• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN TIM KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN TIM KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

TIM KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI

DALAM RANGKA MENDAPATKAN MASUKAN

TERKAIT RUU TENTANG BUMN

KE UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM)

DI PROVINSI D. I. YOGYAKARTA

PADA MASA PERSIDANGAN III

TAHUN SIDANG 2014-2015

(2)

LAPORAN

KUNJUNGAN KERJA KOMISI VI DPR RI

DALAM RANGKA MENDAPATKAN MASUKAN TERKAIT RUU TENTANG BUMN KE UNIVERSITAS GADJAH MADA (UGM)

DI PROVINSI D. I. YOGYAKARTA

Pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2014-2015 Tanggal 20 – 22 April 2015

I. PENDAHULUAN

A. Dasar Kunjungan Kerja

1. Rapat Internal Komisi VI DPR RI pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2014-2015 pada tanggal 24 Maret 2015.

2. Surat Tugas Nomor: ST/22/KOM.VI/DPR RI/IV/2015, tanggal 14 April 2015 tentang Penugasan Anggota Komisi VI DPR RI untuk melakukan Kunjungan Kerja dalam Masa Persidangan III Tahun Sidang 2014 – 2015 ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Ruang Lingkup

Laporan ini dimaksudkan untuk menyampaikan masukan terkait perubahan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, sebagai hasil temuan Komisi VI DPR RI dalam rangka memenuhi salah satu fungsi Dewan sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib dengan tujuan sebagai bahan masukan penyusunan RUU tentang BUMN, yang merupakan Prolegnas Prioritas 2015 nomor urut 19.

(3)

Narasumber adalah Civitas Akademika dari Universitas Gadjah Mada yaitu:

1. Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, MS 2. Dian Agung Wicaksono

3. Muhammad Edhie Purnawan, SE., MA., PhD

C. Susunan Anggota Tim Kunjungan Kerja

Susunan anggota Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI sebagai berikut:

1. Sdr. HERI GUNAWAN A-346 KETUA TIM/FGERINDRA 2. Sdr. DODI REZA ALEX NOERDIN, LIC ECON, MBA A-244 PIMPINAN/FPG

3. Sdr. ARIA BIMA A-176 ANGGOTA/FPDIP 4. Sdr. JULIARI P. BATUBARA A-168 ANGGOTA/FPDIP 5. Sdr. Ir. ERIKO SOTARDUGA B.P.S A-145 ANGGOTA/FPDIP

6. Sdr. EKA SASTRA A-257 ANGGOTA/FPG

7. Sdr. Ir. H. BAMBANG HARYO SOEKARTONO A-364 ANGGOTA/FGERINDRA 8. Sdr. SARTONO HUTOMO A-408 ANGGOTA/FPD

9. Sdri.DRA. HJ. TINA NUR ALAM, MM A-540 ANGGOTA/FPAN 10. Sdri.NENG EEM MARHAMAH ZULFA HIZ, S.Th.I A-45 ANGGOTA/FPKB 11. Sdr. TIFATUL SEMBIRING A-85 ANGGOTA/FPKS 12. Sdr. DWIAN PUJASWATI, SE SET.KOM.VI

13. Sdr. CDR BUJUNG SET.KOM.VI

14. Sdr. SAHAT ADITUA F. SILALAHI, ST, MBA P3DI

15. Sdr. K. ZULFAN ANDRIANSYAH, SH LEGAL DRAFTER 16. Sdri.FEBRI LIANY, SH, MH, MKn LEGAL DRAFTER

D. Jadwal Kegiatan

Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI pada masa persidangan III tahun 2014 – 2015 dilaksanakan pada tanggal 20 sampai dengan 21 April 2015. Jadwal kegiatan adalah sebagai berikut:

(4)

NO HARI/TGL PUKUL A C A R A KET 1. Senin,

20-4-2015

18.00 WIB Tim KunKer Spesifik Komisi VI DPR RI berkumpul di Bandara Soekarna-Hatta Jakarta Terminal II F

Diatur oleh Set.Komisi VI

19.05 WIB Tim KunKer take off dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta dengan pesawat Garuda Airlines GA 206.

s.d.a

20.20 WIB Tiba di Bandara Internasional Adisu cipto Yogyakarta

20.20 – 21.00 WIB

Makan Malam

21.00 WIB Check In Hotel Tentrem Yogyakarta

2 Selasa, 21-4-2015

07.00 - 09.00 WIB Sarapan pagi di Hotel Tentrem sekaligus check out

09.00 - 09.30 WIB Tim Kunker menuju Universitas Gadjah Mada (UGM)

09.30 - 12.30 WIB Tim melaksanakan Focus Group

Discussion dengan Rektor dan jajaran Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) dan praktisi dari BUMN

12.00 – 14.00 WIB ISOMA (makan siang/sholat dhuhur) 14.00 – 16.30 WIB Peninjauan BUMN ke Lokasi rencana

Bandara di Kulonprogo

Tentatif

16.30 – 17.30 WIB Tim berangkat menuju Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta 18.20 WIB Tim Kunker take off dari Bandara

Internasional Adisucipto Yogyakarta menuju Bandara Soekarno-Hatta dengan Pesawat Garuda Airlines GA 215

19.40 WIB Tim Kunker tiba di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta

(5)

II. ISI LAPORAN

A. PERMASALAHAN TERKAIT RUU TENTANG BUMN

Perubahan terhadap UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN didasarkan pada beberapa hal penting dan strategis serta permasalahan-permasalahan yang teridentifikasi pada praktek BUMN, yaitu sebagai berikut:

1. Penafsiran direksi BUMN mengenai praktek perusahaan yang mengacu pada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas menyebabkan BUMN banyak kehilangan aset melalui penjualan yang tidak melalui mekanisme persetujuan DPR. Padahal sesuai dengan ketentuan pada UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, dan termasuk ke dalam ruang lingkup keuangan negara. Status keuangan negara ini juga diperkuat oleh putusan MK No No. 62/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pemisahan kekayaan negara tersebut tidak menjadikan beralih kepemilikan menjadi kekayaan BUMN dan terlepas dari kekayaan Negara. Oleh karena itu praktek penjualan aset BUMN harus melalui mekanisme persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengawasan aset ini juga perlu diperkuat hingga jaringan cabang-cabang BUMN yang beroperasi di daerah.

2. Praktek BUMN yang mengacu pada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga membawa penafisiran bahwa status anak perusahaan bukan lagi merupakan BUMN.

3. Pembentukan anak perusahaan BUMN juga sudah melebar kepada bidang usaha yang bukan merupakan core business dari BUMN.

(6)

4. Pembentukan holding BUMN yang menyebabkan status BUMN menjadi anak perusahaan, berpotensi menyebabkan kehilangan aset negara. Hal ini disebabkan oleh penafsiran status anak perusahaan yang bukan lagi BUMN menyebabkan status aset tersebut bukan lagi merupakan aset negara melainkan menjadi aset anak perusahaan.

5. Rumusan privatisasi banyak yang merugikan kepentingan nasional karena membuat komposisi kepemilikan saham pemerintah di BUMN menjadi kurang dari 50 persen. Sebagai akibatnya Pemerintah tidak lagi memiliki kendali atas BUMN tersebut. Ke depannya usaha privatisasi tidak boleh membuat Pemerintah kehilangan kendali atas BUMN dan dalam penerbitan saham baru harus mengutamakan perusahaan swasta nasional. 6. Belum adanya mekanisme reward and punishment kepada

jajaran direksi dalam rangka menjalankan praktek good corporate

governance.

7. Pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), masih berpedoman pada UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dimana menyatakan bahwa PKBL dibebankan menjadi komponen biaya perusahaan. Padahal seharusnya PKBL ini diambil dari keuntungan perusahaan sebagaimana diatur dalam UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. 8. Transaksi yang dilakukan BUMN kepada pihak lain banyak yang menggunakan kurs mata uang asing. Hal ini berdampak pada potensi kerugian yang dialami BUMN pada saat nilai tukar rupiah melemah.

9. Peninjauan kembali kewenangan Menteri yang dapat memberikan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum yang dapat mewakili menteri dalam RUPS.

(7)

B. Masukan Akademisi Terkait RUU BUMN

1. Prof. Dr. NINDYO PRAMONO, SH, MS

 Adanya ketidakharmonisan antara UU di lingkup hukum publik seperti UU tentang Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Keuangan Negara, UU tentang BPK, UU tentang PBDN, berhadapan dengan UU di lingkup Hukum Perdata seperti UU tentang BUMN, UU tentang Yayasan, UU tentang LPS, UU tentang BI khususnya berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan kekayaan (negara) yang dipisahkan, sebagai modal awal Badan Hukum.

 Dari segi hukum KEPERDATAAN – TERMASUK HUKUM BISNIS, teori BADAN HUKUM seharusnya dipahami sebagai hukum khusus ( lex specialis ). Doktrin dan teori hukum bisnis adalah pemahaman yang seharusnya diterima sebagai pemahaman yang tepat. Kekayaan negara yang dipisahkan menjadi modal awal BUMN akan berubah wujud menjadi saham atau modal. Saham negara di BUMN masih dapat ditafsirkan sebagai bagian dari kekayaan negara tetapi pendekatan hukumnya harus menggunakan pendekatan hukum saham. Hukum saham berada dalam ranah hukum PT.

 Jika terjadi perbedaan atau pertentangan antara dua atau lebih UU yang mengatur hal yang sama akan berlaku asas Lex

posteriori derogat legi priori dan Lex specialis derogat legi generali, lex posteriori derogat legi priori.

 Adanya Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 yang ditujukan ke Menteri Keuangan terkait ketentuan Pasal 1 angka 1 UU tentang BUMN, Pasal 4 ayat (1) dan penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU tentang BUMN dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 UU tentang Perbendaharaan Negara jis Pasal 8 UU No. 49 Prp tahun 1960 tentang PUPN dan Pasal 1 huruf g UU tentang Keuangan

(8)

negara, dengan adanya UU tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g UU tentang Keuangan Negara khusus mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah “ menjadi tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

 Putusan MK Nomor 77/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara tanggal 25 September 2012, memutuskan antara lain bahwa Piutang BUMN (Persero) yang semula masuk dalam kategori piutang negara, dengan putusan MK tidak lagi masuk dalam kategori piutang negara.

Putusan MK sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (5) UU PBN yang menyatakan bahwa Piutang Negara itu adalah hak Pemerintah Pusat, sedangkan Piutang Perbankan Milik Megara yang sudah berbadan hukum PT adalah milik Perbankan PT itu sendiri sebagai Badan Hukum. Pasal tersebut hanya menyebutkan Piutang Perbankan Milik Negara (Perbankan PT Persero Tbk), tidak termasuk PT Persero lainnya.

Definisi Piutang Negara sebagaimana diatur dalam UU tentang Perbendaharaan Negara tersebut tidak ikut diuji ke MK, yang diuji adalah UU No.49 Prp 1960 tentang PUPN, sehingga orang masih bisa berdebat terhadap keberlakuan definisi Piutang Negara dalam UU tentang Perbendaharaan negara.

 PT ( termasuk PT Persero ) adalah badan hukum. Salah satu ciri dasar badan hukum adalah adanya kekayaan terpisah, yaitu kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi si pendiri badan hukum tersebut. Yang diartikan dengan “ dipisahkan “ di sini adalah di “ split “ atau dibelah atau dibagi, terlepas sama sekali dari kekayaan si pendiri tersebut.

Bagian deviden dibagi sesuai dengan kepemilikan sahamnya. Itulah yang menjadi haknya, YANG MENJADI BAGIAN DARI KEKAYAANNYA. Deviden masuk kembali ke dalam keuangan

(9)

negara dan dapat diberlakukan hukum umum atau hukum publik yang berkaitan dengan keuangan negara/kekayaan negara. Jika deviden tidak disetor ke kas negara, maka itu berarti ada kerugian negara.

Demikian pula jika laporan pertanggungjawaban Direksi dirasa tidak dapat diterima oleh RUPS, maka RUPS bisa menolak laporan pertanggungjawaban itu dan melakukan tuntutan hukum berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Bisa menggugat, bisa melaporkan adanya penyalahgunaan wewenang dan sebagainya dengan disertai alat bukti yang kuat.  Posisi Negara sebagai pemberi modal BUMN akan berubah

sebagai Pemegang saham dan Pemilik Modal. PT (Persero ) adalah suatu entitas hukum mandiri ( persona standi in judicio ). Menurut hukum PT, Negara di sini berstatus sebagai pemegang saham, bukan sebagai negara lagi. Hakekat “ pemisahan “ adalah “ hibah”, pemberian.

 Fisosofi “ mengelola “ tidak harus diartikan “ memiliki “. Konstruksi “ mengelola “ ( Beheerdaad ) dapat saja bermakna melalui jalan atau mekanisme korporasi, yaitu dengan status Pemegang saham yang diwakili oleh Meneg BUMN/Menkeu. Hak-hak sebagai Pemegang Saham yang demikian banyak semua melekat di Negara sebagai Pemegang Saham.

 Pasal 2 angka 7 UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara menyatakan bahwa Penyelenggara Negara meliputi : 1). Pejabat Negara pada lembaga Tertinggi Negara; 2). Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3). Menteri; 4). Gubernur; 5). Hakim; 6). Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan per-uu-an yg berlaku; dan 7). Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan per-uu-an yang berlaku.

Penjelasan angka 7 : Yang dimaksud dengan Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis adalah pejabat yang tugas dan

(10)

wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek KKN, yang meliputi : 1). Direksi, Komisaris, Pejabat strtuktural lainnya pada BUMN dan BUMD, 2). Pimpinan BI; 3). Pimpinan PT Negeri, 4). Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara RI; 5). Jaksa; 6). Penyidik; 7). Penitera Pengadilan; Pemimpin dan Bendaharawan Proyek.

DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS MASUK DALAM KATEGORI PENYELENGGARA NEGARA vs DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS ADALAH ORGAN PT .

Pemahaman BUMN adalah organ penyelenggaraan negara adalah sebuah pemikiran yang “ rancu “. Paradigma penyelenggaraan negara jelas berbeda dengan paradigma pengurus perusahaan atau BUMN. Bisa dibayangkan betapa ruwetnya, jika korporasi harus dikelola dengan model : birokrasi  Dikaitkan dengan Judgment Rule UU No.49 Prp/60, MK

memahami piutang BUMN bukan lagi Piutang Negara tetapi Piutang Perusahaan. Bagaimana bisa terjadi kemudian kekayaan BUMN bukan lagi kekayaan BUMN, namun masih merupakan bagian kekayaan negara.

“ Bingung “, di satu pihak sebagai BUMN dalam rezim Hukum kepailitan bisa masuk dalam ranah pailit, disisi lain dalam rezim aset negara/daerah tidak bisa disita. Paradigma Bussiness

Judgment Rules tidak tumbuh dengan Paradigma Government Judgment Rules dan itu dijadikan pertimbangan Hakim MK

dalam memutus Judgment Rules UU BPK dan UU

Perbendaharaan Negara.

 Jika pemahaman BUMN tidak sepenuhnya sebagai korporasi, akibat adanya ketidakharmonisan kaedah sebagaimana dibahas di atas, maka hak terkait dengan definisi BUMN, Peraturan turunannya seperti : Peraturan Tentang Tata Cara Pengahapusbukuan Aktiva dsb, cukup dengan persetujuan

(11)

RUPS menjadi dapat dipandang kurang tepat, sedangkan dari hukum korporasi : itu yang tepat !.

 Penyertaan modal negara yang selalu diartikan dengan “ uang “ disebabkan karena tidak dipahaminya teori tentang hukum perseroan. Teori penyertaan yg disebut “ quasi inbreng “ adalah jalan keluar bentuk penyertaan yang bukan uang dan itu sudah ada sejak adanya teori tentang perusahaan, sehingga penyertaan modal negara tidak selalu berarti dalam bentuk uang.

2. DIAN AGUNG WICAKSONO

a. Reorientasi Keuntungan Negara dalam Falsafah BUMN

 Perlu diperhatikan kembali mengenai konsepsi demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan sebagaimana menjadi ruh pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (vide Putusan MK No. 62/PUU-XI/2013);

 Guna mengejar ketinggalan dan kemajuan di bidang perekonomian penyelengaraan ekonomi berdasarkan prinsip efisiensi dengan tetap mempertimbangkan keadilan yang merupakan kebutuhan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

 Maksud dari keadilan tersebut upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat di tengah-tengah kebutuhan manusia yang tak terbatas, sedangkan sumber pemenuhan kebutuhan sangfat terbatas;

 BUMN harus melakukan reorientasi mencari keuntungan, dengan tetap mempertahankan pertimbangan keadilan untuk kesejahteraan rakyat.

(12)

b. Ambiguitas Menteri Pemegang Saham/Pemilik Modal

 Perlu diperhatikan Lampiran II angka 212 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggra negara lain, kecuali jika oleh UU yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu;

 Dengan demikian Menteri BUMN tidak dapat dilimpahi kewenangan dari PP, mengingat kewenangan Menteri Keuangan diberikan oleh UU.

c. Ambigiutas Menteri Teknis Potensi Redudansi Antar kementerian

 Menteri Teknis adalah Menteri yang mempunyai kewenangan mengatur kebijakan sektor tempat BUMN melakukan kegiatan usaha (vide Pasal 1 angka 6 UU BUMN);

 Menimbulkan kerancuan dan menimbulkan permasalahan sektoral siapa yang dituju karena dimungkinkan terdapat lebih dari 1 (satu) Menteri Teknis.

d. Stigmatisasi Pertanggungjawaban Keuangan Negara

 Reformulasi delik tindak pidana korupsi agar tidak menjerat orang-orang dalam organ BUMN yang memang memilki iktikad baik, tidak ingin memperkaya diri sendiri ataupun menggunakan pihak lain, walaupun menimbulkan kerugian negara;

 Diperlukan reformulasi apakah kerugian BUMN perlu dimasukkan dalam dikotomi kerugian negara. Mengingat terdapat business judgment rules sebagai pembenar tindakan korporasi yang terukur dalam tata kelola korporasi;

(13)

 Terkait esensi penguasaan negara, maka modal BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan tidak dapat dilepaskan dari rezim kekayaan negara sebagai bagian dari keuangan negara.

e. Revitalisasi Hak Menguasai Negara dalam Lingkup BUMN

 Bila BUMN didekati dengan perspektif Hak Menguasai Negara (HMN), yang bearti salah satu wujud kewenangan tersebut adalah melakukan pengurusan (bestuurdaad), maka hal ini harus menjadi domain dari Negara. Dengan demikian, Direksi berarti melaksanakan salah satu kewenangan HMN yang harus dilakukan oleh Negara secara mutlak. Hal ini menjadi penting diperhatikan, yang

mutatis mutandis berdampak pada mekanisme pengisian

Direksi;

 Wujud kewenangan HMN lainnya adalah melakukan pengawasan, maka hal ini harus menjadi domain dari Negara. Dengan demikian, Komisaris atau Dewan Pengawas berarti melaksanakan kewenangan HMN yang harus dilakukan oleh Negara secara mutlak. Hal ini penting diperhatikan, yang mutatis mutandis berdampak pada mekanisme pengisian Komisaris dan Dewan Pengawas.

f. Contradictio In Propositum dalam Ketentuan Privatisasi BUMN  Rumusan privatisasi tidak tepat karena memungkinkan

menjual seluruhnya, mengingat bahwa Persero adalah BUMN yang modalnya terbagi saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki Negara;

 Bila mengacu pada definisi privatisasi, maka jika privatisasi seluruhnya, apakah masih dapat disebut sebagai BUMN Persero.

(14)

g. Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Norma UU BUMN  Hal yang harus daitur bagaimana mengukur tujuan pendirian

BUMN? Siapa yang melakukan pengawasan atas dipenuhi/tidaknya maksud dan tujuan pendirian BUMN;  Penyertaan Modal Negara (PMN) harus melalui persetujuan

DPR sebagai bentuk fungsi pengawasan DPR, mengingat dananya berasal dari APBN;

3. MUHAMMAD EDHIE PURNAWAN, SE., MA., PhD

 BUMN yang akan kita bentuk sebaiknya tidak berada ditengah-tengah seperti halnya sekarang, harus diperjelas pemisahan BUMN yang untuk pelayanan publik dan BUMN yang profit

oriented ;

 Pengelolaan BUMN Persero harus menciptakan profit, kenapa laba itu penting Karena laba dapat menyelesaikan banyak sekali persoalan‐persoalan sosial atau menciptakan solusi‐solusi.

III. KESIMPULAN

Komisi VI DPR RI menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara berdasarkan berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pengelolaan BUMN yang terjadi dan didukung masukan dari para akademisi Universitas Gadjah Mada yang menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara.

(15)

IV. PENUTUP

Demikianlah gambaran laporan Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI pada masa persidangan III tahun 2014 – 2015 untuk mendapatkan masukan terkait RUU tentang Badan Usaha Milik Negara.

Jakarta, 4 Mei 2015

Ketua Tim Komisi VI DPR RI

Referensi

Dokumen terkait

Mrežni rječnik elexiko (v. Klosa 2011, Klosa 2014) projekt je Instituta za njemački jezik (Institut für Deutsche Sprache, IDS) u Mannheimu i pristup mu je slobodan.. Izvorno

Untuk itu, pelayanan bimbingan dan konseling sangat berperan penting dalam hal ini dengan memberikan layanan informasi mengenai kesehatan reproduksi (kespro) pada

29 Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa sifat dari konjungsi adalah bernilai benar jika kedua pernyataan penyusun dari peryataan majemuk keduanya bernilai benar..

Secara khusus, kunjungan kerja spesifik Komisi VI DPR RI ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan dan permasalahan yang dihadapi oleh PT Perusahaan Listrik

Untuk mengetahui adanya hubungan antara studi ergonomi layout dapur terhadap pengeluaran energi pekerja katering yang dibandingkan dengan perhitungan kebutuhan

Maksud kunjungan kerja spesifik Komisi VI DPR RI adalah untuk mengetahu kondisi kondisi aktual, permasalahan serta tantangan yang dihadapi oleh PT Semen

Penggunaan jumlah katalis 0,3% ini tidak mampu menghasilkan yield crude biodiesel yang cukup tinggi dibandingkan penambahan jumlah katalis 0,4% dan 0,5% meskipun