• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Belajar dan Pembelajaran

Belajar dan pembelajaran merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi dalam dunia pendidikan. Belajar dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena dalam belajar pasti terjadi proses pembelajaran.

Maka, dapat diartikan bahwa belajar merupakan bagian dari pembelajaran.

Beberapa ahli juga mendefinisikan pengertian belajar dan pembelajaran dalam berbagai versi. Oleh karena itu, untuk menghindari pemahaman yang beragam berikut ini akan dipaparkan pengertian belajar, teori- teori belajar, prinsip belajar, faktor- faktor yang mempengaruhi belajar dan pengertian pembelajaran menurut para ahli.

a. Pengertian Belajar

Menurut Dahar (2011: 2), belajar didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.

Senada dengan pengertian tersebut, Slameto (2003: 2) mendefinisikan belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Syah (2013:

90) juga menyatakan bahwa belajar merupakan tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Baharuddin dan Wahyuni (2015: 13) menambahkan bahwa belajar merupakan proses manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Menurut Widoyoko (2014: 176), belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan, dan atau kenaikan keterampilan peserta didik setelah selesai mengikuti program. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009: 18), belajar merupakan proses internal yang kompleks

(2)

commit to user

meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Selaras dengan pengertian sebelumnya, Ahmad (2012: 2) memaknai belajar sebagai proses perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat dari proses interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan tingkah laku meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dimaknai bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang dipengaruhi oleh stimulus dan respon yang terjadi. Adapun respon yang diterima oleh setiap siswa akan berbeda- beda. Respon yang diterima dapat berupa respon positif namun dapat juga berupa respon negatif. Oleh karena itu dalam proses belajar di sekolah peran guru diperlukan khususnya untuk membimbing dan memastikan bahwa respon yang diterima oleh siswa sesuai dengan apa yang diharapkan.

b. Teori- teori Belajar

Teori belajar dapat diartikan sebagai prinsip umum yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Ada banyak teori belajar yang telah dikemukakan para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Teori Belajar Behaviorisme

Menurut Suyono dan Hariyanto (2016: 58), aliran behaviorisme sangat menekankan kepada perlunya perilaku (behavior) yang perlu diamati. Menurut Wahab (2015: 37), teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 125), aliran behaviorisme memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon. Menurut Budiningsih (2012: 20), belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dimaknai bahwa belajar menurut aliran behaviorisme adalah proses pembentukan tingkah laku atau

(3)

commit to user

prestasi belajar yang memiliki ciri- ciri: 1) mementingkan pengaruh lingkungan; 2) mementingkan detail; 3) mementingkan respon; 3) mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar; 4) mementingkan sebab- sebab di waktu lampau; 5) mementingkan pembentukan kebiasaan;

6) ciri khusus dalam pemecahan masalah adalah melalui trial and error.

Ada beberapa tokoh yang menganut aliran ini diantaranya adalah Thorndike, Pavlov dan Watson, Skinner, Bandura. Teori- teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Connectionism (S-R Bond) Menurut Edward Lee Thorndike

Menurut teori ini, belajar merupakan proses pembentukan tingkah laku sebagai hubungan antara stimulus dan respon yang diistilahkan S-R Bond (Syah, 2013: 103). Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 92), belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon. Menurut Sutikno (2013: 11), belajar adalah proses pembentukan asosiasi antara yang sudah diketahui dengan yang baru.

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dimaknai bahwa belajar adalah hasil interaksi antara stimulus dan respon, semakin banyak seseorang menguasai hubungan S-R maka belajarnya dapat dikatakan sukses.

Dalam bukunya Suyono dan Hariyanto (2016: 61), ada beberapa hukum belajar yang dikemukakan oleh Thorndike yaitu law of effect (hukum efek), law of readiness (hukum kesiapan) dan law of exercise (hukum latihan). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

 Pertama, law of effect (hukum efek) menyatakan bahwa jika sebuah respon (R) menghasilkan efek yang memuaskan maka ikatan antara S (stimulus) dengan R (respon) akan semakin kuat, demikian juga berlaku sebaliknya (Suyono dan Hariyanto, 2016: 61). Senada dengan pengertian tersebut Syah (2013: 104) juga menjelaskan bahwa jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan maka hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 98), jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan

(4)

commit to user

yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu akan diulang kembali dan akan semakin meningkat. Artinya, seseorang akan lebih bersemangat dalam belajarnya apabila mengetahui akan mendapatkan hasil yang baik. Menurut Sutikno (2013: 11), hukum efek menyatakan bahwa aktivitas belajar yang memberi efek menyenangkan cenderung akan diulang atau ditingkatkan dan apabila efeknya tidak menyenangkan akan terjadi sebaliknya.

 Kedua, law of readiness (hukum kesiapan) maksudnya belajar akan lebih berhasil apabila seseorang memiliki kesiapan untuk melakukannya. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 95) menyatakan bahwa dalam belajar organisme atau individu harus dalam keadaan siap, baik siap secara fisik maupun mental untuk menerima atau mempelajari pengetahuan dan perilaku baru agar mencapai keberhasilan. Menurut Syah (2013: 104), hukum kesiapan pada prinsipnya hanya sebuah asumsi bahwa kepuasan organisme berasal dari pendayagunaan conduction units yang menimbulkan kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Menurut Sutikno (2013: 11), hukum kesiapan menyatakan bahwa aktivitas belajar dapat berlangsung efektif dan efisien apabila subjek telah memiliki kesiapan belajar.

 Ketiga, law of exercise (hukum latihan) menyatakan seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang berulang- ulang untuk menghasilkan tindakan yang sesuai dan memuaskan untuk merespon suatu stimulus (Baharuddin dan Wahyuni, 2015: 96). Menurut Syah (2013: 104), jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat.

Sebaliknya, jika perilaku tersebut tidak sering dilatih maka perilaku tersebut akan terlupakan. Menurut Sutikno (2013: 11), hukum latihan merupakan koneksi antara kondisi dan tindakan yang akan menjadi lebih kuat apabila ada latihan.

(5)

commit to user

b) Classical Conditioning Menurut Ivan Pavlov

Teori pengkondisian klasik merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme. Menurut Suyono dan Hariyanto (2016:

62), belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 84), belajar adalah proses pengkondisian stimulus untuk mengarahkan respon siswa.

Menurut Suyono dan Hariyanto (2016: 62), hukum belajar yang dikemukakan Pavlov ada dua yang pertama adalah law of respondent conditioning yang menyatakan jika dua macam stimulus dihadirkan secara bersamaan maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat sedangkan hukum yang kedua adalah law of respondent extinction menyatakan jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer maka kekuatannya akan menurun.

c) Operant Conditioning Menurut B.F. Skinner

Menurut Suyono dan Hariyanto (2016: 63), teori ini dilandasi oleh adanya penguatan (reinforcement). Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 103), belajar didefinisikan sebagai proses perubahan perilaku yang dicapai sebagai hasil belajar dengan melalui proses penguatan yang biasanya disebut dengan operant conditioning.

Menurut Syah (2013: 88), belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif dan akan optimal ketika diberi penguatan. Menurut Budiningsih (2012: 24), belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku.

Jadi perbedaan teori ini dengan teori pengkondisian klasik dari Pavlov adalah pada pengkondisiannya. Jika pada teori Pavlov yang diberi kondisi adalah stimulusnya sedangkan pada teori ini yang diberi kondisi adalah responnya.

