ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA BERDASARKAN RASIO KEUANGAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) Studi Kasus di Pemerintah Kota Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Akuntansi
Oleh:
Theodora Sekar Andhika NIM: 092114107
PROGRAM STUDI AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA BERDASARKAN RASIO KEUANGAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) Studi Kasus di Pemerintah Kota Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Akuntansi
Oleh:
Theodora Sekar Andhika NIM: 092114107
PROGRAM STUDI AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii Skripsi
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA BERDASARKAN RASIO KEUANGAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) Studi Kasus di Pemerintah Kota Yogyakarta
Oleh:
Theodora Sekar Andhika
NIM: 092114107
Telah Disetujui Oleh:
Pembimbing I
iii Skripsi
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA BERDASARKAN RASIO KEUANGAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) Studi Kasus di Pemerintah Kota Yogyakarta
Dipersiapkandanditulisoleh:
Theodora Sekar Andhika
NIM: 092114107
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada Tanggal 29 Juli 2013
Dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua Firma Sulistiyowati, S.E., M.Si.,Akt., QIA .……… Sekretaris Lisia Apriani, S.E., Ak.,M.Si., QIA ………. Anggota Ir. Drs. Hansiadi Yuli H, M.Si,.Akt., QIA ………. Anggota Drs. YP.Supardiyono, M.Si.,Akt., QIA ………. Anggota Firma Sulistiyowati, S.E., M.Si.,Akt., QIA ……….
Yogyakarta, 31 Juli 2013 Fakultas Ekonomi
Universitas Sanata Dharma Dekan
iv
Success is not the key to happiness. Happiness is the key to success.
If you love what you are doing, you will be successful.
(Albert Schweitzer )
Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan,
Selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya
(Alexander Pope)
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Sang penolongku
Ibuku Maria Swamin T, Mas Pandhu dan Adikku Galih
Sayangku Yossafat Reinas dan keluarga
v
UNIVERSITAS SANATA DHARMA FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI – PROGRAM STUDI AKUNTANSI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya menyatakan bahwa Skripsi dengan judul:
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA BERDASARKAN
RASIO KEUANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH (APBD) dan dimajukan untuk diuji pada tanggal 29 Juli 2013 adalah
hasil karya saya.
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin, atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri dan atau tidak terdapat bagian atau keseluruhan tulisan yang saya salin, tiru, atau yang saya ambil dari tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan pada penulis aslinya.
Apabila saya melakukan hal tersebut di atas, baik sengaja maupun tidak, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri ini. Bila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijasah yang telah diberikan oleh universitas batal saya terima.
Yogyakarta, 31 Juli 2013 Yang membuat pernyataan,
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Berdasarkan Rasio
Keuangan Anggaran Pendapatan danBelanja Daerah (APBD)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi, Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi, Universitas
Sanata Dharma.
Penyelesaian skripsi ini tentu tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1.
Dr. Ir. Paulus Wiryono Priyotamtama, S.J., selaku Rektor Universitas SanataDharma Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapat belajar
dan mengembangkan kepribadian kepada penulis.
2. Ir. Drs. Hansiadi Yuli Hartanto, M.Si., Akt.selaku dosen pembimbing yang
dengan penuh kesabaran telah memberikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Segenap dosen Program Studi Akuntansi yang telah membagikan ilmunya
vii
4. Drs. Kadri Renggono, M.Si. selaku Kepala Dinas Pajak Daerah dan
Pengelolaan Keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta.
5. Dra. Sukamiasih selaku sekretaris Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta.
6. Sulistyawati, S.E., M.Si. selaku Kepala Bidang Pelaporan Dinas Pajak Daerah
dan Pengelolaan Keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta.
7. Eko Suryanto, BA. selaku Staf Bidang Pelaporan Dinas Pajak Daerah dan
Pengelolaan Keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta.
8. Sri Sulawesti Kombar, B.Sc. selaku Kepala Seksi Pembiayaan Dinas Pajak
Daerah dan Pengelolaan Keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta.
9. Devi Rahmawati, S.E. selaku Kepala Seksi Akuntansi Dinas Pajak Daerah dan
Pengelolaan Keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta.
10.Ibuku Maria Swamin T, Kakakku Mas Pandhu, dan Adekku Galeh yang selalu
memberikan doa, perhatian dan kasih sayang serta semangat untukku.
11.Sayangku Yossafat Reinas yang selalu mendampingi, menemani dan
memberikan motivasi untukku, serta cinta dan kasih sayang yang selalu
diberikan untukku.
12.Teman-teman MPTku: tika, aster, tota, chika, mbok sum, vani, ayu bola, siska,
dea yang selalu memberi semangat untukku dan telah menjadi bagian dalam
kebersamaan kita.
13.Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan
viii
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini.Oleh sebab itu, dengan senang hati penulis menerima kritik
dan saran dari pembaca yang berguna sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih
baik.Penuis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan.
Yogyakarta, 5 Juli 2013
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA KARYA TULIS ... v
HALAMAN KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN DAFTAR ISI ... ix
HALAMAN DAFTAR TABEL ... xii
HALAMAN DAFTAR GAMBAR ... xiv
ABSTRAK ... xvi
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ... 12
4. Laporan Realisasi Anggaran ... 15
C. Analisis Rasio Keuangan APBD ... 16
D. Penelitian Terdahulu ... 25
BAB III METODE PENELITIAN ... 27
A. Jenis Penelitian ... 27
B. Subjek dan Objek Penelitian………. 27
C. Tempat dan Waktu Penelitian... 27
x
E. Teknik Pengumpulan Data ... 28
F. Teknik Analisis Data ... 28
BAB IV GAMBARAN UMUM DAN PROFIL KEUANGAN DAERAH ... 36
A. Sejarah Kota Yogyakarta ... 36
B. Kondisi Geografis ... 41
C. Penduduk dan Tenaga Kerja ... 43
D. Organisasi Pemerintah Daerah ... 45
E. Sosial ... 48
F. Pertanian ... 50
G. Perekonomian ... 53
H. Keuangan dan Harga-harga ... 55
I. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 57
J. Pendapatan Daerah ... 57
K. Belanja Daerah ... 66
L. Pembiayaan Daerah ... 67
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 68
A. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Rasio Kemandirian ... 68
B. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah ... 76
C. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Rasio Aktivitas dengan Menggunakan Rasio Keserasian……… .. 83
D. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dariDebt Service Coverage Ratio……… 95
E. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Rasio Pertumbuhan ... 100
F. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Derajat Desentralisasi ... 106
G. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah ... 112
H. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Rasio Efektivitas Pajak Daerah ... 118
I. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Derajat Kontribusi BUMD ... 123
J. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Rasio Efisiensi Belanja Daerah ... 128
K. Perkembangan Keuangan Kota Yogyakarta Ditinjau dari Rasio Belanja Daerah terhadap PDRB ... 134
BAB VI PENUTUP ... 138
A. Kesimpulan ... 138
xi
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Realisasi PAD Kota Yogyakarta tahun 2007 – 2011 ... 70 Tabel 5.2 Realisasi Total Penjumlahan Dana Perimbangan dan Pinjaman
Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 71 Tabel 5.3 Rasio Kemandirian Kota Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 72 Tabel 5.4 Trend Rasio Kemandirian Kota Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 74 Tabel 5.5 Target PAD Kota Yogyakarta Tahun 2007- 2011 ... 78 Tabel 5.6 Rasio Efektivitas Kota Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 78 Tabel 5.7 Trend Rasio Efektivitas PAD Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 80 Tabel 5.8 Total Belanja Rutin/Operasi Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 85 Tabel 5.9 Rasio Belanja Rutin/Operasi Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 85 Tabel 5.10 Rasio Belanja Modal /Pembangunan Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 87 Tabel 5.11 Total Belanja Modal/Pembangunan Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 89 Tabel 5.12 Trend Rasio Belanja Rutin/Operasi terhadap APBD Kota
Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 90 Tabel 5.13 Trend Rasio Belanja Modal/Pembangunan terhadap APBD Kota
Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 91 Tabel 5.14 Total Penjumlahan PAD Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi
Umum Kota Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 95 Tabel 5.15 Total (PAD + DBH + DAU) – Belanja Wajib Kota Yogyakarta
Tahun 2007 -2011 ... 96 Tabel 5.16 Total Penjumlahan Angsuran Pokok Pinjaman, Bunga,
dan Biaya Lain-lain Kota Yogyakarta tahun 2007 – 2011 ... 96 Tabel 5.17 Debt Service Coverage Ratio Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 97 Tabel 5.18 Trend Debt Service Coverage Ratio Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 98 Tabel 5.19 Rasio Pertumbuhan Kota Yogyakarta Tahun 2007 -2011 ... 103 Tabel 5.20 Derajat Desentralisasi Kota Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 107 Tabel 5.21 Trend Derajat Desentralisasi Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011 ... 109 Tabel 5.22 Total Penerimaan Daerah Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 110 Tabel 5.23 Trend Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Kota
xiii
Tabel 5.24 Jumlah Pendapatan Transfer-Dana Perimbangan Kota
Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 116 Tabel 5.25 Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 116 Tabel 5.26 Rasio Efektivitas Pajak Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011 ... 118 Tabel 5.27 Trend Rasio Efektivitas Pajak Daerah Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 121 Tabel 5.28 Trend Derajat Kontribusi BUMD Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011 ... 125 Tabel 5.29 Realisasi Penerimaan Bagian Laba BUMD Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 126 Tabel 5.30 Derajat Kontribusi BUMD Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 126 Tabel 5.31 Rasio Efisiensi Belanja Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011 ... 129 Tabel 5.32 Trend Rasio Efisiensi Belanja Daerah Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 130 Tabel 5.33 Total Realisasi Belanja Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011 ... 132 Tabel 5.34 Total Anggaran Belanja Daerah Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011 ... 132 Tabel 5.35 Rasio Belanja Daerah Terhadap PDRB Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 134 Tabel 5.36 Trend Rasio Belanja Daerah Terhadap PDRB Kota Yogyakarta
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 5.1 Diagram Rasio Kemandirian Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011 ... 72 Gambar 5.2 Grafik Trend Rasio Kemandirian Kota Yogyakarta Tahun
2007 - 2011 ... 75 Gambar 5.3 Diagram Rasio Efektivitas Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011 ... 77 Gambar 5.4 Grafik Trend Rasio Efektivitas PAD Kota Yogyakarta Tahun
2001 – 2011 ... 81 Gambar 5.5 Diagram Rasio Belanja Rutin terhadap APBD Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 86 Gambar 5.6 Diagram Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD Kota
Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 88 Gambar 5.7 Grafik Trend Rasio Belanja Rutin terhadap APBD Kota
Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 91 Gambar 5.8 Grafik Trend Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD Kota
Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 92 Gambar 5.9 Diagram Debt Service Coverage Ratio Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 98 Gambar 5.10 Grafik Trend Debt Service Coverage Ratio Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 99 Gambar 5.11 Diagram Rasio Pertumbuhan Kota Yogyakarta Tahun 2007 –
2011 ... 102 Gambar 5.12 Grafik Trend Rasio Pertumbuhan Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 104 Gambar 5.13 Diagram Derajat Desentralisasi Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 108 Gambar 5.14 Grafik Trend Derajat Desentralisasi Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 109 Gambar 5.15 Diagram Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Kota
Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 113 Gambar 5.16 Grafik Trend Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Kota
Yogyakarta Tahun 2007 – 2011 ... 115 Gambar 5.17 Diagram Rasio Efektivitas Pajak Daerah Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 120 Gambar 5.18 Grafik Trend Rasio Efektivitas Pajak Daerah Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 121 Gambar 5.19 Grafik Trend Derajat Kontribusi BUMD Kota Yogyakarta
xv
Gambar 5.20 Diagram Derajat Kontribusi BUMD Kota Yogyakarta Tahun
2007 – 2011 ... 128 Gambar 5.21 Diagram Rasio Efisiensi Belanja Daerah Kota Yogyakarta
Tahun 2007 -2011 ... 131 Gambar 5.22 Grafik Trend Rasio Efisiensi Belanja Daerah Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 131 Gambar 5.23 Diagram Rasio Belanja Daerah terhadap PDRB Kota Yogyakarta
Tahun 2007 – 2011 ... 135 Gambar 5.24 Grafik Trend Rasio Belanja Daerah terhadap PDRB Kota
xvi
ABSTRAK
ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KOTA BERDASARKAN RASIO KEUANGAN ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) Studi Kasus di Pemerintah Kota Yogyakarta
Theodora Sekar Andhika NIM: 092114107 Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2013
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan kinerja keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta tahun anggaran 2007 – 2011. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan wawancara. Analisis rasio keuangan digunakan untuk menghitung rasio kemandirian, rasio efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), rasio aktivitas, Debt Service Coverage Ratio (DSCR), rasio pertumbuhan, derajat desentralisasi, rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio efektivitas pajak daerah, derajat kontribusi BUMD, rasio efisiensi belanja daerah, dan rasio belanja daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Hasil penelitian menunjukkan rasio kemandirian, rasio belanja operasi terhadap APBD, DSCR, rasio pertumbuhan PAD dan pertumbuhan penerimaan daerah, derajat desentralisasi, rasio efektivitas pajak daerah, rasio efisiensi belanja daerah dan rasio belanja daerah terhadap PDRB memiliki kecenderungan meningkat. Sementara itu rasio efektivitas PAD, rasio belanja modal terhadap APBD, rasio pertumbuhan belanja operasi dan pertumbuhan belanja modal, rasio ketergantungan keuangan daerah, dan derajat kontribusi BUMD menunjukkan kecenderungan menurun.
xvii
ABSTRACT
ANALYSIS OF MUNICIPAL GOVERNMENT FINANCIAL PERFORMANCE BASED ON THE REGIONAL REVENUE AND
EXPENDITURE BUDGET FINANCIAL RATIO A Case Study at Municipality Government of Yogyakarta
Theodora Sekar Andhika Yogyakarta Municipality Government for the years 2007 – 2011. The type of this research is a case study. The data collecting techniques used in this research are documention and interview. Financial statement analysis was used to calculate the autonomy ratio, PAD effectiveness ratio, activity ratio, Debt Service Coverage Ratio (DSCR), growth ratio, decentralization degree, dependency of regional financial ratio, effectiveness of regional tax ratio, BUMD contribution degree, efficiency of regional expenditure ratio, and regional expenditure to PDRB ratio.
The result shaowed that autonomy ratio, operation expenditure to APBD ratio, DSCR, PAD growth ratio and growth of regional income ratio, decentralization degree, effectiveness of regional tax ratio, efficiency of regional expenditure ratio and regional expenditure to PDRB ratio have a tendency to increase. On the other hand PAD effectiveness ratio, capital expenditure to APBD ratio, growth of operation expenditure ratio and growth of capital expenditure, dependency of regional financial ratio, and BUMD contribution degree have a tendency to decline.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan
administrasi publik memicu timbulnya gejolak yang berakar pada
ketidakpuasan.Tuntutan yang semakin tinggi diajukan terhadap
pertanggungjawaban yang diberikan oleh penyelenggara negara atas
kepercayaan yang diamanatkan kepada mereka. Dengan kata lain, kinerja
instnsi pemerintah kini lebih banyak mendapat sorotan, karena masyarakat
mulai mempertanyakan manfaat yang mereka peroleh atas pelayanan instansi
pemerintah (Mahsun, 2006: 26).
Kondisi ini mendorong peningkatan kebutuhan adanya suatu
pengukuran kinerja terhadap para penyelenggara negara yang telah menerima
amanat dari rakyat. Pengukuran tersebut akan melihat seberapa jauh kinerja
yang telah dihasilkan dalam suatu periode tertentu dibandingkan dengan yang
telah direncanakan (Mahsun,2006: 26).
Pengukuran kinerja sangat penting untuk menilai akuntabilitas
organisasi dan manajer dalam pelayanan publik yang lebih banyak, yaitu
bukan sekedar kemampuan menunjukan bahwa uang publik tersebut telah
dibelanjakan, akan tetapi meliputi kemampuan menunjukan bahwa uang
publik tersebut telah dibelanjakan secara efesien dan efektif (Mardiasmo,
Pengelolaan pemerintah daerah baik di tingkat propinsi maupun
kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU
No. 32 Tahun 2004 dan No. 33 Tahun 2004, kedua UU ini mengatur tentang
Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
sebagai revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
menetapkan bahwa pemerintah dilaksanakan berdasarkan atas asas
desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan, maka dalam
rangka desentralisasi dibentuk dan disusun pemerintah propinsi dan
pemerintah kota sebagai daerah otonomi. Selain itu, UU Nomor 33 Tahun
2004, sebagai revisi UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan antara pusat dan daerah akan dapat memberikan kewenangan atau
otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah
secara proporsional (Diani, 2010: 1-2).
Hal tersebut diimplementasikan dengan memberikan otonomi kepada
daerah maupun kota untuk mengatur dan mengelola pembangunan dan
keuangan di daerahnya masing-masing. Kemampuan pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam
membiayai kegiatan pelaksanaan tugas pembangunan.Dalam menjalankan
otonomi daerah, pemerintah dituntut untuk menjalankan roda pemerintahan
yang efektif dan efisien mampu mendorong peran serta masyarakat dalam
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah
(Diani, 2010: 2).
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk menilai apakah
pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau
tidak.Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan menggunakan analisis rasio
keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim,
2002).
Analisis laporan keuangan dimaksudkan untuk membantu bagaimana
cara memahami laporan keuangan, bagaimana menafsirkan angka-angka
dalam laporan keuangan, bagaimana mengevaluasi laporan keuangan, dan
bagaimana menggunakan informasi keuangan untuk pengambilan keputusan
(Mahmudi 2007: 9). Terdapat beberapa metode dalam analisis laporan
keuangan dan salah satunya adalah analisis rasio keuangan.Analisis rasio
keuangan merupakan teknik analisis laporan keuangan yang banyak
digunakan karena dapat menyingkap hubungan dan sekaligus menjadi dasar
pembanding yang menunjukkan kondisi atau kecenderunagn yang tidak dapat
dideteksi bila hanya melihat komponen rasio itu sendiri (Mahsun, 2006:
140).Analisis rasio keuangan APBD diharapkan dapat menjadi suatu alat ukur
untuk menilai kemandirian keuangan daerah dalam menghargai
perkembangan pendanaan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama
periode waktu tertentu (Diani, 2010: 3).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, permasalahan yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:Bagaimana kinerja keuangan Pemerintah Kota
Yogyakarta berdasarkan rasio keuangan APBD tahun 2007 – 2011?
