• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABAIKAN EKS PENDERITA KUSTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABAIKAN EKS PENDERITA KUSTA"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

Jangan

ABAIKAN EKS

PENDERITA KUSTA

(2)

JANGAN ABAIKAN EKS PENDERITA KUSTA

Copyright@penulis 2017

Penulis

Dr. Nurysnti Mustari, S.IP., M.Si. Editor

Dr. Hj. Ihyani Malik, S.Sos., M.Si.

Tata Letak Mutmainnah viii+90 halaman 14.5 x 20.5 Cetakan I : Oktober 2017 ISBN :

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini tanpa izin tertulis penerbit

Penerbit Syahadah

Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo Kompleks RAMA Residence Blok B No.9 Watampone - Sulawesi Selatan - Indonesia

(3)
(4)

iii

Kata Pengantar

Alhamdulillah wa syukurillah penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan buku Jangan abaikan Eks Penderita Kusta.

Buku ini semoga menjadi inspirasi bagi semua pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat untuk memberikan bimbingan, pelayanan dan bantuan sosial agar mereka dapat meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk semangat juang dalam meraih kehidupan dan penghidupan yang lebih baik, serta menyadarkan pada tanggung jawab diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan Negara sehingga dapat berperan aktif tanpa harus merasa canggung atau terbebani oleh ketunaan atau kelainannya. Dengan melakukan penelitian selama 2 tahun, dapat di formulasi model pemberdayaan penyandang disabilitas fisik eks penderita kusta dalam implementasi program Reduce, Reuse dan

Recycle (3R) melalui bank sampah di Kota Makassar.

Buku ini juga sebagai buku penunjang mata kuliah kebijakan publik, khususnya pada tahap implementasi kebijakan. Di dalam buku ini menguraikan efektifitas implementasi Perda Kota Makassar No. 4 Tahun 2011 tentang pengelolaan sampah dalam perspektif Model Kebijakan Publik Soren C.Winter.

Terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak khususnya mahasiswa Fisip Unismuh Makassar yang selalu menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan bacaan mereka.

(5)

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam buku ini. Karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan adanya masukan dan kritik konstruktif dari semua pihak guna perbaikan subtansi buku ini kedepan. Akhir kata, selamat membaca, semoga memberikan manfaat.

Makassar, 17 Oktober 2017

(6)

v

RINGKASAN

Buku ini disusun berdasarkan hasil penelitian penulis selama dua tahun. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menjawab permasalahan pokok yakni penyandang disabilitas kurang diberdayakan dalam melaksanakan kebijakan atau program pemerintah, karena adanya gangguan pada fisik mereka yang menghambat aktifitas sosial, ekonomi dan politik sehingga mengurangi haknya untuk beraktifitas penuh seperti masyarakat umumnya. Penelitian ini bertujuan melakukan validasi model pemberdayaan penyandang disabilitas Fisik dalam implementasi program Reuse, Reduce dan Recyle (3R) melalui Bank Sampah di Kota Makassar. Pada Tahun kedua ini Pengembangan Model pemberdayaan penyandang disabilitas fisik dilihat pada variabel (1) Perilaku Penyandang disabilitas fisik dan peran birokrat dalam mengimplementasik 3R, (2)Pengembangan Model pemberdayaan penyandang disabilitas fisik dengan pendekatan aksesibilitas non fisik dan rehabilitasi pelatihan, (3) koordinasi antar instansi yang dilihat pada sub indikator komunikasi, kerjasama dan tanggung jawab (4) kegiatan promosi dan pemasaran produk daur ulang sampah yang diolah oleh penyandang eks penderita kusta agar produk tersebut menjadi sesuatu yang berguna dan bernilai ekonomis dan dapat meningkatkan kesejahteraannya. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan jenis-jenis penelitian fenomenologis. Pengabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi. Pendekatan kualitatif didukung teknik observasi dan wawancara yang mendalam akan digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang valid. Hal

(7)

ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara komperhensif mengenai validasi model pemberdayaan penyandang disabilitas fisik dalam implementasi program pemerintah. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa perilaku implementor dalam hal ini Dinas Sosial dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar masih perlu meningkatkan kegiatan sosialisasi dan pemberian pelatihan keterampilan bagi penyandang disabilitas fisik. Perilaku penyandang disabilitas dengan adanya sosialisasi dan pelatihan, tidak membawa perubahan kesejahteraan yang signifikan sehingga tidak sedikit menjadi pengemis. Pendekatan pemberdayaan melaui sosialisasi terkait program 3R dilakukan cukup baik oleh Dinas Sosial dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar, akan tetapi tingkat partisipasi penyandang disabilitas fisik dalam mengelola sampah agar bernilai ekonomis masih perlu ditingkatkan. Sedangkan dari segi pendekatam rehabilitasi pelatihan, hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pemberdayaan pelatihan kerja belum cukup mampu mendorong penyandang disabilitas kea rah yang lebih berdaya. Selain itu, koordinasi atau hubungan horisontal antar Organisasi Perangkat Daerah belum cukup efektif dalam memberdayakan penyandang disabilitas fisik eks penderita kusta, koordinasi vertical antara Dinas Sosial dengan Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Keluraha serta Bank Sampah Unit (BSU) Dangko Mandiri sudah efektif, hanya terkendala pada terbatasanya akses penyandang cacat dalam pengangkutan sampah ke BSU serta kegiatan promosi dan pemasaran produk daur ulang sampah yang masih

(8)

vii DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... iii Ringkasan ... v Daftar isi... vii

BAB I KOMPOSISI DAN MASALAH PENYANDANG DISABILITAS ... 1 BAB 2 PEMBERDAYAAN PENYANDANG DISABILITAS

FISIK DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM REDUCE, REUSE DAN RECYCLE (3R): KAJIAN DAN ORIENTASI... 7 BAB 3 PERAN PEMERINTAH DAN PERUBAHAN

PERILAKU MASYARAKAT PENYANDANG DISABILITAS EKS PENDERITA KUSTA... 25 DAFTAR PUSTAKA ... 87

(9)
(10)

1 BAB 1

KOMPOSISI DAN MASALAH PENYANDANG DISABILITAS

(11)

Pemberdayaan menurut Parsons dalam Suharto (2010) adalah sebuah proses dimana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan dan mempengaruhi terhadap terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupan. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya. Pemberdayaan menurut Parsons pada intinya dilakukan sebagai proses memampukan diri seseorang sehingga ia dapat berpartisipasi serta dapat berpengaruh dalam kehidupannya.

Disabilitas merupakan orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dan rentan mengalami hambatan-hambatan yang dapat menghambat mereka untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.Maka, diperlukannya perlakuan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus mereka.

Penyandang disabilitas di Indonesia cukup banyak jumlahnya sehingga tidak boleh diabaikan keberadaannya. Berdasarkan catatan Kementerian Kesejahteraan Sosial, jumlah populasi penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 2.126.000 jiwa pada tahun 2012 dengan jenis kecacatan yang berbeda-beda. Sementara itu berdasarkan pendataan hasil kerja sama departemen sosial RI. dan surveyor Indonesia pada tahun 2008 bahwa terdapatnya jumlah penyandang disabilitas ( 34.510 orang ) di propinsi sulawesi selatan yang tersebar di 24 kota/ kabupaten.

Populasi penyandang disabilitas terdata di kota Makassar sebanyak 2.250 orang yang terdiri atas 1.794 orang penyandang disabilitas fisik, 242 orang penyandang disabilitas

(12)

3

mental dan 214 orang penyandang disabilitas fisik dan mental ( ganda ). terdiri atas : 1.390 laki-laki (62%) dan 860 perempuan ( 38% ). Sedangkan berdasarkan sensus BPS tahun 2010 jumlahpenyandang disabilitas di kota makassar jauh lebihbesar yaitu sebanyak 93.629 orang dengan klasifikasi yangberbeda- beda seperti tertera dalam tabel 1. dibawah ini:

Tabel 1:

Persentase Kaum Disabilitas di Kota Makassar

No Jenis Disabilitas Tingkat

Ketergantungan

Ringan Sedang Jumlah

1 Kesulitan Melihat (Disabilitas Netra) 40.855 2.757 43.612 2 Kesulitan Mendengar (Disabilitas Rungu /Wicara) 11.373 1.778 13.151 3 Kesulitan Berjalan/Naik Tangga (Disabilitas Daksa) 10.901 2.686 13.587 4 Kesulitan Mengingat /Berkonsentrasi /Berkomunikasi (Disabilitas Grahita ) 9.486 2.422 11.908 5 Kesulitan Mengurus Diri Sendiri (Disabilitas Ganda ) 8.786 2.585 11.371 TOTAL 81.401 12.228 93.629

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Makassar. 2010

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on

the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau Konvensi

(13)

Tahun 2011 lalu dengan dihadirkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Dimana Konvensi tersebut memuat mengenai hak-hak penyandang disabilitas dalam segala bidang aspek kehidupan. Sehingga, sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut, negara Indonesia wajib untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia dengan memberlakukan kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi kaum disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, baik terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, termasuk teknologi serta terhadap fasilitas dan layanan lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik bagi penyandang disabilitas.

Setiap penyandang disabilitas mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Termasuk kesempatan berkonstribusi dalam mendukung program pemerintah kota yang ada, dalam hal ini program pemerintah kota Makassar yang merupakan derivasi dari Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan 3R melalui Bank Sampah. Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 13 Tahun 2012, dijelaskan bahwa pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recyle atau batasi sampah, guna ulang sampah, dan daur ulang sampah (3R) adalah segala aktifitas yang mampu mengurangi segala sesuatu yang dapat menimbulkan sampah, kegiatan penggunaan kembali sampah yang layak pakai untuk fungsi yang sama atau fungsi yang lain, dan kegiatan mengolah sampah untuk dijadikan produk baru.Selanjutnya di ayat 2 dijelaskan bahwa bank sampah adalah tempat pemilahan dan pengumpulan sampah yang dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang yang memiliki nilai ekonomi. Program atau Kegiatan 3R sebenarnya sederhana, dapat

(14)

5

dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja serta tidak membutuhkan biaya yang besar. Hal ini juga menegaskan bahwa penyandang disabilitas punya peluang dan kesempata yang sama dengan masyarakat pada umumnya, dalam mengimplementasikan kegiatan 3R. Meski sederhana,namun dari 3R yang sederhana ini bisa memberikan dampak yang signifikan bagi penanganan sampah yang sering menjadi permasalahan di sekitar kita. Bahkan dengan upaya yang sungguh-sungguh, penyandang disabilitas dapat berdaya dan mandiri sehingga dapat meningkatkan kesejahteraanya. Sebagai program yang berdasar pada perubahan perilaku manusia, tentu 3R tidak semudah yang dibayangkan.Butuh perencanaan yang matang.Butuh komitmen kuat untuk penegakannya.Dan yang terpenting juga butuh dukungan kolektif dan komprehensif dari semua stakeholder tak terkecuali dalam hal ini masyarakat penyandang disabilitas. Di dalam buku ini akan dibahas tentang perilaku penyandang disabilitas fisik dalam implementasi program 3R, model pemberdayaan penyandang disabilitas fisik dengan pendekatan aksesiilitas non fisik dan rehabilitasi pelatihan, koordinasi antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam pemberdayan penyandang disabilitas fisik melalui bank sampah, dan pelaksanaan promosi dan pemasaran produk

(15)
(16)

7

BAB 2

PEMBERDAYAAN PENYANDANG

DISABILITAS FISIK DALAM IMPLEMENTASI

PROGRAM REDUCE, REUSE dan RECYCLE

(17)

2.1 Pengertian Pemberdayaan

Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah

empowerment berkembang diEropa mulai abad pertengahan,

terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, danawal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori- teoriyang berkembang belakangan. Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, Ife (1995)menyatakan bahwa :Empowerment is a process of helping

disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn anduse in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to „work the system,‟ and so on (Ife, 1995).

Definisi tersebut di atas mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiapindividu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapatmenyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Di sisi lain Paul (1987) dalam Prijono danPranarka (1996) mengatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaanyang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompokyang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasilpembangunan.”Sedangkan konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalamhal ini pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomipengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung.

(18)

9

2.2 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan. Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan nonmaterial. Sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai kegiatan membantuk lien untuk memperoleh daya guna mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya (Payne, 1997).

Sementara itu Ife (1995)memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka.

Sementara itu, Sutrisno (2000) menjelaskan, dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi wewenang untuk mengelola sendiri dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain, disamping mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. Perbedaannya dengan pembangunan partisipatif adalah keterlibatan kelompok masyarakat sebatas pada pemilihan, perencanaan, danpelaksanaan program, sedangkan dana tetap dikuasai oleh pemerintah. Meskipun rumusan konsep pemberdayaan berbeda- beda antara ahli yang satu dengan yang lainnya, tetapi pada intinya dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebagai

(19)

upaya berencana yang dirancang untuk merubah atau melakukan pembaruan pada suatu komunitas atau masyarakat dari kondisi ketidak berdayaan menjadi berdaya dengan menitik beratkan pada pembinaan potensi dan kemandirian masyarakat.

Menurut Kartasasmita (1997: 74) pemberdayaan masyarakat adalah upaya memperkuat dan meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu dengan mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, atau proses memampukan dan memandirikan masyarakat. Zubaedi (2007: 41-42) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat golongan masyarakat yang sedang dalam kondisi miskin, sehingga mereka dapat melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan masyarakat mencerminkan paradigma alternatif pembangunan yakni yang berpusat kepada rakyat, partisipasif, memberdayakan dan berkelanjutan (Chambers, 1993).

Dengan demikian mereka diharapkan mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam menentukan masa depan mereka, dimana provider dari pemerintah dan lembaga non government organization hanya mengambil posisi partisipan, stimulan, dan motivator.

2.3 Konsep Kebijakan

Kebijakan Publik Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkinya kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun local seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan

(20)

11

daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota. Dalam pembahasan ini penelitian menyajikan teori-teori kebijakan publik, pendekatan dalam studi kebijakan publik hingga proses kebijakan publik.

Kebijakan publik merupakan suatu ilmu multidisipliner karena melibatkan banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi kebijakan berkembang pada awal 1970-an terutama melalui tulisan Harold D. Laswell. Definisi dari kebijakan publik yang paling awal dikemukakan oleh Harold Laswell dan Abraham Kaplan dalam Howlett dan Ramesh (1995:2) yang mendefinisikan kebijakan publik/public

policy sebagai “suatu program yang diproyeksikan dengan

tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a

projected of goals, values, and practices)”.

Thomas R. Dye dalam Howlett dan Ramesh (2005:2), kebijakan publik adalah adalah “segala yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan perbedaan yang dihasilkannya (what government did, why they do it, and what

differences it makes)”. Dalam pemahaman bahwa “keputusan”

termasuk juga ketika pemerintah memutuskan untuk “tidak memutuskan” atau memutuskan untuk “tidak mengurus” suatu isu, maka pemahaman ini juga merujuk pada definisi Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008:185) yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan “segala sesuatu yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah”.

Senada dengan definisi Dye, George C. Edwards III dan Ira Sharkansky dalam Suwitri (2008: 9) juga menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan: Apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang dapat ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau dalam policy statement yang berbentuk pidato-pidato dan wacana yang diungkapkan pejabat politik dan pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan program-program dan tindakan pemerintah.

(21)

a. Tujuan Kebijakan Publik

Fungsi utama dari Negara adalah mewujudkan, menjalankan dan melaksanakan kebijaksanaan bagi seluruh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan tujuan-tujuan penting kebijakan pemerintah pada umumnya, yaitu:

1) Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator)

2) Memajukan perkembangan dari masyarakatdalam berbagai hal (Negara sebagai stimulator)

3) Memadukan berbagai aktivitas (Negara sebagai koordinator)

4) Menunjuk dan membagi benda material dan non material (Negara sebagai distributor).

b. Jenis Kebijakan Publik

Menurut James E. Anderson, kebijakan publik dapat di kelompokkan sebagai berikut :

1) Substantive Policies and Procedural Policies.

Substantive Policies adalah kebijakan yang

dilihat dari substansi masalah yang di hadapi oleh pemerintah . Misalnya: kebijakan politik luar negeri, kebijakan di bidang pendidikan, kebijakan ekonomi, dan sebagainya. Dengan demikian yang menjadi tekanan dari substansi policies adanya pokok masalahnya (subject matter) kebijakan. Procedural

Policies adalah suatu kebijakan yang dilihat dari

pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik, serta cara bagaimana suatu kebijakan publik diimplementasikan.

2) Distributive, Redistributive, and self Regulatory policies.

Distributive policies adalah suatu kebijakan yang

mengatur tentang pemberian pelayanan atau keuntungan bagi individu-individu, kelompok-kelompok, perusahaan-perusahaan atau masyarakat

(22)

13

tertentu. Redistributive Policies adalah kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-hak di antara kelas-kelas dan kelompok penduduk. Self Regulatory policies adalah kebijakan yang mengatur tentang pembatasan atau pelanggaran perbuatan atau tindakan bagi seseorang atau sekelompok orang.

3) Material Policies

Material Policies adalah kebijakan-kebijakan

tentang pengalokasian atau penyediaan sumber – sumber material yang nyata bagi para penerimanya, atau mengenakan beban-beban bagi mereka yang mengalokasikan sumber-sumber material tersebut.

4) Publik Goods and Private goods policies.

Publik goods policies adalah suatu kebijakan yang

mengatur tentang penyediaan barang-barang dan pelayanan-pelayanan untuk kepentingan orang banyak.

Private goods policies merupakan kebijakan-kebijakan

tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan untuk kepentingan perorangan yang tersedia di pasar bebas,dengan imbalan biaya tertentu.

Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pelaksanaan atau penerapan. Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kamus Webster, merumuskan bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carryingout (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practicia effect to (menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu). Pengertian tersebut mempunyai arti bahwa untuk mengimplementasikan sesuatu harus disertakan dengan sarana yang mendukung yang nantinya akan menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu itu.

(23)

Pengertian implementasi diatas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplementasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat,karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai didalam konsep,muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama adalah konsisitensi implementasi. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat beberapa teori implementasi kebijakan.

Implementasi kebijakan dapat dikatakan sebagai proses yang dinamis,dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan,sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Berikut akan dijelaskan mengenai konsep implementasi yang dipaparkan oleh beberapa ahli diantaranya Budi Winarno (2002), mengatakan bahwa implementasi kebijakan dibatasi sebagai menjangkau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu swasta (kelompok-kelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijaksanaan sebelumnya.

Makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solihin Abdul Wahab (2008:65), mengatakan bahwa : “implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan suatu fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk

(24)

15

mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat|dampak nyata bagi masyarakat atau kejadian-kejadian”.

Pandangan kedua ahli diatas dapat dikatakan bahwa suatu proses implementasi kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan suatu program yang telah ditetapkan serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran,melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan-kekutan politik,ekonomi dan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang terlibat sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan dan tidak diharapkan.

Van Meter dan Van Horn (Budi Winarno, 2002;102) membatasi implementasi kebijakan sebagai tidakan-tindakan yang dilakukan individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang arahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya, Micahel Howlet dan M. Ramesh (1995;11) dalam buku Subarsono (2006;13), bahwa

“implementasi kebijakan adalah proses untuk melakukan kebijakan supaya mencapai hasil.”. Dari defenesi diatas dapat

diketahui bahwa imlementasi kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan,aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan,dari hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis,dimana suatu pelaksana kebijakan melakuakan suatu aktivitas atau kegiatan,sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Kebrhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih. Meter dan Horn (subarsono 2006:99) mengemukakan bahwa terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni;

(25)

1) Standar dan sasaran kebijakan, di mana standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir apabila standar dan sasaran kebijakan kabur,

2) Sumberdaya, dimana implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.

3) Hubungan antar organisasi, yaitu dalam benyak program, implementor sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4) Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan, serta apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

6) Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu

(26)

17

aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Impelentasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah dianggap selesai. Berikut disini ada sedikit info tentang pengertian implentasi menurut para ahli. Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan.Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.” Subarsono (2008;89), mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu:

1. Teori George C. Edward

Dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu : a) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi

kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target

group), sehingga akan mengurangi distorsi imlpementasi. Sumberdaya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan

(27)

sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif.

b) Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya financial.

c) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Edward III (1980;98) menyatakan bahwa sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi dapat mempertimbangkan atau memperhatikan aspek penempatan pegawai (pelaksana) dan insentif .

d) Struktur Birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan (Edward III, 1980;125) Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari stuktur organisasi adalah Standard Operating

(28)

19

2. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatlier Teori ini berpendapat bahwa terdapat tiga kelompok variable yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu:

a) Karakteristik masalah (tractability of the problems):

1) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan dimana di satu pihak terdapat beberapa masalah social yang secara teknis mudah dipecahkan, seperti kekurangan persediaan air bersih bagi penduduk.

2) Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Hal ini berarti bahwa suatu program akan relative mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya adalah homogen, karena tingkat pemahaman kelompok sasaran relative sama.

3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, dimana sebuah program akan relative sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi dan sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah kelompok sasarannya tidak terlalu besar

4) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan dimana sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relative mudah diimplementasikan dibanding program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat. b) Karakteristik kebijakan (ability of statue to structure

implementation), yaitu :

1) Kejelasan isi kebijakan, yaitu, karena semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan, maka akan lebih mudah di implementasikan, karena implementor mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan nyata.

(29)

2) Beberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis, di mana kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat lebih mantap karena sudah teruji, meskipun untuk beberapa lingkungan tertentu perlu ada modifikasi.

3) Besarnya alokasi sumber daya financial terhadap kebijakan tersebut, di mana sumber daya keuangan adalah factor krusial untuk setiap program social, setiap program juga memerlukan dukungan staf untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program yang semuanya memerlukan biaya,

4) Seberapa besar adanya ketertarikan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana, di mana kegagalan kerja sering disebabkan oleh kurangnya koordinasi vertical dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam implementasi program.

5) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.

6) Tingkat komitmen aparat, terhadap tujuan kebijakan. Kasus korupsi yang terjadi di Negara-negara dunia ke tiga, khususnya Indonesia salah satu sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen aparat untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-program.

7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpastisipasi dalam implementasi kebijakan, di mana suatu program yang memberikan peluang luas bagi masyarakat untuk terlibat akan relative mendapat dukungan di banding program yang tidak melibatkan masyarakat.

(30)

21

c) Lingkungan kebijakan (nonstatutory variable effecting

implementation),yaitu:

1) Kondisi social ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi dimana masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relative mudah menerima program pembaharuan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional.

2) Dukungan publik sebuah kebijakan, dimana kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan public, sebaliknya kebijakan yang bersifat dis-intensif, misalnya kenaikan harga BBM akan kurang mendapatkan dukungan public.

3) Sikap dari kelompok pemilih (constituency

goups), dimana kelompok pemilih yang ada

dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara, yaitu kelompok dapat melakuakn intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah keputusan, dan kelempok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipubliksikan terhadap badan-badan pelaksana. 4) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat

dan implementor .pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial, sehingga aparat pelaksana harus memiliki keterampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya marealisasikan prioritas tujuan tersebut.

(31)

2.4 Implementasi Kebijakan Model Soren C. Winter

Model lain yang menarik yang juga termasuk dalam kategori generasi ketiga ini dan mendapat perhatian dari banyak ahli adalah “integrated implementation model” yang dikembangkan oleh Soren C Winter (2003). Mereka melihat implementasi sebagai suatu hal yang tidak berdiri sendiri, mereka memperkenalkan pandangannya sebagai “model integrated”. Model integrated menunjukkan bahwa sukses implementasi ditentukan mulai dari formulasi sampai evaluasi, yang dengan sendirinya berarti ada keterkaitan antara proses politik dan administrasi, sebagaimana terlihat pada gambar berikut

(32)

23

Jika merujuk pada model di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa implementasi kebijakan sangat dipengaruhi design kebijakan yang pada dasarnya lahir atau ditentukan oleh formulasi kebijakan itu sendiri. Hal yang lain juga dipengaruhi adalah keadaan social ekonomi masyarakat. Suatu kebijakan bisa jadierpengaruh dengan lingkungan dimana kebijakan itu dijalankan. Sementara itupula menurut Winter, implementasi itu sendiri berkaitan dengan perilaku antara organisasi terkait, perilaku birokrasi terdepan sebagai pelaksana kebijakan serta berhubungan dengan perilaku kelompok sasaran kebijakan.

Selanjutanya Winter mengemukakan tiga variable yang mempengaruhi keberhasilan proses implementasi yakni :

1. Perilaku Hubungan Antar Organisasi (Behavior

Relationships Between Organizations)

Dimensi-dimensinya adalah komitmen dan koordinasi antar organisasi. Penerapan kebijakan public dalam mencapai hasil yang optimal, jarang berlangsung dalam kelompok sendiri, tanpa menggunakan organisasi lain sebagai pendukung atau piranti pelaksanaan. Implementasi kebijakan memerlukan hubungan antar organisasi untuk membawa perubahan kebijakan umum ke dalam aturan yang jelas, dan ini berlangsung secara bekelanjutan dalam proses social yang dapat mengkonversi arah kebijakan melalui tindakan. Proses implementasi dapat diterapkan melalui banyak cara. Salah satu cara di antaranya adalah implementasi kebijakan dapat dipenuhi dalam satu organisasi. Tetapi, agar kinerja implementasi lebih efesien dan efektif, memerlukan kerjasama dan koordinasi dengan berbagai organisasi, atau bagian-bagian organisasi itu. Tingkat implementasi dapat ditempuh pada organisasi formal, sementara administrasi pemerintahan dapat diterapkan melalui hasil kebijakan.

Perkembangan hubungan antar organisasi belakangan kian popular, sehingga para praktisi dan sarjana melahirkan istilah “kolaboratif” yang

(33)

menentukan dan mempengaruhi hasil suatu program. Beberapa tahun terakhir muncul istilah yang lebih dikenal “jaringan” dan “manajemen jaringan”. Istilah ini secara keseluruhan dikenal dalam hubungan koordinasi antar organisasi yang dapat meningkatkan dan menentukan pola implementasi kebijakan.

Faktor selanjutnya adalah proses implementasi kebijakan organisasi ditandai oleh adanya komitmen dan koordinasi (winter, 2003). Tataran implementasi, komitmen dimaksud adalah kesepakatan bersama dengan intansi terkaitndalam menjaga stabilitas organisasi dan jaringan antar organisasi yang ada, dalam kaitannya dengan pelaksanaan program. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan munculnya rasa egoism di antara organisasi pelaksana program yang dapat mempengaruhi hasil akhir dari suatu implementasi. Kontribusi suatu organisasi terhadap implementasi sangat tergantung input yang diterima dari hubungan inter organisasi secara timbale balik dan saling tergantung satu sama lain. Dengan demikian, proses implementasi kebijakan dapat dicapai pada titik optimal dalam merealisasikan kebutuhan dan kepentingan.

Pada tataran koordinasi pola hubungan antar organisasi sangat urgen dan berpengaruh terhadap penetuan strategi suatu implementasi. Pengaturan suatu kebijakan public dapat diterapkan melalui dua atau lebih organisasi. Sebab, bagaimanapun, implementasi kebijakan sifatnya rumit, dan tantangan atas tindakan yang direncanakan lebih besar, sehingga kemungkinan untuk bekerja secara khas akan lebih rumit. Itulah sebabnya, kadangkala akibat kerumitan tadi membuat permasalahan kebijakan terbengkelai. Pemerintah belum bisa menerapkan kebijakan yang menyentuh akar permasalahan antara yang satu dengan lainnya.

(34)

25

2. Perilaku Birokrasi Tingkat Bawah (Street Level

Bureaucratic Behavior)

Dimensinya adalah diskresi. Variabel selanjutnya menjadi sektor kunci dalam implementasi kebijakan adalah perilaku birokrasi level bawah. Hal ini dimaksudkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan dan menjalankan program-program sebagai keputusan penting dengan menggunakan pengaruh yang lebih dominan siluar kewenangan formal (dikresi), sehingga menurut Lipsky (1980) perilaku pelaksanaan kebijakan secara sistematis adakalanya menyimpang dari tugas terkait dengan kewenangan selaku pelaksana kebijakan. Mereka lebih mengutamakan hubungan dengan masyarakat dalam penyampaian kebijakan. Karenba itu, birokrasi level bawqah menjadi actor yang esensial dalam implementasi kebijakan public, dan kinerjanya sangat konsisten dengan standar program yang berkaitan dengan aktivitasnya (Lipsky, 1980).

Kontribusi pemikiran Lipsky sangat penting untuk memahami model implementasi yang satu ini, dan teorinya lebih khusus terhadap mekanisme dalam menjelaskan berbagai kebijakan dan konsekuensinya.Birokrat level bawah bekerja dalam situasi yang ditandai dengan berbagai kebutuhan masyarakat. Mereka berupaya mengatasi permaalahan dan membuat perioritas kebijakan, mengontrol dan memodifikasi tujuan kebijakan berdasarkan persepsi masyarakat. Michael Lipsky (1980) menggambarkan birokrasi level bawah ini sebagai jabatan yang berhubungan dengan masyarakat. Dan secara substansial mereka memiliki pertimbangan sekaitan dengan tugasnya masing-masing. Bahkan berdasarkan posisinya di tengah masyarakat itu, mereka memiliki peluang lebih besar dalam keptusan kebijakan. Mereka dapat member pertimbangan, menggunakan pengaruhnya di luar kewenangan formal, sebagaimana Lipsky menyebut bahwa dalam implementasi kebijakan

(35)

berpengaruhi lebih dominan berasal dari pekerja level bawah ini.

Pekerja level bawah ini pada prinsipnya mempunyai pilihan pada hasil mana yang harus dicapai, dan bagaimana cara melakukannya. Demikian halnya tokoh masyarakat, lembaga adat, konselor dan semacamnya, secara rutin berhubungan dengan birokrasi level bawah. Mereka ini mengabdikan diri sebagai warga negara yang membantu menciptakan dan melakukan pelayanan public berdasarkan norma.

3. Peilaku Kelompok Sasaran (Target Grup Behavior) Perilaku kelompok sasaran (Target Grup Behavior) yang tidak hanya memberi pengaruh pada

efek/dampak kebijakan, tetapi juga mempengaruhi kinerja birokrat/aparat tingkat bawah. Dimensinya mencakup respon positif dan negative masyarakat dalam mendukung atau tidak mendukung kebijakan.

Variabel perilaku target grup dalam implementasi kebijakan public adalah sekelompok orang, organisasi, atau individu penerima jasa yang berperan bukan hanya dari sisi dampak kebijakan, tetapi juga dalam mempengaruhi kinerja implementasi program melalui tindakan positif dan negative (Winter:2003). Dengan demikian, kinerja implementasi program sangat dipengaruhi oleh karakteristik partisipan yakni mendukung atau menolak. Model ini merupakan merupakan kerangka kerja yang menyajikan mekanisme dan menjadi factor kunci yang dapat mempengaruhi hasil akhir dari suatu implementasi.

Tentang siapa kelompok sasaran yang dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan, dan seberapa jauh dapat mematuhi atau menyesuaikan diri terhadap kebijakan yang diimplementasikan, sangat tergantung kepada kesesuaian isi kebijakan (program) dengan harapan mereka. Hal yang tak kalah pentingnya adalah factor komunikasi, ikut berpengaruh terhadap penerimaan

(36)

27

distorsi atas proses konikasi akan menjadi titik lemah dalam mencapai efektivitas pelaksanaan kebijakan.

Tingkat kegagalan suatu implementasi kebijakan, sangat berbeda-beda satu sama lain. Berdasarkan model implementasi kebijakan winter di atas, maka kelebihan yang dimiliki adalah kemampuan mengintegrasikan dan menyederhanakan beberapa model implementasi menjadi suatu model yang tidak rumit terutama pada jaringan organisasi. Kelemahannya adalah tidak menjelaskan lebih rinci pengertian perilaku dan mengidentifikasi faktor-faktor yang ikut berpengaruh dalam proses implementasi kebijakan.

2.5 Penyandang Disabilitas

Berdasarkan laporan ESCAP (The Economic and

Sosial Commission for Asia and the Pasific), bahwa setiap

negara memiliki definisinya sendiri tentang disabilitas. Bahkan, di beberapa negara seperti Indonesia, setiap badan pemerintahan memiliki istilah dan definisinya sendiri. Keragaman definisi membuat organisasi internasional seperti Disabled People‟s

International (DPI) memutuskan untuk tidak mengadopsi atau

membuat definisi untuk menghindari kemungkinan terjadi perselisihan dengan pihak lain. Namun, kini terjadi perkembangan transisi dalam memandang disabilitas dari model medis ke model sosial.Model medis memandang disabilitas sebagai masalah kesehatan, sementara model sosial memandang disabilitas sebagai hasil dari interaksi sosial.Kedua model ini tidak dapat didefinisikan secara terpisah karena disabilitas juga berakar dari dan mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang dan kedua model ini saling melengkapi. (Disabled World, 23 Desember 2009).

Definisi disabilitas berdasarkan Disability Discrimination Act (DDA) bahwa “Penyandang disabilitas

(37)

merupakan seseorang yang memiliki gangguan fisik atau mental yang memiliki efek samping yang besar dan jangka panjang pada kemampuannya untuk melaksanakan aktivitas normal

sehari-hari”.

Terdapat kriteria penyandang disabilitas dalam

Disability Discrimination Act (DDA) yaitu:

a. Mereka yang memiliki gangguan mental atau fisik. b. Gangguan tersebut memiliki efek yang buruk pada

kemampuan mereka untuk melaksanakan kegiatan normal mereka sehari-hari.

c. Gangguan tersebut memiliki efek samping yang subtansial dan jangka panjang (telah berlangsung selama 12 bulan atau lebih atau selama sisa hidup seseorang).

World Health Organization (WHO) memiliki definisi

sendiri mengenai disabilitas. Menurut WHO, disabilitas diartikan sebagai: istilah umum yang memiliki gangguan fungsi tubuh atau struktur, keterbatasan aktifitas dan pembatasan partisipasi. Dalam hal ini meliputi gangguan dalam fungsi tubuh atau struktur, pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan.Sedangkan pembatasan partisipasi adalah masalah yang dialami oleh seseorang individu dalam keterlibatannya

dalam kehidupan sehari-hari.Jadi disabilitas adalah fenomena

yang kompleks yang mencerminkan interaksi antara bagian tubuh seseorang dan bagian dari masyarakat dimana dia tinggal. (Disabled world, 23 Desember 2009).

Di Indonesia, terdapat berbagai peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai kaum disabilitas. Salah satunya adalah undang-undang mengenai Penyandang Cacat yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997. Pada pasal 1 disebutkan bahwa:

(38)

29

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:

a. Penyandang cacat fisik yaitu kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara;

b. Penyandang cacat mental yaitu kelainan mental dan/atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; c. Penyandang cacat fisik dan mental yaitu seseorang yang

menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.

2.6 Pendekatan dalam Memberdayakan Penyandang

Disabilitas

a) Model Aksesibilitas

Model Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan (UU No.4 Tahun 1997 pasal 1 ayat4). b) Model Rehabilitasi

Model Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosial dan berinteraksi aktif di tengah keluarga/masyarakat dan lingkungannya (UU No.4 Tahun 1997 pasal 17). Rehabilitas penyandang

disabilitas meliputi:

• Rehabilitasi Sosial, yakni untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan kemampuan penyandang disabilitas agar dapat melaksanakan fingsi sosialnya secara optimal.

(39)

• Rehabilitasi Pendidikan, yakni agar penyandang

disabilitas dapat pendidikan secara optimal sesuai

dengan bakat, minat, dan kemampuan.

• Rehabilitasi Pelatihan Keterampilan Kerja, yakni agar penyandang disabilitas memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

2.7 Implementasi Program Reduce, Reuse dan Recyle(3R)

Melalui Bank Sampah.

Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 13 Tahun 2012, dijelaskan bahwa pelaksanaan

Reduce, Reuse dan Recyle atau batasi sampah, guna ulang

sampah, dan daur ulang sampah (3R) adalah segala aktifitas yang mampu mengurangi segala sesuatu yang dapat menimbulkan sampah, kegiatan penggunaan kembali sampah yang layak pakai untuk fungsi yang sama atau fungsi yang lain, dan kegiatan mengolah sampah untuk dijadikan produk baru. Selanjutnya di ayat 2 dijelaskan bahwa bank sampah adalah tempat pemilahan dan pengumpulan sampah yang dapat didaur ulang dan/atau diguna ulang yang memiliki nilai ekonomi.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk merubah paradigma masyarakat tentang sampah. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce,

Reuse dan Recycle melalui bank sampah. Suatu upaya sistematis

dalam membudayakan perilaku yang baru dalam mengelola sampah yang mereka hasilkan agar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh kesadaran dan masif karena setiap warga masyarakat melakukannya.Sampah dipilah menjadi sampah organik dan anorganik.Sampah organik berpotensi untuk diolah menjadi kompos sedangkan sampah anorganik disetorkan ke bank sampah. Tujuan dibangunnya bank sampah adalah strategi untuk membangun kepedulian peran serta

(40)

31

masyarakat agar dapat “bersahabat‟ dengan sampah untuk mendapatkan manfaat ekonomi langsung dari sampah. Jadi, bank sampah tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus bersinergi dengan gerakan 3R (reuse, reduce ,recycle), sehingga manfaat langsung yang dirasakan tidak hanya ekonomi, namun pembangunan lingkungan yang bersih, hijau dan sehat.

Re-use atau menggunakan ulang disamping

mengurangi samping, kegiatan ini merupakan penghematan. Barang yang telah digunakan dan masih bisa digunakan tidak dibuang menjadi sampah tetapi digunakan kembali, untuk itu biasanya dilakukan pemilihan penggunaan barang atau bahan yang dapat digunakan secara berulang-ulang dengan tanpa proses yang rumit. Seperti penggunaan botol kaa sebagai penganti botol plastik, atau keramik sebagai pengganti gelas dan piring Styrofoam, menggunakan produk isi ulang (Refill) (Mallongi dan Saleh, 2015).

i. Recycling

Daur ulang (recycling) meliputi dimana liimbah yang tersisa atau tidak dapat dimanfaatkan secara langsung, kemudian diproses atau diolah untuk dapat dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku atau sebagai sumber energy (damanhuri, 2010).

Menurut eropean council (1994) dalam pongracz (2002) recycle berarti memproses ulang materi sampah dalam sebuah proses produksi untuk kegunaan semula atau untuk kegunaan lainnya, termasuk recycling organic tapi tidak termasuk energy recovery.

Recycling memanfaatkan bahan-bahan yang

(41)

mengubah mereka menjadi sumber-sumber yang bernilai (EPA, 2012). Definisi ini mengisyaratkan bahwa kita berurusan dengan sesuatu yang telah masih memiliki nilai yang berguna dan dijadikan sampah. Sehinggaterlihat bahwa re-use dan recycling berkenaan dengan benda-benda yang masih memiliki kegunaan,karena beberapa alas an berhenti digunakan.untuk mencegah benda-benda tersebut menjadi sampah maka dilakukan kegiatan reuse dan recycle.

Pelaksanaan bank sampah diharapkan akan memberikan sebuah nilai tambah serta nilai ekonomis terhadap sampah. Keberadaan bank sampah juga akan menjadikan realisasi konsep ekonomi kerakayatan yang dapat dan mudah untuk diimplementasikan oleh siapapun termasuk penyandang disabilitas. Bank sampah juga mampu memberikan manfaat utamanya keuntungan masyarakat dari sampah tersebut. Dalam Implementasi Program 3R merujuk pada model implementasi kebijakan publik menurut Menurut Winter dalam Nugroho(2007), Mengidentifikasi empat variabel kunci yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yaitu (1) Proses pormasi kebijakan, (2) Perilaku Organisasi implementasi, (3) Prilaku birokrat pelaksana ditingkat bawah (street-level

bureaucrats), (4) Respon kelompok target kebijakan dan

perubahan dalam masyarakat. Sehingga pada penelitian ini digunakan model Winter untuk menjawab permasalahan pokok yang pertama, tentang deskripsi perilaku penyandang disabilitas fisik dan peran pemerintah (birokrat) dalam mengimplementasikan program 3R, kemudian dari deskripsi masalah terkait perilaku penyandag disabilitas, maka selanjutnya akan dilakukan pengembangan model pemberdayaan penyandang disabilitas dengan pendekatan aksesibilitas non fisik dan rehabilitasi pelatihan keterampilan kerja dalam implementasi program 3R melalui Bank sampah di Kota Makassar.

(42)

33

ii. Pengertian Dan Fungsi Bank Sampah Menurut permen LH RI No 13 Tahun 2012 Bank Sampah adalah tempat pemilihan dan pengumpulan sampah yang dapat di duar ulang dan atau digunakan ulang yang memiliki nilai ekonomi. Bank sampah merupakan konsep pengumpulan sampah kering yang telah dipilah serta memiliki manajemen layaknya perbankan tapi yang di tabung bukan uang melainkan sampah.

Fungsi dari bank sampah terbagi kedalam 3 aspek yaitu :

1. Fungsi Sosial

Dalam fungsi sosial Bank Sampah di harapkan dengan hadirnya bank sampah di kota Makassar dapat menjadi ruang untuk berinteraksi bagi seluruh warga lingkungan tempat bank sampah berada. Sehingga masyarakat akan merasa saling memiliki dan menjaga yang pada akhirnya akan menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif.

2. Fungsi Ekonomi

Fungsi ekonomi yang di bawa dari bank sampah adalah dengan memberikan nilai lebih kepada sampah, bukan lagi hanya sebagai beban namun dapat dilihat sebagai anugrah karena nilai jual yang dimiliki.

Bank sampah juga dapat hadir sebagai lapangan kerja baru bagi masyarakat. Dengan hadirnya bank sampah masyarakat dapat bergabung menjadi

(43)

pengurus bank sampah ataupun nasabah yang dapat memiliki penghasilan yang tidak sedikit.

3. Fungsi Lingkungan

Agenda besar dalam hadirnya bank sampah adalah untuk mereduksi sampah yang masuk ke TPA. Kondisi TPA kota Makassar di kecamatan mangala yang semakin sesak dengan sampah juga semakin banyak menimbulkan permasalahan lingkungan, berikutnya dapat juga dilihat pada permasalahan pengangkutan sampah di Kota Makassar yang menyebabkan permasalahan pencemaran udara dan volume sampah.

Di tataran masyarakat Kota Makassar dapat diamati secara langsung bahwa kehadiran bank sampah dapat membuat lingkungan semakin bersih dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebersihan dan pengelolaan sampah.

2.8 Konsep Koordinasi

Koordinasi pengertian umum, koordinasi adalah sebuah proses saling mengerti antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal. Proses yang harus dijalani agar sesuatu kegiatan dapat dilaksanakan dengan dengan lancar ataupun jika ada masalah tidak akan terlalu banyak kesulitan untuk mengatasinya, koordinasi merupakan kegiatan yang meliputi pengaturan hubungan kerjasama dari beberapa instasi / pejabat yang mempunyai fungsi dan wewenang yang saling berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai untuk menghidari adanya kesimpang siuran pelaksanaan pekerjaan

Meokijat dalam Hubert (2009 ) mengemukan bahwa koordinasi adalah penyelarasan secara teratur atau penyusunan kembali kegiatan - kegiatan yang slaing bergantung dari

(44)

35

individu - individu untuk mencapai tujuan bersama.tanpa adanya koordinasi. Individu - individu dan bagian - bagian tidak dapat melihat peran mereka dalam organisasi. Hasibuan ( 2011) berpendapat “ koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, dan pekerjaan –pekerjaan para bawahan dalam mencapi tujuan organisasi.

Menurut G.R. Terry dalam Hasibuan ( 2012) koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Sedangkan menurut E.F.L. Brech, koordinasi adalah mengimbangi dan menggerakan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok dengan masing - masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri Hasibuan (2007). Koordinasi salah satu bentuk hubungan kerja yang memiliki karakteristik khusus. Karakteristiknya antara lain harus adanya integrasi serta sinkronisasi atau adanya keterpaduan, keharmonisan, serta arah yang sama. Pentingnya koordinasi ini agar organisasi dapat menciptakan efektifitas dan efisiensi. Hal ini berarti bahwa tujuan organisasi dapat tercapai serta dalam pencapiaannya dimanfaatkan semua sumber daya secara hemat dan ekonomis.

Menurut Djamin dalam ( Hasibuan 2011) koordinasi adalah suatu usaha kerja sama badan instasi, unit, dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu sedemikain rupa, sehingga dapat saling, mengisi membantu, dan saling melengkapi. Menurut Suprianto (2009) koordinisai artinya mempunyai kempampuan untuk melakukan tugas dengan efektif dan efisien, yang dimaksud efisien adalah melakukan sebuah koordinasi orang- orang didalmamnya harus mampu menyelesaikan tugas dengan benar dan memliki kemampuan dibandingnya masing - masing.

(45)

Koordinasi adalah proses pengintergrasian tujuan - tujuan dan kegiatan pada satuan - satuan yang terpisah (departemen atau bidang - bidang fungsional ) suatu organisasi untuk mencipai tujuan secar efisien, Menurut Handoko ( 2003) kebutuhan akan koordinasi tergantung pada sifat dan kebutuhan komunikasi dalam pelaksanaan tugas dan derajat saling ketergantungan bermacan - macan satuan pelaksanaannya.Hal ini juga ditegaskan oleh Handayaningrat ( 1985) bahwa koordinasi dan kumunikasi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan, selain itu Handayaningrat juga mengatakan bahwa koordinasi dan kepemimpinan adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena saling mempengaruhi sama lain.

2.9 Konsep Pemasaran dan Promosi

Pemasaran mengandung arti yang luas karena membahas mengenai masalah yang terdapat dalam perusahaan dan hubungannya dengan perdagangan barang dan jasa. Menurut Kotler (2008:6) pemasaran adalah suatu proses dimana perusahaan menciptakan nilaibagi pelanggan danmembangun hubungan yang kuat dengan pelanggan dengan tujuan untuk menangkap nilai dari pelanggan sebagai imbalannya. Menurut Gunawan Adisaputro (2010:4) pemasaran adalah fungsi organizational dan seperangkat proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyerahkan nilai kepada pelanggan dan untuk mengelola hubungan dengan pelanggan dengan cara- cara yang menguntungkan bagi organisasi dan semua pemangku kepentingan (stakeholder).

Dalam proses pemasaran perusahan harus bekerja untuk memahami pelanggan, menciptakan nilai bagi pelanggan, dan membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan. Dengan menciptakan nilai bagi pelanggan, sebagai imbalannya mereka

(46)

37

menangkap nilai dari pelanggannya dalam bentuk penjualan, laba, dan ekuitas pelanggan dalam jangka penjang. Lebih lanjut mengenai pengertian manajemen pemasaran didefinisikan oleh Kotler (2008:10) seni dan ilmu pengetahuan tentang cara memilih pasar sasaran dan mendapatkan, memelihara hubungan, meningkatkan jumlah pelanggan melalui proses kreasi, dan mengkomunikasikan nilai pelanggan yang superior.

Menurut Kotler (2008:58) strategipemasaran adalah logika pemasaran dimana perusahan berharap untuk menciptakan nilai pelanggan dan mencapai hubungan yang menguntungkan. Perusahaan memutuskan pelanggan mana yang akan dilayaninya dan bagaimana cara perusahaan melayaninya. Pemasran pada dasarnya mencakup segala kegiatan tersebut, namundemikian pemasaran ternyata lebih dari sekedar kegiatan- kegiatan tersebut. Berbagai kegiatan seperti pembujukan, promosi, publikasi, semuanya adalah kegiatan pemasran.

Konsep-konsep inti pemasaran meliputi : kebutuhan, keinginan, permintaan, produksi, utulitas, nilai dan kepuasan, pertukaran, transaksi dan hubungan pasar, pemasaran dan pasar. Kita dapat membedakan antara kebutuhan, keinginan dan permintaan. Kebutuhan adalah suatu keadaan dirasakannya ketiadaan kepuasaan dasar tertentu. Keinginan adalah kehendak yang kuat akan pemuas yang spesifik terhadap kebutuhan- kebutuhan yang lebih mendalam. Permintaan adalah keinginan akan produk yang spesifik yang didukung dengan kemampuan dan kesediaan untuk membelinya.

Sistem pemasaran yang paling sederhana terdiri dari dua unsur yang saling berkaitan, yaitu organisasi pemasaran dan target pasarnya. Unsur-unsur dalam sebuah sistem radio stereo. Bekerja secara terpisah, tetapi pada waktu dipertemukan secara tepat. Strategi pemasaran menurut Kotler (2008:58) adalah

(47)

logika pemasaran di mana perusahaan berharap untuk menciptakan nilai pelanggan dan mencapai hubungan yang menguntungkan. Strategi pemasaran pada dasarnya adalah rencana yang menyeluruh, terpadu, dan menyatu dibidang pemasaran, yang memberikan panduan tentang kegiatan yang akan dijalankan untuk dapat tercapainya tujuan pemasaran suatu pemasran.

Dalam memasarkan produk perlu merangsang dan menyebarkan informasi tentang kehadiran, ketersediaan, cirri- ciri, kondisi produk, dan manfaat atau kegunanaan dari produk yang dihasilkan. Kegiatan ini disebut promosi. Promosi merupakan teknik komunikasi yang secara penggunaannya atau penyanpaiannya dengan menggunakan media yang tujuannya untuk menarik minat konsumen terhadap hasil produksi suatu industri.

Menurut Michael rey (1982:17) promosi sebagai “the

coordination of all seller-intated efforts to setup channels of information and persuasion to sell goods services or promote an idea” (koordinasi dari seluruh upaya yang dimulai dari pihak

penjual untuk membangun berbagai saluran informasi dan persuasi untuk menjual barang dan jasa atau memperkenalkan suatu gagasan). Menurut Basu Swasta (2002:28) mengatakan bahwa promotional mix merupakan kombinasi dari alat-alat promosi, yaitu periklanan, penjualan tatap muka, promosi penjualan dan publisitas yang dirancang untuk menjual barang dan jasa. Walaupun komunikasi antar perusahaan dan konsumen secara implicit berlangsung pada setiap unsur atau bagian dari

marketing mix.

Tujuan dari pada promosi adalah memperkenalkan barang hasil produksi, dengan tujuan agar konsumen membeli hasil produksinya, dengan demikian volume penjualan dapat

(48)

39

meningkat dan juga dapat meningkatkan laba. Hal ini dapat dicapai suatu industri bila promosi yang dijalankan benar-benar tepat sehingga pelaksanaan promosi dapat berhasil seefektif mungkin. Promosi merupakan salah satu bauran pemasaran yang digunakan oleh perusahaan untuk mengadakan komunikasi dengan pasarnya. Promosi juga sering dikatakan sebagai proses berlanjut, Karena dapat menimbulkan rangkaian kegiatan selanjutnya bagi perusahaan.

Tujuan utama dari promosi yang dilakukan secara mendasar terdiri dari beberapa alternative, antara lain : menginformasikan, mempengaruhi, membujuk dan mengingatkan sasaran konsumen tentang perusahaan dan bauran pemasarannya. Tujuan promosi tersebut menurut Sugiyono yang di kutip oleh Magfira (2010:133).

2.10 Interpretasi Kerangka Konsep

Interpretasi yang dapat dikemukakan bahwa pemberdayaan penyandang disabilitas fisik dalam implementasi program 3R, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kerja masyarakat penyandang disabilitas agar mampu hidup mandiri di tengah masyarakat, dengan pendekatan sebagai berikut:

1. Penyandang Disabilitas Fisik adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya.

2. Pendekatan aksesibilitas fisik adalah adanya pemberian pemahaman dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam implementasi program Reduce, Reuse dan Recycle melalui bank sampah. Pendekatan ini perlu dilakukan untuk memberi pemahaman awal kepada penyandang disabilitas

(49)

sehingga terjadi perubahan perilaku dalam mengimplementasikan program 3R. Selain itu penyandang disabiltas fisik diberi kesempatan yang sama dengan masyarakat umumnya untuk terlibat dalam kegiatan Reduce, Reuse dan Recycle melalui bank sampah di Kota Makassar

3. Pendekatan Rehabilitasi Pelatihan Kerja adalah pemberian pelatihan (training) upaya pembatasan sampah (Reduce), training guna ulang sampah (Reuse), dan

training daur ulang sampah (Recycle).

4. Pengembangan model pemberdayaan penyandang disabilitas fisik menekankan pada pendekatan aksesibilitas dan rehabilitasi pelatihan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan sosial masyarakat penyandang disabilitas.

(50)

41

BAB 3

PERAN PEMERINTAH dan PERUBAHAN

PERILAKU MASYARAKAT PENYANDANG

Gambar

Gambar 1. Integrated Implementation Model
Gambar 2. Pengolahan Limbah Eceng Gondok menjadi Sandal  Hotel
Gambar  3:Penyandang  Eks  penderita  Kusta  memperlihatkan  hasil  kerajinan  daur  ulang  kain bekas menjadi  Bros
Gambar 4 :  Pelatihan penyandang disabilitas eks penderita kusta  membuat  keset  kaki  dari  kain  perca  di  Kantor  Yayasan Pendidikan Tuna Netra Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang kusta ( Leprosy ) dengan perawatan diri pada penderita kusta di wilayah

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang kusta (Leprosy) dengan perawatan diri pada penderita kusta di wilayah Kabupaten

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, tingkat pengetahuan penderita kusta tentang kusta adalah cukup, penderita berumur 15 tahun atau lebih saat pertama kali terdiagnosa

Permasalahan penyakit kusta sangat kompleks, penurunan kualitas hidup penderita kusta terjadi pada domain fisik yang terkait dengan tingkat kecacatan dapat mempengaruhi

menerima penderita kusta dan tidak lagi mengucilkannya, hal ini dapat menunjang harga diri penderita kusta saat berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakat,

Tujuan dalam skripsi ini adalah Mendeskripsikan variabel penelitian pada kecacatan penderita kusta dan memodelkan kecacatan penderita kusta di Rumah Sakit Kusta

Pesatnya penyebaran penderita kusta ini penyebabnya adalah kurang keinginan penderita kusta akan pentingnya pengobatan kusta, menjalani pengobatan kusta yang teratur dan

Kerangka Pikir Masalah yang muncul pada masyarakat terhadap penderita kusta adalah kurang adanya rasa empati masyarakat terhadap penderita kusta, timbulnya stigma sosial yang sifatnya