• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Rohayati 789

SIMULASI KELAINAN HIPERMETROPIA YANG BERHUBUNGAN DENGAN KINERJA AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH DASAR SWASTA

JEMBAR BANDUNG TAHUN 2018

Rohayati

SDIT Nur Al Rahman Kota Cimahi Jawa Barat

INFORMASI ARTIKEL ABSTRAK

URL : http://e-jurnalmitrapendidikan.com

© 2018 Kresna BIP. e-ISSN 2550-0481 p-ISSN 2614-7254

Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online)

Dikirim : 16 Agustus 2018 Revisi pertama : 20 Agustus 2018 Diterima : 21 Agustus 2018 Tersedia online : 31 Agustus 2018

Kelainan pada penglihatan akan menjadi suatu hambatan bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan mewujudkan cita-citanya. Diantara kelainan-kelainan pada mata, hipermetropia merupakan kelainan refraksi terbanyak urutan ke-2 setelah kelainan refraksi myopia (rabun jauh) yang dating berobat ke Poliklinik Mata. Pada anak-anak yang memiliki kelainan refraksi ditemukan 25% mereka tidak mampu menunjukan performa yang maksimal dalam bidang akademik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami kelainan refraksi. Tujun dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil dari Simulasi Kelainan Hipermetropia yang berhubungan dengan Kinerja Akademik siswa di Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018. Desain penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriftif analitik dengan sampel sebanyak 30 siswa Sekolah Dasar Swasta Jembar Bandung. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (membaca, menulis, dan menggambar) dengan

nilai ρ = 0.000 < 0,05. Hipermetropia berat yang

dinyatakan tidak bisa dalam kinerja akademik sebanyak 28 responden (93,3%).

Kata Kunci : Simulasi Hipermetropia, Kinerja Akademik, Siswa SD

(2)

Rohayati 790

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak dibentuk tepat diretina, melainkan dibagian atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu: miopia, hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas, 2017).

Kelainan refraksi memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia, yaitu sebesar 24,7 dan pada anak-anak usia sekolah dasar sebesar 10% dari 66 juta anak Indonesia, kelainan refraksi merupakan kelainan kondisi mata yang paling sering terjadi (Saboe, 2009).

Orang-orang yang mengalami kelainan refraksi tidak saja harus menanggung beban fisik, melainkan mereka juga memiliki konsekuensi sosial dan finansial. Penglihatan merupakan sesuatu yang secara signifikan memberikan pengaruh dalam pilihan karir dan aktivitas seseorang. Contohnya saja pada anak-anak yang memiliki kelainan refraksi di temukan 25% mereka tidak mampu menunjukan performa yang maksimal dalam bidang akademik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami kelainan refraksi, selain itu, 60% anak-anak dengan masalah belajar di laporkan juga mengalami kelainan pada penglihatan nya (Hedge, et al, 2015).

Kelainan Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata saat sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di belakang makula lutea (Ilyas, 2017).

Masalah penglihatan dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada komprehensi dan kinerja dalam membaca dan menulis, yang menyusun hampir tiga perempat kegiatan belajar di sekolah. Terdapat banyak studi yang menemukan hubungan antara gangguan penglihatan dan buruknya kinerja siswa di sekolah. Penglihatan merupakan bagian besar dari proses belajar, 80% dari apa yang anak-anak pelajari di dapatkan melalui pemprosesan informasi secara visual. Untuk memastikan kemampuan anak-anak untuk belajar, penglihatan yang jelas dan nyaman adalah hal yang penting (Charenton, 2012).

Berdasarkan hasil observasi di SD Jembar Bandung pada hari Senin 26 Maret 2018. Peneliti mengambil 3 sampel untuk mensimulasikan kelainan hipermetropia dengan ketentuan siswa dan siswi tersebut dalam kondisi tidak ada kelainan refraksi (Emmetropia) dan harus mencapai visus 6/6. Pada sempel pertama dan kedua ketika di beri lensa minus dengan skalaringan dan sedang, objek menyatakan bahwa masih bisa membaca, menulis dan menggambar atau mengenali gambar. Saat diberikan lensa minus dengan skala ukuran berat siswa menyatakan kesulitan dalam membaca, menulis dan menggambar. Sedangkan pada sempel ketiga saat diberi lensa dengan skala ringan objek menyatakan masih bisa membaca, menulis dan menggambar.Ketika di berikan lensa minus dengan skala ringan dan berat objek menyatakan tidak bisa membaca, menulis dan menggambar.

(3)

Rohayati 791 menarik untuk mensimulasikan kelainan hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja akademik siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan masalah penelitian, sebagai berikut “Bagaimana hasil hubungan simulasi kelainan hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja akademik pada siswa Sekolah Dasar Swasta Jembar Bandung tahun 2018?”.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui hubungan simulasi kelainan hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar) pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.

KAJIAN PUSTAKA Hipermetropia

Pada simulasi hipermetropia bayangan jatuh tepat di belakang retina. Objek yangakan diteliti adalah siswa dan siswi Sekolah Dasar Jembar Bandung jl. Jatinegara kelas 3, 4 dan 5. Yang akan menjadi objek peneliti siswa dan siswi tersebut dalam kondisi tidak ada kelainan refraksi (Emmetropia) dan harus mencapai visus 6/6.

Anak dengan usia 5 tahun telah memiliki penglihatan yang berkembang sempurna. Dengan visus normal bisa mencapai 6/6. Dengan demikian pada siswa yang memiliki visus 6/6 sehingga dapat diberikan lensa minus dengan ukuran ringan, sedang dan beratuntuk simulasi hipermetropia. Dimana penglihatan siswa tesebut seolah-olahmengalami gangguan padakeja dekat yang terganggu.

Sebelum dilakukan simulasi, peneliti melakukan probling lens antara lensa plus dan minus untuk mengetahui kondisi penglihatan siswa tersebut apakah normal (Emmetropia) atau tidak. Saat peneliti memberikan lensa minus dengan ukuran ringan, sedang, dan berat siswadihimbau untuk membaca, menulis dan menggambar apakah jelas atau buram.

Selanjutnya akan ditinjau oleh peneliti untuk mengidentifikasi apakah tajam penglihatannya menurun dan berpengaruh terhadap kinerja akademiknya. Jika mengalami penurunan tajam penglihatan saat dilakukan tes tersebut tentunya akan mempengaruhi hasil kinerja akademiknya.

Gambar 1. Kondisi Mata Saat Mengalami Kelainan Hipermetropia

(4)

Rohayati 792 dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di belakang makula lutea.

Penyebab Hipermetropia

Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek. Penyebab hipermetropia yang pertama adalah sumbu utama bola mata yang terlalu pendek biasanya terjadi karena mikropthalmia, retinitis sentralis, atau ablasio retina (lapiran retina lepas lari ke depan titik fokus cahaya tidak tepat dibiaskan) ini salah satu penyebab hipermetropia.

Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah. Penyebab hipermetropia yang kedua adalah terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa dan vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropia adalah perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksi menurun dan perubahan pada komposisi aqueus humor dan vitreus humor. Misal pada penderita Diabetes Militus terjadi hipermetropiajika kadar gula darah dibawah normal. Ini menjadi salah satu penyebab hipermetropia.

Kelengkungan kornea dan lensa tidak kuat.penyebab hipermetropia yang ketiga adalah kelengkungan kornea dan lensa tidak kuat. Kelengkungan kornea ataupun lensa berkurang sehingga bayangan difokuskan dibelakang retina. Ini menjadi salah satu penyebab hipermetropia.

Perubahan posisi lensa penyebab hipermetropia yang berikutnya adalah perubahan posisi lensa. Dalam hal ini, posisi lensa menjadi lebih posterior. Ini salah satu penyebab hipermetropia. (https://oprasi-mata.com/penyebab-hipermetropia-apa-saja/kbbi).

Terdapat 3 bentuk hipermetropia:

1. Hipermetropia kongenital, diakibatkan bola mata pendek atau kecil.

2. Hipermetropia simple, biasanya merupakan lanjutan hipermetropia anak yang tidak berkurang pada perkembangan nya jarang melebihi >5 dioptri.

3. Hipermetropia didapat, umum didapat setelah bedah pengeluaran lensa pada katarak (afakia) (Ilyas, 2017).

Pengelompokan hipermetropia secara klinis:

a. Simple atau developmental hypemetropia, merupakan hipermetropia yang paling sering, yang berhubungan dengan variasi proses pertumbuhan normal dari bola mata.

b. Pathological hypemetropia, dihasilkan dari kondisi tidak normal dari mata, bisa kongenital atau didapat (Khurana AK et al, 2007; Lang GK, 2000).

Pengelompokan hipermetropia berdasarkan penyebabnya:

1. Hipermetropia aksial, merupakan bentuk hipermetropia yang paling sering dijumpai. Pada hipermetropia ini diameter anteroposterior bola mata lebih pendek dari normal sedangkan total kekuatan refraksi mata normal

2. Hipermetropia refraktif, merupakan hipermetropia yang di sebabkan oleh penurunan kekuatan refraksi mata.

Jenis hipermetropia ini dibedakan lagi atas:

(5)

Rohayati 793 b. Index hypemetropia, disebabkan penurunan indeks refraksi lensa mata pada usia

tua.

c. Positional hypemetropia, disebabkan pergerakan lensa mata ke posterior (Khurana AK et al,2007).

Menurut Ilyas, 2017 Pengelompokan hipermetropia berdasarkan kekuatan lensa koreksi yang dibedakan (derajat) :

1. Hipermetropia ringan: Spheris +0.25 D s/d Spheris +3.00 D 2. Hipermetropia sedang: Spheris +3.25 D s/d Spheris +6.00 D 3. Hipermetropia berat : > +6.00 D

Hipermetropia dikenal dalam bentuk:

a. Hipermetropia manifes: Hipermetropia manifes di dapatkan tanpa siklopegik, yang dapat dikoresi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut di tambah dengan hipermetropia fakultatif .

b. Hipermetropia manifes absolut: Kelainan refraksi tidak di imbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh.

c. Hipermetropia manifes fakultatif: Kelainan hipermetropia dapat di imbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata, bila di berikan kacamata positif memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan istirahat.

d. Hipermetropia laten: Dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus. Hipermetropia hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia absolut.

e. Hipermetropia total: Hipermetropia laten dan manifes yang ukurannya di dapatkan sesudah di berikan sikloplegia (Ilyas, 2017).

Gejala Hipermetropia

(6)

Rohayati 794

Faktor Resiko

Resiko mengembangkan klinis yang signifikan hipermetropia fisiologis ditentukan oleh kombinasi faktor herediter (keturunan) dan perbedaan biologis. Faktor resiko meliputi :

1. Panjang aksial mata terlalu pendek 2. Kelengkungan kornea terlalu datar

3. Ada atau tidak adanya gejala (hyperopic signifikan). (American Optometric Assosiation, 2017).

Pengobatan

Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk mematahkan sinar lebih kuat kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah diberikan koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal (Ilyas, 2017).

Diberikan koreksi hipermetropia manifest dimana tanpa sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6). Bila terdapat juling kedalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia total.Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksotopia) maka diberikan kacamata positif kurang.

Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Bila pasien dengan S+3.00 ataupun dengan S+3.25 memberikan ketajaman penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata S+3.25. Hal ini untuk memberikan istirahat pada mata.Pada pasien dimana akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak, maka sebainya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamatanya dengan mata yang istirahat.

Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia yang telah lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini diberikan kacamata sferis positif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.

Jenis derajat Hipermetropia dapat diklasifikasikan menjadi 3 menurut Irvin m.borish: 1998

1. Hipermetropia rendah, berukuran S+3.00. Tajam penglihatan biasanya baru terganggu sesudah usia menjelang presbyopia dimana aplitude akomodasi sudah menurun.

2. Hipermetropia sedang, berukuran antara S+3.12 sampai 5.00 kelainan tajam penglihatan biasanya sudah terganggu sejak muda karena amplitude akomodasinya tidak mampu mengatasi hipermetropia.

(7)

Rohayati 795 ini bagi penderita yang sangat muda penting perhatikan masalah amblyopia dan strabismus terutama pada strabismus konvergensi, karena memerlukan koreksi sendiri mungkin koreksi penuh sebagai pencegah dan rehabilitasi penglihatan nya pada penderita ini sudah dewasa kelainan ini perlu diperhatikan kesulitan koreksi oleh efek lensa berukuran tinggi.

Teknik pemeriksaan hipermetropia menurut Irvin m.borish: 1998 1. Pasien duduk menghadap ke kartu Snellen pada jarak 6 meter.

2. Mata dipasang dengan lensa coba.

3. Tutup satu mata, biasanya mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk memeriksa mata kanan.

4. Pasien diminta menyebutkan kartu Snellen mulai dari hurup teratas dan diteruskan pada baris dibawah hingga hurup yang masih dilihat atau disebutkan.

5. Lensa positif (+) terkecil ditambah pada mata yang sedang diperiksa bila lebih jelas lensa positif di mata pasien tersebut ditambah kekuatannya perlahan-lahan dan pasien diminta menyebutkan huruf-huruf pada baris lebih bawah.

6. Kemudian kekuatan lensa ditambah sampai terlihat huruf-huruf pada baris 6/6. 7. Tambah lensa positif S+0,25 lagi dan tanyakan kembali pada pasien masih dapat

melihat huruf-huruf diatas.

Alat pemeriksaan menurut Irvin m.borish 1998 a. Snillen

b. Lensa coba

c. Satu set lensa coba

Kinerja Akademik

Mulyasa, 2005, menyatakan bahwa kineja adalah “output drive from processes, human otherwise”. Kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses. Dikatakan lebih lanjut oleh Mulyasa bahwa kinerja atau performance dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian hasil kerja, hasil-hasil kerja atau unjuk kerja.

Pengertian tentang kinerja tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh seseorang.Kinerja atau prestasi kerja merupakan hasil akhir dari suatu aktivitas yang telah dilakukan seseorang untuk meraih suatu tujuan.Pencapaian hasil kerja ini juga sebagai bentuk perbandingan hasil kerja seseorang dengan standar yang telah di tetapkan.Apabila hasil kerja yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan standar kerja atau bahkan melebihi standar maka dapat dikatakan kinerja itu mencapai prestasi yang baik.

Akademik adalah keadaan orang-orang bisa menyampaikan dan menerima gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan dan sekaligus dapat mengujinya secara jujur, terbuka dan leluasa (Fadjar,2002).

(8)

Rohayati 796 Kemampuan akademik siswa dapat tergambar dari pencapaian akademiknya. Pencapaian akademik merupakan fungsi akumulatif dari keluarga, masyarakat dan pengalaman sekolah baik masa lalu maupun saat ini (Rivkin, dkk., 2005). Hal tersebut didukung oleh pernyataan Dahar (2011) yang menyatakan bahwa prestasi atau pencapaian akademik siswa sebelumnya menunjukkan kemampuan dan kinerja akademik siswa di kelas sebelumnya.

Macam-Macam Kinerja Akademik

Kinerja akademik yang dilihat oleh peneliti dalam simulai kelainan hipermetropia antara lain sebagai berikut.

1. Membaca

Samsu Somadayo (2011), mengungkapkan bahwa membaca adalah suatu kegiatan interaktif untuk memetik serta memahami arti yang terkandung di dalam bahan tulis. Pendapat tersebut didukung Henry Guntur Taringan (2009), yang menjelaskan bahwa membaca adalah memahami pola-pola bahasa dari gambaran tulisannya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah proses pengasosiaan huruf, penerjemahan dan pemahaman makna isi bacaan.

Menurut Farida Rahim (2008), ada beberapa tujuan membaca yang mencakup kesenangan, menyempurnakan membaca nyaring, memperbaharui pengetahuannya tentang suatu topik, mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahuinya, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, dan lain-lain, sedangkan menurut Henry Guntur Taringan (2009), tujuan membaca adalah memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta, memperoleh ide-ide utama, membaca untuk menyimpulkan, mengelompokkan atau mengklarifikasi, serta menilai dan mengevaluasi.

Dari uraian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tujuan membaca yang paling utama adalah memperoleh informasi. Setelah informasi diperoleh pembaca akan melakukan tindak lanjut yang dapat berupa kegiatan menyimpulkan, menilai dan membandingkan isi bacaan.

Anderson (Sabarti Akhadiah, dkk., 1992), menjelaskan bahwa ada lima ciri membaca yaitu membaca adalah proses kontruktif, membaca harus lancar, membaca harus dilakukan dengan strategi yang tepat, membaca memerlukan motivasi, serta membaca merupakan keterampilan yang harus dikembangkan secara berkesinambungan.

2. Menulis

Menurut Suparno (2005), menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Sehingga menulis merupakan keterampilan produktif dengan menggunakan tulisan.

(9)

Rohayati 797 Langkah-langkah kegiatan menulis permulaan terbagi ke dalam dua kelompok, yakni mengenal huruf dan latihan. Pengenalan huruf kegiatan ini dilaksanakan bersama dengan kegiatan pembelajaran membaca permulaan. Penekanan pembelajaran diarahkan pada pengenalan bentuk tulisan serta pelafalannya dengan benar. Fungsi pengenalan ini dimaksudkan untuk melatih indra siswa dalam mengenal dan membedakan bentuk dan lambang-lambang tulisan. 3. Menggambar

Menggambar adalah kegiatan-kegiatan membentuk imaji, dengan menggunakan banyak pilihan tekhnik dan alat. Bisa pula berarti membuat tanda-tanda tertentu diatas permukaan dengan mengolah goresan dari alat gambar.

Definisi Simulasi

Simulasi berasal dari kata Simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat seakan-akan. Simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip atau keterampilan tertentu (Sanjaya, 2008). Menurut Sa’ud (2005) Simulasi dalam perspektif model pembelajaran adalah sebuah reflikasi atau visualisasi dari perilaku sebuah sistem, misalnya sebuah perencanaan pendidikan, yang berjalan pada kurun waktu yang tertentu.

Jadi, dapat dikatakana bahwa simulasi itu adalah sebuah model yang berisi seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama dari sistem kehidupan yang sebenarnya. Simulasi kemungkinan keputusan-keputusan yang menentukan bagian ciri-ciri utama itu bisa dimodifikasi secara langsung.

Metode pembelajaran simulasi merupakan metode pembelajaran yang membuat suatu peniruan terhadap sesuatu yang nyata, terhadap keadaan sekelilingnya (state of affaris) atau proses (Sudjana, 2009).

METODE PENELITIAN

Waktu, Tempat dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Swasta yaitu Sekolah Dasar Jembar Bandung, sekolah ini didirikan pada tahun 1971 yang berlokasi di Propinsi Jawa Barat Kabupaten Kota Bandung Kecamatan Batununggal Desa Kebon Waru terletak di jalan Jatinegara No.1 yang merupakan salah satu SD dengan luas wilayah 150 m². SD Jembar Bandung ini mepunyai 6 ruang kelas dengan jumlah siswa seluruhnya 81 siswa, selain itu Guru yang mengajar di SD Jembar ini berjumlah 7 orang Guru. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2018.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik. Peneliti akan melakukan pengukuran variabel independen dan dependen, kemudian akan menganalisa data yang terkumpul untuk mencari hubungan antara variabel.

Teknik Pengumpulan Data

(10)

Rohayati 798 ini dilakukan di Sekolah Dasar Jembar Bandung dalam rentang waktu bulan Februari sampai bulan Mei 2018. Sampel penelitian ini menggunakan metode total samping. Dalam penelitian ini sampel yang diteliti adalah siswa dan siswi kelas3, 4 dan 5 sebanyak 42 orang. Sampel diambil berdasarkan kriteria yang telah ditentukan peneliti yaitu responden dengan mata normal (emmetropia) dan visus mencapai 6/6.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitin ini menggunakan teknik analisis univariate dan bivariate.

Responden disimulasikan seolah-olah mengalami kelainan hipermetropia dengan klasifikasi hipermetropia ringan, sedang, dan berat peneliti melihat apakah akan mempengaruhi kinerja akademik. Penelitian ini membahas tentang hubungan derajat kelainan hipermetropia dengan kinerja akademik menggunakan metode simulasi pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.

Secara skematis penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut.

Peneliti akan melakukan pengukuran variabel independen dan dependen, kemudian akan menganalisa data yang terkumpul untuk mencari hubungan antara variabel. Dalam penelitian ini bertujuan melihat adanya gambaran fungsi penglihatan hipermetropia pada orang simulasi hipermetropia ringan, sedang dan berat. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran antara gelaja satu dengan gejala yang lain, atau variabel satu dengan variabel yang lain (Notoatmodjo, 2012).

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi eksperimental, dalam observasi ini responden dicoba atau dimasukan ke dalam suatu kondisi atau situasi tertentu. Kondisi dan situasi tertentu diciptakan sedemikian rupa sehingga gejala atau perilaku yang akan dicari atau diamati akan timbul. Dengan mengkondisikan kedua bola mata pada orang emmetropia (mata normal) seolah-olah menyerupai keadaan hipermetropia dengan diberikan lensa koreksi ringan, sedang, dan berat. Setelah itu peneliti melihat kinerja akademik pasien dengan tes membaca, menulis, dan menggambar lalu menuliskan hasilnya dilembar observasi. Observasi dibantu oleh numerator yang memiliki kompetensi yang sama dengan peneliti. Kemudian peneliti melakukan penjelasan kepada numerator untuk menyamakan pemahaman (Notoatmodjo, 2012).

.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian mengenai Simulasi Kelainan Hipermetropia yang berhubungan dengan Kinerja Akademik pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018. Pengambilan data dengan menggunakan metode penelitian cross sectional data yang menyangkut variabel bebas atau resiko dan variabel terikat atau variabel akibat, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Selanjutnya data disajikan secara univariat dan bivariat, inklusi adalah kriteria atau

Simulasi Hipermetropia

(11)

Rohayati 799 ciri-ciri yang dapat digunakan setiap orang akan dijadikan sampel (Notoatmodjo 2010). Sampel yang diambil atau didapatkan dalam penelitian ini yaitu anak yang tidak memiliki kelainan refraksi yaitu mata normal (emmetropia) sebanyak 30 sampel.

Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, dan Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin di Sekolah Dasar Jembar Bandung dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Simulsi Kelainan Hipermetropia yang Berhubungan dengan Kinerja Akademik Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Usia Distribusi

Frekuensi Persentase

9 7 23,3%

10 13 43,3%

11 9 30,0%

12 1 3,3%

Total 30 100,0%

Jenis Kelamin Distribusi

Frekuensi Persentase

Laki-laki 16 53,3%

Perempuan 14 46,7%

Total 30 100,0%

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 30 responden, dengan kelompok usia antara 9 tahun sampai 12 tahun dengan kelompok usia terbanyak yaitu 10 tahun dengan jumlah 13 siswa (43,3%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin responden laki-lakisebanyak 16 siswa (53,3%) dan perempuan sebanyak 14 siswa (46,7%).

Merupakan analisa yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari variabel independen dan depeden tentang hubungan derajat kelainan hipermetropia dengan kinerja akademik (membaca) menggunakan metode simulasi pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung Tahun 2018. Dalam penyajian data analisa univariat berbentuk tabel distribusi frekuensi dari tiap-tiap variabel. Pada penelitian ini Simulasi Hipermetropia dilakukan pada 30 siswa masing-masing dengan 3 kategori hipermetropia yaitu : hipermetropia ringan, hipermetropia sedang dan hipermetropia berat, sehingga peneliti mendapatkan 90 data peneltian. Distribusi frekuensi simulasi hipermetropia dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Tabel Distribusi Frekuensi Simulasi Hipermetropia No. Derajat Hipermetropia Frekuensi Persentase

1 Hipermetropia Berat 30 33,3%

2 Hipermetropia Sedang 30 33,3%

3 Hipermetropia Ringan 30 33,3%

Total 90 100.,0%

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

(12)

Rohayati 800

Tabel 3. Tabel Distribusi Frekuensi Kinerja Akademik No. Kategori Frekuensi Persentase

1 Terganggu 32 35.6

2 Tidak Terganggu 58 64.4

Total 90 100.0

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 3 diatas menunjukan bahwa kinerja akademik yang terganggu sebanyak 32 responden (35,6%), dan kategori tidak terganggu sebanyak 58 responden (64,4%).

Tabel 4. Tabel Distribusi Frekuensi Aktivitas Akademik

No Kinerja Akademik Terganggu Tidak Terganggu Total

F % F % F %

1 Membaca 32 35,6 58 64,4 90 100,0

2 Menulis 31 34,4 59 65,6 90 100,0

3 Menggambar 30 33,3 60 66,7 90 100,0

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 4 diatas menunjukan bahwa kinerja akademik membaca yang terganggu sebanyak 32 responden (35,6%), dan kategori tidak terganggu sebanyak 58 responden (64,4%). Pada kinerja akademik menulis yang terganggu sebanyak 31 responden (34,4%) dan kategori tidak terganggu sebanyak 59 responden (65,6%). Pada kinerja akademik menggambar yang terganggu sebanyak 30 responden (33,3%) dan kategori tidak terganggu sebanyak 60 responden (66,7%).

Hasil analisa bivariat hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik sepeti membaca, menulis, dan menggambar dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini.

Tabel 5. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (Membaca)

Simulasi Hipermetropia Membaca Total P Value

Tidak Bisa Bisa

Hipermetropia Berat 28 2 30

P=0.000 < 0,05

93,3% 6,7% 100,0%

Hipermetropia Sedang 4 26 30

13,3% 86,7% 100,0%

Hipermetropia Ringan 0 30 30

.0% 100,0% 100,0%

Total 32 58 90

35,6% 64,4% 100,0%

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

(13)

Rohayati 801

Tabel 6. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (Menulis)

Simulasi Hipermetropia Menulis Total P Value Tidak Bisa Bisa

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 6 diatas menunjukan bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (menulis) pada hipermetropia ringan yang dinyatakan bisa menulis sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa menulis sebanyak 28 siswa (93,3%) dan dinyatakan bisa menulis sebanyak 2 siswa (6,7%).

Tabel 7. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (Menggambar)

Simulasi Hipermetropia Menggambar Total P

Tidak Bisa Bisa

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 7 diatas menunjukan bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (menggambar) pada hipermetropia ringan yang dinyatakan bisa menggambar sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa menggambar sebanyak 27 siswa (90,0%) dan dinyatakan bisa menggambar sebanyak 3 siswa (10,0%).

Tabel 8. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik

(14)

Rohayati 802

Lanjutan Tabel 8. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik

Simulasi Hipermetropia

Kinerja Akademik (Membaca, menulis dan

menggambar) Total P Value

Tidak Bisa Bisa

Hipermetropia Ringan 0 30 30

.0% 100,0% 100,0%

Total 32 58 90

35,6% 64,4% 100,0% Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 8 diatas menunjukan bahwa Simulasi dengan Kinerja Akademik dalam membaca, menulis dan menggambar pada hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa sebanyak 28 responden (93,3%), dan dinyatakan bisa sebanyak 2 responden (6,7%). Pada hipermetropia sedang yang dinyatakan tidak bisa sebanyak 4 responden (13,3%), dan dinyatakan bisa sebanyak 26 responden (86,7%). Pada hipermetropia ringan semua responden (100%) tidak mengalami gangguan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar).

Pembahasan

Penelitian ini dilakukan pada bulan 25 Mei tahun 2018 bertempat di SD Jembar Bandung. Pada penelitian ini Simulasi Hipermetropia dilakukan pada 30 siswa masing-masing dengan 3 kategori hipermetropia yaitu : hipermetropia ringan, hipermetropia sedang dan hipermetropia berat,sehingga peneliti mendapatkan 90 data peneltian.

Simulasi hipermetropia pada penelitian ini dilihat dari kinerja akademik dalam membaca, menulis dan menggambar. Apabila penglihatan siswa tidak terkoreksi sejak dini maka akan terganggu atau berpengaruh pada kinerja akademiknya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Charenton (2012), bahwa masalah penglihatan dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada komprehensi dan kinerja dalam membaca dan menulis, yang menyusun hampir tiga perempat kegiatan belajar di sekolah. Terdapat banyak studi yang menemukan hubungan antara gangguan penglihatan dan buruknya kinerja siswa di sekolah. Penglihatan merupakan bagian besar dari proses belajar, 80% dari apa yang anak-anak pelajari didapatkan melalui pemprosesan informasi secara visual. Untuk memastikan kemampuan anak-anak untuk belajar, penglihatan yang jelas dan nyaman adalah hal yang penting.

Hasil ini menunjukan bahwa simulasi hipermetropia berhubungan dengan kinerja akademik siswa. Kemampuan akademik yang meliputi menulis, membaca dan menggambar siswa akan menurun apabila semakin besar hipermetropia yang dialami siswa. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ilyas (2017), yaitu kelainan Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina yang mengakibatkan terganggunya penglihatan dekat penderitanya.

(15)

Rohayati 803 ini dapat menghasilkan pengurangan ketajaman visual jauh dan dekat nya tergantung pada kemampuan akomodatif pasien.

Menurut Jobke, 2008 salah satu gangguan tajam penglihatan pada anak adalah hipermetropia. Pada anak yang mengalami hipermetropia lebih mudah terkena ambliopia dibandingkan dengan miopia. Dari hasil penelitian di Jerman, menunjukan prevalensi kelainan refraksi hipermetropia berdasarkan klasifikasi usia 2-6 tahun, 7-11 tahun, dan 12-17 tahun dibedakan antara laki-laki dengan perempuan sebagai berikut; pada usia 2-6 tahun untuk laki-laki 8,3% dan perempuan 10,9%. Pada usia 7-11 tahun untuk laki-laki 5,6% dan untuk perempuan 7,2%. Pada usia 12-17 tahun untuk laki-laki 8,2% dan untuk perempuan 0,9%.

Aktivitas kerja dekat seperti membaca dan menulis dianggap sebagai tugas pendidikan terpenting yang di lakukan oleh anak-anak. Anak-anak menghabiskan waktu sekitar 4 sampai 5 jam setiap hari untuk kegiatan akademik selama jam sekolah, tugas dengan menggunakan jarak dekat sebanyak 54% dari kegiatan ini. Studi ini menunjukan bahwa, rata-rata siswa tetap terjaga konstan mendekati fiksasi selama 16 menit setiap kalinya. Menurut Walton HN (1978) kurangnya konsesus mengenai tingkat minimum hipermetropia yang tidak terkoreksi secara negatif akan mempengaruhi kemampuan membaca atau prestasi Akademik umum pada anak-anak (Ritty JM,1993).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Simulasi Kelainan Hipermetropia yang Berhubungan dengan Kinerja Akademik pada Siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung Tahun 2018, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan simulasi hipermetropia dengan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar) pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung 2018.

Saran

1. Bagi Sekolah Dasar Jembar Bandung

Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak sekolah yaitu kelinan refraksi sehingga dapat dijadikan dasar dalam meningkatkan status kesehatan untuk siswa yang mengalami kelaianan hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja Akademik dilihat dari membaca, menulis, dan menggambar.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang Simulasi Kelainan Hipermetropia Yang Berhubungan Dengan Kinerja Akademik dalam waktu yang lebih lama agar hasilnya lebih efektif. Untuk penelitian selanjutnya menggunakan teknik mix method, yaitu dengan pengumpulan data secara kualitatif dan kuantitatif.

3. Bagi Institusi Pendidikan

(16)

Rohayati 804 Kinerja Akademik (membaca, menulis, dan menggambar) pada Siswa Sekolah Dasar.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson. (Sabarti Akhadiah, dkk). 1992. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4. (Online) https://media.neliti.com/media/publications/121403-ID-penggunaan-metode-latihan-untuk-katkan.pdf. Diakses pada tanggal 04 Maret 2018.

Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Charenton. 2012. The Social and Economic Impact of Poor Vision, The Boston

Consulting Group and Essilor. (Online)

http://wisuda.unud.ac.id/pdf/1002006154-2-JURNAL%20TANTRA.pdf. Diakses pada tanggal 09 Febuari 2018.

Dahar, M.A. 2011. Relationship Between The School Resuorce Inputs and Academic Achievement of Student at Secondary Level in Pakistan. Thesis. Islamabad: Higher Education Commision Pakistan.

Fadjar. 2002. Sistem Informasi Akademik. Yogyakarta: Andi Offset.

Farida Rahim. 2008. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi Askara.

Henry Guntur Taringan. 2009. Pengkajian Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Hedge, et al. 2015. Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh. (Online) http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/17660/6.BAB%20II.pdf. Diakses pada tanggal 14 Februari 2018.

Ilyas,S. 2017. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Kelima. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Khurana AK et al. 2007; Lang GK,2000. Comprehensive Opthalmology (Ebook) . 4th Ed. New Dellhi: New Age International.

Krisnawati, N dan Suryani,Y. 2010. Bahan Dasar untuk Pelayanan Konseling pada Satuan Pendidikan Mencegah Jilid III. Jakarta: Grasindo, (Online) http://www.researchgate.net/profile/Ahmad_Fauzi28/publication/312167973_PE NGARUH_KEMAMPUAN_AKADEKIK. Diakses pada tanggal 16 Februari 2018.

McGrew, K.S. 2008. Beyond IQ: A Model of Academic Competence & Motivation (MACM). (Online)

http://www.researchgate.net/profile/Ahmad_Fauzi28/publication/312167973_pe ngaruh-kemampuan-akadekik. Diakses pada tanggal 16 Februari 2018.

Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan

Menyenangkan. (Online)

http://emprints.uny.ac.id/7965/3/bab%202%20-10504247012.pdf. Diakses pada tanggal 12 Febuari 20118.

Notoatmodjo,S. 2012. MetodologiPenelitianKesehatan. Jakarta: RinekaCipta.

Ritty JM. 1993. Impact of Simulated Hyperopia On Academic-Related Performance in Childern. (Online)

http://jurnals.lww.com/optvissci/fulltext/2015/02000/Impact_of_Simulated_Hyp eropia_on_Academic_Related.17.aspx. Diakses pada tanggal 09 Febuari 2018. Rivkin, S.G., Hanushek,E.A., danKrain, J.F.2005. Teacher, Scool and Academic

(17)

Rohayati 805 http://www.researchgate.net/profile/Ahmad_Fauzi28/publication/312167973_PE NGARUH_KEMAMPUAN_AKADEKIK. Diakses pada tanggal 16 Februari 2018.

Saboe. 2009. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prevalensi Kelainan Refraksi Pada Anak. (Online)

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/17660/6.BAB%20II.pdf. Diakses pada tanggal 14 Februari 2018.

Samsu Somadayo. 2011. Strategi dan Tekhnik Pembelajaran Membaca. Yoyakarta: Graha Ilmu.

Semi. 2007. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4 No.8 ISSN 2354-614X (Online) https://media.neliti.com/media/publications/121403-ID-penggunaan-metode-latihan-untuk-katkan.pdf. Diakses pada tanggal 04 Maret 2018.

Suparno. 2005. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4 (Online)

Gambar

Gambar 1. Kondisi Mata Saat Mengalami Kelainan Hipermetropia
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Simulsi Kelainan Hipermetropia yang
Tabel 3. Tabel Distribusi Frekuensi Kinerja Akademik
Tabel 6. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (Menulis)

Referensi

Dokumen terkait

Individu atau beberapa anggota kelompok usaha dapat terdaftar secara legal dan memperbolehkan mereka membuat profit Kelompok usaha sepakat bahwa Individu atau beberapa anggota

1) Adanya dukungan Pemerintah Kabupaten Maros di bidang Komunikasi dan Informasi melalui Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan

yang nantinya menginkubasi perusahaan pemula dalam industri hilir kelapa sawit dan memberikan layanan bisnis dan teknologi kepada UMKM yang sudah ada. Berperan

Alat Analisis : Regresi Linier Berganda Variabel Dependen : Keputusan Pembelian Variabel Independen : Produk, Harga, Promosi, Tempat, Partisipan, Proses, Bukti Fisik Variabel

Hal ini sesuai dengan Suwarna (2006:77) yang menyatakan bahwa memberi penguatan bertujuan untuk 1) meningkatkan perhatian siswa pada pembelajaran; 2) meningkatkan motivasi

Dari sekitar 300.000 jenis tanaman yang tersebar di muka bumi ini, masing-masing tanaman mengan- dung satu atau lebih mikroba endofit yang terdiri dari bakteri dan jamur (Stro bel

And yet, Katherine Duncan-Jones, in her 1997 Arden edition of the sonnets, refused to let Thorpe stand as the only begetter of his tortuous dedication, suggesting instead that,

Already head and shoulders under the hood, Gray simply turned his head and gave her a dry look.. Brianna bit her lip as she watched