bahasa bernama Indonesia, serta mengesamp-ingkan berbagai perbedaan yang bersifat primordial, Peran Soekarno-Hatta

Memperhatikan perjalanan sejarah, kita akan melihat sejumlah tonggak kebulatan tekad anak-anak bangsa untuk mencapai tujuan sama, yaitu kesatuan bangsa demi kesatuan nasional. Demikian juga pelantikan presiden-wakil presiden terpilih: Jokowi-JK tanggal 20 Oktober 2014 menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda, merupakan tong-gak tekad bangsa ini menghargai hasil Pilpres 2014

demi kesatuan bangsa. Itulah benang merah yang menembus batas waktu penggalan-penggalan sejarah.

Bukan mencari-cari, namun fakta menunjukkan dari 71 anggota panitia Kongres Pemoeda II yang menghasilkan Sumpah Pemoeda 1928 tidak ada nama Soekarno-Moh Hatta. Mengapa tokoh nasion-alis sekaliber mereka seperti tidak terlibat dalam gerakan KP II yang menghasilkan Soempah Pemuda? Usia mereka masih muda. Tahun 1926 saat berusia 26 tahun Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia. Pada tahun itu pastilah dia dan Bung Hatta belum menjalani masa pembuangan karena sidang pengadilan baru digelar tahun 1933.

Apalagi dua tokoh itu nantinya menjadi presiden-wakil presiden pertama dengan sebutan Dwi Tunggal. Pastilah bukan karena keduanya tak sepa-kat dengan gagasan besar Soempah Pemoeda 1928 sehingga tidak mau bergabung. Bahkan banyak tokoh yang menjadi peserta kongres nantinya jadi kolega perjuangan ataupun pasangan kerja dalam menjalankan pemerintahan.

Kita bisa menyebut Moh Yamin, Wilopo, Amir Sjarifuddin, Arnold Mononutu, Sartono, Kasman Singodimedjo, Moh Roem, Johannes Leimena dan sebagainya.

Penyelenggara KP II adalah PPPI, sementara organisasi itu dibentuk dengan latar belakang tak sejalannya dengan penampilan dan kinerja partai-partai politik yang dianggapnya keras, lebih-lebih terhadap partai komunis. Lebih dari itu, ternyata kongres dihadiri oleh utusan penjajah, yaitu van der Plaas, yang anticita-cita persatuan nasional Indonesia. Patut kita duga pula bahwa penyelenggara kongres itu tak menghendaki keterlibatan Soekarno-Hatta. Karena itu, perlu ada kajian yang lebih mapan. (10)

— Abu Su’ud, guru besar emeritus Unnes, Guru Besar Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) Hari ini, 28 Oktober 2014, Indonesia

memperingati Hari Sumpah Pemuda. Dikumandangkan dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda merupakan pembenihan menuju kelahiran Indonesia sebagai sebuah bangsa. Mengutip Ben Anderson dalam bukunya A Time of Revolution: Occupation and Resistance (1944-1946), sejarah Indonesia adalah sejarah pergerakan pemuda. Tidak ada Indonesia apabila tidak ada Kongres Pemuda.

Sumpah Pemuda tidak menyodor-kan hasil instan. Semangat keindonesi-aan dan jiwa korsa nasionalisme itu baru mewujud 17 tahun kemudian dengan proklamasi kemerdekaan. Jika tidak dimulai dengan deklarasi ‘’satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa: Indonesia’’, Indonesia bakal sulit menja-di negara kesatuan yang berdaulat. Persoalan dan kolonialisme yang mendera bukan soal ringan bagi bang-sa yang sedang mnenegakkan identi-tas.

Meski demikian, menggali relevan-si nilai Sumpah Pemuda untuk kehidup-an berbkehidup-angsa saat ini juga bukkehidup-an perkara mudah. Musuh yang dihadapi bukanlah musuh berwajah kolonial-isme yang kejam. Sebaliknya, musuh yang dihadapi adalah tawaran-tawaran yang menggiurkan untuk dikonsumsi, yang berwajah seolah-olah bukan musuh tetapi sesungguhnya meng-gerus kesadaran kebangsaan. Nilai-nilai hegemonik tanpa disadari men-jauhkan identitas Indonesia dari kesadaran.

Tidak adil kalau membandingkan sosok-sosok pemuda saat ini dengan pemuda pada era perjuangan, ketika Kartini berusia 20-an tahun, Soekarno berusia 26 tahun, Tan Malaka berusia 16 tahun. Mohammad Hatta berusia 25 tahun, dan pemuda-pemuda lain yang menorehkan sejarah pergerakan pada usia muda. Cukup banyak pemuda-pemuda masa kini yang menorehkan prestasi yang tidak kalah dengan pen-dahulunya, meski tidak selalu torehan sejarah di bidang politik.

Keprihatinan kita lebih terfokus pada keadaan umum generasi muda saat ini yang terlalu lama menikmati masa kemudaan, dalam arti, masa kehidupan yang bergantung pada orang tua atau pihak penyandang dana. Rata-rata, warga muda Indo-nesia sudah berusia 25 tahun ketika menginjakkan kaki ke dalam kehidupan nyata sebagai insan yang mandiri. Pola hubungan kekerabatan bahkan masih memperpanjang kesempatan untuk tetap sebagai insan tidak mandiri.

Sistem mekanisme regenerasi kehidupan sosial-ekonomi-politik yang tercipta masih sangat minim mem-berikan semangat kemandirian. Akibatnya, semangat pergerakan pemuda terbelenggu oleh sistem yang kita ciptakan sendiri. Tidak menga-getkan ketika muncul keluhan soal etos generasi muda yang terkesan tidak serius terhadap persoalan-per-soalan kehidupan. Sumpah Pemuda akan relevan apabila sistem yang mengerdilkan manusia segera kita bongkar.

SELASA,

28 OKTOBER 2014

Pengerdilan Semangat Pergerakan Pemuda

Presiden Joko Widodo diam-diam memberi pesan simbolik mulai dari saat menyusun, ketika mengu-mumkan Kabinet Kerja, dan setelah melantiknya. Sikap agar anggota kabinetnya benar-benar bersih lewat catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan & Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merupakan startyang men-janjikan untuk membentuk penye-lenggara negara dan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Sikap kabinet bersih itu diperkuat dengan simbolisasi baju warna putih, dengan lengan digulung, yang tentu tak sekadar ”pakaian” ekstrinsik, melainkan lebih ke warna hati sebagai substansi tujuan yang intrinsik. Lalu bagaimana Presiden Jokowi meminta agar nama-nama yang diumumkan berjalan cepat, berlari ke barisan menteri, menggambarkan kehendak agar kabinetnya biasa bekerja cepat dan cekatan dalam merespons tuntu-tan kebutuhan pekerjaan.

Rapat pertama kabinet Senin kemarin setelah pelantikan juga menunjukkan Jokowi dan Jusuf Kalla ingin segera berjalan dengan memini-malkan seremoni. Respons terhadap pengumuman menteri-menteri, yang oleh sejumlah pengamat disebut kurang ”wow!” patut kita pahami seba-gai ungkapan pengharapan yang sebenarnya tinggi, namun ada sejum-lah nama yang boleh jadi ”andai tidak dipilih akan lebih memperkuat kredibiIitas Kabinet Kerja”.

Terdapat sejumlah nama yang menyebabkan kabinet Jokowi dinilai tidak istimewa. Gambaran tentang koordinasi tugas dan kewenangan dengan nomenklatur kementerian yang baru juga diperkirakan butuh adaptasi waktu, sehingga pekerjaan kementerian akan banyak diribetkan oleh urusan-urusan teknis organisasi. Kritik-kritik itu tetap harus diterima sebagai bagian dari ekspektasi, yang diharapkan justru mendorong produk pembuktian kinerja.

Gaya kepemimpinan Jokowi yang sederhana untuk langsung ke fokus persoalan, akan mendekon-struksi model presiden-presiden sebelumnya yang lebih taat alur birokrasi. Kemembumian untuk ”melawan” cencangan kultur normatif harus ditangkap oleh para menteri sebagai semacam tipe pengawasan langsung. Presiden akan selalu men-gontrol dengan menagih kepada para menterinya setiap masalah masyara-kat yang membutuhkan solusi.

Kita akan menghadapi gaya pe-nyelenggaraan negara dan pemerin-tahan yang kasual. Di tengah harap-an tinggi rakyat, tharap-antharap-angharap-an awal untuk penyesuaian subsidi harga bahan bakar minyak misalnya, bakal uji ”saraf” kabinet terutama meng-hadapi logika peta politik parlemen. Juga bagaimana nasib Kurikulum 2013 yang penuh komplikasi, akan memperlihatkan seberapa cekatan para pendekar dalam Kabinet Kerja memainkan jurusnya.

Beri Kesempatan Kabinet Bekerja

DPRD tantang Sekda Jateng akhiri blok-blokan.

Padahal banyak blok: blok Pak Sri, Mas Pur, Bang Yon, dan blok Pak No...

* * *

Menteri Kelautan Susi , lulus SMP mampu beli 50 pesawat.

Coba kalau lulus SMA, bisa 100 pesawat...

(Lebih suka sewa pesawat ramai-ramai)

Berhubung email lama mengalami gangguan, kini kirimkan artikel

wacana nasional (hal 6) ke: wacana_nasional@suaramerdeka.com.

dan: wacana.nasional@gmail.com. Panjang maksimal 7.000 karakter with space, sertakan pasfoto pose santai. (Red)

Email Baru

Meniti dari Sumpah ke Sumpah

Patut kita duga bahwa

penyelenggara Kongres Pemoeda II

tak menghendaki keterlibatan

Soekarno-Hatta

Oleh

Abu Su’ud

BAHASAsebagai salah satu sarana berpikir (ilmiah) —di samping logika, matematika, dan statistika— memang unik karena memiliki dua tataran. Bahasa objek, dalam tataran pertama adalah deno-tasi, yakni bahasa apa adanya. Adapun metabahasa, tataran kedua adalah kono-tasi, yang mencakupi imajinasi manusia: improvisasi dan kreativitas bahasa yang tidak terbatas.

Kamar kecil dalam bahasa objek ada-lah kamar berukuran kecil, sementara dalam metabahasa bisa berarti toilet dan sejenisnya. Dalam tataran metabahasa ini-lah, metafora terlahir dan terjadi, dan kita gunakan untuk berkomunikasi sehari-hari, yakni menyebut sesuatu dengan memin-jam properti semantik sesuatu lainnya.

Santun atau berbahayakah metafora? Mari cermati di sekitar kita. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah menyadari menggunakan metafora. Mengingat metafora bersifat tidak lang-sung (nonliteral), di sana kita melihat kesantunan. Menyebut kamar kecil misal-nya, lebih santun ketimbang toilet, dan minta ’’izin ke belakang’’ terdengar lebih sopan daripada kata apa pun yang men-gacu aktivitas di kamar mandi/ WC.

Namun ada bahaya yang perlu dicer-mati andai berkait media massa dan dunia politik. Pasalnya hal itu melibatkan massa yang membaca, bertanya-tanya, dan mungkin tidak berterima. Mengapa metafora, yang bersifat tak langsung itu, bisa berbahaya?

Sebagian pemirsa televisi tentu ingat ketika salah satu tayangan televisi mem-pertontonkan ada orang takut anjing lalu dihipnotis dan disugesti supaya sewaktu melihat binatang itu, sama dengan melihat wajah Benyamin Sueb. Tayangan itu lang-sung membuat marah budayawan yang concernbudaya Betawi, termasuk warga Betawi. Akibatnya, program tayangan itu harus ditutup.

Salah satu kandidat Pilpres 2014 pun disebut kucing kampung oleh lawan poli-tiknya. Ahok, Wagub DKI Jakarta, disebut kutu loncat. Metafora semacam itu menja-di berbahaya karena mencoreng nama baik

seseorang atau melukai perasaannya. Apalagi bila nama baik dan perasaan itu milik masyarakat atau massa yang men-dukungnya.

Menjadi berbahaya bila reputasi dan kehormatan seseorang begitu saja ditem-peli properti semantik dari entitas ’’binatang’’, terlebih bila properti semantik dari entitas tersebut negatif. Bagi muslim, anjing tetap ’’negatif’’ meskipun ada yang benar-benar lucu. Kucing bisa positif atau negatif namun tambahan kata kampung membuatnya negatif.

Adapun kutu tetap negatif, apalagi ditambah loncat. Ketidaklangsungan

dalam metafora memang demi menjaga kesantunan namun properti semantik dari binatang ’’tertentu’’ mengempaskan kesantunan itu jadi ketidaksantunan (penghinaan, sindiran, menyakiti perasa-an, ketidakpercayaperasa-an, dan sebagainya). Kata Tabu

Hal itu berlaku untuk metafora semisal tikus berdasi, buaya darat, lintah darat, kumpul kebo, sapi perah, kupu-kupu malam dan sebagainya. Sifat ontologis metafora yang tidak langsung juga mem-buat dunia hukum tak berkutik, tidak bisa memprosesnya meskipun ada pencemaran nama baik pihak tertentu. Belum lagi andai dibalut kemelut proses persaingan politik.

Namun ada metafora ’’binatang’’yang masih positif sehingga tetap mengarah pada kesantunan karena lebih men-dasarkan ’’reputasi’’ positif dari binatang tersebut, kendati kita harus hati-hati men-erapkannya. Semisal mata elang, napas

kuda, sepasang merpati, garuda di dada, dan singa perkasa.

Metafora lain yang juga berbahaya adalah ancaman melalui teks ’’Peringatan: Merokok Membunuhmu!’’ Saya meng-anggap berbahaya karena membunuh ada-lah kata tabu yang seharusnya ’’tidak san-tun’’ disebarluaskan. Apalagi dalam jangkauan bacaan, pikiran, dan penalaran anak-anak. Memang peringatan tersebut metafora mengingat ’’pembunuhan’’ itu tidak terjadi secara langsung.

Anak-anak hanya akan melihat dan memahami kata ’’membunuh’’bukan dari proses panjang berpuluh-puluh tahun ter-pengaruh asap dan racun rokok yang merugikan kesehatan pengisapnya (buruk bagi kesehatan dan bisa mengakibatkan kematian). Hal itu berbeda dari teks ’’pen-jahat (bisa) membunuhmu’’ atau ’’binatang buas (dapat) membunuhmu’’.

Sebelumnya, bahasa objek yang dipakai adalah ’’Merokok Dapat Me-nyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi, dan Gangguan Kehamilan dan Janin’’, yang terdengar lebih santun. Pasalnya, bersifat tak langsung dan pengir-iman pesannya lebih efektif mengingat dipahami oleh perokok dewasa, jauh dari jangkauan pemahaman anak-anak.

Konteks yang seharusnya ditabukan dan dikuburkan, sebaiknya jangan dipub-likasikan dan disebarluaskan. Peringatan tersebut memang ideologi kesehatan dari pemerintah guna melawan ideologi ajakan merokok dari produsen. Namun berkait konflik ideologi (paradoks), siapa pun yang memasang atau memerintah mema-sang teks itu, harus mempertimbangkan pemahaman anak-anak.

Artinya, pencantuman teks itu pada kemasan rokok jangan semata-mata bertu-juan menakut-nakuti (memperingatkan) orang dewasa supaya tidak merokok. Mengapa dampak dari sisi bahasa tidak ter-pikirkan sebelumnya? Padahal metafora yang dianggap biasa dan tidak berbahaya ternyata berisiko menebar bencana buda-ya. (10)

— Dr Jumanto, PhD in Linguistics (Pragmatics) Universitas Indonesia, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Dian Nuswantoro Semarang

Mewaspadai Bahaya Metafora

Oleh

Jumanto

Wakil Pemimpin Redaksi : Gunawan Permadi. Redaktur Senior:Sri Mulyadi, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo. Redaktur Pelaksana : Ananto Pradono, Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo. Koordinator Liputan: Hartono, Edy Muspriyanto. Sekretaris Redaksi : Eko Hari MudjihartoStaf Redaksi :Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, Zaenal Abidin, Eko Riyono, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, Muhammad Ali, Bambang Tri Subeno, Simon Dodit, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso, Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Edi Indarto, Nasrudin, M.Asmu’i, Ali Arifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto, Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch, Agus Fathudin Yusuf, Petrus Heru Subono, Tavif Rudiyanto, M Jokomono, Saroni Asikin, Purwoko Adi Seno, Karyadi, Arswinda Ayu Rusmaladewi, Mohammad Saronji, Maratun Nashihah, Sarby SB Wietha, Mohamad Annas, Kunadi Ahmad, Ida Nursanti, Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, M Norman Wijaya, Noviar Yudho P, Yunantyo Adi S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Dian Chandra TB, Roosalina, Dicky Priyanto, Hasan Fikri, Tri Budianto, Wahyu Wijayanto, Leonardo Agung Budi Prasetya. Litbang :Djurianto Prabowo ( Kepala ),Dadang Aribowo. Pusat Data, Analisa dan Produksi: Dwi Ani Retnowulan (Kepala). Personalia:Sri Mulyadi (Kepala), Dyah Anggarini. RedakturArtistik: Toto Tri Nugroho (Koordinator), Joko Sunarto, Djoko Susilo, Sigit Anugroho. Kepala Pracetak: Putut Wahyu Widodo. Reporter Biro Semarang :Nugroho Dwi Adiseno ( Kepala), Surya Yuli Purwariyanto (wakil), Sutomo, Irawan Aryanto, Moh. Kundori, Adhitia Armitrianto, Rosyid Ridho, Yuniarto Hari Santosa, Maulana M Fahmi, Fani Ayudea, Hartatik, Modesta Fiska Diana, Royce Wijaya Setya Putra. Biro Jakarta :Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan Djazadi, Budi Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, Saktia Andri Susilo, Kartika Runiasari, Mahendra Bungalan Dharmabrata, Wisnu Wijarnako.Biro Surakarta : Widodo Prasetyo (Kepala), Won Poerwono, Subakti ASidik, Joko Dwi Hastanto, Bambang Purnomo, Anindito, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Wisnu Kisawa, Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo, Yusuf Gunawan, Evi Kusnindya, Budi Santoso, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo, Basuni Hariwoto, Khalid Yogi Putranto, Budi Santoso. Biro Banyumas :Sigit Oediarto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Bahar Ibnu Hajar, Budi Setyawan. Biro Pantura :Trias Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, Nuryanto Aji, Arif Sur-yoto, Riyono Toepra, Dwi Ariadi, M Achid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan, Teguh Inpras Tribowo, Nur Khoerudin. Biro Muria :Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, Djamal AG, Urip Daryanto, Sukardi, Abdul Muiz, Anton Wahyu Hartono, Mulyanto Ari Wibowo, Ruli Aditio, Moch Noor Efendi, A Adib. Biro Kedu/DIY : Komper Wardopo (Kepala), Doddy Ardjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Nur Kholiq, Amelia Hapsari, Supriyanto, Sony Wibisono. Daerah Istimewa Yogyakarta: Sugiarto, Asril Sutan Marajo, Agung Priyo Wicaksono, Juili Nugroho. Bandung :Dwi Setiadi. Koresponden :Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118.Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ), 6581925. Faks : (024) 6580605. Alamat Redaksi Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon : (024) 8412600. Manajer Iklan :Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: Berkah Yuliarto, Manajer Markom: Yoyok Gumulyo. Manajer Riset dan Pengembangan :Adi Ekopriyono. Manajer TU :Amir AR. Manajer Keuangan :Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer Logistik/Umum :Adi P. Manajer HRD: Budi Susanto. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha:Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon: (024) 8412600. Faks : (024) 8411116, 8447858. ■HOT LINE 24 JAM024-8454333 REDAKSI:(024) 6580900 Faks (024) 6580605 EMAILREDAKSI: redaksi _ sumer@suaramerdeka.com Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan.

Direktur Operasional :Hendro Basuki

Direktur Pemberitaan :Sasongko Tedjo

Direktur SDM :Sara Ariana Fiestri

Pendiri :H Hetami

Komisaris Utama : Ir Budi Santoso

Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab :

Amir Machmud NS

Terbit sejak 11 Februari 1950

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dengan kaidah fiqh/ushul fiqh, maka penyelesaian pembagian gaji pegawai negeri sipil terhadap bekas istri lebih diserahkan pada atasan

Memilih inter<ensi (ukum Pareto).. Adakah murid yang tidak hadir kerana sikap negati9 terhadap pelajaran dan kerana $d$ guru telah diberikan khidmat kaunseling>. 0. Adakah

Jadi, asupan minyak kelapa akan segera diubah menjadi energi dan bukan disimpan sebagai lemak tubuh sehingga memiliki efek penurunan berat badan yang sangat positif

Kasus-kasus pemalsuan yang sering terjadi ini mengharuskan dikembangkannya metode analisis untuk menguji keaslian (authenticity) dari produk pangan

Berdasarkan pertimbangan tersebut, sistem penahan beban gravitasi yang dipilih untuk Gedung Indonesia-1 adalah Alternatif 1, dimana sistem lantai berupa pelat beton di atas

Anda telah mendapatkan hak penuh untuk membagikan E book Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya ini secara gratis!!.. Silakan

RENCANA PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PELINDUNGAN PENYELAMATAN PENGAMANAN PREVENTIF : DILAKSANAKAN OLEH JUPEL CB KURATIF DENGAN KONSERVASI DILAKSANAKAN OLEH