MELALUI KATEKESE
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Theresia Tincerustina NIM: 041124002
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
MELALUI KATEKESE
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Theresia Tincerustina NIM: 041124002
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Dengan penuh rasa syukur skripsi ini kupersembahkan kepada:
Kongregasi SMFA
(Suster-Suster Misi Fransiskan Santo Antonius)
dan
para Pendamping Kaum Muda, MUDIKA Miliran dan MUDIKA Paroki
“Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya”.
(1 Tes 5:24)
“Janganlah katakan: aku ini masih muda, tetapi kepada siapapun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi dan apapun yang Kuperintahkan kepadamu,
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat
karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar
pustaka sebagaimana selayaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 9 September 2008
Penulis,
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Theresia Tincerustina
Nomor Mahasiswa : 041124002
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN IMAN KRISTIANI KAUM MUDA MILIRAN, PAROKI BACIRO, YOGYAKARTA, MELALUI KATEKESE
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 9 September 2008
Yang menyatakan
Judul skripsi “UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN IMAN KRISTIANI KAUM MUDA MILIRAN, PAROKI BACIRO, YOGYAKARTA, MELALUI KATEKESE” dipilih berdasarkan pada fakta bahwa pelaksanaan katekese orang dewasa di Lingkungan Miliran memprihatinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam setiap pelaksanaan katekese orang dewasa, jumlah umat maupun kaum mudanya yang hadir sangat sedikit. Dalam proses katekese, kaum muda cenderung pasif dan hanya mendengarkan apa yang disampaikan oleh katekis. Selama proses berlangsung, orang tua terlalu mendominasi sehingga kaum muda merasa kurang dilibatkan. Be rtitik tolak pada kenyataan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para pendamping pendalaman iman dan kaum muda mendapatkan cara baru dalam berkatekese dengan menggunakan katekese model Shared Christian Praxis.
Permasalahan pokok dalam skripsi adalah kurangnya kualitas pendamping dalam mengemas suatu pendalaman iman. Maka untuk melihat permasalahan secara lebih mendalam, penulis mengadakan penelitian sederhana. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kaum muda kurang tersapa dan dilibatkan dalam proses pendalaman iman. Berdasarkan penemuan di atas maka penulis menawarkan program pendampingan iman yang menarik dan berkualitas bagi kaum muda dengan model Shared Christian Praxis (SCP) yang dikemas dalam bentuk pendalaman iman, wisata rohani dan outbound. Program ini dibuat dengan tujuan agar kaum muda lebih banyak terlibat dalam mengkomunikasikan pengalaman iman mereka dan berpartisipasi secara aktif dalam proses berkatekese. Dengan demikian program pendampingan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) dapat membantu kaum muda dalam meningkatkan penghayatan iman mereka.
This thesis entitled “THE EFFORT TO ENHANCE THE PRACTICE OF MILIRAN YOUTH CHRISTIAN FAITH THROUGH CATECHESES AT BACIRO PARISH, YOGYAKARTA” was chosen based on the fact that implementation of the adult catechesis at Miliran is inadeguate. The fact shows that there are only few people attending in every time the adult catechesis is conducted. During the process of catechesis, the participants of youth are passive and only to listen to the catechist’s words, and the catechists plays the main role. Based on this concern, this thesis is meant to help catechists and the youth and sind a new way in catechizing by using a catecheses model of Shared Christian Praxis.
The main problems discussed in is inability of the catechists to create interesting. Therefore, in order to see the problem in detail, the writer conducted a simple research. The results of catechese activities. The research indicated that the youth were less addressed and involved in the process of catechetical activities. Based on the result above, the writer offered an appealing program of faith deepening for them by using Shared Christian Praxis model (SCP), which was done in the forms of faith deepening, a spiritual tour and an outbound. This program was designed with a specific intention on the youth so they were more involved in communicating the practice of their personal faith and participating actively in the process of the catecheses. Thus, the program of Shared Christian Praxis model (SCP) can assist the youth to enhance their faith practices.
Puji syukur kepada Allah Bapa yang telah setia membimbing dan menuntun
penulis selama menyusun hingga terselesaikannya penulisan skripsi yang berjudul
“UPAYA MENINGKATKAN PENGHAYATAN IMAN KRISTIANI KAUM
MUDA MILIRAN, PAROKI BACIRO, YOGYAKARTA, MELALUI
KATEKESE”.
Skripsi ini disusun berdasarkan keprihatian di lapangan menyangkut kehidupan
keagamaan kaum muda. Mengingat dan menimbang bahwa penulis juga hidup dan
tinggal bersama dengan mereka, maka penulisan skripsi ini ditujukan bagi para kaum
muda, pendamping kaum muda dan siapa saja yang mempunyai hati, minat dan perhatian
kepada perkembangan iman kaum muda. Semoga tulisan ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran, inspirasi dan dorongan untuk meningkatkan kegiatan kaum muda.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung, maka pada kesempatan ini penulis dengan setulus hati
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak P. Banyu Dewa HS., S.Ag., M.Si. selaku dosen pembimbing utama yang
dengan penuh kesabaran, kesetiaan senantiasa memberikan semangat dan masukan
kepada penulis hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.
2. Romo Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J. selaku dosen wali yang telah setia membimbing
dan mengarahkan penulis selama menimba ilmu di kampus IPPAK.
3. Romo Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen penguji III yang berkenan
memberi masukan yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi
Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama
belajar hingga selesainya skripsi ini.
5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan
bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Pimpinan dan Dewan Umum Kongregasi SMFA beserta anggotanya yang telah setia
memberikan dukungan moral dan spiritual serta semangat hingga terselesaikannya
skripsi ini.
7. Para suster di komunitas Miliran yang dengan penuh kesabaran, kesetiaan
mendukung, mendoakan penulis.
8. Bapak, ibu, kakak, adik yang memberikan semangat dan dukungan selama penulis
menempuh studi di Yogyakarta.
9. Pastor Paroki dan sekretariat Paroki Kristus Raja Baciro, pengurus Lingkungan
se-Miliran yang telah memberi kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk
mengadakan penelitian dan mendampingi kegiatan MUDIKA.
10.Pengurus MUDIKA Miliran, S. Deddy Budiawan, Y. Novian Trigunawan, Y. Danang
Kristiyanto, S. Anjar Apriyana Hermawan, A. Ruwi Haryanto, A. Eko Purwanto, C.
Diah Anggraeni, A. Nucifera Haidityasari dan siapa saja yang dengan caranya sendiri
telah mendukung proses penulisan skripsi ini dengan bersedia memberikan informasi
yang diperlukan demi kelengkapan materi skripsi ini.
11.Sahabat-sahabat mahasiswa angkatan 2004/2005 yang selalu setia me mberikan
semangat dan dukungan.
12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang selama ini dengan tulus
penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhir
kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
yang berkepentingan.
Yogyakarta, 9 September 2008
Penulis
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah... 7
C. Pembatasan Masalah... 8
D. Rumusan Masalah... 8
E. Tujuan Penulisan... 9
F. Manfaat Penulisan... 9
G. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II. PENGHAYATAN IMAN KAUM MUDA DAN KATEKESE... 11
A. Penghayatan Iman... 11
1.Pengertian Iman ... 11
2.Penghayatan Iman Kristiani ... 14
B. Kaum Muda... 15
1.Pertumbuhan Fisik ... 16
2.Perkembangan Mental... 16
3.Perkembangan Emosional... 16
4.Perkembangan sosial-Psikologis... 17
C. Tantangan Penghayatan Iman Kristiani Kaum Muda dan
Pendampingannya ... 18
1.Tantangan Penghayatan Iman Kristiani Kaum Muda... 18
a. Peranan Gereja pada umumnya terhadap Penghayatan Iman Kaum Muda ... 20
b.Peranan Gereja Kecil atau Keluarga terhadap Penghayatan Iman Kaum Muda ... 22
2.Pengertian Pendampingan ... 24
a. Tujuan Pendampingan... 24
b.Materi Pendampingan... 24
c. Bentuk Pendampingan... 25
d.Syarat Pendampingan... 25
1) Pelaksanaan Pendampingan... 25
2) Pendamping ... 25
3) Evaluasi... 26
D. Katekese ... 27
1.Katekese pada umumnya ... 27
2.Arti Katekese ... 28
3.Tujuan Katekese ... 29
4.Isi Katekese... 30
5.Katekese Umat dalam upaya Meningkatkan Penghayatan Iman. 31
a. Pengertian Katekese Umat ... 31
b.Tujuan Katekese Umat ... 31
c. Model- model Katekese Umat ... 32
1) Katekese Umat dengan Model Pengalaman Hidup ... 32
2) Katekese Umat dengan Model Biblis ... 33
3) Katekese Umat dengan Model Campuran: Biblis dan Pengalaman Hidup ... 33
d.Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Salah Satu Model Katekese Umat ... 34
1)Pengertian Shared Christian Praxis (SCP)... 34
c)Sharing ... 36
2)Langkah- langkah Shared Christian Praxis (SCP)... 37
a)Langkah Nol : Pemusatan Aktivitas ... 37
b)Langkah I : Mengungkap Pengalaman Hidup Peserta ... 38
c)Langkah II : Mendalami Pengalaman Hidup Peserta .. 39
d)Langkah III : Menggali Pengalaman Iman Kristia ni .... 39
e)Langkah IV : Menerapkan Iman Kristiani dalam Situasi Konkrit Peserta... 40
f) Langkah V : Mengusahakan Suatu Aksi Konkrit ... 41
BAB III. METODOLOGI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN PENGHAYATAN IMAN KAUM MUDA SERTA PELAKSANAAN KATEKESE DI MILIRAN, PAROKI BACIRO, YOGYAKARTA ... 42
A. Metodologi Penelitian... 42
1.Jenis Penelitian... 42
2.Tempat dan Waktu Penelitian... 43
3.Populasi dan Sampel ... 43
4.Identifikasi Variabel... 43
a.Definisi Operasional Variabel... 43
b.Pengembangan Instrumen ... 44
5.Tehnik Pengumpulan Data... 46
a. Observasi... 46
b.Wawancara... 46
c. Kuesioner ... 47
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 47
a. Gambaran Umum Tempat Penelitian... 47
a. Latar Belakang Berdirinya Paroki Baciro Yogyakarta... 47
b.Lingkungan Miliran... 49
b. Laporan Hasil Penelitian... 50
c. Statistik Katekese dan Penghayatan Iman ... 53
a. Penjabaran Statistik Penghayatan Iman... 54
d. Tabel Hasil Penelitian di Lapangan... 73
a. Tabel Penghayatan Iman ... 73
b. Tabel Katekese ... 78
C. Refleksi Kateketis Hasil Penelitian... 84
BAB IV. USULAN PROGRAM KATEKESE UMAT MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) BAGI KAUM MUDA MILIRAN, PAROKI BACIRO, YOGYAKARTA ... 88
A. Latar Belakang Penyusunan Program... 88
a. Wisata Rohani... 90
b.Outbound... 90
B.Alasan Pemilihan Tema dan Tujuan... 91
C.Penjabaran Program... 94
D.Petunjuk Pelaksanaan Program... 97
E.Persiapan Pendampingan Katekese... 98
1. Contoh Persiapan Pendampingan Iman Model Shared Christian Praxis (SCP)... 98
2. Contoh Persiapan Pendampingan Iman dengan Bentuk Wisata Rohani ... 111
3. Contoh Persiapan Pendampingan Iman dengan Bentuk Outbound... 122
4. Contoh Persiapan Pendampingan Iman Model Pengalaman Hidup... 133
BAB V. PENUTUP ... 145
A. Kesimpulan... 145
1.Permasalahan Pokok Berkaitan dengan Kaum Muda ... 145
2.Peranan Orang Tua dan Gereja dalam Upaya Meningkatkan Penghayatan Iman Kaum Muda ... 146
3.Peranan Pendamping Pendalaman Iman... 148
B. Saran ... 150
1.Saran Umum bagi MUDIKA, Orang Tua, Pendamping Kaum Muda... 150
2.Saran Khusus bagi Gereja Paroki Baciro Yogyakarta ... 151
Lampiran 2: Kuesioner Penelitian... (2) Lampiran 3: Daftar Pertanyaan Wawancara bagi MUDIKA... (6) Lampiran 4: Daftar Pertanyaan Wawancara bagi Pengurus
Lingkungan, Pendamping MUDIKA, dan Orang Tua ... (7) Lampiran 5: Hasil Wawancara... (8)
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1976/1977, hal. 8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7
Desember 1965.
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada
para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa
kini, 16 Oktober 1979.
DCG : Directorium Catechisticum Generale, Direktorium Kateketik Umum
yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci para Klerus, 11 April 1971.
DH : Dignitatis Humanae, Pernyataan Konsili Vatikan II, tentang Kebebasan
Beragama 7 Desember 1965.
DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu
Ilahi, 18 November 1965.
GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di
Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.
LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja,
Art : Artikel
Dll : dan lain- lain
KAS : Keuskupan Agung Semarang
KKI : Karya Kepausan Indonesia
KWI : Konferensi Waligereja Indonesia
LCD : Liquid Cristal Display
MUDIKA : Muda- mudi Katolik
PIA : Pendampingan Iman Anak
PIRA : Pendampingan Iman Remaja
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
PT : Perseroan Terbatas
RINSTRA : Rencana Induk Strategik Pengembangan Paroki Kristus Raja Baciro
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SMTA : Sekolah Menengah Tingkat Atas
PENDAHULUAN
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil judul “Upaya Meningkatkan
Penghayatan Iman Kristiani Kaum Muda Miliran, Paroki Baciro, Yogyakarta, melalui
Katekese”. Dalam bagian pendahuluan ini, penulis akan menguraikan hal-hal yang
berkaitan dengan judul skripsi tersebut, seperti: latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Untuk
lebih jelasnya akan diuraikan satu per satu.
A.Latar Belakang
Dalam kurun waktu tertentu, manusia mengalami perubahan dan pertumbuhan, baik
itu secara jasmani maupun rohani. Perubahan dan pertumbuhan tentunya melalui
perkembangan. Dalam siklus kehidupan terjadi perkembangan yaitu mulai dari bayi,
anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua; dan yang akan dibahas pada kesempatan ini
adalah remaja-dewasa. Mereka ini sering dikenal dengan nama kaum muda.
Kaum muda dalam arti kata dipergunakan untuk menunjuk kaum, golongan atau kelompok orang yang muda usia. Kaum muda adalah para muda-mudi yang berumur 15-21 tahun. Menurut organisasi pemuda, kaum muda dapat mencakup semua muda-mudi yang berumur antara 15-40 tahun (Mangunhardjana, 1986: 11-12).
Bagi kaum muda masa ini merupakan masa yang tidak seimbang dalam hidupnya
karena sedang dalam proses pencarian dan penentuan identitas dirinya. Pada masa ini
biasanya kaum muda mengalami berbagai persoalan seperti kebebasan, ketaatan, masa
depan, hidup seksual dan hidup keagamaan. Masa ini akan menjadi lebih berat kalau
Psikologi mendeskripsikan kaum muda sebagai orang-orang yang secara fisik berada
pada taraf di mana daya tahan tubuh berada pada puncak perkembangannya. Sejalan
dengan perkembangan fisik, fungsi intelektual orang muda pun berada pada satu tingkat
yang tinggi dan baik. Mereka dapat berpikir secara kritis pada tingkat lintas ilmu dan
dapat melahirkan gagasan-gagasan serta ide-ide, membentuk konsep-konsep yang dapat
mempertajam kemampuan inteligensi yang meliputi kosa kata, informasi umum dan
pemikiran untuk memperbaiki hidup secara menyeluruh, pengembangan bakat dan minat
yang makin terarah kepada tujuan hid up yang telah ditentukan (Suban, 1994: 89). Dengan
kata lain, pada puncak perkembangannya kaum muda menjadi orang yang penuh vitalitas
dan memiliki berbagai kemungkinan untuk mewujudkan diri. Mereka menjadi sangat
peka terhadap segala kejadian dan peralihan suasana di sekitarnya.
Kaum muda Katolik adalah kelompok kaum muda yang menjalankan kegiatannya
dalam wadah MUDIKA (Muda- mudi Katolik). Sebagai orang Katolik maka mereka
menghayati imannya dalam Gereja Katolik. MUDIKA menyatakan imannya kepada
Allah Tritunggal dengan ikut serta dalam kehidupan menggereja. Iman adalah penyerahan
total kepada Allah yang menyatakan diri tidak karena terpaksa, melainkan dengan “suka
rela”. Ungkapan tersebut seperti terdapat dalam Dokumen Gereja, yaitu:
Salah satu pokok yang amat penting dalam ajaran Katolik, yang tercantum dalam Sabda Allah dan terus menerus diwartakan oleh para Bapa Gereja, yakni manusia wajib secara suka rela menjawab Allah dengan beriman; maka dari itu tak seorang pun boleh dipaksa melawan kemauannya sendiri untuk memeluk iman. Sebab pada hakikatnya kita menyatakan iman kita dengan kehendak bebas, karena manusia…tidak dapat mematuhi Allah yang mewahyukan Diri, kalau ia, sembari ditarik oleh Bapa, tidak dengan bebas menyatakan kepada Allah ketaatan imannya, yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan (DH 10).
Iman tidak terlepas dari pengalaman hidup, maka penghayatan iman yang dianut
hendaknya terwujud dalam perbuatan hidup nyata sehari- hari, baik dalam Lingkungan
terungkap dalam teks Kitab Suci “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu
pada hakekatnya adalah mati” (Yak 2:17). Di dalam wadah MUDIKA sendiri juga telah
ada upaya untuk mewujudkan penghayatan iman melalui menjadi anggota MUDIKA,
aktif di karang taruna, melibatkan diri dalam kegiatan kemanusiaan, baik di Lingkungan
Gereja ma upun masyarakat, dll. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa MUDIKA adalah
harapan dan generasi penerus Gereja, sebab di pundak merekalah keberlangsungan hidup
beriman terus bertumbuh dan berkembang. Maka sudah selayaknya kalau MUDIKA
mendapat pendampingan yang benar dan terus menerus. Membangun manusia muda
adalah tugas bersama, maka diperlukan kerja sama berbagai pihak yaitu MUDIKA
sendiri, orang tua, keluarga, Lingkungan, masyarakat dan Gereja. MUDIKA yang
memperoleh bekal memadai untuk me neruskan karya Gerejani yang telah dimulai,
menjadikan mereka siap terjun ke masyarakat guna memberikan kesaksian melalui
keterlibatannya di dalam hidup menggereja maupun bermasyarakat. Pengalaman ini
penulis alami ketika mengamati proses kegiatan yang berlangsung di Miliran, Lingkungan
Santo Andreas, Lingkungan Santo Don Bosco dan Lingkungan Santo Simon Rasul. Pada
umumnya ketika waktu anak-anak, remaja aktif terlibat di Lingkungan dengan sendirinya
ketika menjadi mudika dan dewasa mereka juga tetap aktif di Lingkungan.
Di Paroki Baciro terdapat tiga puluh tujuh Lingkungan. Hal ini memberi gambaran
secara sepintas bahwa Paroki Baciro sangat potensial dalam membantu umatnya untuk
menumbuhkembangkan iman mereka sehingga umat terbantu dalam mewujudkan
pengha yatan imannya di dalam lingkup Gereja. Fakta di lapangan menunjukkan kurang
dirasakan karena tidak semua Lingkungan mempunyai usaha yang sama dalam
mengembangkan bidang pastoral terutama model pertemuan pendalaman iman yang
bervariasi. Kegiatan MUDIKA juga bervariasi dalam mengembangkan usahanya, seperti
yang telah dirintis oleh para pendahulunya. Kegiatan MUDIKA tetap berjalan karena
proses regenerasi sungguh diperhatikan. Artinya sebelum terjadi pergantian pengurus,
sudah ada tenaga yang dipersiapkan untuk mengganti sehingga ketika terjadi pergantian
pengurus baru sudah ada tenaganya, sedangkan beberapa Lingkungan yang lain sudah
mati. Penyebabnya adalah: permasalahan pribadi, di mana di antara MUDIKA ada yang
merasa minder untuk mengikuti kegiatan karena sudah lama tidak aktif; kesenjangan usia
sehingga kalau tidak ada teman sebaya tidak mau datang; tuntutan tugas dari sekolah atau
tempat kerja. Selain itu juga karena jumlah MUDIKA di Lingkungan hanya sedikit
sehingga kegiatan MUDIKA tidak jalan. Ada pula MUDIKA yang di Lingkungan tidak
aktif karena lebih suka mengikuti kegiatan di komunitas atau di gereja lain yang lebih
maju kegiatannya. Di dalam organisasi MUDIKA sendiri juga terjadi pergesekan antara
pengurus dan anggotanya yang disebabkan oleh ketidakpuasan anggota terhadap pengurus
yang kurang mampu mempertanggungjawabkan tugas yang telah dipercayakan
kepadanya. Contohnya meninggalkan tugas kepengurusan begitu saja karena mendapat
tugas di luar kota. Hal ini menunjukkan lemahnya sistim organisasi dalam MUDIKA
tersebut. Selain itu juga problem keluarga menyangkut keadaan ekonomi di mana orang
tua menuntut para anggota keluarga untuk bersama-sama berusaha bekerja mencari
nafkah untuk me nghidupi keluarganya. Selain itu juga situasi dan kondisi tempat kerja
yang kurang memungkinkan MUDIKA untuk dapat membagi waktunya antara kerja dan
kegiatan MUDIKA. Peran orang tua dalam mendorong dan mendukung putra-putrinya
untuk terlibat, baik itu di Lingkungan Gereja maupun masyarakat sangat penting. Hal ini
dipengaruhi oleh pendidikan nilai yang telah ditanamkan para orang tua sejak anak masih
kecil. Segala sesuatu yang diperoleh pada masa anak-anak itulah yang akan
dikembangkan ketika menginjak dewasa. Apabila sejak usia dini anak telah ditanamkan
ikut misa mingguan, rajin berdoa bersama dalam keluarga, mengikuti pendalaman iman
Lingkungan, dll, maka sikap yang telah ditanamkan sejak masa anak-anak inilah yang
nantinya akan membuahkan hasil. Hasil itu adalah mereka aktif terlibat dalam kegiatan di
Lingkungan Gereja dan masyarakat dengan kesadaran serta kebebasan bukan hanya
sekedar ikut- ikutan, karena diajak teman atau karena tidak mempunyai teman. Selain itu
juga ada beberapa orang tua yang masih memiliki anggapan bahwa sekolah adalah yang
utama sedangkan kegiatan MUDIKA itu kurang penting. Menurut orang tua kegiatan
MUDIKA banyak menyita waktu dan tenaga anak sehingga mengurangi porsi anak untuk
belajar. Dengan kata lain orang tua memiliki ketakutan kalau kegiatan MUDIKA dapat
mengganggu proses belajar anaknya. Mereka lupa bahwa MUDIKA adalah generasi
penerus Gereja.
Penyebab lain adalah kurangnya kesediaan dari para orang tua untuk merelakan
dirinya menjadi pendamping MUDIKA. MUDIKA dibiarkan berjalan sendirian dalam
menjalankan kegiatannya sehingga tidak rutin dilakukan. Oleh karena itu kurangnya
pendampingan bagi MUDIKA secara berkesinambungan dan terus menerus menyebabkan
mereka merasa berjalan sendirian. Meskipun disadari bahwa tidak selamanya MUDIKA
harus menggantungkan diri kepada generasi tua tetapi paling tidak, masih ada bentuk
perhatian yang diberikan oleh para orang tua. Perhatian itu dapat berupa memberikan
dukungan dan motivasi bagi MUDIKA untuk bergerak mewujudkan potensi dan imannya
melalui keterlibatan mereka, baik di dalam Lingkungan Gereja maupun masyarakat.
Kesadaran dan peranan kaum tua yang kurang berani memberi kepercayaan kepada
MUDIKA untuk bergerak dan terlibat dengan leluasa mengekspresikan diri dalam
kegiatan Gereja juga masih kuat mewarnai kegiatan di paroki Baciro. Hal ini disebabkan
oleh budaya Jawa yang menganggap bahwa orang tua yang layak berada di barisan paling
yang terlibat dalam reksa pastoral merasa masih mampu sehingga MUDIKA hanya
sekedar membantu. Para orang tua kurang menyadari akan potensi yang dimiliki
MUDIKA, di mana mereka memiliki kemampuan menjadi penggerak bagi sesama kaum
muda sendiri.
Peranan orang tua yang dominan juga nampak dalam hal pendalaman iman.
Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan masih seringkali dijumpai pendamping
pendalaman iman dalam penyampaiannya menggunakan cara yang lama sehingga
terkesan monoton, menggurui, kurang menarik dan kurang melibatkan peserta untuk
terlibat aktif menyumbangkan harta kekayaan iman yang mereka miliki. Maka kegiatan
pendalaman iman menjadi terkesan disingkirkan oleh MUDIKA karena mereka hanya
datang, duduk dan diam tanpa diberi kesempatan untuk berpendapat atau bertanya bahkan
mengekspresikan pengalaman imannya, sehingga seringkali MUDIKA merasa enggan
untuk bergabung bersama orang tua dalam kegiatan pendalaman iman.
Ada pun harapan MUDIKA adalah diberi kesempatan untuk terlibat langsung
menangani suatu kegiatan; suasana baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman; dana yang cukup untuk mendukung kegiatan MUDIKA. Selain itu pendampingan
yang seimbang antara liturgi dan sarana pendukungnya, sebab kaum muda identik dengan
sesuatu yang menyenangkan dan menantang sehingga mereka terpacu untuk kreatif.
Kegiatan MUDIKA bukan hanya sekedar kumpul untuk berdoa atau hura-hura tetapi juga
dapat memberi solusi tentang permasalahan yang mereka hadapi, seperti: menyediakan
lowongan pekerjaan atau memberi informasi yang diperlukan. Dari pihak MUDIKA
sendiri ada suatu kerelaan untuk menyisihkan waktu guna berkumpul bersama, tidak
menganggap remeh kegiatan MUDIKA dan menganggap kegiatan ya ng lain lebih
penting. Sedangkan dari pihak orang tua diharapkan adanya kerelaan dan kesediaan untuk
secara langsung dalam kegiatan MUDIKA guna mendorong dan sekaligus memberi
masukan yang berguna tanpa keharusan untuk persis melakukan apa ya ng dikehendaki
orang tua. Dengan kata lain MUDIKA memerlukan pendampingan orang tua yang
sungguh memahami dan mengetahui apa yang dibutuhkan oleh MUDIKA. Kini sudah
saatnya bagi MUDIKA untuk menumbuhkan kepercayaan dalam diri bahwa mereka
memiliki potensi untuk mengembangkan dirinya sebagai salah satu bentuk perwujudan
iman yang dihidupinya selama ini.
Oleh karena itu dengan berbagai persoalan, keprihatinan dan harapan MUDIKA di
atas penulis mengambil judul “Upaya Meningkatkan Penghayatan Iman Kristiani Kaum
Muda Miliran, Paroki Baciro, Yogyakarta, melalui Katekese”.
B.Identifikasi Masalah
1. Permasalahan pribadi, seperti merasa minder untuk mengikuti kegiatan yang ada
karena sudah lama tidak aktif.
2. Kesenjangan usia sehingga kalau tidak ada teman yang sebaya tidak mau datang.
3. Tuntutan tugas dari sekolah atau tempat kerja.
4. Jumlah MUDIKA di Lingkungan hanya sedikit sehingga kegiatan tidak jalan.
5. Ada kecenderungan lebih suka mengikuti kegiatan di komunitas atau di Gereja lain
yang lebih maju kegiatannya.
6. Lemahnya sistim organisasi MUDIKA yang ada sehingga pengurus mudah
meninggalkan tugas yang telah dipercayakan kepadanya.
7. Problem keluarga menyangkut keadaan ekonomi sehingga menuntut para anggota
keluarga untuk bersama-sama berusaha bekerja mencari nafkah untuk menghidupi
8. Situasi dan kondisi tempat kerja yang kurang memungkinkan MUDIKA untuk dapat
membagi waktunya antara kerja dan kegiatan MUDIKA.
9. Peran orang tua dalam mendorong dan mendukung putra-putrinya untuk terlibat, baik
itu di Lingkungan Gereja maupun masyarakat.
10.Anggapan beberapa orang tua bahwa sekolah adalah yang utama sedangkan kegiatan
MUDIKA itu kurang penting bahkan banyak menyita waktu dan tenaga anak
sehingga mengurangi porsi anak untuk belajar.
11.Kurangnya kesediaan dari para orang tua untuk merelakan dirinya menjadi
pendamping MUDIKA.
12.Kesadaran dan peranan kaum tua yang kurang berani memberi kepercayaan kepada
MUDIKA untuk bergerak dan terlibat dengan leluasa.
13.Model pendampingan pendalaman iman yang kurang menarik
14.Kurangnya mutu atau kualitas pendamping pendalaman iman dikarenakan
minimnya tenaga pastoral di bidang katekese.
C.Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan judul dari penelitian, pembatasan masalah terfokus pada
“Upaya Meningkatkan Penghayatan Iman Kristiani Kaum Muda Miliran, Paroki Baciro,
Yogyakarta, melalui Katekese”.
D.Rumusan Masalah
1. Sejauhmana penghayatan iman Kristiani kaum muda Miliran, Paroki Baciro,
Yogyakarta selama ini?
3. Seberapa besar sumbangan katekese dalam meningkatkan penghayatan iman Kristiani
bagi kaum muda Miliran, Paroki Baciro, Yogyakarta?
E. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejauhmana penghayatan iman Kristiani kaum muda Miliran, Paroki
Baciro, Yogyakarta selama ini.
2. Mengetahui seberapa jauh proses katekese telah dilaksanakan.
3. Mengetahui seberapa besar sumbangan katekese terhadap penghayatan iman Kristiani
bagi kaum muda Miliran, Paroki Baciro, Yogyakarta.
4. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata I (SI) pada Program Studi Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Jurusan Ilmu Pendidikan,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
F. Manfaat Penulisan
1. Memberi sumbangan bagi Gereja Paroki Baciro, Lingkungan Santo Andreas,
Lingkungan Santo Don Bosco dan Lingkungan Santo Simon Rasul Paroki Baciro
dalam pendampingan iman MUDIKA.
2. Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam rangka mengenal dan
memahami MUDIKA serta permasalahannya.
G.Sistematika Pe nulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini, penulis akan
Bab I menguraikan tentang pendahuluan yang meliputi: latar belakang penulisan,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan
manfaat.
Bab II menguraikan tentang penghayatan iman kaum muda, tantangan dan
pendampingannya serta katekese.
Bab III menguraikan tentang metodologi dan pembahasan hasil penelitian yang
meliputi: jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel, identifikasi
variabel, tehnik pengumpulan data, gambaran umum tempat penelitian, laporan hasil
penelitian dan refleksi kateketis hasil penelitian.
Bab IV menguraikan tentang usulan program yang meliputi: latar belakang
penyusunan program, alasan pemilihan tema dan tujuan, penjabaran program, petunjuk
pelaksanaan program dan persiapan pendampingan katekese.
Bab V menguraikan tentang penegasan kembali pokok-pokok atau intisari dari
PENGHAYATAN IMAN KAUM MUDA DAN KATEKESE
A.Penghayatan Iman
Dalam kehidupan sehari- hari manusia beriman memerlukan suatu bentuk dari
ungkapan iman yang mereka yakini. Iman yang diyakini bukan sekedar diungkapkan
melalui perayaan tetapi perlu perwujudan nyata. Perwujudan nyata dari iman yang
dihayati dapat terungkap melalui keterlibatan mereka di Lingkungan, Gereja dan
masyarakat. Pada kesempatan ini akan diuraikan dua hal yang berkaitan dengan
penghayatan iman yaitu pengertian iman dan penghayatan iman Kristiani:
1.Pengertian Iman
Iman dalam bahasa Yunani disebut “Pistis” atau bahasa Latin “Fides” dan bahasa
Inggris “Faith” diartikan sebagai keyakinan dan penerimaan akan wahyu Allah. Dalam
bahasa Indonesia ”Beriman”, lebih dimaksudkan dalam hubungan dengan Allah;
sedangkan “Percaya” kerap dipakai dalam hubungan antar manusia. Namun perlu
ditegaskan bahwa dalam konteks teologis, kata “iman” dan “percaya” dimaksudkan untuk
menunjukkan hubungan manusia dengan Allah, terutama dalam menerima wahyu-Nya
(Madya Utama, et.al., 2002: 47). Ungkapan yang sama juga dikatakan bahwa iman adalah
tanggapan atas panggilan dan tawaran pernyataan Diri dari Allah. Pengertian mengenai
iman harus dimulai dari pemahaman kita mengenai wahyu, sebab iman merupakan
tanggapan manusia atas wahyu Allah (Martasudjita, 1998: 31-32).
Konsili Vatikan II juga menyebut bahwa Gereja merupakan “Persekutuan iman,
harapan dan cinta” (LG 8), persekutuan persaudaraan orang yang menerima Yesus
dengan iman dan cinta kasih (GS 32). Konsili juga mengajarkan bahwa Gereja dibentuk
karena “perpaduan unsur manusiawi dan Ilahi” (LG 8). Kesatuan Gereja bukan hanya
karya Roh Kudus tetapi juga hasil komunikasi antar manusia, khususnya perwujudan
komunikasi iman di antara para anggota Gereja. Komunikasi ini terjadi terutama dalam
perayaan iman. Komunikasi iman mengandaikan pengungkapan iman sebagai sarana
komunikasi. Hidup beriman umat pada dasarnya menyangkut dua aspek yaitu
pengungkapan iman dan perwujudan iman. Pengungkapan iman ialah segala pernyataan
iman dalam bentuk yang khusus dan eksplisit, terutama dalam bentuk pewartaan atau
pengajaran dan perayaan Gereja. Sedangkan perwujudan iman ialah segala perkataan dan
tindakan yang memang dijiwai oleh semangat iman, namun tidak secara khusus (KWI,
1996: 392-393). Dengan demikian menjadi jelas bahwa dalam hidup beriman tidak cukup
hanya mengedepankan pengungkapan iman saja tanpa menyertakan perwujudan iman.
Iman secara nyata diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Iman dalam agama berarti kepercayaan kepada Tuhan. Iman berarti mengandalkan
diri pada Tuhan (Mangunhardjana, 1993: 55-57). Iman merupakan hubungan pribadi
dengan Allah, yang hanya mungkin karena rahmat Allah; akan tetapi iman tidaklah buta
sebab orang beriman mengetahui kepada siapa ia percaya (2 Tim 1:12). Manusia hidup
karena imannya; tanpa iman, manusia tak dapat bertahan. Iman adalah jawaban pribadi
manusia atas prakarsa Allah. Iman bukan hasil refleksi manusia tetapi merupakan buah
cuma-cuma yang dihasilkan oleh Roh Kudus dalam diri kita. Iman tumbuh dan
berkembang melalui cinta kasih yang dialami, serta pengalaman hidup sehari- hari.
Menyambut Firman Allah berarti menyerahkan seluruh dirinya ke dalam persekutuan
berhubungan dengan Tuhan) semata- mata karena kebaikan Tuhan. Dengan iman manusia
menjawab dan menanggapi Tuhan yang memperkenalkan Sabda, kehendak, perintah dan
Diri-Nya.
Iman adalah keputusan: dari pihak manusia, iman berdasarkan pada pemahaman. Dalam beriman manusia menyadari keadaan diri dan memahami Tuhan sebagai yang paling tepat diandalkan dan dapat diharapkan untuk mendatangkan kebaikan pada-Nya. Oleh Karena itu untuk beriman dari pihak manusia harus ada keputusan (Mangunhardjana, 1993: 58).
Iman yang diyakini seseorang mengharapkan suatu tindakan konkrit dalam
menentukan, apakah ia akan mengandalkan Allah ataukah mengandalkan dirinya sendiri.
Tindakan dalam mengambil suatu keputusan hanya dapat dilakukan dalam kehidupan
nyata sehari- hari. Maka selain iman adalah keputusan, iman juga memerlukan
keterlibatan.
Iman adalah keterlibatan. Orang beriman sejati menyerahkan diri (mempercayakan hidup dan masa depannya) kepada Tuhan. Penyerahan diri
berdampak pada keterlibatan manusia untuk mencapai kepenuhan hidup dan masa depannya. Iman yang menuntut keterlibatan (cipta, rasa, karya dan karsa) membawa kesetiaan: dalam segala hal dan sepanjang hidup terikat pada Tuhan dan kehendak-Nya (Mangunhardjana, 1993: 59).
Sedangkan inti hidup beriman bukan terletak pada orang yang rajin berdoa,
beribadat, tekun ke gereja, hidupnya baik, melainkan juga orang yang berkata, “Ya”
kepada Tuhan, mengakui dan menerima Tuhan sebagai satu-satunya penyelamat. Iman
perlu diwujudkan dalam keterlibatan dan kesetiaan kepada Tuhan secara nyata dalam
kehidupan sehari- hari (Mangunhardjana, 1993: 60-61). Pada umumnya berkembangnya
iman melalui tahap-tahap yang teratur dan makin mendalam. Proses itu merupakan
dinamika antara pewartaan dan penerimaan wahyu dalam iman yang sekaligus merupakan
perubahan yang terus menerus. Maka iman penting untuk dipahami, diungkapkan serta
diwujudkan. Hubungan ketiga hal tersebut adalah manusia memiliki kemampuan dasar
pemahaman iman, perayaan atau ungkapan iman, perwujudan atau penghayatan iman.
Iman perlu dipaha mi manusia. Pemahaman tentang iman perlu juga diungkapkan melalui
perayaan. Perayaan saja belum cukup karena iman perlu diwujudkan secara nyata dalam
hidup sehari-hari. Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati (Yak 2:14-26). Maksud
dari Yakobus mengandung asumsi pokok bahwa orang yang mendengarkan Firman harus
melaksanakannya juga. Iman tidak boleh berhenti pada masalah liturgi melainkan harus
peduli terhadap pelbagai situasi aktual dan lingkungan hidup.
2.Penghayatan Iman Kristiani
Dalam perjalanan hidup rohani, manusia beriman selalu berusaha untuk memaknai
hidupnya. Dalam mencari makna hidup, manusia menyadari akan keterbatasannya bahwa
manusia itu lemah dan terbatas. Pengalaman hidup yang rapuh dan tak berdaya membuat
manusia mencari dan membutuhkan kekuatan dari luar dirinya. Penghayatan berasal dari
kata “Hayat” yang berarti hidup, sedangkan menghayati berarti mengalami dan merasai
sesuatu dalam batin. Maka penghayatan berarti pengalaman batin (Poerwadarminta, 2006:
412). Oleh karena itu pengalaman iman yang dialami dan dirasai perlu diwujudkan dalam
hidup bersama dengan umat beriman lainnya.
Hidup menggereja adalah hidup menampakkan iman kepada Yesus Kristus. Sebagai
orang beriman kita dituntut untuk menampakkan kehadiran Yesus di tengah keluarga dan
masyarakat kita. Kehadiran Yesus dapat dialami oleh orang lain apabila kita
menampakkannya dalam kesaksian hidup sehari- hari. Dalam hidupnya, Yesus senantiasa
terlibat atau ambil bagian dalam hidup manusia. Sebagai pengikut Yesus, kita juga
dipanggil untuk ambil bagian dalam hidup menggereja. Kesadaran ini menuntut dari kita
sikap siap sedia untuk melibatkan diri secara aktif dalam kegiatan Gereja dan masyarakat,
keluarga, pendampingan PIA-PIRA, dll. Dengan demikian diharapkan melalui
penghayatan hidup sehari-hari dapat mengubah manusia menjadi semakin dewasa.
Manusia dapat menemukan makna hidup dalam dirinya dengan mengandalkan Allah
sebagai kekuatan utama, sebab yang menjadi titik pangkal penghayatan hidup beriman
bukan dari pikiran manusia melainkan tindakan Allah yang hadir dalam diri kita.
Pengalaman akan kehadiran Allah dalam diri manusia dapat dijumpai melalui
penghayatan pengalaman hidup sehari- hari.
Iman seseorang menjadi berkembang melalui proses yang lama dan panjang, bahkan
selama manusia hidup ia tetap berusaha untuk memupuk dan memperdalam imannya;
maka iman itu perlu kualitas. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang menghayati
kesehariannya selalu dalam inspirasi hubungan pribadi dengan Allah. Dengan kata lain,
manusia yang berkualitas bukan saja mengejar kebahagiaan di dunia melainkan sekalian
memandang hidupnya di dunia ini sebagai persiapan untuk hidup di akhirat. Ada pun
ciri-ciri kedewasaan iman bagi orang Kristiani yaitu tidak mudah cepat melarikan diri dalam
menghadapi perbedaan paham atau sikap tetapi menanggapinya sebagai sesuatu yang
dapat memurnikan dan memperkaya imannya. Selain itu juga mampu berdialog dengan
orang-orang yang seiman maupun yang beragama lain. Ciri yang lain adalah kreatif,
tidak mudah ikut- ikutan, jauh dari perasaan takut dalam menghadapi situasi baru dan
seseorang yang mempergunakan imannya sebagai sumber bagi motivasi dan inisiatif baru.
Dengan demikian iman yang dewasa tidak memiliki perasaan takut terhadap perubahan
tetapi menanggapinya sebagai hal yang biasa dalam suatu perkembangan yang hidup.
B.Kaum Muda
Pengertian kaum muda adalah kaum, golongan atau kelompok orang yang berusia
yang mencakup para muda-mudi dalam usia sekolah menengah tingkat atas (SMTA),
serta dalam umur studi di perguruan tinggi semester I-IV. Kaum muda sebagai pribadi
sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan: fisik, mental, emosional,
sosial, moral dan religius dengan segala permasalahannya (Mangunhardjana, 1986:
11-16) yang akan diur aikan lebih lanjut di bawah ini:
1.Pertumbuhan Fisik
Pertumbuhan fisik merupakan gejala yang paling nampak pada kaum muda. Berkat
pertumbuhan fisik itu, anak laki- laki makin menampilkan diri sebagai pria dan anak-anak
perempuan sebagai wanita. Dalam masa pertumbuhan fisik, muda- mudi mempersoalkan
baik buruknya hasil pertumbuhan fisik dan ini membuat mereka gelisah karena
pertumbuhan tidak menghasilkan seperti yang diharapkan.
2.Perkembangan Mental
Perkembangan ini nampak dalam perkembangan intelektual, cara berpikir kritis dan
abstrak. Mereka mulai meninggalkan masa kanak-kanak dan mulai berpikir sebagai orang
dewasa. Dengan kecakapan berpikir ini mereka menggali pengertian tentang siapa
dirinya, membentuk gambaran diri mereka, peranan yang diharapkan, panggilan hidup
dan masa depan. Semua ini merupakan masalah yang tidak ringan bagi mereka. Oleh
karena itu muda- mudi sering nampak resah, suka menyendiri dan melamun.
3.Perkembangan Emosional
Perkembangan ini ada kaitannya dengan perkembangan fisik, di mana terjadi
perubahan dan keseimbangan hormon-hormon dalam tubuh yang nampak pada
Dengan munculnya gejolak hati ini menghantar mereka untuk menahan emosi dan
memahami persoalan positif yakni bahagia, bersemangat, puas, percaya diri dan bangga.
4.Perkembangan Sosial-Psikologis
Perkembangan sosial kaum muda-mudi menyangkut jalinan hubungan dengan
orang-orang lain. Muda- mudi mulai terbuka terhadap pergaulan di luar keluarganya
khususnya pergaulan dalam kelompok sebaya. Di dalam kelompok ini muda- mudi belajar
keterampilan, misalnya : cara masuk dalam kelompok, cara menghadapi pengaruh
kelompok, penerimaan kelompok dan keterlibatan dalam kelompok. Philips Tangdilintin
(1981: 37-38) mengemukakan ciri-ciri sosial-psikologis kaum muda sebagai berikut:
a). Penuh dinamika, gairah hidup dan gelora semangat yang menuntut penyaluran. Mereka tidak suka “Berdiam” dan merasa cepat puas. Mereka cenderung “Bergerak”.
b). Kaum muda cenderung bertualang, mencari dan mencoba nilai- nilai baru. Mereka tidak senang didikte dan tidak menghendaki situasi mapan, karenanya masih terbuka terhadap segala sesuatu ya ng baru, haus akan perkembangan, tidak senang dengan keadaan yang statis.
c). Perkembangan intelek dan emosi mendorong muda- mudi untuk menjadi selektif-kritis. Mereka membina citarasanya sendiri, alam pikiran dan skala nilainya sendiri.
d). Masa muda merupakan masa “pembangunan” untuk mencari dan menemukan identitas. Dalam keadaan terombang-ambing ketidakpastian, mereka mendambakan sapaan, perhatian, pengertian dan bimbingan orang dewasa yang mereka anggap memiliki pengalaman hidup lebih matang. Potensi-potensi di atas membuka kemungkinan bagi kaum muda untuk menjadi daya pembaharu.
5.Perkembangan Moral
Perkembangan moral membawa kaum muda ke dalam tingkat hidup yang lain dari
pada masa sebelumnya di mana mulai terjadi pergeseran arti antara yang baik dan buruk,
benar dan salah. Dengan bertambah umur dan masuk ke dalam kelompok kaum muda,
para muda- mudi mengalami perubahan sikap. Mereka mempertanyakan dan ingin
menghadapkan kaum muda pada masalah pencarian patokan moral yang dapat mereka
gunakan sebagai alat untuk menentukan mana yang baik dan benar; mana yang tidak baik
dan tidak benar serta penentuan pegangan yang dapat mereka pergunakan sebagai
pedoman hidup.
6.Perkembangan Religius
Perkembangan ini menyangkut hubungan dengan Tuhan. Muda- mudi bukan hanya
ikut- ikutan dalam menjalankan praktek keagamaan seperti pada masa kanak-kanak,
melainkan mempertanyakannya untuk memperoleh kejelasan perkara dan mencapai taraf
kesejatian dengan Tuhan (mutlak). Hal ini membawa muda- mudi ke suatu krisis yang
harus diartikan secara mendalam yaitu situasi mencari dan memilih. Sikap mencari dan
memilih ini dimiliki oleh mereka terhadap pengetahuan dan tuntutan moral, suatu sikap
positif sebagai jalan untuk beriman secara bertanggungjawab.
C.Tantangan Penghayatan Iman Kristiani Kaum Muda dan Pendampingannya
Iman pada hakekatnya tidak pernah mati melainkan terus bertumbuh dan
berkembang. Maka seiring dengan perkembangan zaman, kiranya iman juga mengalami
tantangan yang tidak kecil. Oleh karena itu pada kesempatan ini akan diuraikan tentang
tantangan penghayatan iman Kristiani kaum muda dan pendampingannya.
1.Tantangan Penghayatan Iman Kristiani Kaum Muda
Pembinaan iman kaum muda merupakan suatu kegiatan yang mutlak perlu
dilaksanakan untuk menghindarkan pengaruh negatif dari perkembangan zaman yang
kuat mempengaruhi perkembangan hidup manusia dalam berpikir, menentukan pilihan
menghantarkan mereka kepada pertanyaan-pertanyaan rumit bidang keagamaan. Mereka
bertanya apakah agama dapat memberikan jawaban atas masalah- masalah mendesak yang
menyangkut kemanusiaan. Kaum muda secara menggebu-gebu mengungkapkan
kebutuhan-kebutuhan akan kehidupan keagamaan dan menemukan nilai-nilai personal
dalam kehidupan beragama. Kaum muda selalu mengalami kesulitan dalam mengadakan
hubungan, antara mereka dengan Gereja yang institusional. Pada umumnya kaum muda
lebih menekankan nilai- nilai personal, persahabatan dan menekankan norma-norma moral
individual sementara kaum tua lebih menekankan agama yang dilembagakan, yang dalam
hal ini adalah Hierarki.
Pesatnya perkembangan dan kemajuan zaman serta peningkatan taraf hidup
seseorang membawa dampak yang tidak sedikit. Kaum muda sekarang mudah terserang
penyakit seperti materialisme di mana mereka dengan senang hati mengikuti trend-trend
yang membuat mereka diakui oleh lingkungannya. Maka tidak mengherankan kalau
mereka selalu berusaha untuk menjadi lebih. Penyakit yang lain yaitu hedonisme dan
konsumerisme. Kaum muda yang memiliki paham atau sikap hedonisme dan
konsumerisme biasanya mempunyai kebiasaan hidup susah diatur dan hidup menurut
kemauannya sendiri saja sehingga mereka kurang mau berusaha untuk memperjuangkan
hidupnya di masa mendatang. Melalui tingkah lakunya, sebenarnya mereka memprotes
sikap para orang tua.
Melihat begitu banyaknya tantangan yang dihadapi oleh kaum muda, maka Gereja
perlu menyadari betapa pentingnya peran kaum muda bagi tumbuh dan berkembangnya
Gereja itu sendiri. Oleh karena itu Gereja perlu memberikan suatu pembinaan sejak dini
bagi kaum muda. Dalam hal ini Gereja dapat berarti Gereja pada umumnya dan Gereja
mempunyai peranan yang besar dalam perkembangan dan penghayatan iman kaum muda.
Ada pun peranan itu adalah:
a. Peranan Gereja pada umumnya terhadap Penghayatan Iman Kaum Muda
Kaum muda merupakan generasi dan penerus perkembangan serta keberadaan
Gereja, maka kaum muda bukanlah tanpa arti bagi Gereja. Keberadaan mereka di dalam
Gereja, baik secara individual maupun kolektif disadari sebagai sumbangan yang
berharga bagi Gereja. Makna eksistensial tersebut telah mendapat perhatian yang amat
besar dari Konsili Vatikan II dalam dekritnya tentang pendidikan Kristen di mana kaum
muda menjadi prioritasnya. Tentang kaum muda Konsili Vatikan II menegaskan bahwa
mereka harus dibina untuk berperan serta dalam kehidupan kemasyarakatan sedemikian
rupa sehingga dilengkapi dengan sarana yang dibutuhkan dan serasi, mereka dapat
mengintegrasikan diri secara aktif dalam kelompok masyarakat, dapat berdialog dengan
orang lain dan mengusahakan kepentingan bersama secara suka rela. Hanya dalam dan
melalui partisipasi yang aktif kaum muda dapat menyatakan diri serta menyatukan semua
potensinya ke dalam masyarakat dan dengan itu turut membangun dunia sekaligus
mempersiapkan diri untuk menata hari esok. Maka tugas Gereja dalam hal ini adalah
melibatkan mereka dalam kehidupan masyarakat. Untuk merealisasikan himbauan konsili
tersebut Gereja telah mengusahakan sarana-sarana yang tepat dan khas baginya. Perhatian
Gereja yang terungkap dalam berbagai kemungkinan bertujuan untuk mengikutsertakan
kaum muda dalam pembangunan dewasa ini, sebagai sarana untuk belajar sekaligus
sebagai sumbangan yang berharga untuk masyarakat.
1. Kepribadian
B Memampukan kaum muda untuk mengerti harga diri, arti dan makna dirinya sebagai pribadi.
B Membimbing mereka mencari dan menemukan sendiri identitasnya, untuk menjadi “ Diri sendiri”, mempribadi.
B Mendampingi mereka meraih cita-cita hidupnya dengan menyadari sikap, kecenderungan dan sifat-sifatnya.
2. Spiritual / Iman Kristiani
B Mengantar kaum muda dengan cara yang menyenangkan, semakin dekat pada Kristus yang mereka imani.
B Membantu mereka menjadi manusia Kristia ni sejati dalam hubungan pribadi dengan Kristus.
B Menciptakan kemungkinan dan kesempatan bagi mereka untuk dikembangkan oleh Kristus sendiri: dijiwai, disemangati dan dihidupkan oleh Kristus sendiri. B Memampukan mereka melayani, baik satu sama lain dalam kelompok bina,
maupun dalam masyarakatnya.
B Menyuburkan hidup rohani yang mampu menggerakkan mereka masing-masing ke arah ungkapan dan perwujudan iman dalam tindakan nyata sehari-hari.
3. Ke-Gereja-an ( sebagai Institusi)
B Menolong kaum muda menyadari diri sebagai anggota Gereja yang penuh, dengan peranan dan tanggung jawab yang khas dalam ke- muda-annya.
B Mengantar kaum muda semakin menggereja, menstimulir partisipasi sebanyak mungkin kaum muda dalam Gereja.
B Memampukan mereka sebagai penjamin kontinuitas iman Gereja dengan bekal pengetahuan dan penghayatan iman yang seimbang.
B Memahami arti dan arah perkembangan Gereja, khususnya Gereja setempat dan tempat kaum awam didalamnya.
B Memahami dan menghayati Gereja sebagai komunitas iman dan
memampukan mereka membentuk serta menghidupkan komunitas iman itu dalam lingkungan / kelompok setempat.
B Menyadari pelayanan-pelayanan baru dari kebutuhan baru.
4. Masyarakat-Dunia
B Memampukan mereka semakin memasyarakat dengan keterlibatan, peranan dan tanggung jawab yang khas dalam ke-muda-annya.
B Memupuk kesadaran bahwa hidup sehari- hari dengan segala situasinya adalah wujud dari iman Kristiani mereka.
B Menolong mereka untuk memahami hambatan-hambatan struktural yang melestarikan keadaan-keadaan tak manusiawi seperti ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan.
Keempat unsur di atas merupakan kesatuan yang saling berkaitan satu sama lain karena mencakup totalitas pribadi manusia ya ng utuh.
b. Peranan Gereja Kecil atau Keluarga terhadap Penghayatan Iman Kaum Muda
Selain Gereja pada umumnya, keluarga yang merupakan Gereja kecil juga
mempunyai peranan yang besar dalam terwujudnya perkembangan dan penghayatan iman
kaum muda. Keluarga merupakan sekolah pertama dan utama dalam pertumbuhan iman
sejak dini, maka orang tua dalam hal ini sungguh mempunyai peranan yang penting.
Orang tua memiliki tugas dan tanggung jawab pertama dan utama dalam hal: mendidik
anak, bidang keagamaan, kesusilaan, seksualitas, kemurnian, budaya dan
kemasyarakatan. Maka Tim Pusat Pendampingan Keluarga Brayat Minulyo (2007: 23-25)
memberi masukan tentang hal- hal yang perlu dip erhatikan oleh keluarga Katolik dalam
mendidik putera-puterinya, seperti:
• Dalam rangka memenuhi tugas mendidik anak dalam bidang hidup keimanan, orang tua pertama-tama dituntut memiliki pengalaman iman yang baik, menampilkan peri laku hidup yang baik; sebab anak akan lebih mudah mencontoh apa yang diperbuat orang tua. Alangkah baiknya, setiap keluarga Katolik membiasakan diri untuk mengadakan doa bersama, membaca dan merenungkan Sabda Tuhan bersama. Dalam keluarga seorang anak sungguh dapat mengenal dan memahami Allah.
• Dalam keluarga, seorang anak seharusnya juga mendapat pend idikan mengenai nilai- nilai moral. Untuk itu dalam keluarga, anak-anak dibiasakan belajar membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Berkaitan dengan pendidikan moral dan kesusilaan, orang tua harus menanamkan nilai- nilai luhur, penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan, penghargaan terhadap sesama manusia yang dimulai dalam lingkup keluarga.
• Orang tua juga memiliki tugas dan tanggung jawab utama dan pertama dalam menyelenggarakan pendidikan seksualitas, cinta dan kemurnian. Pendidikan seksualitas tentunya harus diberikan sedikit demi sedikit dan proporsional. Pendidikan seksualitas ini sangat penting untuk membantu pertumbuhan anak, bagaimana orang tua memberi penjelasan tentang perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang dialami oleh putera-puterinya.
• Keluarga Katolik juga mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam misi pewartaan Gereja yang diterima dari Yesus Kristus, yaitu misi kenabian, keimaman dan rajawi. Melalui penghayatan cinta kasih dalam seluruh perjalanan hidup, mereka membangun keluarga yang dijiwai oleh semangat pelayanan, pengorbanan, kesetiaan, pengabdian, membagikan kekayaan rohani yang telah mereka terima dalam Sakramen perkawinan sebagai cerminan dari cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya.
• Dalam bidang kemasyarakatan, orang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada anak-anak dimensi sosial manusia. Anak dididik untuk memiliki jiwa dan semangat solider, setia kawan, semangat berkorban dan sehati sejiwa dengan mereka yang berkekurangan. Pendidikan dimulai dalam keluarga. Anak dilatih dan dididik untuk mau membagi apa yang dimiliki. Keluarga Katolik dipanggil untuk terlibat aktif dalam membangun persaudaraan sejati yang didasari cinta, keadilan dan kebenaran.
Ungkapan yang sama juga diungkapkan oleh Dewan Karya Pastoral Keuskupan
Agung Semarang (2003: 34-35) yang terdapat dalam Nota Pastoral dengan tema
“Menghayati Iman dalam Arus-arus Besar Zaman ini”. Orang tua adalah pendidik
pertama dan utama bagi anak-anaknya, terutama dalam penanaman nilai-nilai iman.
Tugas itu semakin relevan dalam era informasi ini. Tugas tersebut dapat terlaksana bila
ada kasih yang tulus dalam kehidupan berkeluarga, sebagai sakramen kasih Allah sendiri
kepada umat-Nya. Di dalam hidup keluarga yang didasarkan atas kasih inilah anak-anak
dapat ”Semakin bertambah besar dan bertambah hikmatnya dan besarnya, dan makin
dikasihi oleh Allah dan manusia” (Luk 2:52). Betapa pentingnya membangun budaya
kasih dalam keluarga, agar hidup keluarga menjadi sehat. Bila keluarga sehat, masyarakat
menjadi sehat pula. Anak-anak, kaum remaja dan kaum muda adalah bagian sangat
penting untuk membangun masyarakat dan Gereja sekarang dan masa depan. Pendidikan
warga Gereja dan masyarakat. Kaum muda, remaja dan anak-anak berada di jantung hati
Gereja. Pada merekalah terletak harapan Gereja dan masyarakat untuk membangun masa
depan yang lebih baik. Karena itu perlu dikembangkan gerakan mencintai orang muda,
remaja dan anak-anak melalui berbagai jalur: pendidikan nilai dalam keluarga,
keterlibatan dalam hidup Gereja dan masyarakat.
2.Pengertian Pendampingan
Poerwadarminta (2006: 261), mengungkapkan kata pendampingan berasal dari kata
“damping” yang berarti dekat, karib, rapat; pendampingan juga berarti suatu usaha
membantu kaum muda menyongsong masa depan dengan tujuan, materi, bentuk, metode
dan tehnik pendampingan yang tertentu (Mangunhardjana, 1986: 22). Untuk lebih
jelasnya akan diuraikan pada bagian berikut :
a. Tujuan Pendampingan
Kaum muda dibantu untuk mendapatkan ilmu, pengetahuan, informasi, kecakapan,
sikap, perbuatan, peri laku, hidup yang memadai dalam segi-segi pokok yang
berhubungan dengan hidup pribadi, kebersamaan dengan orang lain dan peran mereka
dalam masyarakat, bangsa dan dunia (Mangunhardjana, 1986: 25).
b. Materi Pendampingan
Materi atau bahan pendampingan adalah hal- hal yang disajikan kepada para peserta
untuk diolah dalam acara pendampingan berupa penyampaian segala ilmu dan
pengetahuan; kegiatan dan latihan untuk mendapatkan kecakapan; bantuan dan usaha
untuk menanamkan sikap perbuatan, peri laku hidup dalam bidang-bidang kepribadian,
c. Bentuk Pendampingan
Pendampingan yang dilakukan di lapangan akan berjalan dengan baik dan lancar
apabila dari awal sudah ditentukan dan direncanakan dengan matang bentuk apa yang
akan dipakai.
Bentuk pendampingan merupakan wujud atau sosok, forma, dari usaha pendampingan. Berkat bentuk itu jalan atau saluran menuju ke titik tujuan pendampingan diciptakan dan usaha pendampingan menjadi konkrit, dapat diamati dan dapat diukur unsur-unsurnya (Mangunhardjana, 1986: 47).
d.Syarat Pendampingan
Proses belajar yang baik dapat tercapai pada sasaran pendampingan yang dituju,
apabila memenuhi syarat-syarat tertentu baik dalam pelaksanaan pendampingan,
pendamping maupun dalam para peserta sendiri. Mangunhardjana (1986: 58-59)
mengungkapkan syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
1) Pelaksanaan Pendampingan
Agar mendukung tercapainya proses dan sasaran pendampingan, pelaksanaan
pendampingan hendaknya:
1. Menjaga dan memperkembangkan sikap saling menghormati, menerima dan percaya antara pendamping dan kaum muda yang didampingi.
2. Melibatkan kaum muda yang mengikuti acara pendampingan itu sejak penyiapan, pelaksanaan dan evaluasinya. Karena keterlibatan itu membantu proses belajar para peserta.
3. Mengusahakan kebersamaan dan kerja sama, agar ada suasana saling mendukung dan membantu dalam usaha saling memperkembangkan.
4. Menciptakan suasana keterbukaan antar peserta, rasa aman, tak terancam di kalangan mereka, kemerdekaan untuk mengikuti acara pendampingan sesuai dengan kepribadian masing- masing dan tenggang rasa antar mereka, mengingat perbedaan-perbedaan pribadi itu.
2) Pendamping
Untuk dapat menciptakan pelaksanaan pendampingan seperti tersebut di atas, dari
Mangunhardjana (1986: 136-137) mengungkapkan kualifikasi sebagai pendamping
adalah:
1. Mengenal diri sendiri: tahu kekuatan dan kelemahan; segi positif dan negatifnya; kelebihan dan kekurangannya sendiri, sehingga mampu bertindak secara tepat dan mengurangi akibat-akibat negatifnya dari kelemahan; segi negatif dan kekurangannya.
2. Aman dengan diri sendiri: tidak ada rasa negatif terhadap diri sendiri dan mantap dengan diri sendiri, sehingga dapat menampilkan diri dengan yakin, tetapi wajar.
3. Integritas diri: seimbang antara lahir dan batin; hati dan budi, dan hidup moral yang tidak menjadi sandungan.
4. Telah mencapai taraf perkembangan pribadi cukup dan bergairah untuk tetap mau maju, sehingga dapat menjadi model.
5. Kreativitas dan kemudahan untuk menemukan, sehingga tidak mudah panik pada saat-saat pendampingan yang gawat.
6. Cerdik menangkap situasi dan bertindak sigap.
7. Bersikap terbuka terhadap perkembangan, sehingga siap untuk belajar terus menerus.
8. Keberanian untuk eksperimen yang sehat dan menanggung resiko yang wajar, sehingga tidak kaku dalam pelaksanaan pendampingan dan tidak cepat menjadi kolot karena melulu terpaku pada yang sudah-sudah.
9. Daya tahan dan stamina tinggi sehingga dapat menanggung beban fisik yang wajar dan tetap bersemangat tinggi.
10. Rasa humor yang sehat sehingga dapat tetap santai meskipun serius.
11. Memiliki pengetahuan cukup (kualifikasi ilmiah) dalam seluk beluk pendampingan: arah, proses, metode, tehnik pendampingan.
3) Evaluasi
Evaluasi berasal dari kata bahasa Inggris “to evaluate” yang berarti menentukan
nilai, menaksir harga, atau menarik batas akhir atas tingkat kemajuan suatu kegiatan,
usaha atau keadaan. Dalam hal kegiatan pendampingan, evaluasi merupakan sarana
untuk mengumpulkan bahan informasi mengenai uns ur- unsur pokok pendampingan, yang
kemudian diolah dan ditarik kesimpulan darinya, bagaimana hasil seluruh program
pendampingan yang sudah diadakan (Mangunhardjana, 1986: 103). Melalui evaluasi
maka pendamping dapat melihat sejauhmana program kegiatan yang telah dilakukan
D. Katekese
Dalam kerangka proses pewartaan Injil, katekese bukan hanya ditujukan kepada
anak-anak, remaja atau muda-mudi saja. Katekese juga diarahkan pada orang-orang
dewasa dalam usia berapa pun. Dengan demikian, katekese hendaknya bersifat terus
menerus (CT 43). Pada bagian selanjutnya akan diuraikan tentang katekese dan hal- hal
yang berkaitan dengan pelaksanaannya.
1.Katekese pada umumnya
Katekese adalah salah satu usaha Gereja untuk menjawab keprihatinannya yang
paling mendasar, yakni melayani Kerajaan Allah. Dengan melayani Kerajaan Allah,
Gereja sepenuh hati menginginkan dan mengusahakan terwujudnya keselamatan seluruh
umat manusia secara utuh seperti dikehendaki dan direncanakan Allah. Hal ini dilakukan
karena katekese bukan merupakan hal yang mati tetapi kegiatan Gereja yang terus
berkembang sesuai dengan zamannya. Gereja juga bukan hanya bersatu dalam doa,
ekaristi dan liturgi, melainkan juga terpanggil menjalankan karya pela yanan, lebih- lebih
kepada mereka yang sangat membutuhkan bantuan (Kis 2:41-47).
Dalam AG 36 dikatakan “Setiap anggota Gereja tidak terkecuali kaum mudanya
dipanggil untuk bermisi, menjadi pewarta kabar kebaikan Allah”. Ungkapan ini
didasarkan pada konsekuensi Sakramen Babtis. Maka di dalam proses kegiatan yang
melibatkan kaum muda adalah kesempatan bagi mereka untuk belajar bekerja sama,
menghargai pendapat orang lain. Kesadaran bahwa semua tidak bisa dikerjakan sendiri
melainkan perlu orang lain, mendorong kaum muda untuk menghidupi nilai- nilai
kebersamaan. Dari berbagai macam kegiatan MUDIKA, yang mau ditawarkan adalah
katekese, mengingat kegiatan melalui dialog untuk sharing pengalaman iman sangat
Katekese sebagai salah satu bagian dari karya pastoral, merupakan komunikasi iman
yang bertujuan untuk saling mengembangkan dan meneguhkan iman. Yang menjadi
perhatian pokok dalam katekese adalah terjadinya komunikasi iman sehingga lewat
komunikasi itu diharapkan akan terjadi pengertian dan penghayatan iman yang lebih
mendalam, yang mengarah kepada pertobatan yang terus menerus sehingga mencapai
kehidupan Kristen yang penuh (Ruchiyat, 1981: 17-18). Beberapa hal yang dibutuhkan
karya katekese:
1. Kekhususan katekese adalah pengembangan iman pesertanya/jemaatnya dengan komunikasi iman. Perkembangan iman yang diharapkan tidak akan mudah tercapai tanpa orang lain, tanpa hubungan dengan orang lain dalam komunitas orang beriman dan masyarakat. Dengan kata lain, iman akan berkembang dalam kebersamaan, dan dalam kebersamaan itu pulalah iman dihayati dan mendapat arti melalui kehidupan konkrit dalam masyarakatnya.
2. Katekese perlu me mperhatikan kebudayaan setempat agar iman berakar dan dapat dihayati dalam kehidupan sehari- hari.
3. Katekese baru berarti bila mengantarkan orang untuk berkontak denga n Tuhan. Misalnya dalam liturgi: katekese tanpa liturgi atau perayaan sakramen akan merupakan pengetahuan belaka dan liturgi tanpa pengertian iman yang dalam akan mengarah pada ritualisme.
4. Katekese bukan hanya memberikan pengetahuan iman tetapi mengarahkan pesertanya pada hidup Kristen yang utuh sehingga setiap orang beriman mampu mengartikan hidupnya dalam terang Sabda Allah.
5. Katekese memerlukan sarana, metode dan bahasa yang sesuai dengan pesertanya untuk menyampaikan warta gembira sehingga iman semakin diperdalam. Maka metode yang digunakan hendaknya diperbaharui terus menerus.
6. Katekese tidak bisa lepas dari pengalaman hidup manusia yang konkrit.
7. Katekese harus menghantarkan orang untuk mampu menghayati imannya dalam komunitas.
2.Arti Katekese
Pengertian katekese berdasarkan arti aslinya adalah membuat bergema,
sadar umat beriman berkumpul untuk mengkomunikasikan pengalaman iman mereka,
mengolah serta mendalaminya dalam perspektif Kitab Suci dan Tradisi Kristiani sehingga
dapat menemukan ilham atau inspirasi atau semangat baru untuk mewujudkannya dalam
hidup bersama di tengah jemaat dan masyarakat demi terwujudnya nilai- nilai Kerajaan
Allah.
Anjuran Apostolik, Paus Yohanes Paulus II dalam Dokumen Catechesi Tradendae,
memberikan pengertian katekese sebagai: Pembinaan anak-anak, kaum muda dan
orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang
pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para
pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 18).
Rumusan di atas mau menegaskan bahwa katekese perlu diberikan sejak usia dini,
masa perkembangan atau remaja serta kaum muda dan terlebih pada usia dewasa. Dengan
kata lain katekese diberikan kepada siapa saja tanpa memandang usia, kebudayaan, dan
lain- lain. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah katekese diselenggarakan secara organis
dan sistematis, itu berarti perlu perencanaan dan persiapan yang memadai.
3.Tujuan Katekese
Katekese bertujuan untuk membawa orang Kristiani pada kematangan iman dan
memungkinkan mereka untuk menerima Roh Kudus dan mendalami pertobatan mereka
sehingga dalam mewujudkan nilai- nilai Kerajaan Allah mampu membangun tata sosial
yang lebih adil dan manusiawi, berani menjadi saksi di tengah masyarakat sehingga
seluruh umat mengalami suasana Kerajaan Allah di tengah masyarakat (DCG 22).
Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae, Paus Yohanes Paulus II tujuan khas
katekese, yaitu: “Mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, dan dari hari ke hari