• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERENCANAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN"

Copied!
237
0
0

Teks penuh

(1)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- i

PERENCANAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

TEORI DAN APLIKASI

Dr. Ir. H. Akhbar, M.T.

Dr. Ir. H. Naharuddin, S.Pd., M.Si.

Rahmat Kurniadi Akhbar, S.Hut, M.P.

Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako

(2)

ii-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014

Fungsi dan Sifat Hak Cipta Pasal 2

1. Hak Cipta merupakan hak eksekutif bagi pencipta dan pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Hak Terkait Pasal 49:

1. Pelaku memiliki hak eksekutif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00,- (lima milyar rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima (5) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah)

(3)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- iii

PERENCANAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

TEORI DAN APLIKASI

Dr. Ir. H. Akhbar, M.T.

Dr. Ir. H. Naharuddin, S.Pd., M.Si.

Rahmat Kurniadi Akhbar, S.Hut, M.P.

Media Madani

(4)

iv-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Teori dan Aplikasi

Penulis Dr. Ir. H. Akhbar, M.T.

Dr. Ir. H. Naharuddin, S.Pd., M.Si.

Rahmat Kurniadi Akhbar, S.Hut, M.P.

Editor

Dr. Ir. Adam Malik, M.Sc.

Lay Out & Design Sampul Media Madani Cetakan 1, September 2020 Hak Cipta 2020, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab percetakan Copyright@ 2020 by Media Madani Publisher

All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang keras menerjemahkan, mengutip, menggandakan, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

Penerbit & Percetakan Media Madani

Jl. Syekh Nawawi KP3B Palima Curug Serang-Banten email:

media.madani@yahoo.com & media.madani2@gmail.com

Telp. (0254) 7932066; Hp (087771333388)

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Dr. Ir. H. Akhbar, M.T., Dr. Ir. H. Naharuddin, S.Pd., M.Si., dan Rahmat Kurniadi Akhbar, S.Hut, M.P.

Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi Oleh: Dr. Ir. H. Akhbar, M.T., Dr. Ir. H. Naharuddin, S.Pd., M.Si., dan Rahmat Kurniadi Akhbar, S.Hut, M.P. Editor: Dr. Ir. Adam Malik, M.Sc.

Cet.1 Serang: Media Madani,

September 2020. xvi + 221 hlm; Uk. 15,5 x 23 cm ISBN. 978-623-6599-36-5

NO. HKI. 000203129

1.Perencanaan Rehabilitas 1. Judul

(5)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- v

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penyusunan buku tentang perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan ini dapat diselesaikan dengan baik.

Buku dengan Judul “Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi”, diharapkan dapat memperkaya buku- buku Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah ada. Buku yang mengulas tentang perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan ini, memandang perlu peningkatan kuantitas dan kualitas Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dalam rangka percepatan pemulihan hutan rusak dan lahan kritis di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS).

Kehadiran buku yang mengulas Perencanaan RHL saat ini dirasakan sangat langka, sehingga dengan tersusunnya buku ini diharapkan dapat berpengaruh positip pada proses belajar mengajar di perguruan tinggi, dan proses perencanaan RHL pada perusahaan- perusahaan konsultan perencana.

Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako selalu memotivasi staf pengajarnya untuk terus berkarya mengembangkan karya-karya ilmiah agar sarjana yang dihasilkan memiliki kemampuan sesuai kompetensi keahliannya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan secara berkelanjutan bagi pembangunan nasional,

(6)

vi-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

berdayanya ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, serta semakin mantapnya pengelolaan kawasan hutan di era kemajuan teknologi dan sistem informasi dewasa ini, khususnya di bidang perencanaan RHL.

Palu, September 2020 Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako,

Dr. Ir. Adam Malik, M.Sc.

Kepada Dr. Ir. H. Akhbar, M.T., Dr. Ir. H. Naharuddin, S.Pd., M.Si dan Rahmat Kurniadi Akhbar, S.Hut., M.P. selaku penulis buku ini, disampaikan penghargaan dan terima kasih atas segala upaya, sehingga tersusun buku ini. Semoga buku ini bermanfaat adanya.

(7)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- vii

PRAKATA

Buku Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi” hadir untuk memperkaya buku-buku perencanaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah ada. Buku ini didesain sedemikian rupa dalam sajian ilmiah-praktis, sehingga sasaran pembacanya diharapkan berasal dari kalangan akademisi dan praktisi.

Buku perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) ini, mengulas tentang teori-teori yang dapat digunakan dalam perencanaan RHL dan aplikasinya dalam pengelolaan DAS di Indonesia. Buku ini juga menyajikan tahapan perencanaan RHL, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, mulai dari rencana teknik RHL, rencana pengelolaan RHL, rencana tahunan RHL hingga rancangan kegiatan RHL..

RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Sasaran kegiatan RHL adalah lahan-lahan kritis yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan. Kegiatan RHL di dalam kawasan hutan disebut Rehabilitasi Hutan (RH), dan di luar kawasan hutan disebut Rehabilitasi Lahan (RL).

Secara nasional, lahan kritis pada tahun 2013 mencapai luas 24,20 juta hektar yang terdiri atas seluas 19,56 juta hektar berada pada kelas kritis dan seluas 4,63 juta hektar berada pada kelas sangat kritis.

Dibandingkan tahun 2006 dengan lahan kritis yang mencapai luas 30,20 juta hektar, mengalami penurunan sebesar 24,79 persen (6 juta hektar). Lahan-lahan kritis tersebut tersebar pada 33 provinsi, dengan demikian hanya Provinsi DKI Jakarta yang tidak memiliki lahan kritis.

Selanjutnya capaian kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dalam bentuk pemulihan di dalam dan di luar kawasan hutan, pada tahun 2013 mencapai luas 0,66 juta hektar dan pada tahun 2017 menurun hingga capaian seluas 0,20 juta hektar (Kementerian LHK, 2017).

Memperhatikan tingkat capaian RHL dalam bentuk pemulihan (rehabilitasi hutan dan rehabilitasi lahan) yang mengalami penurunan

(8)

viii-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

tujuh tahun terakhir, dipandang perlu adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kegiatan RHL dalam rangka percepatan pemulihan hutan rusak dan lahan kritis di wilayah DAS. Sehingga kehadiran Buku ini diharapkan dapat membantu para praktisi kehutanan/ pertanian pada pelaksanaan perencanaan RHL sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan dalam rangka percepatan pemulihan hutan rusak dan lahan- lahan kritis.

Penulis memandang perlunya menyelaraskan antara capaian kuantitas dan kualitas kegiatan RHL dalam upaya pencapaian DAS sehat untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup sebagai bagian dari pembangunan nasional. Karena itu, buku ini disusun dengan muatan sebagai berikut: (1) Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai perimeter perencanaan RHL; (2) Lahan Kritis, RHL dan aspek legalitasnya; (3) Teori-teori perencanaan RHL, mulai dari sumberdaya hingga aspek spasial perencanaan RHL; (5) Aplikasi perencanaan RHL di dalam dan di luar kawasan hutan (aspek teknis dan aspek pembiayaan).

Buku ini terwujud atas dukungan para pihak terkait yang telah memberi kontribusi yang tidak kecil dalam bentuk data dan informasi, baik langsung maupun tidak langsung. Karena itu pada kesempatan ini Penulis haturkan banyak terima kasih. Penulis berharap semoga Buku ini bermanfaat adanya.

Palu, September 2020

Penulis

(9)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... v

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL PERENCANAAN RHL ... 5

BAB III. LAHAN KRITIS, REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN SERTA ASPEK LEGALITAS ... 11

3.1. Lahan Kritis dan Perkembangannya ... 11

3.2. Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Perkembangaanya ... 22

3.3. Aspek Legalitas ... 30

BAB IV. TEORI-TEORI PERENCANAAN RHL ... 33

4.1. Sumberdaya dan Perencanaan RHL ... 33

4.2. Ekosistem DAS ... 35

4.3. Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) ... 38

4.4. Aspek Spasial Pada Perencanaan RHL ... 41

... xi

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I. PENDAHULUAN... 1 BAB II.

DAERAH ALIRAN SUNGAI SEBAGAI PERIMETER

(10)

x-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- BAB V.

APLIKASI PERENCANAAN RHL

... 56

5.8. Kebutuhan Keahlian Pada Perencanaan RHL ... 56

5.9. Sasaran RHL ... 57

5.10. Metode Penyusunan Rencana (RHL) ... 58

5.11. Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTnRHL) ... 88

5.12. Rancangan Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RKRHL)... 199

DAFTAR PUSTAKA ... 210

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... 215

... 49

5.1. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah Dalam RHL .... 49

5.2. Prinsip dan Kriteria Pada Perencanaan RHL ... 51

5.3. Maksud dan Tujuan Perencanaan RHL... 52

5.4. Cakupan Perencanaan RHL ... 52

5.5. Hirarki dan Tahapan Perencanaan RHL ... 54

5.6. Ruang Lingkup Perencanaan RHL... 55 5.7. Lokasi Perencanaan RHL

(11)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- xi

DAFTAR TABEL

3.1 Sebaran dan Luas Lahan Kritis Tahun 2013 ... 21

3.2. Sebaran dan Luas Kegiatan RHL Tahun 2017 ... 25

5.1. Wilayah Penyusunan RPRHL Pada LMU Darat Di Wilayah KPH ... 60

5.2. Wilayah Penyusunan RPRHL Pada LMU Ekosistem Mangrove Di Wilayah KPH ... 63

5.3. Wilayah Penyusunan RPRHL Pada LMU Sempadan Pantai Di Wilayah KPH ... 67

5.4. Wilayah Penyusunan RPRHL Pada LMU Rawa Gambut Di Wilayah KPH ... 71

5.5. Kebasahan Tanah (Wetness Index) Hubungannya Dengan Tingkat Penggenangan di Kawasan Gambut ... 74

5.6. Nilai NDVI Di Kawasan Gambut ... 75

5.7. Kriteria, Bobot, Skor Penilaian Tingkat Kekritisan Kawasan Gambut ... 77

5.8. Contoh Hasil Kodefikasi UTP RHL ... 80

5.9. Kode Kegiatan RHL ... 81

5.10. Kode Lokasi / Letak UTP RHL Pada LMU Darat ... 82

5.11. Kode Lokasi/Letak LMU/MRT Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai ... 82

5.12. Kode Lokasi / Letak LMU/MRT Ekosistem Kawasan Rawa Gambut ... 83

5.13. UTP RHL DI Wilayah KPH ... 83

(12)

xii-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 5.14. Sasaran Wilayah Penyusunan RPRHL Pada LMU Darat

Di Wilayah KPH ... 84

5.15. Sasaran Wilayah Penyusunan RPRHL Pada LMU Mangrove dan Sempadan Pantai Di Wilayah KPH ... 84

5.16. Sasaran Wilayah Penyusunan RPRHL Pada LMU Kawasan Rawa Gambut Di Wilayah KPH... 84

5.17. Sasaran Kegiatan Pemulihan Hutan dan Lahan Periode Lima Tahun Di Wilayah KPH ... 86

5.18. Sasaran Kegiatan Pengendalian Erosi dan Sedimentasi Periode Lima Tahun Di Wilayah KPH ... 87

5.19. Sasaran Kegiatan Pengembangan Sumberdaya Air Periode Lima Tahun Di Wilayah KPH ... 88

5.20. Matriks SWOT ... 90

5.21. Rencana Kegiatan RHL Per Tahun ... 94

5.22. Rekapitulasi Rencana Kegiatan RHL uint KPH ... 94

5.23. Kriteria dan Standar Mutu Bibit ... 104

5.24. Pembagian Blok/Petak Lokasi Kegiatan Reboisasi Periode Lima Tahun ... 109

5.25. Kesesuaian Beberapa Jenis Tanaman Mangrove Dengan Faktor Lingkungan ... 122

5.26. Sifat Ekologis Jenis Pohon Pantai dan Cara Pembiakan ... 127

5.27. Kondisi Areal dan Alternatif Jenis Tanaman RHL Rawa Gambut ... 130

5.28. Jenis dan Manfaat Rumput-Rumputan Pada Usaha Konservasi Tanah ... 137

5.29. Kesesuaian Lokasi Kolam Retensi (Embung Air) Terhadap Tekstur Permeabilitas Tanah ... 157

(13)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- xiii 5.30. Rekapitulasi Hasil Pengukuran Luas Tanaman Pada Setiap Petak/Lokasi Tanam ... 180 5.31. Tally Sheet Evaluasi/Penilaian Tanaman ... 183 5.32. Rekapitulasi Persen Tumbuh Tanaman Per Petak/Lokasi

Penanaman ... 187 5.33. Contoh Analisis/Perhitungan Biaya Setiap Jenis Kegiatan RHL Periode Lima Tahun ... 196 5.34. Contoh Tata Waktu dan Pembiayaan Kegiatan RHL

Periode Lima Tahun ... 197

(14)

xiv-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

(15)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- xv

DAFTAR GAMBAR

3.1. Perkembangan Lahan Kritis Di Indonesia (2006-2013) ... 19 3.2. Perkembangan Kegiatan RHL Di Indonesia (2013 - 2017) ... 24 3.3. Perkembangan Kegiatan Reboisasi Di Indonesia

(2013-2017) ... 26 3.4. Perkembangan Kegiatan Rehabilitasi Lahan di Indonesia

(2013-2017) ... 27 5.1. Contoh Diagram Penarikan Petak Ukur Tanaman ... 181 5.2. Contoh Peta RPRHL KPH Gunung Dako (KPHP Unit II)

Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah Periode Tahun 2017-2021 ... 198

(16)

xvi-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

(17)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 1

PENDAHULUAN

Hingga akhir tahun 2013, lahan-lahan kritis di Indonesia yang tersebar pada 34 provinsi (kecuali DKI Jakarta) seluruhnya mencapai luas 24,20 juta ha dalam kategori kritis dan sangat kritis (Kementerian LHK, 2017). Jumlah tersebut belum termasuk lahan-lahan dalam kategori agak kritis dan potensial kritis.

Keberadaan lahan kritis tersebut telah berdampak luas terhadap kondisi tata air, kandungan air tanah, cuaca, kesuburan tanah, daya dukung lahan, luas tutupan lahan bervegetasi dan keanekaragaman hayati. Apabila kondisi tersebut dibiarkan terus berlangsung akan menyebabkan menurunnya produktivitas lahan dan produksi pertanian, sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan kemiskinan masyarakat.

Upaya-upaya pencegahan dan pengendalian perkembangan lahan-lahan kritis di Indonesia telah dilaksanakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Program RHL meliputi kegiatan reboisasi di dalam kawasan hutan, dan penghijauan di luar kawasan hutan. Dalam rangka pemulihan kerusakan lahan di kawasan pesisir, juga dilakukan kegiatan rehabilitasi mangrove dan sempadan pantai.

Kegiatan reboisasi ditempuh melalui penanaman, pengayaan dan pemeliharaan tanaman. Kegiatan penghijauan ditempuh melalui pembangunan/pengembangan hutan rakyat (HR), hutan kota (HK), dan penghijauan lingkungan (PL) seperti penanaman pepohonan di halaman perkantoran, turus jalan, halaman sekolah dan rumah ibadah, sempadan sungai/danau/waduk/bendungan, dan sebagainya). Dalam

BAB I

(18)

2-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

pengembangannya, juga dilakukan kegiatan agroforestry (termasuk silvopastural dan silvofisheri) pada lahan-lahan pertanian milik penduduk dan lahan-lahan tambak rakyat.

Upaya perbaikan kondisi lingkungan melalui program RHL diharapkan pulihnya fungsi hutan dan lahan sebagaimana mestinya, Tutupan vegetasi hutan yang baik di kawasan hutan lindung (HL) diharapkan mampu berperan dalam pengaturan tata air dan udara (hidro-orologis), pemeliharaan kesuburan tanah, peyediaan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Sedangkan di kawasan hutan produksi diharapkan berperan dalam penyediaan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Adapun di kawasan hutan konservasi diharapkan berperan dalam menjaga dan melindungi habitat alami hidupan liar (termasuk sumber plasma nutfah), dan penyediaan jasa lingkungan.

Pelaksanaan program kegiatan RHL di dalam dan luar kawasan hutan dengan wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai perimeternya, menuntut perencanaan yang sistematis dan terukur.

Dalam perencanaan dan evaluasi RHL, DAS merupakan unit analisis yang penting untuk dikaji utamanya terkait dengan parameter hidrologi dan erosi (Naharuddin, 2017; Naharuddin et al. 2019).

Terdapat hirarki yang perlu dipatuhi, yaitu mulai dari Rencana Teknik RHL yang disingkat RTkRHL untuk periode 15 tahun, Rencana Pengelolaan RHL yang disingkat RPRHL untuk periode 5 tahun, Rencana Tahunan RHL yang disingkat RTnRHL untuk periode 1 tahun, hingga Rancangan Kegiatan RHL yang disingkat RKRHL (bestek projek). Pada pelaksanaannya, tahapan/hirarki perencanaan RHL tersebut perlu dipatuhi agar kegiatan RHL (reboisasi, penghijauan, rehabilitasi mangrove dan sempadan pantai) terlaksana sesuai sasaran/target (status lahan, lokasi lahan kritis, skema RHL, jenis/jumlah tanaman, jumlah/sumber pembiayaan), Selain kegiatan RHL berbasis vegetasi/tanaman, juga terdapat kegiatan RHL berbasis bangunan sipil teknis seperti dam pengendali dan dam penahan, gully

(19)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 3 plug (pengendali jurang), embung air, terasering, rorak, sumur resapan dan sebagainya).

Selanjutnya untuk jenis data non-spasial terdiri atas: (1) Data batas administrasi pemerintahan; (2) demografi/kependudukan; (3) tekanan penduduk terhadap lahan pertanian; (4) penguasaan/

kepemilikan lahan gaparan pertanian; (5) ketersediaan tenaga kerja;

(6) daftar harga barang dan upah kerja; (7) daftar harga bibit tanaman;

(8) data perkembangan kegiatan RHL; (9) sarana prasana perekonomian; (10) sarana prasana penyuluhan.

Dalam perencanaan kegiatan RHL perlu didukung data-data spasial dan non-spasial agar pada pelaksanaannya di lapangan tepat sasaran. Data-data pendukung utama perencanaan kegiatan RHL untuk jenis data spasial terdiri atas: (1) Peta wilayah DAS (nama/lokasi/luas DAS); (2) peta mini DAS (Unit Terkecil Pemetaan/UTP DAS lengkap dengan nomor ID); (3) peta Land Mapping Unit/LMU terpilih (tercakup kelas kekritisan lahan, fungsi hutan/lahan, morfologi/prioritas DAS); (5) peta tutupan/penggunaan lahan (vegetasi/tanaman, tubuh air, bangunan, jaringan jalan dan irigasi, permukiman, perkotaan, pertanian lahan kering dan lahan basah, rawa, danau, waduk/bendungan, dan sebagainya) yang diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit resolusi tinggi-sedang; (6) peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Kabupaten/Kota (RTRWK); (7) peta administrasi pemerintahan.

Adapun peta pendukung lainnya seperti peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), peta jenis tanah/kesuburan tanah, peta geologi, peta zonasi curah hujan dan iklim, peta erosi, peta lahan kritis, peta kelas lereng, peta tata hutan, peta rencana pengelolaan hutan jangka panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), peta kepemilikan lahan, peta izin usaha pemanfaatan hutan/lahan (IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI, IUPHTR, IUPHD, IUPHKm), peta izin penggunaan kawasan hutan (Izin Usaha Pertambangan, Izin Pinjam Pakai Kawasan non-tambang), peta izin usaha perkebunan, dan sebagainya .

(20)

4-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

Pembuatan peta lokasi sasaran kegiatan RHL diproses menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan mengintegrasikan data spasial dan non-spasial. Peta RTkRHL dibuat dengan skala 1:100.000; peta RPRHL dibuat dengan skala 1:50.000;

peta RTnRHL dibuat dengan skala 1:25.000 dan peta RKRHL dibuat dengan skala minimal 1:10.000.

Buku ini disusun dengan maksud untuk memperkaya buku-buku referensi tentang perencanaan RHL. Buku ini secara khusus mengulas tentang perencanaan RHL di dalam dan luar kawasan hutan dalam kemasan ilmiah-praktis bagi kalangan mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi, serta para praktisi yang berkecimpung di bidang perencanaan RHL DAS.

(21)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 5

DAERAH ALIRAN SUNGAI SEBAGAI PERIMETER PERENCANAAN RHL

Definisi tentang Daerah Aliran Sungai yang disingkat DAS dan Pengelolaan DAS dijelaskan pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008: “DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan”.

Untuk mewujudkan kesejahteraan manusia yang selaras dengan dengan kelestarian ekosistem DAS, dalam pengelolaan DAS perlu diupayakan adanya perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan sumberdaya alam yang berbasis pada ekosistem DAS. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah DAS, berbagai aktifitas dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak tersebut dapat dilihat melalui indikator aliran air di DAS yang bersangkutan.

Keterkaitan antar kegiatan dengan dampak yang ditimbulkan dalam pemanfaatan sumberdaya DAS, dimungkinkan untuk mengukur keberlanjutan pengelolaan sumberdaya yang dilakukan. Karena itu, penggunaan ekosistem DAS sebagai basis perencanaan merupakan satuan terbaik dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah DAS.

BAB II

(22)

6-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

Dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah DAS, terutama yang terkait dengan aktifitas yang dilakukan manusia, seperti pembukaan lahan untuk kegiatan pertanian tanaman pangan, perkebunan, eksploitasi hutan, perladangan berpindah, perambahan hutan, pertambangan dan sebagainya, akan berdampak negatif terhadap ekosistem DAS apabila tindakan manajemen yang diterapkan kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.

Perilaku demikian itu, akan mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan kritis baru, sebaliknya akan berdampak positip apabila tindakan manajemen yang diterapkan memperhatikan kaida-kaidah konservasi tanah dan air.

Keberadaan lahan kritis akan berakibat pada terganggunya ekosistem DAS seperti hilang/menurunnya kesuburan tanah sehingga akan menyebabkan menurunnya produktifitas lahan hutan dan pertanian. Hamparan lahan kritis yang luas juga akan menjadi penyumbang utama terjadinya bencana alam banjir di musim penghujan dan kekurangan air tanah di musim kemarau. Umumnya lahan kritis di wilayah DAS merupakan representasi dari hilangnya tutupan vegetasi pepohonan atau tanaman permanen, tingginya erosi tanah, kemiringan lereng landai hingga sangat curam, produktivitas tanaman yang rendah, dan manajemen serta konservasi tanah dan air yang terbaikan. Sehingga kondisi-kondisi demikian itu dibutuhkan adanya upaya pemulihan fungsi lahan melalui tindakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

Dalam pengelolaan DAS di Indonesia, secara administratif dikelompokkan ke dalam Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS.

Pada setiap SWP DAS tercakup beberapa wilayah DAS. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2009; “Satuan Wilayah Pengelolaan DAS adalah kesatuan wilayah yang terdiri atas satu atau lebih DAS dan/atau pulau-pulau kecil yang secara geografis dan fisik teknis layak digabungkan sebagai satu unit pengelolaan DAS. SWP DAS pulau-pulau kecil adalah SWP yang terdiri dari satu

(23)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 7 Secara biogeofisik, hulu DAS biasanya merupakan daerah konservasi yang mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, kemiringan lereng >15%, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan. Hilir DAS biasanya merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, kemiringan lereng <8%, pada beberapa tempat merupakan daerah genangan, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian, kecuali daerah estuaria yang didominasi oleh hutan bakau/gambut. Tengah DAS merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS tersebut (Asdak, 2002).

Selanjutnya Soemarwoto (1982) dalam Asdak (2002), sistem ekologi DAS bagian hulu pada umumnya dapat dipandang sebagai suatu ekosistem pedesaan. Asdak (2002), ekosistem perdesaan terdiri atas empat komponen utama, yaitu desa, sawah/ladang, sungai dan hutan.

Menurut Asdak (2002) ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena memliki fungsi perlindungan tata air terhadap seluruh bagian DAS. DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan, karena dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir memeliki keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

pulau atau lebih yang total luasnya kurang dari atau sama dengan 100.000 ha”. Setiap wilayah DAS telah memiliki nama dan nomor ID mini DAS dalam bentuk unit-unit pemetaan terkecil (UTP).

Berdasarkan ekosistem DAS, setiap wilayah DAS memiliki morfologi yang jelas yang terdiri atas morfologi hulu, tengah dan hilir.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa DAS sebagai perimeter perencanaan RHL karena setiap kegiatan RHL (reboisasi, penghijauan, termasuk bangunan konservasi tanah dan air) seluruhnya menjadikan DAS sebagai wadahnya. Suatu DAS yang secara alami dibatasi oleh pemisah topografis berupa punggung bukit, yang berdasarkan kondisi morfologi (hulu, tengah, hilir) mampu mengelola (menerima, menampung, mengalirkan) air hujan yang jatuh di atasnya

(24)

8-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

sesuai luas daerah tangkapan airnya. Sehingga kualitas suatu DAS sangat ditentukan oleh jenis tutupan vegetasi dan/atau jenis penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis tanah dan geologi, serta manajemennya.

Pendalaman makna dari DAS sebagai perimeter perencanaan RHL, bahwa pada pelaksanaan kegiatan RHL pada tingkat tapak (reboisasi/penghijauan) dituntut letak dan batas-batas lokasi/area kelola yang jelas, mulai dari daerah tangkapan air yang kecil hingga besar. Dengan penempatan lokasi kegiatan RHL seperti itu, akan memberi kemudahan dalam pengukuran dampak hidrologis dari setiap hasil pelaksanaan kegiatan RHL. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perimeter diartikan: “batas luas lingkaran; batas luar dari tempat tertutup atau tempat terlindungi”. Apabila perimeter diibaratkan bidang lingkaran pada suatu wilayah maka perimeter dapat berupa keliling atau garis tepi suatu wilayah topografis, sehingga perimeter seperti itu juga dapat dimaknai sebagai batas luar atau batas dalam suatu wilayah.

Pada perencanaan RHL, wilayah DAS menjadi pertimbangan utama berdasarkan skala prioritas penanganannya, yaitu DAS prioritas I, II dan III. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2009; “kriteria tentang penetapan urutan DAS prioritas antara lain lahan, hidrologi, sosial ekonomi dan pola pemanfaatan kawasan. Prosedur penetapan urutan DAS prioritas diatur dengan peraturan menteri kehutanan secara tersendiri”.

Pada setiap wilayah DAS prioritas terdapat unit-unit pemetaan terkecil (UTP) yang biasa disebut mini DAS. UTP mini DAS ini sebagai acuan dalam penetapan sasaran lokasi kegiatan RHL berdasarkan sebaran dan luas lahan kritis, mulai dari kelas sangat kritis (SK), kritis (K), hingga agak kritis (AK).

Pada kegiatan rehabilitasi hutan (RH) dalam bentuk reboisasi di kawasan hutan, lahan kritis kategori sangat kritis (SK) dan kritis (K) dikelompokkan ke dalam RH prioritas I dengan tanaman paling

(25)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 9 sedikit 1.100 batang/ha, sedangkan lahan kritis kategori agak kritis (AK) dikelompokkan ke dalam RH prioritas II dengan tanaman paling banyak 625 batang/ha. Adapun kegiatan rehabilitasi lahan (RL) seperti pembagunan hutan rakyat di luar kawasan hutan, jumlah tanaman paling sedikit 400 batang/ha.

Selain skala prioritas DAS sebagai acuan perencanaan RHL, juga didasarkan pada DAS dipulihkan dan DAS dipertahankan. DAS dipulihkan adalah DAS yang menjadi prioritas untuk direhabilitasi baik secara vegetatif maupun secara sipil teknis. Adapun DAS yang dipertahankan adalah DAS yang tidak menjadi prioritas untuk direhabilitasi, namun tetap dipertahankan kondisinya agar tetap terjaga kelestarian ekosistemnya.

(26)

10-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

(27)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 11

LAHAN KRITIS, REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN SERTA ASPEK LEGALITAS

3.1. Lahan Kritis dan Perkembangannya Batasan/Pengertian Lahan Kritis:

Pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008;

“hutan dan lahan kritis adalah hutan dan lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media pengatur tata air dan unsur produktivitas lahan sehingga menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem DAS”. Selanjutnya pada Pasal 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.105/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/

2018; “lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur produksi dan media pengatur tata air DAS”.

Lahan kritis tidak sama dengan lahan terbuka atau lahan tidak bervegetasi. Tetapi terbentuknya lahan kritis sangat ditentukan oleh sebanyak 5 (lima) parameter lahan yaitu: (1) tutupan lahan (land cover/lc)/vegetasi permanen (permanent vegetation/ pv); (2) kemiringan lereng (land slope/ls); (3) tingkat bahaya erosi (soil erotion/se); (4) produktifitas tanaman (crop productivity/cp); dan (5) manajemen lahan (land management/lm) (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 32/Menhut-II/2009).

Secara fungsional, lahan kritis dapat ditulis sbb.: Lahan kritis = f (lc/pv, ls, se, cp, lm).

Berdasarkan hubungan fungsional tersebut, selanjutnya dapat dilakukan penyusunan data spasial lahan kritis. Data spasial

BAB III

(28)

12-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

masing-masing parameter lahan harus dibuat dengan standar tertentu untuk mempermudah proses analisis spasial dalam penentuan lahan kritis. Standar data spasial masing-masing parameter lahan meliputi; kesamaan sistem proyeksi dan sistem koordinat, serta kesamaan data atribut, yaitu dengan menggunakan koordinat geografi (lintang/latitude dan bujur/

longitude).

Dalam penentuan kelas lahan kritis secara spasial, pada uraian berikut mengacu pada Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDASPS) Nomor: P.4/V-SET/2013 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis seperti berikut:

1) Tutupan lahan/Land cover dan Vegetasi Permanen (bobot 50%)

 Parameter tutupan lahan (tuplah) dinilai berdasarkan persentase tutupan tajuk pohon terhadap setiap luasan land system (menurut RePPProT) dan diklasifikasi ke dalam 5 (lima) kelas. Masing-masing kelas diberi skor untuk menentukan lahan kritis sbb.: Skor 5 (sangat baik = tutupan tajuk >80%); skor 4 (baik = tutupan tajuk 61-80%); skor 3 (sedang = tutupan tajuk 41-60%); skor 2 (buruk = tutupan tajuk 21-40%); skor 1 (sangat buruk = tutupan tajuk <20%).

Dalam penentuan lahan kritis, parameter tuplah dengan bobot 50% dikalikan skor masing-masing kelas.

 Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan menggunakan vegetasi permanen yang terbagi ke dalam 5 (lima) kelas dengan bobot 50%. Masing-masing kelas diberi skor untuk menentukan lahan kritis sbb.: Skor 5 (sangat baik = vegetasi permanen >40%); skor 4 (baik = vegetasi permanen 31- 40%); skor 3 (sedang = vegetasi permanen 21-30%); skor 2 (buruk = vegetasi permanen 10-20%); skor 1 (sangat buruk

= vegetasi permanen <10%). Dalam penentuan lahan kritis, parameter vegetasi permanen dengan bobot 50% dikalikan

(29)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 13 skor masing-masing kelas. Vegetasi permanen dapat berupa jenis tanaman tahunan, dan atau tanaman penghijauan, termasuk tanaman hutan rakyat

(Sumber: Lampiran Perdirjen BPDASPS Nomor: P.4/V- SET/2013).

2) Kemiringan lereng/Land slope (bobot 20% dan 10%):

 Perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya disebut kemiringan lereng dengan satuan persentase kelerengan (%) atau derajat kelerengan (°). Data spasial kemiringan lereng dapat diperoleh dari hasil pengolahan data garis kontur (ketinggian) pada peta rupabumi. Untuk menghasilkan data kelas lereng (kemiringan lereng) dapat dilakukan pengolahan data garis kontur secara manual ataupun berbasis komputer menggunakan program aplikasi seperti ArcGIS.

 Kemiringan lereng dibagi ke dalam 5 (lima) kelas dan masing-masing kelas diberi skor sbb.: Skor 5 (datar = kemiringan <8%); skor 4 (landai = kemiringan 8-<15%);

skor 3 (agak curam = kemiringan 15-<25%); skor 2 (curam

= kemiringan 25-<45%); skor 1 (kemiringan >45%). Untuk menentukan lahan kritis, parameter kelas lereng dengan bobot 20% dikalikan dengan skor masing-masing kelas.

Bobot kemiringan lereng 20% digunakan pada penilaian kekritisan lahan di kawasan hutan lindung dan di kawasan budidaya pertanian, sedangkan di kawasan lindung di luar kawasan hutan digunakan bobot 10%

(Sumber: Lampiran Perdirjen BPDASPS Nomor: P.4/V- SET/2013).

3) Tingkat bahaya erosi/Land erotion (bobot 20% dan 10%):

 Perhitungan tingkat bahaya erosi (TBE) di suatu satuan lahan (land unit) dilakukan dengan cara membandingkan antara bahaya erosi dengan kedalaman tanah efektif.

(30)

14-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

 Bahaya erosi (BE) dihitung dari hasil perkiraan rata-rata tanah hilang tahunan akibat erosi lapis dan/atau erosi alur menggunakan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) dalam satuan ton/ha/tahun. Adapun rumus USLE dinyatakan sbb.: “A = R x K x LS x C x P. Keterangan: A = jumlah tanah hilang (ton/ha/tahun); R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (biasanya dinyatakan sebagai energi dampak curah hujan (MJ/ha) x Intensitas hujan maksimal selama 30 menit (mm/jam); K = indeks erodibilitas tanah (ton x ha x jam) dibagi oleh (ha x mega joule x mm); LS = indeks panjang dan kemiringan lereng; C = indeks pengelolaan tanaman; P = indeks upaya konservasi tanah”

(Sumber: Lampiran Perdirjen BPDASPS Nomor: P.4/V- SET/2013).

 BE terdiri atas 5 (lima) kelas: Kelas I (erosi <15 ton/ha/tahun); kelas II (erosi 15-<60 ton/ha/tahun); kelas III (erosi 60-<180 ton/ha/tahun); kelas IV (erosi 180-<480 ton/ha/tahun); kelas V (erosi ≥480 ton/ha/tahun).

Kedalaman tanah efektif (solum tanah) terdiri atas 4 (empat) kelas: Dalam (solum tanah >90 cm); sedang (solum tanah 60-90 cm); dangkal (solum tanah 30-60 cm); sangat dangkal (solum tanah <30 cm). Adapun kelas TBE:

TBE-SR (Sangat Ringan) = Kelas BE-I => solum tanah dalam.

TBE-R (Ringan) = Kelas BE-I => solum tanah sedang;

kelas BE-II => solum tanah dalam.

TBE-S (Sedang) = Kelas BE-I => solum tanah dangkal;

kelas BE-II => solum tanah sedang; kelas BE-III =>

solum tanah dalam.

TBE-B (Berat) = Kelas BE-I => solum tanah sangat dangkal; kelas BE-II => solum tanah dangkal; kelas BE- III => solum tanah sedang; kelas BE-IV => solum tanah dalam.

(31)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 15

TBE-SB (Sangat Berat) = Kelas BE-II => solum tanah sangat dangkal; kelas BE-III => solum tanah dangkal dan sangat dangkal; kelas BE-IV => solum tanah sedang- dangkal-sangat dangkal; kelas BE-V => solum tanah dalam-sedang-dangkal-sangat dangkal.

 Dalam penentuan lahan kritis, parameter kelas TBE dengan bobot 20% dikalikan dengan skor masing-masing kelas.

TBE-SR (skor 0); TBE-R (skor 5); TBE-S (skor 4); TBE-B (skor 3); TBE-SB (skor 2). Bobot tingkat erosi 20%

digunakan pada penilaian kekritisan lahan di kawasan hutan lindung dan di kawasan budidaya pertanian. Untuk di luar kawasan hutan pada kawasan lindung digunakan bobot 10%.

 Pembuatan Peta TBE dibuat dengan cara melakukan overlay peta bahaya erosi dengan peta kedalaman tanah efektif (solum tanah) dalam satuan sentimeter (cm). Untuk satuan lahan yang TBE-nya telah dievaluasi menggunakan nomograf atau matriks penilaian TBE, bisa dilakukan secara langsung mencantumkan TBE pada setiap satuan lahan.

(Sumber: Lampiran Perdirjen BPDASPS Nomor: P.4/V- SET/2013).

4) Produktivitas tanaman/crop productivity (bobot 30%)

 Produkitivitas tanaman dinilai berdasarkan rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Data produktivitas ini merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian. Data produktivitas tanaman sesuai karakternya masih berupa data atribut sehingga terlebih dahulu harus dispasialkan dengan satuan pemetaan sistem lahan (land system) agar bisa dianalisis secara spasial

 Penggunaan land system sebagai satuan pemetaan produktivitas tanaman dengan pertimbangan bahwa setiap

(32)

16-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

land system mempunyai karakter geomorfologi yang spesifik, sehingga mempunyai pola usahatani dan kondisi lahan yang spesifik pula. Produktivitas tanaman atau lahan dalam penentuan lahan kritis dibagi ke dalam 5 (lima) kelas.

 Adapun kelima kelas tersebut beserta nilai skoringnya: Skor 5 (sangat tinggi = rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional: >80%); skor 4 (tinggi

= rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional: 61–80%); skor 3 (sedang = rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional: 41–60%); skor 2 (rendah = rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional: 21–40%); skor 1 (sangat rendah = rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional: < 20%).

(Sumber: Lampiran Perdirjen BPDASPS Nomor: P.4/V- SET/2013).

5) Manajemen lahan/Land management (bobot 10% dan 30%)

 Manajemen lahan dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta pelaksanaan penyuluhan Manajemen lahan merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai lahan kritis di kawasan hutan lindung. Sesuai karakternya masih berupa data atribut sehingga harus dispasialkan terlebih dahulu berdasarkan unit pemetaan tertentu seperti sistem lahan agar bisa dianalisis secara spasial. Sebagai data atribut, data manajemen lahan berisi informasi mengenai aspek manajemen.

 Pada kawasan budidaya pertanian dan kawasan lindung di luar kawasan hutan, kriteria manajemen yang digunakan dinilai berdasarkan aspek pengelolaan yang meliputi:

penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan sesuai

(33)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 17 petunjuk teknis, (2) tidak lengkap atau tidak terpelihara, (3) tidak ada.

 Pada penentuan lahan kritis di kawasan hutan lindung (bobot 10%), kriteria manajemen dibagi menjadi 3 (tiga) kelas: Skor 5 (baik = manajemen lengkap ==> terdapat tata batas, terdapat pengamanan dan pengawasan, dan dilaksanakan penyuuhan); skor 3 (sedang = manajemen tidak lengkap ==> hanya terdapat pelaksanaan dua unsur manajemen dari tiga unsur menajemen); skor 1 (buruk ==>

tidak ada pelaksanaan unsur manajemen).

 Pada penentuan lahan kritis di kawasan budidaya pertanian dan di kawasan lindung di luar kawasan hutan (bobot 30%), kriteria manajemen dibagi menjadi 3 (tiga) kelas:

Skor 5 (baik = manajemen lengkap ==> penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan sesuai petunjuk teknis); skor 3 (sedang = manajemen tidak lengkap ==>

tidak lengkap atau tidak terpelihara); skor 1 (buruk ==>

tidak ada pelaksanaan unsur manajemen).

(Sumber: Lampiran Perdirjen BPDASPS Nomor: P.4/V- SET/2013).

a) Kelas Sangat Kritis (SK):

Di kawasan hutan lindung (total nilai skor 120-180) Di kawasan budidaya pertanian (total nilai skor 115-200) Di kawasan lindung di luar kawasan hutan (total nilai skor 110-200).

b) Kelas Kritis (K):

Di kawasan hutan lindung (total nilai skor 181-270)

Dari lima parameter penilaian kelas tingkat kekritisan lahan sebagaimana diuraikan sebelumnya, proses selanjutnya adalah penetapan kekritisan lahan yang dibagi ke dalam lima kelas.

Klasifikasi tingkat lahan kritis berdasarkan total skor dari lima parameter lahan sbb.:

(34)

18-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- Di kawasan budidaya pertanian (total nilai skor 201-275) Di kawasan lindung di luar kawasan hutan (total nilai skor 201-275).

c) Kelas Agak Kritis (AK):

Di kawasan hutan lindung (total nilai skor 271-360) Di kawasan budidaya pertanian (total nilai skor 276-350) Di kawasan lindung di luar kawasan hutan (total nilai skor 276-350).

d) Kelas Potensial Kritis (PK):

Di kawasan hutan lindung (total nilai skor 451-500) Di kawasan budidaya pertanian (total nilai skor 351-425) Di kawasan lindung di luar kawasan hutan (total nilai skor 351-425).

e) Kelas Tidak Kritis (TK):

Di kawasan hutan lindung (total nilai skor 451-500) Di kawasan budidaya pertanian (total nilai skor 426-500) Di kawasan lindung di luar kawasan hutan (total nilai skor 426-500).

(Sumber: Lampiran Perdirjen BPDASPS Nomor: P.4/V- SET/2013).

Penilaian tingkat kekritisan lahan di kawasan hutan lindung (termasuk di kawasan hutan produksi) menggunakan 4 (empat) parameter lahan, yaitu: (1) tutupan lahan, (2) kemiringan lereng, (3) tingkat bahaya erosi, dan (4) manajemen. Di kawasan budidaya pertanian menggunakan empat parameter lahan yaitu (1) produktivitas tanaman, (2) kemiringan lereng, (3) tingkat bahaya erosi, dan (4) manajemen konservasi tanah. Di kawasan kawasan lindung di luar kawasan hutan menggunakan empat parameter lahan yaitu (1) vegetasi permanen, (2) kemiringan lereng, (3) tingkat bahaya erosi, dan (4) manajemen konservasi tanah.

Teknik pembuatan peta kekritisan lahan yang terkait dengan spesifikasi data atribut pada data spasial tutupan lahan, vegetasi

(35)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 19 permanen, produtivitas tanaman, kemiringan lereng, dan manajemen tidak diulas lebih mendetail dalam buku ini.

Penyajian data dan informasi lahan kritis dalam buku ini, dibatasi pada pengertian dan perkembangan lahan kritis untuk mendukung perencanaan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

Perkembangan Lahan Kritis

Secara nasional, lahan kritis pada tahun 2013 mencapai luas 24,20 juta hektar yang terdiri atas seluas 19,56 juta hektar berada pada kelas kritis dan seluas 4,63 juta hektar berada pada kelas sangat kritis. Dibandingkan tahun 2006 dengan lahan kritis yang mencapai luas 30,20 juta hektar, mengalami penurunan sebesar 24,79 persen (6 juta hektar). Lahan-lahan kritis tersebut tersebar pada 33 provinsi, dengan demikian hanya Provinsi DKI Jakarta yang tidak memiliki lahan kritis (Kementerian LHK, 2017).

Gambar 3.1.

Perkembangan Lahan Kritis Di Indonesia (2006-2013)

Kritis (K) (juta ha)

Sangat Kritis (SK) (juta ha) -

10,00 20,00 30,00

Tahun 2006

Tahun 2011

Tahun 2013

Luas (juta hektar)

Tahun 2006 Tahun 2011 Tahun 2013

Kritis (K) (juta ha) 23,31 22,03 19,56

Sangat Kritis (SK) (juta

ha) 6,89 5,27 4,63

Perkembangan Lahan Kritis Periode Tahun 2006-2013

(36)

20-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

Berdasarkan data perkembangan lahan kritis selama delapan tahun (2006-2013), kecenderungan perkembangan lahan kritis di Indonesia setiap tahun, baik pada kelas kategori sangat kritis (SK) maupun pada kategori kritis (K). Dari hasil analisis regresi diperoleh model sbb.: Untuk kategori kelas sangat kritis (SK); y = 7,856 – 1,129x; dan untuk kategori kelas kritis (K); y = 25,374 – 1,871x. Kondisi ini menjelaskan bahwa setiap tahun terjadi penurunan lahan kritis (SK dan K) seluas tiga juta hektar.

Menurunnya luas hutan kritis dan lahan kritis di Indonesia baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, bukanlah seluruhnya terpulihkan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dalam bentuk revegetasi/penanaman (reboisasi/penghijauan, perkebunan, pertanian tanaman pangan), melainkan juga disebabkan oleh terjadinya revegetasi secara alami terutama pada lahan-lahan kritis di kawasan hutan yang ditinggalkan oleh peladang/perambah hutan. Selain itu, keberadaan pengelolaan hutan berbasis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) juga memberi andil yang cukup baik dalam perlindungan dan pengamanan hutan serta penyuluhan di tingkat tapak/lapangan.

(37)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 21 Tabel 3.1. Sebaran dan Luas Lahan Kritis Tahun 2013

No. Provinsi

Luas (Juta

Ha)

% Rangking No. Provinsi

Luas (Juta Ha)

% Rangking

1 Aceh 0,63 2,58 18

Nusa Tenggara Barat

0,18 0,73

2 Sumatera

Utara 1,06 4,38 5 19

Nusa Tenggara Timur

0,96 3,97 6

3 Sumatera

Barat 0,63 2,61 20 Kalimantan

Barat 0,75 3,11 10

4 Riau 1,89 7,81 3 21 Kalimantan

Tengah 5,14 21,26 1

5 Jambi 0,78 3,22 9 22 Kalimantan

Selatan 0,64 2,65 6 Sumatera

Selatan 0.31 1,29 23 Kalimantan

Timur 0,91 3,76 8

7 Bengkulu 0.72 2,98 24 Kalimantan

Utara 0,27 1,13

8 Lampung 0,32 1,33 25 Sulawesi

Utara 0,27 1,11

9 Kepulauan

Riau 0,34 1,40 26 Sulawesi

Tengah 0,45 1,87 10 Bangka

Belitung 0,22 0,89 27 Sulawesi

Selatan 0,53 2,20 11 DKI

Jakarta - - 28 Sulawesi

Barat 0,32 1,32

12 Jawa Barat 0,34 1,42 29 Sulawesi

Tenggara 0,95 3,91 7

13 Jawa

Tengah 0,11 0,46 30 Gorontalo 0,57 2,34

14 DI

Yogyakarta 0,03 0,11 31 Maluku 0,73 3,01

15 Jawa

Timur 1,22 5,05 4 32 Maluku

Utara 0,42 1,74

16 Banten 0,04 0,15 33 Papua 2,24 9,25 2

17 Bali 0,05 0,19 34 Papua

Barat 0,18 0,74

Jumlah 24,20 100 Sumber: Statistik Kementerian LHK Tahun 2017 diolah kembali tahun 2019

Pada Tabel 3.1 tampak bahwa lahan kritis tahun 2015 terluas berada di Provinsi Kalimantan Tengah yang mencapai 5,14 juta hektar. Berdasarkan urutan rangking sepuluh besar lahan kritis terluas, terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah, Papua, Riau, Jawa Timur, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Jambi, dan Kalimantan Barat.

(38)

22-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

Dalam buku ini juga diuraikan hasil review lahan kritis salah satu provinsi tahun 2014 yaitu Provinsi Sulawesi Tengah.

Pada tahun 2013 terdapat lahan kritis (sangat kritis dan kritis) seluas 0,45 juta ha, dan pada tahun 2014 mencapai luas 0,47 juta ha (sangat kritis dan kritis). Hasil tersebut menunjukkan adanya pertambahan lahan kritis seluas 0,02 juta ha.

Sesuai hasil review lahan kritis oleh BPDAS Palu Poso tahun 2014, jumlah lahan kritis di Provinsi Sulawesi Tengah mencapai luas 1.353.673,50 ha yang terdiri atas: Sangat Kritis (SK) seluas 61.122,50 ha; Kritis (K) seluas 407.942,40 ha; dan Agak Kritis (AK) seluas 884.608,70 ha. Berdasarkan fungsi kawasan, di dalam kawasan hutan terdapat seluas 509.033,30 ha dan di luar kawasan hutan 844.640,20 ha. Lahan kritis di dalam kawasan hutan terdiri atas: SK seluas 51.689,70 ha; K seluas 201.745,80 ha dan AK seluas 255.606,80 ha. Selanjutnya di luar kawasan hutan terdiri atas: SK seluas 9.441,90 ha; K seluas 206.196,60 ha; dan AK seluas 629.001,70 ha (BPDAS Palu Poso, 2014).

3.2. Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Perkembangannya Batasan/Pengertian Rehabilitasi Hutan dan Lahan:

Pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999;

”Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Dalam upaya pemulihan serta pengembangan fungsi sumberdaya hutan dan lahan, baik fungsi produksi maupun fungsi lindung dan konservasi, kegiatan RHL dapat dilakuakn secara bertahap.

Salanjutnya maksud dalam upaya peningkatan daya dukung serta produktivitas hutan dan lahan, agar hutan dan lahan mampu berperan sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk

(39)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 23 konservasi tanah dan air, dalam rangka pencegahan banjir dan pencegahan erosi”.

Pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pada ayat (1); “RHL diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan lahan tidak produktif. Dapat dijelaskan bahwa kegiatan reboisasi dan penghijauan merupakan bagian rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan reboisasi dilaksanakan di dalam kawasan hutan, sedangkan kegiatan penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan. RHL diprioritaskan pada lahan kritis, terutama yang terdapat di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS), agar fungsi tata air serta pencegahan terhadap banjir dan kekeringan dapat dipertahankan secara maksimal. Rehabilitasi hutan bakau (mangorve) dan hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada hutan lainnya”.

Pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pada ayat (2); ”kegiatan rehabilitasi dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional”, Dapat dijelaskan bahwa pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya”.

Pada Pasal 9, 10 dan 11 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008; ”kegiatan rehabilitasi dilakukan menggunakan DAS sebagai unit pengelolaan berdasarkan wilayah DAS yang diprioritaskan. DAS yang diprioritaskan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan kriteria paling sedikit memuat: (a) kondisi spesifik biofisik; (b) sosial ekonomi; (c) lahan kritis pada bagian hulu DAS; dan (d) wilayah hutan yang rentan perubahan iklim.

Selanjutnya RHL diselenggarakan melalui tahapan perencanaan

(40)

24-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

dan pelaksanaan berdasarkan pola umum, kriteria, dan standar RHL.

Pada Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008;

“kriteria dan standar RHL meliputi aspek kawasan, kelembagaan dan teknologi dengan uraian sbb.:

Aspek kawasan meliputi kepastian penanganan kawasan yang ditentukan melalui analisis perencanaan berdasarkan ekosistem DAS, kejelasan status penguasaan lahan, dan berdasarkan fungsi kawasan.

Aspek kelembagaan meliputi sumberdaya manusia yang kompeten, organisasi yang efektif menurut kerangka kewenangan masing-masing, dan tata hubungan kerja.

Aspek teknologi meliputi penerapan teknologi yang ditentukan oleh kesesuaian lahan atau tapak setempat, tingkat partisipasi masyarakat, dan penyediaan input yang cukup”.

Perkembangan RHL:

Capaian kegiatan RHL dalam bentuk pemulihan di dalam dan luar kawasan hutan pada 34 provinsi, tahun 2013 mencapai luas 0,66 juta ha dan tahun 2017 menurun hingga 0,20 juta ha (Kementerian LHK, 2017).

Gambar 3.2.

Perkembangan Kegiatan RHL Di Indonesia (2013-2017)

- 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70

Tahun 2013

Tahun 2014

Tahun 2015

Tahun 2016

Tahun 2017 0,66

0,49

0,21 0,20 0,20

Luas (juta Ha)

Perkembangan Luas RHL 2013-2017 (Juta Ha)

Luas (Juta Ha)

(41)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 25 Tabel 3.2. Sebaran dan Luas Kegiatan RHL Tahun 2017

No. Provinsi Balai PDASHL Luas

(Ha) No. Provinsi Balai PDASHL

Luas (Ha)

1 Aceh Krueng Aceh;

Wampu Sei Ular 1.042,55 18 Nusa Tenggara Barat

Dodokan

Moyosari 3.484,46

2 Sumatera Utara

Wampu Sei Ular;

Asahan Barumun 8.838,06 19 Nusa Tenggara Timur

Benain

Noelmina 5.434,31

3 Sumatera Barat

Agam Kuantan;

Indragiri Rokan;

Batanghari

7.058,25 20 Kalimantan

Barat Kapuas 5.942,46

4 Riau Indragiri Rokan 5.761,60 21 Kalimantan

Tengah Kahayan 3.079,46

5 Jambi Batanghari 4.098,46 22 Kalimantan

Selatan Barito 8.061,26

6 Sumatera

Selatan Musi 9.068,50 23 Kalimantan

Timur

Mahakam

Berau 4.251,95

7 Bengkulu Ketahun 5.874,74 24 Kalimantan

Utara

Mahakam

Berau -

8 Lampung Way Seputih

Sekampung 10.027,10 25 Sulawesi

Utara Tondano 5.558,07

9 Kepulauan

Riau Baturusa Cerucuk 688,13 26 Sulawesi

Tengah Palu Poso 3.273.31 10 Bangka

Belitung

Sei Jang

Duriangkang 1.444,57 27 Sulawesi Selatan

Jeneberang

Saddang 10.805,94

11 DKI Jakarta Citarum Ciliwung - 28 Sulawesi Barat

Lariang Mamasa;

Jeneberang Saddang

3.162,62

12 Jawa Barat

Citarum Ciliwung;

Cimanuk Citanduy

41.210,62 29 Sulawesi

Tenggara Sampara 3.592,37

13 Jawa Tengah

Cimanuk Citanduy; Pemali Jratun; Serayu Opak Progo; Solo

18.429,61 30 Gorontalo Bone

Bolango 3.187,31

14 DI Yogyakarta

Serayu Opak

Progo 50,00 31 Maluku Wae Hapu

Batu Merah 3.093,31 15 Jawa Timur Solo; Brantas

Sampean 13.244,13 32 Maluku

Utara Ake Malamo 947,43

16 Banten Citarum Ciliwung 5,00 33 Papua Remu Ransiki 1.936,89

17 Bali Unda Anyar 3.696,66 34 Papua

Barat Membramo 4.641,81

Jumlah 200.990,94

Sumber: Statistik Kementerian LHK Tahun 2017 diolah kembali tahun 2019

Pada Tabel 3.2 tampak bahwa capaian kegiatan RHL pada tahun 2017 seluas 200.990,94 ha. Provinsi terluas kegiatan RHL adalah Jawa Barat yang mencapai luas 41.210,62 ha.

(42)

26-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *-

Pelaksanaan kegiatan RHL (reboisasi dan penghijauan) periode tahun 2013-2017 yang diprioritaskan pada lahan sangat kritis (SK) dan kritis (K) mencapai luas 1,76 juta ha. Reboisasi dengan penanaman jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong, alang-alang atau semak belukar selama kurun waktu 2013-2017 seluas 0,18 juta ha, dan pada tahun 2017 mencapai luas 0,035 juta ha (Kementerian LHK, 2017).

Gambar 3.3.

Perkembangan Kegiatan Reboisasi Di Indonesia (2013-2017) Kegiatan rehabilitasi lahan (RL) periode tahun 2013-2017 dilaksanakan dengan penanaman pohon pada lahan sangat kritis (SK) dan kritis (K) di luar kawasan hutan. Rehabilitasi lahan dilaksanakan melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat, hutan kota, dan rehabilitasi mangrove. Realisasi kegiatan RL selama periode tahun 2013-2017 mencapai luas 1,58 juta ha, dan pada tahun 2017 mencapai luas 0,16 juta ha (Kementerian LHK, 2017).

- 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120

Tahun 2013 Tahun

2014 Tahun

2015 Tahun

2016 Tahun 2017 0,106

0,026 0,011

0,007

0,035

Luas (juta ha)

Luas Kegiatan Reboisasi periode 2013-2017 (Juta Ha)

Luas (Juta Ha)

(43)

-*Perencanaan Rehabiltasi Hutan dan Lahan: Teori dan Aplikasi *- 27 Gambar 3.4.

Perkembangan Kegiatan Rehabilitasi Lahan di Indonesia (2013-2017)

Kegiatan RL di luar kawasan hutan dilaksanakan melalui kegiatan pembangunan hutan rakyat, hutan kota, dan rehabilitasi mangrove selama periode tahun 2013-2017 dengan uraian seperti berikut (Kementerian LHK, 2017):

a) Hutan Rakyat (HR) ==> hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik atau hak lainnya dengan luas minimum 0,25 ha. Pembangunan HR rakyat diarahkan untuk mengembalikan produktivitas lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan hutan dan pengentasan kemiskinan melalui upaya pemberdayaan masyarakat. Perkembangan kegiatan pembangunan HR selama periode tahun 2013-2017 mencapai luas 1,56 juta ha, dan pada tahun 2017 seluas 0,16 juta ha.

b) Hutan Kota (HK) ==> suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pepohonan yang kompak dan rapat di wilayah perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Perkembangan kegiatan rehabilitasi lahan melalui hutan kota

- 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600

Tahun 2013 Tahun

2014 Tahun

2015 Tahun

2016 Tahun 2017 0,558

0,461

0,203 0,191

0,165

Luas (juta ha)

Luas Kegiatan Rehabilitasi Lahan Periode 2013-2017 (Juta Ha)

Luas (Juta Ha)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan ini memohon kesediaan ibu/ bapak untuk menjadi responden pada penelitian yang sedang saya laksanakan dengan judul “Hubungan Tingkat Ekonomi Keluarga dan Pengetahuan

Turner &amp; Helms (1995) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, antara lain jumlah interaksi yang efektif antara pasangan, kepribadian pasangan

Didalam pengukuran waktu kerja untuk menetapkan standar waktu kerja, dapat diketahui jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu unit produk, dengan

Kemenangan tidak boleh membuat kita menjadi orang yang …1. Masalah di rumah sebaiknya diputuskan melalui musyawarah oleh …

 CIO: Chief Information Officer adalah manajer jasa informasi yang menyumbangkan keahlian manajerialnya tidak hanya untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan sumber

Kromatogram lapisan tipis ekstrak pekat lapisan kloroform daun tumbuhan Akalifa (Acalypha wilkesiana Muell... Kromatogram Lapisan Tipis ekstrak daun tumbuhan akalifa

PENGARUH TOURIST EXPERIENCE TERHADAP KEPUASAN WISATAWAN DAN DAMPAKNYA PADA REVISIT INTENTION (Survei terhadap Wisatawan Nusantara yang Berkunjung ke Perkampungan. Budaya Betawi