• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA (STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR KELAS IA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA (STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR KELAS IA)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

i

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA (STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN

NEGERI MAKASSAR KELAS IA)

SKRIPSI

“Diajukan untuk Memenuhi Persyratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar”

NIRWANA 105431103417

“PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2020/2021”

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Mahasiswa : Nirwana

NIM : 105431103417

Jurusan : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Judul Penelitian : Efektivitas Pelaksanaan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata (Studi Penelitian Di Pengadilan Negeri Makassar Kelas Ia).

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan tim penguji adalah hasil karya saya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau dibuatkan siapapun.

Demikian pernyataan ini saya buat dan saya bersedia menerima sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.

Makassar, 15 Agustus 2021 Yang membuat pernyataan

Nirwana

(5)

v

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

SURAT PERJANJIAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama Mahasiswa : Nirwana

NIM : 105431103417

Jurusan : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Judul Penelitian : Efektivitas Pelaksanaan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata (Studi Penelitian Di Pengadilan Negeri Makassar Kelas Ia).

Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:

1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun).

2. Dalam penyusunan skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas.

3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (plagiat) dalam menyusun skripsi.

4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1, 2, dan 3, saya bersedia menerima sanksi sesuai aturan yang berlaku.

Demkian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.

Makassar, 15 Agustus 2021 Yang membuat pernyataan

Nirwana

(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Jangan terlalu banyak berkorban untuk orang lain, hargailah dirimu dan cintai dirimu sendiri

Kim Seokjin

Milikmu milik kita bersama, milikku yah milikkuuu…..

Kupersembahkan karya ini untuk

Diri sendiri, kedua orangtua dan keluarga tercinta

(7)

vii ABSTRAK

NIRWANA. 2021. Efektivitas Pelaksanaan Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata (Studi Penelitian Di Pengadilan Negeri Makassar Kelas Ia) Skripsi, dibimbing oleh Rahim dan Auliah Andika Rukman.

Tujuan Penelitian pertama untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Mediasi dalam penyelesaian sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA dan kedua untuk mengetahui kendala dalam tercapainya kesepakatan perdamaian dalam proses Mediasi di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA.

Penelitian ini termasuk penelitian deskriktif dengan pendekatan kualitatif untuk mngungkapkan dan menjelaskan efektivitas pelaksanaan mediasi dalam sengketa perdata di pengadilan negeri kota makassar, sumber data yang digunakan data primer dan data sekunder, data di kumpulkan menggunakan tehnik wawancara, observasi, dan dokumentasi, tehnik analisis data dengan menggunakan analisis deskriktif kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan atau verefikasi

Tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Negeri Makassar masih rendah disebabkan oleh pelaksanaan ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) belum sepenuhnya terwujud yakni kewajiban sertifikasi mediator, ketiadaan mekanisme yang dapat memaksa salah satu pihak yang tidak menghadiri pertemuan mediasi, masa proses mediasi tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk mencapai kesepakatan perdamaian, belum maksimalnya dukungan para hakim mediator, kurangnya dukungan advokat terhadap proses mediasi, serta belum seluruh Pengadilan Negeri Makassar memiliki ruangan mediasi yang nyaman.

Kata Kunci : Pengadilan Negeri Kelas IA Makassar, Sengketa Perdata, dan Mediasi.

(8)

viii ABSTRACT

NIRWANA. 2021. Effectiveness of Mediation in Civil Dispute Resolution (Research Study at Makassar District Court Class Ia) Thesis, supervised by Rahim and Auliah Andika Rukman.

The purpose of the first study was to determine the effectiveness of the implementation of Mediation in the settlement of civil disputes at the Makassar District Court Class IA and the second to determine the obstacles in achieving a peace agreement in the Mediation process at the Makassar District Court Class IA.

This research includes descriptive research with a qualitative approach to reveal and explain the effectiveness of the implementation of mediation in civil disputes in the Makassar City District Court, the data sources used are primary data and secondary data, data collected using interview, observation, and documentation techniques, data analysis techniques with using qualitative descriptive analysis, namely data reduction, data presentation, conclusion drawing or verification

The success rate of mediation at the Makassar District Court is still low because the implementation of the provisions contained in the Supreme Court Regulation (PERMA) has not been fully realized, namely the obligation to certify mediators, the absence of a mechanism that can force one of the parties to not attend the mediation meeting, the mediation process period is not utilized maximally to reach a peace agreement, the support of the mediator judges is not maximal, the lack of advocates' support for the mediation process, and not all Makassar District Courts have a comfortable mediation room.

Keywords: Makassar Class IA District Court, Civil Disputes, and Mediation.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang dengan limpahan rahmat segala nikmat karunia-Nya yang telah diberikan, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Salawat beriringkan salam seomga senantiasa terlimpahkan kepada sang pemimpin umat Islam yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mewariskan Al-Quran kepada manusia sebagai pedoman hidup yang baik di dunia sampai yaumil akhir.

Ucapan terima kasih yang teristimewa dan tak akan pernah terbalaskan sepanjang hayat disampaikan kepada Ayahanda Andi Piara dan Ibunda Suginna kedua Orang Tua saya yang telah membesarkan, mendidik, dan selalu mengasihi hatiku dengan doa-doa yang disetiap shalatmu serta menjadi kebanggan dalam hidupku. Rasa terima kasih ini takkan pernah cukup membalas limpahan jasa-jasa dan kebahagian telah didapatkan hingga saat ini.

Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag, rektor Universitas Muhammadiyah Makassar. Erwin Akib, S.Pd, M.Pd, Ph.D, dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Dr. Muhajir, M.Pd., ketua Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Dr. Rahim, M.Hum, dosen pembimbing pertama. Aulia Andika Rukman, S.Hum. M.Hum, dosen pembimbing Pertama dan kedua saya dan mengarahkan penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir.

kepada kedua kakak saya Andi Nurlinda dan Patta Arung dengan istrinya Tuti Aryanti yang setia menunggu selesainya penulisan skripsi ini. Keempat ponakan saya Ufaira Qurratu Ain, Abid Affan Patta, Moammar Abuminyar

(10)

x

Alqadafi, dan Muhammad Jifan Patta yang sudah kehilangan waktu dengan saya selama penulisan skripsi ini. Teman seangkatan saya justice tercinta untuk terus menemani dalam pembuatan skripsi ini. Dan sahabat smp saya selviana yang telah memberikan dukungan dalam bentuk apapun.

Kim Nam Joon, Kim Seok Jin, Min Yoongi, Jung Ho Seok, Park Jimin, Kim Taehyung, Jeon Jongkook anggota BTS (Bangtan Sonyeondan), dengan lagu-lagunya dan acara Run BTS membuat penulis tidak merasa bosan dalam penulisan skripsi ini. Aktor dan Aktris Korea yang telah bekerja keras dalam drama sehingga dapat mengurangi rasa jenuh penulis dalam menyusun skripsi ini.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh karenanya tiada kesempurnaan dalam karya ini. Namun diharapkan skripsi ini dapat member manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, almamater, masyarakat serta pihak-pihak yang memerlukan, sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia nantinya.

Makassar,22 Agustus 2021

Nirwana

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

SURAT PERJANJIAN ... v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFT ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan masalah ... 6

C. Tujuan penelitian ... 6

D. Manfaat penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN ... 8

A. Kajian teori... 8

1. Konsep Efektivitas ... 8

2. Restorative Justice... 13

3. Konep Mediasi ... 16

(12)

xii

4. Konsep Mediator ... 25

B. Kerangka Pikir ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 32

A. Jenis dan Pebdekata Penelitian ... 32

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 33

C. Fokus Penelitian ... 33

D. Informan Penelitian ... 33

E. Sumber Data... 34

F. Teknik Pengumpulan data ... 34

G. Instrumen Penelitian ... 35

H. Tehnik Analisis Data... 36

I. Keabsahan Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 43

B. Hasil Penelitian ... 47

C. Pembahasan... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 82 RIWAYAT HIDUP

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel ... Halaman 2.1 Bagan Kerangka Pikir ... 31 4.1 Efektivitas Mediasi di Pengadilan Negeri Makassar ... 65 4.2 Urutan Proses Mediasi ... 67

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran

1. Pedoman Wawancara ... 83

2. Pedoman Observasi ... 85

3. Lembar Dokumentasi ... 87

4. Hasil Wawancara ... 88

5. Dokumentasi Observasi ... 94

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Dalam menjalani suatu kehidupan sebagai makhluk sosial, kerapkali manusia dihadapkan dengan suatu keadaan yang menyebabkan timbulnya suatu konflik atau sengketa. Hal tersebut timbul karena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, diantaranya faktor internal maupun eksternal. Perbedaan kepentingan atau perselisihan antara pihak yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu penyebab munculnya sengketa yang berasal dari faktor internal, sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh adanya aturan-aturan yang diberlakukan dan prosedur yang tertulis maupun tidak tertulis dapat pula menyebabkan sengketa apabila penerapannya terlalu kaku dan keras.”

“Kedudukan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara hukum mempunyai peran yang esensial yaitu sebagai katup penekan (pressure value) terhadap setiap pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat, oleh karena itu peradilan masih sangat diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam perkara gugatan yang di dalamnya terdapat sengketa dan diajukan oleh pihak penggugat ke pengadilan, maka akan diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Mengajukan gugat ke pengadilan dengan cara mengajukan surat permintaan, dalam praktik disebut surat gugat atau surat gugatan harus sesuai dengan kompetensi Pengadilan Negeri (PN) sebagaimana dimaksud oleh Pasal 118 HIR dan dapat juga diajukan dengan lisan kepada ketua PN yang berwenang dan mohon agar dibuatkan surat gugat

(16)

berdasarkan Pasal 120 HIR. Pada sidang pertama hakim wajib mengupayakan perdamaian sebagaimana ditentukan oleh Pasal 130 HIR.”

“Dengan diterbitkan nya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan maka para pihak wajib menempuh prosedur Mediasi. Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian dimana para pihak yang berselisih atau bersengketa bersepakat untuk menghadirkan pihak ketiga yang independen guna bertindak sebagai mediator (penengah). Mediasi sebagai salah satu proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dewasa ini digunakan oleh pengadilan sebagai proses penyelesaian sengketa. Bentuk penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi yang sekarang dipraktikkan terintegrasi dengan proses peradilan. Penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi yang dewasa ini dipraktikkan di pengadilan memiliki kekhasan, yaitu dilakukan ketika perkara sudah di daftarkan di pengadilan (Connected to the court).”

Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Negeri diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 yang tertuang dalam pasal 4 ayat (1) bahwa:

“Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu jdiupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini”.

(17)

“Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri Makassar berdasarkan dengan Nomor perkara : 316/Pdt.G/2019/PN 51 Mks. Penggugat : Henry Sumitomo, Kuasa Hukum Penggugat : Mulyadi Y Gosari, SH, Tergugat :”

1. Ilu.

2. H. Nassaruddin.

3. Nasir.

4. Sarmin.

“Kronologi kasus : Penggugat memiliki tanah dengan luas 6.423 M2 (enam ribu empat ratus dua puluh tiga meter persegi) yang terletak di Kelurahan Tello baru Kota Makassar sesuai dengan Sertifikat Hak Milik Nomor:

20257/Tello Baru, Surat Ukur Nomor: 00193/2003 dengan batas-batas yang disebut pada point 1 Surat Gugatan adalah milik sah dari Penggugat. Perbuatan Tergugat I (Sdr.Ilu), Tergugat II (Sdr.H.Nasaruddin) dan Tergugat III (sdr. Nasir) mendirikan bangunan rumah dalam lokasi tanah milik penggugat seluas 6.423 M2 adalah tindakan dan/atau perbuatan melawan hukum yang merugikan kepentingan hak dan kepentingan hukum penggugat sebagai pemilik tanah yang sah.”

“Perbuatan Tergugat IV (Sdr. Sarmin) melakukan pengkaplingan tanah dalam lokasi tanah milik penggugat dan mengadakan jual beli dengan Tergugat I dan Tergugat II adalah Tindakan dan/atau perbuatan melawan hukum yang merugikan kepentingan hak dan kepentingan hukum atas tanah milik penggugat.

Menurut hukum bahwa Akte Jual Beli Nomor: 140/AJB/PNKG/VIII//2007 tanggal 28 Agustus 2007 dan Akte Jual Beli Nomor: 151/III/3/KP/IV/2007 tanggal 17 April 2007 tidak mempunyai kekuatan hukum apapun juga dan batal demi hukum. Pertimbangan hukum”:

(18)

1. Menimbang bahwa”Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III atau siapapun juga yang memperoleh hak dari padanya untuk segera mengosongkan tanah milik penggugat dalam keadaan kosong sempurna dan menyerahkannya kepada penggugat tanpa syarat apapun juga, kalau perlu dengan bantuan aparat Kepolisian Negara R.I.”

2. Menimbang bahwa”Tergugat IV atau siapapun juga yang memperoleh hak dari padanya untuk menghentikan segala kegiatan pengkaplingan tanah dalam areal lokasi tanah milik penggugat tersebut, baik yang telah dan akan dilakukan kemudian dan menyerahkan tanah milik penggugat dalam keadaan kosong sempurna tanpa syarat, kalau perlu dengan bantuan aparat Kepolisian Negara R.I.”

3. Menimbang bahwa”Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 4.000.000,-- (empat juta rupiah)/hari secara tanggung renteng setiap kali Tergugat I, II, III dan IV lalai memenuhi isi putusan, terhitung sejak putusan ini diucapkan hingga dilaksanakan.”

4. Menimbang bahwa putusan dalam perkara ini dapat dilaksanakan lebih dahulu sekalipun “Tergugat I, II, III dan IV mengajukan banding dan/atau verset maupun kasasi dan Peninjauan kembali.”

5. Menimbang bahwa”sah dan berharga sita jaminan yang dimohonkan penggugat.”

6. Menimbang bahwa”Tergugat I, II, III dan Tergugat IV membayar segala biaya perkara yang timbul.”

“Amar putusan : Dalam Eksepsi : Menolak eksepsi Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk seluruhnya; Dalam Pokok Perkara”:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.”

2. Menyatakan”Penggugat sebagai pemilik sah atas tanah seluas 6.423 m2 (enam ribu empat ratus dua puluh tiga meter persegi) yang terletak di Kelurahan Tello Baru, Kota Makassar sesuai dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 20257/Tello Baru Surat Ukur Nomor 00193/2003.”

3. Menyatakan tindakan”Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III membangun rumah dalam lokasi tanah milik Penggugat adalah perbuatan melawan hukum.”

4. Menyatakan tindakan”Tergugat IV melakukan pengkaplingan dan menjual-belikan tanah milik Penggugat adalah perbuatan melawan hukum.”

5. Menyatakan”Akta Jual Beli Nomor 151/III/3/KP/IV/2007 tertanggal 17 April 2007 adalah batal demi hukum.”

6. Menghukum”Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III atau siapa pun juga yang memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan tanah milik Penggugat dalam keadaan kosong sempurna dan menyerahkannya kepada Penggugat tanpa syarat dan bila perlu dengan bantuan Kepolisian RI.”

(19)

7. Menghukum Tergugat I,”Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) per hari secara tanggung renteng setiap kali lalai memenuhi isi putusan ini terhitung sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.:

8. Menolak gugatan”Penggugat untuk selain dan selebihnya.”

9. Menghukum”Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.471.000,- (satu juta empat ratus tujuh puluh satu ribu rupiah).”

“Pada kenyaatan dilapang peneliti menemukan sebuah proses mediasi yang berjalan dengan lancar jadi Pengadilan Negeri Makassar. penyelesain sengketa hak atas tanah antara pihak penggugat dan pihak tergugat di Pengadilan Negeri Makassar dengan nomor perkara 316/Pdt.G/2019/PN Mks dengan metode penyelesaian sengketa secara litigasi melalui mediasi telah di lakukan oleh kedua belah pihak, dan kedua belah pihakpun sangat terbuka dalam mediasi ini baik itu pihak penggugat, ataupun pihak tergugat.”

“Kemudin perkara tersebut dapat terselesaiakan melaui mediasi karana kedua belah pihak merasa bahwa hasil dari keputusan mediasi ini menemukan titik terang, walaupun telah banyak upaya-upaya telah dilakukan. Kemudian pada penyelesaian sengketa tanah melalui jalur mediasi, bahwa, pada gugatan perkara perdata dalam hal sengketa hak atas tanah dimana Henry Sumitomo dan Mulyadi Y Gosari, SH selaku kuasa hukum penggugat melawan selaku tergugat I, tergugat II, tergugat III dan tergugat IV. Yang pada putusanya pada hari Rabu tanggal 21 Juni 2019 dimana susunan majelis mediasi adalah Ibrahim Palino, SH selaku ketua majelis, Cening Budiana, SH dan Rika Mona Pandegirot, SH masing- masing anggota majelis dan Muhammad Taufik selaku panitera pengganti pada Pengadilan Negeri Makassar yang pada putusannya berhasil di mediasikan.”

(20)

B. Rumusan Masalah

“Berdasarkan Latar Belakang yang telah dikemukakan di atas maka peneliti dapat menarik beberapa masalah yang akan diangkat untuk dibahas antara lain adalah sebagai berikut :”

1. Bagaimana”efektivitas pelaksanaan Mediasi dalam penyelesaian sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA?”

2. Apa”kendala dalam tercapainya kesepakatan perdamaian dalam proses Mediasi di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA?”

C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian

“Ruang lingkup penelitian ini adalah dalam bidang Hukum, khususnya tentang hukum formal dan hukum adat. Berdasarkan pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut”:

1. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Mediasi dalam penyelesaian sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA.

2. Untuk mengetahui kendala dalam tercapainya kesepakatan perdamaian dalam proses Mediasi di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Manfaat Teoritis”

“Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran, keilmuan, dan bahan kajian dalam studi ilmu pendidikan pancasila dan kewarganegaraan terkait dengan Hukum Perdata

(21)

dalam menyelesaiakan sebuah sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Makassar.”

2. Manfaat Praktis”

“Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi Gerakan-gerakan Sosial lainnya dalam melakukan aktivitas-aktivitas kolektif yang bertujuan melakukan perubahan sosial.”

(22)

8

BAB II

“KAJIAN PUSTAKA”

A. Kajian Teori

“Dalam melakukan penelitian ini, ada baiknya diketahui dasar-dasar topik pembahasan yang akan diteliti. Hal ini bertujuan untuk mempermudah proses pemahaman tentang hal yang akan diteliti. Untuk itu, yang akan dibahas dalam kajian pustaka ini adalah pengertian dan teori-teori relevan dengan penelitian yang dilakukan, seperti yang terurai dibawah ini.”

1. Konsep Efektivitas

“Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Pasolong (2007), efektivitas pada dasarnya berasal dari kata “efek” dan digunakan istilah ini sebagai hubungan sebab akibat.

Efektivitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variabel lain. Efektivitas berarti bahwa tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata sasaran tercapai karena adanya proses kegiatan. Menurut Kurniawan (2008), efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya.”

“Sementara Effendy (2003) menyebutkan bahwa efektivitas adalah komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang

(23)

ditentukan. Berdasarkan pendapat di atas efektivitas adalah suatu komunikasi yang melalui proses tertentu, secara terukur yaitu tercapainya sasaran atau tujuan yang ditentukan sebelumnya. Dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah orang yang telah ditentukan. Apabila ketentuan tersebut berjalan dengan lancar, maka tujuan yang direncanakan akan tercapai sesuai dengan yang diinginkan.”

“Kepentingan ada bermacam-macam, diantaranya yang bersifat compliance, identifikasi, internalization, dan masih banyak jenis kepentingan lain.

Jika ketaatan sebagian besar warga masyarakat terhadap suatu aturan umum hanya kerena kepentingan yang bersifat compliance atau hanya takut sanksi, maka derajat ketaatannya sangat rendah, karena membutuhkan pengawasan yang terus- menerus. Berbeda kalau ketaatannya berdasarkan kepentingan yang bersifat internalization, yaitu ketaatan karena aturan hukum tersebut benar-benar cocok dengan nilai interinsik yang dianutnya, maka derajat ketaatannya adalah yang tertinggi. Bekerjanya perundang-undangan dapat ditinjau dari dua perspektif”:

a) Perspektif organisatoris”yaitu memandang perundang- undangan sebagai „institusi‟ yang ditinjau dari ciri-cirinya.

Pada perspektif ini tidak terlalau memerhatikan pribadi- pribadi, yang pergaulan hidupnya diatur oleh hukum atau perundang-undangan.”

b) Perspektif individu,”atau ketaatan yang lebih banyak berfokus pada segi individu atau pribadi, di mana pergaulan hidupnya diatur oleh perundang-undangan.

Perspektif ini lebih berfokus pada masyarakat sebagai kumpulan pribadi-pribadi. Faktor kepentingan yang menyebabkan sesorang menaati atau tidak menaati hukum.

Dengan kata lain, pola-pola prilaku warga masyarakat yang banyak memengaruhi efektivitas perundang-undangan (Effendy 2003).”

(24)

“Efektivitas dalam dunia resit ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektifitas sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan pengertian efektivitas yaitu keberhasilan suatu aktifitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan pendapat sehubung dengan cara meningkatkannya, cara mengatur dan bahkan cara menentukan indikator efektivitas. Sehingga, dengan demikian akan lebih sulit lagi bagaimana cara mengefaluasi tentang efektivitas. Pegertian yang memadai mengenai tujuan efektivitas ataupun sasaran organisasi, merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana sering kali berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam usaha mengukur efektivitas yang pertama kali sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu sendiri. Dari beberapa uraian di atas, dapat di jelaskan bahwa efektifitas merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas suatu lembaga secara fisik dan non fisik untuk mencapai serta meraih keberhasilan maksimal (Nani wita semiring, skripsi).”

“Pendekatan efektivitas dilakukan dengan acuan berbagai bagian yang berbeda dari lembaga dimana lembaga mendapatkan input atau masukan berupa berbagai macam sumber dari lingkungannya. Kegiatan dari proses internal yang terjadi dalam lembaga mengubah input menjadi output yang kemudian dilemparkan kembali pada lingkungannya.”

(25)

1) Pendekatan Sasaran (goal approach)

“Pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana suatu lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatn sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkatan keberhasilan organisasi dalam menapai sasaran tersebut.

Sasaran yang penting diperhatikan dalam pengukuran efektivitas dengan pendekatan sasaran ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal berdasarkan sasaran resmi “Official Goal” dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkannya, dengan memusatkan perhatian terhadap aspek otput yaitu dengan menguur keberhasilan program dalam mencapai tingkat output yang direncanakan dengan demikian pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana organisasi atau lembga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai (Nani wita semiring, skripsi).”

2) Pendekatan Sumber (Sistem Resource Approach).

“Pendekatan sumber mengukur efektifitas melalui keberhasilan suatu lembaga dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkannya. Suatu lembaga harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan system agar dpat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teorimengenai keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap lingkungannya, karena lembaga mempunyai hubungan yang merata dengan lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga di lemparkannya kepada lingkungannya. Sementara itu sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan seringkali bersifat langka dan

(26)

bernilai tinggi. Dalam mendapatkan berbagai jenis sumber untuk melihara sistem dari suatu lembaga merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur efektifitas. Secara sederhana efektivitas seringkali di ukur dengan jumlah atau kuantitas berbagai jenis sumber yang berhasil di peroleh dari lingkungan.

Pengukuran efektifitas dengan pendekatan sumber ini mampu untuk memberikan alat ukur yang sama dalam mengukur efektivitas berbagai lembaga yang jenis dan programnya berbeda dan tidak dapat di lakukan dengan menggunakan pendekatan sasaran (Nani wita semiring, skripsi).”

3) Pendekatan Proses ( Internal Process Approach)

“Pendekatan proses menganggap efektivitas sebagai efesiensi dan kondisi kesehatan dari suatu lembaga internal. Pada lembaga yang efektif,proes internal berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki lembaga, yang menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan lembaga (Nani wita semiring, skripsi).”

4) Masalah dalam pengukuran Efektivitas

“Efektivitas selalu diukur berdasarka prestasi, produktivitas dan laba.

Pengukuran efektivitas dengan menggunakan sasaran yang sebenarnya dan memberikan hasil dari pada pengukuran efektivitas berdasarkan sasaran resmi dengan memperhatikan masalah yang ditimbulkannya oleh beberapa hal berikut:

Adanya bermacam-macam output yang dihasilkan menyebabkan pengukuran efektivitas dengan pendekatan sasaran menjadi sulit untuk dilakukan. Pengukuran

(27)

juga semakin sulit jika ada sasaran yang saling bertentangan dengan sasaran lainnya.”

2. Restorative Justice

Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak.

Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi (pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah). Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan Hukum pidana secara represif dirasakan tidak menyelesaikan persoalan dalam sistem hukum peradilan pidana. Adanya penyelesaian secara non penal mendapatkan perhatian dari kalangan hukum.

Menurut Barda Nawawi bahwa hukum pidana banyak keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan yang diteliti dan diungkapkan oleh banyak sarjana hukum asing antara lain :

a) Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya) apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.

(28)

b) Selanjutnya scuhld menyatakan bahwa naik turunya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-peubahan didalam hukumnya atau kecendrungan-kecendrungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

c) Johanes Andreas menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana selamya dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktorfaktor lain yang membentuk sikap dan tindakan kita.

d) Donald R. Taft dan Ralph W. England menyatakan bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu bentuk sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok intereset dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanski hukum.

e) M. Cherif Bassiouni menegaskan bahwa kita tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan (treatment) apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu. Untuk dapat menjawab masalah-masalah ini secara pasti, kita harus mengetahui sebasebab kejahatan dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan mengenai etilogi tingkah laku manusia (Barda Nawawi Arief, 1996:3-5).

(29)

Dengan demikian dari pendapat para sarjana hukum tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa bekerjanya hukum pidana tidak dapat menghilangkan sebab-sebab tindak pidana yang terjadi melainkan penanggulangan sesuatu gejala. Artinya apabila hukum pidana diterapkan kepada anak maka sudah tentu banyak kemudharatan yang akan dialami di pihak negara, pemborosan negara, pemboroasan anggaran, serta stigmasisasi dan labeling yang tidak bisa dihindari.

Restorative Justice Adalah bentuk resolusi konflik dan berusaha untuk membuat jelas bagi si pelanggar bahwa perilaku tidak mengampuni (menyambut), pada saat yang sama sebagai yang mendukung dan menghormati individu. Menurut Tony F. Marshall (Marlina, 2010:28) :

“Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”. (Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tetentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama- sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Dari defenisi tersebut di atas bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan.

(30)

3. Konsep Mediasi

“Dalam buku Jimmy Joses Sembiring (2011) Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak.

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi adalah salah satu wujud dari akomodasi yang ada dalam proses interaksi sosial. Akomodasi sendiri proses penyelesaian sesuatu pertentangan yang terjalin akibat adanya proses interaksi sosial yang dicoba antar dua atau sebagian pihak terpaut, salah satunya merupakan lewat upaya mediasi.”

a. Dasar Hukum Mediasi

“Ada pula dasar hukum mediasi antara lain adalah UU Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase serta Alternatif Penyelesaian Sengketa ; PERMA Nomor. 1 Tahun 2008 ; Pasal 1 Peraturan BMAI ( Tubuh Mediasi Asuransi Indonesia) ; Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Medias;

Pancasila; UUD 1945; UUD Nomor 14 Tahun 1970 tentang Syarat Pokok Kekuasaan Kehakiman ; Serta masih banyak lagi yang lain.

(31)

b. Jenis Perkara Yang Dimediasi menurut UU Nomor. 30 Tahun 1999”

“Secara universal, terdapat 2 jenis mediasi yaitu dalam sistem peradilan serta mediasi di luar majelis hukum. Berikut jenis- jenis mediasi, yaitu”:

c. Mediasi dalam Sistem Peradilan UU Nomor. 30 Tahun 1999

“Pasal 130 HIR menarangkan kalau mediasi dalam sistem peradilan itu menciptakan produk berbentuk akta persetujuan atau akta pernyataan tertulis.

Dalam PERMA Nomor. 1 Tahun 2008 lintas kalau”:

“Bila mediasi menciptakan konvensi, para pihak dengan cara mediator harus merumuskan secara tertulis konvensi yang dicapai serta ditandatangani oleh pihak. Konvensi tersebut harus muat klausul- klausul pencabutan masalah apapun pernyataan masalah sudah berakhir (Pasal 17 ayat (1) serta (6)).”

d.“Mediasi Ad-Hoc serta Mediasi Kelembagaan UU Nomor. 30 Tahun 1999”

“Pasal 6 ayat 4 UU Nomor. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi ad-hoc yang terdapatnya konvensi para pihak memastikan mediator penyelesaian perselisihan, yang bertabiat tidak tetap ataupun sedangkan. Malah mediasi kelembagaan merupakan mediasi yang bertabiat permanen ataupun melembaga yang dimana lembaga mediasi sediakan jasa mediator buat menolong para pihak. Menurut filsuf skolastik, tipe mediasi antara lain adalah”:

“Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian

(32)

melalui perdamaian dengan bantuan mediator (UU Nomor. 30 Tahun 1999).”

e.”Tahap-Tahap Proses Mediasi”

“Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim.

Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.”

f.”Tempat Penyelenggaraan Mediasi”

“Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau ditempat lain yang disepakati oleh para pihak. Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.”

“Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan

(33)

gugatan. Pengajuan gugatannya harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa. Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut”:

1) sesuai kehendak para”pihak.

2) tidak bertentangan”dengan hukum.

3) tidak merugikan pihak ketiga.

4) dapat dieksekusi.

5) dengan iktikad baik. [Pasal”23 Perma No. 1 Tahun 2008]

g.”Mediasi Dalam Kerangka Konflik”

“Penyelesaian perkara di pengadilan sering diibaratkan dengan istilah

“kalah jadi abu menang jadi arang” artinya yang menang dan yang kalah akan samasama menderita kerugian. Kondisi tersebut merupakan asumsi yang sulit untuk dibantah karena pada umumnya orang berpendapat demikian terhadap dinamika proses litigasi yang terjadi saat ini, apalagi mereka yang pernah mengalami langsung berperkara di pengadilan pasti akan merasakan betapa proses persidangan itu begitu banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran, yang kesemuanya sulit untuk dinilai secara materi. Selain itu hampir pada setiap tahapan sidang selalu memerlukan biaya yang jumlahnya cukup besar, apalagi mereka yang berkedudukan sebagai penggugat karena harus mengeluarkan biaya awal (panjar) untuk membiayai proses penyelenggaraan siding (Gatot P Soemartono 2006).”

(34)

“Orang yang mengajukan gugatan layaknya sedang bermain judi, karena terlebih dahulu harus mengeluarkan sejumlah uang dalam bentuk panjar sebagai modal awal atau bisa dibilang pancingan bagi sebuah harapan yang jauh lebih besar. Orang mengajukan gugatan tidak selalu berujung dengan kemenangan. Jika gugatannya mampu dibuktikan di Hadapan Hakim mungkin saja gugatannya akan dimenangkan. Namun sebaliknya jika gugatannya tidak dapat dibuktikan atau dianggap tidak beralasan, maka gugatan itu akan ditolak dan penggugat harus menerima kerugian sejumlah biaya panjar yang telah terpakai sebagai ongkos berjalannya perkara. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 181 Ayat (1) HIR/ 192 Ayat (1) yang berbunyi :”

“barang siapa yang dinyatakan kalah, maka dia harus dihukum untuk membayar biaya perkara yang timbul dari proses persidangan yang dilakukan”.

“Kesadaran tentang sulitnya memberikan kepuasan kepada semua pihak dengan menggunakan standar menang atau kalah (win or lose) sebenarnya telah lama diambil oleh para pengambil kebijakan di lembaga Legislatif (DPR) dan Yudikatif (Mahkamah Agung) walaupun kebijakan yang dikeluarkan terhadap persoalan tersebut belum tentu signifikan.”

“Dalam proses penyelesaian secara litigasi, sengketa yang berbasis sentiment dan dendam pribadi sering tidak sanggup diselesaikan dengan pendekatan hukum, bahkan dengan hasil akhir yang bersifat menang dan kalah pada kenyataannya justru semakin menimbulkan rasa dendam bagi pihak yang dinyatakan kalah.

Sehingga memicu untuk terus melakukan upaya/tindakan pembalasan atas kekalahannya, baik dengan cara-cara legal dengan mengajukan upaya hukum maupun secara non legal. Persoalan dendam dan harga diri pasca penjatuhan putusan, bahkan bisa lebih rumit dibandingkan dengan persoalan pokoknya, sehingga tidak

(35)

menutup kemungkinan akan tercipta konflik yang baru yang sifatnya lebih kompleks (Soerjono Soekanto 2007)”.

“Pada umumnya orang mengajukan gugatan ke pengadilan karena dipicu oleh gesekan emosional, atau setidak-tidaknya sengketa yang telah dibumbui oleh persoalan-persoalan non hukum. Tidak heran jika banyak yang secara terang- terangan mengakui, bahwa dia telah memperhitungkan nilai materinya, yang penting bisa menumpahkan hasrat ingin puas kepada lawan perkaranya jika dinyatakan kalah atau dihukum oleh putusan pengadilan. Sebagian orang berpendapat bahwa kemenangan dalam berperkara adalah hal yang sangat penting. Dengan kemenangan yang diperoleh akan menunjukkan harga diri dan kehormatan pribadinya, walaupun menurut perhitungan ekonomis jelas perbuatan seperti itu sama sekali tidak mendatangkan keuntungan karena nilai gugatan yang diperebutkan sesungguhnya sangat kecil dibandingkan dengan pengorbanan yang harus dikeluarkan (Soerjono Soekanto 2007).”

“Dalam mewujudkan tujuan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, Mahkamah Agung sebagai penyelenggara peradilan tertinggi di Indonesia mulai menggagas beberapa metode untuk mempersingkat proses penyelesaian sengketa di peradilan, namun dapat memberikan hasil yang lebih optimal. Salah satu gagasan yang cukup progresif antara lain dengan mengoptimalkan lembaga mediasi pada perkara-perkara perdata. Hal mana dimaksudkan agar para pihak yang berperkara tidak harus menempuh seluruh tahapan proses persidangan yang panjang dan memakan waktu lama, namun cukup hanya sampai pada tahap pra pemeriksaan saja, jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian melalui mediasi di awal persidangan.”

(36)

“Kesepakatan perdamaian akan menjadi penyelesaian yang tuntas karena hasil akhir tidak akan menggunakan prinsip win or lose. Kesepakatan yang telah dikuatkan menjadi akta perdamaian merupakan suatu penyelesaian yang mengikat dan final. Mengikat karena setiap butir-butir yang disepakati dalam akta perdaimaian dapat dilaksanakan melalui proses eksekusi (executable) jika salah satu pihak di kemudian hari mengingkarinya. Sedangkan final berarti bahwa dengan dikuatkannya kesepakatan para pihak menjadi akta perdamaian, maka tertutup segala upaya hukum yang tersedia bagi para pihak (Garry Goodpaster 1999).”

“Dari beberapa segi, menurut Muhammad Abdul Kadir (Jurnal 2015) penyelesaian dengan proses mediasi banyak memberikan manfaat bagi para pihak.

Lebih singkatnya waktu yang ditempuh otomatis akan menekan biaya operasional menjadi jauh lebih murah, sedangkan dari segi emosional, penyelesaian dengan pendekatan win-win solution akan memberikan kenyamanan bagi para pihak, karena butir-butir kesepakatan dibuat sendiri oleh para pihak sesuai dengan kehendaknya. Harus diakui bahwa upaya memberdayakan lembaga perdamaian pada perkara-perkara perdata sangatlah penting mengingat tingginya intensitas penggunaan upaya hukum yang mengakibatkan penumpukan perkara di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.”

h.”Prinsip-prinsip Mediasi”

“Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 memuat sepuluh prinsip pengaturan tentang penggunaan mediasi terintegrasi di pengadilan (court- connected mediation). sepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut”:

(37)

a) Mediasi wajib ditempuh, sebelum sengketa diputus oleh hakim para pihak wajib terlebih dahulu menempuh mediasi. Hakim Pemeriksa Perkara yang tidak memerintahkan Para Pihak untuk menempuh Mediasi”sehingga Para Pihak tidak melakukan Mediasi telah melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai Mediasi di Pengadilan.

Jika proses mediasi tidak ditempuh atau sebuah sengketa langsung diperiksa dan diputus oleh hakim, konsekuensi hukumnya adalah putusan itu batal demi hukum. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016.”

b) Otonomi para pihak. Prinsip otonomi para pihak merupakan prinsip yang melekat pada proses mediasi. Karena dalam mediasi para pihak berpeluang untuk menentukan dan mempengaruhi proses dan hasilnya berdasarkan mekanisme konsensus atau mufakat para pihak dengan bantuan pihak netral. Prinsip ini dikenal”dengan sebutan self determination,yaitu para pihaklah yang berhak atau berwenang untuk menentukan dalam arti menerima atau menolak segala sesuatu dalam proses mediasi.

c) Mediasi dengan itikad baik. Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa melalui musyawarah”mufakat atau konsensus para pihak yang akan dapat berjalan dengan baik jika dilandasi oleh itikad untuk menyelesaikan sengketa.

d) Efisiensi Waktu. Masalah waktu merupakan salah satu faktor penting dalam menyelesaikan sebuah sengketa atau perkara.

Konsep waktu juga berhubungan dengan kepastian hukum dan ketersediaan atau pemanfaatan sumber daya yang ada. Prinsip efisiensi waktu dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 ini tampak pada pengaturan pembatasan waktu bagi para pihak dalam perundingan untuk memilih mediator diantara pilihan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat.

e) Sertifikasi mediator. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 mendorong lahirnya mediator-mediator profesional. Kecenderungan ini tampak dari adanya ketentuan bahwa pada asasnya “setiap orang yang menjalankan fungsi mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. (6) Tanggung Jawab Mediator.

Mediator memiliki tugas dan tanggung jawab yang bersifat prosedural dan fasilitatif. Tugas-tugas ini tercermin dalam ketentuan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016. Kerahasiaan. Berbeda dengan proses litigasi yang bersifat terbuka untuk umum, proses mediasi pada asasnya

(38)

tertutup bagi umum kecuali para pihak menghendaki lain. Hal ini berarti hanya para pihak atau kuasa hukumnya dan mediator saja yang boleh menghadiri dan berperan dalam sesi- sesi mediasi, sedangkan pihak lain tidak boleh menghadiri sesi mediasi kecuali atas izin para pihak.

f) pembiayaan. Pembiayaan yang berkaitan dengan proses mediasi paling tidak mencakup hal-hal sebagai berikut:

ketersediaan ruang-ruang mediasi, honor para mediator, biaya para ahli jika diperlukan, dan biaya transport para pihak yang datang ke pertemuan- pertemuan atau sesi-sesi mediasi. (9) pengulangan mediasi. Pasal 17 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, memberikan kewenangan kepada hakim pemeriksa perkara untuk tetap mendorong para pihak supaya menempuh perdamaian setelah kegagalan proses mediasi pada tahap awal atau pada tahap sebelum pemeriksaan perkara dimulai. Proses perdamaian setelah memasuki tahap pemeriksaan dimediasi langsung oleh hakim pemeriksa.

g) kesepakatan perdamaian di luar pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 pada dasarnya lebih dimaksudkan untuk mengatur 35 prinsip dan prosedur penggunaan mediasi terhadap perkara atau sengketa perdata yang telah diajukan ke pengadilan (court-connected mediation). Namun, sebagai upaya untuk lebih memperkuat penggunaan mediasi dalam sistem hukum Indonesia dan memperkecil timbulnya persoalan-persoalan hukum yang mungkin timbul dari penggunaan mediasi di luar pengadilan, Mahkamah Agung Melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 juga memuat ketentuan yang dapat digunakan oleh pihak-pihak bersengketa yang berhasil menyelesaikan sengketa itu melalui mediasi di luar pengadilan untuk meminta pengadilan agar kesepakatan damai di luar pengadilan dikuatkan dengan akta. “

“Mediasi di Pengadilan ini merupakan hasil pengembangan dan pemberdayaan kelembagaan perdamaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 130 HIR/154 Rbg, yang mengharuskan hakim yang menyidang suatu perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian di antara para pihak yang berperkara.”

(39)

4. Konsep Mediator a. Pengertian Mediator

“Dalam Pandangan Nurmaningsih Amriani (2012) Mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa dimana terdapat pihak ketiga yang posisinya netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak, masuk dan melibatkan diri ke dalam sengketa yang sedang berlangsung gunamembantu dan memfasilitasi para pihak dalam penyelesaian sengketa itu secara damai, pihak ketiga tersebut biasa disebut dengan istilah mediator.”

“Dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016 Pasal 1 ayat (2) yang dimaksud dengan mediator adalah”:

“Hakim atau pihak lain yang memiliki sertifikat mediator sebagai pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”.

“PERMA Mediasi memberikan ketentuan, bahwa mediator yang menjalankan fungsi mediasi pada prinsipnya harus memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.”

“Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (3) yang dimaksud Sertifikat mediator adalah dokumen yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti dan lulus pelatihan sertifikasi mediasi. Dalam ayat selanjutnya dikatakan:

berdasarkan surat keputusan ketua Pengadilan, Hakim tidak bersertifikat dapat menjalankan fungsi mediator dalam hal keterbatasan jumlah Mediator bersertifikat. Disebutkan dalam ayat berikutnya bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara sertifikasi mediator dalam pemberian akreditasi lembaga

(40)

sertifikasi Mediator ditetapkan dengan keputusan ketua Mahkamah Agung. Dalam proses mediasi, seorang mediator berperan sebagai pemacu dan fasilitator yang harus mengarahkan para pihak yang bersengketa untuk menemukansendiri jalan penyelesaiannya, disebutkan dalam Black‟s Law Dictionary bahwa “The mediator has no power to impose a decission on the parties”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Mark E. Roszkowsky yang menyebutkan yang artinya di dalam penyelesaian sengketa para pihaklah yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan bentuk penyelesaiannya”.

“Ketentuan Pasal 13 ayat (1) PERMA No 1 Tahun 2016 menyebutkan bahwa”:

“Setiap Mediator wajib memiliki Sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung”.

“Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (2) PERMA No 1 Tahun 2016 menyebutkan bahwa”:

“Berdasarkan surat keputusan ketua Pengadilan, Hakim tidak bersertifikat dapat menjalankan fungsi mediator dalam hal tidak ada atau terdapat keterbatasan jumlah mediator bersertifikat.”

“Seorang mediator haruslah memiliki keahlian khusus di bidang penyelesaian sengketa yang dibuktikan dengan sertifikat mediator. Hal tersebut dimaksudkan agar orang yang menjadi mediator adalah orang yang benar-benar memiliki keterampilan komunikasi dan teknik-teknik perundingan yang memadai, selain itu seorang mediator juga harus dibekali kemampuan komunikasi yang baik serta mampu memotivasi orang lain yang sedang bersengketa. Sertifikasi mediator dilakukan oleh Mahkamah Agung atau lembaga professional yang telah mendapatkan akreditasi dari Mahkamah Agung.”

(41)

b. Kewenangan Mediator

“Menurut Sudiarto (2017), Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturutturut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut”.

“Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.”

“Pada Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008 Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.

Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.”

(42)

“Kemudian Pasal 17 Perma No. 1 Tahun 2008, Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.”

c. Tugas-Tugas Mediator

Menurut Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008 sebagai berikut:

1) Mediator”wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.

2) Mediator”wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.

3) Apabila”dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.

4) Mediator:wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.

“Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja, para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.”

“Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud diatas, berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak

(43)

menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan. PERMA Mediasi memberikan jatah waktu untuk melakukan mediasi selama 30 (tiga puluh) hari. Mediator memberikan pilihan kepada para pihak, apakah akan melakukan pertemuan seminggu sekali atau seminggu dua kali tergantung dari kesanggupan para pihak.”

“Berdasarkan agenda yang telah disusun mediator akan menyusun materi pertemuan yang akan di bahas dengan para pihak. Mediator harus mampu mengefisienkan waktu agar jangan sampai proses mediasi berlarut-larut tanpa hasil. Diharapkan pada setiap pertemuan mediator harus memiliki program kerja dan rencana yang akan dilakukan. Untuk memudahkan dalam melihat jadwal pertemuan, tidak ada salahnya jika dibuat sebuah table/kalender pertemuan yang memuat hal-hal sebagai berikut”:

a) Hari dan tanggal pertemuan;

b) Tempat pertemuan;

c) Materi yang dibahas;

d) Hasil yang dicapai.

“Pada awal pertemuan menurut Sudiarto (2017), mediator hanya akan melakukan perkenalan-perkenalan secukupnya, menyampaikan prosedur berdasarkan PERMA Mediasi dan menentukan aturan main (rule of the game) agar proses mediasi dapat berjalan lancar. Pada tahapan ini mediator dapat menentukan langkahlangkah bagi kelancaran dan kesuksesan proses mediasi selanjutnya. Di sinilah kesempatan mediator untuk menyampaikan pandangan- pandangan menyangkut keuntungan proses perdamaian dibandingkan proses litigasi. Strategi provokasi dan sedikit menakut-nakuti bisa mulai dilancarkan dengan memberikan gambaran-gambaran buruk tentang proses penyelesaian

(44)

letigasi, hal ini dimaksudkan agar tumbuh semangat kepada para pihak untuk menentukan pilihannya kepada proses penyelesaian secara damai. Usaha mediator untuk membangkitkan antusias para pihak diawali dari pertemuan pertama.”

B. Kerangka Pikir

“Mediasi, adalah suatu proses penyelesaian sengketa Alternatif di mana pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama sekali tidak berhak atau berwenang untuk memberikan suatu masukan, terlebih lagi untuk memutuskan perselisihan yang terjadi. Jadi dalam mediasi, mediator hanya berfungsi sebagai penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa. Perantara yang demikian kadangkala memang diperlukan, baik dalam hal para pihak yang bersengketa tidak mungkin untuk bertemu sendiri karena berbagai faktor yang berada di luar kemampuan mereka, atau karena kedua belah pihak “intentionally” memang tidak mau bertemu satu dengan yang lainnya, meskipun mereka dapat bertemu, jika memang dikehendaki.

Jadi dalam hal ini sangat jelas bahwa hasil akhir pranata penyelesaian sengketa alternatif dalam bentuk mediasi ini tunduk sepenuhnya pada kesepakatan para pihak.”

(45)

Skema Kerangka Pikir

Gambar 2.1 Bagang Kerangka Pikir Efektivitas pelaksanaan Mediasi dalam

penyelesaian sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA

“Kendala dalam tercapainya kesepakatan perdamaian dalam proses Mediasi di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA”

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006

“Meminimalisir penyelesaian sengketa Perdata dalam Mediasi di Pengadilan

Negeri Kota Makassar”

(46)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

“Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6).

Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data.”

“Jenis Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, karena bermaksud menggambarkan, mengungkap dan menjelaskan Efektivitas pelaksanaan Mediasi dalam sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Kota Makassar. Demikian pula dinamakan penelitian deskriptif, karena bertujuan membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian. Selain itu, tujuan deskripsi adalah untuk membantu pembaca tentang yang terjadi di lingkungan di bawah pengamatan, seperti pandangan partisipan yang berada di luar penelitian, dan seperti apa aktivitas yang terjadi di latar penelitian (Ali Murthoda, Mustafa Kamal Rokan 2012).”

(47)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA, dipilihnya lokasi ini karena dianggap telah memenuhi standar dari pegumpulan data untuk menemukan temuan terkait dengan proses mediasi dalam sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA. Selain itu, jarak tempat peneliti dengan lokasi penelitian cukup terjangkau. Adapun waktu penelitian yakni, mulai dari observasi penelitian dilakukan pada bulan Juni 2021sampai bulan agustus 2021, penelitian peneliti menentukan selama dua bulan lamanya sebagai acuan dalam menyelesaikan penelitian. Selanjutnya, peneliti merancang penyusunan naskah tesis, untuk diseminarhasilkan.

C. Fokus Penelitian

“Dalam penelitian ini penulis terfokus pada proses pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa Perdata di Pengadialan Negeri. Maka dari itu penulis ingin menggunakan metode kualitatif, sebab penelitian ini memerlukan pengamatan terbuka.”

D. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini akan dipilih secara porposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, teknik ini bisa diartikan sebagai suatu proses pengambilan sampel dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil, kemudian pemilihan sampel dilakukan dengan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan tidak menyimpang dari ciri-ciri sampel yang ditetapkan. Informan penelitian terbagi menjadi dua yaitu :

(48)

1. Informan Kunci (Key Informant) Merupakan para ahli yang sangat memahami dan dapat memberikan penjelasan berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian dan tidak dibatasi dengan wilayah tempat tinggal, misalnya Hakim, Jaksa, Advokat atau Penasehat Hukum dan pihak-pihak yang melaksanakan mediasi. Informan Kunci (Key Informant) pada penelitian ini di Pengadilan Negeri Makassar.

2. Informan Tambahan Yaitu siapa saja yang ditemukan diwilayah penelitian yang diduga dapat memberikan informasi tentang masalah yang diteliti.

Informan tambahan pada penelitian ini adalah staff Pengadilan Negeri Makassar.

E. Sumber Data

1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti.”Pengambilan data primer ini melalui observasi dan wawancara langsung dengan instansi pemerintah, masyarakat dan yang berhubungan dengan penelitian ini.”

2. Data sekunder yaitu”data yang sudah ada dan merupakan data yang didapat dari Pengadilan Negeri Kota Makassar dalam bentuk yang sudah jadi.”

F. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dengan menggunakan metode seperti observasi, wawancara, dan dokumentasi memerlukan alat bantu seperti instrument. Instrument yang dimaksud yaitu kamera telpon genggam untuk

(49)

recorder, pensil, ballpoint, buku. Kamera di gunakan ketika penulis melakukan observasi untuk merekam proses penelitian baik berupa foto dan video.

1. Observasi

Observasi merupakan penelitian yang dilakukan secara sistematis dan sengaja dilakukan dengan menggunakan indra penglihatan untuk melihat kejadian yang berlangsung serta menganalisis kejadian tersebut langsung pada waktu kejadian itu berlangsung.

2. Wawancara

Penelitian ini menggunakan wawancara baku terbuka. Jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan. Urutan pertanyaan, kata-katanya, dan cara penyajian sama untuk setiap responden (Moloeng 2011:188). Alasan peneliti ini menggunakan wawancara terbuka untuk mengurangi variasi hasil wawancara pada saat dilakukan.

3. Dokumentasi

“Teknik dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen resmi sehubungan dengan masalah sumber dan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini”.

G. Instrumen Penelitian

“Untuk memperoleh data-data yang di butuhkan guna melengkapi pembahasan, maka Instrumen penelitian sebagai berikut”:

1. Lembar Observasi

“Observasi dalam hal ini adalah peneliliti melakukan pengumpulan data dengan mengunjungi secara langsung di lapangan dan melakukan tanya jawab singkat yang berhubungan dengan variabel. Dalam pelaksanaan observasi

Gambar

Tabel ...........................................................................................................
Gambar 2.1 Bagang Kerangka Pikir  Efektivitas pelaksanaan Mediasi dalam
Tabel 1. Efektivitas Mediasi di Pengadilan Negeri Makassar.

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya terhadap materi SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut, MARI menyempurnakannya dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan.. 3 tidak boleh diabaikan serta perlu di perhatikan oleh berbagai pihak, karena

Mediasi pada intinya adalah agar para pihak yang bersengketa bisa diselesaikan dengan cara mediasi, mediasi dalam hal ini sama dengan artinya dengan

1 Tahun 2016 yang memberikan penekanan adanya proses mediasi di pengadilan tersebut, daya ikat mediasi terhadap penyelesaian perkara tersebut menjadi lebih kuat,

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan ... penyelesaian perselisihan hukum

Adapun hasil penelitian mediasi di Pengadilan Agama Pekanbaru belum berjalan dengan baik dan belum terpenuhi menurut Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi

Mediasi dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri memiliki manfaat sebagai sarana dan proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis maka didapatilah pengetahuan mengenai mediasi di pengadilan, prosedur mediasi, efektifitas mediasi dan mediator serta bagaiamana