C. Batasan Masalah
Penilaian kinerja suatu pemerintah daerah/kota meliputi banyak aspek,
di antaranya aspek finansial, aspek kepuasan pelanggan, operasi dan bisnis
internal, kepuasan pegawai, kepuasan komunitas dan
shareholders/stakeholders, dan waktu (Bastian, 2006: 276).Aspek finansial
diukur berdasarkan pada anggaran yang telah dibuat.Aspek finansial ini sangat
penting diperhatikan dalam pengukuran kinerja untuk mengetahui selisih
antara kinerja aktual dengan yang dianggarkan.Dalam hal ini penulis ingin
lebih fokus pada bidang yang ditekuni penulis yaitu keuangan.Oleh sebab itu,
penulis membatasi pada aspek finansial saja dalam mengukur kinerja
Pemerintah Kota Yogyakarta.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan kinerja keuangan
Pemerintah Kota Yogyakarta berdasarkan rasio keuangan APBD tahun 2007 -
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Pemerintah
Dapat digunakan sebagai bahan koreksi untuk meningkatkan kinerja
keuangannya pada tahun berikutnya.
2. Bagi Universitas
Hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi pihak-pihak yang ingin
memperdalam pengetahuan tentang keuangan daerah.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan tambahan pengetahuan dan sebagai bahan acuan untuk
penelitian selanjutnya yang meneliti pada bidang yang sama, yaitu bidang
pemerintahan.
F. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan
Pada babini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, rumusan masalah, dan
sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab ini berisi teori-teori yang berhubungan dengan penelitian
untuk dijdikan dasar dalam menganalisis data yang diperoleh.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini berisi metode penelitian yang meliputi jenis penelitian,
yang diperlukan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data
yang digunakan penulis untuk menjawab permasalahan yang ada.
Bab IV Gambaran Umum
Pada bab ini akan diuraikan mengenai sejarah Kota Yogyakarta,
kondisi geografis, penduduk dan tenaga kerja, organisasi
pemerintah daerah, sosial, pertanian, perekonomian, keuangan dan
harga-harga, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota
Yogyakarta.
Bab V Analisis Dan Pembahasan
Bab ini berisi analisis data dan pembahasan dengan menggunakan
metode dan teknik sesuai dengan metode penelitian
Bab VI Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dari seluruh analisis dan pembahasan
dari hasil penelitian, keterbatasan dalam penelitian, dan beberapa
saran yang diharapkan dapat berguna bagi penelitian ini dan
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kinerja
1. Pengertian Kinerja
Kinerja merupakan keluaran/hasil dari kegiatan/program yang
akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran
dengan kuantitas dan kualitas yang terukur (Halim, 2007: D-8).
Kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan
visi dan misi organisasi (Bastian, 2006: 274).
Kinerja bisa diketahui hanya jika individu atau kelompok
individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah
ditetapkan.Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau
target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target-target,
kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui
karena tidak ada tolak ukurnya (Mahsun,2006: 25).
2. Tujuan Pengukuran Kinerja
Menurut Mahmudi (2010:14), pengukuran kinerja merupakan
bagian penting dari proses pengendalian manajemen, baik organisasi
sektor publik berbeda dengan sektor swasta, penekanan dan orientasi
pengukuran kinerjanya pun terdapat perbedaan. Tujuan dilakukan
penilaian kinerja di sektor publik adalah:
a) Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi
b) Menyediakan sarana pembelajaran pegawai
c) Memperbaiki kinerja periode berikutnya
d) Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan
keputusan pemberian reward dan punishment
e) Memotivasi pegawai
f) Menciptakan akuntabilitas publik
3. Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah
Menurut Whittaker (1993), dalam Government performance
and Results Act, A Mandate for Strategic Planning and Performance
Measurement dalam Bastian (2006: 275), pengukuran/penilaian kinerja
adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan
pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan
sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber
daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa;
hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan
Pengukuran kinerja Pemerintah Daerah (Pemda) harus
mencakup pengukuran kinerja keuangan dan nonkeuangan. Hal ini
terkait dengan tujuan organisasi. Pemda yaitu memberikan pelayanan
kepada masyarakat, mengumpulkan dan mengalokasikan atau
mendistribusikan sumber daya (Mahsun, 2006: 196).
Indikator kinerja Pemda meliputi indikator input, indikator
proses, indikator output, indikator outcome, indikator benefit, dan
indikator impact(Mahsun, 2006: 196). Indikator kinerja pemerintah
daerah meliputi perbandingan antara anggaran dan realisasinya,
perbandingan antara standar biaya dengan realisasinya dan target serta
prosentase fisik proyek (Halim, 2007: 3).
B. Laporan Keuangan Daerah
1. Pengertian Laporan Keuangan Daerah
Menurut Halim (2007: D-8), laporan keuangan daerah adalah
informasi keuangan yang disusun oleh suatu pemerintah daerah yang
terutama ditujukan bagi kepentingan luar pihak pemerintah daerah
tersebut. Menurut pasal 169 ayat 2g Permendagri Nomor 13 Tahun
2006 Laporan Keuangan Daerah terdiri atas:
a) Laporan Realisasi Anggaran
b) Neraca
c) Laporan Arus Kas
Laporan keuangan tersebut juga sesuai dengan PP Nomor 24
Tahun 2005 tentang SAP, setelah adanya perubahan atas Kepmendagri
Nomor 29 Tahun 2002. Laporan Keuangannya terdiri dari Neraca,
Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, Catatan atas Laporan
Keuangan (Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik, 2006: 30).
Pada tahun 2005 dan 2006 bentuk APBD menganut pada
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dan mulai tahun 2007 mengacu
pada PP Nomor 24 tahun 2005 tentang SAP. Disebutkan dalam buku
yang ditulis oleh Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik (2006: 29)
bahwa Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 lebih banyak mengatur
sistem akuntansi pemerintah daerah dan PP Nomor 24 Tahun 2005
mengatur standar akuntansi yaitu SAP. Perbedaan mendasar yang
pertama adalah pada pengelompokan belanja.