(6)

commit to user 2) Teori Belajar Kognitif

Menurut Budiningsih (2012: 34), teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya sehingga belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Menurut Suyono dan Hariyanto (2016: 73), perilaku seseorang selalu didasarkan oleh kognitif, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana perilaku itu terjadi. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 125), teori belajar kognitif memandang belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan sehingga perilaku yang tampak tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya. Menurut Syah (2013: 113), aliran kognitif memandang bahwa setiap siswa lahir dengan bakat dan kemampuan mental yang menjadi basis kegiatan belajar termasuk untuk merespon stimulus yang diperoleh dalam proses belajar.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disintesiskan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan stimulus dan respon yang bersifat mekanistik tetapi lebih dari itu yaitu melibatkan proses berpikir yang lebih kompleks. Menurut aliran behavioristik, reinforcement dipandang sebagai elemen penting untuk menjaga atau menguatkan perilaku maka sedangkan menurut aliran kognitif, reinforcement dipandang sebagai sebuah sumber feedback. Beberapa tokoh teori belajar kognitif diantaranya Jean Piaget, Ausubel, Bruner.

a) Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Menurut Suyono dan Hariyanto (2016: 83), teori perkembangan kognitif Piaget merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem saraf.

Semakin bertambahnya usia seseorang maka akan semakin komplekslah susunan sel sarafnya dan makin meningkat juga kemampuan intelektualnya. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015:

166), pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman

(7)

commit to user

sehingga pemahaman akan semakin berkembang apabila selalu diuji oleh berbagai pengalaman baru. Menurut Sutikno (2013: 11) dikatakan bahwa pada saat seseorang tumbuh menjadi dewasa, ia akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan- perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disintesiskan bahwa teori perkembangan kognitif merupakan teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan mental yang membahas tentang tahap- tahap perkembangan intelektual anak dari lahir sampai dewasa.

Semakin banyak pengalaman yang diperoleh maka pemahaman yang didapatkan juga akan semakin berkembang.

b) Teori Belajar Bermakna David P. Ausuble

Menurut Budiningsih (2012: 43), belajar merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa dimana materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif. Menurut Suyono dan Hariyanto (2016: 100), pembelajaran berdasarkan hafalan tidak banyak membantu siswa di dalam memperoleh pengetahuan, pembelajaran oleh guru harus sedemikian rupa sehingga membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, pembelajaran haruslah bermakna bagi siswa.

Teori belajar bermakna yang dikemukakan oleh David P. Ausubel dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Pertama, dimensi yang berhubungan dengan materi pelajaran yang disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Kedua, dimensi yang menyangkut tentang bagaimana cara siswa dapat mengaitkan informasi pada stuktur kognitif yang telah ada.

Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan kepada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi dalam bentuk final maupun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Selanjutnya pada

(8)

commit to user

tingkat kedua, siswa menghubungkan informasi tersebut pada pengetahuan yang telah dimilikinya sehingga terjadi belajar bermakna.

Tetapi, siswa tersebut dapat juga hanya menghafal informasi baru tersebut tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada pada struktur kognitifnya, jika demikian maka yang terjadi adalah belajar hafalan.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disintesiskan bahwa belajar menurut teori ini adalah proses mengaitkan informasi yang baru diperoleh dengan informasi sebelumnya yang telah tersimpan dalam struktur kognitifnya. Siswa tidak sekedar menghafal melainkan menganalisis dan menghubungkan informasi- informasi yang diperolehnya.

c) Teori Discovery Learning dari Jerome S. Bruner

Menurut Suyono dan Hariyanto (2016: 88), dasar teori ini discovery learning adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa saat belajar di kelas, anak harus berperan aktif karena konsep belajar dengan menemukan (discovery learning) adalah siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir anak.

Menurut Slameto (2003: 11), proses belajar memerlukan partisipasi aktif dari siswa dan memahami dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Proses belajar akan semakin berkualitas jika didukung lingkungan yang memungkinkan siswa untuk melakukan eksplorasi terhadap penemuan- penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Menurut Syah (2013: 111), dalam proses belajar siswa menempuh tiga episode atau fase yakni fase informasi (tahap penerimaan materi), fase transfromasi (tahap pengubahan materi), dan fase evaluasi (tahap penilaian materi).

Menurut Sutikno (2013: 13), perkembangan kognitif seseorang akan terjadi melalui tiga tahap (enaktif, ikonik dan simbolik) yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan.

(9)

commit to user

Menurut Bruner seiring dengan terjadinya perkembangan kognitif, siswa harus melalui tiga tahap pembelajaran yaitu enaktif, ikonik dan simbolik. Pertama, enaktif adalah tahap yang menyatakan bahwa seseorang belajar tentang dunia melalui respon atau aksi- aksi terhadap suatu objek (Suyono dan Hariyanto, 2016: 89). Pada tahap ini anak menggunakan keterampilan dan pengetahuan motorik seperti meraba, memegang, mencengkeram, menyentuh, menggigit. Berbeda dengan tahap yang kedua yaitu ikonik. Pada tahap ikonik, pembelajaran terjadi melalui penggunaan model dan gambar- gambar dan visualisasi verbal (Slameto, 2003: 12). Selanjutnya, tahap simbolik yang merupakan tahap ketiga dalam teori ini. Pada tahap simbolik, siswa sudah mampu menggambarkan kapasitas berpikir dalam istilah- istilah yang abstrak (Slameto, 2003: 12).

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat dimaknai bahwa hakikatnya dalam proses belajar siswa harus berperan aktif menggali dan menemukan bahan pelajaran yang dipelajarinya. Proses belajar ini akan semakin optimal jika didukung dengan lingkungan belajar yang kondusif.

3) Teori Belajar Konstruktivisme

Menurut Suyono dan Hariyanto (2016: 105), konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang given dari alam karena hasil kontak manusia dengan alam, tetapi pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan aktif manusia yang bersangkutan. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 164), konstruktivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya. Menurut Budiningsih (2012: 64), belajar merupakan suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang akan

(10)

commit to user

membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disintesiskan bahwa teori belajar konstruktivisme memandang pengetahuan itu dibangun oleh individu yang bersangkutan sedikit demi sedikit berdasarkan pengalaman belajarnya masing- masing sehingga hasilnya bisa berbeda- beda. Pada intinya menurut teori ini, belajar bukanlah sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan dan harus dibangun oleh siswa itu sendiri. Artinya siswa harus terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran karena pengetahuan tidak datang begitu saja tetapi harus dikostruksi atau dibangun. Selain itu, pembelajaran juga bukanlah suatu transmisi pengetahuan melainkan merupakan interaksi dengan lingkungan belajar sehingga pengaturan situasi lingkungan belajar penting untuk diperhatikan.

c. Prinsip- prinsip Belajar

Ada beberapa prinsip belajar yang secara umum berlaku dan dipakai dalam upaya pembelajaran baik bagi siswa dalam meningkatkan proses belajarnya maupun bagi guru untuk meningkatkan kualitas mengajarnya.

Adapun prinsip- prinsip belajar yang dapat dipakai sebagai dasar dalam upaya pembelajaran diantaranya yaitu:

1) Perhatian dan motivasi

Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar.

Menurut Slameto (2003: 56), siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa maka timbul kebosanan dan siswa menjadi tidak menyukai belajar.

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009: 42), perhatian terhadap pelajaran akan muncul apabila siswa merasa bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Jika siswa merasa demikian maka motivasi untuk mempelajari lebih lanjut juga akan muncul.

Perhatian dan motivasi saling berkaitan erat. Selain perhatian, motivasi juga memiliki peran penting dalam kegiatan belajar karena

(11)

commit to user

motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Oleh karena itu menurut Slameto (2003: 27), belajar harus dapat menimbulkan motivasi. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015:

20), motivasi belajar siswa akan meningkat apabila siswa diberi tanggung jawab dan kepercayaan penuh atas belajarnya.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disintesiskan bahwa perhatian dan motivasi memiliki peran penting dalam belajar sehingga motivasi perlu dibangkitkan dan dipertahankan karena dengan adanya motivasi maka siswa akan tergerak untuk belajar tanpa keterpaksaan dan otomatis siwa juga akan memusatkan perhatiannya karena antusiasme mereka.

2) Keterlibatan langsung

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009: 46), keterlibatan siswa di dalam belajar tidak hanya diartikan sebagai keterlibatan fisik, tetapi juga keterlibatan mental, emosional, kognitif, penghayatan dan internalisasi nilai- nilai dalam pembentukan sikap dan nilai juga pada saat mengadakan latiahan dalam pembentukan keterampilan. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 19), apapun yang dipelajari, siswalah yang harus bertindak aktif bukan orang lain. Setiap siswa harus diusahakan berpartisipasi aktif dalam belajar (Slameto, 2003: 27).

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dimaknai bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung, siswa tidak sekedar mengamati tetapi harus menghayati dan terlibat aktif dalam perbuatan.

3) Pengulangan

Teori psikologi daya dalam Dimyati dan Mudjiono (2009: 46) menekankan bahwa prinsip belajar perlu pengulangan karena dengan mengadakan pengulangan maka daya- daya yang ada pada manusia akan berkembang. Menurut Slameto (2003: 28), belajar memerlukan repetisi atau pengulangan berkali- kali agar pengertian/ keterampilan/ sikap dipahami secara mendalam oleh siswa. Menurut teori psikologi asosiasi

(12)

commit to user

atau koneksionisme yang dikemukakan oleh Thorndike juga menyatakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap pengalaman- pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons yang benar (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 47).

Berdasarkan kedua teori tersebut diketahui bahwa pengulangan akan membantu daya ingat siswa dalam mengingat materi dan memperbesar peluang adanya respon yang tepat. Mengetahui pentingnya prinsip pengulangan yang dikemukakan dalam kedua teori tersebut maka dalam belajar masih tetap diperlukan latihan atau pengulangan, seperti dengan menggunakan metode drill dan stereotyping.

4) Tantangan

Tantangan yang dihadapi siswa dalam pembelajaran membuat siswa bergairah untuk mengatasinya (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 48).

Menurut Slameto (2003: 28), belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif. Bahan belajar baru yang mengandung masalah yang perlu dipecahkan akan membuat siswa tertantang mempelajarinya.

Maka dapat dimaknai bahwa pelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari dan menemukan sendiri materi yang dipelajari juga dapat menjadi tantangan bagi siswa.

5) Penguatan

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009: 48), penguatan atau umpan balik juga akan membuat siswa bersemangat dalam belajar. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015: 19), siswa akan dapat belajar dengan baik apabila mendapat penguatan langsung pada setiap langkah yang dilakukan selama proses belajar. Menurut Budiningsih (2012: 20), penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Maka dapat dimaknai bahwa adanya reward setiap kali siswa menyelesaikan atau memecahkan suatu masalah perlu dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Hal ini penting untuk menimbulkan dorongan belajar dalam diri siswa sehingga siswa akan bersungguh- sungguh dalam belajar.

(13)

commit to user 6) Perbedaan Individual

Siswa merupakan individu yang unik yang berbeda antara siswa yang satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian dan sifat- sifatnya (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 49).

Menurut Slameto (2003: 39), siswa merupakan makhluk individu yang unik yang masing- masing mempunyai perbedaan khas, seperti perbedaan inteligensi, minat bakat, hobi, tingkah laku, watak maupun sikapnya. Jadi dapat disintesiskan bahwa perbedaan individual mempengaruhi cara belajar dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran perlu memperhatikan perbedaan individual antar siswa.

d. Pengertian Pembelajaran

Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pembelajaran didefinisikan sebagai proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber bealajar pada suatu lingkungan belajar. Secara tidak langsung pengertian ini mengamanahkan agar pendidik dapat mengupayakan lingkungan belajar yang dapat mendukung proses interaksi dalam belajar. Oleh karena itu sudah seharusnya pembelajaran didesain dengan baik agar dapat memberikan pemahaman dan meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Disisi lain, Ahmad (2012: 2) mengatakan bahwa hakikat pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan seseorang untuk membuat orang lain (peserta didik) mengalami perubahan tingkah laku yakni dari tingkah laku negatif ke positif. Hal ini diperjelas oleh Aunurrahman (2014: 34) yang menyatakan bahwa pembelajaran berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik, menjadi siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, menjadi siswa yang memiliki pengetahuan. Pengertian tersebut juga senada dengan yang disampaikan Saefuddin dan Berdiati (2016) bahwa pembelajaran dapat dimaknai sebagai proses penambahan pengetahuan dan wawasan melalui rangkaian aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan

(14)

commit to user

mengakibatkan perubahan positif dan pada tahap akhir akan didapat keterampilan, kecakapan dan pengetahuan baru. Menurut Khuluqo (2017:

52), pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada diri peserta didik. Menurut Sudaryono (2012: 61), proses pembelajaran merupakan suatu proses peningkatan kemampuan siswa, baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.

Berdasarkan pengertian pembelajaran tersebut artinya pembelajaran merupakan proses interaksi antara peserta didik, pendidik, sumber belajar dan lingkungan belajar yang bertujuan untuk mengarahkan atau memberikan pengalaman yang bermakna sehingga terjadi perubahan tingkah laku.

Perubahan tingkah laku dapat berupa perubahan sikap, kebiasaan atau tingkah laku yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.

e. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan pembelajaran, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Faktor Guru

Menurut Sanjaya (2006: 52), guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran.

Keberhasilan implementasi suatu strategi pembelajaran tergantung pada kepiawaian guru dalam menggunakan metode, teknik, dan taktik pembelajaran. Menurut Suyono dan Hariyanto (2016: 208), pembelajaran efektif hanya mungkin terjadi jika didukung oleh guru yang efektif.

Menurut Sudaryono (2012: 60), guru menjadi penentu berhasilnya proses pembelajaran oleh karena itu seorang guru harus menguasai keterampilan mengorganisasi siswa dan menguasai materi pelajaran dengan baik.

Maka dapat diartikan bahwa dalam proses pembelajaran guru berperan sebagai pengelola pembelajaran. Keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh kualitas dan kemampuan guru.

(15)

commit to user 2) Faktor Siswa

Menurut Sanjaya (2006: 54), siswa adalah organisme yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya dengan tempo dan irama perkembangan yang berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Perkembangan siswa yang tidak sama dan karakteristik yang melekat pada siswa ini akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran.

Menurut Sutikno (2013: 89), siswa sebagai subjek belajar memiliki karakteristik yang berbeda –beda, baik minat, bakat, kebiasaan, motivasi, situasi sosial, lingkungan keluarga dan harapan terhadap masa depannya.

Semua perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap proses pembelajaran.

Maka dapat dimaknai bahwa proses pembelajaran akan dipengaruhi oleh kemampuan dasar, pengetahuan, sikap maupun latar belakang siswa.

Perbedaan tersebut tentu menuntut perlakuan yang berbeda dalam proses pembelajaran.

3) Faktor Sarana dan Prasarana

Menurut Sanjaya (2006: 55), sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran sedangkan prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Menurut Sutikno (2013: 89), ketiadaan fasilitas akan sangat mengganggu proses pembelajaran.

Oleh karena itu dapat dimaknai bahwa kelengkapan sarana yang meliputi media pembelajaran, alat peraga, perlengakpan sekolah dan prasarana yang meliputi penerangan sekolah, fasilitas sekolah akan mempengaruhi proses pembelajaran. Sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai akan membatu guru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran.

4) Faktor Lingkungan

Menurut Sutikno (2013: 89), situasi kegiatan belajar merupakan setting lingkungan pembelajaran yang dinamis, maka guru harus teliti

(16)

commit to user

melihat lingkungan di sekitar. Menurut Sanjaya (2006: 56), ada dua faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu faktor organisasi kelas dan faktor iklim sosial psikologis. Faktor organisasi kelas mencakup jumlah siswa dalam satu kelas sedangkan faktor iklim sosial psikologis mencakup keharmonisan hubungan baik antar siswa maupun guru.

Maka dapat dimaknai bahwa lingkungan belajar di sekitar siswa berpengaruh terhadap kesuksesan pembelajaran. Jumlah siswa yang ideal dalam suatu kelas akan menciptakan kondisi yang kondusif untuk belajar begitu pula sebaliknya. Keharmonisan hubungan antara siswa dan guru juga akan turut mempengaruhi kualitas interaksi selama proses pembelajaran.

f. Komponen- komponen Sistem Pembelajaran

Pembelajaran sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi. Adapun, komponen- komponen tersebut adalah:

1) Tujuan Pembelajaran

Menurut Khuluqo (2017: 57), tujuan pembelajaran pada dasarnya adalah kemampuan- kemampuan yang diharapkan dimiliki peserta didik setelah memperoleh pengalaman belajar. Menurut Sanjaya (2006: 58), tujuan merupakan komponen yang pertama dan utama karena arah pembelajaran ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan pengertian tersebut dengan kata lain tujuan pembelajaran merupakan cita- cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan proses pembelajaran.

2) Isi atau Materi

Menurut Khuluqo (2017: 58), materi pembelajaran merupakan medium untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dipelajari oleh peserta didik. Materi pelajaran merupakan inti dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu guru perlu memahami isi materi pelajaran yang harus dikuasi siswa secara detail (Sanjaya, 2006: 60). Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disintesiskan bahwa materi pembelajaran merupakan unsur utama dalam proses pembelajaran karena materi pembelajaran tersebut

(17)

commit to user

yang diupayakan untuk dipahami oleh peserta didik. Maka, kemampuan guru dalam mengkombinasikan berbagai sumber belajar dan menguasai materi juga menentukan keberhasilan proses pembelajaran.

3) Metode

Menurut Khuluqo (2017: 60), metode merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Senada dengan pengertian tersebut, Sutikno (2013: 85) mengartikan metode sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Sanjaya (2006: 60), strategi atau metode adalah komponen yang menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran karena bagaimanapun lengkapnya komponen yang lain tidak akan dapat diimplementasikan tanpa adanya strategi atau metode yang tepat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disintesiskan bahwa metode merupakan suatu strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu.

4) Media

Menurut Sutikno (2013: 105), media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Menurut Khuluqo (2017: 60), media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Sanjaya (2016: 61), media adalah alat bantu yang mempunyai peran penting karena kualitas pembelajaran juga akan ditentukan oleh berbagai sumber belajar.

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diartikan bahwa media adalah alat bantu yang berfungsi untuk mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran. Pemilihan media pembelajaran yang tepat akan membantu proses pembelajaran.

5) Evaluasi

Menurut Khuluqo (2017: 62), evaluasi merupakan aspek yang penting, yang berguna untuk mengukur dan menilai seberapa jauh tujuan pembelajaran telah tercapai atau sejauh mana terdapat kemajuan belajar peserta didik, dan bagaimana tingkat keberhasilan sesuai dengan tujuan pembelajaran tersebut. Menurut Sanjaya (2006: 61), evaluasi tidak hanya

(18)

commit to user

berfungsi untuk melihat keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran melainkan juga berfungsi sebagai umpan balik bagi guru atas kinerjanya dalam pengelolaan pembelajaran. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disintesiskan bahwa evaluasi merupakan kegiatan menilai apakah tujuan yang telah dirumuskan dapat dicapai atau tidak, apakah materi yang telah diberikan dapat dikuasi atau tidak, dan apakah penggunaan metode dan media pembealajrannya tepat atau tidak.

2. Media Pembelajaran

Media pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Adapun, media pembelajaran dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu media visual, auditori, video, maupun multimedia. Media pembelajaran mempunyai beberapa manfaat dan fungsi dalam pembelajaran. Namun, sebagus apapun media pembelajarannya jika pemilihan media tidak tepat dan sesuai dengan materi maka media pembelajaran tersebut kurang efektif.

a. Pengertian Media Pembelajaran

Menurut Munadi (2013: 7), media pembelajaran dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif. Daryanto (2012: 4) menyimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan sarana perantara dalam proses pembelajaran sedangkan Arsyad (2014: 3) secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat- alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Menurut Sutikno (2013: 106), media pembelajaran dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat membawa informasi dan pengetahuan dalam interaksi yang berlangsung antara pendidik dengan siswa.

Berdasarkan pengertian di atas dapat diartikan bahwa media pembelajaran adalah sarana perantara yang membantu proses pembelajaran

(19)

commit to user

sehingga stimulus yang diberikan oleh guru dapat direspon dengan baik oleh siswa.

b. Fungsi Media Pembelajaran

Ada beberapa fungsi penggunaan media dalam proses pembelajarannya, diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Fungsi atensi

Menurut Arsyad (2014: 20), penggunaan media dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran.

Menurut Sutikno (2013: 107), penggunaan media pembelajaran dapat menghilangkan kebosanan siswa dalam belajar.

2) Fungsi afektif

Menurut Sutikno (2013: 107), penggunaan media dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari sesuatu dan meningkatkan keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Menurut Arsyad (2014: 21), media pembelajaran berupa gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa. Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 17), penggunaan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik.

3) Fungsi kognitif

Menurut Sutikno (2013: 106), media pembelajaran dapat membantu untuk mempercepat pemahaman siswa dan memperjelas penyajian pesan agar tidak bersifat verbalistis. Menurut Arsyad (2014: 201), media berbentuk gambar dapat memperlancar pemahaman dan daya ingat siswa terhadap informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.

4) Fungsi kompensatoris

Media pembelajaran membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali atau dengan kata lain media pembelajaran berfungsi untuk membantu siswa yang daya serapnya rendah memahami materi (Arsyad,

(20)

commit to user

2014: 21). Menurut Sutikno (2013: 107), media pembelajaran membuat proses pembelajaran lebih komunikatif dan melayani gaya belajar siswa yang beraneka ragam. Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 8), media pembelajaran membantu memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata- kata tertulis atau lisan belaka).

Oleh karena itu dapat disintesiskan bahwa fungsi media pembelajaran diantaranya adalah untuk menarik perhatian siswa, mempengaruhi sikap dan keaktifan dalam proses belajar siswa, memperjelas materi yang disajikan, dan membantu mempercepat pemahaman siswa.

c. Macam- macam Media

Media yang telah dikenal saat ini diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi yaitu dilihat dari jenisnya, daya liputnya dan dari bahan pembuatannya. Adapun deskripsinya adalah sebagai berikut:

1) Dilihat dari jenisnya

Menurut Djamarah dan Zain (2010: 124) mengggolongkan media berdasarkan jenisnya menjadi tiga yaitu media auditif, visual dan audiovisual. Menurut Sutikno (2013: 108), media auditif adalah media yang mengandalkan kemampuan suara sedangkan media visual adalah media yang mengandalkan indra penglihatan dan media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Menurut Djamarah dan Zain (2010: 124), perpaduan unsur suara dan unsur gambar pada media audiovisual membuat media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan media auditif dan visual.

2) Dilihat dari daya liputnya

Menurut Djamarah dan Zain (2010: 125) mengatakan bahwa dilihat dari daya liputnya, media dibagi menjadi tiga yaitu media dengan daya liput luas dan serentak, media dengan daya liput terbatas oleh ruang dan tempat, dan media untuk pembelajaran individual. Menurut Sutikno (2013:

109), media dengan daya liput luas dan serentak adalah media yang tidak

(21)

commit to user

terbatas oleh tempat dan ruang sedangkan media dengan daya liput yang terbatas oleh ruang dan tempat adalah media yang penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus. Selanjutnya, menurut Djamarah dan Zain (2010: 125), media pengajaran individual adalah media yang penggunaannya hanya untuk seorang diri.

3) Dilihat dari bahan pembuatannya

Menurut Djamarah dan Zain (2010: 126) menyatakan bahwa dilihat dari bahan pembuatannya, media dibagi menjadi media sederhana dan kompleks. Menurut Sutikno (2013: 109), media sederhana adalah media yang bahan dasarnya mudah diperoleh dengan harga murah, cara pembuatannya mudah dan penggunaannya tidak sulit sedangkan media kompleks adalah media yang bahan dan alat pembuatannya sulit diperoleh serta mahal harganya.

Selain klasifikasi media yang telah dipaparkan di atas. Media juga dibedakan menjadi 6 jenis yaitu:

1) Teks

Teks merupakan karakter alfanumerik yang mungkin ditampilkan dalam format apa saja. Adapun teks dapat tercantum dalam media yang berupa tulisan di buku, poster, papan tulis, dan layar komputer (Smaldino, Lowther, Russell, 2011: 7).

2) Audio

Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 49), media audio adalah media yang penggunaannya berkaitan dengan indera pendengaran. Audio mencakup apa saja yang bisa didengar seperti suara dan musik baik diperdengarkan secara langsung maupun melalui rekaman (Smaldino, Lowther, Russell, 2011: 7)

3) Visual

Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 8), media visual adalah peralatan yang digunakan untuk menyampaikan pembelajaran melalui penglihatan. Menurut Smaldino, Lowther, Russell, (2011: 7), media visual yang biasanya digunakan dalam pembelajaran

(22)

commit to user

diantaranya adalah diagram, poster, gambar, foto, grafik, kartun, dan sebagainya.

4) Video

Video merupakan media yang menampilkan gerakan, misalnya DVD, rekaman video dan animasi komputer (Smaldino, Lowther, Russell, 2011: 7)

5) Perekayasa

Perekayasa adalah media yang bersifat tiga dimensi, bisa disentuh dan dipegang oleh para siswa (Smaldino, Lowther, Russell, 2011: 7).

6) Orang.

Menurut Arsyad (2014: 79), media berbasis manusia merupakan media tertua yang digunakan untuk mengirimkan dan mengkomunikasikan pesan atau informasi yang bermanfaat apabila tujuannya untuk mengubah sikap atau ingin secara langsung memantau pembelajaran siswa. Menurut Smaldino, Lowther, Russell (2011: 7), orang- orang seperti guru, siswa, atau ahli bidang studi juga dapat berperan sebagai sumber belajar.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disintesiskan bahwa media diklasifikasikan berdasarkan jenisnya, daya liputnya dan bahan pembuatannya. Berdasarkan jenisnya, media dibedakan menjadi 3 yaitu media auditif, visual dan audiovisual sedangkan berdasarkan daya liputnya media dibedakan menjadi media dengan daya liput luas dan serentak, media dengan daya liput terbatas oleh ruang dan tempat, dan media untuk pembelajaran individual. Berdasarkan bahan pembuatannya media dibagi menjadi media sederhana dan kompleks.

d. Pemilihan Media Pembelajaran

Pembelajaran yang efektif memerlukan perencanaan yang baik. Media yang akan digunakan dalam proses pembelajaran juga memerlukan perencanaan yang baik apalagi karakteristik dan kemampuan masing- masing

(23)

commit to user

media berbeda. Ada beberapa pendapat tentang faktor- faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran.

Faktor- faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran adalah sebagai berikut:

1) Objektivitas

Menurut Sutikno (2013: 111), media dipilih bukan atas kesenangan atau kebutuhan guru, melainkan keperluan sistem belajar. Menurut Khuluqo (2017: 154), media dipilih bukan karena unsur subjektivitas yang artinya pendidik tidak boleh memilih suatu media pengajaran atas kesenangan pribadi. Menurut Djamarah dan Zain (2010: 128), untuk menghindari pengaruh unsur subjektivitas guru, alangkah baiknya apabila dalam memilih media pengajaran itu guru meminta pandangan atau saran dari teman sejawat, dan atau melibatkan siswa.

2) Program pembelajaran

Menurut Sutikno (2013: 111), media pembelajaran harus disesuaikan dengan program pembelajaran yang akan disampaikan kepada anak didik yakni harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku, baik isinya, sturkturnya maupun kedalamannya. Menurut Khuluqo (2017: 154), media pembelajaran yang digunakan juga perlu dilihat kesesuaianya dengan program pembelajaran.

3) Sasaran program

Menurut Khuluqo (2017: 154), sasaran program yang dimaksud adalah anak didik yang menerima informasi pengajaran melalui media pembelajaran. Oleh karena itu media yang digunakan harus dilihat kesesuaiannya dengan tingkat perkembangan anak didik. Menurut Sutikno (2013: 111) juga demikian, media yang akan digunakan harus dilihat kesesuaiannya dengan tingkat perkembangan siswa, baik dari segi bahasa, simbol- simbol yang digunakan, cara dan kecepatan penyajian maupun waktu penggunaannya.

(24)

commit to user 4) Situasi dan kondisi

Menurut Khuluqo (2017: 155), situasi dan kondisi yang dimaksud meliputi situasi dan kondisi sekolah serta situasi dan kondisi peserta didik yang akan mengikuti pelajaran. Menurut Sutikno (2013: 111), situasi dan kondisi yang dimaksud adalah sekolah atau tempat dan ruangan yang akan dipergunakan, baik ukuran, perlengkapan maupun ventilasinya, situasi serta kondisi siswa yang akan mengikuti pelajaran baik jumlah, motivasi, dan antusiasmenya.

5) Kualitas teknik

Menurut Khuluqo (2017: 155), dari segi teknik media pengajaran yang akan digunakan perlu diperhatikan, apakah sudah memenuhi syarat.

Menurut Sutikno (2013: 111), kualitas teknik mencakup kualitas gambar, suara, dan kualitas alat- alat lainnya yang barangkali perlu penyempurnaan.

Disisi lain, menurut Arsyad (2014: 69- 70) beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media dirangkum sebagai berikut:

1) Hambatan pengembangan dan pembelajaran yang meliputi faktor- faktor dana, fasilitas dan peralatan yang telah tersedia, waktu yang tersedia dan sumber- sumber yang tersedia baik dari manusia maupun dari segi materialnya.

2) Persyaratan isi, tugas, dan jenis pembelajaran. Beragamnya isi pelajaran menuntut perilaku yang berbeda- beda maka teknik dan penyajian medianya juga berbeda.

3) Hambatan dari sisi siswa yaitu dengan mempertimbangkan kemampuan dan keterampilan awal atau storage of knowledge yang telah dimiliki sebelumnya.

4) Pertimbangan lainnya yang meliputi tingkat kesenangan (preferensi lembaga, guru dan, pelajar) dan keefektifan biaya

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disintesikan bahwa faktor- faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan media pembelajaran diantaranya adalah objektivitas penggunaan media pembelajaran sehingga dalam pemilihan media pembelajaran seorang guru harus memperhatikan tujuan pembelajaran yang akan dilakukan, sasaran program, situasi, kondisi, dan kualitas teknik.

(25)

commit to user e. Kriteria Media Pembelajaran yang Efektif

Menurut Setiaji (2018), efektif adalah pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan yang tepat dari sejumlah alternatif, membuat keputusan yang tepat dan berhasil dalam mengimplementasikannya sedangkan menurut Sutikno (2013: 61), efektif ialah mencapai sasaran sesuai yang diinginkan.

Maka dapat diartikan bahwa media pembelajaran yang efektif adalah alat bantu pembelajaran yang digunakan secara tepat sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Adapun beberapa kriteria media pembelajaran dikatakan sebagai media pembelajaran yang efektif diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran

Khuluqo (2017: 156) menyatakan bahwa sebelum menggunakan media pembelajaran, tujuan pembelajaran yang ingin dicapai perlu dikaji dan kemudian bisa dianalisis media apa saja yang cocok untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Menurut Sutikno (2013: 112), media yang efektif adalah media pembelajaran yang dipilih atas dasar tujuan- tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

2) Kesesuaian dengan materi pembelajaran

Menurut Sutikno (2013: 110), teknik dan metode penggunaan media dalam proses pembelajaran harus disesuaikan dengan materi pembelajaran. Hal ini selaras dengan pernyataan Khuluqo (2017: 156) yang menyatakan bahwa media pembelajaran yang digunakan harus dipertimbangkan dengan bahan atau materi pembelajaran yang akan diajarkan.

3) Kesesuaian dengan karakteristik pembelajaran atau peserta didik

Menurut Khuluqo (2017: 156), media harus sesuai dengan karakteristik peserta didik atau pendidik sehingga sebelum memilih media perlu dikaji terlebih dahulu sifat- sifat dan ciri- ciri media yang akan digunakan. Menurut Sutikno (2013: 110), penggunaan media juga perlu mempertimbangkan tingkat kematangan/ kemampuan peserta didik.

(26)

commit to user 4) Kesesuaian dengan teori

Pemilihan media juga harus didasarkan atas kesesuaian teori yang diangkat dari penelitian sehingga telah teruji validitasnya. Pemilihan media harus merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pembelajarran yang fungsinya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran (Khuluqo, 2017: 157).

5) Kesesuaian dengan gaya belajar peserta didik

Menurut Khuluqo (2017: 157), kriteria ini didasarkan atas kondisi psikologis peserta didik, bahwa peserta didik belajar dipengaruhi oleh gaya belajar peserta didik.

6) Kesesuaian dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung dan waktu yang tersedia

Menurut Khuluqo (2017: 157), bagaimanapun bagusnya sebuah media apabila tidak didukung oleh fasilitas waktu yang tersedia maka kurang efektif. Menurut Sutikno (2013: 112), keterampilan guru dalam menggunakan media juga menjadi syarat utama agar guru dapat menggunakannya dalam proses pembelajaran. Menurut Khuluqo (2017:

157), penggunaan media juga terkait dengan user atau penggunanya dalam hal ini adalah pendidik. Jika pendidik tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan media tersebut dengan baik maka akan sia- sia, begitu juga dengan fasilitas lainnya.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disintesiskan bahwa media dinyatakan efektif jika media pembelajaran yang digunakan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, sesuai denga materi yang akan diajarkan, sesuai dengan karakteristik dan gaya belajar siswa, sesuai dengan teori dan sesuai dengan kondisi lingkungan, fasilitas pendukung dan waktu yang tersedia.

(27)

commit to user f. Kriteria Kelayakan Media Pembelajaran

Kelayakan media pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini dianalisis dengan mengacu pada standar yang dikeluarkan BNSP (2014) yang meliputi kelayakan isi, kelayakan penyajian, kelayakan bahasa. Kelayakan isi merupakan komponen yang meliputi cakupan materi, akurasi materi, kemutakhiran, dan taat pada hukum dan perundang- undangan sedangkan komponen kelayakan penyajian merupakan komponen yang mencakup teknik penyajian, pendukung penyajian materi, dan kelengkapan penyajian.

Komponen kebahasaan mencakup kesesuaian dengan perkembangan siswa, keterbacaan, kemampuan memotivasi, kelugasan, kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia, penggunaan istilah dan simbol/ lambang. Selain itu, media juga dianalisis kualitas tampilan, kualitas teknis, pendekatan pembelajaran, kemanfaatan media, kualitas media dan efektivitas media.

Adapun komponen- komponen tersebut dinilai dengan menggunakan pedoman sebagai berikut:

Tabel 2.1. Kriteria Penentuan Kelayakan Media

Interval Kriteria

81 % – 100 % Sangat Layak

61 % – 80 % Layak

41 % – 60 % Cukup layak 21 % – 40 % Kurang layak

0 % – 20% Sangat kurang layak Sumber: Riduwan (2009: 15) yang dikembangkan

Maka, berdasarkan tabel 2.1. media game edukasi ekonomi berbasis mobile learning dinyatakan layak dan valid sebagai media pembelajaran ekonomi SMA jika memperoleh nilai dengan interval 61%- 100%.

Selanjutnya jika media game edukasi ekonomi berbasis mobile learning dinyatakan layak maka media tersebut bisa digunakan sebagai media pembelajaran ekonomi.

(28)

commit to user 3. Game Edukasi

Ada beberapa pendapat yang mengulas tentang pengertian game edukasi, dampak negatif dan dampak positif game edukasi, tujuan dan pentingnya permainan edukatif yang dipaparkan sebagai berikut:

a. Pengertian Game Edukasi

Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 8), game edukasi adalah setiap kontes antara para pemain yang berinteraksi satu sama lain dengan mengikuti aturan- aturan tertentu untuk mencapai tujuan- tujuan pembelajaran tertentu. Game edukasi didefinisikan sebagai jenis game yang tidak hanya sekedar menghibur pemainnya tetapi mengedukasi dengan menambah pengetahuan tertentu atau mengajarkan keterampilan baru melalui permainan (Griffiths, 2002: 47; Barab., Gresalfi., Ingram-Golbe, 2010: 525).

Sejalan dengan pengertian tersebut, Aeni (2012) mendefinisikan game edukasi sebagai game yang memiliki content pendidikan. Menurut Sari, Saputro dan Hastuti (2014), game edukasi adalah jenis game yang bertujuan untuk memancing minat belajar anak terhadap materi pelajaran sambil bermain, sehingga dengan perasaan senang diharapkan anak bisa lebih mudah memahami materi pelajaran yang disajikan. Henry (2010: 161) menambahkan bahwa pembelajaran berbasis game merupakan salah satu metode penyampaian pembelajaran dengan menggunakan teknologi game yang dapat berbentuk dalam tampilan elektronik seperti komputer atau handphone. Selanjutnya, Ismail (2006: 150) memaparkan bahwa game edukasi atau permainan edukatif merupakan media yang dapat berfungsi sebagai berikut:

1) Memberikan ilmu pengetahuan kepada anak melalui proses pembelajaran bermain sambil belajar

2) Merangsang pengembangan daya pikir, daya cipta dan bahasa agar dapat menumbuhkan sikap, mental, serta akhlak yang baik

3) Menciptakan lingkungan bermain yang menarik, memberikan rasa aman, dan menyenangkan

4) Meningkatkan kualitas pembelajaran untuk anak- anak

Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat disintesikan bahwa produk game apapun dapat dikatakan sebagai game edukasi jika game

(29)

commit to user

tersebut tidak sekedar untuk hiburan saja melainkan terdapat unsur pembelajaran di dalamnya yang merangsang perkembangan kognitif, afektif maupun psikomotorik.

b. Dampak Negatif Game

Ada beberapa pendapat yang mengulas tentang dampak negatif game bagi penggunanya. Berikut ini beberapa dampak negatif yang umumnya ditimbulkan oleh game:

1) Isolasi sosial

Game dapat merugikan hubungan sosial dan perkembangan kejiwaan anak jika anak sampai menutup diri dan hanya memainkan game seharian penuh dikamarnya (Henry, 2010: 40). Griffiths dan Hunt (1998:

475) menegaskan, bermain berjam-jam dan mengisolasi diri dari teman dan keluarga merupakan dampak game yang membahayakan dan dapat mengakibatkan kecanduan game.

2) Kecanduan dan ketergantungan

Menurut Henry (2010: 43), game dapat membuat penggunanya mengalami kecanduan dan ketergantungan jika para gamer memainkan game dalam waktu yang sangat lama sampai larut malam, memainkan game dengan intensitas yang tinggi, menghabiskan banyak uang untuk bermain game. Tejeiro Salguero dan Bersabé Morán (2002: 97) mengkonfirmasi bahwa penggunaan video games secara berlebihan akan berdampak pada sejumlah masalah salah satunya adalah menjadi ketergantungan. Adapun menurut Kuss, Louws dan Wiers (2012: 484) bermain game online dapat membuat penggunanya kecanduan.

3) Perilaku menyimpang

Game yang mengusung tema perang dan kekerasan yang menampilkan dan melibatkan aksi pembunuhan, penggunaan senjata tajam, dan penggunaan kekerasan secara tidak sadar dapat mempengaruhi pola pikir anak dan membentuk perilaku yang menyimpang jika tidak didampingi dan diluruskan (Henry, 2010: 44). Hal ini didukung oleh hasil

(30)

commit to user

penelitian Anderson, dkk (2010: 164) bahwa bermain video game kekerasan akan meningkatkan perilaku agresif.

4) Kekerasan

Menurut Henry (2010: 45), game juga diduga memicu tindakan kekerasan karena lebih interaktif dibandingkan dengan musik dan film/

animasi. Di dalam game, pemain ikut berpartisipasi dan hal itu secara stimulan mempengaruhi cara berpikir pemainnya. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Valadez dan Ferguson (2012: 608) yang menunjukkan bahwa permainan video game berpengaruh pada depresi dan permusuhan.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disintesikan bahwa game memiliki dampak negatif yang perlu diwaspadai diantaranya adalah mengurangi sosialisasi dengan teman, menyebabkan kecanduan dan ketergantungan terhadap game, menyebabkan perilaku agresif dan tindak kekerasan.

c. Dampak Positif Game

Ada beberapa pendapat yang menyatakan game memberikan dampak positif bagi pemainnya. Adapun beberapa dampak positif yang dipengaruhi saat bermain game diantaranya yaitu:

1) Perkembangan Motorik

Menurut Henry (2010: 56), saat anak memainkan game dengan tangkas, sistem motoriknya akan ikut berkembang sesuai dengan gerakan yang dilibatkan. Baltra (1990: 446) menambahkan bahwa beberapa game juga membutuhkan keterampilan motorik sehingga secara tidak langusng game mengasah kemampuan motorik. Irsyadi dan Nugroho (2015: 13) juga menyatakan bahwa game dapat digunakan untuk melatih motorik anak.

2) Perkembangan Neurologi

Pada saat bermain game, secara tidak sadar sebenarnya terjadi perubahan dalam otak dan saraf anak karena game dapat merangsang rasa keingintahuan penggunanya (Thomas dan Macredie, 1994: 140). Menurut

(31)

commit to user

Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 78), permainan menjadi menarik sebab di dalamnya ada unsur kompetisi, ada rasa penasaran karena tidak tahu siapa yang akan menang dan kalah.

3) Perkembangan Kognitif

Amory dan Seagram (2004: 4) yang menyatakan bahwa bermain memainkan peran penting dalam perkembangan psikologis, sosial dan intelektual anak. Rieber (1996: 51) menambahkkan bahwa permainan dapat mempengaruhi fungsi kognitif, motivasi, mengasah berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah. Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 79), permainan mengajarkan konsep- konsep dan keterampilan yang dapat dipelajari oleh penggunanya. Menurut Arsyad (2014: 154), program permainan yang dirancang dengan baik dapat memotivasi siswa dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.

4) Perkembangan Afektif

Pemain atau tokoh yang ada dalam game biasanya juga membawa karakter tersendiri sesuai peran dan plot dari game tersebut. Karakter yang dimainkan oleh pemain dalam game tersebut secara tidak sadar juga dapat mempengaruhi sikap anak (Hendry, 2010: 56). Hal ini didukung oleh hasil penelitian VanSickle (1986: 249) yang menemukan simulasi game mempengaruhi sikap positif siswa terhadap materi pelajaran yang dipelajari dibandingkan metode pengajaran lainnya.

5) Perkembangan Bahasa

Menurut Hendry (2010: 56), beberapa game biasanya dibawakan dengan bahasa asing sehingga dengan bermain game anak juga dapat mempelajari kosakata dan pengucapan baru, baik bahasa asing maupun lokal. Hal ini didukung oleh pendapat Baltra (1990: 446) yang menyatakan bahwa game cocok untuk mengembangkan kelancaran komunikasi.

Menurut Hanafri, Budiman, Akbar (2015) dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa dengan belajar sambil bermain game maka anak- anak akan tertarik untuk memainkannya serta mempelajari bahasa Jawa secara perlahan.

(32)

commit to user 6) Perkembangan Sosial

Menurut Hendry (2010: 56), beberapa game juga ada yang melibatkan interaksi antar pemain sehingga meskipun bermain dalam dunia maya tetapi anak juga dapat mengasah kemampuan sosialnya.

Menurut Amory dan Seagram (2004: 4), bermain memainkan peran penting dalam perkembangan psikologis, sosial dan intelektual anak.

Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 80), permainan mengajarkan sistem sosial dan sistem ekonomi karena dengan permainan, siswa dapat dilatih berbagai kemampuan membuat keputusan, merencanakan dan mengorganisasikan informasi.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disintesiskan bahwa game memberikan dampak positif terhadap perkembangan motorik anak, perkembangan neurologi, kognitif, afektif, bahasa, dan perkembangan sosial anak. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan dampak positif game, orangtua juga perlu mendampingi dan membantu memilihkan game yang sifatnya mendidik.

d. Tujuan Game Edukasi

Game edukasi atau permainan edukatif dipandang sebagai sebuah metode atau cara mendidik yang menyenangkan. Adapun, secara umum tujuan permainan edukatif diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Mengembangkan kreativitas

Menurut Amory dan Seagram (2004: 4), bermain memainkan peran penting dalam perkembangan psikologis, sosial dan intelektual anak.

Menurut Ismail (2006: 128), melalui kegiatan bermain dengan permainan anak dirangsang untuk berkembang secara umum baik perkembangan berpikir, emosi maupun sosial. Selain itu bermain juga dapat mengembangkan kreativitas anak karena dalam kegiatan bermain anak memiliki peluang untuk berkarya dan mencipta.

(33)

commit to user 2) Mengembangkan komunikasi

Menurut Baltra (1990: 446), kegiatan bermain dapat mengembangkan kemampuan komunikasi. Menurut Ismail (2006: 140), melalui bermain anak bisa berkomunikasi dengan teman sebayanya. Bagi anak yang baru bisa belajar berbicara orangtua juga dapat memberikan permainan berupa telepon- teleponan, microphone, alat- alat bermain pasaran yang dapat mendorong perkembangan kemampuan komunikasi anak. Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 80), permainan dapat membantu siswa meningkatkan kemampuan komunikatifnya, memahami pendapat orang lain dan melatih kemampuan memimpin diskusi.

3) Mengembangkan aspek emosi atau kepribadian

Hakekatnya setiap anak suka bermain. Menurut Ismail (2006: 144), melalui bermain anak juga dapat mengekspresikan emosinya. Menurut Sunarti, Rahmawati, Wardani (2016), media game lebih efektif untuk meningkatkan motivasi belajar dibandingkan dengan media gambar.

Maka, secara tidak langsung dapat diartikan bahwa bermain akan membentuk sikap atau kepribadian anak karena kegiatan bermain yang dilakukan dengan teman sebayanya akan mempengaruhi penilaian terhadap dirinya, rasa percaya diri, sikap dan tingkah laku dengan teman- teman.

4) Mengembangkan aspek kognisi

Aspek kognisi dalam hal ini diartikan sebagai pengetahuan yang luas, daya nalar, kreativitas, kemampuan berbahasa dan daya ingat.

Melalui bermain, banyak konsep dasar yang dipelajari oleh anak dan konsep tersebut akan lebih mudah diperoleh melalui kegiatan bermain (Ismail, 2006: 145). Hal ini didukung oleh Sari dan Listoyani (2011) yang menyatakan bahwa game edukasi dapat menjadi salah satu aternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Game edukasi juga dapat membantu siswa memahami materi dan meningkatkan minat belajar siswa (Prabowo, 2014; Nugrahani, 2007).

(34)

commit to user

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disintesiskan bahwa tujuan game edukasi diantaranya adalah untuk mengembangkan kreativitas, komunikasi, emosi atau kepribadian dan aspek kognisi.

e. Pentingnya Alat Permainan Edukatif

Alat permainan edukatif merupakan istilah yang menunjuk pada alat peraga yang dapat digunakan sebagai media belajar. Adapun pentingnya alat permainan edukatif antara lain:

1) Melatih konsentrasi anak

Pembelajaran yang menggunakan peraga dengan pembelajaran tanpa menggunakan peraga akan memberikan hasil yang berbeda. Menurut Ismail (2006: 180), proses pembelajaran yang disampaikan dengan bantuan alat peraga akan membantu mempertahankan daya tangkap siswa karena alat peraga tersebut mempunyai daya tarik tersendiri sehingga siswa lebih antusias. Menurut Arsyad (2014: 20), penggunaan media dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran.

2) Mengajar dengan lebih cepat

Waktu yang tersedia untuk menyampaikan pembelajaran seringkali terbatas. Menurut Ismail (2006: 181), pembelajaran yang disampaikan dengan kata- kata saja akan membutuhkan waktu yang lebih lama namun berbeda jika menggunakan alat peraga. Guru tidak hanya menjelaskan dalam waktu yang lebih singkat tetapi juga dapat mencapai hasil mengajar lebih cepat. Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 79), permainan dapat memberikan umpan balik langsung secara cepat sehingga proses belajar menjadi lebih efektif.

3) Mengatasi masalah keterbatasan waktu

Adanya alat peraga dapat mengatasi masalah keterbatasan waktu karena alat tersebut mampu menampilkan kembali peristiwa sejarah atau pun dapat juga mengulang materi yang belum dipahami kapan saja (Ismail,

(35)

commit to user

2006: 182). Menurut Sadiman, Rahardjo, Haryono, Harjito (2014: 17), alat peraga dapat mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera.

4) Membangkitkan emosi

Menyampaikan suatu berita dengan gambar akan lebih berhasil dibandingkan hanya dengan melalui kata- kata. Apalagi jika disertai dengan suara maka akan lebih mudah lagi (Ismail, 2006: 183). Bartsch dan Viehoff (2010: 2247) juga menyatakan bahwa game akan mengaktivasi emosional penggunanya dan aktivasi emosional diketahui memainkan peran penting dalam pembelajaran dan hafalan (Fjællingsdal dan Klöckner, 2017: 8).

5) Menambah daya serap

Alat peraga dapat membantu siswa mengerti lebih baik. Melalui indra penglihatan dan pendengaran siswa dapat memahami perbedaan arti, warna dan bentuk lebih baik (Ismail, 2006: 183). Nugrahani (2007) dalam penelitiannya juga menemukan hasil bahwa permainan ular tangga dapat meningkatkan daya serap dan pemahaman siswa terhadap pelajaran.

6) Menambah ingatan siswa

Jika seorang guru menjelaskan suatu pelajaran dengan menggunakan banyak media yang berhubungan dengan panca indra maka pengalaman belajar yang diperoleh siswa akan lebih banyak dan daya ingat siswa juga akan lebih lama (Ismail, 2006: 184). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Boot., Kramer., Simons., Fabiani., Gratton (2008: 387) yang menyatakan bermain game dapat meningkatkan memori visual jangka pendek.

7) Menambah kesegaran dalam mengajar

Cara mengajar yang monoton seringkali membuat siswa merasa bosan. Tetapi apabila disampaikan dengan bentuk yang variatif maka akan memberikan kesegaran bagi siswa, menambah suasana belajar yang menyenangkan dan mampu membangkitkan motivasi belajar (Ismail, 2006: 184). Hal ini juga didukung oleh Rieber (1996: 51) yang menyatakan permainan dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan motivasi.

Fjællingsdal dan Klöckner (2017: 2) juga menyatakan bahwa permainan

(36)

commit to user

berusaha untuk meningkatkan pengetahuan pemain, atau secara positif mempengaruhi tingkat motivasi intrinsik pemain untuk belajar.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disintesiskan bahwa alat permainan edukatif penting untuk melatih konsentrasi anak, memperlancar proses pembelajaran, mengatasi keterbatasan waktu, membangkitkan emosi, menambah daya serap, membantu daya ingat, dan dapat digunakan sebagai variasi media pembelajaran.

4. Mobile Device

Pada era millennial ini hampir setiap siswa memiliki dan menggunakan perangkat mobile device bahkan tidak sedikit yang memiliki lebih dari satu.

Adapun, penggunaan dan jenis mobile device beraneka ragam.

a. Pengertian Mobile Device

Traxler (2010) mendefinisikan mobile device sebagai perangkat komputasi dalam bentuk dan ukuran yang cukup kecil dan ramping jika dibandingkan dengan komputer, berbentuk landscape maupun portrait, memiliki layar datar LCD, menyediakan antarmuka layar sentuh dengan tombol digital dan keyboard, dapat menanggapi sentuhan, menangkap atau memutar berbagai media dan terhubung ke berbagai jaringan. Disisi lain, Rouse (2017) menyatakan bahwa pada dasarnya mobile device adalah komputer genggam. Meskipun kategori mobile device termasuk perangkat elektronik yang cukup kecil untuk dibawa berkeliling tetapi perangkat ini dilengkapi dengan jaringan nirkabel dan fasilitas untuk komputasi pada umumnya. Menurut Lan dan Sie (2010) mobile device adalah perangkat teknologi seluler dengan tampilan yang lebih kecil dan fungsi yang lebih banyak.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disintesiskan bahwa mobile device merupakan perangkat elektronik yang hadir dalam desain yang lebih kecil dan ramping, lebih mudah dibawa dan dipindah dilengkapi fasilitas komputasi yang memadai seperti pada komputer.

(37)

commit to user b. Jenis- jenis Mobile Device

Mobile device diproduksi dalam berbagai ragam dan bentuk. Namun diantara beragam jenis mobile device, perangkat yang mampu menunjang pembelajaran dalam bentuk mobile learning diantaranya adalah:

1) Laptop

Menurut Göksu dan Atici (2013), laptop atau yang biasa dikenal dengan notebook adalah perangkat portabel yang memiliki fungsi seperti komputer PC dan memungkinkan pengguna untuk mendapatkan informasi dengan menggunakan koneksi nirkabel seperti USB, wireless network, bluetooth dan inframerah secara leluasa tanpa terbatas ruang dan waktu.

2) Smartphone

Menurut Göksu dan Atici (2013), smartphone adalah perangkat komunikasi yang dirancang dengan menambahkan fitur- fitur PDA, memiliki sistem operasi seluler dan banyak aplikasi. Smartphone adalah versi canggih dari ponsel tradisional yang memiliki kemampuan untuk membuat dan menerima panggilan telepon, pesan teks, dan pesan suara menjelajahi internet, mengirim dan menerima email, berpartisipasi di media sosial, berbelanja online, mengunduh aplikasi dari internet dengan menggunakan koneksi data seluler atau Wi-Fi (Viswanathan, 2018).

3) Tablet

Menurut Viswanathan (2008) tablet adalah perangkat portabel, seperti laptop, tetapi dalam berbagai ukuran yang lebih kecil, dilengkapi dengan keyboard layar virtual untuk mengetik dan memasukkan informasi, layar sentuh dan mouse yang diganti dengan ketukan dari jari. Menurut Göksu dan Atici (2013), tablet adalah komputer portabel yang lebih kecil dari laptop tetapi lebih besar dari smartphone dan mudah untuk mentransfer data melalui internet, dan biasanya memiliki layar sentuh 7 atau 10,1 inci.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disintesiskan bahwa perangkat mobile device yang mampu menunjang pembelajaran dalam bentuk mobile learning diantaranya adalah laptop, smartphone dan tablet karena

Gambar

Tabel 2.1. Kriteria Penentuan Kelayakan Media
Tabel 2.2. Manfaat dan Keterbatasan Mobile Learning

Referensi

Dokumen terkait

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens tipikal ditandai dengan berhentinya

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan desa, dari 1945 sampai 2005 memberikan posisi eksistensi Desa Pakraman, mengalami pasang surut, hal

Akhir sekali, kami berharap dengan cara bentuk penyisihan dan penyusunan yang telah kami sekumpulan lakukan selain dapat membantu para pelajar dan tenaga pengajar

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman