BAB II
KERANGKA TEORI
2.1Persediaan
2.1.1 Pengertian Persediaan
Setiap perusahaan baik perusahaan jasa, perusahaan dagang dan
perusahaan manufaktur selalu berusaha untuk mengadakan persediaan. Dengan
adanya persediaan maka perusahaan dapat menjalankan proses operasional
perusahaannya. Jika terjadi masalah terhadap persediaan suatu perusahaan, tentu
akan menganggu proses operasional yang sedang berlangsung dan hal ini tentu
dapat mengakibatkan kerugian terhadap perusahaan.
Untuk memperjelas pengertiaan persediaan, ada beberapa pendapat
mengenai pengertian persediaan diantaranya adalah:
1. Menurut Rangkuti (2004:1)
Pengertian mengenai persediaan dalam hal ini merupakan suatu aktiva yang
meliputi barang-barang milik perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam
suatu periode usaha tertentu, atau persediaan barang-barang yang masih dalam
pengerjaan/proses produksi, ataupun persediaan bahan baku yang menunggu
penggunaannya dalam suatu proses produksi.
2. Menurut Haming dan Nurnajamuddin (2014:4)
Persediaan (Inventory) adalah sumber daya ekonomi fisik yang perlu diadakan
dan dipelihara untuk menunjang kelancaran produksi, meliputi bahan baku
(raw material), produk jadi (finish product), komponen rakitan (component),
bahan pembantu (substance material), dan barang sedang dalam proses
3. Menurut Assauri (2016:225)
Persediaan (Inventory) adalah stok dari suatu item atau sumber daya yang
digunakan dalam suatu organisasi perusahaan.
2.1.2 Jenis-Jenis Persediaan
Menurut Rangkuti (2004:7), jenis-jenis persediaan menurut fungsinya
adalah sebagai berikut:
1. Batch Stock
Persediaan yang diadakan karena kita membeli atau membuat bahan-bahan
atau barang-barang dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah yang
dibutuhkan saat itu.
2. Fluctuation Stock
Persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan konsumen
yang tidak dapat diramalkan.
3. Anticipation Stock
Persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat
diramalkan, berdasarkan pola musiman yang terdapat dalam satu tahun dan
untuk menghadapi penggunaan, penjualan, atau permintaan yang meningkat.
Menurut Handoko (2011:334), setiap jenis persediaan memiliki
karakteristik khusus tersendiri dan cara pengelolaannya yang berbeda. Menurut
jenisnya, persediaan dapat dibedakan atas:
1. Persediaan bahan mentah (raw material)
Persediaan barang-barang berwujud seperti baja, kayu, dan
komponen-komponen lainnya yang digunakan dalam proses produksi. Bahan mentah
dan/atau dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses
produksi selanjutnya.
2. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts/components)
Persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang
diperoleh dari perusahaan lain, dimana secara langsung dapat dirakit menjadi
suatu produk.
3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies)
Persediaan barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak
merupakan bagian atau komponen barang jadi.
4. Persediaan barang dalam proses (work in process)
Persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian
dalam proses produksi atau yang telah dioleh menjadi suatu bentuk, tetapi
masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
5. Persediaan barang jadi (finished goods)
Persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik
dan siap untuk dijual atau dikirim kepada pelanggan.
Sedangkan menurut Assauri (2016:227), untuk menjalankan fungsi
inventory, perusahaan-perusahaan umumnya menjaga adanya empat jenis
inventory, yaitu:
1. Inventory bahan baku
Dibeli dalam keadaan belum diproses. Inventory ini digunakan secara terpisah
pasokannya dari proses produksi. Dalam penanganan Inventory bahan baku,
dari pemasoknya dalam kualitas, kuantitas, atau waktu deliverinya, sehingga
tidak perlu dipisah-pisahkan.
2. Inventory barang dalam proses atau Work-in-Process (WIP)
Adalah komponen-komponen atau bahan baku yang sedang dalam pengerjaan,
tetapi belum selesai. WIP ada karena dari waktu yang telah digunakan dalam
proses, yang berkaitan dengan produk dalam pembuatannya, disebut waktu
siklus atau cycle time. Terjadinya pengurangan cycle time, maka akan terjadi
pengurangan Inventory. Sering pelaksanaan tugas ini adalah tidak sulit.
Selama waktu produk dibuat, pada kenyataannya ada waktu nganggur atau
tidak jalan. Pada dasarnya waktu kerja atau run time adalah bagian kecil dari
waktu aliran material.
3. Maintenance/Repair/Operating Supplies (MROs)
Adalah mencurahkan untuk perlengkapan maintenance/repair/operating yang
dibutuhkan, agar dapat terjaga mesin-mesin dan proses dapat produktif.
MROs ini ada, karena terdapatnya kebutuhan dan waktu untuk perawatan dan
perbaikan dari peralatan, adalah tidak dapat diketahui. Walaupun demikian
permintaan untuk Inventory MROs adalah sering, dan merupakan fungsi dari
scheduling perawatan atau pemeliharaan, sedangkan yang lainnya merupakan
permintaan MROs yang tidak terjadwal, tetapi harus diantisipasi.
4. Inventory barang jadi
Adalah produk yang sudah selesai diproses dan menunggu pengiriman.
Barang jadi diinventorikan, karena permintaan dari para pelanggan pada masa
2.1.3 Fungsi Persediaan
Fungsi-fungsi persediaan menurut Rangkuti (2004:15) adalah sebagai
berikut:
1. Fungsi Decoupling
Adalah persediaan yang memungkinkan perusahaan dapat memenuhi
permintaan pelanggan tanpa tergantung pada supplier. Persediaan bahan
mentah diadakan agar perusahaan tidak akan sepenuhnya tergantung pada
pengadaannya dalam hal kuantitas dan waktu pengiriman. Persediaan barang
dalam proses diadakan agar departemen-departemen dan proses-proses
individual perusahaan terjaga “kebebasannya”. Persediaan barang jadi
diperlukan untuk memenuhi permintaan produk yang tidak pasti dari para
pelanggan. Persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan
konsumen yang tidak dapat diperkirakan atau diramalkan disebut fluctuation
stock.
2. Fungsi Economic Lot Sizing
Persediaan lot size ini perlu mempertimbangkan penghematan atau potongan
pembelian, biaya pengangkutan per unit menjadi lebih murah dan sebagainya.
Hal ini disebabkan perusahaan melakukan pembelian dalam kuantitas yang
lebih besar dibandingkan biaya-biaya yang timbul karena besarnya persediaan
(biaya sewa gudang, investasi, risiko, dan sebagainya).
3. Fungsi Antisipasi
Apabila perusahaan menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diperkirakan
dan diramalkan berdasar pengalaman atau data-data masa lalu, yaitu
persediaan musiman (seasional inventories). Disamping itu, perusahaan juga
sering menghadapi ketidakpastian jangka waktu pengiriman dan permintaan
akan barang selama periode tertentu. Dalam hal ini perusahaan memelukan
persediaan ekstra yang disebut persediaan pengaman (safety stock).
Menurut Assauri (2016:226), Inventory dapat memberikan beberapa fungsi,
yang akan menambah fleksibilitas operasi produksi suatu perusahaan. Sejumlah
fungsi yang diberikan Inventory, diantaranya adalah:
1. Untuk dapat memenuhi antisipasi permintaan pelanggan, dimana inventori
merupakan upaya antisipasi stok, karena diharapkan dapat menjaga
terdapatnya kepuasan yang diharapkan pelanggan.
2. Untuk memisahkan berbagai parts atau komponen dari operasi produksi,
sehingga dapat dihindari hambatan dari adanya fluktuasi, karena telah adanya
inventori ekstra guna memisahkan proses operasi produksi dengan pemasok.
3. Untuk memisahkan operasi perusahaan dari fluktuasi permintaan, dan
memberikan suatu stok barang yang akan memungkinkan dilakukannya
penseleksian oleh pelanggan. Inventory itu merupakan jenis upaya
membangun ritel.
4. Inventory berfungsi untuk memperlancar keperluan operasi produksi, dimana
inventory dapat membangun kepercayaan dalam menghadapi terjadinya pola
musiman, sehingga inventori ini disebut sebagai inventory musiman.
5. Untuk dapat memanfaatkan diskon kuantitas, karena dilakukannya pembelian
dalam jumlah besar, sehingga mungkin dapat mengurangi biaya barang atau
6. Untuk memisahkan operasi produksi dengan kejadian atau event, dimana
inventori digunakan sebagai penyangga di antara keberhasilan operasi
produksi. Dengan demikian, kontinuitas operasi produksi dapat terjaga, dan
dapat dihindari terdapatnya kejadian kerusakan peralatan, yang menyebabkan
operasi produksi terhenti secara temporer.
7. Untuk melindungi kekurangan stok yang dihadapi perusahaan, karena
terlambatnya kedatangan delivery dan adanya peningkatan permintaan,
sehingga kemungkinan terdapatnya risiko kekurangan pasokan.
8. Untuk memagari terhadap inflasi, dan meningkatnya perubahan harga.
9. Untuk memanfaatkan keuntungan dari siklus pesanan, dengan cara
meminimalisasi pembelian, dan biaya persediaan, yang dilakukan dengan
membeli dalam jumlah yang melebihi jumlah kebutuhan segera.
10.Untuk memungkinkan perusahaan beroperasi dengan penambahan barang
segera, seperti menggunakan barang yang sedang dalam proses.
Menurut Ginting (2007:124) lebih spesifik persediaan dapat dikategorikan
berdasarkan fungsinya sebagai berikut:
1. Persediaan dalam Lot Size
Persediaan muncul karena ada persyaratan ekonomis untuk penyediaan
(replishment) kembali. Penyediaan dalam lot yang besar atau dengan
kecepatan sedikit lebih cepat dari permintaan akan lebih ekonomis. Faktor
penentu persyaratan ekonomis antara lain biaya setup, biaya persiapan produksi
2. Persediaan Cadangan
Pengendalian persediaan timbul berkenaan dengan ketidakpastian. Peramalan
permintaan konsumen biasanya diprediksi peramalan. Waktu siklus produksi
(lead time) mungkin lebih dalam dari yang diprediksi. Jumlah produksi yang
ditolak (reject) hanya bisa diprediksi dalam proses. Persediaan cadangan
mengamankan kegagalan mencapai permintaan konsumen atau memenuhi
kebutuhan manufaktur tepat pada waktunya.
3. Persediaan Antisipasi
Persediaan dapat timbul mengantisipasi dapat terjadinya penurunan persediaan
(supply) dan kenaikan permintaan (demand) atau kenaikan harga. Untuk
menjaga kontinuitas pengiriman produk ke konsumen, suatu perusahaan dapat
memelihara persediaan dalam rangka liburan tenaga kerja atau antisipasi
terjadinya pemogokan tenaga kerja.
4. Persediaan Pipeline
Sistem persediaan dapat diibaratkan sebagai sekumpulan tempat (stock point)
dengan aliran di antara tempat persediaan tersebut. Pengendalian persediaan
terdiri dari pengendalian aliran persediaan dan jumlah persediaan akan
terakumulasi ditempat persediaan. Jika aliran melibatkan perubahan fisik
produk, seperti perlakuan panas atau perakitan beberapa komponen, persediaan
dalam aliran tersebut persediaan setengah jadi (work in process). Jika suatu
produk tidak dapat berubah secara fisik tetapi dipindahkan dari suatu tempat
penyimpanan ke tempat penyimpanan lain, persediaan tersebut disebut
transportasi disebut juga persediaan pipeline. Persediaan pipeline merupakan
total investasi perubahan dan harus dikendalikan.
5. Persediaan Lebih
Yaitu persediaan yang tidak dapat digunakan karena kelebihan atau kerusakan
fisik yang terjadi.
Selain fungsi-fungsi di atas, menurut Herjanto (1997:168) terdapat enam
fungsi penting yang dikandung oleh persediaan dalam memenuhi kebutuhan
perusahaan antara lain:
a. Menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman bahan baku atau barang yang
dibutuhkan perusahaan
b. Menghilangkan resiko jika material yang dipesan tidak baik sehingga harus
dikembalikan
c. Menghilangkan resiko terhadap kenaikan harga barang atau inflasi.
d. Untuk menyimpan bahan baku yang dihasilkan secara musiman sehingga
perusahaan tidak akan sulit bila bahan tersebut tidak tersedia di pasaran.
e. Mendapatkan keuntungan dari pembelian berdasarkan potongan kuantitas
(quantity discount)
f. Memberikan pelayanan yang baik kepada langganan dengan tersedianya
barang yang diperlukan
2.1.4 Alasan Adanya Persediaan
Menurut Assauri (2016:226), adapun maksud dari tersedianya inventory
ialah:
1. untuk menjaga indenpendensi dari operasi, dimana pasokan material pada
2. Untuk dapat memenuhi variasi dari permintaan produk, dimana permintaan
produk tidak dapat diketahui secara tepat, sehingga terdapat kesulitan untuk
menghasilkan produk secara tepat dalam memenuhi permintaan.
3. Untuk memungkinkan dapat dilakukannya fleksibilitas dalam scheduling
produksi, dimana disediakannya stok dari inventory guna menghilangkan
tekanan terhadap sistem operasi produksi.
4. Untuk memberikan usaha perlindungan atau penjagaan terhadap perbedaan
waktu delivery bahan baku, dimana terdapatnya keterlambatan atas
kedatangan material yang dipesan dari vendor.
5. Untuk memanfaatkan keuntungan ekonomis atas besarnya pesanan pembelian.
2.1.5 Biaya-Biaya Persediaan
Biaya-biaya sebagai pengambilan keputusan pengendalian persediaan
pada prinsipnya dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis menurut Ginting
(2007:127), yaitu:
1. Biaya Pembelian (Purchasing Cost = c)
Biaya pembelian (Purchasing Cost) dari suatu item adalah harga pembelian
dari setiap unit item tersebut berasal dari sumber-sumber eksternal, atau pun
biaya produksi per unit bila item tersebut berasal dari internal perusahaan atau
diproduksi sendiri oleh perusahaan.
2. Biaya Pengadaan (Procurement cost)
Procurement cost adalah biaya yang berubah-ubah sesuai dengan
a. Biaya Pemesanan (Ordering Cost = k)
Biaya pemesanan adalah semua pengeluaran yang timbul untuk
mendatangkan barang dari luar. Biaya ini pada umumnya meliputi:
1) Pemerosesan pesanan
2) Biaya ekspedisi
3) Biaya telepon dan keperluan komunikasi lainnya
4) Pengeluaran surat menyurat, foto kopi dan perlengkapan administrasi
lainnya
5) Biaya pengepakan dan penimbangan
6) Biaya pemeriksaan (inspeksi) penerimaan
7) Biaya pengiriman ke gudang, dan seterusnya.
b. Biaya Pembuatan (Setup Cost)
Ongkos pembuatan adalah semua pengeluaran yang ditimbulkan untuk
persiapan memproduksi barang. Ongkos ini biasanya yang timbul di dalam
pabrik, yang meliputi ongkos menyetel mesin, ongkos mempersiapkan
gambar benda kerja, dan sebagainya.
Karena kedua ongkos tersebut mempunyai peran yang sama, yaitu pengadaan,
maka di dalam sistem persediaan ongkos tersebut sering disebut ongkos
pengadaan (procurement cost).
3. Biaya Penyimpanan (carrying cost = h)
Biaya penyimpanan (carrying cost) merupakan biaya yang timbul akibat
disimpannya suatu item. Biaya-biaya yang termasuk sebagai biaya
penyimpanan adalah:
b. Biaya Gudang
c. Biaya Penyusutan dan Kerusakan
d. Biaya Kedaluarsa (Absolence)
e. Biaya Asuransi
f. Biaya Administrasi dan Pemindahan
4. Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost = p)
Dari semua biaya-biaya yang berhubungan dengan tingkat persediaan, biaya
kekurangan bahan (shortage cost) adalah yang paling sulit diperkirakan. Biaya
ini timbul apabila persediaan tidak mencukupi permintaan produk atau
kebutuhan bahan. Biaya-biaya yang termasuk biaya kekurangan persediaan
adalah sebagai berikut:
a. Kehilangan penjualan, ketika perusahaan tidak mampu memenuhi suatu
pesanan, maka ada nilai penjualan yang hilang bagi perusahaan.
b. Kehilangan langganan, pelanggan yang merasa kebutuhannya tidak dapat
dipenuhi oleh perusahaan akan beralih ke perusahaan lain yang mampu
memenuhi kebutuhan mereka.
c. Biaya pemesanan khusus, agar perusahaan mampu memenuhi kebutuhan
akan suatu item, perusahaan bisa melakukan pemesanan khusus agar item
tersebut diterima tepat waktu. Pemesanan khusus biasanya mengakibatkan
pertambahan biaya pada biaya ekspedisi dan harga item yang dibeli.
d. Terganggunya proses produksi, jika kekurangan persediaan terjadi pada
persediaan bahan, dan hal yang tidak diantisipasi sebelumnya, maka
kegiatan produksi akan terganggu.
Biaya kekurangan persediaan dapat diukur dari:
1) Kuantitas yang tidak dapat dipenuhi
Biasanya diukur dari keuntungan yang hilang karena tidak dapat memenuhi
permintaan atau dari kerugian akibat terhentinya proses produksi. Kondisi
ini diistilahkan sebagai biaya pinalti (p) atau hukuman kerugian bagi
perusahaan dengan satuan misalnya: Rupiah/Unit.
2) Waktu Pemenuhan
Lamanya gudang kosong berarti lamanya proses operasional terhenti atau
lamanya perusahaan tidak mendapat keuntungan, sehingga waktu
menganggur tersebut dapat diartikan sebagai uang yang hilang. Biaya waktu
pemenuhan diukur berdasarkan waktu yang diperlukan untuk memenuhi
gudang dengan satuan misalnya: Rupiah/Unit.
3) Biaya Pengadaan Darurat (Additional order)
Supaya konsumen/pelanggan tidak kecewa, maka dapat dilakukan
pengadaan darurat yang biasanya menimbulkan biaya yang lebih besar dari
pengadaan normal. Kelebihan biaya dibandingkan pengadaan normal ini
dapat dijadikan ukuran untuk menetukan biaya kekurangan persediaan
dengan satuan misalnya : Rupiah/setiap kali kekurangan. Kadang-kadang
biaya ini disebut juga biaya kesempatan (opportunity cost).
5. Biaya Sistematik
Selain biaya-biaya disebut di atas yang biasanya besifat rutin, maka ada ongkos
lain yang disebut Biaya Sistemik. Biaya ini meliputi biaya perencanaan,
perencanaan sites persediaan serta ongkos-ongkos untuk mengadakan peralatan
mengoperasikan sistem. Biaya sistematik ini dapat dianggap sebagai biaya
investasi bagi pengadaan suatu sistem pengadaan.
Biaya-biaya persediaan menurut Rangkuti (2004:16) yang harus
dipertimbangkan untuk pengambilan keputusan penentuan besarnya jumlah
persediaan:
1. Biaya penyimpanan (holding costs atau carrying costs), yaitu terdiri atas
biaya-biaya yang bervariasi secara langsung dengan kuantitas persediaan.
Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas bahan
yang dipesan semakin banyak atau rata-rata persediaan semakin tinggi.
Biaya-biaya yang termasuk sebagai Biaya-biaya penyimpanan adalah:
a. Biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan (termasuk penerangan, pendingin
ruangan, dan sebagainya)
b. Biaya modal (opportunity cost of capital), yaitu alternatif pendapatan atas
dana yang diinvestasikan dalam persediaan
c. Biaya keusangan
d. Biaya perhitungan fisik
e. Biaya asuransi persediaan
f. Biaya pajak persediaan
g. Biaya pencurian, pengrusakan, atau perampokan
h. Biaya penanganan persediaan dan sebagainya.
2. Biaya pemesanan atau pembelian (ordering costs atau procurement costs).
Biaya-biaya ini meliputi:
a. Pemrosesan pesanan dan biaya ekspedisi
c. Biaya telepon
d. Pengeluaran surat menyurat
e. Biaya pengepakan dan penimbangan
f. Biaya pemeriksaan (inspeksi) penerimaan
g. Biaya pengiriman ke gudang
h. Biaya utang lancar dan sebagainya.
3. Biaya penyiapan (manufacturing) atau set-up cost. Hal ini terjadi apabila
bahan-bahan tidak dibeli, tetapi diproduksi sendiri “dalam pabrik” perusahaan,
perusahaan menghadapi biaya penyiapan (set-up costs) untuk memproduksi
komponen tertentu. Biaya-biaya ini terdiri dari:
a. Biaya mesin-mesin menganggur
b. Biaya persiapan tenaga kerja langsung
c. Biaya penjadwalan
d. Biaya ekspedisi dan sebagainya.
4. Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (shortage costs) adalah biaya yang
timbul apabila persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan.
Biaya-biaya yang termasuk Biaya-biaya kekurangan bahan adalah sebagai berikut:
a. Kehilangan penjualan
b. Kehilangan pelanggann
c. Biaya pemesanan khusus
d. Biaya ekspedisi
e. Selisih harga
f. Terganggunya operasi
2.2Pengendalian Persediaan
2.2.1 Pengertian Pengendalian Persediaan
Ristono (2009:4) berpendapat bahwa suatu pengendalian persediaan yang
dijalankan oleh suatu perusahan yang dijalankan oleh suatu perusahaan sudah
tentu memiliki tujuan-tujuan tertentu. Pengendalian persediaan yang dijalankan
adalah untuk menjaga tingkat persediaan pada tingkat yang optimal sehingga
diperoleh penghematan-penghematan untuk persediaan tersebut. Hal inilah yang
dianggap penting untuk dilakukan perhitungan persediaan sehingga dapat
menunjukkan tingkat persediaan yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat
menjaga kontinuitas produksi dengan pengorbanan atau pengeluaran biaya yang
ekonomis.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pengelolaan persediaan adalah
“kegiatan dalam memperkirakan jumlah persediaan (bahan baku/penolong) yang
tepat, dengan jumlah yang tidak terlalu besar dan tidak pula kurang atau sedikit
dibandingkan dengan kebutuhan atau permintaan”.
Persediaan yang merupakan komponen utama dalam perusahaan yang
bergerak dibidang produksi dan distribusi tentu membutuhkan suatu sistem yang
mengatur persediaan tersebut untuk menghindari terjadinya penumpukan maupun
kekurangan persediaan. Sistem persediaan itu sendiri adalah sekumpulan
kebijakan dan pengendalian, yang memonitor tingkat inventory, dan menentukan
tingkat mana yang harus dijaga, bila stok harus diisi kembali dan berapa banyak
yang harus dipesan (Assauri, 2016:225).
Menurut Aditama (2003:129) dalam pengendalian persediaan terdapat dua
Keseimbangan total adalah keseimbangan antara seluruh persediaan dan seluruh
permintaan, dengan kata lain antara seluruh pembelian dengan seluruh penjualan
secara proporsional.
2.2.2 Tujuan Pengendalian Persediaan
Menurut Haming dan Nurnajamuddin (2014:5), pengadaan sediaan
umumnya ditujukan untuk memenuhi hal-hal berikut:
1. Untuk memelihara indenpendensi operasi.
Apabila sediaan manajerial yang ditahan pada pusat kegiatan pengerjaan, dan
jika pengerjaan yang dilaksanakan oleh pusat produksi tersebut tidak
membutuhkan material yang bersangkutan segera maka akan terjadi
fleksibilitas pada pusat kegiatan produksi. Fleksibilitas tersebut terjadi karena
sistem mempunyai sediaan yang cukup untuk menjamin keberlangsungan
proses produksi. Akan tetapi, sepanjang diperlukannya penyetelan
mesin-mesin untuk tujuan menghasilkan produk yang baru, maka indenpendesi atas
alat-alat produksi memungkinkan untuk mempertimbangkan jumlah produksi
yang ekonomis.
2. Untuk memenuhi tingkat permintaan yang bervariasi
Apabila volume permintaan dapat diketahui dengan pasti maka perusahaan
memiliki peluang untuk menentukan volume produksi yang sama persis
dengan volume permintaan tersebut. Sejalan dengan itu, perusahaan tidak
perlu menyediakan persediaan cadangan (safety stock) yang diperlukan untuk
menjawab fluktuasi permintaan. Akan tetapi didunia nyata, volume
permintaan tidak dapat ditentukan dengan pasti. Volume permintaan dapat
Sebaliknya, volume permintaan dapat pula kurang dari yang diramalkan
karena adanya tekanan persaingan yang ketat, rendahnya daya beli masyarakat
atau pengaruh faktor musiman. Sehubungan dengan itu, volume permintaan
pasar yang dihadapi mempunyai gejala yang berfluktuasi. Untuk menjawab
fluktuasi tersebut, perusahaan perlu mempersiapkan persediaan pengaman.
3. Untuk menerima manfaat ekonomi atas pemesanan bahan dalam jumlah
tertentu.
Apabila dilakukan pemesanan material dalam jumlah tertentu, biasanya
perusahaan pemasok akan memberikan potongan harga (quantity discount).
Disamping itu, frekuensi pemesanan juga akan berkurang. Dengan demikian,
biaya pemesanan (ordering cost), termasuk biaya pengiriman sediaan, juga
akan berkurang.
4. Untuk menyediakan suatu perlindungan terhadap variasi dalam waktu
penyerahan bahan baku.
Penyerahan bahan baku oleh pemasok kepada perusahaan memiliki
kemungkinan untuk ditunda karena berbagai penyebab. Penyebabnya bisa
berupa pemogokan pada perusahaan pemasok, pada perusahaan pengangkutan,
atau oleh buruh pelabuhan. Mungkin pula terjadi permintaan jaminan yang
disampaikan ditolak oleh pemasok karena berbagai alasan, kapasitas alat
angkutan yang tersedia tidak cukup, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu,
untuk maksud memberikan perlindungan kepada sistem produksi, perusahaan
perlu mempersiapkan sediaan pengaman (safety stock) yang cukup, guna
mengantisipasi kekurangan sediaan karena faktor lead time dimaksud.
Sehubungan dengan adanya gejala fluktuatif atas permintaan pasar maka
perusahaan perlu pula mengatur penjadwalan produksi yang bervariasi.
Volume permintaan pasar yang berfluktuasi perlu diantisipasi dengan volume
keluaran yang juga bervariasi.
2.2.3 Kebijakan dalam Pengendalian Persediaan
Seto (2004:101) menyatakan bahwa pengendalian persediaan adalah
berhubungan dengan aktivitas dalam pengaturan persediaan bahan-bahan agar
dapat menjamin kelancaran proses produksi (contoh industri farmasi) atau
persediaan obat di apotek dan farmasi rumah sakit agar mencamin kelancaran
pelayanan pasiennya, secara efektif dan efisien. Untuk pengaturan ini perlu
ditetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkenaan dengan persediaan yang
optimum.
1. Untuk pemesanan: perlu ditentukan bagaimana cara pemesanannya, berapa
jumlah yang dipesan agar pemesanan tersebut ekonomis dan kapan pemesanan
dilakukan
2. Untuk penyimpanan: perlu ditentukan berapa besarnya persediaan pengaman
yang merupakan persediaan minimum, besarnya persediaan pada waktu
pemesanan kembali dilakukan dan berapa besarnya persediaan maksimum.
2.3Metode Economic Order Quantity (EOQ) 2.3.1 Pengertian Economic Order Quantity (EOQ)
Menurut Fahmi (2014:121), EOQ adalah suatu bentuk usaha dari pihak
manajemen perusahaan khususnya bagian persediaan dan produksi untuk selalu
menciptakan kondisi dan situasi yang seimbang dan selalu stabil dalam berbagai
Sedangkan Menurut Handoko (2011:339), model EOQ adalah model yang
digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan persediaan yang meminimumkan
biaya langsung penyimpanan persediaan dan biaya kebalikannya (inverse cost)
pemesanan persediaan.
Pengertian EOQ menurut Eko Indrajit dan Djokopranoto (2003:226),
mendefinisikan EOQ adalah sebuah perhitungan dengan rumus mengenai
beberapa jumlah, atau frekuensi pemesanan, atau nilai pesanan yang paling
ekonomis. Dalam menentukan besarnya jumlah pembelian yang optimal ini kita
hanya memperhatikan biaya variabel dari penyediaan persediaan tersebut, baik
biaya variabel yang bersifat perubahannya searah dengan perubahan jumlah
persediaan yang dibeli atau disimpan maupun biaya variabel yang bersifat
perubahannya berlawanan dengan perubahan jumlah persediaan tersebut.
Heizer dan Render (2005:68) berpendapat bahwa model kuantitas pesanan
ekonomis (economic order quantity – EOQ model) adalah salah satu teknik
pengendalian persediaan yang paling tua dan paling dikenal secara luas.
2.3.2 Kebijakan-Kebijakan Economic Order Quantity (EOQ)
Adapun asumsi-asumsi dalam penggunaan metode EOQ menurut Agus
Sartono dalam Fahmi (2014:120) yaitu:
1. Tingkat penjualan yang dapat diperkirakan
2. Penggunaan bahan yang konstan
3. Pemesanan dapat dilakukan seketika
4. Pengiriman dapat dilakukan dengan cepat
Sedangkan menurut Haming dan Nurnajamuddin (2014:11) asumsi yang
1. Permintaan selama satu tahun (D) diketahui tetap dan tidak berubah
2. Harga sediaan (C) diketahui tetap dan tidak berubah
3. Sediaan dianggap selalu tersedia sehingga dapat diperoleh setiap dibutuhkan
4. Biaya sediaan diketahui tetap dan tidak berubah
Heizer dan Render (2005:68) berpendapat bahwa metode EOQ ini
didasarkan pada beberapa asumsi:
1. Permintaan diketahui, tetap, dan bebas
2. Lead time – yaitu, waktu antara pemesanan dan penerimaan pesanan diketahui
dan konstan.
3. Penerimaan bersifat seketika dan lengkap. Dengan kata lain, persediaan dari
sebuah pesanan tiba dalam satu batch sekaligus.
4. Diskon (potongan harga) karena kuantitas tidak memungkinkan.
5. Biaya variabel yang ada hanyalah biaya pengaturan dan pemesanan (biaya
setup) dan biaya menahan atau menyimpan persediaan dari waktu ke waktu
(biaya penyimpanan atau penggudangan)
6. Kosongnya persediaan (kekurangan) dapat dihindari sepenuhnya jika
pemesanan dilakukan pada waktu yang tepat.
Deitiana (2011:195) mengatakan bahwa untuk menghitung EOQ, ada
empat langkah yang harus dilakukan, yaitu:
1. Hitung set-up cost atau ordering cost (SS atau SO)
2. Hitung holding cost atau carrying cost (H)
3. Buatlah set-up cost dan ordering cost menjadi seimbang
Pada Fahmi (2014:120), rumus yang digunakan untuk menghitung EOQ
adalah:
EOQ =
�
2(D)(OC)
CC
Keterangan:
EOQ = Economic Order Quantity
D = permintaan tahunan (demand)
OC = biaya pemesanan (ordering cost)
CC = biaya penyimpanan (carrying cost)
2.3.3 Safety Stock
Menurut Fahmi (2014:121), safety stock merupakan kemampuan
perusahaan untuk menciptakan kondisi persediaan yang selalu aman atau penuh
pengamanan dengan harapan perusahaan tidak akan pernah mengalami
kekurangan persediaan.
Di sisi lain, jumlah kebutuhan inventory aktual dapat melebihi jumlah
yang diperkirakan karena perubahan pola kebutuhan atau muncul
sebuah kebutuhan mendadak. Untuk menjamin proses terus berjalan, lead time
pengiriman bervariasi dan pengisian inventory belum terlaksana maka kekurangan
inventory harus dibantu dengan sediaan (inventory) cadangan/pengaman/safety
stock.
Beberapa penyebab variasi lead time, yaitu keadaan alam, prosedur
administrasi dan pabean, jadwal transportasi terbatas, dan barang langka di
pasaran. Beberapa penyebab variasi kebutuhan, yaitu peramalan kurang tepat,
Haming dan Nurnajamuddin (2014:17) berpendapat bahwa safety stock
atau sering pula disebut buffer stock. merupakan unit persediaan yang selalu harus
ada dalam perusahaan untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan.
Menurut Kasmir dan Jakfar dalam Fahmi (2014:121), terdapat beberapa
faktor penentu dalam menghitung besarnya safety stock yaitu antara lain:
1. Penggunaan bahan baku rata-rata
2. Faktor waktu
3. Biaya yang digunakan
Sedangkan menurut Martono (2015:260), ada kalanya pengiriman
inventory/barang kebutuhan dari pemasok terlambat sehingga perusahaan
membutuhkan sediaan/inventory pengaman (safety stock). Hal ini untuk
mencegah stock out (kehabisan inventory). Perusahaan harus mengelola
inventory dengan cermat ketika pengiriman tiba lebih cepat karena ada
kemungkinan pengiriman yang cepat ini harus disimpan sebelum digunakan. Hal
ini dapat menimbulkan over stock (inventory yang berlebih dari yang dibutuhkan).
Akibat stock out, konsumen kecewa, proses terganggu, kehilangan peluang
meperoleh keuntungan dan konsumen bisa beralih membeli produk pesaing.
Kerugian akibat over stock lainnya adalah tidak produktifnya modal akibat
inventory tidak digunakan, meningkatkan biaya dan risiko penyimpanan (contoh:
Gambar 2.1
Kondisi Perlunya Safety Stock
Sumber: Manajemen Logistik Terintegrasi (2015)
Adapun beberapa metode yang biasa digunakan dalam melakukan safety
stock menurut Martono (2015:262) adalah sebagai berikut:
1. Metode Konservatif
Pemakaian rata-rata (U) = 12 unit/hari
Lead Time Rata-rata (L) = 5 hari Pemakaian terbesar (Umax) = 17 unit/hari
Lead Time Terlama (Lmax) = 8 hari
Rumus umum jumlah pemesanan, yaitu:
ROP = (U x L) + SS
ROP = (Umax)x(Lmax) = 17 x 8
= 136 unit
Safety Stock (SS) = ROP – (U x L) = 136 – (12 x 5) = 76 unit
2. Metode Persentase
Persentase safety stock ditentukan sebesar 30% dari kebutuhan.
Safety Stock = 30% x (U x L) = 30% x (12 x 5) = 18 unit
ROP = (U x L) + Safety Stock
= 78 unit
Penentuan besaran persentase ini harus didukung pihak manajemen dengan
pendekatan bahwa inventory harus tersedia untuk kelancaran proses dengan
antisipasi kemungkinan internal dan eksternal perusahaan.
3. Service Level
Service Level merupakan ukuran kinerja sebuah sistem, khususnya kinerja
divisi atau bagian di perusahaan dalam rangka memenuhi keinginan customer
-nya. Perlu ditegaskan lagi bahwa yang dimaksud customer adalah bagian lain
yang membutuhkan pelayanan dari sebuah divisi atau bagian.
Service Level secara praktis dapat diterjemahkan ke dalam definisi berikut:
a. Service Level tipe 1 (SL-1)
Yaitu menentukan tingkat safety stock inventori untuk mencapai service
level yang dikehendaki. Metodenya berupa statistical safety stock. Tipe ini
cocok untuk jenis independent demand dengan volume tinggi dan stabil
dan jarang digunakan untuk dependent demand.
Perhitungan ini menggunakan variabel penyesuaian (safety factor) sebagai
berikut:
Tabel 2.1
Tabel Service Level dan Service Factor Service Level Service Factor
50,00 0,00
75,00 0,67
80,00 0,84
84,13 1,00
89,44 1,25
90,00 1,28
91,00 1,34
93,32 1,50
94,52 1,60
95,00 1,65
96,00 1,75
97,00 1,88
97,72 2,00
98,00 2,05
98,61 2,20
99,00 2,33
99,18 2,40
99,38 2,50
99,60 2,65
99,70 2,75
99,80 2,88
99,86 3,00
99,90 3,09
99,93 3,20
99,99 4,00
Sumber: Manajemen Logistik Terintegrasi (2015)
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
kebutuhan inventori
Perusahaan bisa menentukan sendiri service level yang diinginkan,
tergantung kebijakan perusahaan atau mengikuti standar industrinya.
Sementara standard deviation dihitung sebagai berikut:
��������
���������
=
�
∑
(kebutuhan
−
rata
−
rata kebutuhan)
2
jumlah periode
−
1
b. Service Level tipe 2 (SL-2)
Yaitu tingkat frekuensi pemenuhan permintaan konsumen sesuai dengan
jumlah yang diharapkan.
�� −2
= Frekuensi pengiriman inventori sesuai jumlah yang diharapkan
Frekuensi permintaan
Jumlah permintaan yang tidak dikirim kepada konsumen disebut sebagai
backorder. Bisa atau tidaknya backorder ini bisa dipenuhi pemasok pada
periode berikutnya tergantung konsumen. Jika tidak, ada kemungkinan
konsumen membeli kebutuhannya dari perusahaan lain sehingga
perusahaan kehilangan pemasukan (lost sales).
Menurut Ristono (2009:8), faktor-faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya safety stock , adalah sebagai berikut:
1. Risiko kehabisan persediaan, yang biasa ditentukan oleh:
a. Kebiasaan pihak supplier dalam pengiriman barang yang dipesan, apakah
tepat waktu atau sering kali terlambat dalam waktu yang telah ditetapkan
barang yang dipesan sering kali tepat waktu, maka perusahaan tidak perlu
memiliki persediaan yang besar, dan sebaliknya bila kebiasaan supplier
dalam pengiriman barang sering kali tidak tepat waktu sebagaimana yang
telah disepakati, maka perusahaan sebaiknya atau perlu memiliki
persediaan yang cukup besar.
b. Dapat diduga atau tidaknya kebutuhan bahan baku/penolong untuk
produksi. Apabila kebutuhan bahan baku/penolong untuk setiap kali proses
produksi dapat diduga atau diperhitungkan secara tepat, maka perusahaan
tidak perlu memilki persediaan yang besar dan sebaliknya bila kebutuhan
bahan baku/penolong sering kali tidak dapat diduga atau perhitungan
kebutuhan sering kali meleset, maka perusahaan sebaiknya atau perlu
memiliki persediaan yang cukup besar.
2. Biaya simpan di gudang dan biaya ekstra bila kehabisan persediaan. Apabila
dibandingkan, biaya penyimpanan di gudang lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan seandainya melakukan pesanan ekstra bila persediaan habis, maka
perusahaan tidak perlu memiliki persediaan yang besar. Sebaliknya bila biaya
pesanan ektra lebih besar dari biaya penyimpanan di gudang, maka perusahaan
sebaiknya atau perlu memiliki persediaan yang cukup besar.
3. Sifat persaingan. Persaingan yang terjadi antar perusahaan dapat ditentukan
dari kecepatan pelayanan pemenuhan permintaan pelanggan/konsumen, maka
perusahaan perlu memiliki persediaan yang besar. Namun bila yang menjadi
sifat persaingan adalah hal lain (misalnya kualitas dan harga), maka tidak
mendesak untuk memiliki persediaan besi yang besar.
Menurut Fahmi (2014:122), reorder point adalah titik dimana suatu
perusahaan atau institusi bisnis harus memesan barang atau bahan guna
menciptakan kondisi persediaan yang terus terkendali.
Rumus perhitungan reorder point pada Deitiana (2011:196) adalah:
ROP = (d × L) +�����������
d =
D
Jumlah hari kerja per tahun
Keterangan:
ROP = reorder point
d = permintaan persediaan per hari L = lead time
D = total kebutuhan selama 1 periode
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan referensi
dalam penelitian ini antara lain dapat dilihat pada tabel berikut ini:
1. Surnedi (2010) melakukan penelitian berjudul “Analisis Manajemen
Persediaan Dengan Metode EOQ Pada Optimalisasi Persediaan Bahan Baku
Kain di PT. New Suburtex”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi
pembelian bahan baku PT. New Suburtex bila menggunakan metode EOQ
adalah 3 kali pembelian, biaya yang dikeluarkan perusahaan adalah sebesar Rp
7.876.464,1 dan total biaya persediaan yang dikeluarkan perusahaan bila
menggunakan metode EOQ adalah sebesar Rp 3.564.927,2, penghematan
biaya bila menggunakan metode EOQ adalah Rp 4.311.536,9, persediaan
pengaman (safety stock) sebesar 162.151,1 meter dan melakukan pemesanan
2. Taufiq dan Achmad Slamet (2014) melakukan penelitian berjudul
“Pengendalian Persediaan Bahan Baku Dengan Metode Economic Order
Quantity (EOQ) Pada Salsa Bakery Jepara”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa persediaan bahan baku tepung terigu yang optimal pada
Salsa Bakery yaitu triwulan 4 tahun 2012 sebanyak 112 karung dengan total
biaya sebesar Rp 2.308.133. Triwulan 1 tahun 2013 sebanyak 100 karung
dengan total biaya Rp 2.499.363. Triwulan 2 tahun 2013 sebanyak 100
karung dengan total biaya Rp 2.533.428. Triwulan 3 tahun 2013 sebanyak 102
karung dengan total biaya Rp 2.562.375. Jumlah biaya persediaan optimal
gula pasir triwulan 4 tahun 2012 sebanyak 25 karung dengan total biaya Rp
1.340.016. Triwulan 1 tahun 2013 sebanyak 23 karung dengan total biaya Rp
1.337.374. Triwulan 2 tahun 2013 sebanyak 24 karung dengan total biaya Rp
1.336.443. Triwulan 3 tahun 2013 sebanyak 25 karung dengan total biaya Rp
1.381.075. Dapat disimpulkan bahwa dengan metode EOQ untuk bahan baku
tepung terigu dan gula pasir lebih efisien dibanding metode konvensional.
3. Indriani dan Achmad Slamet (2015) melakukan penelitian berjudul “Analisis
Pengendalian Persediaan Bahan Baku Dengan Metode Economic Order
Quantity Pada PT. Enggal Subur Kertas”. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pembelian bahan baku afval box dengan metode EOQ dapat
menghemat biaya sebesar 74,26%, bahan baku afval cones dengan metode
EOQ dapat menghemat biaya sebesar 30,13% dan bahan baku afval marga
dengan metode EOQ dapat menghemat biaya sebesar 40,01%. Pengendalian
persediaan bahan baku berdasarkan metode EOQ lebih efisien dibandingkan
4. Montolalu, et al (2016) melakukan penelitian berjudul “Analisis Pengendalian
Persediaan Bahan Baku Kelapa Pada Industri Tepung Kelapa (Studi Kasus
Pada PT. Royal Coconut)”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pembelian bahan baku kelapa optimal setiap kali pemesanan menurut metode
EOQ adalah 384.347.44 kg, total biaya persediaan optimal menurut metode
EOQ adalah Rp 12.310.648 sedangkan menurut kebijakan perusahaan sebesar
Rp 648.202.475, frekuensi pemesanan bahan baku menurut perusahaan
sebesar 4.135 kali sedangkan menurut metode EOQ sebanyak 42 kali dengan
periode waktu pemesanan ulang adalah 7 hari dan titik pemesanan ulang
(reorder point) pada saat persediaan tinggal 164.720,33 kg. Pembelian melalui
perhitungan metode EOQ lebih efisien.
5. Sampeallo, Yulius Gessong (2012) melakukan penelitian berjudul “Analisis
Pengendalian Persediaan Pada UD. Bintang Furniture Sangasanga”. Hasil
penelitian ini adalah pembelian untuk memperoleh biaya minimum untuk
furniture tahun 2010 sebesar 60 unit dengan menggunakan rumus EOQ terjadi
pada frekuensi pemesanan 9 kali pesanan dengan jumlah pemesanan 7 unit
furniture. safety stock sebesar 2 unit dan reorder point sebesar 2 unit. Dengan
metode EOQ, perusahaan dapat memperolah biaya pembelian minimum.
2.5Kerangka Pemikiran
Pada awal penelitian, penulis akan mengumpulkan data-data yang
diperlukan untuk mencari biaya pemesanan dan biaya penyimpanan dari Toko
Creative Interior. Data-data yang dibutuhkan untuk mengetahui biaya pemesanan
dan biaya penyimpanan tersebut seperti biaya administrasi, biaya listrik, gaji
menanyakan beberapa perihal mengenai data-data lain yang diperlukan dalam
penelitian ini seperti lead time, data penjualan pada tahun 2016, data pemesanan
persediaan pada tahun 2016, dll.
Setelah mengumpulkan data-data tersebut, penulis akan mengolah data
tersebut untuk mengetahui berapa biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang
ada. Langkah selanjutnya adalah penulis melakukan perhitungan biaya pesan per
permesanan dan juga biaya penyimpanan per m2. Penulis kemudia akan mencari
total biaya persediaan berdasarkan kebijakan Toko Creative Interior dan juga
menurut metode EOQ. Tidak hanya itu, berdasarkan metode EOQ dibutuhkan
juga perhitungan akan jumlah safety stock dan reorder point. Setelah mengetahui
hasil dari perhitungan tersebut, penulis akan melakukan perbandingan nilai yang
didapat dan juga penghematan yang dapat dilakukan. Pada tahap akhir, penulis
akan membuat kesimpulan dan memberikan saran kepada pihak-pihak yang
terkair dalam penelitian.