• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH TINGKAT SUBSTITUSI BERBAGAI JENIS TEPUNG TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK PRODUK EKSTRUSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI MEMPELAJARI PENGARUH TINGKAT SUBSTITUSI BERBAGAI JENIS TEPUNG TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK PRODUK EKSTRUSI"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

MEMPELAJARI PENGARUH TINGKAT SUBSTITUSI BERBAGAI JENIS TEPUNG TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK PRODUK EKSTRUSI

Oleh :

WAISAK PURNOMO HARYANTO F24052859

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Waisak Purnomo Haryanto. F24052859. Studying the Effect of Substitution Level of Different Types of Flour on the Snack Extrusion Product Characteristics. Under the Guidance Subarna and Wati (2011).

ABSTRACT

One application of extrusion technology in the field of food processing is the manufacture of snack food (snacks). The raw material is a very role in the quality of extrusion products. Various types of materials substitution in the form of flour was used in this research to study the interaction with the main raw material in the form of particles of corn and its influence on the characteristics of the extruded snack products.

The research conducted consisted of two parts, the preliminary research and primary research. Preliminary study aimed to explore the appropriate extrusion process conditions. The determined process conditions is a feed screw speed, extruder screw speed, barrel temperature (T

1,

T

2,

T

3),

and feed moisture content. The primary research is the manufacture of extruded products with substitution treatment consisting of two degree of concentration of three types of flour substitution (5%, 10%). The conducted analysis of the product is water content (before and after drying), texture (hardness), the degree of gelatinization, water absorption index (WAI), water solubility index (WSI), the degree of expansion, bulk density, and organoleptic test (hedonic).

The optimal conditions of extrusion process was the feed screw speed = 20 kg / hr, extruder screw speed = 642 rpm, barrel temperature (T

1

= 42-56

o

C, T

2

= 98 – 101

o

C, T

3

= 129 – 137

o

C), feed moisture content = 13 %. The analysis result of water content of extruded products before drying was 4.48% - 6.11% (wb) and moisture content after drying was 0.77% - 1.72% (wb). The result of texture analysis using Stable Micro Systems Texture Analyzer TA.XT demonstrate the value of hardness was 0.73 kgf – 1.25 kgf. The result analysis of the degree of vertical expansion was 308.57% - 334.53%. The result analysis of the degree of horizontal expansion was 501.80% - 566.80%. The result analysis of water absorption index (WAI) was 4.43 ml/g - 5.96 ml/g, and water solubility index (WSI) was 0.038 g/2ml – 0.043 g/2ml. Value of the degree of gelatinization was 69.51% - 93.91%, and bulk density was 0077 g / ml - 0085 g / ml. Based on organoleptic tests, the level of acceptance of products that meet the standards of the company was using the substitution of wheat flour 10%, 10% potato starch, wheat flour and 5%.

Water content before drying, WAI, WSI, and the extrudate density were not significantly

different in both treatment types of flour and flour substitution level. Extrudate moisture

content after drying was significantly different between the types of substitution of rice

flour and potato flour. The increase in substitution rate from 5% to 10% led to different

responses to the degree of gelatinization, hardness, and the degree of horizontal

expansion of each type of flour extrudates substitution. Degree of substitution increases

the degree of gelatinization in extrudates with substitution of wheat flour, but declined in

the extrudates with the substitution of rice flour and potato flour. The value of hardness

have not changed in extrudates with substitution of wheat flour, while the texture of the

product caused a decrease in the substitution of potato starch. The degree of horizontal

(3)

expansion did not change the extrudates with the substitution of wheat flour and potatoes, but increased in extrudates with the substitution of rice flour.

The results showed that 10% potato starch potentially produce the most crisp, with

hardness value of 0.73 kgf. The degree of vertical expansion of products with different

substitution treatment was not significantly different. The largest degree of horizontal

expansion was obtained from the wheat flour substitution, its value was 566.80% in the

rate of substitution of 5% and 546.80% at 10% substitution level, while the type of

substitution of rice flour, potato starch, and controls that do not give different values. The

highest value of gelatinization was produced from wheat flour substitution treatment that

was equal to 85.47% and 93.91%, but still lower than the control by 93.67%, while the

lowest degree of gelatinization present in the sample by using the substitution of rice

flour, which is 72.24% and 69.51%. Substitution with potato starch, both at the 5% and

10% produce extrudates with the highest density, ie 0084 g / ml. The lowest values found

in samples of wheat flour substitution using 10% ie 0080 g / ml. However, any type of

substitute flour produced products with density values greater than control (0077 g / ml).

(4)

Waisak Purnomo Haryanto. F24052859. Mempelajari Pengaruh Tingkat Substitusi Berbagai Jenis Tepung terhadap Karakteristik Snack Produk Ekstrusi. Di bawah Bimbingan Subarna dan Wati (2011).

ABSTRAK

Salah satu penerapan teknologi ekstrusi dalam bidang pengolahan pangan adalah pembuatan makanan ringan (snacks). Bahan baku merupakan bagian yang sangat berperan dalam mutu produk ekstrusi. Berbagai jenis bahan subsitusi berupa tepung digunakan dalam penelitian ini untuk mempelajari interaksi dengan bahan baku utama berupa partikel jagung dan pengaruhnya terhadap karakteristik produk snack hasil ekstrusi.

Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua bagian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mencari kondisi proses ekstrusi yang sesuai. Kondisi proses yang ditentukan adalah feed screw speed, extruder screw speed, suhu barrel (T

1

, T

2

, T

3

), dan feed moisture content. Penelitian utama berupa pembuatan produk ekstrusi dengan perlakuan substitusi yang terdiri dari dua taraf konsentrasi tiga jenis tepung substitusi (5 %, 10%). Analisis yang dilakukan terhadap produk adalah kadar air (sebelum dan setelah pengeringan), tekstur (kekerasan), derajat gelatinisasi, water absorption index (WAI), water solubility index (WSI), derajat pengembangan, bulk density, dan uji organoleptik (hedonik).

Kondisi proses ekstrusi yang optimal adalah feed screw speed = 20 kg/jam, ekstruder screw speed = 642 rpm, suhu barrel (T

1

= 42 – 56

o

C , T

2

= 98 – 101

o

C, T

3

= 129 – 137

o

C), feed moisture content = 13 %. Hasil analisis terhadap kadar air produk ekstrusi sebelum pengeringan adalah 4.48 % - 6.11 % (wb) dan kadar air setelah pengeringan adalah 0.77 % - 1.72 % (wb). Hasil analisis tekstur menggunakan Stable Micro System TA.XT Texture Analyzer menunjukkan nilai kekerasan (hardness) yaitu 0.73 kgf – 1.25 kgf. Hasil analisis derajat pengembangan vertikal yaitu 308.57 % - 334.53 %. Hasil analisis derajat pengembangan horisontal yaitu 501.80 % - 566.80

%. Hasil analisis water absorption index (WAI) yaitu 4.43 ml/g – 5.96 ml/g, dan water solubility index (WSI) yaitu 0.038 g/2ml – 0.043 g/2ml. Nilai derajat gelatinisasi yaitu 69.51 % - 93.91% , dan bulk density yaitu 0.077 g/ml – 0.085 g/ml.

Berdasarkan uji organoleptik, tingkat penerimaan produk yang memenuhi standar perusahaan adalah substitusi menggunakan tepung terigu 10 %, tepung kentang 10%,

dan tepung terigu 5%.

Kadar air sebelum pengeringan, WAI, WSI, dan densitas ekstrudat tidak berbeda nyata baik pada perlakuan jenis tepung maupun tingkat substitusi tepung.

Kadar air setelah pengeringan ekstrudat berbeda nyata antara jenis tepung substitusi

beras dan tepung kentang. Kenaikan tingkat substitusi dari 5 % menjadi 10 %

menyebabkan respon yang berbeda terhadap derajat gelatinisasi, kekerasan, dan

derajat pengembangan horisontal ekstrudat setiap jenis tepung substitusi. Keanikan

taraf substitusi menyababkan derajat gelatinisasi meningkat pada ekstrudat dengan

substitusi tepung terigu, namun menurun pada ekstrudat dengan substitusi tepung

(5)

beras dan tepung kentang. Nilai kekerasan tidak berubah pada ekstrudat dengan substitusi tepung terigu, sedangkan menyebabkan penurunan tekstur produk pada substitusi tepung kentang. Derajat pengembangan horisontal tidak berubah pada ekstrudat dengan substitusi tepung terigu dan kentang, namun meningkat pada ekstrudat dengan substitusi tepung beras.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung kentang 10 % dapat menghasilkan produk yang paling renyah, yaitu dengan nilai kekerasan 0.73 kgf.

Derajat pengembangan vertikal produk dengan berbagai perlakuan substitusi tidak berbeda nyata. Derajat pengembangan horisontal terbesar diperoleh dari substitusi tepung gandum sebesar 566.80 % pada tingkat substitusi 5 % dan 546.80 % pada tingkat substitusi 10 %, sedangkan jenis substitusi tepung beras, tepung kentang, dan kontrol memberikan nilai yang tidak berbeda. Nilai derajat gelatinisasi tertinggi dihasilkan dari perlakuan substitusi tepung terigu yaitu sebesar 85.47 % dan 93.91 %, namun tetap lebih rendah dari kontrol sebesar 93.67 %, sedangkan derajat gelatinisasi terendah terdapat pada sampel dengan menggunakan substitusi tepung beras, yaitu sebesar 72.24 % dan 69.51 %. Substitusi dengan tepung kentang, baik pada tingkat 5

% maupun 10 % menghasilkan ekstrudat dengan densitas paling tinggi, yaitu 0.084 g/ml. Nilai terendah terdapat pada sampel substitusi menggunakan tepung terigu 10

% sebesar 0.080 g/ml , yaitu. Namun demikian, semua jenis tepung substitusi yang digunakan menghasilkan produk dengan nilai densitas yang lebih besar dari kontrol (0.077 g/ml).

(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MEMPELAJARI PENGARUH TINGKAT SUBSTITUSI BERBAGAI JENIS TEPUNG TERHADAP KARAKTERISTIK SNACK PRODUK EKSTRUSI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

WAISAK PURNOMO HARYANTO F24052859

Dilahirkan pada tanggal 13 Mei 1987 Di Tegal, Jawa Tengah

Menyetujui, Bogor, Januari 2011

Ir. Subarna, MSi Wati, STP NIP: 19600629.198803.1.001

Dosen Pembimbing Pembimbing Lapang

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah NIP: 19650814.199002.1.001

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Edy Haryanto dan Kristin Sugiarti. Pendidikan dari TK hingga SMP ditempuh oleh penulis di Yayasan Katolik PIUS Tegal. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Negeri 2 Yogyakarta.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2005. Selama kuliah, penulis aktif dalam beberapa kegiatan baik di luar kampus maupun di dalam kampus. Kegiatan di luar kampus seperti:

memberikan pengajaran privat kepada anak SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 2007 – 2008, sebagai pengajar TK di Yayasan Blessing Kids Bogor pada tahun 2009, dan pengajar anak sekolah minggu GBI Ciomas Bogor pada tahun 2006 - 2010. Kegiatan di dalam kampus seperti: anggota Komisi Pelayanan Anak Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB pada tahun 2006 – 2009, pendamping Usaha Kecil Menengah yang diselenggarakan oleh P2SDM IPB pada tahun 2007, dan anggota Tim Basket Fateta IPB pada tahun 2006 – 2008. Prestasi yang pernah diraih penulis selama kuliah adalah sebagai juara pertama Olimpiade IPB cabang olahraga basket pada tahun 2008 dan salah satu peserta yang mendapat hibah dari Dinas Pendidikan dalam Karya Tulis Ilmiah Nasional. Penulis melakukan kegiatan penelitian berupa magang di PT GarudaFood Putra Putri Jaya selama sembilan (9) bulan (Oktober – Juli) sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(8)

i KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia, kasih, dan hikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Mempelajari Pengaruh Tingkat Substitusi Berbagai Jenis Tepung terhadap Karakteristik Snack Produk Ekstrusi”. Skripsi ini disusun oleh penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama melaksanakan magang dan terselesainya skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Papah, Mamah, dan seluruh keluarga atas segala kasih sayang, doa, dukungan, nasehat serta bantuan secara moril dan materil yang diberikan tanpa henti kepada penulis selama ini

2. Ir. Subarna, M.Si selaku dosen pembimbing yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis

3. Iwan Surjawan, Ph.D selaku Innovation and Technology Development Manager- PT Tudung Putra-Putri Jaya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir di perusahaan

4. Wati, STP selaku pembimbing lapang yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama magang

5. Tjahja Muhandri, STP, MT atas kesediaannya sebagai dosen penguji

6. Ibu Waysima yang dengan sabar memberi nasihat untuk menjadi lebih baik serta bantuan dalam doa dan dana sehingga penulis senantiasa termotivasi untuk menyelesaikan penelitian ini.

7. Olivia Ariesta atas kesabaran dan kasih sayang yang diberikan selama ini.

8. Anton Nugroho terima kasih atas persaudaraan dan persahabatan selama ini.

9. Teman-teman satu angkatan 42: Dial, Reiner, Glenn, Willy, Dame, Tjan, Stanley, Budi, dan Irene. Terimakasih buat dukungan dan perhatian yang diberikan selama ini.

10. Rekan-rekan di ITD: Mas Deffi, Mas Fallik, Pak Rahadi, Mbak Ochid, Mbak Herlina untuk semua candaan yang diberikan dan juga buat Mbak Asih, Mbak

(9)

ii Een, dan Pak Bagus serta rekan-rekan semuanya di pabrik. Terima kasih banyak atas bantuannya selama penulis melakukan kegiatan penelitian ini.

11. Teman-teman di Laboratorium sentral dan laboratorium aplikasi produk Garuda Food: Mbak Tri yang dengan sabar memberikan pengarahan penggunaan alat analisis, Mbak Susan dengan suara nyanyiannya yang sangat langka, Mbak Ratih atas bantuan yang diberikan, Mas Willy atas arahan keamanan di dalam laboratorium, dan Putri sebagai teman kerja selama melakukan analisis. Tia, Nita, dan Eni atas segala makanan yang diberikan selama penulis melakukan magang.

12. Teman-teman ITP 42 yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir ini

Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2011

Penulis

(10)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... .. vii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. PROFIL PERUSAHAAN ... 2

C. TUJUAN ... 3

D. MANFAAT ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA A. EKSTRUDER ... 5

B. FORMULASI ... 12

C. PANGAN EKSTRUSI ... 20

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ... 25

B. METODE PENELITIAN 1. Identifikasi Mesin dan Pengoperasian Kondisi Ekstruder ... 25

2. Preparasi Sampel ... 27

3. Proses Ekstrusi ... 27

4. Analisis Produk ... 28

5. Uji Organoleptik ... 28

C. METODE ANALISIS PRODUK EKSTRUSI 2. Analisis Produk a. Kadar Air ... 28

b. Tekstur (kekerasan) ... 29

c. Derajat Gelatinisasi ... 29

(11)

iv

d. Water Absorption Index (WAI) ... 30

e. Water Solubilty Index (WSI) ... 31

f. Derajat Pengembangan ... 31

g. Bulk Density ... 32

D. RANCANGAN PERCOBAAN ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. GAMBARAN UMUM MESIN DAN KONDISI PENGOPERASIAN EKSTRUDER ... 34

B. ANALISIS PRODUK EKSTRUSI 1. Kadar Air Produk Ekstrusi ... 40

2. Derajat Gelatinisasi ... 43

3. Bulk Density ... 45

4. Tekstur (kekerasan) ... 46

5. Derajat Pengembangan ... 47

6. Water Absorption Index (WAI) ... 49

7. Water Solubility Index (WSI) ... 50

8. Uji Organoleptik ... 52

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 54

B. SARAN ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

LAMPIRAN ... 60

(12)

v DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Perbedaan antara single screw extruder dengan twin screw extruder . 6 Tabel 2. Perkiraan kandungan amilosa dan amilopektin beberapa jenis pati .... 17 Tabel 3. Kondisi proses ekstrusi untuk bahan berbasis jagung ... 26 Tabel 4. Setting Texture Analyzer untuk Kekerasan Produk ... 29 Tabel 5. Perlakuan pada percobaan ... 32 Tabel 6. Pencatatan pengaturan alat ekstruder hingga dihasilkan pengaturan

optimal untuk hasil ekstrudat terbaik ... 37 Tabel 7. Kondisi Pengoperasian Ekstruder ... 38 Tabel 8. Nilai penerimaan produk ekstrusi pada berbagai atribut sensori ... 53

(13)

vi DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagian ekstruder tipe bake ... 5

Gambar 2. Ekstruder ulir tunggal ... 7

Gambar 3. Tipe – tipe ulir pada ekstruder ulir ganda ... 9

Gambar 4. Variasi konfigurasi dari screw dan barrel untuk mendapatkan tekanan ... 10

Gambar 5. Profil sayap ulir pada ekstruder ulir tunggal ... 11

Gambar 6. Unsur peremas (kneading element) ... 11

Gambar 7. Beberapa tipe die ... 13

Gambar 8. Direct-expanded snack foods ... 21

Gambar 9. Third generation snack foods ... 22

Gambar 10. Contoh produk co-ekstruded ... 23

Gambar 11. Contoh die untuk pengisian pasta pada bagian tengah... 23

Gambar 12. Contoh crispbread ... 24

Gambar 13. Garis Besar Pelaksanaan Penelitian ... 26

Gambar 14. Skema pengembangan produk ekstrusi ... 39

Gambar 15. Penampakan produk ekstrusi pada berbagai sampel ... 40

Gambar 16. Kadar air setelah pengeringan produk ekstrusi ... 40

Gambar 17. Grafik derajat gelatinisasi produk ekstrusi ... 43

Gambar 18. Grafik tekstur (hardness) produk ekstrusi... 46

Gambar 19. Posisi vertikal dan horisontal pada produk ekstrusi ... 47

Gambar 20. Derajat pengembangan horisontal ... 48

(14)

vii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kadar Air Produk Ekstrusi Sebelum Pengeringan ... 60

Lampiran 2. Kadar Air Produk Ekstrusi Setelah Pengeringan... 60

Lampiran 3. Hasil Perhitungan Water Absorption Index (WAI) ... 61

Lampiran 4. Hasil Perhitungan Water Solubility Index (WSI) ... 62

Lampiran 5. Hasil Perhitungan Bulk Density ... 63

Lampiran 6. Hasil Perhitungan Tekstur ... 63

Lampiran 7. Hasil Perhitungan Derajat Gelatinisasi ... 64

Lampiran 8. Hasil Perhitungan Derajat Pengembangan ... 64

Lampiran 9. Grafik Analisis Tekstur ... 65

Lampiran 10. Kuisioner Uji Organoleptik ... 71

Lampiran 11. Hasil Uji Organoleptik Kontrol ... 72

Lampiran 12. Hasil Uji Organoleptik Sampel AB1 ... 73

Lampiran 13. Hasil Uji Organoleptik Sampel AB2 ... 74

Lampiran 14. Hasil Uji Organoleptik Sampel AC1 ... 75

Lampiran 15. Hasil Uji Organoleptik Sampel AC2 ... 76

Lampiran 16. Hasil Uji Organoleptik Sampel AD1 ... 77

Lampiran 17. Hasil Uji Organoleptik Sampel AD2 ... 78

Lampiran 18. ANOVA Kadar Air Sebelum Pengeringan... 79

Lampiran 19a. ANOVA Kadar Air Setelah Pengeringan ... 79

Lampiran 19b. Uji Lanjut LSD Kadar Air Setelah Pengeringan ... 80

Lampiran 20a. ANOVA Derajat Gelatinisasi ... 80

Lampiran 20b. Uji Lanjut LSD Derajat Gelatinisasi ... 81

Lampiran 21a. ANOVA Tekstur ... 82

Lampiran 21b. Uji Lanjut LSD Tekstur ... 82

Lamipran 22. ANOVA Bulk Density ... 83

(15)

viii

Lampiran 23. ANOVA Water Absorption Index (WAI)... 84

Lampiran 24. ANOVA Water Solubility Index (WSI) ... 84

Lampiran 25. ANOVA Derajat Pengembangan Vertikal ... 85

Lampiran 26a. ANOVA Derajat Pengembangan Horisontal ... 85

Lampiran 26b. Uji Lanjut LSD Derajat Pengembangan Horisontal ... 86

(16)

1 I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Teknologi ekstrusi memungkinkan kita untuk melakukan serangkaian proses pengolahan, seperti: mencampur, menggiling, memasak, mendinginkan, mengeringkan, dan mencetak dalam satu rangkaian proses saja (Pratama, 2007). Berbagai proses di dalam satu mesin merupakan salah satu bentuk efisiensi yang dapat mengurangi biaya produksi bagi suatu industri. Selain itu, teknologi ekstrusi memiliki beragam modifikasi proses sehingga dapat menghasilkan produk yang diinginkan. Hal - hal tersebut yang mendasari teknologi ekstrusi diaplikasikan secara luas, termasuk dalam bidang pengolahan pangan.

Salah satu penerapan dalam bidang pengolahan pangan adalah pembuatan makanan ringan (snacks). Perkembangan produk ini sangat pesat, yaitu mencapai 59, 5 ribu ton pada tahun 2004 atau naik dari tahun 2003 sebesar 53,6 ribu ton (Survey CIC, 2005). Hal ini juga dapat dilihat dari munculnya merek – merek baru makanan ringan hasil ekstrusi (Apriani, 2009). Kondisi ini telah mendorong para produsen menjaga dan meningkatkan mutu produk makanan ringan hasil ekstrusi.

Mutu produk ekstrusi dipengaruhi oleh variabel bebas dan variabel tidak bebas di dalam suatu proses ekstrusi. Variabel bebas merupakan parameter yang secara langsung dapat dikontrol oleh operator mesin ekstrusi, sedangkan variabel tidak bebas merupakan parameter yang dapat berubah mengikuti perubahan variabel bebas. Formula bahan baku, kadar air bahan baku, kecepatan masuk bahan, kecepatan ulir ekstruder, suhu barrel dan konfigurasi ekstruder merupakan contoh dari variabel bebas. Energi mekanik, kadar air produk, suhu pada saat proses, waktu tunggu, dan tekanan di dalam ekstruder merupakan contoh dari variabel tidak bebas. Menurut Huber yang diacu di dalam Rooney (2002), interaksi di antara kedua variabel tersebut sangat kompleks dan sulit dimengerti tanpa pemahaman terhadap proses ekstrusi, pengetahuan tentang bahan baku, dan analisis sensori.

(17)

2 Pengetahuan bahan baku mencakup kandungan struktur kimia (pati,

protein, lemak, dan serat) yang terdapat di setiap jenis bahan baku serta perilakunya terhadap kondisi proses tertentu, sebagai contoh proses gelatinisasi pati dan denaturasi protein. Kandungan kimia tersebut berbeda, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pada setiap bahan sehingga tentunya setiap bahan akan memiliki perilaku perubahan struktur kimia yang berbeda dan selanjutnya menghasilkan karakteristik produk yang berbeda pula. Pada proses ekstrusi, untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik produk biasanya digunakan parameter nilai sensori (tekstur, tingkat kerenyahan (crispiness dan crunchiness), porositas, warna, dan aroma produk), daya serap air, kelarutan di dalam air, pengembangan, dan kadar air.

B. PROFIL PERUSAHAAN

GarudaFood adalah perusahaan makanan dan minuman di bawah kelompok usaha Tudung (Tudung Group). Selain GarudaFood, Tudung Group juga menaungi SNS Group (PT Sukses Niaga Sejahtera, bergerak di bisnis distribusi dan logistik) dan Tudung International.

GarudaFood Group berawal dari PT Tudung, didirikan di Pati, Jawa Tengah, pada 1958 dan bergerak di bisnis tepung tapioka. Pada 1979 PT Tudung berganti nama menjadi PT Tudung Putrajaya (TPJ). Pendiri perusahaan adalah mendiang Darmo Putro, mantan pejuang yang memilih menekuni dunia usaha setelah bangsa Indonesia merdeka.

Pada awal 1987 TPJ mulai menjual hasil produksi kacangnya dengan merk Kacang Garing Garuda, yang belakangan dikenal dengan sebutan ringkas:

Kacang Garuda. Kacang Garuda meraih pelbagai penghargaan sebagai berikut: Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) kategori kacang bermerek delapan kali berturut-turut (2000-2007); Superbrands (2003); Top Brand for Kids (2004); Indonesian Best Brand Award (IBBA, 2004-2007); Top Brand (2007).

Tatkala perekonomian nasional tengah dihantam krisis ekonomi, Desember 1997, didirikan PT GarudaFood Jaya (GFJ) yang memproduksi biskuit bermerek Gery. Periode 2005-2007 Gery Saluut meriah Indonesian

(18)

3 Best Brand Award (IBBA) dari MARS dan majalah SWA untuk kategori wafer

salut. Pada 2007 Gery Chocolatos meraih IBBA kategori wafer stick.

Pada 1998 GarudaFood mengakuisisi PT Triteguh Manunggal Sejati (TRMS), produsen jelly dan meluncurkan produk jelly bermerek Okky dan Keffy. Prestasi Okky Jelly dibuktikan dari keberhasilan meraih Top Brand for Kids (TBK) Award 2004 untuk kategori jelly. Di samping TBK, OKKY Jelly juga berhasil meraih IBBA (2004-2007). Okky Jelly Drink juga meraih penghargaan Top Brand 2007 dari majalah Marketing bekerja sama dengan Frontier.

Pada akhir 2002 TRMS meluncurkan produk minuman jelly bermerek Okky Jelly Drink sekaligus babak baru GarudaFood masuk ke bisnis minuman (beverages). Keseriusan GarudaFood menekuni bisnis minuman juga semakin kentara dengan diluncurkannya Mountea, minuman teh rasa buah. Mountea bahkan mencatat prestasi IBBA 2007 kategori minuman teh dalam kemasan cup. Pada tahun 2000 Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sepakat menggabungkan TPJ, dan PT GarudaFood Jaya menjadi PT Garuda Putra Putri Jaya. Selanjutnya PT Garuda Putra Putri Jaya berubah nama menjadi PT GARUDAFOOD PUTRA PUTRI JAYA (GPPJ).

GarudaFood juga memproduksi snack bermerek Leo, untuk kategori produk kripik kentang, kripik pisang, kripik singkong, dan krupuk mulai akhir 2005. Pada 2007 Leo meraih IBBA kategori snack kentang. Selain itu juga merambah bisnis snack jagung dengan merek O’Corn. Di tingkat nasional, GarudaFood juga dipersepsi positif sebagai salah satu perusahaan makanan dan minuman idaman. Survey yang dilakukan Frontier dan majalah BusinessWeek Indonesia di Jakarta dan Surabaya pada 2006 dan 2007 menyebutkan GarudaFood berada di urutan ketiga Indonesian Most Admired Company (IMAC). GarudaFood juga aktif menjalankan program corporate

social responsibility (CSR) di bawah bendera GarudaFood Sehati.

Kini, seluruh potensi yang ditopang kekuatan sekitar 19 ribu karyawan berkepribadian unggul (knowledge worker) menjadi modal utama GarudaFood dalam upaya menyongsong sukses sebagai sebuah sustainable enterprise.

(19)

4 C. TUJUAN

Secara umum, tujuan dari kegiatan magang ini adalah untuk melatih mahasiswa terjun ke dalam dunia kerja dan diharapkan mampu meningkatkan ilmu pengetahuan yang dipelajari dalam kuliah untuk memecahkan masalah yang mungkin timbul di lapangan. Secara khusus magang ini dilakukan untuk mempelajari parameter pada proses ekstrusi, yaitu jenis bahan substitusi yang digunakan dan tingkat substitusi terhadap karakteristik produk ekstrusi yang dihasilkan di dalam suatu proses ekstrusi dengan menggunakan ekstruder ulir ganda (Twin Screw Extruder).

D. MANFAAT

Manfaat hasil penelitian ini adalah memberikan informasi kepada perusahaan mengenai pengaruh jenis bahan substitusi dan tingkat substitusinya terhadap karakteristik produk ekstrusi yang dihasilkan di dalam proses ekstrusi dengan menggunakan ekstruder ulir ganda (Twin Screw Extruder).

(20)

5 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekstruder

a. Bagian – bagian ekstruder

Ekstruder merupakan suatu alat yang terdiri dari empat bagian utama, yaitu: ulir (screw), tabung/laras (stator/barrel), lubang berukuran relatif kecil (die), dan pisau (knife). Rasio antara panjang dan diamater dari tabung (L/D) adalah sekitar 2 – 4 (Burtea, 2002). Sebagai contoh, gambaran secara jelas dapat dilihat di bawah ini:

b. Prinsip kerja ekstruder

Bahan diisikan melalui corong ke dalam laras/tabung berulir secara berkesinambungan. Putaran ulir menyebabkan bahan terdorong ke bagian die. Selama proses ini, bahan mengalami gaya tekan dan gesekan antara ulir dengan bahan. Gesekan yang dialami oleh bahan turut serta menimbulkan kalor yang memanaskan bahan tersebut. Bahan yang keluar dari die selanjutnya dipotong pada panjang tertentu oleh pisau yang berputar. Bahan Gambar 1 Bagian ekstruder tipe bake (Madox Metal Works Inc., Dallas, Texas)

- sumber: Burtea, 2002.

(21)

6 yang telah keluar dari ekstruder mengalami perubahan tekanan dan suhu yang jauh lebih rendah daripada di dalam ekstruder. Pada kondisi tersebut air di dalam bahan, sebelumnya dalam keadaan bersuhu tinggi (120 – 160

oC) dan bertekanan tinggi (70 – 150 atm) di dalam ekstruder, akan mudah menguap ke udara. Hal ini menyebabkan terciptanya rongga – rongga udara di dalam bahan sekaligus tertariknya molekul bahan. Kondisi ini menyebabkan proses pengembangan bahan.

c. Tipe ekstruder

Pada umumnya dalam dunia industri dikenal dua tipe ekstruder yang didasarkan pada jumlah ulir (screw) yang dimiliki, yaitu ekstruder ulir tunggal (single screw extruder) dan ekstruder ulir ganda (twin screw extruder). Baik ekstruder ulir tunggal maupun ulir ganda dikelompokkan lagi berdasarkan seberapa banyak energi mekanis yang dapat dihasilkan.

Sebagai contoh, ekstruder dengan energi mekanis yang rendah dirancang untuk mencegah proses pemasakan pada adonan bahan (Pratama, 2007).

Perbedaan – perbedaan utama di antara kedua tipe tersebut adalah sebagai berikut (Jowitt, 1984):

Tabel 1 Perbedaan antara single screw extruder dengan twin screw extruder Perbedaan Single Screw Extruder Twin Screw Extruder

Mekanisme pergerakan bahan Friksi antara logam dan bahan makanan

Pergerakan bahan ke arah positif (die)

Penyedia energi utama Panas gerakan ulir Panas yang dipindahkan pada barrel

Kapasitas (throughput kg/hour)

Tergantung kandungan air, lemak, dan tekanan

Tidak tergantung apapun

Perkiraan energi yang digunakan/kg produk

900 – 1500 kJ kg-1 400 – 600 kJ kg-1

Distribusi panas Perbedaan temperaturnya besar

Perbedaan temperatur kecil

Biaya investasi rendah tinggi

(22)

7 Perbedaan Single Screw Extruder Twin Screw Extruder

Kandungan air minimum 10,00% 8,00%

Kandungan air maksimum 35,00% 95,00%

Pada ekstruder ulir tunggal, gaya untuk menggerakkan bahan berasal dari pengaruh dua gesekan, yang pertama adalah gesekan yang diperoleh dari ulir dan bahan sedangkan yang kedua adalah gesekan antara dinding barrel ekstruder dan bahan. Ekstruder ulir tunggal membutuhkan konfigurasi dinding barrel ekstruder tertentu untuk menghasilkan kemampuan menggerakkan bahan yang baik, maka dari itulah dinding selubung ekstruder pada ekstruder ulir tunggal memainkan peran penting dalam menentukan rancangan ekstruder (Jowitt, 1984). Jika bahan yang diolah menempel pada permukaan ulir dan tergelincir dari permukaan barrel maka tidak akan ada produk yang mengalir dalam ekstruder karena bahan ikut berputar bersama ulir tanpa terdorong ke depan.

Ekstruder ulir tunggal dapat dibagai menjadi empat kategori berdasarkan kebutuhan mekanikal energi dari gesekan yang terjadi, yaitu:

1) Low-shear forming, 2) Low-shear cooking, 3) Medium-shear cooking, 4) High-shear cooking extruder (Huber dalam Rooney, 2002).

Gambar 2 Ekstruder ulir tunggal (sumber: www.uea.ac.uk/~h007/extruder/)

(23)

8 Pada ekstruder ulir ganda, dua ulir yang pararel ditempatkan dalam barrel berbentuk angka 8. Jarak ulir yang diatur rapat akan mengakibatkan bahan bergerak di antara ulir dan barrel dalam ruang yang berbentuk C.

Sebagai hasilnya bahan akan terhindar dari aliran balik (negatif) ke arah bahan masuk, tetapi digerakkan pada arah positif yaitu menuju die tempat bahan keluar. Pada ekstruder tipe ini, gesekan pada dinding barrel tidak terlalu penting untuk diperhatikan walaupun sebenarnya hal ini tergantung dari proses pengolahan apa yang dilakukan (Pratama, 2007). Namun demikian, bentuk geometris ulir sangatlah penting untuk diperhatikan karena bentuk ulir ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada ruang ekstruder yang akan menyebabkan aliran bahan dari satu ruang ke ruang yang lain, baik ke arah negatif maupun ke positif (Jowitt, 1984).

Secara umum, ulir pada ekstruder ulir ganda dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu ulir intermeshing dan non-intermeshing. Pada ulir ekstruder tipe non-intermeshing, jarak antara poros ulir setidaknya sama dengan diameter luar ulir. Sedangkan pada ulir tipe intermeshing, jarak antar poros ulir lebih kecil daripada diameter luar ulir, atau permukaan ulir dalam keadaan saling bersentuhan. Pada ulir tipe ini bahan yang tergelincir dari dinding barrel mungkin, tetapi tidak akan menempel pada ulir karena ulir intermeshing yang satu akan mencegah bahan pada ulir lain untuk berputar dengan bebas atau slip di ulir (Jowitt, 1984).

Selain dua kategori utama tersebut, terdapat juga beberapa jenis konfigurasi ulir pada ekstruder ulir ganda berdasarkan arah putarannya. Yang pertama ialah intermeshing/non-intermeshing counter rotating, dimana pada tipe ini arah putaran ulir saling berlawanan. Kedua ialah tipe intermeshing/nonintermeshing co-rotating, dimana arah putaran ulir sama.

(24)

9 d. Konfigurasi ulir

Ulir terdiri dari bagian sayap yang melingkar sepanjang laras dengan pola heliks. Konfigurasi pada bagian ini mencakup sudut yang dibentuk terhadap poros/laras, ketinggian sayap terhadap laras, banyaknya sayap setiap satuan panjang tertentu dari laras/kerapatan ulir, perubahan diameter poros/laras dari feeder hingga die. Ketika berputar, semua faktor tersebut akan mempengaruhi mobilitas transportasi bahan dari feeder ke die, gesekan yang terjadi antara bahan dengan permukaan ulir, dan besarnya tekanan di dalam barrel.

Pada ekstruder berulir tunggal, desain gerak maju ulir/kerapatan ulir dan ketinggian sayap dapat berubah sepanjang masuk hingga keluarnya bahan.

Pada umumya, keduanya mengalami penurunan dari ujung masuk hingga ujung keluarnya bahan lewat die. Beberapa konfigurasi ulir dan kombinasinya dengan barrel dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 3 Tipe – tipe ulir pada ekstruder ulir ganda: a)counter-rotating,

intermeshing; b) co-rotating, intermeshing ;c) counter-rotating, non- intermeshing; d) co-rotating, non-intermeshing. (Sumber: Janssen dalam

Pratama, 2007)

Diameter poros bertambah, kerapatan ulir tetap

Diameter poros tetap, kerapatan ulir bertambah

(25)

10 Kebanyakan bahan masuk memiliki densitas 500 g/L dalam bentuk bubuk. Seiring bahan ekstrudat tersebut meleleh dan mengalir akibat pemasakan dan pencampuran di dalam barrel , densitas ekstrudat meningkat hingga kira – kira 1800 g/L tepat sesaat sebelum keluar dari die (Huber dalam Rooney, 2002). Oleh karena itu, diperlukan konfigurasi untuk mengurangi perpindahan volume ekstrudat di dalam barrel secara bertahap agar aliran ekstrudat tidak mengalami penyumbatan. Jika terjadi penyumbatan pada aliran ekstrudat, akan terlihat pada die yaitu aliran keluar ekstrudat yang tidak seragam sehingga produk yang dihasilkan memiliki bentuk yang tidak sempurna.

Sudut sayap dari ulir relatif terhadap poros berpengaruh terhadap besarnya pencampuran dan efisiensi perpindahan ekstrudat dari feeder ke die.

Pada bagian pangkal (feeder) ulir, sudut ulir terhadap poros dibuat relatif miring ke kanan (gambar 5) untuk memudahkan perpindahan ekstrudat yang

Diameter poros tetap, kerapatan ulir tetap, barrel menyempit

Diameter poros tetap, kerapatan ulir bertambah, barrel menyempit

Gambar 4 Variasi konfigurasi dari screw dan barrel untuk mendapatkan tekanan (Harper dalam Curtis, LW., University of Nebraska, 1997)

Diameter poros tetap, kerapatan ulir bertambah, barrel tetap, penambahan halangan

(26)

11 densitasnya masih rendah. Sejalan dengan meningkatnya densitas, sudat muka ulir dibuat mendatar untuk meningkatkan pencampuran dan menurunkan kecepatan perpindahan ekstrudat. Sudut muka ulir yang relatif pipih juga berfungsi untuk meremas bahan ekstrudat.

Beberapa variasi konfigurasi ulir pada ekstruder ulir ganda dapat dilihat pada gambar 3. Semua konfigurasi tersebut akan menghasilkan gerak positif dari bahan tanpa harus diperlengkapi dengan mekanisme antirotasional di dinding barrel seperti pada ekstruder ulir tunggal. Namun demikian, mekanisme ini mengurangi efektifitas panas yang dihasilkan dari gesekan antara bahan dengan barrel. Permasalahan ini biasanya diatasi dengan melengkapi ulir pembalik pada bagian tertentu atau dengan menambahkan unsur peremas (kneading element) pada konfigurasi ulir (Huber dalam Rooney, 2002).

Gambar 5 Profil sayap ulir pada ekstruder ulir tunggal (Wenger Manufacturing, Inc., Kansas dalam Rooney, 2002)

Ulir pangkal Ulir peremas Ulir pemasakan

Gambar 6 Unsur peremas (kneading element) (Wenger Manufacturing, Inc., dalam Rooney, 2002)

(27)

12 e. Konfigurasi die dan pisau pemotong (knife)

Bentuk dan diameter lubang pada cetakan (die) berpengaruh nyata terhadap tekanan yang dihasilkan pada die dan karakteristik produk (Esseghir dan Sernas, 1992). Diameter yang semakin kecil akan menghasilkan tekanan yang semakin besar. Barrel pada ekstruder bisa memiliki die yang terdiri dari satu atau lebih bukaan. Bukaan ini membentuk produk akhir dan menimbulkan gaya yang berlawanan arah dengan gaya tekan dari ulir. Penggunaan die dapat lebih dari satu hingga tiga untuk mendapatkan tekstur dan mouthfeel yang diinginkan (Huber dalam Rooney, 2002).

Kecepatan pisau menentukan panjang dari produk yang dihasilkan oleh ekstruder. Semakin tinggi kecepatan pisau maka panjang produk semakin kecil, demikian sebaliknya.

B. Formulasi

Bahan – bahan utama penyusun dalam proses ekstrusi makanan dapat berasal dari tumbuh – tumbuhan berumbi, berbiji, kacang – kacangan, ikan laut, dll. Bahan – bahan ini mempengaruhi karakteristik dari produk ekstrusi sesuai dengan kandungan kimia dan perubahan fisikokimia yang terjadi dalam selama proses ekstrusi. Hal inilah yang mendasari perlunya untuk mempelajari sifat – sifat bahan dan interaksinya dengan bahan lain selama proses ekstrusi.

Dengan demikian dapat ditentukan komposisi bahan penyusun dalam suatu formulasi tertentu untuk mendapatkan karakteristik produk ekstrusi yang diinginkan.

(28)

13 1. Tepung (flour)

a. Tepung gandum

Menurut Schwatz et al. (1992) produk esktrusi yang dibuat dengan tepung gandum memiliki tingkat kekerasan yang paling tinggi pada semua kisaran tingkat gelatinisasinya dibandingkan dengan pati jagung, grit jagung, dan pati gandum. Lebih lanjut dikatakan bahwa energi yang dibutuhkan tepung gandum lebih banyak daripada energi yang dibutuhkan pati jagung dan gandum untuk mendapatkan tingkat gelatinisai yang sama.

Hal tersebut dikarenakan kandungan protein, lemak, dan komponen lain yang ikut menyerap energi panas dan air yang dibutuhkan untuk proses gelatinisasi. Faubion dan Hoseney (1982b) menemukan bahwa penambahan lemak pada tepung terigu dapat menurunkan pengembangan produk dan merubah tekstur dan struktur produk ekstrusinya. Perbedaan kandungan protein dalam tepung gandum juga berpengaruh terhadap pengembangan, tekstur, dan struktur sel dari ekstrudat. Terigu dengan kadar protein tinggi (15%) berbeda dalam pengembangan dan struktur sel ekstrudat, sedangkan terigu dengan kandungan protein 11% dan 9%

Die tunggal Die ganda

Die tripel Die tunggal dengan ruang

Gambar 7 Beberapa tipe die (Wenger Manufacturing, Inc., dalam Rooney, 2002)

(29)

14 berbeda dalam karakteristik dari ekstrudat. Sutheerawattananonda et al.

(1994) mempelajari pengaruh ukuran protein setiap jenis tepung gandum terhadap pengembangan dan densitas ekstrudat, hasilnya adalah volume pengembangan lebih kecil pada tepung gandum yang mengandung protein lebih besar, sedangkan densitasnya lebih besar. Penjelasannya dihubungkan dengan sifat protein yang sedikit larut air ketika terdenaturasi dan homogenitas kemampuan pati tergelatinisasi yang mengelilingi matrik protein. Vergnes et al. (1987) menganalisis bahwa pada tingkat energi yang sama, kelarutan tepung gandum jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kelarutan pati jagung murni.

b. Tepung Beras

Tepung beras dibuat dengan cara digiling. Proses pertama pembuatan tepung beras adalah dengan pengayakan beras untuk menghilangkan kotoran seperti krikil, sekam, dan gabah. Beras kemudian dicuci terlebih dahulu sampai bersih, kemudian direndam di dalam air yang mengandung natrium bisulfit 1 ppm selama satu jam. Setelah itu beras ditiriskan sehingga dihasilkan beras lembab. Beras yang sudah bersih kemudian digiling dengan hammer mill berpenyaring 80 mesh, kemudian tepung beras yang sudah jadi perlu dikeringkan hingga mencapai kadar air di bawah 14 % (Tarwuyah, 2001).

Menurut Hsieh et al. (1993), penambahan garam dan gula pada tepung beras dapat meningkatkan derajat pengembangan produk ekstrusi yang dihasilkan. Hasil amilograf menunjukkan bahwa ekstrudat tepung beras memiliki viskositas yang lebih rendah selama siklus pemasakan dibandingkan dengan tepung beras non-eskstrusi. Hal ini berhubungan dengan dekstrinasi yang terjadi pada pati selama proses ekstrusi (Harper, 1981). Karakteristik produk ekstrusi yang dihasilkan dari tepung beras biasanya berwarna putih terang (light). Menurut Marshall dan Normand (1991), kompleks amilosa-lemak di dalam tepung beras yang telah mengalami pemasakan harus diperhatikan khususnya kemudahan untuk mengalami retrogradasi. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa

(30)

15 kompleks amilosa-lemak meningkatkan retrogradasi dari rantai amilosa.

Sifat reologi tepung beras sangat dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin seperti halnya pada tepung lain. Pada tepung beras, pasta terkonsentrasi memiliki sifat yang lebih dominan elastis (Reddy et al., 1994).

c. Tepung Kentang (Potatoe Flake)

Proses pembuatan flake kentang secara sederhana terdiri dari pencucian kentang, pengupasan, pemotongan, pemasakan awal, pendinginan, pemasakan akhir, pembentukan massa, dan pengeringan dengan drum dried (Hix, 2002). Beberapa zat aditif, seperti asam sitrat, sodium pirofosfat, sodium bisulfat, dan antioksidan terkadang ditambahkan pada proses pemasakannya sebelum pengeringan untuk menjaga warna dan aroma kentang yang dihasilkan. Flake yang kering kemudian digiling untuk mendapatkan partikel dengan ukuran 40 mesh dan selanjutnya digunakan untuk skala industri sebagai ingredien snack kentang. Lebih lanjut dikatakan bahwa flake kentang memiliki pati bebas yang sangat sedikit akibat proses yang dialami. Penggilingan flake mengakibatkan sejumlah besar sel – selnya rusak sehingga mengalami aglomerasi yang terikat bersamaan dengan pati yang tergelatinisasi (Cheyne et al., 2005). Namun demikian, flake kentang memiliki kemampuan untuk mengikat dan memerangkap air secara homogen dengan lebih baik sehingga meningkatkan pengembangan yang seragam pada saat pemasakan snack serta menghasilkan produk dengan tektur yang lebih renyah. Sayangnya, tidak ada keseragaman mutu dalam produksi flake kentang di antara produsen. Kualitas yang dihasilkan sangat bergantung pada waktu pembuatan dan kondisi kentang yang digunakan.

Masalah lain yang timbul dalam penggunaan flake kentang untuk proses produksi snack adalah tingginya level gula pereduksi yang berakibat pada reaksi pencoklatan pada produk yang dihasilkan. Pada umumnya, flake dengan kandungan gula di atas 3% tidak dapat diterima dalam pembuatan produk snack.

(31)

16 Maga dan Desroisier di dalam Harper (1981) melakukan ekstrusi flake kentang dengan menggunakan air yang mengandung kalsium karbonat dan magnesium karbonate. Hasil produk ekstrusi yang dihasilkan memiliki tingkat pengembangan tinggi yang menandakan gelatinisasi yang tinggi pula. Evaluasi sensori dari produk ini juga menghasilkan tingkat penerimaan yang tinggi. Produk ekstrusi dari flake kentang memiliki sifat yang elastis dan kuat, mampu untuk menahan beban produk itu sendiri pada panjang beberapa meter (Cheyne et al., 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa penampakan mikrostruktur ekstrudat dari flake mengindikasikan campuran sel – sel yang rusak dan pati bebas telah terhomogenisasi selama proses ekstrusi. Kohesitivitas yang dimiliki juga baik dengan struktur yang kompak. Hal ini berarti juga bahwa amilosa dan amilopektin tersebar merata selama mengalami ekstrusi.

2. Komponen biokimia a. Pati

Pati dapat ditemukan pada bagian tanaman yang membentuk cadangan makanannya dalam bentuk umbi, biji, dan buah, seperti:

singkong, ubi jalar, jenis kacang – kacangan, buah – buahan, dan padi – padian. Pemanfaatan yang banyak digunakan dalam produk ekstrusi berasal dari umbi dan padi – padian, seperti: kentang, jagung, beras, sorgum, barley, oat, dan gandum.

Bentuk dan ukuran setiap jenis pati berbeda – beda. Pati kentang merupakan pati dengan bentuk tidak teratur dan ukuran yang terbesar di antara pati yang lain. Pati beras memiliki bentuk yang teratur dan ukuran yang kecil. Pati jagung dan sorgum memiliki bentuk menyerupai bola dan berukuran sedang.

Pati tersusun atas molekul – molekul glukosa (homopolimer) yang berikatan α-glikosidik. Ikatan ini terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu α- (1,4)-D-glukosa dan α-(1,6)-D-glukosa. Ikatan α-(1,4)-D-glukosa membentuk rantai polimer yang digambarkan lurus dan panjang, tetapi

(32)

17 sebetulnya berbentuk heliks (Huang dan Rooney, 2002). Rantai polimer yang lurus ini disebut sebagai amilosa dan bersifat mudah berikatan dengan molekul asam lemak bebas, gliserida rantai pendek, alkohol, dan iodin (Huang dan Rooney, 2002). Ikatan α-(1,6)-D-glukosa membentuk percabangan sehingga rantai polimernya terlihat seperti percabangan pada pohon. Rantai polimer yang bercabang ini disebut sebagai amilopektin yang menyusun hampir sebagian besar dari pati, walaupun setiap cabang tersusun atas ikatan α-(1,4)-D-glukosa (tabel 1).

Tipe Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) KSG* (oC)

Jagung 25 75 62-72

Jagung lunak <1 >99 63-72

Jagung tinggi amilosa 56-70 (atau lebih tinggi)

45-30 (atau lebih

rendah) 70-95+

Kentang 20 80 50-60

Beras 19 81 68-78

Beras lunak <1 >99 68-77

tapioka/singkong/ubi 17 83 52-61

Gandum 25 75 58-63

Sorgum 25 75 65-74

Sorgum lunak <1 >99 64-73

Sorgum lunak sebagian <20 >80 64-73 * KSG: Kisaran Suhu Gelatinisasi (Sumber: Huang dan Rooney, 2002)

Perbandingan jumlah amilosa dan amilopektin berpengaruh terhadap perubahan sifat – sifat fisik dan kimia dari pati selama proses. Amilosa dapat mudah mengalami retrogradasi dan membentuk struktur yang keras jika suhu proses telah turun. Dalam proses ekstrusi, sifat ini akan mengurangi pengembangan dari produk. Amilopektin lebih mudah diputus ikatannya daripada amilosa di bawah kondisi proses dengan tingkat Tabel 2 Perkiraan kandungan amilosa dan amilopektin beberapa

jenis pati

(33)

18 gesekan yang tinggi seperti pada ekstrusi dan mengalamai laju retrogradasi yang lebih lama daripada amilosa. Berkebalikan dengan amilosa, pengembangan produk pada proses ekstrusi meningkat dengan adanya amilopektin (Huang dan Rooney, 2002).

b. Serat

Serat makanan (Diatary Fiber) merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna. Komposisi kimia serat makanan bervariasi tergantung dari komposisi dinding sel tanaman penghasilnya. Pada dasarnya komponen komponen penyususn dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, gum, mucilage yang kesemuanya ini termasuk ke dalam serat makanan. Serat makanan terbagi ke dalam dua kelompok yaitu serat makanan tak larut (unsoluble dietary fiber) dan serta makanan larut (soluble dietary fiber). Serat tidak larut contohnya selulosa, hemiselulosa dan lignin yang ditemukan pada serealia, kacang - kacangan dan sayuran. Serat makanan larut contohnya gum, pektin dan mucilage (Tensiska, 2008).

Penggunaan serat masih terbatas dalam kaitannya dengan pengembangan produk ekstrusi. Serat buah, kedelai, dan kacang kapri biasanya dipertimbangkan untuk mengurangi sedikit pengembangan produk ekstrusi pada konsentrasi 5 % - 10 %. Penambahan serat dari beras dan oat secara normal dapat mengurangi pengembangan secara nyata (Huber dalam Rooney, 2002).

d. Protein

Peranan protein di dalam proses ekstrusi sangatlah sedikit. Pada proses pengembangan produk, protein hampir dikatakan tidak berkontribusi, tetapi pengaruhnya kuat terhadap tekstur dan sifat flavor dari produk (Huang dan Rooney, 2002). Frazier et al (1983) yang diacu dalam Mitchell dan Areas (1992) menemukan kadar air yang optimum untuk pengembangan dan teksturisasi dari grit kedelai, di mana pada kasus sereal, pengembangan pada umumnya meningkat seiring dengan penurunan kadar

(34)

19 air. Namun, Meuser dan Wiedman (1989) di dalam Walker et al (1992) menemukan bahwa penambahan kasein pada pati gandum dapat mengurangi kepadatan produk (bulk density) karena kasein lebih mengembang daripada pati gandum. Proses teksturisasi oleh protein terhadap produk ekstrusi berbasis protein telah dipelajari selama beberapa dekade, khususnya terhadap protein dari kedelai (Doi dan Kitabatake dalam Kokini, 1992). Stanley et al (1982) yang diacu dalam Mitchell dan Areas (1992) memberikan bukti bahwa ikatan disulfida hanya memberikan sedikit pengaruh dalam pembentukan tekstur produk akhir ekstrusi dan berpendapat bahwa ikatan peptida baru, terbentuk pada suhu tinggi (± 180

oC), bertanggung jawab terhadap tekstur produk. Jadi, sangatlah penting untuk mengetahui kandungan bahan mentah yang digunakan untuk proses ekstrusi, apakah tinggi protein atau tinggi polisakarida (pati dan serat) untuk mendapatkan sifat fisik yang diinginkan.

e. Lemak

Lemak atau minyak menyebabkan pelemahan adonan, mengurangi kekerasan dari produk ekstrusi, dan meningkatakan sifat plastis dari produk (Harper, 1981 di dalam Walker et al, 1992). Lebih lanjut dikatakan bahwa penambahan lemak berakibat pada berkurangnya pengembangan produk ekstrusi dari tepung gandum sekaligus merubah struktur yang dihasilkan (Faubion dan Hoseney, 1982b di dalam Walker et al, 1992). Lemak mungkin dapat dijadikan suatu alternatif dalam proses ekstrusi untuk mengontrol tekstur dalam dan luar dari produk ekstrusi terkait dengan sifat – sifat di atas.

Lemak juga dapat membentuk kompleks dengan pati dikarenakan kemampuan dari fraksi amilosa pati dapat berikatan dengan asam – asam lemak (Hanna dan Bhatnagar, 1994). Hal ini menyebabkan produk ekstrusi yang dihasilkan akan memiliki sifat daya serap terhadap air yang rendah (Water Absorption Index) dan kelarutan yang rendah pula (Water Solubility Index) karena terdapat perbedaan kepolaran. Gallowat et al (1989) yang diacu dalam Hanna dan Bhatnagar (1994) menemukan bahwa kompleks

(35)

20 amilosa-gliserilmonostearat yang terbentuk selama ekstrusi dari pati gandum menyebabkan juga penurunan derajat pengembangan dari produk dan daya serang enzim. Kompleks antara amilosa dengan lemak juga dapat meningkat dengan adanya penambahan tekanan dan suhu (Huber dalam Rooney, 2002).

Lemak ataupun minyak biasa digunakan sebagai pelumas di dalam mesin (lubricant) karena sifatnya yang dapat mengurangi gaya gesek antar permukaan, Dalam proses ekstrusi, yang memanfaatkan gesekan untuk meningkatkan suhu, sifat ini tidaklah begitu dikehendaki. Keberadaan lemak di dalam produk makanan yang terlalu banyak dapat mengurangi gaya gesek yang terjadi antar partikel dengan ulir dan ulir dengan barrel sehingga dapat mengurangi suhu di dalam barrel. Pada proses yang menggunakan ekstruder ulir tunggal (SSE), kadar lemak hendaknya tidak lebih dari 7 %. Akan tetapi, untuk ekstruder ulir ganda (TSE) dapat digunakan formula bahan dengan kadar lemak lebih dari 25 % dikarenakan sifat konversi energi mekanik menjadi panas yang lebih baik (Huber dalam Rooney, 2002).

C. Pangan Ekstrusi

Pemanfaatan prinsip ekstrusi dalam bidang pangan telah menghasilkan berbagai macam jenis produk. Penggolongan dari berbagai jenis produk tersebut adalah makanan ringan generasi kedua (second generation snacks), makanan ringan generasi ketiga (third generation snacks), co-extruded products, makanan ringan berbasis masa (masa-based snacks), dan flatbread/crispbread/crackers (Huber dalam Rooney, 2002). Setiap jenis golongan dibedakan berdasarkan konfigurasi jenis mesin ekstruder, kondisi proses ekstrusi, dan perlakuan sebelum dan sesudah ekstrusi.

Makanan ringan generasi kedua memiliki nama lain direct-expanded extrusion products yang berarti bahan baku segera mengalami pengembangan tepat sesaat keluar dari mesin ekstrusi (gambar 8). Mekanisme pengembangan tersebut dan kaitannya dengan perubahan sifat fisikokimia bahan di dalam barrel merupakan hal yang paling menarik perhatian para peneliti hingga saat

(36)

21 ini. Jenis ini memiliki bulk density yang rendah akibat menguapnya banyak air selama pengembangan sekaligus terbentuk tekstur produk yang porous.

Jagung berupa grit paling banyak digunakan sebagai bahan baku utama.

Proses lanjutan yang biasa dilakukan adalah pengeringan dengan oven dan penggorengan dengan sedikit minyak. Keduanya memiliki tujuan utama, yaitu mengurangi kadar air di dalam produk. Namun, produk ini cepat mengalami kerusakan pada penyimpanan yang lama sehingga harus disimpan di dalam wadah yang tidak terkena udara secara langsung. Penambahan bumbu bisa berupa bumbu kering maupun larutan bumbu. Penambahan dengan larutan bumbu sebaiknya dilakukan sebelum produk dikeringkan dengan oven sehingga tidak membuat proses yang berulang yang berpotensi merusak tekstur dari produk.

Makanan ringan generasi ketiga disebut juga sebagai makanan ringan setengah jadi (half-product). Artinya, makanan ringan jenis ini tidak dapat secara langsung dikonsumsi. Selain itu, produk ekstrusi ini belum mengalami pengembangan seperti halnya pada makanan ringan generasi kedua. Jika akan dikonsumsi, produk ini harus terlebih dahulu digoreng atau dioven agar mengembang. Proses khusus dari pembuatan produk ini adalah dengan pengurangan suhu dan tekanan secara bertahap dan bentuk cetakan yang sedang. Akibatnya bahan tidak mengalami pengembangan, yang disebabkan karena perbedaan tekanan yang besar, saat keluar dari cetakan dan mengandung kadar air yang tinggi (20 – 25%).

Gambar 8 Direct-expanded snack foods (Wenger manufacturing, Inc dalam Rooney, 2002)

(37)

22

Co-ekstruded snacks merupakan istilah untuk hasil ekstrusi yang memiliki bagian terisikan. Dengan kata lain, produk ekstrusi ini memiliki isi tertentu, biasanya berupa pasta, untuk menambah cita rasa dari produk. Proses pengisian ini tidak dilakukan secara terpisah, tetapi bersamaan ketika ekstrudat keluar dari cetakan (die). Hal ini dapat dilakukan dengan mendesain cetakan yang dilengkapi dengan saluran tempat memasukkan bahan pengisi dan memungkinkan bahan pengisi tersebut terjepit di antara dinding produk ekstrusi (gambar 11).

Gambar 9 Third generation snack foods (Wenger manufacturing, Inc dalam

Rooney, 2002)

(38)

23

Gambar 10 Contoh produk co-ekstruded (Wenger manufacturing, Inc dalam

Rooney, 2002)

Gambar 11 Contoh die untuk pengisian pasta pada bagian tengah (Wenger manufacturing, Inc dalam Rooney, 2002)

(39)

24 Penerapan proses ekstrusi untuk makanan ringan berbasis masa (masa- based snacks) terletak pada pembuatan tepung masa jagung. Proses ekstrusi digunakan sebagai pengganti proses pemasakan (cooking) pada pembuatan tepung masa jagung secara tradisional. Pembuatan dengan proses ekstrusi dapat mengurangi waktu pada tahapan steeping bahkan pada tujuan proses tertentu tahapan steeping tidak diperlukan. Kondisi proses ekstrusi yang digunakan adalah mekanikal energi yang rendah, kadar air tinggi, suhu barrel berkisar 120oC – 150oC, tekanan berkisar 10-15 atm, dan lubang cetakan yang berdiameter sedang (6-9 mm). Pasca ekstrusi, ekstrudat masa jagung dikeringkan kemudian digiling dengan ukuran 40 – 60 mesh (Huber dalam Rooney, 2002).

Crispbread/cracker merupakan makanan ringan yang berasal dari Eropa dan sekarang telah dikenal di seluruh dunia. Produk ini memiliki densitas yang rendah dan porous seperti halnya pada makanan ringan generasi kedua.

Kondisi proses ekstrusi yang dilakukan juga hampir sama dengan kondisi proses ekstrusi pada makanan ringan generasi kedua. Perbedaan proses ekstrusi cracker dengan proses ekstrusi makanan ringan generasi kedua adalah pada desain die dan pemotongan. Desain die untuk cracker adalah berupa celah yang lebar sehingga ekstrudat keluar dalam bentuk lembaran.

Lembaran ini kemudian dipindahkan ke bagian pisau pemotong dengan konveyor kemudian dikeringkan hingga mencapai kadar air tertentu (± 4%).

Bentuk produk dicetak sekaligus oleh pisau pemotong.

Gambar 12 Contoh crispbread (http://www.fotosearch.com/FDC005/965136/ )

(40)

25 III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah grit jagung berukuran 24 mesh, tepung beras, tepung gandum, tepung kentang, bubuk coklat, garam, pemanis, pengembang, minyak goreng, pewarna kuning, pewarna hitam, dan air. Bahan kimia yang digunakan adalah NaOH 10 M, HCl 0.5 M, larutan iodium, akuades, dan berbagai reagen lainnya sesuai dengan kebutuhan analisis. Alat yang digunakan adalah ekstruder ulir ganda, drying oven, mixer, Stable Micro System TA.XT Texture Analyzer, grain moisture tester, termometer, gelas kimia, tabung reaksi, gelas ukur, grinder, shaker, sentrifuse, stopwatch, spektrofotometer, kuvet, tisu, neraca analitik, saringan, caliper, cawan alumunium, desikator, pipet volumetrik, pipet mohr, pipet tetes, sudip, gelas ukur, dan alat gelas lainnya.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Secara garis besar tahapan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 13.

1. Identifikasi mesin dan penentuan kondisi pengoperasian eksruder

Setiap jenis mesin ekstruder memiliki kondisi pengoperasian yang berbeda – beda. Oleh karena itu, percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi proses dari mesin ekstruder yang digunakan sehingga diperoleh hasil ekstrusi yang memiliki karakteristik optimal.

Kondisi proses yang ditentukan adalah feed screw speed, extruder screw speed, suhu barrel (Tmixing, Tcooking, Tdie), feed moisture content, dan knife speed. Percobaan menggunakan grit jagung dengan ukuran 24 mesh, sebanyak 10 kg hingga diperoleh hasil ekstrusi yang optimal. Sebagai acuan mula – mula, digunakan kondisi proses seperti pada table 3:

(41)

26

Kondisi Proses Nilai

Dry corn meal feed rate 450 kg/jam Extruder screw speed 300 – 600 rpm Extruder barrel temperature 120 – 160 oC Feed moisture 12 – 20 % wb

Sumber: Huber dalam Rooney (2002); Harper dalam Kokini et al (1992) .

Tabel 3 Kondisi proses ekstrusi untuk bahan berbasis jagung

Gambar 13 Garis Besar Pelaksanaan Penelitian Identifikasi mesin dan penentuan kondisi pengoperasian ekstruder

Preparasi sampel dengan perlakuan perbedaan jenis tepung substitusi dan tingkat substitusi

Proses ekstrusi

Analisis :

 Kadar air produk

 Derajat pengembangan

 Tekstur secra objektif

 Water absorption index (WAI)

 Water solubility index (WSI)

 Derajat gelatinisasi

 Bulk density

 Tekstur secara subjektif

Analisis Menggunakan Statistika (ANOVA)

Uji Organoleptik:

 Tingkat penerimaan

 Tingkat kelengketan di gigi

(42)

27 2. Preparasi sampel

Grit jagung ukuran 24 mesh dicampur dengan tepung substitusi.

Tiga jenis tepung substitusi digunakan, yaitu tepung beras, tepung terigu, dan tepung kentang pada dua tingkat konsentrasi (5 %; 10 %) dari total berat grit jagung dan tepung. Peningkatan konsentrasi tepung berarti pengurangan konsentrasi grit jagung pada formulasi (Jagung : Tepung = 95:5; 90:10). Pengambilan konsentrasi tepung dimulai dari 10 % sesuai dengan formulasi existing untuk tepung beras dari perusahaan. Selanjutnya ditambahkan bahan minor lainnya sesuai dengan formulasi existing dari perusahaan. Sejumlah air ditambahkan dengan volume tertentu ke dalam adonan sehingga mencapai kadar air yang diinginkan, yaitu kadar air terbaik yang diperoleh dari penentuan kondisi pengoperasian ekstruder. Setelah itu adonan dibiarkan selama 15 menit agar air meresap secara homogen di dalam adonan. Kadar air pada adonan diukur menggunakan moisture tester.

Dengan demikian terdapat 7 kombinasi sampel berbeda yang diujikan (2 x 3) dan satu sampel yang tidak dilakukan substitusi tepung sebagai kontrol.

3. Proses ekstrusi

Tujuh sampel yang telah dipersiapkan dimasukkan ke dalam mesin ekstruder ulir ganda dengan kondisi proses yang telah ditentukan pada penelitian pendahuluan. Kemudian produk ekstrusi dikeringkan hingga mencapai maksimal kadar air 4 % sesuai dengan SNI 01-2886- 2000 untuk produk ekstrusi. Pengeringan dilakukan dengan oven pengering pada suhu 115 oC – 135 oC selama 5 – 15 menit. Produk hasil pengeringan dikemas di dalam plastik dengan barrier vacum metalized poliethylene terepthalate (PET 12 mikron). Menurut Anonim (2009), plastik jenis ini memiliki permeabilitas rendah terhadap oksigen, gas, dan uap serta resisten terhadap retakan, air, dan kimia.

(43)

28 4. Analisis produk ekstrusi

Analisis produk ekstrusi meliputi analisis terhadap kadar air setelah pengeringan, tekstur (kekerasan), derajat gelatinisasi, water absorption index (WAI), water solubility index (WSI), derajat pengembangan dan bulk density.

5. Uji organoleptik

Uji organoleptik yang digunakan ialah uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang terhadap sifat produk, dilakukan dengan menggunakan uji rating hedonik terhadap tekstur, rasa keseluruhan, aftertaste, dan tingkat kelengketan. Panelis yang digunakan ialah panelis tidak terlatih sebanyak 24 orang. Pengolahan data yang digunakan masih tergolong sederhana, yaitu hanya mereratakan hasil penilaian dari panelis. Hasil rerata setiap atribut sensori kemudian dikalikan dengan persentase bagian masing – masing untuk mendapatkan nilai Level of Asceptance secara keseluruhan (overall), yaitu 60% untuk tekstur, 20% untuk rasa keseluruhan, dan 20% untuk aftertaste. Hasil rerata tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai rerata standar dari perusahaan, yaitu sebesar 3.5. Kuesioner uji organoletik dapat dilihat pada Lampiran 16.

C. METODE ANALISIS PRODUK EKSTRUSI 1. Kadar air (AOAC, 1995)

Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit pada suhu 100-105 oC dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105 oC selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang.

Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus :

(44)

29

Kadar air = x 100%

Keterangan : a = berat cawan dan sampel akhir ( g)

b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)

2. Tekstur (kekerasan) (Stable Micro System TA.XT Texture Analyzer)

Pengukuran tekstur dilakukan secara objektif menggunakan Stable Micro System TA.XT Texture Analyzer. Parameter yang diukur adalah kekerasan produk. Tingkat kekerasan ditentukan dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan probe dan dinyatakan dalam kilogram force (kgf). Semakin besar gaya yang digunakan untuk menekan produk hingga patah, maka nilai kekerasan akan semakin besar yang berarti produk semakin keras. Probe yang digunakan ialah Large 3 Point Bend Rig (A/3PB). Kekerasan berbanding terbalik dengan kerenyahan produk. Setting texture analyzer yang digunakan dalam pengukuran kekerasan produk ekstrusi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Setting Texture Analyzer untuk Kekerasan Produk

Pre-Test Speed 1 mm/s

Test Speed 1 mm/s

Post-Test Speed 10 mm/s

Distance 15 mm

Trigger Force 10 g

Data Acquisition Rate 200 pps

3. Derajat gelatinisasi, metode spektrofotometri (Muchtadi et al.,1988) Derajat gelatinisasi didefinisikan sebagai rasio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati dari produk yang dihitung dengan metode spektrofotometer dengan mengukur kompleks pati-iodin yang terbentuk dari suspensi contoh sebelum dan sesudah dilarutkan dalam alkali. Persiapan contoh adalah sebagai berikut : Produk dihaluskan sampai 60 mesh, ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan dalam

(45)

30 100 ml air dalam waring blender selama 1 menit. Suspensi ini kemudian disentrifuse pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0.5 HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Pada salah satu tabung duplo tersebut ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm.

Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit kemudian disentrifuse selama 15 menit pada suhu ruang dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, ditambah 0.5 ml HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Pada salah satu tabung tersebut ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm.

Pengamatan dilakukan dengan urutan sebagai berikut : (1) Larutan yang ditambah HCl digunakan sebagai standar (blanko) pati tergelatinisasi; (2) Larutan bahan yang ditambah HCl dan larutan iodium digunakan sebagai larutan pati tergelatinisasi; (3) Larutan bahan yang ditambah NaOH dan HCl sebagai larutan standar total pati; (4) Larutan bahan yang ditambah NaOH, HCl dan larutan iodium sebagai larutan total pati. Derajat gelatinisasi dihitung dengan rumus:

Derajat gelatinisasi (%) = Nilai absorbansi pati tergelatinisasi x 100%

Nilai absorbansi total pati

4. Water Absorption Index (WAI), metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson, 1969)

Sebanyak 0,5 gram sampel dalam bentuk tepung dengan ukuran 100 mesh disuspensikan dalam 15 ml aquades, diaduk dengan menggunakan stirrer selama 30 menit sampai semua bahan terdispersi merata. Selanjutnya tabung disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu ruang selama 10 menit. Supernatan yang diperoleh

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang

“Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (BPAD) Provinsi Sumatera Utara” Skripsi Fakultas Ekonomi dan

NHS, perempuan, usia 47 tahun, penduduk Kelurahan Selagalas, Kecamatan Sandubaya, Kota

Analisis diskriminan adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui variabel mana yang membedakan suatu kelompok dengan kelompok lain dalam suatu

Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu.. Sungai Utara, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Balangan, Kota.. Banjarmasin dan Kota Banjar Baru),

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh proporsi drug load pada dispersi padat kurkumin ekstrak temulawak ( Curcuma xanthorriza Roxb.) dalam polimer

1847 Napitupulu, dan Damanhuri, Keragaman Genetik, Fenotipe dan Heritabilitas… Hasil perhitungan KKG diperoleh bahwa karakter tinggi tanaman, jumlah bulir/malai dan bobot 100

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, setelah melakukan analisis dan pembahasan terhadap masalah yang telah dikemukakan dalam penelitian, maka dapat disimpulkan