KARYA TULIS ILMIAH:STUDI KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS
DI RUANG PAVILIUN CEMPAKA RSUD JOMBANG
OLEH :
FENDA DWI ASTUTI NIM: 141210018
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG
KARYA TULIS ILMIAH:STUDI KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS
DI RUANG PAVILIUN CEMPAKA RSUD JOMBANG
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Diploma III Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Insan cendekia Medika Jombang.
OLEH :
FENDA DWI ASTUTI NIM: 141210018
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG
KARYA TULIS ILMIAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI
KRONIK DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS DI RUANG CEMPAKA RSUD JOMBANG
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Diploma III Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Insan cendekia Medika Jombang.
OLEH :
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Karya Tulis Ilmiah telah terselesaikan dengan baik.
Tersusunnya Karya Tulis Ilmiah ini bertujuan untuk memenuhi tugas sebagai syarat terselesaikannya program DIII Keperawatan. Terselesaikannya Proposal Karya Tulis Ilmiah ini, tidak lepas dari bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada Arif Wijaya S. Kep,. M.Kep selaku Pembimbing Utama, Nita Arisanti Yulanda S.Kep,Ns selaku Pembimbing Anggota, Bambang Tutuko SH.S.kep,Ns.,MH selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang, Maharani Tri Puspitasari S.Kep,Ns.MM selaku Ketua Program Studi beserta seluruh civitas akademik program studi D3 Keperawatan, Direktur RSUD Jombang Kabupaten Jombang yang telah memberikan izin untuk penelitian, beserta staf perawat di Paviliun Cempaka dan semua responden yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya penulisan ini. Harapan penulis mudah mudahan penulisan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Jombang, Juni 2017
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PPOK DENGAN MASALAH KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS DI RUANG
PAVILIUN CEMPAKA RSUD JOMBANG
Oleh:
FENDA DWI ASTUTI
Salah satu penyakit paru yang semakin tahun semakin bertambah adalah Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit yang bisa dicegah dan diatasi yang biasanya bersifat progresih, dan terkait dengan adanya respon inflamasi kronik saluran nafas dan paru-paru terhadap gas atau partikel berbahaya. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 80 juta orang menderita PPOK diseluruh dunia, dan ini diperkirakan akan terus meningkat di Indonesia.. pravelensi lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan meningkat dengan bertambahnya usia. PPOK lebih sering pada yang masih aktif merokok dan bekas perokok dan meningkat dengan jumlah rokok yang dikonsumsi. Berdasarkan data dari studi pendahuluan di Ruang Cempaka RSUD Jombang pada tahun 2016 penderita PPOK sebanyak 313 jiwa.
Desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Penelitian yang di ambil dari RSUD Jombang sebanyak 2 klien dengan masalah Asuhan Keperawatan Pada Klien PPOK dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas.
Berdasarkan hasil evaluasi terakhir disimpulkan bahwa pada klien 1 masalahnya sudah teratasi sedangkan pada klien 2 masalahnya belum teratasi. Saran yang diberikan ada klien dan keluarga sebagai tambahan pengetahuan bagi klien untuk memahami keadaannya, sehingga dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan maasalah serta ikut memperhatikan dan melaksanakan tindakan yang diberikan oleh perawat.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan kepada seluruh masyarakat untuk tidak merokok, karena merokok adalah salah satu faktor resiko utama yang menyebabkan terjadinya PPOK, dan kepada perokok untuk melakukan pemberhentian merokok.
ABSTRACT
NURSING CARE ON PPOK PATIENTS WITH NURSING INEFFECTIVENESS PROBLEMS OF AIRWAY CLEARANCE
IN PAVILIUN CEMPAKA ROOM RSUD JOMBANG By:
FENDA DWI ASTUTI
On of the increasing number of lung disease is chronic obstructive pulmonary and disease (COPD). Chronic obstructive pulmonary disease is a preventable and treatable disease that is ussualy progresive associated with chronic inflamatory respons of respiratory and pulmonary tubess to gases ar harmful particle. According to the World Health )rganization (WHO), 80 milion people suffer from COPD worldwide. The prevalance was higher in males than in females and increased with increasing age. COPD was more frequent in current and ex-smokers and increased with increasing pack-yrs. Based on data form preliminary studies in space Cempaka RSUD Jombang in 2016 COPD patients as many 313 soul.
The researchdesign used case study. Research taken form RSUD Jombang as much as 2 patients with problem of Nursing Care on patients of COPD with ineffectiveness of airway clearance.
Based on the results of the last evaluation concluded that the patients 1 problem is resolved while the client 2 problem is not resolved. Advice given to patients and families as additional knowledgefor patients to understand the situation, so that it can take desicions ppropriate to the problem and take into account and implement actions provided by nurse.
Based on these results, it is expected that all the people not to smoke, because smoking is one of the major risk factors thar lead to COPD, and to the smoker to stop smoking activities.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... vii
Abstrak ... viii
Abstrack ... ix
Daftar isi... x
Daftar Tabel ... xii
Daftar Gambar ... xiii
Daftar Lampiran ... xiv
Lambang dan Singkatan ... xv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penyakit Paru Obstruksi Kronik ... 5
2.1.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik ... 5
2.1.10 Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi Kronik ... 19
2.1.11 Pencegahan Penyakit Paru Obstruksi Kronik ... 22
2.2 Konsep Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas ... 23
2.2.1 Definisi Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas ... 23
2.2.2 Etiologi ... 24
2.2.3 Proses Terjadinya Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas ... 25
2.2.4 Manifestasi Klinik ... 25
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik ... 26
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronik ... 27
2.3.1 Pengkajian ... 27
2.3.2 Riwayat Penyakit Dahulu ... 28
2.3.3 Riwayat Penyakit Keluarga ... 28
2.3.5 Pola Fungsi Kesehatan ... 31
2.3.6 Diagnosa Keperawatan ... 33
2.3.7 Intervensi ... 33
2.3.8 Implementasi ... 36
2.3.9 Evaluasi ... 35
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... .. 36
3.2 Batasan Istilah ... .. 36
3.3 Partisipan ... .. 38
3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38
3.5 Pengumpulan Data ... 38
3.6 Uji Keabsahan Data ... 40
3.7 Analisa Data ... 41
3.8 Etik Penelitian ... 42
BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Hasil ……… 44
4.1.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data……….... 44
4.1.2 Pengkajian………. 44
4.1.3 Analisa Data……….. 49
4.1.4 Diagnosa Keperawatan……….. 50
4.1.5 Intervensi Keperawatan………. 51
4.1.6 Implementasi Keperawatan……… 53
4.1.7 Evaluasi Keperawatan ……….. 56
4.2 Pembahasan 4.2.1 Pengkajian………... 58
4.2.2 Analisa Data……… .. 59
4.2.3 Diagnosa Keperawatan……….. 59
4.2.4 Implementasi………... 59
4.2.5 Evaluasi………... 60
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan………... 62
DAFTAR GAMBAR
Daftar Gambar Halaman
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK………
Tabel 2.2 Intervensi keperawatan………...
Tabel 4.1 Identitas Klien………
Tabel 4.2 Riwayat Penyakit Klien………..
Tabel 4.3 Perubahan Pola Nutrisi………...
Tabel 4.4 Pemeriksaan Fisik………..
Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan Diagnostik………
Tabel 4.6 Terapi………..
Tabel 4.7 Analisa Data……… Tabel 4.8 Diagnosa Keperawatan……… Tabel 4.9 Intervensi………. Tabel 4.10 Implementasi………. Tabel 4.11 Evaluasi……….
DAFTAR SINGKATAN
AAT : Alfa 1 Antitripsin ADL : Activity Daily Live
Depkes : Departemen Kesehatan
DLCO : Diffusing Capacity of the Lung for Carbon Monoxide FEV : Forced Exspiratory Manuve
FVC : Forced Volume Capaciti
GOLD : Global Intiative for Chronic Pulmonary Diseas KVP : Kapasitas Vital Paksa
PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PPOK : Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Jadwal Kegiatan Karya Tulis Ilmiah………
Lampiran 2 : Surat Izin Penelitian………...
Lampiran 3: Permohonan Menjadi Responden………..
Lampiran 4: Persetujuan Menjadi Responden………...
Lampiran 5: Format Pengkajian Keperawatan Medikal Bedah……….
Lampiran 6: Penelitian………...
Lampiran 7: Surat Balasan Penelitian BAKORDIKLAT RSUD Jombang………..
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Salah satu penyakit paru yang semakin tahun semakin bertambah adalah Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan suatu kondisi yang irreversible dimana terjadi penyempitan saluran udara, peningkatan obstruksi aliran udara dan hilangnya rekoil elastis
paru. Kondisi tersebut menyebabkan udara terperangkap dan pertukaran gas terganggu
sehingga mengakibatkan batuk, produksi dahak meningkat. Karakteristik hambatan aliran
udara pada PPOK disebabkan oleh hubungan antara obstruksi saluran nafas kecil dan
kerusakan parenkim yang berbeda pada setiap individu (PDPI, 2013). Pada kasus penyakit
obstruksi kronik, klien banyak mengalami ketidak efektifan bersihan jalan nafas.
Menurut WHO, di perkirakan 80 juta orang terserang PPOK yang menyebabkan
kematian nomer 4 di dunia Pada tahun 2014 penderita sebanyak 52% dengan jumlah
penderita sebanyak 21.036 jiwa menurut Kementrian Kesehatan RI 2014. Riset Kesehatan
Dasar, 2013 PPOK didapatkan angka kesakitan (3,7%). Di jawa timur penderita PPOK urutan
ke 8 dari 33 provinsi. Data dari RSUD Jombang di Ruang Cempaka pada tahun 2016
penderita PPOK sebanyak sebanyak 313 jiwa. Kesehatan mengalami perubahan dari penyakit
menular yang selalu menjadi penyebab kesakitan dan kematian utama, mulai digantikan oleh
penyakit tidak menular. Salah satu penyakit paru yang semakin tahun semakin bertambah
adalah PPOK merupakan suatu kondisi yang irreversible dimana terjadi penyempitan saluran udara dan peningkatan obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh asap rokok.
Komponen-komponen asap rokok bisa merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Biasanya
paparan asap rokok tersebut terjadi selama beberapa tahun sebelum gejalanya berkembang.
Komposisi genetik dalam sisi seseorang juga mempengaruhi risiko. Penyakit obstruksi kronik
terus-menerus sehingga terjadi ketidakmampuan menghembuskan nafas secara penuh, jika
penyumbatan tersebut tidak dapat teratasi akan menimbulkan ketidakefektifan bersihan jalan
nafas, Ketidakefektifan bersihan jalan nafas merupakan keadaan ketika seorang induvidu
mengalami satu ancaman yang nyata atau potensial pada status pernafasan sehubungan
dengan ketidakmampuan untuk batuk secara efektif (Carpenito, 2006).
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik membuat judul Asuhan
Keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronik dengan Masalah Ketidakefektifan Bersihan
Jalan Nafas.
1.2Batasan Masalah
Asuhan Keperawatan pada klien Penyakit Paru Obstruksi kronis dengan masalahan
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
1.3Rumusan Masalah
Bagaimanakah Asuhan Keperawatan pada klien yang mengalamai Penyakit Paru
Obstruksi Kronik dengan masalah Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di RSUD
Jombang?
1.4Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Melaksanakan asuhan Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami Penyakit Paru
Obstruksi Kronik dengan masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas di RSUD Jombang
1) Melakukan pengkajian keperawatan pada klien Penyakit Paru Obstruksi Kronik
dengan masalah ketidakefektian bersihan jalan nafas di RSUD Jombang
2) Menetapkan diagnosis keperawatan pada klien Penyakit Paru Obstruksi Kronik
dengan masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas di RSUD Jombang
3) Melakukan perencanaan keperawatan pada klien Penyakit Paru Obstruksi Kronik
dengan masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas di RSUD Jombang
4) Melakukan tindakan keperawatan pada klien Penyakit Paru Obstruksi Kronik dengan
masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas di RSUD Jombang
5) Melakukan evaluasi keperawatan pada klien Penyakit Paru Obstruksi Kronik dengan
masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas di RSUD Jombang
1.5Manfaat 1.5.1 Teoritis
Mampu menyelesaikan masalah dengan anggota keluarga yang di diagnosa Stroke
sehingga mampu membantu keluarga klien untuk lebih memahami dalam merawat
pasien.
1.5.2 Praktis
a. Bagi tenaga kesehatan lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi ilmu pengetahuan Penyakit Paru Obstruksi Kronik dan sebagai
tambahan informasi lebih lanjut untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terutama
dalam menangani komplikasi penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik, sehingga
dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas yang terutama dengan
b. Bagi peneliti lain, peneliti ini dapat menambah referensi dan menemukan masalah
keperawatan yang lebih luas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar PPOK
2.1.1 Pengertian PPOK
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah suatu penyakit yang bisa dicegah dan
diatasi, yank dikarakteririr dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang biasanya
bersifat progresif, dan terkait dengan adanya respon inflamasi kronik saluran nafas dan
paru-paru terhadap gas atau partikel berbahaya (GOLD, 2015).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang tidak sepenuhnya
reversible, progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal terhadap gas
yang berbahaya. Kata “progresif” disini berarti semakin memburuknya keadaan seiring
berjalannya waktu ( abidin, 2009).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik karena adanya
hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel yaitu sesak nafas yang semakin berat yang tidak bisa kembali normal atau membaiksebagian, serta adanya
respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Global Obstrctive Lung Disease, 2009).
2.1.2 Klasifikasi PPOK
Untuk membedakan keparahan penyakit PPOK, dapat didasarkan pada hasil uji
spirometri yang menunjukkan tingkat keparahan obstruksinya. Menurut GOLD terdapat 4
Tabel 2.1
k
l
a
s
ifikasi PPOK (Sumber : Ikawati, 2016)
Dari pengukuran-pengukuran diatas, maka GOLD 2015 mengelompokkan pasien PPOK
menjadi 4 golongan, sebagai berikut:
1. Pasien kelompok A: risiko rendah, gejala lebih sedikit GOLD 1 atau GOLD 2, serangan
akut 0-1/tahun dan tanpa hospitalisasi, CAT < 10 atau mMRC 0-1.
2. Pasien kelompok B: risiko rendah, gejala lebih banyak GOLD 1 atau GOLD 2, serangan
akut 0-1/ tahun dan tanpa hospitalisasi, CAT > 10 atau mMRC > 2
3. Pasien kelompok C: risiko tinggi, gejala lebih sedikit GOLD 3 atau GOLD 4, serangan
akut > 2x/ tahun atau >1 dengan hospitalisasi, CAT <10 atau mMRC 0-1
4. Pasien kelompok D: risiko tinggi, gejala lebih banyak GOLD 3 atau GOLD 4, serangan
akut > 2x/ tahun atau > 1 dengan hospitalisasi, CAT > 10 mMRC > 2 (Ikawati, 2016)
2.1.3 Etiologi
Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. (Ikawati, 2016) Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah:
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30 kali
lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab
dari 80-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK.
Tingkat Interpertasi Nilai FEV1
dan gejala
GOLD 1 Ringan FEV1 > 80%
GOLD II Sedang 50% < FEV1
< 80%
GOLD III Berat 30% <
FEV1< 50%
Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai
merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Perokok pasif
(tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga beresiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang
terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu gandum. Asbes mempunyai
risiko yang lebih besar dari pada lainnya.
3. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya
dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap
pabrik, asap kendaraan bermotor, dan lain-lain, misalnya asap dari dalam rumah
misalnya asap dapur.
4. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronik merupakan suatu
pemicu inflamasi neutrofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur
dari peningkatan jumah sputum, peningkatan jumlah frekuensi, eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang smua ini meningkatkan risiko kejadian
PPOK.
2.1.4 Patofisiologi
Bronkitis kronik dan emfisema pada PPOK
a. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik dapat disebabkan oleh iritan fisik atau kimiawi misalnya asap rokok
iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus menerus daapat
menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Karena adanya
mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia untuk membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang. Tanda-tanda infeksi adalah perubahan sputum
seperti meningkatnya volume mukus, mengental, dan perubahan warna. Infeksi yang berualang dapat menyebabkan keparahan akut pada status pulmonar dan berkontribusi secara signifikan pada percepatan penurunan fungsi pulmonar karena inflamasi menginduksi fibrosis pada bronkus dan bronkiolus (Ikawati, 2016).
b. Emfisema
Emfisema adalah perubahan anatomi dari parenkim paru yang ditandai oleh
perbesaran abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan dinding alveolar.
Emfisema khusunya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang bertanggung
jawab untuk pertukaran gas. Emfisema yang paling berkaitan dengan PPOK adalah
emfisema sentrilobular. Emfisema tipe ini yang secara selektif diserang adalah bagian
bronkiolus. Penyakit ini banyak ditemukan pada orang yang merokok.
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrofil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan
melepaskan enzim proteolitik (elastase, kolagenese). Pada orang normal, kerja enzim ini akan dihambat alpha 1 antitripsin, namun pada kondisi di mana terjadi defisiensi apha 1
antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defesiensi alpha 1 antitripsin, enzim
proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada alveolus menyebabkan emfisema.
2.1.5 Faktor risiko PPOK
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2016) faktor risiko PPOK dibagi menjadi 6 (enam), yaitu:
Terjadinya defisiensi Alpha 1 antitripsin (ATT) menjadi salah peluang lebih besar untuk terserang PPOK. Alpha 1 antitripsin adalah protein yang berperan sebagai penetral enzim protolitik yang sering dikeluarkan pada saat terjadi peradangan dan merusak
jaringan termasuk jaringan paru.
2) Partikel berbahaya
Setiap jenis partikel tergantung ukuran dan komposisinya akan memberikan
kontribusi yang berbeda terhadap risiko yang terjadi. Banyaknya partikel yang
terhirup selama hidup akan meningkatkan risiko berkembangnya PPOK. Berikut ini
partikel yang berisiko menyebabkan PPOK:
3) Asap tembakau/ Rokok
Asap rokok merupakan faktor risiko utama penyebab terjadinya PPOK.
Perokok mempunyai prevalensi lebih tinggi mengalami gangguan pernapasan dan
abnormalitas fungsi paru. Perokok pasif juga berkontribusi mengalami gangguan
pernapasan.
4) Debu dan bahan kimia
Debu organik, non-organik, bahan kimia dan asap merupakan faktor risiko
yang dapat menyebabkan seseorang terserang PPOK. Debu dan bahan kimia
diperkirakan 10 – 20% mengalami gangguan fungsional paru karena PPOK.
5) Polusi di dalam rumah
Penggunaan kayu bakar, kotoran hewan dan pembakaran sisa tanaman dalam
api terbuka di dalam tempat tinggal dengan ventilasi yang buruk dapat meningkatkan
risiko terjadinya PPOK.
Tingginya kadar polusi udara di daerah perkotaan berbahaya bagi individu
terutama pembakaran dari bahan bakar kendaraan, bila ditambah dengan merokok
akan meningkatkan risiko terjadinya PPOK.
7) Pertumbuhan Dan Perkembangan Paru
Pertumbuhan dan perkembangan paru terkait dengan proses yang terjadi
selama kehamilan, kelahiran dan proses tumbuh kembang. Setiap faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan paru–paru selama kehamilan dan tumbuh kembang anak
akan memiliki potensi untuk meningkatkan risiko terserang PPOK.
8) Usia dan Gender
Usia menjadi faktor risiko terjadinya PPOK. Penurunan status kesehatan lansia
sebagai pencetus terjadinya PPOK atau usia mencerminkan atau usia merupakan
kumpulan jumlah pemaparan hidup secara keseluruhan. Di masa lalu penelitian
menunjukkan prevalensi dan kematian pada PPOK lebih besar terjadi pada laki–laki
daripada perempuan. Pada penelitian di beberapa Negara akhir–akhir ini prevalensi
penyakit PPOK sekarang hampir sama antara laki – laki dan perempuan, yang
mungkin mencerminkan perubahan gaya hidup merokok dengan menggunakan
tembakau
9) Status Sosial Ekonomi
Kemiskinan jelas menjadi faktor risiko untuk PPOK. Polusi udara di dalam
atau di luar, kepadatan lingkungan, gizi yang buruk, infeksi dan berbagai faktor yang
berkaitan dengan sosial ekonomi yang rendah
10) Asma/Hiperaktivitas Bronkus
Asma bisa menjadi faktor risiko perkembangan PPOK, walaupun faktanya ini
tidak pasti. Laporan dari hasil sebuah studi longitudinal Kohort Studi Epidemiologi
memiliki risiko 12x lipat lebih berisiko terjadi PPOK dari pada yang tidak memiliki
asma setelah merokok. Studi longitudinal yang lain menunjukkan seseorang dengan asma sebanyak 20% ditemukan memiliki peembangan aliran udara yang terbatas dan
tidak dapat disembuhkan.
2.1.6 WOC (Web Of Caution) Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Sekret tidak bisa keluar Gangguan pembersihan paru
Produksi sekret meningkat Batuk tidak efektif Peradangan bronkus
Terjadi akumulasi sekret
Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
Obstruksi jalan nafas
Pertukaran gas O2 dan Co2 tidak adekuat
Sesak nafas
Gangguan pertukaran gas
Ketidakefektifan pola nafas
Mual muntah
anoreksia
Intake tidak adekuat
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh Asap Rokok, Polusi udara
Gambar 2.1 WOC Penyakit Paru Obstruksi Kronik GOLD, 2016, NANDA, 2015.
2.1.7 Manifestasi Klinik
Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi batuk kronik,
produksi sputum, dispnea dan riwayat paparan suatu faktor risiko. Selain itu, adanya obstruksi saluran pernafasan juga harus dikonfirmasi dengan spirometri, di mana angka FEV1/FVC pasca bronkodilator < 0,70 menujukkan adanya keterbatasan aliran udara
persisten yang menjadi ciri dari PPOK (Ikawati, 2016).
Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOk adalah:
1. Batuk kronik: terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang
hari ( tidak seperti asma yang terdapat gejala batuk malam hari}.
2. Produksi sputum secara kronik: semua pola produksi sputum dapat mengindikasikan adanya PPOK.
3. Bronkitis akut : terjadi secara berulang
4. Sesak nafas (dispnea): bersifat pogresif sepanjang waktu, terjai setiap hari, memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan.
5. Riwayat paparan terhadap faktor risiko : merokok, partikel dan senyawa kimia,
asap dapur.
1. “Smoker’s cough”, biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin, kmudian berkembang menjadi sepanjang tahun
2. Sputum, biasanya banyak yang lengket (mucoid), berwarna kuning, hijau atau kekuningan bila terjadi infeksi.
3. Dispnea, terjadi kesulitan ekspirasi pada saluran pernafasan.
Gejala ini mungkin terjadi beberapa tahun sebelum kemudian sesak nafas menjadi
semakin nyata yang membuat pasien mencari bantuan medik.
Sedangkan gejala pada eksaserbasi akut adalah:
1. Peningkatan volume sputum 2. Perburukan pernafasan secara akut
3. Dada terasa berat (chesttightness) 4. Peningkatan purulensi sputum
5. Peningkatan kebutuhan bronkodilator 6. Lelas, lesu
7. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah, terengah-engah)
Pada gejala berat, dapat terjadi:
1. Cyanosis, terjadi kegagalan respirasi 2. Gagal jantung dan oedema perifer
Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah yang mmerah
yang disebabkan polycythemia (erythrocytosis, julah erythrosit yang meningkat), hal ini merupakan respon fisiologis normal karena kapasitas
pengankutan O2 yang berlebih.
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Faal paru
a) Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP
b) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi: % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%(VEP1/KVP) < 75%
c) VEP1 merupakanparameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
d) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
verabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. b) Uji bronkodilator
a) Digunakan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
b) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
<20% nilai awal dan < 200 ml
c) Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
c) Darah rutin
Hemoglobin, eritrosit, Leukosit
d) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain pada
emfisema terlihat gambaran:
a) Hiperinflasi
b) Hiperlusen
c) Ruang retrosternal melebar
e) Jantung menggantung
Pada bronkitis kronik:
a) Normal
b) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus.
1. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a. Faal paru
b. Volume residu (VR), kapasitas residu fungsional (KRF), kapasitas paru total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
c. DLCO menurun pada emfisema
d. Raw meningkat pada bronkitis kronik
e. Variabiliti harian APE kurang dari 20% 2. Uji latih kardiopulmonar
a. Sepeda statis (ergocycle) b. Jentera (treadmil)
c. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal 3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hiperaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hiperaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilpredison) sebanyak 30-50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator >20% dan minimal 250 ml. Pada PPOk
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid. 5. Analisa gas darah
(1) Gagal nafas kronik stabil
(2) Gagal nafas akut pada gagal nafas kronik
6. Radiologi
(1) CT-scan resolusi tinggi untuk menilai emfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau yang tidak terdeteksi oleh foto thorak polos
(2) Scan ventilasi perfusi untuk mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Untuk menilai fungsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat.
Infeksi saluran nafas berulang merupakan penyebab eksaserbasi akut pada
penderita PPOK.
10.Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar ini pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi
antitripsin alfa-1 jarang ditemukan (PDPI, 2013).
2.1.9 Komplikasi
a) Gagal jantung
Keadaan dimana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi
kebutuhan metabolisme tubuh. Terutama gagal jantung kanan akibat penyakit
Merupakan suatu penyakit yang dapat timbul karena terjadi peningkatan nilai
PaCO2 (hiperkapnia). Biasanya timbul dengan gejala nyeri kepala/ pusing, lesu,
dan lelah.
c) Hipoxemia
Merupakan penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg dengan nilai saturasi
oksigen <85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
d) Cardiac Disritmia
Adalah penyakit yang timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
e) Infeksi Pernafasan
Infeksi ini terjadi karena peningkatan produksi mukus yang berlebih,
penongkatan rangsangan otot yang polos bronkial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meingkatkan beban kerja otot pernafasan sehingga
timbul dyspnea (Kusumawati 2013).
2.1.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK akan dilakukan dengan cara terapi jangka panjang dan terapi
eksaserbasi akut.Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas
penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian. Adapun
meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki
nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangkan panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.
1. Terapi jangka Panjang dilakukan dengan:
Bronkodilator, tergantung reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum
pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru. Berikut
macam-macam bronkodilator
2. Golongan antikolinergik.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
3. Golonganβ– 2 agonis.
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat
sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
4. Kombinasi antikolinergik danβ– 2 agonis.
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas),bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah. (EGC, 2008).
(1) Antibiotik untuk kemoterapi preventiv jangka panjang, ampisilin 4x0,25-0,5%
dapat menurunkan eksaserbasi akut
(2) Fisioterapi
(3) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
(4) Terapi oksigen jangka panjang bagi pasin yang mengalami gagal napas tipe II
dengan PaO2<7,3 kPa (55mmHg).
(5) Rehabilitas pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan rehabilitas untuk pasien penyakit paru obstruksi kronik:
a) Fisioterapi
b) Rehabilitas psikis
c) Rehabilitas pekerjaan.
1. Terapi eksaserbasi akut:
b. Antibiotik , karenaeksaserbasi aku biasanya disertai infeksi.
a) Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H, influenza dan S.
Pneumoia, maka ampisilin 4x0,5 g/hari.
b) Augmentin (amixilin dan asam kalvulanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Catarhalis yang memproduksi laktamase.
Pemberian antibiotic seperti kotrimoksasol, amoksilin, atau
mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat peal flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaerbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumoia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
a) Terapi oksigen diberikan bila terdapat kegagalan pernafasan
karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap
CO2.
b) Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum
dengan baik.
c) Bronkodilator untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termasuk
didalamnya golongan adrenergic dan antikolinergik. Pada
pasien dapat diberikan salbutamol 5mg dan atau ipratropium
bromide 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
2.1.11 Pencegahan
a. Pencegahan primordial
Yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum ada
faktor risiko PPOK, meliputi: menciptakan lingkungan yang bersih dan
berperilaku hidup sehat seperti tidak merokok.
b. Pencegahan primer
Pencegahan ini merupakan upaya untuk mempertahankan yang
sehat agar tetaop sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Tujuan dari pencegahan primer ini adalah untuk mengurangiinsidensi
penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan
1) Kebiasaan merokok harus dihentikan
2) Memakai alat pelindung seperti masker ditempat kerja (pabrik)
yang terdapat asap mesin atau debu.
3) Membuat corongasap dirumah maupun ditempat kerja (pabrik)
4) Pendidikan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan PPOK.
c. Pencegahan sekunder
Pencegahan ini merupakan upaya untuk mencegah orang yang
telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan
menghindari komplikasi. Tujuan pencegan ini adalah untuk mengobati
penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit
yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.
d. Pencegahan tersier
Pencegahan ini bertujuan untuk mengurangi ketidakmampuan
dan mengadakan rehabilitas.
2.2 Konsep Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
2.2.1 Pengertian
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah suatu keadaan ketika
individu mengalami suatu ancama nyata atau potensial pada status pernafasan
karena ketidakmampuannya untuk batuk secara efektif. Diagnosis ini
ditegakkan jika terdapat tanda mayor berupa ketidakmampuan untuk batuk
atau kurangnya batuk, ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret dari jalan
napas. Tanda minor yang mungkin ditemukan untuk menegakkan diagosis ini
adalah bunyi napas abnormal, stridor, dan perubahan frekuensi, irama, dan
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas merupakan suatu keadaan ketika seorang
individu mengalami suatu ancaman yang nyata atau potensial pada status
pernafasan sehubungan dengan ketidakmampuan untuk batuk secara efektif
(Carpenito, 2006).
2.2.2 Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen adalah:
a. Saraf otonomik (rangsangan saraf simpatis dan saraf parasimpatis)
b. Peningkatan produksi sputum
c. Alergi pada saluran nafas
d. Faktor fisiologis
a) Menurunnya kemampuan mengikat O2
b) Menurunnya konsentrasi O2
c) Hipovolemia
d) Meningkatnya metabolisme
e) Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada
e. Faktor perkembangan
f. Faktor perilaku
a) Merokok
b) Aktivitas
c) Kecemasan
d) Penggunaan narkotika
e) Status nutrisi
g. Faktor lingkungan
a) Tempat kerja atau polusi
c) Ketinggian tempat dari permukaan laut
2.2.3 Proses Terjadinya
Obstruksi jalan nafas merupakan kondisi pernafasan yang tidak normal akibat
ketidakmampuan batuk secara efektif, dapat disebabkan oleh sekresi yang kental atau
berlebihan akibat penyakit infeksi, imobilisasi, statis sekresi yang tidak efektif.
hipersekresi mukosa saluran pernafasan yang menghasilkan lendir sehingga
partikel-partikel kecil yang masuk bersama udara akan mudah menempel di dinding saluran
pernafasan. Hal ini lama-lama akan mengakibatkan terjadi sumbatan sehingga ada
udara yang menjebak dibagian distal saluran nafas, maka individu akan berusaha lebih
keras untuk mengeluarkan udara tersebut. Itulah sehingga pada fase ekspirasi yang
panjang akan timbul bunyi-bunyi yang abnormal.
2.2.4 Manifestasi klinis
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD, 2016) tanda gejala PPOK sebagai berikut:
1) Dyspnea
Dyspnea merupakan gejala kardinal PPOK, kondisi ini sebagai
penyebab utama ketidakmampuan dan menimbulkan kecemasan pasien
terhadap penyakit. Tipe pasien PPOK digambarkan dari keadaan dyspnea-nya
sebagai peningkatan upaya pasien untuk bernapas, berupa napas berat dan
terengah–engah. Namun istilah yang digunakan untuk menggambarkan
dyspnea bervariasi dari individu dan budayanya.
Batuk kronik menjadi gejala pertama pasien PPOK, kondisi ini
merupakan efek dari merokok atau terpajan oleh polusi lingkungan. Pada
awalnya batuk hanya sebentar, kemudian lama kelamaan menjadi setiap hari
bahkan sepanjang hari. Batuk kronik pada PPOK bisa jadi tidak produktif.
Keadaan ini disebabkan berkembangnya keterbatasan aliran udara tanpa
adanya batuk.
3) Produksi sputum
Pasien PPOK umumnya terjadi peningkatan dalam jumlah kecil
sputum setelah batuk sputum. Produksi sputum terjadi selama 3 bulan atau
lebih, sekurang–kurangnya 2 tahun berturut–turut merupakan gejala klinis
dari batuk kronik. Akan tetapi produksi sputum pada pasien PPOK sulit
untuk dievaluasi karena pasien PPOK sering menelan sputum daripada
mengeluarkannya.
4) Wheezing dan sesak napas
Wheezing dan sesak napas merupakan gejala non spesifik dan
bervariasi antar pasien. Wheezing bisa didengarkan tersebar luas di dada saat
inspirasi atau ekspirasi. Sesak dada sering terjadi saat aktivitas, dan mungkin
timbul kontraksi isometrik dari otot interkostal
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik
1) Bronkografi yang bertujuan untuk melihat secara fisual bronkus sampai dengan
cabang bronkus
2) Latihan nafas cara untuk melihat pasien yang tidak memiliki kemampuan batuk secara
efektif dan bertujuan untuk membersihkan laring, trakea, dan bronkus dari sekret
3) Pemberian oksigen merupakan tindakan keperawatan dengan cara memberikan
oksigen kedalam paru, melalui saluran pernafasan dengan menggunakan alat bantu
oksigen
4) Fisioterapi dada
Merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan dengan cara posturaldrinase, clapping dan vibrating, pada pasien dengan gangguan sistem pernafasan (ikawati, 2013).
2.3 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
2.3.1 Pengkajian
1. Identitas klien
Penderita berjenis kelamin laki-laki, usia antara 50-60 tahun, biasanya
pasien menderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik bekerja di pabrik atau
merokok.
2. Keluhan utama Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Keluhan utama yang sering pada klien Penyakit Paru Obstruksi Krinis
yaitu: sesak nafas, batuk tak kunjung sembuh, ditemukan suara nafas
wheezing.
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang
diderita oleh klien mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai klien
dibawa ke Rumah sakit, dan apakah pernah memeriksakan diri ketempat
lain selain rumah sakit umum serta pengobatan apa yang pernah diberikan
dan bagaimana perubahannya dan data yang didapatkan saat pengkajian.
Riwayat kesehatan yang lalu seperti riwayat sebelumnya misalnya
bronkitis kronik, riwayat penggunaan obat-obatan (antitrypsin)
2.3.3 Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit
paru-paru lainnya.
2.3.4 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain:
1) Keadaan umum
Keadaan umum klien yang mengalami gangguan pernafasan biasanya
lemah
2) Penilain kesadaran, kualitatif, kuantiatif
3) Tanda-tanda vital:
Suhu pada klien PPOK yaitu hipotermi
Nadi pada klien PPOK takipnea
Tekanan darah pada klien PPOK yaitu hipertensi
Pernafasan biasanya mengalami peningkatan
4) Sistem respirasi
Sistem respirasi meliputi batuk, terdapat bunyi nafas ronchi, terdapat
bantuan otot bantu pernafasan, perkusi terdapat hiperresonan. 5) Sistem kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler meliputi nyeri, ketidaknyamanan dada,
proksimal, edema, perubahan warna kaki, adanya pembengkakan pada
vena jugularis (Mubarak, 2006).
6) Sistem neurosensori
Sistem ini meliputi sakit kepala, kejang, serangan jatuh,
masalah koordinasi, cedera kepala, vertigo, berkurangnya rasa asin dan
panas (pengecapan), penilaian diri pada kemampuan olfaktorius
(penghidu), pemeriksaan pada sistem pendengaran dan dampak pada
penampilan activity of daily life (ADL). Selain itu juga pemeriksaan
pada sistem penglihatan seperti pemakaian kaca mata, nyeri, air mata,
floater, riwayat infeksi, tanggal pemeriksaan paling akhir. Selain itu
dikaji juga kedekatan penglihatan, keluhan pandangan kabur, salah
satu mata tidak dapat berfungsi, kesulitan untuk memfokuskan, dan
ketidakmampuan melihat dalam kegelapan (Carpenito, 2006).
7) Sistem pencernaan
Konstipasi , konsisten feses, frekuensi eliminasi, auskultas bising
usus, anoreksia, adanya distensi abdomen, nyeri tekan abdomen.Sistem
Muskuloskeletal Nyeri berat tiba-tiba/ mungkin terlokalisasi pada area
jaringan dapat berkurang pada imobilissi, kontraktur atrofi otot.
8) Sistem Muskuloskeletal
Nyeri berat tiba-tiba/mungkin terlokalisasi pada area jaringandapat
berkurang pada imobilisasi, kontraktur atrofi.
9) Sitem metabolisme- integumen
Sistem metabolisme- integumen meliputi lesi/ luka, pruritus,
pada jari kaki dan kallus, pola penyembuhan lesi dan memar,
elastisitas/turgor.
10) Sistem perkemihan
Sistem genitourinaria meliputi disuria (nyeri saat berkemih),
frekuensi, kencing menetes, hematuria, poliuria, oliguria, nokturia,
inkontinensia, batu, infeksi saluran kemih. Pengkajian antara genetalia
pria antara lain: lesi, rabas, nyeri testikuler, massa testikuler, masalah prostat, penyakit kelamin, perubahan hasrat seksual, impotensi,
masalah aktivitas sosial. Sedangkan pengkajian pada genetalia wanita
antara lain: lesi, rabas, dispareunia, perdarahan pasca senggama, nyeri
pelvis, sistokel/rektokel/prolaps, penyakit kelamin, infeksi, masalah aktivitas seksual, riwayat menstruasi (menarche, tanggal periode menstruasi terakhir), tanggal dan hasil pap smear terakhir ( Mubarak, 2006).
2.3.5 Pola Fungsi Kesehatan
Pola fungsi kesehatan pada klien Penyakit Paru Obstruksi Kronik:
a) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan
kesehatan
b) Pola Nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan elektrolit,
nafsu makan, pola makan, diet, kesulitan menelan, mual/muntah, dan makanan kesukaan.
Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemih, defekasi, ada
tidaknya defekasi, masalah nutrisi, dan penggunan kateter.
d) Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap
energy, jumlah jam tidur siang dan malam, masalah tidur dan insomnia.
e) Pola aktifitas dan istirahat
Menggambarkan pola latihan, aktifitas, fungsi pernafasan, dan
sirkulasi, riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama, dan kedalaman
pernafasan.
f) Pola hubungan dan peran
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien
terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan.
g) Pola sensori dan kognitif
Pola persepsi sensori meliputi pengkajian penglihatan,
pendengaran dan penghidu. Pada klien katarak dapat ditemukan
gejala gangguan penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja
dengan merasa diruang gelap. Sedang tandanya adalah tampak
kecoklatan atau putih susu pada pupil, peningkatan air mata.
h) Pola persepsi menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi
terhadap kemampuan konsep diri
i) Pola seksual dan reproduksi
j) Menggambarkan kepuasan/ masalah terhadap seksualitas.
k) Pola mekanisme/penanggulangan stress.
l) Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress.
n) Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan termasuk
spiritual.
2.3.6 Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
2. Defesiensi Pengetahuan
2.3.7 Intervensi
Tabtabel 2.2 intervensi PPOK dengan masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas (sumber : Huda, 2015)
NO Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi 1 Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas
Definisi : ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernafasan untuk
mempertahankan kebersihan jalan nafas.
Batasan Karakteristik : 1. Batuk yang tidak
efektif. 2. Dispnea 3. Gelisah
4. Kesulitan verblisasi 5. Mata terbuka lebar 6. Ortopnea
7. Penurunan bunyi nafas 8. Perubahan fungsi
nafas
9. Perubahan pola nafas 10. Sianosis
11. Sputum dalam jumlah yang berlebihan 12. Suara nafas tambahan 13. Tidak ada batuk Faktor – faktor yang berhubungan :
1. Lingkungan a. Perokok
b.Perokok pasif c.Terpejan asap 2. Obstruksi jalan nafas
a. Adanya jalan nafas buatan
b.Benda asing dalam jalan nafas c. Eksudat dalam
alveoli d.Hiperplasia pada
dinding bronkus e. Mukus berlebihan
Noc
1. Status pernafasan: kepatenan jalan nafas 2. Status pernafasn :
tanda-tanda vital Kriteria Hasil :
1. Suara nafas tambahan
2. Pernafasan cuping hidung
3. Dispnea saat istirahat 4. Dispnea dengan
aktivitas ringan 5. Penggunaan otot
bantu nafas 6. Batuk
7. Akumulasi sputum 8. Respirasi agonal TTV:
1. Tekanan darah normal:
Sitol <120 mmHg Diastol <80 mmHg
2. Nadi normal 60-100 kali per menit 3. Pernafasan dalam
batas normal
14-1. Dampingi pasien untuk bisa duduk pada posisi kepala sedikit lurus, bahu relaks dan lutut ditekuk atau posisi fleksi
2. Dukung pasien menarik nafas dalam beberapa kali 3. Dukung pasien
untuk melakukan nafas dalam, tahan selama 2 detik, bungkukkan kedepan, tahan 2 detik dan batukkan 2-3 kali
4. Minta pasien untuk menarik nafas dalam, bungkukkan ke depan, lakukan tiga atau empat kali hembusan (untuk membuka area glotis)
5. Minta pasien untuk menarik nafas dalam beberapa kali, keluarkan perlahan dan batukkan di akhir ekshalasi (penghembusan) 6. Minta pasien untuk
batuk dilanjutkan dengan beberapa periode nafas dalam 7. Dampingi pasien
2.2.8
pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien
selama dan sesudah pelaksanaan tindakan dan menilai data yang baru.
Ada beberapa ketrampilan yang dibutuhkan dalam hal ini. Pertama, ketrampilan kognitif.
Ketrampilan kognitif mencakup pengetahuan keperawatan yang menyeluruh. Perawat harus
mengetahui alasan untuk setiap intervensi terapeutik, memahami respon fisiologis dan
psikologis normal dan abnormal, mampu mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran dan
pemulangan klien, dan mengenali askep-askep promotif kesehatan klien dan kebutuhan
penyakit.
f. Penyakit paru obstruksi kronik g.Sekresi yang
bertahan
bantal atau selimut yang dilipat untuk menahan perut saat batuk.
8. Monitor fungsi paru, terutama kapasitas vital, tekanan inspirasi maksimal, tekanan volume ekspirasi 1 detik (FEV1) dan FEV1/FVC sesuai dengan kebutuhan. 9. Lakukan tehnik
chest wall rib spring selama fase
ekspirasi melalui manuver batuk, sesuai dengan kebutuhan. 10. Tekan perut
dibawah xiphoid 12. Dukung hidrasi
Kedua, ketrampilan interpersonal, ketrampilan ini penting untuk tindakan keperawatan yang
efektif. perawat harus berkomunikasi dengan jelas kepada klien, keluarganya dan anggota tim
Perawat kesehatan lainnya.
Ketiga, ketrampilan psikomotor, ketrampilan ini mencakup kebutuhan langsung terhadap
perawatan kepada klien, seperti memberikan suntikan, melakukan penghisapan lendir,
mengatur posisi, membantu klien memenuhi aktivitas sehari-hari dan lain-lain (Rohmah dan
Walid, 2009).
2.3.9 Evaluasi
Merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan yang merupakan perbandingan
yang sistematis dan rencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan untuk meilai apakah
tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang mencakup satu unit secara intensif
misalnya satu klien atau dua klien. Meskipun jumlah subyek cenderung sedikit namun
jumlah variabel yang berhubungan dengan masalah studi kasus. Rancangan dari studi
kasus bergantung pada keadaan kasus namun tetap mempertimbangan penelitian waktu.
Riwayat dan perilaku mempelajari suatu kejadian mengenai perseorangan (riwayat
hidup). Pada metode studi kasus ini diperlukan banyak informasi guna mendapatkan
bahan-bahan yang agak luas, sebelumnya biasanya dikaji secara rinci. Keuntungan paling
besar dari rancangan ini pengkajian secara rinci, meskipun jumlah respondennya sedikit,
Studi kasus dibatasi oleh waktu dan tempat serta kasus yang dipelajari berupa
peristiwa, aktivitas atau individu. Dalam studi kasus ini adalah studi kasus untuk
mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan PPOK dengan masalah ketidakefektifan
bersihan jalan nafas.
3.2 Batasan Istilah
Batasan istilah merupakan pernyataan yang menjelaskan istilah-istilah kunci yang
menjadi fokus studi kasus. Dalam penelitian studi kasus batasan istilah adalah :
1. Asuhan keperawatan: adalah merupakan suatu hal yang tidak akan terlepas dari
pekerjaan seseorang perawat dalam menjalankan tugas serta kewajibannya serta peran
dan fungsinya terhadap pasiennya. Dalam studi kasus ini peneliti melaksanakan
Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruksi Kronik yaitu suatu proses atau
rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan secara langsung kepada
klien yang mengalami masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas dimulai dari
pengkajian (pengumpulan data, analisa data, dan penentuan masalah) diagnosis
keperawatan, pelaksasaan dan penelitian tindakan keperawatan (evaluasi).
2. Klien adalah seseorang yang menerima perawatan medis (setiap orang yang
melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan
yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pelayanan
kesehatan / dokter atau perawat).
3. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang bisa dicegah dan
diatasi, yang dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang
biasanya bersifat progresif, dan terkait dengan adanya respon inflamasi kronis saluran
4. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas adalah suatu keadaan ketika individu
mengalami suatu ancaman nyata atau potensial pada status pernafasan karena tidak
mampunya untuk batuk secara efektif (Tanto, 2014).
3.3 Partisipan
Partisipan adalah Subyek yang berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan
dan peran serta. Patisipan pada studi kasus ini dipilih dengan menggunakan metode
purposive. Metode purposive adalah metode pemilihan partisipan dalam suatu studi kasus dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukan dalam studi
kasus, dimana partisipan yang diambil dapat memberikan informasi yang berharga pada
studi kasus (Nursalam,2013). Studi kasus ini menggunakan 2 klien dengan karakteristik
PPOK yang mengalami ketidakefektifan bersihan jalan nafas dengan jenis kelamin yang
sama dan umur 35-60 Tahun.
3.4 Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi dan waktu penelitian adalah suatu tempat atau wilayah dimana penelitian
tersebut akan dilakukan. Lokasi studi kasus tersebut didasarkan pada:
1. Tempat banyaknya jumlah klien yang mengalami PPOK di Ruang Cempaka RSUD
Jombang alamat di Jl. Kh. Wachid Hasyim No.52 Jombang
2. Kemudahan akses peneliti terhadap partisipan.
3. Waktu yang ditetapkan yaitu sejak klien pertama MRS sampai klien pulang, atau
klien yang dirawat minimal 3 hari. Jika selama 3 hari klien sudah pulang, maka perlu
penggantian klien lainnya yang sejenis.
Pengumpulan data merupakan tahapan dalam proses penelitian yang penting, karena
hanya dengan mendapatkan data yang tepat maka, proses penelitian akan berlangsung
sampai mendapatkan jawaban dari perumusan masalah yang sudah ditetapkan
(Nursalam, 2011)
Agar dapat diperoleh data yang sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini,
sangatlah diperlukan teknik mengumpulkan data. Adapun teknik menggunakan
pengumpulan data dalam penelitian deskriptif, yaitu :
1) Wawancara
Wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan, di mana
peneliti mendapatkan keterangan atau penderian secara lisan dari seseorang sasaran
peneliti (responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang tersebut
(face to face). Jadi data tersebut diperoleh langsung dari responden melalui suatu pertemuan atau percakapan (Saryono, 2013)
Materi wawancara meliputi : anamnesis berisi tentang (wawancara dengan subyek
atau responden), keluhan utama, riwayat penyakit sekarang-dahulu-keluarga yang
lain-lain sesuai dengan pedoman yang akan diungkap). Sumber data dari klien,
keluarga, perawat lainnya.
2) Observasi dan pemeriksaan fisik
Observasi merupakan salah satu metode yang dilakukan dengan cara pengamatan
dilakukan dengan seluruh alat indra, tidak terbatas hanya pada apa yang dilihat
(terhadap perilaku dan lingkungan, baik sosial dan material individu atau kelompok
yang diamati ) ( Saryono, 2013)
Observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang berencana, yang anatara lain
meliputi melihat dan mencatat jumlah dan taraf aktivitas tertentu yang ada
hanya mengunjungi, melihat, atau menonton saja, tetapi disertai keaktifan jiwa atau
perhatian, khusus dan melakukan pencatatan-pencatatan. Dalam penelitian ini
observasi dilakukn menggunakan pendekatan IPPA yaitu : Inspeksi, Perkusi,
Auskultasi pada sistem tubuh pasien.
3) Studi dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan
sebagainya (Saryono, 2013). Dalam studi kasus ini dokumentasi berupa hasil dari
rekam medik, literatur, pemeriksaan diagnostik dan data lain yang relavan.
3.6 Uji Keabsahan Data
Keabsahan Data merupakan standar kebenaran suatu data hasil penelitian yang lebih
menekankan pada data/ informasi daripada sikap dan jumlah orang. Untuk menetapkan
keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan (pengujian). Pelaksanaan teknik
pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang
digunakan yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability) (Sugiono, 2010). Uji keabsahan data dimaksudkan untuk menguji kualitas data / informasi yang diperoleh
dalam penelitian sehingga menghasilkan data dengan validitas tinggi. Disamping
integritas peneliti (karena peneliti menjadi instrumen utama), uji keabsahan data
dilakukan dengan:
1. Memperpanjang waktu pengamatan/tindakan sampai kegiatan studi kasus berakhir
dan memperoleh validitas hasil yang diinginkan. Dalam studi kasus ini waktu yang
tentukan adalah 3 hari akan tetapi apabila belum mencapai validitas data yang
diinginkan maka waktu untuk mendapatkan data studi kasus diperpanjang satu hari,
2. Triangulasi merupakan metode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan
menganalisis data dengan pihak lain untuk memperjelas data atau informasi yang
telah diperoleh responden,. Adapun pihak lain dalam studi kasus ini yaitu keluarga
klien yang pernah menderita penyakit yang sama dengan klien dan perawat yang
pernah mengatasi maslah yang sama dengan klien.
3.7 Analisa Data
Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori dan satu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema tertentu
(Moleong, 2007). Analisa data dilakukan sejak penliti dilapangan, sewaktu pengumpulan
data sampai dengan semua data terkumpul. Analisa data dilakukan dengan cara
mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan teori yang ada dan
selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan. Teknik analisis yang digunakan dengan
cara menarasikan jawaban-jawaban yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara
mendalam yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Teknik analisis digunakan
dengan cara observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang menghasilkan data untuk
selanjutnya diinterpretasikan dan dibandingkan teori yang ada sebagai bahan untuk
memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut. Urutan dalam analisis adalah:
1) Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari hasil WOD (wawancara, Observasi, Dokumen). Hasil ditulis
dalam bentuk catatan lapangan, kemudian disalin dalam bentuk transkip (catatan
terstruktur).
2) Mereduksi Data
Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan dijadikan satu
dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostic kemudian dibandingkan nilai
normal.
3) Penyajian Data
Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun teks naratif.
Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan menyamarkan identitas dari klien.
4) Kesimpulan
Dari data yang disajikan, kemudian dat dibahas dan dibandingkan dengan hasil-hasil
penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan. Penarikan
kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data yang dikumpulkan terkait
dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan, tindakan, evaluasi.
3.8 Etik Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti izin dari institusi untuk melakukan
penelitian. Setelah mendapatkan izin barulah melakukan penelitian dengan menekankan
masalah etika yang meliputi : informed consent (persetujuan menjadi responden), anonomity (tanpa nama), dan confidentialy (kerahasiaan).
Dicantumkan etika yang mendasari penyusunan studi kasus, terdiri dari:
1) Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden peneliti dan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed concent adalah agar subjek
mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya.
2) Anonimity (tanpa nama); maslah etika penelitian merupakan masalah yang memberikan jaminan dala penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak
memberikan atau menempatkan nama responden pada lembar pengumpulan data
3) Confidentiality (kerahasiaan); masalah ini merupakan masalah etika dengan memberi jaminan kerahasian hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh
peneliti.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Gambaran Lokasi Pengumpulan Data
Lokasi pengambilan data bertempat di RSUD Jombang jln. KH. Wahid
Hasyim No. 025 Jombang, RSUD ini bertipe B non Pendidikan, memiliki 7 ruangan
Rawat inap salah satunya Paviliun Cempaka. Di ruang cempaka ini memliki fasilitas
dilakukan di ruang G8 yang terdapat 10 tempat tidur dan memiliki almari khusus
dikeliling tempat tidur. Ruang G8 ini memiliki ventilasi dan ruangan yang bersih.
4.1.2 Pengkajian
Tabel 4. Dengan Masalah Ketidakefektifan 1 Identitas Klien PPOK Bersihan Jalan Nafas Diruang Cempaka RSUD Jombang, 2017
Identitas Klien Klien 1 Klien 2
Sawiji, Jogoroto Jombang Kawin
Tabel 4.2 Riwayat Penyakit Pada Klien PPOK Dengan Masalah Ketidakefektifa Bershan Jalan Nafas Diruang Cempaka RSUD Jombang, 2017
RIWAYAT PENYAKIT Klien 1 Klien 2 Keluhan Utama Klien mengatakan sesak dan
batuk
Klien mengatakan dadanya terasa sesak dan batuk Riwayat Penyakit Sekarang Klien mengatakan sesak sejak 3
bulan yang lalu tapi satu minggu sebelum dibawa ke RSUD Jombang klien dibawa ke Puskesmas Mayangan kemudian sabtu malam jam 01.00 klien dadanya semakin berat dan semakin lemas kemudian pagi jam 05.00 klien baru di bawa ke akhirnya oleh perawat dianjurkan untuk rawat inap diruang Paviliun Cempaka RSUD Jombang.
Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengatakan sudah ke-3 masuk RSUD Jombang dengan penyakit PPOK, klien mengatakan sudah menderita penyakit PPOK kurang lebih 5 tahun.
Klien mengatan sebelumnya tidak pernah masuk RSUD Jombang.
Riwayat Penyakit Keluarga Klien mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami PPOK, asma, bronkitis.
Klien mengatakan keluarganya tidak ada yang menderita PPOK, asna, dan bronkitis.
Tabel 4.3 Perubahan Pola Pada Klien PPOK Dengan Masalah Ketidakefetifan Bersihan Jalan Nafas Di Ruang Cempaka RSUD Jombang, 2017
POLA KESEHATAN Klien 1 Klien 2 Pola Mangaement Kesehatan Dirumah:
Klien ketika sakit sering pergi ke pelayanan kesehatan, dan
Dirumah: