• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Konflik Pengelolaan Hutan Kemenyan (Studi Kasus: Desa Panduman dan Desa Sipituhuta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Konflik Pengelolaan Hutan Kemenyan (Studi Kasus: Desa Panduman dan Desa Sipituhuta Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Hutan Kemenyan

Sejarah pohon kemenyan di Negara Indonesia tumbuh dan menghasilkan

di Pulau Sumatera khususnya di Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang

Hasundutan Provinsi Sumatera Utara. Kebun kemenyan (tombak haminjon) sudah

diusahai oleh masyarakat sejak tahun 1875 sebagai sumber kehidupan dan

penghidupan atau mata pencaharian utama di daerah ini. Dari generasi ke generasi

kebun kemenyan ini tetap menjadi sumber pencaharian utama sampai sekarang,

selanjutnya generasi yang mengelola dan mengusahai kemenyan ini merupakan

generasi keenam. Pohon kemenyan tidak akan pernah dijumpai tertata rapi

layaknya perkebunan, dan juga pohon kemenyan tidak dibudidayakan. Kemenyan

sebagai komoditi yakni getah yang disadap dari batang pohon tersebut.

Tombak haminjon (hutan kemenyan), yakni areal tanah adat yang berisi

tanaman kemenyan yang sudah dibudidayakan beserta tanaman lainnya milik

masyarakat adat Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, yang sudah dimiliki dan

diusahai sejak masa leluhur atau nenek moyang mereka, diperkirakan sejak 300

tahun yang lalu, sesuai tindakan generasi yang sudah mendiami desa ini.Tombak

haminjon ini berada di 3 areal yang mereka beri nama : Tombak Sipiturura,

Dolokginjang, Lombang Nabagas. Marga-marga awal yang membuka

perkampungan sekaligus yang membuka Tombak Haminjon dan yang tinggal

hingga sekarang di 2 desa ini terdiri dari komunitas marga yakni :

1. Turunan dari marga Marbun yakni Lumban Batu yang hingga sekarang sudah

(2)

2. Boru bius (sebagai marga boru) yakni Nainggolan dan Pandiangan

(13 generasi);

3. Turunan Siraja Oloan yakni marga Sinambela, Sihite, Simanullang

(masing-masing 13 generasi);

4. Marga yang datang kemudian yakni: Munthe dan Situmorang (3generasi).

Berdasarkan data desa, saat ini ada 770 KK (3715 jiwa) warga yang

mendiami 2 desa ini, dan menggantungkan hidupnya dari hasil kemenyan. Total

luas wilayah adat yang belakangan diketahui menjadi konsesi PT Toba Pulp

Lestari (TPL), 6001,153 ha. Dari pemetaan yang dilakukan, sudah termasuk

perkampungan menjadi konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Komunitas marga diataslah yang sejak awal membuka perkampungan dan

areal Tombak Haminjon ini dan memiliki serta mengusahainya, yang selanjutnya

diwariskan secara turun-temurun dari generasi yang terdahulu hingga sekarang,

secara hukum adat ataupun kebiasaan yang berlangsung secara terus-menerus,

diakui, dan hidup di komunitas 2 desa ini.

Sebagai komunitas masyarakat adat, batas-batas kepemilikan tanah di

antara komunitas 2 desa ini juga ditentukan sesuai kebiasaan atau hukum adat.

Demikian juga dalam penentuan batas-batas kepemilikan dengan desa/komunitas

desa lainya. Ada sejenis rotan yang menjadi tanda batas kepeilikan di antara

mereka. Dan hal ini mereka patuhi hingga saat ini.

Di areal tombak haminjon ini dulunya terdapat jalan yang merupakan jalan

penghubung antara Desa Pandumaan/Sipituhuta dengan Desa Simataniari,

Kecamatan Parlilitan. Tahun 1920-1980-an, masyarakat Desa Simataniari

(3)

(Pekan). Onan Pollung ini berada di Desa Pollung, namun semenjak tahun

1985-an, warga Simataniari tidak lagi berbelanja ke Onan Pollung karena sudah

ada di Kecamatan Parlilitan.

Masyarakat adat di dua desa ini pada umumnya hidup dan menjadikan

Tombak Haminjon sebagai mata pencaharian utama yang mereka sebut

martombak, yakni kegiatan atau pekerjaan mengambil kemenyan ke tobak

kemenyan. Setiap keluarga (suami dan anak laki-laki dewasa) pada umumnya

bekerja sebagai petani kemenyan. Setiap hari senin akan berangkat ke tombak dan

tinggal disana untuk manige (mengambil getah kemenyan) dan akan pulang ke

desa pada hari kamis, jumat dan atau sabtu. Sehingga suasana desa ini sangat

sunyi dengan kehadiran kaum laki-laki pada hari-hari dimana mereka martombak.

Demikian kehidupan warga 2 desa ini berlangsung dari generasi ke generasi,

tanpa pernah mendapat gangguan dari pihak mana pun. Dari hasil kemenyan ini

lah warga dua desa ini dapat menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, dan

memenuhi kebutuhan atau keperluan hidup lainnya.

Sebagai tanaman langka dan termasuk jenis tanaman yang dilindungi

(endemic), pohon kemenyan adalah produk unggulan dari Kabupaten Humbang

Hasundutan, dan hanya bisa tumbuh di daerah tertentu dengan kondisi tanah

tertentu. Demikian hal nya di desa ini, menurut pengalaman warga, dengan beralih

ke pekerjaan lain dengan mengembangkan jenis pertanian lain, kondisi tanah

kurang mendukung untuk itu. Sehingga hanya dengan martombak lah yang bisa

(4)

2.2. Kondisi Hutan

Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki kawasan hutan negara dengan

luasan 95.512,84 ha (37,9 % dari luas total kabupaten). Masing-masing kecamatan

memiliki sebaran luas serta fungsi hutan yang tidak sama. Sebaran luas kawasan

hutan berdasarkan kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan seperti yang

ditampilkan sebagai berikut.

Tabel 1. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan

No Nama Kecamatan Luas Kawasan Hutan

(ha)

Sumber: BPS Kab. Humbang Hasundutan Tahun 2009

Bila ditinjau dari keberadaan luasan hutan di atas maka kabupaten ini

masih masuk dalam kategori kabupaten yang memiliki luasan hutan yang

proporsional yaitu di atas 30 % dari luas wilayahnya. Sebaran luas kawasan hutan

berdasarkan fungsinya didominasi oleh hutan produksi yang mencapai 64%,

diikuti hutan lindung 33% dan hutan produksi terbatas (HPT) sebanyak 3% dari

luas kawasan hutan total. Pengelolaan hutan produksi yang ada di wilayah

administrasi Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar telah melibatkan

pihak swasta dengan membangun hutan tanaman sebagai bahan baku bubur kertas

(5)

2.3. Konflik

Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk

memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain

sebagainya, dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh

keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau

ancaman (Ibrahim, 2002). Konflik merupakan salah satu proses sosial yang

bersifat disosiatif, selain persaingan (competition) dan pertentangan. Sebenarnya

proses sosial disosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada kalanya jika diatur

sedemikian rupa dapat menghasilkan hal-hal yang positif.

Menurut Fisher et al. (2000) konflik adalah hubungan antara dua pihak

atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa

memiliki,sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan

hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan

masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara

hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya

kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan

masalah-masalah diskriminasi. Menurut Mitchell, et al. (2000) dan

Hendricks (2004) konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat

bersifat positif dan negatif. Aspek positif muncul ketika konflik membantu

mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak

berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan

menjelaskan kesalapahaman.

Konflik juga bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan status quo.

(6)

terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan karena adanya perbedaan

kondisi social budaya, nilai, status, dan kekuasaan, dimana masing-masing pihak

memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam. Menurut penyebabnya, konflik

dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat disebabkan oleh keterbatasan

sumberdaya alam dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi

dan manfaat sumberdaya alam. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan

berbagai kepentingan yang berbeda atas sumberdaya yang sama, yang berakibat

pada munculnya konflik-konflik antar berbagai unsur masyarakat

(Fuad dan Maskanah, 2000; Mitchell, et al., 2000). Selain itu, diungkapkan juga

bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya

perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan ancaman

bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan kondisi sosial, budaya,

lingkungan hidup, ekonomi, hukum dan politik menciptakan

kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap sumberdaya hutan. Pada

akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian, maka akan

ada suatu potensi konflik.

Koentjaraningrat dan Ajamiseba (1994) menyatakan bahwa konflik dapat

terjadi karena perubahan sosial budaya yang begitu cepat terhadap pegangan dan

pola kehidupan tradisional, menyebabkan masyarakat kehilangan jati dirinya dan

merasa tercabut dari akar budayanya, yang selanjutnya menjadikan mereka apatis

dan agresif. Dampak sosial budaya yang negatif tersebut dapat menciptakan suatu

gerakan destruktif. Anau, et al. (2002) menyebutkan pula bahwa benturan

kepentingan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain juga dapat

(7)

terselesaikan dalam jangka waktu yang lama. Benturan-benturan kepentingan juga

terjadi antara masyarakat atau kelompok masyarakat karena masalah batas desa

atau wilayah adat yang tidak jelas atau karena perebutan sumberdaya tertentu.

Menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik dapat berwujud tertutup

(laten), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent)

dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya

berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali

salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling

potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana

pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan,

kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri

belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana

pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,

mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan

buntu. Ditambahkan oleh Hae, et al. (2001), bahwa konflik bisa berwujud

meningkat (eskalasi). Konflik eskalasi merupakan konflik yang mengalami

peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada daerah konflik Ambon

misalnya, eskalasi ditandai dengan penggunaan senjata rakitan maupun organik.

Padahal, awalnya dua pihak yang bertikai hanya menggunakan senjata tumpul dan

senjata tajam.

Seperti yang telah disebutkan oleh beberapa penulis di atas, bahwa

sebagian besar konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda,

biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak yang

(8)

sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab

pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Menurut

level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan

konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak

lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih

cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal, terjadi antara masyarakat

dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit

digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah

lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

2.4. Masyarakat Desa Hutan

Hutan berperan penting dalam kehidupan masyarakat sekitar hutan. Hal ini

dikarenakan hampir seluruh kehidupan masyarat sangat tergantung pada hutan.

Bahkan menurut Tokede et al. (2005) hutan sebagai ibu kandung yang memberi

makan anak-anaknya sebagai pengikat hubungan social antar suku dan antar

marga dan suku memiliki nilai budaya dan norma adat yang dipercayai.

Masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang menguntungkan segala

kehidupannya pada hutan baik masyarakat yang tinggal dikawasan hutan maupun

yang dimanfaatkan hutan dalam mencakup kehidupannya. Redfied (1982) dalam

bukunya berjudul “Masyarakat Petani dan Kebudayaan” mengatakan bahwa

masyarakat desa mungkin telah memelihara kebudayaan rakyatnya dengan sedikit

sekali mendapat pengaruh dari kelas atas.

Kawasan hutan yang luas, menuntut pengelolaan yang intensif, ditengah

(9)

akhirnya dapat memicu konflik sosial. Konflik merupakan hal yang tidak

terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia. Alasannya

sederhana karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap hutan, sementara

masing-masing berbeda kebutuhan dan tujuannya Fuad dan Maskanah (2000).

Kebutuhan akan sumberdaya hutan mengalami peningkatan bersamaan dengan

berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya

angka kematiaan dan perkembangan infrastruktur yang pesat sehingga

menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Hutan dikaruniakan Tuhan untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan

masyarakat, sehingga dalam upaya pelestariannya juga harus melibatkan

masyarakat (khususnya di sekitar hutan) alam. Kehidupan masyarakat yang

majemuk, nampaknya menyimpan potensi konflik horizontal. Karena itu,

pemerintah, masyarakat, kelompok-kelompok sosial, maupun individu harus tetap

waspada terhadap terjadinya yang mungkin terjadi, sehingga diperlukan kesadaran

yang tinggi dalam memahami rasa kebangsaan yang utuh, konsesus yang dapat

bertahan dan senantiasa dihormati sebagai pengendali konflik

(Muntakin dan Pasya, 2003).

Fuad dan Maskanah (2000) juga mengatakan bahwa konflik sumberdaya

hutan yang sering terlihat (meskipun masih banyak pula yang tak terlihat) ada

konflik yang terjadi antara masyarakat didalam dan tepian hutan, dengan berbagai

pihak diluar yang dianggap memiliki otoritas dalam pengelolaan sumberdaya

hutan. Wulan et al. (2004) mengatakan bahwa berdasarkan hasil analisis artikel di

media massa, sekurang-kurangnya terdapat lima penyebab utama konflik yang

(10)

pencurian kayu, perusakan lingkungan, tatabatas kawasan atau akses dan alih

fungsi kawasan. Faktor penyebab konflik yang paling sering terjadi diberbagai

kawasan (36%) adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di

sekitarya.

Konflik dapat dilihat dari berbagai presfektif, dalam konteks makro

maupun mikro (Hadimulyo dalam Fuad & Maskanah 2000). Perpektif

mitologis-historis merujuk bahwa konflik atas sumberdaya untuk pemenuhan kebutuhan

manusia dapat ditelusuri dari sejarah umat manusia. Perspektif ekonomi dan

politik memandang bahwa konflik merupakan bagian dari pola hubungan antara

manusia, kelompok, golongan, masyarakat dan negara yang seharusnya dipahami

sebagai kenyataan. Penyebab utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi

dan politik, dan oleh karena itu upaya-upaya penyelesaian harus

mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik scott, (1993) Fuad dan

Maskanah (2000) faktor lainnya yang sering memicu konflik berkaitan dengan

akses, hak dan tata guna lahan terutama yang berhubungan dengan kawasan

konservasi seperti taman nasional Wulan et al.( 2004).

Di Indonesia, masalah pengusahaan sumber daya alam, termasuk hutan

sebagai asset ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan telah cukup lama menjadi

keprihatinan banyak pihak. Persoalan distribusi penguasaan tanah atau lahan di

Indonesia telah menimbulkan pemiskinan struktural masyarakat, dan mengurangi

kemampuan pengembangan ekonomi yang berbasis pengamatan lahan. Tekanan

akan hutan akan semakin meningkat. Ini menyebabkan masyarakat yang miskin

dan yang tidak mempunyai lahan mencoba mempertahankan hidupnya dengan

(11)

Akhir-akhir ini, ditengah kehidupan masyarakat kita tengah terjadi

serangkaian konflik, baik yang berasal dari pertentangan politik, ketidak adilan

hukum, kesenjangan ekonomi, bentrokan antar suku, kekerasaan militer, dan

sebagainya. Salah satu yang paling sering terdengar dalam konflik antara

masyarakat dengan pihak lain, adalah konflik pengelolaan Sumber daya Hutan

(SDH). Sudah selayaknya kita mencurahkan perhatian kepada masalah ini,

mengingat konflik dalam pengelolaan Sumber daya Hutan (SDH) mencakup

spectrum yang sangat luas. Jika kita tidak secara dini serta hati-hati mencarikan

jalan keluarnya, akibat yang paling ringan yang akan muncul adalah hilangnya

potensi hutan kita, yang nilai pentingnya sudah tidak diragukan lagi, dan

sebetulnya merupakan warisan bagi generasi yang akan datang.

Sudah sangat umum dijumpai bahwa berbagai kejadian konflik

pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) melibatkan berbagai pihak yang

sama-sama memiliki kepentingan terhadap hutan. Pada ahirnya konflik itu di

ekspresikan dalam bentuk perusakan komponen hutan itu sendiri, baik yang

berupa pembakaran tegakan hutan, pencabutan anakan pohon yang baru ditanam,

penebangan secara membabi buta dan liar, pendudukan dan penyemprotan lahan

hutan maupun bentuk-bentuk lainnya. Penyebab konflik itu sendiri sangat

beragam, tidak masalah hilangnya lahan masyarakat akibat penebangan hutan

bukan juga acapkali terkait erat dengan permasalahan kebijakan pembangunan

dan fenomena kapitalisme global.

Ada beberapa kemungkinan yang terjadi sebab sebuah kebijakan atau

keputusan ditolak dalam proses implementasinya Wibawa, (1994;40) pertama,

(12)

kebijakan atau keputusan tersebut. Bisa ditebak bahwa keputusan yang ditolak

tersebut dulunya dirumuskan dalam suatu proses konversi yang etis.

Kemungkinan kedua dari ditolaknya keputusan atau kebijakan oleh target group

adalah karena kelompok sasaran yang tidak menyadari manfaat dari keputusan

tersebut, dan oleh karena itu mereka tidak merasa membutuhkannya. Untuk kasus

semacam ini sudah barang tentu pelaksana keputusan atau kebijakan perlu

mengubah kondisi kelompok sasaran dengan cara pendidikan dengan gerakan

penyadaran pada umumnya. Upaya ini dapat ditempuh melalui penyuluhan

langsung oleh para birokarat lapangan, dapat pula dengan memanfaatkan tokoh

masyarakat informal maupun pemimin-pemimpin resmi seperti Bupati, Camat,

Kepala Kepolisian. Media yang digunakan cukup beragam mulai dari tatap muka

hingga poster dan televisi.

Laju perkembangan penduduk yang signifikan menambah pemanfaatan

lahan yang pada ahirnya mengurangi luasan hutan, sementara pihak pengelola

mempunyai kewajiban dalam menjaga kawasan hutan baik dari segi

kelestariaanya maupun dari luasannya wilayahnya yang berimbas pada konflik

antara pihak pengelola hutan dan masyarakat. Salah satu yang paling sering

terdengar antara masyarakat dengan pihak lain, maupun antar anggota masyarakat

itu sendiri, adalah konflik pengelolaan sumberdaya hutan

(Fuad dan Maskanah 2000).

Ketidakseimbangan kepemilikan lahan itu memang menjadi masalah

semua Negara. Penguasaan lahan yang tidak seimbang seperti itu menyebabkan

adanya tekanan yang meningkat terhadap hutan, terutama jika masyarakat petani

(13)

barangkali hanya berpengaruh terhadap petani kemenyan yang menetap

bagaimana dengan mereka yang selama ini tinggal di hutan dan melakukan

pertanian dengan tumpang gilir, telah banyak penelitian mengatakan bahwa sejak

awal dilakukan inisiatif pengelolaan hutan dengan melibatkan pihak swasta,

terjadi penggusuran besar-besaran terhadap hak kepemilikan (tenurial rights)

terhadap hutan yang disandang oleh masyarakat lokal.

Konflik pengelolaan Sumber Daya Hutan (SDH) ini antara lain

diakibatkan oleh adanya perbedaan kepentingan antara para pelaku pembangunan

(pemerintah, pengusaha,dan rakyat) serta keterbatasan sumberdaya karena

kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat Sumber

daya Alam (SDA). Konflik dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu konflik

horizontal dan vertikal. Konflik horisontal merupakan konflik antar berbagai

unsur masyarakat, yaitu antara masyarakat dengan masyarakat lainnya. Konflik

vertical yaitu konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah. Dalam hal ini

sebagai contoh, yaitu konflik dibidang agraria dan dapat mewakili konflik

pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia pada umumnya.

2.5. Karateristik Konflik dan Mekanisme Penyelesaiannya

Pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam membutuhkan kemampuan

untuk menghadapi konflik (Mitchell et al. 2000). Sementara itu, faktor utama

penyebab konflik dikawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional

adalah perambahan hutan dan pencurian kayu. Hal ini terjadi karena penetapan

suatu kawasan konservasi biasanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah

(14)

masyarakat dan pihak-pihak terkait itu. Dalam beberapa kasus, penetapan hutan

lindung sering memaksa masyarakat untuk berpindah ke tempat lain. Perambahan

menjadi isu utama karena masyarakat masih menganggap bahwa lahan yang

mereka buka untuk ladang adalah hak mereka walaupun telah ditetapkan menjadi

kawasan lindung (Wulan et al. 2004).

Dalam penyelesaian konflik pada umumnya digunakan beberapa titik tolak

karena sifat konflik yang selalu identik dalam kehidupan manusia

(Fuad dan Maskanah 2000) bahwa:

a. Konflik selalu ada, manusia hidup selalu berkonflik, sebab konflik terdapat di

alam dan hadir dikehidupan manusia, konflik selalu berubah dan sulit untuk

diramalkan kapan datangnya seperti cuaca.

b. Konflik menciptakan perubahan, konflik dapat merubah pemahaman pada

sesama. Konflik mendorong adanya klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan

untuk mencari penyelesaian.

c. Konflik selalu memiliki dua sisi, konflik membawa resiko dan potensi secara

inheren.

d. Konflik menciptakan energi baik bersifat dekstruktif atau kreatif atau

keduanya dan mempunyai sifat mengikat.

e. Konflik dapat produktif dan non produktif, konflik yang produktif lebih

mengacu pada permasalahannya, kepentingan/minat, prosedur dan nilai-nilai

pemahaman yang mampu menghasilkan jalan keluar. Konflik yang non

produktif cenderung mengacu pada strereoptip, komunikasi yang payah, serat

(15)

f. Konflik dipengaruhi pola-pola biologi, kepribadian dan budaya, reaksi-reaksi

pisikologis memegang peranan emosional yang sangat kuat dalam

mempengaruhi proses konflik, dengan mengikuti gaya kepribadian dan

pisiologi seseorang.budaya juga ikut membentuk aturan-aturan dan ritual yang

membawa kita pada konflik.

g. Konflik mengandung makna “kaleindoskop”, konflik laksana drama yang

dapat dianalisa dengan memahami siapa, dimana, kapan, dan mengapa.

Konflik tidak menunjukkan adanya kebenaran utuh yang berdiri sendiri,

melainkan berbagai kontruksi dan realita.

h. Konflik memiliki “daur hidup” dan “sifa-sifat bawaan”, konflik dapat

bertrasformasi,bertambah cepat, perlahan menghilangkan atau berubah.

i. Konflik mengubah manusia, konflik menjadi inspirasi bagi penulis, pemikir,

seniman, politisi, pisikolog dan ahli filsafat.

Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik

vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di

lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan

makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horizontal, terjadi antara

masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak

sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan

siapakah lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

Bila diamati lebih jauh, terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti

yang dijelaskan Hendricks (1996), yakni: (1) Dengan meningkatnya konflik,

perhatian pada konflik itu akan meningkat; (2) Keinginan untuk menang

(16)

menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi yang lain, seiring dengan

meningkatnya konflik; (4) Strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat

konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (5)

Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; (6) Seseorang dapat menjadi

individu yang berbeda selama berada dalam konflik.

Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik

(Hae, et al., 2000), antara lain:

1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok

cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah yang sebelumnya

tak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. Akibat

pertikaian yang berlangsung 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok

Nasionalis (yang kebanyakan Protestan) dan kelompok prokemerdekaan (yang

kebanyakan Katolik) sudah sampai pembuatan tembok setinggi 5 meter.

Demikian pula di Ambon, walaupun belum ada tembok pemisah, segregasi

wilayah kelompok Muslim dan Kristen sudah terjadi. Senada dengan hal itu

Soekanto (1990) menyebutnya dengan timbulnya solidaritas in-group. Ikatan

yang semakin erat antar anggota kelompok, dan bahkan bersedia berkorban

demi keutuhan kelompok. Atau sebaliknya, goyah dan retaknya persatuan

kelompok. Hal ini terjadi apabila pertentangan antar golongan dalam satu

kelompok tertentu.

2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam

tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya negatif, untuk merendahkan pihak

(17)

3. Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi

demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematik ini

menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul,

misalnya: "Si A itu dari suku X, hati-hati...., orang yang bersuku X itu

pembunuh berdarah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum

darah manusia".

4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan, pada kelompok

lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai

penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran, radio, dan televisi.

5. Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri

atau kelompok lain.

6. Mobilitas sumberdaya manusia. Selalu ada penggalangan massa yang cepat dan

solid.

7. Citra cermin. Setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri. Ia

akan selalu berkaca pada dirinya tanpa melihat sisi pandang orang lain atau

lawannya.

8. Pengakuan citra diri, yang berhubungan dengan misalnya menyetujui bahwa

saya adalah musuh orang/kelompok lain. Pernyataan yang biasa muncul "ya,

saya memang musuhnya. Saya akan siap meladeni,....” dan seterusnya.

Selanjutnya Soekanto (1990) menambahkan akibat-akibat tersebut dengan:

9. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Bentuk pertentangan

terdahsyat yaitu peperangan yang telah menyebabkan penderitaan yang berat,

baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, dalam bidang kebendaan

(18)

10. Akomodasi. Dominasi dan takluknya salah satu pihak apabila kekuatan

pihak-pihak yang bertentangan seimbang, maka mungkin akan timbul akomodasi.

2.6.Pengelolaan Konflik

Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan

keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin

menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum. Terdapat beberapa

karakteristik teknik penyelesaian konflik, yaitu: (1) Lebih menekankan pada

kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar

menawar; (2) Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian; (3) Menuntut

kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Seorang mediator yang tidak

memihak biasanya diperlukan dalam penyelesaian sengketa

(Maguire dan Boiney, 1994 dalam Mitchell, et al., 2000).

Ketika sengketa muncul dan berkaitan dengan perbedaan kepentingan

tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, ada empat pendekatan yang dapat

dipakai, yaitu: politis, administratif, hukum, dan alternatif penyelesaian konflik

(APK). APK terdiri dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK

muncul sebagai jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum,

juga sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi

masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga

dikembangkan untuk menghindari model pihak pemenang dan pihak yang kalah,

yang dihasilkan oleh pendekatan hukum (Mitchell, et al., 2000).

Selain itu, terdapat pendekatan lain dalam melihat penyelesaian konflik,

(19)

yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses.

Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti kenyataan adanya suatu

keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang - perorangan atau

kelompok - kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan

nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai suatu

proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu

pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan dan merupakan suatu

cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan,

sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Adapun bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut

Young dan Mack (1959) dalam Soekanto (1990) dan Ibrahim (2002), adalah

sebagai berikut:

1. Coercion adalah suau bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh

karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana salah

satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak

lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara langsung), maupun

secara psikologis (secara tidak langsung).

2. Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling

mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan

yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah bahwa

salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak

lainnya dan begitu pula sebaliknya.

3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila

(20)

diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh

suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihakpihak yang

bertentangan.

4. Mediation adalah suatu bentuk akomodasi yang hampir menyerupai arbitration.

Pada mediation diundang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang

ada. Pihak ketiga tersebut tugas utamanya adalah mengusahakan suatu

penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai

penasehat belaka dan dia tidak mempunyai wewenang untuk memberi

keputusan penyelesaian perselisihan tersebut.

5. Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginankeinginan

dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.

6. Toleration juga sering dinamakan t o ler a n t -pa r t i c i pat i o n , ini

merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya.

Kadang-kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan,

hal mana disebabkan karena adanya watak orangperorangan atau

kelompok-kelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu

perselisihan.

7. Stalemate merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan

berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya karena

mempunyai kekuatan yang seimbang. Hal ini disebabkan oleh karena bagi

kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk maju atau mundur.

8. Adjudication yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.

Membandingkan dari delapan bentuk akomodasi tersebut, bentuk mediation

(21)

lainnya, karena sifatnya lebih lunak daripada coercion, dan membuka

kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.

Oleh karena itu di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada

dalam keadaan tenteram; cara-cara persuasive (proses pengendalian sosial tanpa

kekerasan) mungkin akan lebih diterima daripada menggunakan cara-cara

coercive (proses pengendalian sosial dengan cara kekerasan dan paksaan), karena

biasanya kekerasan dan paksaan akan melahirkan reaksi negatif dan pihak-pihak

tertentu akan selalu mencari-cari kesempatan dan menunggu saatnya dimana

pihak lawan berada dalam keadaan lemah. Meskipun penyelesaian konflik ada

yang diselesaikan melalui jalur hukum pengadilan, Namun kebanyakan kasus

konflik pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi

diantara perusahaan dan para warga yang menuntut dengan penengah pemerintah

daerah. Oleh karena itu,peranan pemerintah daerah, serta konteks sosial dan

politik dapat dikatakan mempengaruhi proses dan solusi sengketa tanah di

Gambar

Tabel 1. Sebaran luas kawasan hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mencari makna yang terkandung dalam foto-foto jurnalistik pada.. penelitian kali ini, penulis menggunakan pendekatan

Manfaat Penelitian: Dapat mengetahui hubungan antara gangguan kognitif dengan depresi pada lanjut usia demensia di posyandu lansia.. Metode Penelitian: Penelitian ini

[r]

Berdasarkan hasil proses pelelangan beserta berita acara evaluasi dan setelah dilakukan penelitian terhadap BAHP Nomor : 10/Pokja ULP/MTsN Jeuram/PU-eProc/2012 tanggal

penilaian dan evaluasi dari Semua Data dalam surat penawaran harga.. perusahaan ternyata rekanan / perusahaan tersebut telah

[r]

Permasalahan teknis komputer yang digunakan pada saat mengoperasikan SPAMKODOK (penyedia), sehingga proses tidak bekerja sebagaimana mestinya, antara lain gangguan

The effects of selective and non-selective 3 9 ,5 9 -cyclic nucleotide phosphodiesterase (PDE) inhibitors on cGMP and cAMP accumulation were studied in rat hippocampal slices