• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Dimensi Work Family Conflict pada Operator Wanita Bagian Weaving yang Sudah Berkeluarga di PT "X" Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Dimensi Work Family Conflict pada Operator Wanita Bagian Weaving yang Sudah Berkeluarga di PT "X" Kota Bandung."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

i

Universitas Kristen Maranatha Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran dimensi work family conflict pada operator wanita bagian weaving yang sudah berkeluarga di PT ‘X’ Kota Bandung. Pemilihan sampel menggunakan purposive sampling dan sampel sebanyak 36 operator wanita bagian weaving. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner work family conflict yang dibuat oleh peneliti dan mengacu pada skala work family conflict dari Carlson, Kacmar & Williams (2000) yang terdiri dari 6 dimensi. Item yang digunakan berjumlah 58 item. Nilai validitas item didapatkan nilai sekitar 0.377-0.763 dan reliabilitas sebesar 0.901

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan 58.3% operator wanita bagian weaving yang sudah berkeluarga di PT ‘X’ kota Bandung mengalami work family conflict yang tergolong tinggi, 69.4% operator menghayati arah family interfere with work, dan 75% menghayati dimensi time-based fiw.

Jumlah anak, umur anak terkecil, dan total waktu bekerja dalam seminggu cenderung mempengaruhi work family conflict yang dihayati oleh operator wanita bagian weaving tersebut. Saran yang diajukan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan desain kontribusi atau komparasi. Penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi perusahaan untuk membuat kebijakan-kebijakan atau menyusun program pengembangan atau pelatihan bagi operator wanita bagian weaving.

(2)

ii

Universitas Kristen Maranatha Abstract

This study is conducted to describe about work family conflict on married women working as a weaving operator in PT ‘X’ Bandung. Using purposive sampling technique and the total sample was 36 operators.

Measuring instrument used was a questionnaire made by the researcher and referring to work-family conflict scale that constructed by Carlson, Kacmar, & Williams (2000), which consist of six dimension. Based on validity and reliability test using SPSS, it was found 58 items accepted with validation among 0.377 -0.763 and reliability was 0.901.

The result of this research showed 58.3% of married women working as a weaving operator in PT ‘X’ Bandung experienced high level of work-family conflict, 69.4% experienced family interfere with work, and 75% experienced time-based fiw. The total number of children, youngest children and total hours spent at work tend to influence work family conflict that experienced by the female weaving operators

(3)

v

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

COVER

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN

LEMBAR PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN

ABSTRAK……….i

ABSTRACT………...ii

KATA PENGANTAR……….. iii

DAFTAR ISI……….………….…. v

DAFTAR BAGAN………...………..……. x

DAFTAR TABEL………...……… xi

DAFTAR LAMPIRAN……….………...xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……….………… 1

1.2 Identifikasi Masalah………...……….………...…….. 12

1.3 Maksud dan Tujuan………...…………...…………... 12

1.3.1 Maksud………...…………...……….……. 12

1.3.2 Tujuan………..………... 12

1.4 Kegunaan Penelitian………..……….…….………….... 12

1.4.1 Kegunaan Teoritis………..……….……….... 12

1.4.2 Kegunaan Praktis………...………...……….. 13

(4)

vi

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi………. 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Peran dan Konflik Peran………..……….. 23

2.2 Definisi Work Family Conflict ………... 24

2.3 Dimensi Work Family Conflict …...……….…..……. 25

2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Work Family Conflict……….………….. 26

2.5 Dampak-dampak yang Ditimbulkan Work Family Conflict ………...…...… 28

2.6 Perkembangan Dewasa Awal …..…………...……….... 31

2.6.1 Tugas Perkembangan………..……….……… 31

2.6.2 Penyesuaian Diri Wanita………...………..………..……... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian………..….. 32

3.2 Bagan Prosedur Penelitian……….. 32

3.3 Variable Penelitian dan Definisi Operasional………. 32

3.3.1 Variable Penelitian……….. 32

3.3.2 Definisi Konseptual………. 33 3.3.3 Defini Operasional………... 33

3.4 Alat Ukur………...………. 35

3.4.1 Alat Ukur Work Family Conflict ………...………...…… 35

3.4.2 Prosedur Pengisian ………...…………. 38

(5)

vii

Universitas Kristen Maranatha

3.4.4 Validitas dan Realibilitas Alat Ukur………... 40

3.4.4.1 Validitas Alat Ukur………...……. 40

3.4.4.2 Reabilitas Alat Ukur………..… 39

3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sample………..….. 41

3.5.1 Populasi Sasaran………..…….. 41

3.5.2 Karakteristik Sample………..……... 41

3.5.3 Teknik Penarikan Sample……….….…… 41

3.6 Teknik Analisis Data……….…..………...42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden………..………43

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jumlah Anak……….43

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Umur Anak Terkecil………..44

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Total Waktu Mengerjakan Pekerjaan Rumah Dalam Seminggu………..….44

4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Frekuensi Selisih Paham Dengan Suami Dalam Seminggu………...………….45

4.1.5 Gambaran Responden Berdasarkan Total Waktu Kerja (Termasuk Lembur) Dalam Seminggu………46

(6)

viii

Universitas Kristen Maranatha 4.1.7 Gambaran Responden Berdasarkan Keberadaan Anggota Keluarga Yang Tidak

Mendukung Untuk Bekerja………47

4.2 Hasil Penelitian……….47

4.2.1 Gambaran Work Family Conflict……….47

4.2.2 Gambaran Arah Work Family Conflict……….48

4.2.3 Gambaran Dimensi Work Family Conflict………49

4.2.3.1 Gambaran Time-based WIF……….49

4.2.3.2 Gambaran Strain-based WIF………49

4.2.3.3 Gambaran Behavior-based WIF…………………50

4.2.3.4 Gambaran Time-based FIW……….50

4.2.3.5 Gambaran Strain-based FIW………...51

4.2.3.6 Gambaran Behavior-based FIW………..……51

4.3 Pembahasan………...52

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan………...69

5.2 Saran………..60

5.2.1 Saran Teoritis………...60

(7)

ix

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA………..…………... DAFTAR RUJUKAN………...…………..

(8)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

(9)

xi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Gambaran Alat Ukur Work Family Conflict ………. 35

Tabel 3.2 Penilaian Alat Ukur Work Family Conflict………….………...…… 38

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jumlah Anak………...43

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia Anak Terkecil……….44

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Total Waktu Mengerjakan Pekerjaan Rumah.44 Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Frekuensi Selisih Paham Dengan Suami Dalam Seminggu ………45

Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Total Waktu Kerja Dalam Seminggu……….46

Tabel 4.6 Gambaran Responden Berdasarkan Frekuensi Selisih Paham Dengan Rekan Kerja Dalam Seminggu ………46

Tabel 4.7 Gambaran Responden Berdasarkan Keberadaan Anggota Keluarga Yang Tidak Mendukung ………47

Tabel 4.8 Gambaran Work-Family Conflict………….…47

Tabel 4.9 Gambaran Arah Work Interfere with Family………..…48

Tabel 4.10 Gambaran Arah Family Interfere with Work………48

Tabel 4.11 Gambaran Time-Based WIF………...49

Tabel 4.12 Gambaran Strain-Based WIF………...49

Tabel 4.13 Gambaran Behavior-Based WIF………..…………...50

Tabel 4.14 Gambaran Time-Based FIW……….50

Tabel 4.15 Gambaran Strain-Based FIW……….………..…………...51

(10)

xii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambaran Alat Ukur Work Family Conflict……… L-1 Lampiran 2 Kata Pengantar Kuesioner dan Identitas………... L-7 Lampiran 3 Surat Pernyataan Kesediaan Pengisian Kuesioner………..L-8 Lampiran 4 Data Penunjang………...L-9 Lampiran 5 Kuesioner Work Family Conflict……….….L-10 Lampiran 6 Tabel Data Mentah………....L-17

Tabel Kategori………...L-21

Tabel Data Penunjang………...L-23

(11)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peran wanita yang paling utama adalah sebagai ibu di dalam keluarga. Tugas ibu adalah

mengurus keperluan rumah tangga mulai dari hal terkecil sekalipun. Di rumah tangga, selain

mengurus rumah tangga, seorang ibu juga mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Seorang

ibu akan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang, memberikan motivasi,

bimbingan dan perlindungan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.

(matrapendidikan.com)

Sekarang ini, peran inti ibu telah bertambah, karena tingginya biaya kehidupan membuat

Ibu harus membantu ayah. Maka untuk sekarang akses wanita meraih pendidikan tinggi

terbuka lebar. Begitu juga untuk aktualisasi dan karier sehingga tidak hanya pria yang bisa

bekerja mencari uang, banyak wanita yang ikut dalam mencari nafkah dalam bekerja.

(viva.co.id)

Kondisi tersebut dapat dilihat dari total populasi 112 juta pekerja di Indonesia (data

Badan Pusat Statistik tahun 2012), terdapat 43 juta pekerja perempuan yang membantu

pertumbuhan ekonomi Indonesia. Di kota Bandung, data statistik terakhir menunjukan adanya

kenaikan jumlah wanita yang bekerja antara tahun 2013-2014. Kenaikan ini dari jumlah total

366,397 jiwa pada tahun 2013, menjadi 419.318 jiwa pada tahun 2014. Total jumlah ini

terdiri atas tenaga kerja di bidang pertanian, industri, perdagangan, jasa, dan lainnya. Dalam

bidang industri, terdapat 96.923 wanita yang bekerja di kota Bandung pada tahun 2014.

(12)

2

Universitas Kristen Maranatha Pekerjaan di bidang industri antara lain meliputi pekerjaan dibidang pembuatan

makanan dan minuman, pakaian jadi, tekstil, manufaktur, kayu, kertas, dan sebagainya. Dari

96.923 wanita yang bekerja di bidang industri, sebagian diantaranya merupakan buruh wanita

yang bekerja di pabrik, salah satunya adalah pabrik tekstil X di kota Bandung.

Pabrik X adalah pabrik garmen yang bergerak dalam bidang pembuatan jeans. Pabrik X

memiliki kurang lebih 600 karyawan yang terbagi ke dalam empat bagian yaitu: divisi sumber

daya manusia (SDM), PPIC, staff dan produksi. Bagian produksi mencakup 17 sub bagian,

yaitu: winding, warping, sizing, inspecting gray, finishing, rolling inspect, packing, RND,

QC, listrik, boiler jeal, utility bengkel, gudang spare part, gudang benang, gudang obat,

gudang majun, dan weaving. Dari ke 17 bagian produksi, bagian weaving memiliki aktifitas

kerja 24 jam dan sebagian besar pekerjanya adalah wanita. Sebagian besar karyawan weaving

berjenis kelamin wanita dengan rentang usia 20-35 tahun, pekerja wanita dibagian weaving

biasa disebut operator wanita.

Weaving adalah sub bagian produksi yang bertugas menjalankan mesin tenun,

memerhatikan benang atau yang biasa disebut dengan lusi agar tidak ada yang cacat, dan

memastikan agar mesin tidak terhenti. Selain itu operator wanita dipastikan menjaga agar lusi

tidak putus sehingga tidak akan mengganggu proses pembuatan kain. Operator yang bekerja

dibagian weaving ini memiliki tanggung jawab yang cukup besar karena apabila ada lusi yang

cacat maka akan menghambat proses produksi untuk bagian selanjutnya.

Meskipun setiap bagian produksi memiliki tingkat kesulitan masing-masing, namun

yang membuat berbeda pada bagian weaving adalah bagian ini mempekerjakan wanita

sebagai operator dengan jam kerja tiga shift yaitu shift pagi, shift siang dan shift malam.

Adapun alasan memilih operator wanita untuk bekerja di bagian weaving karena bagian ini

(13)

3

Universitas Kristen Maranatha dan pekerjaan dibagian weaving tidak terlalu banyak menggunakan fisik seperti di bagian

produksi yang lain.

Operator wanita pada bagian weaving bekerja sebagai operator mesin dan harus

memastikan agar mesin tenun tidak berhenti beroperasi selama 24 jam, setiap operator

memegang kurang lebih delapan mesin dan diharuskan untuk berkeliling memeriksa

mesin-mesin. Operator wanita tidak diperkenankan untuk duduk ataupun makan kecuali jam

istirahat. Operator wanita juga harus siaga untuk melihat apabila ada tanda-tanda bahwa

mesin akan mati atau ada lusi yang putus dengan mengawasi lampu mesin setiap saat karena

apabila ada lampu mesin yang menyala berwarna merah berarti ada lusi yang putus. Apabila

ada lusi yang putus, mesin tenun tersebut akan mati, oleh karena itu operator wanita harus

dengan cepat memperbaiki lusi yang putus dan menyalakan mesin kembali.

Operator wanita di bagian weaving berjumlah 48 orang dan di bagi menjadi tiga shift

yang di rolling setiap minggu. Setiap harinya, operator wanita bekerja selama kurang-lebih

delapan sampai sembilan jam. Apabila produksi sedang meningkat, operator wanita

diharuskan untuk tetap hadir saat hari sabtu. Menurut penelitian Frone (dalam Sabil &

Marican,2011) waktu kerja yang lama akan mempengaruhi terjadinya work family conflict.

Selain itu, jam kerja lebih dari 40 jam dalam seminggu menurut Sparks (dalam Jex & Britt,

2008) merupakan faktor penyebab work family conflict

Kondisi operator wanita di bagian weaving ini menjadi perhatian khusus oleh bagian

SDM, karena dari wawancara peneliti dengan foreman SDM PT „X‟, operator wanita yang

sudah menikah lebih sering absen dibandingkan buruh yang lain. Pihak pabrik „X‟ sendiri

telah menyediakan jatah cuti yang telah sesuai dengan peraturan pemerintah bagi pekerja

wanita, yaitu cuti awal haid, cuti saat ada sanak keluarga yang meninggal, pernikahan dan

(14)

4

Universitas Kristen Maranatha bulannya, apabila tidak digunakan pada akhir tahun dapat diakumulasikan menjadi bonus,

namun operator wanita tidak dapat menggunakan jatah cuti lebih dari satu kali dalam

sebulan,dikarenakan bagian weaving akan kekurangan operator untuk menjaga mesin tetap

bekerja yang dapat berakibat pada menurunnya produksi. Apabila jatah cutinya sudah

digunakan, biasanya operator wanita absen untuk kepentingan keluarga, seperti saat ada

anaknya yang sakit dan saat ada keperluan keluarga lainnya.

Sama halnya dengan keterlambatan, pihak pabrik sendiri telah menetapkan aturan

keterlambatan 15 menit dari jam pergantian shift, namun seringkali masih ada operator yang

terlambat sehingga pihak pabrik menentukan penalti bagi operator wanita yang terlambat

yaitu dengan mengurangi upah sebesar 4000 rupiah setiap kali keterlambatan yang akan di

akumulasikan dan di potong di akhir bulan. Walaupun telah ditetapkan peraturan seperti itu,

masih terdapat operator yang datang terlambat, dalam satu bulan terdapat lebih dari enam

operator wanita yang melakukan keterlambatan dengan alasan harus mengurus keperluan

keluarga terlebih dahulu. Keterlambatan tentu saja menghambat proses pekerjaan di bagian

produksi.

Foreman SDM juga sering mendapat keluhan dari operator wanita yang sudah menikah

mengenai masalah pekerjaan, seperti pekerjaan yang terlalu berat dan lain sebagainya. Selain

masalah pekerjaan, operator wanita juga sering mengeluh mengenai masalah ekonomi

keluarga yang di alaminya, masalah seputar keluarganya, seperti anaknya yang sakit, dan lain

sebagainya. Hal ini cukup menjadi masalah karena dengan berbagai macam permasalahan

yang dialami oleh operator wanita dapat membuat kinerja dan konsentrasi operator wanita

menurun.

Menurunnya konsentrasi operator wanita, selain dapat menghambat proses produksi

(15)

5

Universitas Kristen Maranatha mengatakan bahwa dua bulan terakhir telah terjadi kecelakaan yang diakibatkan oleh human

error karena kurangnya konsentrasi saat mengoperasikan mesin yang menyebabkan dua

operator wanita terluka di bagian tangannya.

Fenomena di atas menunjukan bahwa operator wanita mengalami peran ganda antara

peran sebagai seorang operator dan sebagai ibu rumah tangga, kedua peran tersebut saling

tarik-menarik. Adanya tarik-menarik antara tuntutan peran dalam kerja dan keluarga di dalam

psikologi di sebut sebagai Work Family Conflict, Work Family Conflict (WFC) atau yang

biasa disebut konflik kerja-keluarga, erdasarkan Khan et al (dalam Greenhaus dan Beutell

1985) adalah sebuah bentuk interrole conflict dimana tekanan peran yang berasal dari

pekerjaan dan keluarga saling mengalami ketidakcocokan dalam beberapa karakter. Dengan

demikian, partisipasi untuk berperan di dalam pekerjaan (keluarga) menjadi lebih sulit dengan

adanya partisipasi untuk berperan di dalam keluarga (pekerjaan).

Menurut Gutek et al (dalam Karen Korabik 2002), terdapat dua arah dalam WFC yaitu

Work Interfere with Family (WIF) atau konflik dari pekerjaan yang mempengaruhi kehidupan

keluarga, misalnya pada operator wanita yang sudah berkeluarga seringkali tidak dapat

melakukan tugasnya sebagai ibu di rumah karena tuntutan pekerjaan yang banyak dan waktu

untuk keluarga telah habis untuk berfokus pada pekerjaan.

Arah dari WFC yang kedua adalah Family Interfere with Work (FIW) yaitu konflik dari

keluarga yang mempengaruhi pekerjaan. Seperti pada operator wanita yang sudah

berkeluarga, seringkali tidak masuk kerja saat anak sakit karena harus mengurus anak di

rumah, sehingga pekerjaan terganggu. Selain itu terdapat tiga bentuk WFC, yaitu Time-based,

Strain based dan Behavior based. Apabila di gabungkan, akan terdapat enam dimensi dari

Work Family Conflict. Ke enam dimensi tersebut adalah Time-based WIF, Strain-based WIF,

(16)

6

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan survey awal yang dilakukan oleh peneliti kepada tujuh operator wanita PT

„X‟,85% operator wanita mengatakan bahwa mereka merasakan konflik antara tuntutan dari

pihak keluarga dan pihak perusahaan, pada satu sisi mereka ingin sepenuhnya menjadi

seorang ibu rumah tangga agar dapat mengurus segala pekerjaan rumah tangga dan dapat

sepenuhnya bertanggung jawab atas pertumbuhan anak mereka, namun karena kondisi

ekonomi yang tidak memungkinkan, maka mereka memutuskan untuk bekerja agar dapat

membantu suami dalam menafkahi keluarga mereka.

Sekitar 85% operator wanita merasa sulit untuk menyeimbangkan tuntutan pekerjaan

dan tuntutan keluarga, karena jatah cuti yang terbatas dan sulit untuk mendapatkan izin,

seringkali operator wanita membolos kerja saat anaknya sakit. Operator wanita mengatakan

bahwa mereka merasa bersalah dan malu untuk membolos karena mereka tahu bahwa dengan

terbatasnya tenaga kerja bagian weaving, tidak ada yang dapat menjaga mesin dan akhirnya

temannya harus menjaga mesin lebih dari kapasitas seharusnya dan dapat berakibat pada

proses produksi. Namun operator wanita juga merasa bingung karena pada satu sisi anaknya

membutuhkan perhatiannya dan operator wanita harus mengerjakan tugasnya sebagai seorang

ibu rumah tangga. Operator wanita juga merasa bingung saat tidak ada yang dapat menjaga

anaknya yang sakit di rumah, hal ini juga menimbulkan konflik dengan suami maupun

keluarganya karena mereka memiliki kesibukan masing-masing.

Lalu, 28.5% dari operator wanita berkata mereka pernah terlambat masuk kerja karena

harus menyiapkan perlengkapan makan untuk suami dan anak di pagi hari, hal ini

menyebabkan mereka tidak dapat masuk kerja karena waktu keterlambatan sudah melewati

batas yang bisa ditolerir. Operator wanita mengatakan bahwa mereka merasa tidak enak saat

tidak diperbolehkan masuk dan merasa bersalah pada teman mereka karena harus mengawasi

(17)

7

Universitas Kristen Maranatha Sekitar 42.8% operator wanita mengatakan bahwa karena jam kerja yang padat, mereka

sering menumpuk pekerjaan rumah, operator wanita lebih memilih untuk beristirahat dan

mempersiapkan diri untuk bekerja keesokan harinya, sehingga hanya dapat mengerjakan

sebagian kecil dari pekerjaan rumah dan sisanya dikerjakan oleh suami dan anaknya. Operator

wania mengatakan bahwa mereka merasa tidak enak karena tidak dapat mengerjakan semua

tugasnya sebagai ibu rumah tangga, mereka juga merasa bersalah dan malu terhadap

suaminya yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk namun karena

keesokan harinya mereka harus bekerja, maka mereka harus membagi waktu mengerjakan

pekerjaan rumah dan istirahat cukup agar tidak merasa lelah atau mengantuk saat kerja.

Operator wanita berkata hal ini sering menimbulkan konflik dengan suaminya, karena suami

juga merasa lelah setelah bekerja dan merasa terbebani dengan kondisi rumah yang belum

rapi.

Selain itu, 71.4% operator wanita mengaku bahwa karena jam kerja yang terus berubah

karena dirolling, mereka tidak dapat memberikan perhatian lebih terhadap anak yaitu dengan

menemani bermain atau membantu anak mengerjakan PR, karena seiap waktu luang yang

tersisa akan digunakan untuk beristirahat dan mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk,

mereka hanya bisa bermain bersama anak saat hari libur.

Selain itu, operator wanita juga sulit untuk menyamakan waktu antara waktunya dengan

keluarga di rumah, seringkali saat pulang ke rumah suami dan anaknya sudah tidur ataupun

sudah berangkat ke sekolah. Operator wanita mengatakan bahwa mereka merasa sedih dan

bersalah pada anak karena anak menjadi terabaikan ,namun pada satu sisi operator wanita

juga merasa bahwa mereka harus bertanggung jawab terhadap tuntutan pekerjaan.

Karena jatah cuti yang sangat terbatas, sebesar 57.1% operator wanita seringkali

(18)

8

Universitas Kristen Maranatha juga acara siraman ataupun pengajian sanak saudara, operator wanita selalu memilih-milih

jatah cuti yang akan diambilnya untuk keperluan yang benar-benar mendesak, sehingga

seringkali saat ada undangan ataupun pembagian raport di sekolah anak, operator wanita tidak

dapat datang dan harus diwakilkan oleh orang lain. Hal ini membuat operator wanita sedih

dan merasa tidak enak pada anaknya karena orang tua lain dapat mengambilkan raport bagi

anak-anaknya namun tidak bagi operator wanita, namun di sisi lain operator wanita tidak

dapat mengambil jatah cuti karena takut ada keperluan lain yang lebih mendadak dan merasa

bersalah terhadap atasan apabila terus menerus mengambil cuti.

Sebanyak 85% Operator wanita mengatakan bahwa mereka akan terus memikirkan anak

mereka apabila anak mereka sakit, namun tidak cukup parah sehingga mereka tidak

mengambil cuti. Operator wanita mengatakan hal ini yang sering membuat konsentrasi

mereka menurun saat bekerja dan sempat dua kali menyebabkan cacat kain karena kurang

fokus terhadap mesin, pada satu sisi operator wanita merasa bersalah karena telah

menyebabkan kecacatan pada kain yang dapat menghambat proses produksi, namun pada sisi

lain operator wanita juga merasa bersalah terhadap anak mereka karena mereka tidak dapat

menemani anaknya saat sakit.

Operator wanita bagian weaving bekerja selama delapan jam dalam sehari, selama

delapan jam, mereka hanya diperbolehkan untuk beristirahat selama setengah jam dan

melakukan ibadah saat jam shalat. Operator wanita bagian weaving di tuntut untuk bekerja

untuk mencapai target yang diberikan, saat tidak mencapai target atau terdapat banyak kain

yang cacat, maka operator wanita akan terkena teguran. Sekitar 28.5 % operator wanita

mengatakan saat mendapat teguran, mereka akan merasa stress dan hal tersebut akan terbawa

sampai ke rumah, saat di rumah operator wanita menjadi tidak dapat tenang dalam melakukan

pekerjaan rumah dan akhirnya menumpuk atau menunda-nunda pekerjaannya sampai mereka

(19)

9

Universitas Kristen Maranatha dan rentan marah saat hal tersebut terjadi. Mereka mengatakan bahwa dirinya juga merasa

tidak enak pada keluarganya karena mereka tidak tahu mengenai masalah yang dialaminya di

pekerjaan namun mendapat dampaknya, operator wanita juga merasa bersalah kepada anggota

keluarganya karena dengan menunda pekerjaan rumah atau mengerjakannya setengah hati

akan membuat kondisi rumah kurang nyaman.

Sekitar 85% operator wanita merasa kesulitan untuk menyeimbangkan tuntutan

pekerjaan dengan tuntutan keluarga. Operator wanita merasakan adanya ketidakcocokan pola

perilaku yang dikembangkan dalam pekerjaan dengan pola perilaku yang diterapkan di

rumah. Cara penyelesaian masalah dan perilaku yang efektif dalam pekerjaan justru tidak

efektif bila diterapkan di rumah. Pekerjaan pada bagian weaving mengharuskan operator

wanita untuk bekerja dengan mesin yang cepat, sehingga operator wanita terbiasa bekerja

dengan ritme pekerjaan yang cepat, namun saat operator wanita kembali ke rumah, mereka

dihadapkan dengan keluarga mereka yang jauh berbeda dengan mesin, sebanyak 85%

operator wanita mengatakan bahwa mereka seringkali sulit untuk merasa sabar terhadap anak

maupun suami saat anak atau suami melakukan sesuatu seperti makan, membersihkan rumah

dan lain sebagainya dengan lambat.

Selain itu, operator wanita yang terbiasa bekerja dengan mesin juga mengatakan bahwa

perilaku yang biasa dilakukan dengan mesin sulit untuk diterapkan pada anggota keluarga,

seperti misalnya dengan menggunakan mesin operator wanita hanya butuh satu kali

mengoperasikan dan mesin akan menjalankan perintah, namun lain halnya dengan anggota

keluarga, saat operator meminta anak mereka untuk melakukan sesuatu, operator wanita tidak

dapat hanya sekali memerintahkan tetapi harus berkali-kali. Hal ini sering membuat operator

wanita merasa kesal dan memarahi anak mereka. Saat emosi mereka reda, mereka merasa

(20)

10

Universitas Kristen Maranatha wanita mengatakan hal tersebut sulit untuk dirubah dan tetap merasa kesal saat anak ataupun

suaminya memakan waktu lama.

Selain itu karena terbiasa bekerja dengan mesin yang mengeluarkan suara keras,

operator wanita berkata bahwa saat di rumah mereka menjadi terbiasa berteriak-teriak dan

berbicara dengan volume yang keras, hal ini menyebabkan suami dan anak mereka mengira

bahwa operator wanita sedang marah terhadap suami dan anaknya tersebut.

Lalu, pabrik „X‟ mengharuskan operator wanita untuk bekerja secara cepat dan gesit

karena operator wanita harus mengobservasi delapan mesin dan apabila terdapat kesalahan,

seperti harus segera memperbaiki ketika ada lusi benang yang putus agar tidak menimbulkan

kain yang cacat. Operator wanita tidak dapat duduk ataupun makan selain jam istirahat,

sehingga selama delapan jam mereka harus berpatroli mengelilingi mesin.

Sama halnya seperti dibidang pekerjaan, operator wanita merasakan adanya

ketidakcocokan pola perilaku yang dikembangkan di rumah dengan pola perilaku yang

diterapkan di pekerjaan, sekitar 42.8% dari operator wanita mengatakan apabila mereka telah

mendapatkan shift pagi dan sore, saat mendapatkan shift malam mereka merasa kesulitan

untuk membiasakan diri dan merasa mengantuk saat bekerja, hal ini sempat hampir

menyebabkan kecacatan pada kain dan menghambat proses produksi. Operator wanita juga

mengaku beberapa kali mencuri-curi waktu untuk duduk beberapa saat, biasanya mereka

melakukan hal ini saat shift malam dengan penjagaan yang tidak terlalu ketat. Operator wanita

mengaku bahwa perilaku santai tersebut terbawa dari rumah. Perilaku santai ini sempat

membuat operator wanita beberapa kali hampir melewatkan nyala lampu di mesin sebagai

indicator lusi putus dan hampir membuat kain cacat. Mereka mengaku terkadang merasa

bersalah namun apabila ada kesempatan mereka akan mencoba untuk bersantai meskipun

(21)

11

Universitas Kristen Maranatha Work Family Conflict dapat memberikan dampak pada lingkup kerja maupun lingkup

keluarga. Dampak bagi lingkup kerja antara lain berkaitan dengan kepuasan kerja, turnover,

komitmen organisasi, ketidak hadiran, performance kerja, dan kesuksesan karir (Allen et al

dalam Michelic & Tekavcic 2014). Sebanyak 28% dari operator wanita mengatakan mereka

pernah sempat berhenti dengan alasan bahwa mereka merasa terlalu lelah untuk bekerja serta

mengurus keluarga, namun mereka akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja karena

kebutuhan ekonomi yang mendesak. Foreman SDM sendiri mengatakan bahwa apabila ada

operator wanita yang keluar dari pekerjaan maka secara otomatis produksi akan menurun,

begitu pula apabila ada operator wanita yang tidak masuk atau terlambat, akan sangat

berpengaruh pada produksi.

Sedangkan dampak bagi lingkup keluarga berkaitan dengan kepuasan hidup dan

kepuasan pernikahan. (Allen et al dalam Michelic & Tekavcic 2014). Sebanyak 85% operator

wanita mengatakan bahwa mereka dalam sebulan dapat mengalami dua sampai tiga kali

konflik dengan suaminya yang diakibatkan oleh pekerjaan.

Pihak foreman SDM mengharapkan operator wanita agar dapat fokus pada pekerjaan

yang di kerjakan, dapat meningkatkan ketelitian dan konsentrasi yang di butuhkan dalam

mengoperasikan mesin tenun dan dapat mengurangi ketidakhadiran atau absen juga

mengurangi keterlambatan yang dapat menghambat proses produksi.

Pada pihak lain, operator wanita bagian weaving sebagian besar berasal dari kelas

ekonomi menengah kebawah, sehingga sebagian besar operator wanita tidak memiliki

pengasuh ataupun asisten rumah tangga untuk membantu mereka, sehingga mereka kesulitan

dalam menjaga, memperhatikan anak, dan mengurus pekerjaan rumah tangga mereka, oleh

karena itu operator wanita mengharapkan agar pihak pabrik dapat memberikan kelonggaran

(22)

12

Universitas Kristen Maranatha dapat berkonsentrasi penuh pada satu hal dan menyelesaikan urusan rumah tangganya tanpa

mengganggu pekerjaannya. Operator wanita mengharapkan pihak pabrik dapat

mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang dapat memperhatikan kesejahteraan mereka.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut

mengenai dimensi Work Family Conflict pada buruh wanita bagian weaving PT „X‟ kota

Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin mengetahui gambaran dimensi work family conflict pada operator

wanita bagian weaving yang sudah berkeluarga PT „X‟ kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud

Untuk memperoleh data dan gambaran mengenai dimensi work family conflict pada operator

wanita bagian weaving yang sudah berkeluarga di PT „X‟ kota Bandung.

1.3.2 Tujuan

Untuk memperoleh gambaran dimensi Time based WIF, Strain based WIF, Behavior based

WIF, Time based FIW, Strain based FIW, Behavior based FIW pada operator wanita bagian

weaving yang sudah berkeluarga di PT „X‟ kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1) Memberikan informasi kepada peneliti lain mengenai gambaran work family

conflict ke dalam bidang ilmu Psikologi Industri & Organisasi dan Psikologi

(23)

13

Universitas Kristen Maranatha 2) Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian

lanjutan mengenai work family conflict

1.4.2 Kegunaan Praktis

1) Memberikan informasi kepada pihak perusahaan (foreman SDM) mengenai

gambaran dimensi work family conflict pada operator wanita bagian weaving yang

sudah berkeluarga, agar dapat memperhitungkan kebijakan-kebijakan maupun

menyusun program pengembangan atau pelatihan bagi operator wanita untuk

mengatasi work family conflict yang terjadi.

2) Memberikan informasi pada operator wanita bagian weaving yang sudah

berkeluarga di PT „X‟ kota Bandung mengenai konflik yang di alami, agar dapat

mengatasi konflik dan mengantisipasinya.

1.5 Kerangka Pikir

Wanita memiliki peran yang penting di dalam keluarga. Keluarga merupakan dasar

penyusunan kematangan individu dan struktur kepribadian. Anak-anak mengikuti orang tua

dan berbagai kebiasaan dan perilaku dengan demikian keluarga adalah elemen pendidikan lain

yang paling nyata, tepat dan amat besar.

Keluarga adalah salah satu elemen pokok pembangunan dasar pendidikan, menciptakan

sosialisasi, membentuk kepribadian-kepribadian serta memberi berbagai kebiasaan baik pada

anak-anak yang akan terus bertahan lama. Peran wanita dalam keluarga sangatlah penting,

karena wanita, sebagai ibu, bertanggungjawab menyusun wilayah-wilayah mental serta sosial

dalam pencapaian kesempurnaan serta pertumbuhan anak yang benar (belajarpsikologi.com)

Sekarang ini, peran utama wanita telah bergeser seiring dengan berjalannya kehidupan

(24)

14

Universitas Kristen Maranatha itu tuntutan dari perubahan ekonomi yang terus terjadi juga berdampak pada kehidupan rumah

tangga, seperti biaya sekolah, kesehatan dan sebagainya membuat wanita harus ikut

membantu suami bekerja untuk mencari pendapatan yang lebih mencukupi.

Wanita yang sering berada di luar rumah dan hanya menyisakan sedikit waktu untuk

suami serta anak-anak telah menghilangkan kebahagian anak, menghalangi anak dari

merasakan nikmatnya kasih sayang ibu, sebab mereka menjalankan berbagai pekerjaan di luar

serta meninggalkan anak disebagian besar waktunya (belajarpsikologi.com). Namun

meskipun begitu, tuntutan ekonomi tetap mendorong wanita untuk bekerja membantu suami

mencari nafkah.

Salah satu pekerjaan yang di pilih oleh wanita yang sudah bekerja adalah pekerjaan di

dalam bidang industri. Salah satunya pekerjaan di pabrik X. Pabrik X di kota Bandung pada

bagian weaving.

Bagian weaving merupakan satu-satunya bagian yang memiliki aktifitas 24 jam dan

memperkerjakan wanita sebagai operator mesin, operator wanita pada bagian weaving

berjumlah 48 orang dan bekerja secara rolling menjadi tiga shift, yaitu shift pagi, siang dan

malam. Jansen et all (dalam Mohammed-Kohler 2011), menemukan bahwa berbagai faktor

yang berhubungan dengan waktu dapat menjadi salah satu penyebab work family conflict pada

blue worker, salah satunya adalah shift work.

Dalam pekerjaannya, operator wanita bagian weaving dituntut untuk selalu fokus dalam

menjalankan mesin dan mengobservasi apabila ada lusi atau benang yang putus, karena lusi

yang putus akan menyebabkan mesin mati dan memperlambat proses produksi, sehingga

operator wanita di harapkan untuk bertindak cepat dan sigap untuk mencegah terhambatnya

proses produksi.

Operator wanita yang bekerja di bagian weaving berusia sekitar 20 sampai 35 tahun,

(25)

15

Universitas Kristen Maranatha pada masa ini Hurlock mengatakan bahwa terdapat tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh

operator wanita masa dewasa awal, yaitu tugas untuk mendapatkan suatu pekerjaan, memilih

seorang teman hidup, membesarkan anak, membangun dan mengelola rumah tangga.

Penelitian yang dilakukan oleh Hurlock mengatakan bahwa banyak wanita tidak menyukai

peran ganda sebagai wanita pekerja dan ibu rumah tangga karena mereka merasa bersalah

apabila harus melewatkan pekerjaaan rumah tangga dan hanya dapat memilih satu pekerjaan

rumah tangga. Akibatnya bagi wanita pekerja mereka merasa kehidupan rumah tangga

mereka menjadi tidak memuaskan.

Sama halnya dengan operator wanita, operator wanita di bagian weaving yang sudah

berkeluarga memiliki tuntutan yang berasal dari keluarganya, namun tuntutan pekerjaan dari

perusahaan yang meminta operator wanita untuk fokus dan mencurahkan segala perhatiannya

pada pekerjaan dapat membuat operator wanita sulit untuk menentukan prioritas utama yang

harus di dahulukan. Hal ini dapat menimbulkan Work Family Conflict.

Work Family Conflict adalah adalah sebuah bentuk interrole conflict dimana tekanan

peran yang berasal dari pekerjaan dan keluarga saling mengalami ketidakcocokan dalam

beberapa karakter. Dengan demikian, partisipasi untuk berperan di dalam pekerjaan

(keluarga) menjadi lebih sulit dengan adanya partisipasi untuk berperan di dalam keluarga

(pekerjaan) (Greenhaus dan Beutell, 1985).

Menurut Gutek et al (dalam Karen Korabik 2002), terdapat dua arah dalam WFC yaitu

Work Interfering Family (WIF) atau konflik dari pekerjaan yang mempengaruhi kehidupan

keluarga, misalnya pada operator wanita yang sudah berkeluarga seringkali tidak dapat

menghabiskan waktu bersama keluarganya karena waktu untuk keluarga telah habis

digunakan untuk pekerjaan.

Arah dari WFC yang kedua adalah Family Interfering Work (FIW) yaitu konflik dari

(26)

16

Universitas Kristen Maranatha berkeluarga, seringkali terlambat untuk masuk kerja karena harus mengurus pekerjaan rumah

tangga. Frone et all (1992a) mengatakan bahwa arah Work Interfere Family biasanya akan

berdampak pada distress dalam lingkup keluarga, sebaliknya arah Family Interfere Work akan

berdampak pada distress dalam lingkup kerja.

Selain itu terdapat tiga bentuk dari Work Family Conflict yaitu Time based, Strain

Based, dan Behavior based. Apabila kedua arah digabungkan, akan terdapat enam dimensi

dari Work Family Conflict. Ke enam dimensi tersebut adalah Time-based WIF, Strain-based

WIF, Behavior-based WIF, Time-based FIW, Strain-based FIW, dan Behavior-based FIW.

Setiap operator wanita yang sudah berkeluarga di PT „X‟ kota Bandung menghayati konflik

yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

Time-based WIF, yaitu konflik karena waktu yang dipergunakan untuk aktifitas

dalam peran pekerjaan tidak dapat dicurahkan untuk aktifitas dalam peran dikeluarga. Dalam

hal ini berarti operator wanita tidak dapat mencurahkan waktunya untuk urusan keluarga

karena waktunya telah habis digunakan untuk urusan pekerjaan. Operator wanita dengan

Time-based WIF yang tinggi akan merasa kesulitan untuk menyeimbangkan waktu antara

pekerjaan dan keluarga, yang berakibat pada menumpuknya pekerjaan rumah tangga karena

operator wanita tidak sempat melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak dan lain

sebagainya. Operator wanita juga kehilangan waktu bersama keluarga seperti melayani

keluarga, mengurus anak, membantu anak mengerjakan tugas rumah, dan mengantar anak ke

sekolah.

Sedangkan operator wanita dengan Time-based WIF yang rendah akan merasa lebih

mudah untuk menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan keluarga sehingga operator

wanita dengan Time-based WIF yang rendah masih dapat mencurahkan waktunya dalam

(27)

17

Universitas Kristen Maranatha Arah Time-based yang lainnya adalah Time-based FIW yaitu konflik akibat waktu yang

dipergunakan untuk aktifitas dalam peran keluarga tidak dapat dicurahkan untuk aktifitas

dalam peran di pekerjaan. Operator wanita dengan Time-based FIW yang tinggi akan merasa

kesulitan untuk membagi waktunya antara keluarga dan pekerjaan, operator wanita dengan

Time-based FIW akan lebih memprioritaskan waktunya dengan keluarga dibandingkan

waktunya untuk pekerjaan.

Operator wanita yang sudah berkeluarga dengan Time-based FIW akan sering

mengambil absen untuk memenuhi kepentingan keluarganya, seperti saat anaknya sakit atau

saat ada urusan keluarga lain, terlambat masuk kerja maupun membolos karena urusan

keluarga. Hal ini tentu saja menghambat proses pekerjaan karena semakin banyaknya operator

wanita mengambil jatah cuti maka semakin terhambat proses pekerjaan. Sedangkan operator

wanita dengan Time-based FIW yang rendah tidak akan merasa kesulitan untuk membagi

waktu antara keluarga dan pekerjaan sehingga mereka masih dapat mencurahkan waktunya

untuk keluarga tanpa menghambat jalannya pekerjaan

Lalu terdapat Strain-based WIF, yaitu konflik akibat tegangan atau tekanan (fisik dan

psikis) yang ditimbulkan dari pekerjaan sehingga menyulitkan usaha pemenuhan tuntutan

peran keluarga. Dalam hal ini berarti tekanan yang didapat oleh operator wanita dari

pekerjaannya akan menyulitkan pemenuhan tuntutan peran sebagai ibu dan istri di keluarga.

Operator wanita dengan Strain-based WIF yang tinggi akan merasa lelah akibat beban

pekerjaan sehingga tidak sempat mengerjakan pekerjaan di rumah dan mengakibatkan

pekerjaan rumah terbengkalai, konflik yang timbul di pabrik juga terbawa ke rumah sehingga

seringkali membuat operator wanita merasa sensitive dan menghambat pekerjaannya di

(28)

18

Universitas Kristen Maranatha Operator wanita dengan Strain-based WIF yang rendah tidak akan merasa kesulitan

untuk memenuhi tuntutan sebagai ibu dan istri di rumah, mereka tidak akan merasa terlalu

lelah untuk mengerjakan pekerjaan rumah meskipun sudah seharian bekerja, begitu pula

dengan konflik yang berada di pekerjaan tidak akan terbawa sampai ke rumah.

Arah yang lainnya ialah Strain-based FIW, yaitu konflik akibat tegangan (baik fisik

maupun psikis) yang ditimbulkan dari keluarga sehingga menyulitkan usaha pemenuhan

tuntutan pekerjaan. Dalam hal ini berarti tekanan yang di dapat oleh operator wanita yang

berasal dari keluarganya akan menghambat usaha pemenuhan peran sebagai pekerja operator

di pekerjaannya. Operator wanita yang dengan Strain-based FIW tinggi akan merasa sulit

berkonsentrasi saat terdapat masalah dengan keluarganya, seperti anak yang sakit maupun

konflik dengan suami.

Operator wanita dengan Strain-based FIW yang tinggi juga dapat bekerja lebih lamban

dan cenderung ceroboh saat fokus mereka berkurang akibat urusan ataupun masalah keluarga

yang dialaminya. Hal ini dapat mengganggu pekerjaan mereka karena tuntutan pekerjaan

operator wanita adalah untuk fokus dalam mengoperasikan dan mengobservasi mesin. Selain

itu, operator wanita dengan Strain based, akan merasa lelah karena mengerjakan pekerjaan

rumah sehingga tanaganya tidak akan maksimal saat mereka bekerja. Sebaliknya, operator

wanita dengan Strain-based FIW yang rendah tidak akan merasa kesulitan dalam memenuhi

tuntutan pekerjaan meskipun mereka sedang mengalami masalah keluarga.

Dimensi selanjutnya adalah Behavior-based WIF, yaitu pola-pola khusus perilaku yang

bertahan dengan pekerjaan mempunyai kemungkinan ketidakcocokan dengan tuntutan peran

yang diharapkan keluarga. Dalam hal ini berarti pola perilaku operator wanita saat bekerja

bertolak belakang dengan pola perilaku yang dituntut dalam keluarga sebagai ibu rumah

(29)

19

Universitas Kristen Maranatha Operator wanita dengan Behavior-based WIF yang tinggi akan merasa kesulitan untuk

menyesuaikan pola perilaku yang biasa ia terapkan di pekerjaan pada lingkup keluarga.

Operator wanita dengan Behavior-based WIF yang tinggi terbiasa bekerja cepat dan sigap

dalam menangani mesin akan kesulitan untuk menyesuaikan perilaku tersebut saat di rumah

sehingga saat di rumah operator wanita juga menerapkan perilaku tersebut kepada anak dan

suami di rumah dan menjadi tidak sabaran dalam menghadapi keluarga. Sebaliknya, operator

wanita dengan Behavior-based WIF yang rendah tidak akan merasa kesulitan dalam

menyesuaikan pola perilakunya saat bekerja dan pola perilakunya saat berada di lingkup

keluarga.

Arah Behavior-based yang lain adalah Behavior-based FIW, yaitu pola-pola perilaku

yang berkaitan dengan keluarga mempunyai kemungkinan mengalami ketidakcocokan dengan

tuntutan perilaku dari peran di pekerjaan. Dalam hal ini berarti perilaku operator wanita saat

di rumah bertolak belakang dengan tuntutan perilaku sebagai operator wanita di pekerjaan.

Operator wanita dengan Behavior-based FIW yang tinggi akan kesulitan untuk

menyesuaikan pola perilakunya saat berada di rumah dengan tuntutan perilaku pada

pekerjaan. Operator wanita dengan Behavior-based FIW yang tinggi terbiasa mengerjakan

pekerjaan rumah dengan ritme yang lambat akan merasa kesulitan untuk menyesuaikan

perilaku pada pekerjaan yang dituntut cepat dan gesit. Ritme kerja yang lambat saat

menangani mesin di pekerjaan akan menghambat proses pekerjaan. Sebaliknya, operator

wanita dengan Behavior-based FIW yang rendah tidak akan merasa kesulitan untuk

menyesuaikan pola perilaku saat di rumah dengan tuntutan perilaku sebagai operator wanita

di dalam lingkup kerja.

Selain itu, Greenhaus (Greenhaus & Beutell 1985) juga menyebutkan beberapa faktor

(30)

20

Universitas Kristen Maranatha lingkup area kerja dan lingkup area keluarga. Faktor penyebab dari lingkup area kerja antara

lain adalah waktu kerja yang padat, waktu kerja yang tidak fleksible, dan konflik

interpersonal di tempat kerja.

Operator wanita di bagian weaving memiliki waktu kerja yang padat dan tidak

fleksible, dalam seminggu operator wanita harus bekerja selama kurang lebih 50 jam dan

waktu kerja terbagi menjadi tiga shift, yaitu shift pagi, siang dan malam. Operator wanita

setiap minggunya memiliki shift yang berbeda-beda karena selalu di rolling setiap

minggunya, sehingga waktu kerja terbilang kurang fleksible. Selain itu, operator wanita yang

mengalami konflik dengan atasan , seperti mendapat teguran saat mereka berbuat kesalahan,

atau konflik dengan sesama operator wanita juga akan berpengaruh pada munculnya WFC.

Greenhaus (Greenhaus & Beutell 1985) juga menyatakan faktor penyebab dari ruang

lingkup keluarga antara lain adalah kehadiran anak, konflik keluarga, dan anggota keluarga

yang kurang mendukung. Hal ini berarti kehadiran anak akan menyebabkan munculnya WFC,

karena operator wanita harus membagi perhatiannya terhadap pekerjaan dan mengurus anak.

Konflik keluarga yang sering terjadi antara suami dan istri pada operator wanita juga dapat

menimbulkan WFC tingkat tinggi, lalu, adanya anggota keluarga operator wanita yang tidak

setuju dirinya bekerja sebagai operator wanita bagian weaving, juga menjadi salah satu

(31)

21

Berdasarkan uraian di atas dapat di buat bagan :

Operator wanita

- Waktu kerja yang tidak fleksible

(32)

22

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka terdapat asumsi sebagai berikut :

1. Operator wanita bagian weaving di PT “X” Kota Bandung yang mengalami work family

conflict muncul dalam dua arah, yaitu work interfere with family (WIF) dan family

interfere with work (FIW).

2. Operator wanita bagian weaving di PT “X” Kota Bandung yang mengalami work family

conflict dapat muncul dalam enam bentuk, yaitu time-based FIW, strain-based conflict

FIW, behavior-based conflict FIW, time-based WIF, strain-based conflict WIF, dan

behavior-based conflict WIF

3. Operator wanita bagian weaving yang sudah berkeluarga di PT „X‟ Kota Bandung yang

mengalami work family conflict WIF akan berdampak pada distress dalam ruang lingkup

keluarga.

4. Operator wanita bagian weaving yang sudah berkeluarga di PT „X‟ Kota Bandung yang

mengalami work family conflict FIW akan berdampak pada distress dalam ruang lingkup

kerja.

5. Operator wanita bagian weaving di PT “X” Kota Bandung yang mengalami work family

conflict dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor area kerja antara lain waktu kerja

yang padat, waktu kerja yang tidak fleksible dan konflik interpersonal di tempat kerja,

lalu faktor keluarga antara lain kehadiran anak, konflik keluarga dan keluarga yang tidak

(33)

59 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat

ditarik kesimpulan yaitu :

1. Sebagian besar operator wanita bagian weaving yang sudah berkeluarga di PT ‘X’ Kota

Bandung menghayati Work Family Conflict yang tergolong tinggi dan sebagian kecil

lainnya menghayati Work Family Conflict yang tergolong rendah.

2. Time based FIW merupakan dimensi yang paling dihayati konfliknya oleh operator

wanita bagian weaving di PT ‘X’ Kota Bandung. Kemudian secara berurutan dimensi

yang paling dihayati konfliknya adalah Behavior based WIF, Time based WIF, Strain

based FIW,Behavior based FIW dan yang terakhir Strain based WIF.

3. Semakin banyak jumlah anak yang dimiliki operator wanita bagian weaving yang sudah

berkeluarga di PT ‘X’ Kota Bandung, work family conflict yang dihayati semakin tinggi.

Semakin kecil umur anak operator wanita bagian weaving, work family conflict yang

dihayati semakin tinggi. Semakin besar waktu yang dihabiskan operator wanita bagian

(34)

60

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi peneliti lain yang hendak meneliti

mengenai Work Family Conflict agar menggunakan desain penelitian kontribusi antara

faktor-faktor Work Family Conflict, penelitian dengan desain komparasi antara operator

wanita dengan operator pria atau dengan operator wanita yang bekerja tidak

menggunakan shift

2. Penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi peneliti yang ingin meneliti Work

family conflict agar menambahkan data penunjang sehingga data yang didapatkan akan

lebih lengkap dan mendalam.

5.2.2 Saran Praktis

1. Penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi pihak perusahaan untuk membuat

kebijakan-kebijakan maupun menyusun program pengembangan atau pelatihan bagi

operator wanita bagian weaving yang sudah berkeluarga.

2. Penelitian ini dapat menjadi dasar pertimbangan bagi operator wanita bagian weaving

yang sudah berkeluarga di PT ‘X’ Kota Bandung untuk melatih kemampuan manajemen

waktu dan pembagian tugas dalam perannya sebagai operator wanita dan seorang ibu

(35)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI DIMENSI WORK FAMILY

CONFLICT PADA OPERATOR WANITA BAGIAN WEAVING YANG

SUDAH BERKELUARGA DI PT ‘X’ BANDUNG

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh:

NADHIRA AZIZAH LUTFIAH

NRP : 1230213

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(36)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas ridho-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi dalam tahun ajaran 2017-2018 di Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Maranatha Kota Bandung dengan judul “Studi Deskriptif mengenai Dimensi Work

Family Conflict pada operator wanita bagian weaving yang sudah berkeluarga di PT ‘X’

Bandung.” ini dapat selesai dengan baik. Penelitian ini dimaksudkan untuk memenuhi

persyaratan kelulusan dari mata kuliah skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha di kota Bandung.

Dengan segala keterbatasan pengetahuan, kemampuan, informasi, dan pengalaman,

peneliti menyadari sepenuhnya dalam penelitian ini masih banyak kekurangan oleh karena itu

peneliti terbuka akan kritik maupun saran yang bersifat membangun guna mengoreksi

kesalahan yang peneliti lakukan dalam penelitian ini dan dapat berguna bagi penulis di masa

yang akan datang.

Dalam penulisan Skripsi ini, penulis mendapat banyak sekali bantuan dan dorongan

saat menghadapi kesulitan–kesulitan dalam menyusun penelitian ini. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih peneliti kepada :

1) Dr. Irene Prameswari E, M.Si., Psi selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Maranatha.

2) Fundianto, M.Psi., psikolog selaku Pembimbing Utama dan Trisa Genia C Zega,

M.Psi., psikolog selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan

waktu, tenaga, serta pikiran untuk membimbing dan mengajarkan bagaimana teknis

penyusunan penelitian, memberikan feedback, masukan, serta memberikan dorongan

serta semangat kepada peneliti agar dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan

(37)

iv

3) Keluarga tercinta, yang selalu memberikan kasih sayangnya kepada peneliti, yang

senantiasa mendoakan peneliti, dan selalu memberikan dukungan kepada peneliti.

4) Bapak S selaku bagian personalia PT ‘X’ Kota Bandung yang sudah memberi bantuan

dan meluangkan waktu bagi peneliti.

5) Bapak Y selaku foreman SDM PT ‘X’ Kota Bandung yang memberikan informasi,

dan bantuan yang berguna bagi penelitian ini.

6) Para operator wanita bagian weaving yang sudah bersedia menjadi sample dan

meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner yang diberikan oleh peneliti.

7) Teman-teman seperjuangan Rizkha, Dayu, Rona, Bella, Sindi, Maria, Nadia Dewi,

Selly dan Hajeng yang telah memberikan dukungan, semangat, dan bantuan kepada

peneliti dalam menyelesaikan tugas akhir mata kuliah Skripsi.

8) Thomas dan Ka Bernand yang selalu memberi bantuan kepada peneliti disaat peneliti

menemukan kesulitan dalam pengolahan data.

9) Semua pihak yang telah membantu penyusunan penelitian ini yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Akhir kata, semoga Allah SWT membalas kebaikan kepada semua pihak yang telah

membantu penulis untuk segera lulus, semoga tugas akhir mata kuliah skripsi ini dapat

berguna bagi semua pihak yang membaca, khususnya rekan–rekan di Fakultas Psikologi.

Bandung, Mei 2017

(38)

lxi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Carlson, Dawn S., K, Michele Kacmar and Larry J. Williams. (2000). Construction and Initial Validation of a Multidimensional Measure of work family conflict. Journal of Vocational Behavior 56, 249 – 276.

Frone, M.R., Russell, M., & Cooper, M.I., (1992). Antecendents and outcomes of work family conflict: Testimg a model of work family conflict interface, Journal of Allied Psychology, 77, 65 – 68

Greenhaus, J.H & Beutell, N.J. (1985) Sources of conflict between work and family role. Academy of Management Journal, 10, 76 – 88.

Hurlock, Elizabeth B. (1994) Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatn Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Korabik, Karen, Donna S Leo, Denise L. Whitehead. (2002). Handbook of Work Family Integration. Canda: Academic Press.

Mihelic, Katarina K. & Tekavcic, Metka. (2014) . Work-Family Conflict: A Review of Antecedents and Outcomes 8,15-26

Mohammed-Kohler, Yashfa. (2011). Work Family Conflict and Turnover Intention Amongst Blue-Collar Workers: Does Resilience Play A Role?. Univerity of Capetown.

Nazir., Moh., Ph.D, (2009). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sabil, Surena & Marican, Sabitha. (2011) Working Hours, family Conflict and Work-family Enrichment Among Professional Women: A Malaysian Case.VI 206-209

Siegel., Sidney. (1997). Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.

(39)

lxii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Gozali, Claudya C. (2016). Studi Deskriptif Mengenai Dimensi Work Family Conflict Pada

Karyawan Pabrik yang Sudah Berkeluarga yang Bekerja di PT ‘X’ di Kota Bandung.

Skripsi, Bandung : Universitas Maranatha

Keluarga Sebagai Wadah Pendidikan Pertama. http://belajarpsikologi.com/keluarga-sebagai-wadah-pendidikan-pertama/

Menelisik Peran Ibu Dalam Keluarga. 22 Desember 2015.

http://www.matrapendidikan.com/2015/12/menelisik-peran-ibu-dalam-keluarga.html?m=0

Mufida, Alia. (2008). Hubungan antara work family conflict dengan psychological well being ibu yang bekerja. Skripsi, Jakarta : Universitas Indonesia.

Panduan Penulisan Skripsi Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung. Edisi Revisi : Juli 2015

Peran Ibu Dalam Keluarga. http://belajarpsikologi.com/peranan-ibu-dalam-keluarga/

Gambar

Gambaran Alat Ukur Work Family Conflict……………………………… L-1

Referensi

Dokumen terkait

Persiapan paling awal yang dilakukan oleh praktikan adalah mengikuti kuliah pengajaran mikro. Dalam hal ini praktikan sekaligus melakukan praktik mengajar pada kelas yang kecil

Berdasarkan dari hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dengan menggunakan pengujian statistik yaitu dengan metode regresi berganda, maka dapat disimpulkan penelitian yang

Adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan llmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,sehubungan dengan penelitian skripsi berjudul : "Dampak Aplikasi Sistem

Sri Rohmawati, (2013) Peran Instruktur dalam Menumbuhkan Motivasi Warga Belajar Pada Pelatihan Kewirausahaan (Studi Deskriptif Pada Warga Belajar Paket C di

Mangpaat tioritis tina panalungtikan ieu nya éta pikeun nambahan bahan pangajaran basa Sunda di sakola, sarta bisa nambahan élmu pangaweruh sastra hususna kana

Finally, the writer hopes this Observation Report can benefit to the writer, academic environment, and the readers.. The writer realizes that this

Data yang diperoleh berupa laporan keuangan perusahaan perbankan go public di Bursa Efek Jakarta untuk tahun buku 2001, 2002, dan 2003 dari Indonesian Capital Market

signifikan kecerdasan emosional ditinjau dari jenis kelamin pada siswa kelas X SMA. Negeri 3 Salatiga dengan nilai signifikansi 0,187 (p