Terdapat beberapa kelompok utama pengguna laporan
keuangan pemerintah yaitu:
a) Masyarakat
b) Para wakil rakyat, lembaga pengawas, dan lembaga pemeriksa
c) Pihak yang memberi atau berperan dalam proses donasi, investasi,
dan pinjaman
2. Tujuan Laporan Keuangan Daerah
Dalam Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 24 tahun 2005 tentang SAP, laporan keuangan
pemerintah ditujukan untuk memenuhi tujuan umum pelaporan
keuangan, namun tidak untuk memenuhi kebutuhan khusus
pemakainya. Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi
yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang
dilakukan oleh suatu entitas pelaporan selama satu periode
pelaporan.Laporan keuangan terutama digunakan untuk
membandingkan realisasi pendapatan, belanja, transfer, dan
pembiayaan dengan anggaran yang telah ditetapkan, menilai kondisi
keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas
pelaporan dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan
perundang-undangan.
Mardismo (2002) dalam Nordiawan (2006: 131-132)
menyebutkan bahwa tujuan dan fungsi laporan keuangan sektor publik
adalah untuk memberikan jaminan kepada pengguna laporan keuangan
sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik, memberikan dasar
perencanaan dan kebijakan serta aktivitas di masa yang akan datang,
serta membantu dalam menentukan apakah suatu organisasi untuk
menjalankan kegiatan operasionalnya di masa yang akan datang.
Dalam SFAC (Statement of Financial Accounting Concept)
dalam Nordiawan (2006: 132-133) menjelaskan tujuan laporan
keuangan sektor publik adalah laporan keuangan organisasi nonbisnis
yang hendaknya dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi
penyedia dan pengguna dalam pembuatan keputusan yang rasional
mengenai alokasi sumber daya ekonomi, dalam menilai pelayanan,
dalam menilai kinerja manajer organisasi atas pelaksanaan tanggung
jawab pengelolaan dan yang lainnya. Memberikan informasi mengenai
sumber daya ekonomi, kewajiban, kekayaan organisasi, kinerja
organisasi, pelaksanaan pembelanjaan kas, dan untuk membantu dalam
memahami informasi keuangan.
3. Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah(APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah
daftar yang memuat rincian penerimaan daerah dan
pengeluaran/belanja daerah selama satu tahun yang ditetapkan dengan
peraturan daerah (perda) untuk masa satu tahun, mulai dari tanggal 1
Januari sampai dengan tanggal 31 Desember (Mahsun, et.all, 2011:
81).
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.Dalam menyusun
APBD, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui
pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.Penyusunan
Daerah (RKPD) dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
bernegara.
Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan
sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan
Daerah tentang APBD.Dalam hal anggaran diperkirakan surplus,
ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah
tentang APBD.Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan
prinsip pertanggungjawaban antargenerasi, sehingga penggunaannya
diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan
peningkatan jaminan sosial (Mahsun, et.all, 2011: 82).
Menurut Basuki (2007: 47-48), dalam struktur APBD terdapat
beberapa pengertian sebagai berikut:
a) Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
b) Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
c) Pendapatan yang tercantum dalam APBD adalah semua
penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang
menambah ekuitas dana, yang merupakan hak daerah dalam satu
tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
d) Belanja daerah yang tercantum dalam APBD adalah semua
pengeluaran dari rekening kas umum daerah dalam satu tahun
anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
e) Pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/ atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik
pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada
tahun-tahun anggaran berikutnya.
APBD merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari:
a) Pendapatan Daerah
b) Belanja Daerah
c) Pembiayaan Daerah
Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah
daerah.Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki
posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas
pemerintah daerah. Anggaran digunakan sebagai alat untuk
menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu
pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi
pengeluaran di masa-masa akan datang, sumber pengembangan
ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi
para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dan berbagai
unit kerja (Mardiasmo, 2002: 9).
Fungsi APBD menurut Memesah (1995: 18) adalah sebagai berikut:
a) Menentukan jumlah pajak yang dibebankan pada rakyat daerah
b) Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan otonomi yang nyata
dan bertanggung jawab.
c) Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah daerah
umumnya dan kepala daerah khususnya, karena APBD itu
menggambarkan seluruh kebijakan pemerintah daerah.
d) Merupakan suatu sarana untuk melaksanakan pengawasan
terhadap daerah dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna.
e) Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah di dalam
batas-batas tertentu.
4. Laporan Realisasi Anggaran
Laporan Realisasi Anggaran adalah laporan yang
menggambarkan selisih antara jumlah yang dianggarkan dalam APBD
di awal periode dengan jumlah yang telah terealisasi dalam APBD di
akhir periode (Bastian, 2003: 181).
Dalam Lampiran II PP RI Nomor 24 Tahun 2005 Kerangka
Konseptual Akuntansi Pemrintahan, Laporan Realisasi Anggaran
menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya
ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang
menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam
satu periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung oleh
Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari pendapatan, belanja, transfer,
Menurut Mahsun (2011: 83) elemen atau komponen Laporan
Realisasi Anggaran yaitu:
a) Pendapatan
Pendapatan terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
b) Belanja
Belanja terdiri dari Belanja Aparatur daerah, Belanja Pelayanan
Publik, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, dan Belanja
Tak Tersangka.
c) Pembiayaan
Pembiayaan meliputi Penerimaan Daerah dan Pengeluaran
Daerah.
C. Analisis Rasio Keuangan APBD
Beberapa rasio yang dapat dikembangkan berdasarkan data
keuangan yang bersumber dari APBD menurut Halim adalah sebagai
berikut:
1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah menunujukkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah
membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
X 100% Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi dan Pinjaman
Rasio ini menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap
sumber pendanaan eksternal.Semakin tinggi angka rasio ini berarti
tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal
semakin rendah, dan sebaliknya (Halim, 2007: 232).
2. Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan
target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Rasio ini
dirumuskan:
Realisasi Penerimaan PAD
X 100%
Target Penerimaan PAD yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah
Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif
apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar satu atau
100%.Semakin tinggi rasio efektivitas, maka kemampuan daerah
semakin baik (Halim, 2007: 234).
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan
antara biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan
realisasi pendapatan yang diterima. Rasio ini dirumuskan:
Biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD
X 100%
Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja semakin baik.Untuk itu
pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan
yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan
pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak (Halim, 2007:
234).
3. Rasio Aktivitas dengan menggunakan Rasio Keserasian
Rasio aktivitas menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja
pembangunan secara optimal. Rasio ini dihitung dengan rumus:
a) Rasio Belanja Rutin terhadap APBD
Total Belanja Rutin
X 100% Total APBD
b) Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD
Total Belanja Pembangunan
X 100% Total APBD
Semakin tinggi prosentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin
berarti prosentase untuk belanja pembangunan yang digunakan untuk
sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil
(Halim, 2007: 236)
4. Penyerapan Dana per Triwulan
Penyerapan dana per triwulan menggambarkan kemampuan
mempertanggungjawabkan secara periodik kegiatan yang
direncanakan pada masing-masing triwulan. Apabila realisasi
penerimaan pendapatan per triwulan dikurangi realisasi pengeluaran
per triwulan terjadi surplus dan sementara penyerapan dana untuk
pengeluaran terbesar tejadi pada periode triwulan terakhir, berarti
beban kerja pelaksanaan pembangunan terpusat pada triwulan terakhir
(Halim, 2007: 236).
5. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
DSCR merupakan perbandingan antara penjumlahan PAD, Bagian
Daerah (BD), Dana Alokasi Umum (DAU) setelah dikurangi Belanja
Wajib (BW), dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga, dan biaya
pinjaman lainnya yang jatuh tempo. DSCR dirumuskan sebagai
berikut:
(PAD + BD + DAU) – BW
Total (Pokok Angsuran + Bunga + Biaya Pinjaman)
BD dalam APBD dan laporan realisasinya adalah bagi hasil pajak
maupun non pajak.Sedangkan Belanja Wajib merupakan Dana
Alokasi Khusus ditambah dengan Belanja Rutin (DAK + belanja
rutin) (Halim, 2007: 238).
6. Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah
daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang
dengan membandingkan angka-angka APBD dari tahun ke tahun,
sehingga nampak perbedaan kenaikan atau penurunan dari
perbandingan tersebut.
Sedangkan macam-macam analisis rasio keuangan menurut
Mahmudi adalah:
1. Derajat Desentralisasi
Derajat desentralisasi menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap
total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD maka
semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan desentralisasi (Mahmudi, 2010: 142).
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
X 100%
Total Pendapatan Daerah
2. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Rasio ketergantungan keuangan daerah dihitung dengan cara
membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh
daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini maka
semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat/provinsi (Mahmudi, 2010: 142).
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Pendapatan Transfer/Dana Perimbangan
X100%
3. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah dihitung dengan membandingkan
jumlah penerimaan PAD dibagi dengan jumlah pendapatan transfer
dari pemerintah pusat dan propinsi serta pinjaman daerah (Mahmudi,
2010: 142). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
PAD
X 100%
Transfer Pusat + Provinsi + Pinjaman
4. Rasio Efektivitas dan Efisiensi PAD
Rasio efektivitas PAD menunjukkan kemampuan pemerintah daerah
dalam memobilisasi penerimaan PAD sesuai dengan yang
ditargetkan. Kemampuan memperoleh PAD dikatakan efektif apabila
rasio ini mencapai minimal 1 atau 100% (Mahmudi, 2010: 143).
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Realisasi Penerimaan PAD
X 100% Target Penerimaan PAD
Kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan PAD
dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 100%.
Rasio efisiensi dirumuskan sebagai berikut:
Biaya Pemerolehan PAD
5. Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pajak Daerah
Rasio efektivitas pajak daerah menunjukkan kemampuan pemerintah
daerah dalam mengumpulkan pajak daerah sesuai dengan jumlah
penerimaan pajak daerah yang ditargetkan. Rasio ini dianggap baik
apabila mencapai angka minimal 1 atau 100% (Mahmudi, 2010: 144)
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah
X 100% Target Penerimaan Pajak Daerah
Kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan pajak
daerah dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari
100%.Semakin kecil rasio efisiensi maka semakin baik. Rasio
efisiensi pajak daerah dirumuskan sebagai berikut:
Biaya Pemungutan Pajak Daerah
X 100% Realisasi Penerimaan Pajak Daerah
6. Derajat Kontribusi BUMD
Derajat kontribusi BUMD bermanfaat untuk mengetahui tingkat
kontribusi perusahaan daerah dalam mendukung pendapatan daerah
(Mahmudi, 2010: 145).
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Penerimaan Bagian Laba BUMD
7. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Rasio DSCR sangat diperlukan apabila pemerintah daerah berencana
untuk mengadakan utang jangka panjang.Rasio ini untuk mengukur
kemampuan pemerintah daerah dalam membayar kembali pinjaman
daerah (Mahmudi, 2010: 145).
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
{PAD + (DBH – DBHDR) + DAU} – belanja wajib Angsuran Pokok Pinjaman + Bunga + Biaya Lain-lain
Ket :
DBH : Dana Bagi Hasil yang merupakan bagian dari PBB, BPHTB, dan Bagi Hasil SDA
DBHDR : Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi
Belanja Wajib : belanja pegawai dan belanja anggota DPRD Belanja Lain : biaya terkait pengadan pinjaman antara lain Biaya Administrasi, Biaya Provisi, Biaya Komitmen, Asuransi dan Denda.
Berdasarkan rasio ini, pemerintah daerah layak untuk melakukan
pinjaman daerah apabila nilai DSCR nya minimal 2,5 dan jika nilai
DSCR kurang dari 1, maka hal itu mengindikasikan terjadinya arus
kas negative yang berarti pendapatan tidak cukup untuk menutup
seluruh beban utang (Mahmudi, 2010: 146).
8. Debt Service Ratio (DSR)
Merupakan rasio untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah
dalam membayar kembali pinjaman daerah meliputi pokok dan
bunganya dengan pendapatan daerah yang dimilikinya.Rasio ini dapat
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Total Pendapatan Daerah
X100% Pokok Pinjaman + Bunga
9. Rasio Utang terhadap Pendapatan Daerah
Rasio utang terhadap pendapatan daerah sangat bermanfaat bagi pihak
eksternal terutama calon kreditor untuk menilai kemampuan
pemerintah daerah dalam mengembalikan pinjaman (Mahmudi, 2010:
149).
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Total Utang Pemerintah Daerah
X 100%
Total Pendapatan Daerah
10.Rasio Efisiensi Belanja
Rasio efisiensi belanja digunakan untuk mengukur tingkat
penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah.Angka yang
dihasilkan dari perhitungan rasio ini tidak bersifat absolute, tetapi
relatif. Artinya tidak ada standar baku yang dianggap baik untuk rasio
ini. Pemerintah daerah dinilai telah melakukan efisiensi anggaran jika
rasio efisiensinya kurang dari 100%, sebaliknya jika lebih maka
mengindikasikan telah terjadi pemborosan anggaran (Mahmudi. 2010;
166).
Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Realisasi Belanja
11.Rasio Belanja terhadap PDRB
Rasio belanja terhadap PDRB merupakan perbandingan antara total
belanja daerah dengan PDRB yang dihasilkan daerah. Rasio ini
menunjukkan produktivitas dan efektivitas belanja daerah (Mahmudi,
2010: 166).Rasio ini dirumuskan sebagai berikut:
Total Realisasi Belanja Daerah
X 100%
Total PDRB
D. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu mengenai analisis rasio keuangan
APBD antara lain dilakukan oleh Valentina (2009). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: (1) Rasio Kemandirian Kota Yogyakarta yang
diukur melalui PAD hanya mencapai rata-rata sebesar 17,37% untuk setiap
tahun dan mengalami penurunan tiap tahun sebesar 1,5%. Kondisi ini
menunjukkan kemandirian Kota Yogyakarta masih jauh dari yang
diharapkan (2) Rasio efektivitas pemungutan PAD Kota Yogyakarta
mencapai rata-rata sebesar 105,51% dengan peningkatan sebesar 1,89%
tiap tahun. Kondisi ini menunjukkan pemungutan PAD sudah efektif.
Sedangkan rasio efisiensi pemungutan PAD mencapai rata-rata sebesar
1,57% tiap tahun. Penurunan rasio efisiensi sebesar 0,08% menunjukkan
pemungutan PAD semakin efisien tiap tahunnya (3) Rasio pertumbuhan
APBD pada tahun 2005 – 2007 cenderung mengalami peningkatan, kecuali pada komponen total pendapatan mengalami penurunan sebesar
sebesar 501,8% (4) DSCR pada tahun 2005 – 2007 menunjukkan Pemerintah daerah dilihat dari kemampuan keungannya layak untuk
melakukan pinjaman, yaitu pada tahun 2005 sebesar 23,69, tahun 2006
sebesar 145,27, dan tahun 2007 sebesar 22,83%.
Penelitian lain dilakukan oleh Khoirul Furqon (2008) dengan judul
“Analisis Rasio sebagai Salah Satu Alat untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang”. Penelitian tersebut
menunjukkan rasio kemandirian tahun 2001 – 2005 cenderung tinggi atau baik.Dari perhitungan rasio efisiensi, rasionya cenderung naik, jadi kinerja
pemerintah dalam mengeluarkan biaya untuk memperoleh PAD kurang
efisien karena terjadi kenaikan. Ditinjau dari rasio aktivitas/keserasian
pemda masih memprioritaskan anggaran dana belanja untuk belanja rutin
daripada belanja pembangunan, tetapi pemda sudah memperhatikan sektor
pembangunan yang mempunyai multiple effect dan pengaruh langsung
terhadap peningkatan pendapatan daerah. Dan dilihat dari rasio
pertumbuhan, untuk mendapatkan PAD belum maksimal karena terjadi
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah studi kasus
yaitu penelitian yang dilakukan dengan menganalisis rasio keuangan
pemerintah dan APBD Pemerintah Kota Yogyakarta.Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif.Pemilihan pendekatan
penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan perilaku subjek penelitian. Hasil dari penelitian ini
tidak dapat digunakan bagi pemerintah kota/kabupaten lain.
B. Subyek dan Obyek Penelitian
1. Subyek penelitian ini adalah Dinas Peajak Daerah dan Pengelolaan
Keuangan Pemerintah Kota Yogyakarta.
2. Obyek penelitian ini adalah rasio keuangan APBD Pemerintah Kota
Yogyakarta untuk tahun 2007-2011.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian dilaksanakan di Pemerintah Kota Yogyakarta
2. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari tahun 2013 sampai
D. Data yang Diperlukan
a. Gambaran umum Kota Yogyakarta
b. Laporan Realisasi APBD Tahun 2007 - 2011
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan dan mempelajari
tentang data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti antara lain:
gambaran umum Pemerintah Kota Yogyakarta, target APBD, realisasi
APBD, dan Laporan Realisasi Anggaran.
2. Wawancara
Wawancara digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan
mengenai hal-hal yang tidak ditemui dalam metode pengumpulan data
lain, misalnya kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta.
F. Teknik Analisis Data
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, langkah selanjutnya
adalah sebagai berikut:
1. Menghitung seluruh rasio keuangan APBD.
a)Rasio KemandirianKeuangan Daerah
Dari hasil perhitungan tersebut, dapat ditarik kesimpulan dengan
parameter (Halim, 2004: 188-189):
1) Apabila tingkat kemandirian 0% - 25% artinya kemampuan
keuangan daerah tersebut rendah sekali dan menunjukkan pola
hubungan instruktif, yaitu daerah tersebut sangat tergantung
kepada pemerintah pusat yang tidak mampu melaksanakan
otonomi.
2) Apabila tingkat kemandirian 25% - 50% artinya kemampuan
keuangan daerah rendah dan menunjukkan pola hubungan
konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat mulai
berkurang, dengan demikian dianggap sedikit mampu
melaksanakan otonomi daerah.
3) Apabila tingkat kemandirian 50% - 75%, artinya kemampuan
keuangan daerah sedang dan menunjukkan pola hubungan
partisipatif, yaitu peranan pemerintah pusat semakin
berkurang. Dengan demikian daerah tersebut tingkat
kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan otonomi
daerah.
4) Apabila tingkat kemandirian 75% - 100%, artinya kemampuan
keuangan daerah tersebut tinggi dan menunjukkan pola
hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat
sudah tidak ada karena daerah benar-benar mampu dan mandiri
b)Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah
Rasio Efektivitas = Realisasi Penerimaan PAD
X100% Target Penerimaan PAD yang ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah
Untuk menentukan tingkat efektivitas tidaknya pungutan PAD
digunakan asumsi (Halim, 2002: 129):
1) Apabila kontribusi keluaran yang dihasilkan (realisasi PAD)
semakin besar terhadap nilai pencapaian sasaran (target PAD)
maka dapat dikatakan kinerja pemungutan PAD semakin
efektif.
2) Apabila kontribusi yang dihasilkan semakin kecil terhadap
nilai pencapaian sasaran maka dapat dikatakan kinerja
pemungutan PAD kurang efektif. Namun apabila rasio
efektivitas mencapai 1 berarti daerah tersebut mampu
menjalankan tugasnya dengan efektif.
Rasio = iyo
iyoBiaya yg dikeluarkan untuk memungut PAD
Efisiensi X 100% Realisasi Penerimaan PAD
Untuk menentukan tingkat efisiensi kinerja pemerintah daerah
dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien
apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (100%) (Halim, 2002:
c) Rasio Aktivitas dengan Menggunakan Rasio Keserasian
Rasio Belanja Rutin terhadap APBD
Total Belanja Rutin
X 100% Total APBD
Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD
Total belanja Pembangunan
X 100% Total APBD
Untuk menarik kesimpulan dari hasil perbandingan, prioritas
terbesar di antara rasio di atas menunjukkan dana lebih
diprioritaskan ke salah satu atau keduanya dengan range antara 1%
- 100%. Apabila prioritas tertinggi untuk belanja rutin, artinya
kinerja pemerintah daerah masih kurang mengutamakan
kepentingan pembangunan masyarakatnya.
d)Debt Service Coverage Ratio
DSCR = (PAD + BD + DAU) – BW
Total (Pokok Angsuran + Bunga + Biaya Pinjaman)
Hasil perhitungan yang diperoleh dengan menggunakan rumus di
atas merupakan angka maksimal apabila pemerintah daerah akan
melakukan tambahan dana dari pinjaman pihak luar.
e) Rasio Pertumbuhan
Rasio ini mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah
yang telah dicapainya dari periode ke periode berikutnya (Halim,
2002: 135).
Untuk penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara melihat
kenaikan atau penurunan pada masing-masing komponen
pendapatan dan pengeluaran tiap tahunnya. Apabila ada kenaikan
maka menunjukkan pertumbuhan positif dan kinerjanya baik,
sebaliknya jika ada penurunan maka menunjukkan pertumbuhan
negative atau kinerjanya tidak baik.
f) Derajat Desentralisasi
Derajat desentralisasi dihitung dengan menggunakan rumus:
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
X 100% Total Pendapatan Daerah
Dari hasil perhitungan dapat ditarik kesimpulan apabila kontribusi
PAD terhadap total pendapatan menunjukkan persentase yang
tinggi, berarti kemampuan pemertintah dalam menyelenggarakan
desentralisasi adalah baik.
g)Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah
Rasio ketergantungan keuangan daerah dihitung dengan
menggunakan rumus:
Pendapatan Transfer/Dana Perimbangan
Dalam penarikan kesimpulan dapat dilihat dari hasil perhitungan.
Apabila rasio ketergantungan menunjukkan prosentase yang tinggi
maka semakin besar pula tingkat ketergantungan pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat maupun provinsi.
h)Rasio Efektivitas Pajak Daerah
Rasio efektivitas pajak daerah dihitung dengan menggunakan
rumus:
Realisasi Penerimaan Pajak Daerah
X 100% Target Penerimaan Pajak Daerah
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas dapat
disimpulkan dengan cara melihat hasil rasio tersebut. Rasio ini
dianggap baik apabila mencapai angka minimal 1 atau 100%.
i) Derajat Kontribusi BUMD
Derajar kontribusi BUMD dihitung dengan menggunakan rumus:
Penerimaan Bagian Laba BUMD
X 100% Penerimaan PAD
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas dapat
disimpulkan dengan cara melihat hasil rasio tersebut. Semakin
tinggi rasio tersebut maka semakin baik pula tingkat kontribusi
j) Rasio Efisiensi Belanja Daerah
Rasio efisiensi belanja daerah dihitung dengan menggunakan
rumus:
Realisasi Belanja
X 100% Anggaran Belanja
Angka yang dihasilkan dari perhitungan rasio ini tidak bersifat
absolute, tetapi relatif. Artinya tidak ada standar baku yang
dianggap baik untuk rasio ini. Pemerintah daerah dinilai telah
melakukan efisiensi anggaran jika rasio efisiensinya kurang dari
100%, sebaliknya jika lebih dari 100% maka mengidikasikan telah
terjadi pemborosan anggaran.
k)Rasio Belanja Daerah terhadap PDRB
Rasio belanja daerah terhadap PDRB dihitung dengan
menggunakan rumus:
Total Realisasi Belanja Daerah
X 100% Total PDRB
Dapat disimpulkan apabila hasil dari perhitungan menggunakan
rumus di atas menunjukkan persentase yang kecil maka
kesenjangan antara pengeluaran belanja dengan periode yang
2. Melakukan analisis trend untuk melihat kecenderungan
masing-masing rasio keuangan dengan formula sebagai berikut:
Y’ = a + bX
∑
∑ ∑
Keterangan:
Y = Variabel rasio kemandirian Y’ = Trend
a = Besarnya Y saat X = 0
b = Besarnya perubahan Y bila X mengalami perubahan 1 satuan X = Waktu
3. Memaparkan hasil analisis dan menyimpulkan hasil perhitungan yang
36
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAN PROFIL KEUANGAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA
A. Sejarah Kota Yogyakarta
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti
pada tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di
bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur
Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti: Negara Mataram dibagi dua:
setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi
Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran
Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman
Kerajaan Jawa dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing
Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun
daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong,
Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara
yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret,
Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari,
Grobogan.
Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran
Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera
diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta
(Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini
ialah hutan yang disebut Beringin. Di sana telah ada sebuah desa kecil
bernama Pachetokan dan terdapat suatu pesanggrahan yang dinamai
Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan
namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut di
atas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan
kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.
Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan
menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah
dikerjakan juga.Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada
tanggal 9 Oktober 1755.Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan
mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan
memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah
Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan
Hamengku Buwono untuk berpindah dan menetap di Kraton yang baru.
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan
dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan di antara sungai
Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategis
menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Sesudah Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi
Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya
pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang
menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan
Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut
pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau
mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan
Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII
bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.
Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari
Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat
membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang
dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota
Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab
kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih
Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan
Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa
Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan
Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang
menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah
tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang
dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut
masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya
belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di
mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja
Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr. Soedarisman
Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah
Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu
bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta
baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan
dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan
Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.
Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan
Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah
dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh
ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliau Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan
Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan
masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II
seperti yang lain.
Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk
menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin