www.parlemen.net
No
Draft DPRD NAD
RUU PA (PEMERINTAH)
Argumentasi/
Rasionalisasi
RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIKINDONESIA NOMOR ... TAHUN 2006
TENTANG PEMERINTAHAN ACEH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang;
b. bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. bahwa syari’at Islam sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat Aceh, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara kaffah.
d. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum mampu sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan dan penegakan
www.parlemen.net
hak asasi manusia;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 belum sepenuhnya dapat mengakomodir aspirasi rakyat Aceh secara komprehensif;
f. bahwa implementasi Nota Kesepahaman Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM tanggal 15 Agustus 2005 sebagai upaya penyelesaian konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat, memerlukan adanya pembaruan ketentuan hukum tentang penyelenggaraan Pemerintah Aceh;
g. bahwa dalam menjalankan pemerintahan Nanggroe Aceh Darusalam di pandang perlu diberikan kewenangan pemerintahan sendiri sesuai dengan semangat dan butir-butir yang terkandung dalam Nota Kesepahaman Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 yang diatur dengan Undang-undang; h. bahwa untuk menjalankan Pemerintah Aceh perlu dikelola
dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance);
i. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g dan huruf h perlu ditetapkan undang-undang tentang Pemerintah Aceh;
Mengingat :
1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A, Pasal 18B dan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103);
www.parlemen.net
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2218), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penenaman Modal Asing; 4. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260);
6. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495);
8. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
10. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik
www.parlemen.net
Indonesia Nomor 3886);
11. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3888);
12. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893);
13. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026);
14. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Pelabuhan Bebas Sabang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 525, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054);
15. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
16. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
17. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251);
18. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
www.parlemen.net
Republik Indonesia Nomor 4301);
19. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
20. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
21. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
22. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4401);
23. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
24. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
www.parlemen.net
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN ACEH.
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
BAB I KETENTUAN UMUM PEMERINTAHAN ACEH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Undang Undang ini yang dimaksudkan dengan : 1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Aceh adalah merupakan suatu wilayah yang diberi kewenangan pemerintah sendiri dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Gubernur atau nama lain, yang batas-batasnya merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.
3. Pemerintah Aceh adalah pemerintahan sendiri yang diwujudkan melalui suatu proses demokratis dan adil untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan Aceh dalam Negara dan konstitusi Republik Indonesia, yang dipimpin oleh Gubernur atau nama lain.
4. Kabupaten adalah bagian wilayah Aceh yang dipimpin oleh seorang bupati dan memiliki hak untuk mengatur urusan rumah tangga kabupaten secara otonom. 5. Kota adalah bagian wilayah Aceh yang dipimpin oleh
seorang walikota dan memiliki hak untuk mengatur urusan rumah tangga kota secara otonom.
6. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan: 1. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 1 Angka (2) dan Angka (3) draft RUU DPRD NAD
dipertahankan, dengan alasan sbb:
a. “Istilah pemerintahan sendiri” artinya mengurus secara mandiri urusan/kewenangan yg tlh diakui sbg kewenangan Aceh. Jadi tdk dimaksudkan sbg upaya memisahkan diri dr NKRI.
Istilah ini juga tlh lama dikenal dlm rangka pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Istilah ini tlh dipakai sejak thn 1903 dlm “desentralisasi wet” tgl 23 Juli 1903.
b. Istilah pemerintahan sendiri juga dikenal dlm khasanah perundang-undangan NKRI yaitu dlm UU No. 22 thn 1948 ttg Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan
www.parlemen.net
penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.
7. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah camat yang dipimpin oleh imum mukim atau nama lain.
8. Gampong atau nama lain adalah suatu wilayah yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang merupakan kesatuan masyarakat yang berada di bawah mukim dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
9. Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain Aceh adalah Kepala dan Wakil Kepala Pemerintah Aceh.
10. Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota adalah Kepala dan Wakil Kepala Pemerintahan kabupaten/kota.
11. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang selanjutnya disebut DPRA dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut DPRK adalah lembaga pelaksana kekuasaan legislatif Aceh dan Kabupaten/Kota yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum secara langsung.
12. Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota adalah lembaga peradilan yang mengadili perkara-perkara yang berkenaan dengan pelaksanaan syari’at Islam.
4. Pemerintahan Aceh adalah penyelenggaraan urusan penierintahan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh di daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada angka 2. 5. Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota.
6. Kabupaten adalah bagian wilayah Aceh yang dipimpin oleh seorang Bupati dan memiliki hak untuk mengatur urusan rumah tangga kabupaten secara otonom. 7. Kota adalah bagian wilayah Aceh yang dipimpin oleh
seorang Walikota dan memiliki hak untuk mengatur
Sendiri di Daerah-Daerah yg berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Dlm konsideran menimbangnya juga menyebutkan “bahwa perlu ditetapkan UU
berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar yg menetapkan Pokok-pokok tentang
Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yg berhak mengatur dan Mengurus rumah tangganya sendiri.
c. Penggunaan istilah Pemerintahan Sendiri juga dimaksudkan untuk memberikan
kekhususan/keistimewaan yang membedakan
pelaksanaan otonomi untuk Aceh dgn daerah-daerah lain.
Pasal 1 Angka (4) RUU PA Pemerintah tidak dapat diterima dengan alasan sbb:
a. bertentangan dgn point 1.4.1. MoU Helsinki yg secara tegas mengatakan ada pemisahan kekuasana antara eksekutif dan legislatif.
b. Point-point dlm MoU menurut penjelasan pemerintah, tdk bertentangan dgn UUD 1945 dan sistem hukum Indonesia.
www.parlemen.net
13. Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disebut KIP adalah KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRA, DPRK, Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.
14. Majelis Permusyawaratan Ulama selanjutnya disebut MPU adalah Lembaga Independen dan merupakan mitra sejajar Pemerintah dan DPRA.
15. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan rakyat sebagai alat pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya, yang dipimpin oleh seorang wali nanggroe. 16. Partai Politik Lokal adalah organisasi politik yang
dibentuk oleh kelompok-kelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan agama, masyarakat, bangsa dan negara.
urusan rumah tangga kota secara otonom. 8. Pemerintah Aceh adalah unsur penyelenggara
pemerintahan Aceh yang terdiri atas Gubemur atau nama lain dan perangkat Aceh.
9. Gubemur atau nama lain adalah kepala pemerintah Aceh yang dipilih melalui suatu proses demokratis dan adil.
10. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah unsur
penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota yang terdiri atas Bupati/Walikota dan perangkat
kabupaten/kota.
11. Bupati/Walikota adalah kepala pemerintah kabupaten/kota yang dipilih melalui suatu proses demokratis dan adil.
12. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang selanjutnya disingkat DPRA adalah unsur penyelenggara
pemerintahan Aceh yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum secara langsung,
13. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat DPRK adalah unsur
penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum secara langsung.
14. Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
menyelenggarakan pemilihan Gubernur/Wakil Gubemur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota.
15. Partai Politik Lokal adalah organisasi politik yang
Pasal 1 Angka (13) RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan dgn alasan:
- menghindari adanya dualisme pelaksana pemilihan umum di Aceh
- efisiensi dlm penggunaan dana, sumber daya, dan fasilitas - perbedaan nama pelaksana
pemilihan masih dpt diakomodir dlm RUU pemilihan umum/ RUU tentang KPU yg akan di revisi.
- Bahwa ini merupakan ciri kekhususan Aceh sebagaimana diperkenalkan oleh UU no. 18 thn 2001 dan Pasal 226 Ayat (3) UU no. 32 thn 2004.
Pasal 1 Angka (12) RUU PA Pemerintah tdk dpt diterima krn: a. bertentangan dgn point 1.4.1. MoU Helsinki yg secara tegas mengatakan ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.
b. Pengertian ini mengaburkan fungsi DPRA sebagai
pelaksana kekuasan legislatif Aceh.
c. Pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif berguna untuk:
a. Mencegah intervensi antar lembaga
www.parlemen.net
17. Qanun Aceh adalah produk perundang-undangan yang mengatur hal ikhwal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan Pemerintahan Aceh sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang ini.
18. Qanun Kabupaten/Kota adalah produk perundang-undangan yang mengatur hal ikhwal penyelenggaraan Pemerintahan dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan kabupaten/kota.
dibentuk oleh kelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan agama, masyarakat, bangsa dan negara.
16. Mahkamah Syar'iyah Aceh dan Mahkamah Syar'iyah kabupaten/kota adalah lembaga peradilan yang mengadili perkara-perkara yang berkenaan dengan pelaksanaan syari'at Islam.
17. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga
kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya.
18. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.
19. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan memiliki harat kekayaan sendiri yang dipimpin oleh imum mukim atau nama lain berkedudukan langsung di bawah camat.
20. Gampong atau nama lain adalah suatu wilayah yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang merupakan kesatuan masyarakat yang berada di bawah mukim dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
21. Majelis Permusyawaratan Ulama selanjutnya disingkat MPU adalah majelis yang anggotanya terdiri dari ulama dan intelektual muslim yang merupakan mitra Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. 22. Peraturan perundang-undangan adalah produk hukum
tertulis yang disahkan/ditetapkan oleh Pemerintah. 23. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat bagi Aceh yang tingkatannya sama dan setara dengan Peraturan Dacrah Provinsi.
b. Meningkatkan
profesionalisme lembaga c. Optimalisasi fungsi
pengawasan
Pasal 1 Angka (17) RUU PA DPRD NAD tetap merupakan substansi yg harus dipertahankan karena:
a. merupakan ciri khas kekhususan yg sudah
diperlakukan pd UU nomor 18 thn 2001
b. pelaksanaan UU ini jika bukan diatur secara langsung dgn Qanun akan memberi dampak kpd alur birokrasi yg terlalu panjang dan berbelit.
c. jika pemerintah keberatan atas substansi Qanun dpt
melakukan yudisial review melalui mekanisme yg ada. d. Dgn setara antara Qanun dgn
Perda, dipahami bahwa kekuatan hukum pd
pelaksanaan UU ini tdk ada dan tidak mengikat pemerintah.
www.parlemen.net
24. Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat bagi kabupaten/kota yang tingkatannya sama dan setara dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
25. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjut disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan negara.
26. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh yang selanjut disingkat APBA adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh. 27. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota
yang selanjut disingkat APBK adalah adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dengan Qanun Kabupaten/Kota.
BAB II
BENTUK DAN SUSUNAN ACEH Pasal 2
1. Aceh adalah suatu pemerintahan sendiri yang diberi kewenangan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Gubernur atau nama lain, yang batas-batasnya merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.
2. Aceh terdiri atas daerah kabupaten/kota yang masing-masing sebagai daerah otonom.
3. Daerah kabupaten/kota terdiri atas kecamatan-kecamatan.
4. Kecamatan terdiri atas mukim-mukim. 5. Mukim terdiri atas gampong-gampong.
BAB II
PEMBAGIAN ACEH DAN KAWASAN KHUSUS Pasal 2
(1) Aceh terdiri atas kabupaten/kota.
(2) Kabupaten/kota terdiri atas kecamatan-kecamatan. (3) Kecamatan terdiri atas mukim-mukim.
(4)Mukim terdiri alas kelurahan dan gampong-gampong.
Judul BAB II Draft RUU PA DPRD NAD tetap
dipertahankan.
- karena dibawah judul tersebut ada ruang untuk mengatur bentuk
pemerintahan Aceh yg berbeda dgn bentuk pemerintahan di Provinsi lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1).
Pasal 2 Ayat (4) RUU PA pemerintah ”ketentuan tentang
www.parlemen.net
lembaga Kelurahan”
bertentangan dgn UU nomor 18 tahun 2001 dan juga dgn Qanun-Qanun yg telah berlaku efektif di Aceh.
Pasal 3
1. Pemerintah Aceh bersama-sama Pemerintah berbatasan lainnya dapat membentuk kawasan-kawasan strategis yang menunjang kebutuhan pengembangan ekonomi, konservasi dan lingkungan hidup, cagar budaya dan kebutuhan-kebutuhan strategis lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
2. Pemerintah Aceh dan/atau bersama-sama Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk kawasan-kawasan strategis untuk kebutuhan pengembangan ekonomi, konservasi dan lingkungan hidup, cagar budaya dan kebutuhan-kebutuhan strategis lainnya yang ditetapkan dengan Qanun Aceh.
Pasal 3
(1) Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di Aceh dan atau kabupaten/kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus. (2) Dalam pembentukan kawasan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib mengikutsertakan Pemerintah Aceh dan atau Pemerintah kabupaten/kota.
(3) Pemerintah Aceh bersama pemerintah kabupaten/kota dapat mengusulkan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapat persetujuan DPRA/DPRK.
(4) Kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas diatur dengan undang-undang.
(5) Kawasan khusus selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam MoU, semua kewenangan pelayanan publik diserahkan pengaturannya kpd pemerintah Aceh krn itu Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan:
- membuka kemungkinan bagi pembentukan kawasan khusus antar daerah provinsi dan kabupaten/kota.
- percepatan pembangunan ekonomi
- percepatan pelayanan publik - demokratisasi ekonomi
- deregulasi peraturan perundang-undangan yg bersifat sentralistis, sesuai dgn semangat reformasi.
Pasal 4
Aceh terletak pada koordinat 2o – 6o lintang utara dan 95o – 98o lintang selatan, yang disesuaikan dengan batas tanggal 1 Juli 1956, yaitu:
a. sebelah utara dengan Selat Malaka. b. sebelah timur dengan Selat Malaka.
Pasal 4 Aceh mempunyai batas-batas:
a. sebelah Utara dengan Selat Malaka;
b. sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara;
Titik koordinat dlm pasal 4 Draft RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan karena :
- menghindari adanya konflik antar provinsi
- memudahkan break down dlm tata ruang provinsi maupun
www.parlemen.net
c. sebelah barat dengan Samudera Indonesia. d. sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara.
c. sebelah Timur dengan Selat Malaka, dan d. sebelah barat dengan Samudera Indonesia.
kabupaten/kota
- selama inipun Aceh dlm setiap dokumen daerah tetap
menyebutkan titik koordinat. - Merujuk pada UU nomor 24 thn
1956 ttg pembentukan propinsi Atjeh dan secara faktual batas-batas tersebut sesuai dgn UU tersebut.
Pasal 5
Pembentukan, penghapusan dan penggabungan kabupaten/kota, kecamatan, mukim dan gampong/kelurahan sesuai peraturan perundang-undangan.
Istilah “Kelurahan” dalam Pasal 5 RUU PA Pemerintah harus dihilangkan karena dlm susunan pemerintahan sesuai dgn Pasal 2 UU no. 18 thn 2001 tdk lagi dikenal istilah kelurahan.
BAB III
KAWASAN PERKOTAAN Pasal 5
1. Kawasan perkotaan dapat berbentuk : a. kota sebagai daerah otonom;
b. bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan;
c. bagian dari dua atau lebih kabupaten/kota yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan.
2. Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelola oleh Pemerintah Kota.
3. Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelola oleh pemerintah kabupaten atau lembaga pengelola yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada Pemerintah Kabupaten
BAB III
KAWASAN PERKOTAAN Pasal 6
(1) Kawasan perkotaan dapat berbentuk: a. kota sebagai daerah otonom;
b. bagian kabupaten yang memiliki ciri perkotaan; dan
c. bagian dari dua atau Iebih kabupaten/kota yang berbatasan Iangsung dan memiliki ciri perkotaan.
(2) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelola oleh pemerintah kota.
(3) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelola oleh pemerintah kabupaten atau lembaga pengelola yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada pemerintah kabupaten yang bersangkutan.
www.parlemen.net
yang bersangkutan.
4. Penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu di kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikelola bersama oleh kabupaten/kota terkait.
5. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk Badan Pengelolaan Pembangunan di kawasan gampong yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan.
6. Pemerintah Kabupaten/Kota mengikutsertakan masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kawasan perkotaan.
7. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Qanun Aceh.
(4) Penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu di kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikelola bersama oleh kabupaten/kota terkait.
(5) Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk badan pengelolaan pembangunan di kawasan gampong yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan.
(6) Pemerintah kabupaten/kota mengikutsertakan masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kawasan perkotaan.
(7) Pelaksanaan kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Qanun Aceh.
BAB IV
KEWENANGAN ACEH
Pasal 6
(1) Aceh berwenang dalam semua sektor publik, kecuali dalam bidang-bidang yang menjadi kewenangan pemerintah.
(2) Kewenangan pemerintah dalam sektor publik adalah dalam bidang politik luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal nasional dan kekuasaan kehakiman.
(3) Kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud
BAB IV
KEWENANGAN ACEH DAN KEWENANGAN KABUPATEN/KOTA
Pasal 7
(1) Aceh dun kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Judul BAB IV Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan karena judul tersebut lebih memberikan kewenangan dalam mengatur kewenangan kabupaten/kota.
Pasal 6 Ayat (1) Draft RUU PA DPRD NAD : Kewenangan Aceh di semua sektor publik, tidak hanya mengatur urusan pemerintahan, kecuali yg menjadi kewenangan pemerintah.
www.parlemen.net
pada ayat (2) dapat dilimpahkan sebagian atau seluruhnya kepada pemerintah Aceh atau pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta urusan tertentu dalam bidang agama.
(3) Disamping kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat urusan pemerintahan lain yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah.
Pasal 7 Ayat (2) RUU PA Pemerintah harus diperbaiki karena tidak sejalan dgn MoU. Karena itu Pasal 7 ayat (2) RUU PA Pemerintah ini, sebaiknya mengacu pada MoU point 1.1.2.a, yaitu bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
Pasal 7 Ayat (3) RUU PA
Pemerintah harus ditolak karena: a. ditambahkannya kewenangan
lain pemerintah pusat yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan, memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menambah
kewenangannya secara tidak terbatas.
b. bertentangan dengan MoU angka 1.1.2 a.yang secara tegas menyebutkan kewenangan pemerintah yang terbatas pada 6 bidang, sedangkan selebihnya menjadi kewenangan pemerintah Aceh. Ketentuan ini juga lebih sempit dibandingkan dengan UU no.32 tahun 2004. (ketentuan ini mengingatkan kita pada UU No.22 tahun 1999, yang direalisasikan dengan PP 25 tahun 2000).
www.parlemen.net
(4) Pelimpahan kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dana, penyerahan sarana dan prasarana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6 Ayat (4) draft RUU PA DPRD NAD harus tetap dipertahankan, mengingat pelimpahan kewenangan dari pemerintah kpd pemerintah Aceh itu bermakna bertambahnya urusan yg hrs dikelola di daerah karena itu jika ada pelimpahan kewenangan tidak disertai penyerahan dana, sarana dan prasarana dpt dipahami sbg upaya tidak memberdayakan daerah, tidak demokratis, dan tidak sesuai dgn semangat otonomi.
Pasal 7
(1) Perjanjian internasional yang terkait dengan kepentingan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah harus dengan konsultasi dan persetujuan DPRA.
(2) Rancangan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPRA. (3) Kebijakan-kebijakan administratif yang terkait dengan
Aceh yang dibuat oleh pemerintah harus dengan konsultasi dan persetujuan Gubernur atau nama lain. (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 8
(1) Rencana persetujuan internasional yang terkait kepentingan khusus Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPRA. (2) Rencana keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia yang terkait kepentingan khusus Aceh dilakukan dengan dikonsultasi dan persetujuan DPRA. (3) Kebijakan administratif yang terkait kepentingan khusus
Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan Gubernur.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
www.parlemen.net
Pasal 8
(1) Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan negara, lembaga atau badan di luar negeri.
(2) Pemerintah Aceh dan lembaga-lembaga lainnya di Aceh dapat bekerjasama secara langsung dengan badan-badan Perserikatan Bangsa-bangsa tertentu dan badan-badan dunia lainnya.
(3) Lembaga-lembaga di Aceh dapat menjadi anggota dari badan-badan Perserikatan Bangsa-bangsa tertentu dan badan-badan dunia lainnya.
(4) Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, kebudayaan dan olah raga internasional.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 9
(1) Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, kebudayaan dan olah raga internasional.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 8 Ayat (1) Draft RUU PA DPRD NAD :
Yang dimaksud kerjasama dgn negara disini adalah kerjasama dalam bidang-bidang diluar dari kewenangan Pemerintah (politik luar negeri).
Pasal 9 Ayat (3) RUU PA Pemerintah yg mengharuskan pengaturan dgn peraturan presiden dirasa akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya dan juga berbau sentralistis. Oleh karenanya pengaturan ini cukup dgn Qanun Aceh.
Pasal 9
(1) Aceh berwenang untuk membentuk Lembaga, Badan/atau Komisi sesuai dengan kebutuhan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 10
(1) Pemerintah Aceh dapat membentuk lembaga, badan/atau komisi menurut undang-undang ini, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah.
(2) Pembentukan lembaga, badan atau komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.
www.parlemen.net
BAB V
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN Pasal 10
(1) Pemerintah Aceh menyelenggarakan semua urusan publik yang menjadi kewenangannya, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2).
(2) Dalam menyelenggarakan urusan publik yang menjadi kewenangan Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh mengatur, menjalankan dan mengurus sendiri urusan pemerintahan Aceh.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah yang tidak termasuk kewenangan pemerintah Aceh dapat :
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur atau nama lain sebagai Wakil Pemerintah; atau
c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan Kabupaten/Kota dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
BAB V
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 11
(1) Aceh menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dan diurus sendiri oleh Aceh.
(3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah yang tidak termasuk kewenangan Aceh dan Pemerintahan kabupaten/kota, dapat dilakukan melalui:
a. menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah; atau
c. menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintahan Aceh dan/atau Pemerintahan kabupaten/kota dan/atau pemerintahan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pasal 10 Ayat (1) Draft RUU DPRD NAD tetap dipertahankan karena sejalan dgn MoU.
www.parlemen.net
Pasal 12
(1) Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Pemerintahan Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 yang belum diatur dalam undang-undang ini, akan diatur lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/kota diatur lebih lanjut dengan Qanun Aceh.
(3) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) difasilitasi oleh Pemerintah.
Pasal 12 Ayat (1) RUU PA Pemerintah dihapus karena: a. bisa mengeliminir semua
ketentuan yg ada dalam Pasal 6 Draft RUU PA DPRD NAD tentang kewenangan Aceh. b. Ketentuan ini sama dengan
ketentuan UU No.22 th 1999 yang dilaksanakan dengan PP No.25 Tahun 2000,yang menetapkan kewenangan pemerintah yang tidak terbatas. Dan pasal ini juga sama dengan Pasal 7 Ayat (3) RUU
pemerintah, yang jelas-jelas bertentangan dengan dengan MoU point 1.1.2.a., yang menetapkan kewenangan pemerintah terbatas pada 6 bidang yaitu hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan luar, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama.
Oleh karena itu Pasal 12 Ayat (1) RUU PA Pemerintah harus dihapuskan.
www.parlemen.net
Pasal 11
1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria efesiensi, efektifitas, akuntabilitas dan transparansi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
2. Penyelenggaraan urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Aceh, Kabupaten dan Kota atau antar-pemerintahan Aceh dengan antar-pemerintahan daerah lainnya yang saling terkait dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.
3. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan Daerah yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
4. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dengan standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
(2) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya merupakan hubungan yang saling terkait dan sinergis sebagai satu sistem pemerintuhan antara Pemerintah dan Pemerintahan Aceh/kabupaten/ kota atau antar Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota dengan pemerintahan daerah lainnya.
(3) Urusan pemerintuhan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh/kabupaten/kota yang diselenggarakan berdasarkann kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan Urusan pilihan.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 12
1. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Aceh disertai dengan pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
2. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur atau nama lain disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Pasal 14
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintahan Aceh dan pemerintah kabupaten/kota disertai dengan pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
www.parlemen.net
Pasal 13
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh merupakan urusan dalam skala Aceh yang meliputi:
a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
b. perencanaan dan pengendalian pembangunan; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas Kabupaten/Kota;
h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan lintas Kabupaten/Kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas Kabupaten/Kota; j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas Kabupaten/Kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas Kabupaten/Kota; dan
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. (2) Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan
khusus Aceh antara lain meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat yang
Pasal 15
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) merupakan urusan dalam skala Aceh yang meliputi: a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata
ruang;
b. perencanaan dan pengendalian pembangunan; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; dan
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh pemerintahan kabupaten/kota.
(2) Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain:
www.parlemen.net
bersendikan agama;
c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan islami;
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah; dan
e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji. (3) Urusan Pemerintah Aceh yang bersifat pilihan meliputi
urusan pemerintahan yang secara nyata berpotensi meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi.
a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari'at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama islam;
c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari'at islam;
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan
e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan. (3) Urusan Pemerintahan Aceh yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Aceh yang bersangkutan.
Hak untuk pengelolaan Ibadah Haji di atur dengan Peraturan
Perundang-undangan.
Meningkatkan Partisipasi diganti dengan kesejahteraan. (Proses di Ganti Hasil)
Pasal 14
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan Kabupaten/Kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/Kota meliputi:
a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
b. perencanaan dan pengendalian pembangunan; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan
Pasal 16
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
b. perencanaan dan pengendalian pembangunan; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penangaan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial;
www.parlemen.net
ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
j. pengendalian dan pengawasan lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.
(2) Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus kabupaten/kota antara lain meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di kabupaten/kota dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama; b. penyelenggaraan kehidupan adat yang
bersendikan agama;
c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan islami;
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. (3) Urusan pemerintah kabupaten/kota yang bersifat
pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk pemulihan psikososial sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Daerah yang bersangkutan.
h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
j. pengendalian dan pengawasan lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; dan n. pelayanan administrasi penanaman modal
termasuk penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya.
(2). Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus Pemerintahan kabupaten/kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari'at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari'at islam; dan
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan kabupaten/kota.
(3). Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk pemulihan psikososial sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan kabupaten/kota yang bersangkutan.
www.parlemen.net
Pasal 15
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 sampai dengan pasal 14 diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 17
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 diatur dalam Qanun Aceh dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 17 RUU PA Pemerintah, penambahan kalimat berpedoman pada peraturan perundang-undangan dihapus, karena tidak lazim dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.Dalam UU sebelumnya misal UU nomor 44 thn 1999, UU nomor 18 thn 2001, UU 32 thn 2004, UU nomor 10 thn 2004, juga tidak disebutkan secara eksplisit.
BAB VI
ASAS, BENTUK DAN SUSUNAN PENYELENGARA PEMERINTAHAN
Pasal 16
Penyelenggaraan Pemerintah Aceh berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang terdiri atas :
a. asas keislaman; b. asas kepastian hukum;
c. asas tertib penyelenggara pemerintahan; d. asas kepentingan umum;
e. asas keterbukaan; f. asas proporsionalitas; g. asas profesionalitas; h. asas akuntabilitas; i. asas efisiensi; j. asas efektivitas; k. asas kesetaraan, dan
l. bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
BAB VI
ASAS, BENTUK DAN SUSUNAN PENYELENGGARA PEMERINTAHAN
Pasal 18
Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas:
a. asas keislaman; b. asas kepastian hukum; c. asas kepentingan umum;
d. asas tertib penyelenggaraan pemerintahan; e. asas keterbukaan; f. asas proporsionalitas; g. asas profesionalitas; h. asas akuntabilitas; i. asas efisiensi; j. asas efektivitas; k. asas kesetaraan; dan
www.parlemen.net
l. asas bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Pasal 17
Pemerintah Aceh berbentuk pemerintahan sendiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 17 draft RUU DPRD NAD dipertahankan, dengan alasan sbb: a. “Istilah pemerintahan sendiri”
artinya mengurus secara mandiri urusan/kewenangan yg tlh diakui sbg kewenangan Aceh. Jadi tdk dimaksudkan sbg upaya memisahkan diri dr NKRI.
Istilah ini juga tlh lama dikenal dlm rangka pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Istilah ini tlh dipakai sejak thn 1903 dlm “desentralisasi wet” tgl 23 Juli 1903.
b. Istilah pemerintahan sendiri juga dikenal dlm khasanah perundang-undangan NKRI yaitu dlm UU No. 22 thn 1948 ttg Penetapan Aturan-aturan Pokok mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yg berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Dlm konsideran menimbangnya juga menyebutkan “bahwa perlu ditetapkan UU
berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar yg menetapkan Pokok-pokok tentang
Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yg berhak mengatur dan Mengurus rumah tangganya sendiri.
www.parlemen.net
Pemerintahan Sendiri juga dimaksudkan untuk memberikan
kekhususan/keistimewaan yang membedakan
pelaksanaan otonomi untuk Aceh dgn daerah-daerah lain. Pasal 18
(1) Penyelenggara Pemerintah Aceh adalah Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain dan perangkat pemerintah Aceh.
(2) Penyelenggara Pemerintahan Kabupaten adalah Bupati/Wakil Bupati dan perangkat pemerintah Kabupaten.
(3) Penyelenggara Pemerintahan Kota adalah Walikota/Wakil Walikota dan perangkat pemerintah Kota.
(4) Penyelenggara Pemerintahan Kecamatan adalah Camat dan perangkat pemerintah Kecamatan.
(5) Penyelenggara Pemerintahan Kemukiman adalah Imuem Mukim atau nama lain dan perangkat pemerintah Kemukiman.
(6) Penyelenggara Pemerintahan Gampong adalah Keuchik atau nama lain dan perangkat pemerintah Gampong.
(7) Bentuk dan susunan penyelenggara pemerintahan ditetapkan dengan Qanun Aceh.
www.parlemen.net
Pasal 19
(1). Penyelenggara Pemerintahan Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh dan DPRA.
(2). Penyelenggara pemerintahan kabupaten/kota terdiri atas pemerintah kabupaten/kota dan DPRK. (3). Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan
Aceh dan kabupaten/kota diatur dalam Qanun.
Pasal 19 ayat (1) s/d Ayat (3) Draft RUU PA Pemerintah tidak dapat diterima karena :
a. bertentangan dgn point 1.4.1. MoU Helsinki yg secara tegas mengatakan ada pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.
b. pengertian ini mengaburkan fungsi DPRA sebagai
pelaksana kekuasan legislatif Aceh. BAB VII LEGISLATIF ACEH Bagian Kesatu Umum Pasal 19
(1) Kekuasaan Legislatif Aceh dilaksanakan oleh DPRA dan kekuasaan legislatif kabupaten/kota dilaksanakan DPRK yang anggotanya dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilihan umum.
(2) DPRA dan DPRK mempunyai fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan kebijakan daerah dan penyaluran aspirasi rakyat.
(3) DPRA dan DPRK mempunyai hak untuk membentuk alat-alat kelengkapan Dewan sesuai dengan kebutuhan dan kekhususan Aceh.
(4) Jumlah anggota DPRA paling banyak 125% (seratus
BAB VII DPRA DAN DPRK
Bagian Kesatu Umum
Pasal 20
(1). DPRA dan DPRK mempunyai fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan kebijakan
provinsi/kabupaten/kota dan penyaluran aspirasi rakyat.
(2). DPRA dan DPRK mempunyai hak untuk membentuk alat-alat kelengkapan DPRA/DPRK sesuai dengan kekhususan Aceh.
(3). Jumlah anggota DPRA paling banyak 125% (seratus dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan Undang Undang.
Judul BAB mengikuti rumusan yg tlh disepakati dlm MoU Helsinki (Legislatif Aceh).
www.parlemen.net
dua puluh lima persen) dari yang ditetapkan Undang Undang.
Bagian Kedua Tugas dan Wewenang
Pasal 20
(1) DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. membentuk Qanun Aceh termasuk Qanun tentang APBA, Perubahan dan Perhitungan APBA yang dibahas dengan Gubernur atau nama lain untuk mendapat persetujuan bersama;
b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lainnya;
c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, penanaman modal dan kerjasama internasional; d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
e. memberitahukan kepada Gubernur atau nama lain dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) tentang akan berakhirnya masa jabatan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain; f. memilih Wakil Gubernur atau nama lain dalam hal
terjadinya kekosongan jabatan Wakil Gubernur
Bagian Kedua Tugas dan Wewenang
Pasal 21
(1). DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
b. melaksanakan pengawasan terhad pelaksanaan Qanun Aceh. dan peraturan pertindang-undangan lainnya;
ap
c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh, dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya
Pasal 20 Ayat (1) Draft RUU PA DPRD NAD huruf a perlu dipertahankan karena:
Penegasan Qanun tentang APBA, perubahan dan perhitungannya, diperlukan sebagai konsekwensi adanya hak anggaran (budget) pada DPRA.
www.parlemen.net
atau nama lain;
g. memberikan pertimbangan dan persetujuan kepada pemerintah Aceh terhadap perjanjian internasional;
h. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan keputusan pemerintah tentang perjanjian internasional yang terkait dengan hal ihkwal kepentingan khusus Aceh; i. memberikan pertimbangan dan persetujuan
terhadap rancangan keputusan-keputusan DPR RI yang terkait dengan Aceh;
j. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
k. meminta laporan pertanggungjawaban Gubernur atau nama lain dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan;
l. membentuk Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawasan Pemilihan (Panwas); m. melakukan pengawasan dan meminta laporan
kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KIP dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. (2) Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, penanaman modal dan kerjasama internasional; d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
Gubernur/Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
e. memberitahukan kepada Gubernur dan KIP tentang akan berakhirnya masa jabatan Gubernur /Wakil Gubernur;
f. memilih Wakil Gubernur dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Gubernur;
g. memberikan pendapat dan pertimbangan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh;
h. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan persetujuan internasional yang dibuat oleh Pemerintah terkait dengan kepentingan khusus Aceh;
i. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan kepentingan khusus Aceh.
j. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
k. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan;
www.parlemen.net
Pemilihan; dan
m. melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KIP dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil I3upati dan Walikota/Wakil Walikota.
(2). Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(3). Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.
Pasal 21
(1) DPRK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. membentuk Qanun Kabupaten/Kota termasuk Qanun tentang APBK, perubahan dan perhitungan APBK yang dibahas dengan Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan bersama;
b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun kabupaten/kota dan peraturan perundang-undangan lainnya;
c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan program pembangunan kabupaten/kota, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, penanaman modal dan kerjasama internasional;
Pasal 22
(1). DPRK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. membentuk Qanun kabupaten/kota yang dibahas dengan Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan bersama;
b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun kabupaten/kota dan peraturan perundang-undangan lainnya;
Penegasan Qanun tentang APBK,perubahan dan
perhitungannya,diperlukan sebagai konsekwensi adanya hak anggaran (budget) pada DPRK.
c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan program pembangunan kabupaten/kota, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, penanaman modal dan kerjasama internasional;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur; e. memberitahukan kepada Bupati/Walikota dan KIP
Pasal 21 Ayat (1) huruf a, Draft RUU PA DPRD NAD perlu dipertahankan karena:
www.parlemen.net
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur atau nama lain;
e. memberitahukan kepada Bupati/Walikota dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) tentang akan berakhirnya masa jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota;
f. memilih Wakil Bupati/Wakil Walikota dalam hal terjadinya kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota;
g. memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan kepada pemerintah Kabupaten/Kota terhadap rencana kerjasama internasional di Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
h. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
i. meminta laporan pertanggungjawaban Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan.
(3). Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengun Qanun kabupaten/kota.
(2) Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.
mengenai akan berakhirnya masa jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; f. memilih Wakil Bupati/Wakil Walikota dalam hal
terjadinya kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota;
g. memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan kepada pemerintah kabupaten/kota terhadap rencana kerjasama internasional di kabupaten/kota yang bersangkutan;
h. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan kabupaten/kota;
i. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan.
(2). Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
www.parlemen.net
Bagian Ketiga
Hak, Kewajiban dan Kode Etik Pasal 22
(1) DPRA dan DPRK mempunyai hak : a. interpelasi;
b. angket;
c. meminta laporan pertanggungjawaban Gubernur atau nama lain dan Bupati/Walikota untuk penilaian kinerja;
d. meminta keterangan kepada pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota serta pihak-pihak yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. mengajukan rancangan Qanun; f. mengajukan pernyataan pendapat;
g. mengadakan perubahan atas rancangan Qanun; h. melakukan penyusunan, perubahan dan
perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh;
i. melakukan penyusunan dan pengajuan Anggaran Belanja DPRA sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh; dan
j. menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRA.
(2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna.
(3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana
Bagian Ketiga
Hak, Kewajiban dan Kode Etik Pasal 23
(1). DPRA/DPRK mempunyai hak: a. interpelasi;
b. angket;
c. mengajukan pernyataan pendapat;
d. mengadakan perubahan atas rancangan Qanun; e. membahas dan menyetujui rancangan Qanun
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan kabupaten/kota dengan Gubernur dan atau Bupati/Walikota;
f. melakukan penyusunan dan pengajuan anggaran belanja DPRA/DPRK sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dan kabupaten/kota; dan
g. menyusun dan menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik DPRA/DPRK.
(2). Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPRA/DPRK yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRA/DPRK dan putusan yang diambil dengan persetujuan
Pasal 22 Ayat (1) huruf c Draft RUU PA DPRD NAD tidak ada yg bertentangan dengan UU sektoral lainnya, sedangkan LPJ yang termuat dalam huruf c merupakan ciri khas Aceh sesuai dengan yg telah diatur dalam UU otonomi khusus.
Pasal 22 Ayat (1) huruf c Draft RUU PA DPRD NAD sebagaimana yg dimaksud tersebut, tidak untuk menjatuhkan Kepala Daerah akan tetapi lebih kepada penilaian kinerja Kepala Daerah oleh DPRA/DPRK sebagai representasi rakyat.
www.parlemen.net
dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia angket yang terdiri atas unsur DPRA yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRA.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(5) Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia. (8) Tata cara penggunaan hak meminta laporan
pertanggungjawaban Gubernur atau nama lain atau Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Qanun Aceh.
(9) Tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j diatur dalam PeraturanTata Tertib DPRA atau DPRK.
sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRA/DPRK.
(3). Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia ungket yang terdiri atas unsur DPRA/DPRK yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan basil kerjanya kepada DPRA/ DPRK.
(4). Dalam melaksanakan tugasnya panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(5). Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
(6). Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(7). Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia. (8). Tata cara penggunaan hak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf g, huruf h, huruf i diatur dalam peraturan tata tertib DPRA/DPRK.
(9). Peraturan tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22 Ayat (8) Draft RUU PA DPRD NAD tetap dipertahankan, sesuai dengan point diatas karena itu merupakan mekanisme LPJ.
www.parlemen.net
Pasal 23
(1) Setiap anggota DPRA dan DPRK mempunyai hak: a. mengajukan rancangan Qanun;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat; d. protokoler;
e. keuangan dan administrasi; f. memilih dan dipilih;
g. membela diri; dan h. imunitas.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e diatur dengan Qanun Aceh.
(3) Anggota DPRA dan DPRK mempunyai kewajiban: a. mempertahankan konstitusi Republik Indonesia; b. mengamalkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945 serta mentaati segala peraturan Perundang-undangan;
c. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh;
d. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di daerah;
e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; f. mentaati peraturan tata tertib, kode etik dan
sumpah/janji anggota DPRA;
g. mendahulukan kepentingan negara diatas
Pasal 24
(1). Setiap anggota DPRA/DPRK mempunyai hak: a. mengajukan rancangan Qanun;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat; d. protokoler;
e. keuangan dan administratif; f. memilih dan dipilih;
g. membela diri; dan h. imunitas.
(2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e diatur dengan Qanun sesuai peraturan perundang-undangan.
(3). Anggota DPRA/DPRK mempunyai kewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan;
b. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota;
c. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
d. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; e. mentaati peraturan tata tertib, kode etik dan
sumpah/janji anggota DPRA/DPRK;
f. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan; g. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan
kinerjanya selaku anggota DPRA/DPRK sebagai wujud tanggung jawab moral dan politik terhadap daerah pemilihannya; dan
Penambahan kalimat “sesuai peraturan perundang-undangan” dalam pasal 24 Ayat (2) RUU PA Pemerintah tidak perlu, karena sudah menjadi keharusan dalam pembuatan setiap produk hukum di daerah sebagaimana diatur dalam UU sebelumnya misal UU nomor 44 thn 1999, UU nomor 18 thn 2001, UU 32 thn 2004, UU nomor 10 thn 2004, juga tidak disebutkan secara eksplisit.
www.parlemen.net
kepentingan pribadi, kelompok dan golongan; h. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan
kinerjanya selaku anggota DPRA sebagai wujud tanggung jawab moral dan politik terhadap daerah pemilihannya; dan
i. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
(4) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA dan DPRK.
h. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
(4). Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf f, huruf g, huruf h dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK.
Pasal 24
(1) DPRA dan DPRK wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRA dan DPRK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. pengertian kode etik; b. tujuan kode etik;
c. pengaturan sikap, tata kerja dan hubungan antar penyelenggara pemerintahan daerah dan antar anggota serta antara anggota DPRA dan DPRK serta pihak lain;
d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRA dan DPRK;
e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan; dan
f. sanksi dan rehabilitasi.
Pasal 25
(1). DPRA/DPRK wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRA/DPRK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya’
(2). Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. pengertian kode etik; b. tujuan kode etik;
c. pengaturan sikap, tata kerja dan hubungan antar penyelenggara pemerintahan daerah dan antar anggota serta antara anggota DPRA/DPRK serta pihak lain;
d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRA/DPRK;
e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan,.jawaban, sanggahan; dan