HANAFIYAH DAN SYAFI’IYAH) Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Dalam Ilmu Syariah Pada Fakultas Syariah
Oleh:
ABU ZAR BIN ADIN NIM: SPM 160023
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
J A M B I 1440 H / 2018 M
i
َِِّلِل اوُد ُج ْساَو ِرَمَقْلِل َلََو ِسْم َّشلِل اوُدُج ْسَت َلَ ُرَمَقْلاَو ُسْم َّشلاَو ُراَهَّنلاَو ُلْوَّللا ِهِتاَيآ ْنِمَو َنو ُدُبْعَت ُهاَّيِإ ْمُتنُك نِإ َّنُهَقَل َخ يِذَّلا
”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.
Janganlah kalian sujud (menyembah) matahari maupun bulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika memang kalian beribadah hanya kepada- Nya.”1
1 Al-Quran Tajwid Warna dan Terjemahan Humairah (Kajang, Selangor: Humairah Bookstore Enterprise, 2012) Fushshilat(41): 37
iii
Kupersembahkan skripsi ini Untuk orang-orang yang kucintai
Ibunda Dan Ayahanda Tercinta
Ayahanda Adin bin Haji Ismail dan ibunda Khatijah binti Rabi yang telah mendidik dan mengasuh ananda dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang, agar kelak ananda menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa,
dan dapat meraih cita-cita.
Kekanda Di Sayangi
Untuk kakanda (Muhammad Indera Putera Zubair bin Adin) yang banyak memberi motivasi Abang-abang dan Adik-adik (Muhamad Zaqwan, Abu Darda, Dayang Ayuni, Marwan, Furqan, Farhan, Zakiyah dan Putera), yang memberi sokongan serta terima kasih di atas segala perhatian
dan dorongan yang diberikan, semoga segala sesuatu yang terjadi di antara kita merupakan rahmat dan anugerah dari-Nya, serta
menjadi sesuatu yang indah buat selama-lamanya.
Dosen Pebimbing
Tidak lupa kepada kedua-dua pembimbing saya yaitu
ibu Dr Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI dan ibu Dra. Ramlah M.Pd.I karena banyak ilmu yang dicurahkan dan banyak memberi tunjuk ajar kepada saya erti daya dan upaya untuk menghadapi
cabaran hidup.
iv
wa Syahzuliyah, Ustaz Kaharuddin bin Nordin, Ustaz Nurjulan bin Norsaman dan seluruh ikhwan Tareqat Al-Ghazaliyah diatas segala doa dan harapan.
Teman-Teman Seperjuangan
Serta tak lupa pula terima kasih juga untuk insan yang tercinta yaitu sahabat sejatiku Ahmad Ridha, Fateh, Muaz, Syahmi, Rafiq, Bulqini, Afiq, Zulfadli, Hisyam, Azam, Luqman, geng Rumah Katang serta teman-temanku lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan Pelajar- pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi, serta teman-teman dari Indonesia maupun teman-
teman yang berada
di Malaysia, yang setia telah memberikan semangat dan dorongan di kala suka maupun duka, semoga persahabatan kita tetap terjalin dengan baik dan semoga ini semua menjadi kenangan yang terindah dalam hidupku.
Terima kasih atas segalanya.
ii
Hanafiah & Syafi’iyah dan apakah hukum melaksanakan shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiah dan Syafi’iyah. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualiltatif dengan menggunakan metode diskriptif. Instrumen pengumpulan data adalah melalui studi dokumentasi atau studi literatur. Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini yaitu library research (kajian pustaka) supaya penulis dapat meneliti dan membahas kajian ini secara rinci dan membahas permasalahan ini dengan lebih mendalam. Dengan menggunkakan data primer yaitu daripada kitab-kitab seperti al-Umm, al-Mabsuth, manakala data sekunder yang merupakan data pelengkap atau pendukung yang diperoleh melalui buku-buku, jurnal dan juga artikel-artikel. Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafi’iyah telah berijtihad berdasarkan ijtihad qiyasi yaitu mengqiyaskan shalat Gerhana kepada shalat sunat yang lain seperti shalat sunah idul fitri, idul adha dan shalat sunah istiqah. mereka mengambil hukum berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Ulama Hanafi mengatakan wajib menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Manakala Ulama Syafi`I mengatakan sunnah muakkadah menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.
v
Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya. Shalawat dan Salam turut dilimpahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang sangat dicintai. Alhamdulillah dalam usaha menyelesaikan skripsi ini penulis senantiasa diberi nikmat kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”
.
Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu syariah dalam bagian ilmu perbandingan mazhab tentang fatwa hukum. Juga memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan Perbandingan Mazhab pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari menerima hambatan dan halangan baik dalam masa pengumpulan data maupun penyusunannya. Situasi yang mencabar dari awal hingga ke akhir menambahkan lagi daya usaha untuk menyelesaikan skipsi ini agar selari dengan penjadualan. Dan berkat kesabaran dan sokongan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat juga diselesaikan dengan baik seperti yang diharapkan.
Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu sama ada secara langsung maupun secara tidak langsung menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA Rektor UIN STS Jambi, Indonesia.
2. Bapak Dr. AA. Miftah, Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
3. Bapak. Hermanto Harun, Lc, Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Ibu Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum,
vi Syari’ah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Ibu Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI, selaku Pembimbing I dan Ibu Dra. Ramlah M.Pd.I, M. Sy selaku pembimbing II skripsi ini yang telah banyak memberi kemasukan, tunjuk ajar dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen yang telah mengajar sepanjang perkuliahan, asisten dosen serta seluruh karyawan dan karyawati yang telah banyak membantu dalam memudahkan proses menyusun skripsi di Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
Di samping itu, disadari juga bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan jauh dari kesempurnaan baik dari segi teknis penulisan, analisis data, penyusunan maklumat maupun dalam mengungkapkan argumentasi pada bahan skripsi ini. Oleh karenanya diharapkan kepada semua pihak dapat memberikan kontribusi pemikiran, tanggapan dan masukan berupa saran, nasihat dan kritik demi kebaikan skripsi ini. Semoga apa yang diberikan dicatatkan sebagai amal jariyah di sisi Allah SWT dan mendapatkan ganjaran yang selayaknya kelak.
Jambi, Oktober 2018 Penulis,
ABU ZAR BIN ADIN SPM 160023
vii PERNYATAAN KE ASLIAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN PANATIA UJIAN
MOTTO……… i
ABSTRAK………... ii
PERSEMBAHAN……….. iii
KATA PENGHANTAR………... v
DAFTAR ISI……… viii
TRANSLITERASI………. x
DAFTAR SINGKATAN………. xi
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Batasan Masalah 6
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 6
E. Kerangka Teori 7
F. Tinjauan Pustaka 9
G. Metode Penetilian 11 H. Sistematika Penulisan 13
BAB II: BIOGRAFI HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH A. Biografi Imam Abu Hanifah 15
1. Pendidikan Imam Abu Hanifah 15
viii
4. Dasar-dasar Mazhab Hanafi 19
5. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah 20
B. Biografi Imam As-Syafi’I 29
1. Riwayat Hidup Imam Syafi`I 29
2. Latar Belakang Sosial dan Politik 33
3. Guru-guru Imam Syafi`I 35
4. Dasar-dasar Mazhab Syafi`I 36
5. Karya-karya Imam Syafi`I 37
BAB III: PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN A. Tatacara Shalat Gerhana Matahari dan Bulan
menurut Hanafiah & Syafi’iyah? 41
1) Tata Cara Shalat Gerhana Matahari 41
2) Tata Cara Shalat Gerhana Bulan 51
B. Hukum Melaksanakan Shalat Gerhana Matahari
dan Bulan Menurut Hanafiah dan Syafi’iyah? 55
1. Gerhana Matahari (Kusuf) 55
2. Gerhana Bulan (Khusuf) 55
C. Dimanakah Letaknya Persamaan dan
Perbedaan Hanafiyah dan Syafi’iyah 60
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan 66
ix
DAFTAR PUSTAKA ...
CURRICULUM VITAE ...
LAMPIRAN ...
x
TRANSLITERASI
ا
aخ
khش
syغ
ghن
nب
bد
dص
shف
fو
w ت
tذ
dzض
dhق
qه
h ث
ts ر
r ط
thك
k ء ’
ج
jز
z ظ
zhل
l ي
y ح
hس
s ع ’ م
mâ = a panjang
î = u panjang
û = u panjang
au =
وا
ay=
ىَا
xi SWT : Subhanahuwata ‘ala.
SAW / ﷺ : Sallallahu ‘alaihiwasallam.
ra. : Radiallahu ‘an.
No. : Nomor.
Q.S : Al-Quran Dan Sunnah.
cet. : Cetakan.
hlm : Halaman.
1
Gerhana adalah fenomena astronomi yang terjadi apabila sebuah benda angkasa bergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain. Istilah ini umumnya digunakan untuk gerhana Matahari ketika posisi Bulan terletak di antara Bumi dan Matahari, atau gerhana bulan saat sebagian atau keseluruhan penampang Bulan tertutup oleh bayangan Bumi. Namun, gerhana juga terjadi pada fenomena lain yang tidak berhubungan dengan Bumi atau Bulan, misalnya pada planet lain dan satelit yang dimiliki planet lain.
Di dalam agama Islam, umat Muslim yang mengetahui atau melihat terjadinya gerhana bulan ataupun matahari, maka selayaknya segera melakukan shalat kusuf (salat gerhana). Gerhana matahari terjadi 2-5 kali dalam setahun.
Biasanya, gerhana matahari terjadi sekitar dua minggu sebelum atau sesudah gerhana bulan.1 jumlah gerhana Bulan dalam satu tahun bisa berkisar antara 0 sampai 3 kali terjadi2
Matahari dan bulan merupakan dua makhluk Allah Subhanahu wa ta‟ala yang sangat akrab dalam pandangan. Peredaran dan silih bergantinya yang sangat teratur merupakan ketetapan aturan Penguasa Jagad Semesta ini. Allah Subhanahu wa ta‟ala berfirman:
1 Yuliana Ratnasari, “Gerhana Bulan Usai Muncul Gerhana Matahari”. Akses 16 July 2018
2 Riza Miftah Muharram. “Derhana Bulan Total” akses 16 Juli 2018
سۡه َّشلٱ و ر ه قۡلٱ ٖنا ب ۡس حبِ
٥
Artinya: “Matahari dan bulan beredar dengan peraturan dan hitungan yang tertentu.”3
Maka semua yang menakjubkan dan luar biasa pada matahari dan bulan menunjukkan akan keagungan dan kebesaran serta kesempurnaan pencipta-Nya.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta‟ala membantah fenomena penyembahan terhadap matahari dan bulan. Yang sangat disayangkan ternyata keyakinan kufur tersebut banyak dianut oleh ”bangsa-bangsa besar” di dunia sejak berabad-abad lalu, seperti di sebagian bangsa Cina, Jepang, Yunani, dan masih banyak lagi.4 Allah Subhanahu wa ta‟ala berfirman:
ۡوحن و حهحتَٰ يا ء ۡ َّ
لّٱ ل و را هَّلنٱ و سۡه َّشلٱ ر ه قۡلٱ و
و حر ه ق ۡلحل لَ و حسۡهَّشلحل ْاو د جۡس ت لَ
ٱسۡجُدُواْۤ
لِلَّهِۤ
يح لَّٱ َّ
نو د بۡع ت هاَّيحإ ۡم تن ك نحإ َّو ه ق ل خ ٣٧
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah malam dan siang, serta matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari dan janganlah pula sujud kepada bulan dan sebaliknya hendaklah kamu sujud kepada Allah yang menciptakannya, kalau betulah kamu hanya beribadat kepada Allah.”5
Masyarakat Indonesia sendiri, umumnya masyarakat tradisional dulu, lebih banyak mendasarkan gerhana pada tahayul-tahayul dan mitos-mitos yang diwariskan dari mulut ke mulut. Khayalan dan mitos tersebut diantaranya ialah yang menyatakan bahwa gerhana terjadi karena matahari ditelan oleh raksasa yang bernama “Kala” atau “Kalarahu”. Raksasa ini dibayangkan mempunyai kepala yang besar dan mulut yang lebar. Ia mempunyai leher tetapi tidak
3 Ar-Rahman (27): 5
4 Ahmad Baiquni. “Gerhana Dalam Tinjauan Syariat Islam”, akses 15 Juli 2018
5 Fussilat (41): 37
mempunyai badan. Oleh sebab itu, masyarakat yang memiliki kepercayaan seperti ini, berusaha melakukan perbuatan-perbuatan mengusir raksasa tersebut. Mereka akan menabuh semua alat yang dapat menimbulkan bunyi, misalnya memukul kentongan, lesung, lumping dan sebagainya. Mereka beranggapan, apabila raksasa mendengar bunyi-bunyian yang ribut tersebut akan lari dan memuntahkan kembali matahari dari mulutnya sehingga matahari bersinar kembali seperti sediakala6
Islam hadir menyikapi pandangan masyarakat tentang banyak hal. Di antaranya pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana matahari dan bulan. Dalam konteks itu, Islam menepis mitos dan pandangan primitif abad ke-7 tentang gerhana, sekaligus menekankan dimensi religius, spiritual, dan sosial pada gerhana itu sendiri sebagai misi kenabian Nabi Muhammad S.A.W. Masyarakat Arab pra-Islam memandang gerhana sebagai sesuatu yang menakutkan. Gerhana adalah pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi, baik dari kematian maupun kelahiran.
Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.
Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi Muhammad S.A.W, Ibrahim meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena kepergian putra Nabi Muhammad S.A.W. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad S.A.W bersabda:
6Soetjipto, “Islam dan Ilmu Pengetahuan tentang Gerhana”, (Yogyakarta: 1983). Cit, hlm 6-7.
َّن إ ِ َف َلَاَعَت ِالله ِت َيَٓآ ْنِم ِناَتَيٓآ اَمُ َّنَِّكَمَو ِوِتاَيَحِم َلََو ٍدَحَإ ِتْوَمِم ِناَف ِسْكَي َلَ َرَمَقْمإَو َسْم َّشمإ اَ ُهُوُمُتْيَآَر إَذ ا ِ
إوُّو َصَو إوُموُقَف
Artinya: “Sungguh, gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran Allah ta’ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,”7
Selanjutnya Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan untuk melaksanakan shalat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak.
Dengan pernyataan dan anjuran Nabi S.A.W tersebut, Islam jelas menepis segi mitis dan primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.8
Ada dua istilah dalam penamaan gerhana, Kusuf dan Khusuf. Keduanya adalah sinonim. Jika kedua nama tersebut disebutkan secara bersamaan, maka makna kusuf untuk gerhana matahari dan khusuf untuk gerhana bulan. Dua penyebutan dengan nama yang berbeda seperti ini lebih masyhur di kalangan fuqoha. Namun kadangkala ada penyebutan kusufaini dan khusufaini yang keduanya bermakna dua gerhana, yaitu matahari dan bulan. Pada dua kejadian alam ini, gerhana matahari dan bulan, ada shalat yang disyariatkan oleh Rasulullah S.A.W.
Hukum shalat gerhana terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau menghukuminya wajib dan menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan selesainya gerhana atau tersingkapnya kembali cahaya matahari dan bulan.9
7 Bhukari, Shahih Bhukari Pdf, “Bab Shalat Saat Terjadi Gerhana Matahari,” hlm. 432.
No.983.
8 Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan dan Pandangan Islam Hingga Turun Anjuran Shalat Nabi Muhammad, (Tribun-Medan.com, 2018) Akses 15 Juli 2018
9 Ash-Shan’ani, “Subulus Salam Syarh Bulughil Maram min Jam‟I Adillatil Ahkam”:
ll/135
Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah (sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi shalat wajib hanya yang lima waktu saja.10 Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek ijma’ bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah.”11 Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “jumhar ulama bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.”12
ِفو ُسُك ُة َلَ َصَو ِرَمَقْمإ ِفو ُسُخِم ِّلّ َصُي َةَفَيِنَح وُبَآَو ٌ ِلِاَم َلاَق ْنِكَم ِعاَ ْجِْ ْلَ ِبِ ٌةَدَّكَؤُم ٌةَّن ُ س ِرَمَقْمإَو ِسْم َّشمإ
ِلِفإَوَّنمإ ِرِئا َسَك ِ ْيَْتَعْكَر ِّلّ َصُيَو ىَدإَرُف
Artinya: “Menurut kesepakatan para Ulama (ijma’) hukum shalat gerhana matahari dan gerhana bulan adalah sunnah mu’akkadah. Akan tetapi menurut Abu Hanifah shalat gerhana bulan dilakukan sendiri-sendiri dua rakaat seperti shalat sunah lainnya,”13
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dan salah satu hadits Nabi S.A.W. Allah ta’ala berfirman,
َِّ ِلِل إو ُدُ ْسْإَو ِرَمَقْوِن َلََو ِسْم َّشوِن إو ُدُج ْسَت َلَ ُرَمَقْمإَو ُسْم َّشمإَو ُراَ َّنَّهإَو ُلْيَّونإ ِوِت َيَٓآ ْنِمَو ْ ُتُْنُك ْن إ َّنُهَقَوَخ يِ َّلَّإ ِ
َنو ُدُبْعَت ُه َّيَ إ ِ
Artinya: “Sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Jangan kalian bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan, tetapi bersujudlah kalian kepada Allah yang menciptakan semua itu, jika kamu hanya menyembah-Nya,”14
Dari permasalahan yang timbul diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan membahas hal ini ke dalam satu karya ilmiah yang berjudul “Shalat Gerhana
10 Ibid, Subulus Salam.
11 Syarh An Nawawi „Ala Shahih Muslim: Vl/451
12 Ibnu Hajar al-Asqolani, “Fath Al Baari Syarah al-Bhukari”, : ll/527
13 Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, cet ke-3, (Cairo: Mathba’ah Al- Istiqamah, 2002), hlm. 327.
14 Fushilat (41): 37
Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tatacara shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiah &
Syafi’iyah?
2. Apakah hukum melaksanakan shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiah dan Syafi’iyah?
3. Persamaan dan Perbedaan Hanafiyah dan Syafi’iyah
C. Batasan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan serta tidak menyalahi sistematika penulisan karya ilmiah sehingga membawa hasil yang diharapkan, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahaskan dalam skripsi ini, sehingga tidak terkeluar dari topik yaitu “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)” saja.
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :
a. Ingin mengetahui tatacara pelaksanaan shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiah & Syafi’iyah.
b. Ingin mengetahui bagaimana kehujahan dalil-dalil yang digunakan Hanafiah
& Syafi’iyah terhadap hukum shalat gerhana matahari dan bulan.
2. Kegunaan Penelitian
Apabila tujuan tersebut sudah dicapai, maka jelas ada manfaat yang dapat di ambil antara lain:
a. Sebagai melengkapi pensyaratan dalam menyelesaikan studi dan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Syari’ah dalam jurusan Perbandingan Mazhab, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
b. Sebagai sarana untuk menambah pengetahuan umat Islam terhadap permasalahan-permasalahan terutamanya tentang hukum melaksanakan shalat gerhana matahari dan bulan menurut perbandingan mazhab antara Hanafiah
& Syafi’iyah tentang hujah dalil yang digunakan
c. Sebagai bahan bacaan dan rujukan bagi mahasiswa, penelitian dan masyarakat seluruhnya melalui pembuatan dan penyusunan karya ilmiah secara baik.
d. Untuk menambah wawasan penulisan dalam penulisan karya ilmiah ini atau tulisan-tulisan lainya.
E. Kerangka Teori
Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf (فوسخلا) dan juga kusuf (فوسكلا) sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu
sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus. Namun masyhur juga di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari15
Hukum shalat gerhana terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau menghukuminya wajib dan menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan selesainya gerhana atau tersingkapnya kembali cahaya matahari dan bulan.16 Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah (sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi shalat wajib hanya yang lima waktu saja.17 Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek ijma’ bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah.”18 Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “jumhar ulama bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.”19
Mazhab Hanafiah adalah pemikiran hukum mazhab yang diasaskan oleh pengasasnya yang bernama al-Imam al-A’zham Abu Hanifah, an Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha al-Kufi. Dia adalah keturunan orang-orang Persia yang merdeka (bukan keturunan hamba sahaya). Dilahirkan pada tahun 80 hijrah dan meninggal pada tahun 150 hijrah (semoga Allah swt merahmatinya). Dia hidup dizaman pemerintahan besar, yaitu pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah. Dia adalah generasi atba‟ at-tabi‟in. Ada pendapat mengatakan
15 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu
16 Subulus Salam: ll/135
17 Subulus Salam: ll/135
18 Syarh An Nawawi „Ala Shahih Muslim: Vl/451
19 Fath Al Baari: ll/527
beliau termasuk didalam golongan tabi‟in. Dia pernah bertemu dengan sahabat Anas bin Malik r.a dan meriwayatkan hadis darinya yaitu hadits yang artinya,
“Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim.”
Mazhab Syafi’iyah adalah aliran hukum mazhab yang diasaskan oleh Al- Imam Abu Abdullah, Muhammad bin Idris al-Quraisyi al-Hasyimi al-Muththalibi ibnul Abbas bin Utsman bin Syafi’i (rahimahullah). Silsilah nasabnya bertemu dengan datuk Rasulullah S.A.W yaitu Abdu Manaf. Dia dilahirkan di Ghazzah Palestina pada tahun 150 hijrah, yaitu pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.
Dan beliau wafat di Mesir pada tahun 204 hijrah.
Imam Asy-Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak. Beliau adalah imam di bidang fiqh, hadits dan usul. Metode beliau mengabungkan dasar ilmu fiqih ulama Hijjaz dengan ulama Iraq.
F. Tinjauan Pustaka
Setelah penulis mengadakan tinjauan pustaka sesungguhnya telah ada yang membahaskan permasalahan yang berkaitan dengan tentang Hukum Shalat Gerhana Matahari (Kusuf Syams) dalam kaedah ini diperlukan adalah untuk menentukan pemilihan tajuk yang bersesuaian dengan penyelidikan. Hal ini bertujuan untuk memastikan tidak ada pertindihan sama ada dari segi tajuk dan kajian yang dijalankan.
Sesungguhnya telah ada yang membahas permasalahan yang berkaitan seperti dalam skripsi yang dituis oleh Iswahyudi. Jurusan Perbandingan Mazhab pada tahun 2016 dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang yang berjudul
“Hukum Shalat Gerhana Matahari (Kusuf Syams) Menurut Mazhab Hanafiyah dan
Syafi’iyah Analisis Studi Shalat Gerhana Matahari Dimasjid Taqwa Desa Muara Tawi, KEC. Jarai KAB. Lahat Sumsel” Di dalam skripsi tersebut Iswahyudi meneliti tentang bagaimana metode instibat hukum yang digunakan oleh Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam menentukan Bagaimana keadaan dan pendapat dari jamaah dan tokoh ulama tentang shalat gerhana matahari (kusuf syams) didesa Muara Tawi dan bagaimana kesimpulan pendapat hukum shalat gerhana matahari (kusuf syams).
Selain itu, penulis juga membuat tinjauan perpustakaan juga bagi mendapatkan maklumat terperinci mengenai perbedaan pandangan mazhab khususnya tentang hukum solat gerhana. Kajian ini juga boleh memberikan kefahaman yang lengkap mengenai perbandingan dan cara untuk mengenal pasti najis tersebut menurut pandangan mazhab. Maklumat yang diperolehi menjadi hujah yang penting kepada hasil kajian secara keseluruhannya. Oleh kerana itu, faktor-faktor penting yang harus disentuh dalam kajian ini dapat dikenal pasti.
Sejauh informasi penulis peroleh, telah ada buku yang membahaskan permasalahan solat gerhana seperti didalam kitab-kitab karangan mazhab Hanafiah dan juga mazhab Syafi’iyah. Namun pembahasan terhadap masalah- masalah dalil yang khusus digunakan, apalagi dengan menggunakan metode perbandingan antara dua imam mazhab. Oleh kerana itu, penulis akan membahasakan secara mendetail tentang hal ini.
Kesimpulannya, kesemua tinjauan pustaka yang digunakan penulis tidak secara khusus mengkaji tentang judul yaitu “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan
(Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”. Namun skripsi-skripsi yang digunakan adalah sebagai rujukan bagi mengumpul semua data upaya analisis penulis terhadap skripsi ini dapat dicapai.
G. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah sebuah penelitian yang dilakukan untuk literatur-literatur pustaka saja. Bagi memenuhi keperluan tersebut, penulis menggunakan buku- buku rujukan yang asli atau data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
2. Jenis Dan Sumber Data A. Sumber Data
i. Data Primer
Data pokok yang bersumberkan al-Quran dan al-Hadis shahih seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Adapun buku-buku yang digunakan sebagai data primer pada penulisan ini antara lain adalah kitab al-Umm karya Imam al- Syafi’e, Al-fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah. Begitu juga kitab Qalyubi wa
„Umairah karangan yeikh Syihabuddin dan beberapa kitab karangan murid Imam Hanafi.
ii. Data Sekunder
Data penunjang, dalam penulisan skripsi ini, yakni data yang diambil dari sumber-sumber yang ada relevensinya dengan pembahasan ini.
B. Jenis Penelitian
i. Penelitian Pustaka (Library Search)
Kaedah penelitian ini penting dalam mengumpulkan data dan informasi bagi penelitian ini terhadap semua bab serta menjadi pendoman kepada penulis untuk mengetahui dengan lebih rinci tentang apa yang bakal dikaji dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Tenik yang penulis gunakan dalam pengumpulan data di sini, yaitu dengan mengunakan cara kualitatif dan deskritif, Artinya penulis mengadakan penyalinan dan pengutipan dari berbagai sumber data primier maupun data skunder sesuai dengan masalah yang sedang dibahas
4. Teknik Analisis Data a. Analisis Historis
Analisi data historis di mana telah dikumpulkan, maka data tersebut dianalisis melalui analisa historis yang berkaitan tentang sejarah dalil-dalil yang digunakan.
Untuk melihat sejarah perlunya melihat kepada dalil-dalil yang besumberkan al- Quran dan al-Hadith.
b. Analisis Isi
Analisis Isi merupakan analisis yang paling umum digunakan dalam tiap penelitian dengan langkah pokok pembacaan terhadap dalil-dalil dalam penelitian. Karya-karya yang dibaca tengtang Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah) untuk mengetahui pengertian, sejarah dan bentuk pemikiran.
c. Analisis Komperatif
Merupakan analisis secara perbandingan mengenai hukum-hukum dan syarat- syarat serta dalil-dalil yang digunakanya. Maka dibandingkan antara Hanafiyah dan Syafi’iyah.Berdasarkan dua hukum yang ada, dapat menarik kesimpulan terhadap masalah-masalah yang dibahas.
H. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terbagi kepada lima bab yang mana setiap bab terdiri dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-permasalahan tertentu tetapi tetap saling terkait antara satu sub dengan sub bab yang lainnya.
Adapun sistematika perbahasannya sebagai berikut:
Bab pertama, adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, Rumusan Masalah, batasan masalah, Tujuan dan kegunaan penelitian, Tinjauan pustaka, Metode Penelitian dan Sistenatika Penulisan
Bab kedua membahaskan mengenai gambaran umum latar belakang serta biografi Imam Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Bab ketika ini terdiri dari sub bab sebagai berikut: Riwayat-riwayat Hidup Imam Mazhab Hanafiyah dan Mazhab Syafi’iyah serta Dasar-dasar Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Bab ketiga pula membahas mengenai gambaran umum sejarah gerhana matahari dan bulan, hokum shalat gerhana matahari dan bulan dan juga cara pelaksanaan shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah.
Bab keempat membahaskan mengenai hasil penelitian yang mengandung sub bab seperti bagaimana metode istinbat hukum dalil yang digunakannya dan
bagaimana implementasi permasalahan tentang “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”
Bab kelima adalah akhir pembahasan yang memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan dan saran-saran yang dianggap penting sehubungan dengan penelitian ini serta untuk eksisnya nilai-nilai hukum Islam yang universal dalam kehidupan masyarakat.
15 A. Biografi Imam Abu Hanifah
Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriah(699 Masihi).
Nama kecilnya ialah Nu`man bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa Parsi (Kabul-Afghanistan) tetapi sebelum beliau dilahirkan ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah karena sudah berputra, ada di antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu beliau mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi ada riwayat lain, bahwa yang menyebabkan beliau dipanggil Abu Hanifah, karena beliau rajin melakukan ibadah kepada Allah dan bersungguh-sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan “Hanif” dalam Bahasa Arab artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar.
Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Baghdad.1
1. Pendidikan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sejak kecil suka kepada ilmu pengetahuan, terutama yang ada hubungan dengan agama Islam. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama tabi`in seperti Ata` bin Abi Rabah dan Imam Nafi` Maula Ibnu Umar. Beliau juga belajar ilmu hadis dan fiqh dari ulama-ulama yang terkemuka di negeri itu. Guru yang paling berpengaruh pada dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulaiman
1 K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5, (Jakarta : PT.Bulan Bintang, 1986), hlm. 19
(wafat 120 H). Adapun para ulama yang pernah beliau ambil dan hisap ilmu pengetahuannya pada waktu itu ada kira-kira 200 ulama. Dan di antara orang yang pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah adalah Imam Ahmad al-Baqir, Imam Ady bin Sabit, Imam Abdur Ramhan bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam Mansur bin Mu`tamir, Imam Syu`ban bin Hajjaj, Imam Ahsim bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Khail, Imam Qatadah, Imam Rabi`ah bin Abi Abdur Rahman dan lain-lain. Imam Abu Hanifah juga terkenal sebagai imam ahli ra`yi dan qiyas dan mengerti tentang hadits-hadits yang telah diterima riwayatnya pada masa itu.2 2. Murid-murid Imam Abu Hanifah
Beberapa anak-anak murid Imam Abu Hanifah yang terkenal adalah:
a. Imam Abu Yusuf, Yaqub bin Ibrahim al-Ansary lahir pada tahun 113 Hijriyah. Beliau setelah dewasa belajar menghimpun atau mengumpulkan hadits-hadits dari Nabi S.A.W yang diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah Asy-Syaibany, Ata` bin As-Saib dan lain-lain. Imam Abu Yusuf termasuk golongan ulama ahli hadits yang terkemuka, beliau wafat pada tahun 183 Hijriyah.
b. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad As-Syaibani, lahir di Iraq pada tahun 132 Hijriyah. Beliau seorang alim ahli fiqh dan furu`. Wafat pada tahun 189 Hijriyah di kota Rayi.
2 Ibid., hlm. 23
c. Imam Zafar bin Huzail bin Qais al-Kufi lahir pada tahun 110 Hijriyah. Beliau amat menyenangi untuk mempelajari ilmu akal atau ra`yi, beliau juga menjadi seorang ahli qiyas dan ra`yi yang meninggal pada tahun 158 Hijriyah.
d. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau belajar pada Imam Abu Hanifah Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, serta wafat pada tahun 204 Hijriyah.
Empat orang ulama itulah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yang akhirnya yang menyiarkan dan mengembangkan aliran dan hasil ijtihad beliau yang utama, serta mereka mempunyai kelebihan untuk memecahkan soal-soal ilmu fiqh atau soal-soal yang berkaitan dengan agama. Bahkan Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan sejak dahulu mendapat gelaran “As-Sahabain”
yakni kedua sahabat Imam Abu Hanifah yang paling rapat.3 3. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya
Imam Abu Hanifah memang seorang ahli tentang fiqh dan ilmu kalam dan pada saat beliau hidup banyak yang berguru padanya. Di bidang ilmu kalam beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asqar dan Fiqh al-Akbar. Tetapi dalam bidang ilmu fiqh tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh sewaktu hidupnya.4
Adapun kitab-kitab hasil karya murid-murid Imam Abu Hanifah dalam bidang ilmu fiqh adalah:
3 Ibid., hlm. 37
4 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 340
a. Kitab al-Kharaj oleh Imam Abu Yusuf.
b. Zahir ar-Riwayah oleh Imam Muhammad bin Hasan as-Syaibani. Kitab ini terdiri dari 6 jilid, yaitu al-Mabsut, al-Jami`, al-Kabir, al-Jami` as-Sagir, as- Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir dan az-Ziyadat.
c. An-Nawadir oleh Imam as-Syaibani. Terdiri dari empat judul yang terpisah yaitu : al-Haruniyyah, al-Kaisaniyyah, al-Jurjaniyyah, dan ar-Radiyah.
d. Al-Kafi oleh Abi al-Fadhl Muhammad bin Muhammad bin Ahmaf al-Maruzi.
Kitab ini merupakan gabungan dari enam judul bagian buku Zahir ar-Riayah, kitab al-Kafi disyarah oleh Imam as-Sarakhsi.
e. Al-Mabsut adalah syarah dari al-Kafi yang disusun oleh Imam as-Sarakhsi.
f. Tuhfah al-Fuqaha` oleh Alauddin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad as- Samarqandi.
g. Badai` as-Sana`i oleh Alauddin Abi Bakr bin Mas`ud bin Ahmad al-Kasani al-Hanafi.
h. Al-Hidayah qa Syarhuha fath al-Qadir oleh Ali bin Abu Bakr al-Marginani.
i. Duraral Hukkan fi Gurar al-Ahkam oleh Muhammad bin Faramuz.
j. Tanqir al-Absar wa Jami` al-Bihar oleh Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Khatib at-Tamartasyi.
k. Ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Absar oleh Alauddin Muhammad bin Ali al-Husni.
l. Hasyiyah Radd al-Mukhtar `ala ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al- Absar oleh Ibnu Abidin.5
5 Ibid., Jilid II, hlm. 346
4. Dasar-dasar Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqh dan ahli hadis. Guru yang paling berpengaruh dalam dirinya adalah Hammad bin Abi Sulaiman. Setelah gurunya wafat, Imam Abu Hanifah tampil melakukan ijtihad secara mandiri dan menggantikan posisi gurunya sebagai pengajar secara halaqah yang mengambil tempat di Masjid Kufah. Karena kepandaiannya dalam berdiskusi dan kedalaman ilmunya dalam bidang fiqh, beliau dijuluki oleh murid-muridnya sebagai al-Imam al-A`zam (Imam Agung). Lewat halaqoh pengajiannya itulah Imam Abu Hanifah mengemukakan fatwa fiqh dan lewat ijtihad mandirinya kemudian berdiri dan berkembang mazhab Hanafi.6
Mazhab Hanafi adalah aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad Imam Abu Hanifah berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah. Dalam pembentukannya, mazhab ini banyak menggunakan ra`yu (rasio). Karena itu, mazhab ini terkenal sebagai mazhab aliran ra`yu. Tetapi dalam kasus tertentu, mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadis mereka nilai sebagai hadis ahad.7
Sedangkan dasar-dasar mazhab Hanafi adalah :
a. Kitab Allah (al-Quranul Karim)
b. Sunnah Rasulullah SAW dan ashar-ashar yang shahih serta telah masyur (tersiar) di antara para ulama yang ahli.
c. Fatwa-fatwa dari para sahabat.
6 Ibid., Jilid I, hlm, 12
7 Ibid., Jilid II, hlm. 511
d. Qiyas e. Istihsan
f. Adat yang telah berlaku dalam masyarakat umat Islam.8
5. Ciri-ciri Khas Fiqh Mazhab Hanafi
Dalam membentuk hukum, Imam Abu Hanifah menempatkan al-Qur'an sebagai landasan pokok, kemudian sunah sebagai sumber kedua. Beliau juga berpegang pada fatwa sahabat yang disepakati, tetapi jika suatu hukum tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia melakukan ijtihad. Illat ayat-ayat hukum dan hadis, terutama dalam bidang mu‟amalah, menurut pandangannya perlu sejauh mungkin ditelusuri sehingga berbagai metode ijtihad dapat difungsikan antara lain qiyas dan istihsan. Metode istihsan telah banyak berperan dalam membentuk pendapat-pendapat fiqh Imam Abu Hanifah dan membuat mazhabnya lebih dinamis, realistis dan rasional.9
Mazhab Hanafi memiliki beberapa ciri sebagai berikut :
a. Fiqh Imam Abu Hanifah lebih menekankan pada fiqh muamalah
b. Fiqh Imam Abu Hanifah memberikan penghargaan khusus kepada hak seseorang baik pria maupun wanita.10
6. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah
8 K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5, (Jakarta : PT.Bulan Bintang, 1986), hlm. 79
9 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta :
10 Ibid, Jilid II, hlm. 513
Dalam memecahkan suatu masalah, Imam Abu Hanifah menggunakan beberapa metode dalam beristimbath, yaitu mengambil Kitabullah sebagai sumber pokok, sunnah Rasulullah S.A.W. dan asar-asar yang sahih dan tersiar di kalangan orang-orang yang terpercaya, pendapat para sahabat yang dikehendaki atau meninggalkan pendapat mereka yang dikehendaki (apabila urusan itu sampai kepada Ibrahim, asy-Sya‟bi, Hasan, Ibnu sirin dan Sa‟id bin Musayyab, maka beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad), juga menggunakan ijma’, qiyas, istihsan dan ‘urf. Untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini :
1. Al-Kitab (al-Qur'an)
Al-Qur'an adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad S.A.W. Yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan sumber hukum tidak kembali kecuali kepada keaslian penetapan al-Qur'an. Menurut al-Bazdawi, Abu Hanifah menetapkan al-Qur'an adalah lafal dan maknanya. Sedang menurut as-Sarakhsi, al-Qur'an dalam pandangan Abu Hanifah hanyalah makna, bukan lafal dan makna.11
2. As-Sunnah
As-sunnah adalah penjelas bagi kitab Allah yang masih mujmal dan merupakan risalah yang diterima oleh Nabi dari Allah SWT. Yang disampaikan oleh kaumnya yang yakin dan barang siapa yang tidak mengambilnya, maka dia
11 Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 146
tidak percaya terhadap penyampaian risalah Nabi S.A.W dari Tuhannya. Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan al-Qur'an yang qath’i dalalahnya dinamakan fardu, sesuatu yang ditetapkan oleh as-Sunnah yang Zanny dalalahnya, dinamakan wajib. Demikian pula yang dilarang, tiap-tiap yang dilarang oleh al-Qur'an dinamakan haram dan tiap-tiap yang dilarang oleh Sunnah dinamakan makruh tahrim.12
Ulama hadis dan ulama ushul membagi hadis kepada : a. Mutawatir
Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan secara bersambung oleh orang banyak yang tidak mungkin sepakat berdusta.13 Hadits mutawatir memberi pengertian yakin. Jumhur ulama menetapkan bahwa Abu Hanifah berhujjah dengan hadits mutawatir.
b. Masyhur
Hadits masyhur ada yang memasukkannya ke dalam bagian hadits ahad.
Hadis masyhur tidak memfaedahkan selain dari zhanni tetapi dapat diamalkan.
Sebagian yang lain menetapkan bahwa hadits masyhur adalah memberi faedah dan tidak memberi faedah yakin.
c. Ahad
12 Ibid., hlm. 154
13 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 1670.
Hadis Ahad menurut asy-Syafi‟i dan ulama semasanya adalah yang tidak terdapat padanya syarat-syarat mutawatir atau masyhur. Jumhur fuqaha menerima hadis ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang dijadikan hujjah dalam bidang amali, tidak dalam bidang ilmu atau i‟tiqadi. Abu Hanifah mengamalkan hadits ahad, meninggalkan pendapat yang berlawanan dengan hadits ahad itu.
Sedang syarat-syarat Abu Hanifah menerima hadis ahad adalah perawinya yang afqah atau mendahulukan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang afqah atas hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak afqah.14 Sedangkan menurut mazhab Hanafi, hadits ahad dapat dijadikan landasan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Hadis ahad tersebut tidak menyalahi makna lahiriyah ayat al-Qur'an.
2) Hadis ahad itu tidak menyalahi hadits masyhur menyangkut masalah yang sama.
3) Hadis ahad itu tidak bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah umum syari‟at Islam apabila periwayatan hadits itu bukan seorang faqih.
4) Hadis ahad tersebut tidak menyangkut kepentingan orang banyak.
5) Hadis ahad itu bertentangan dengan amal dan atau fatwa sahabat yang meriwayatkannya.15
Abu Hanifah dalam menanggapi hadis ahad, ada yang diterima apabila tidak berlawanan dengan qiyas, jika berlawanan dengan qiyas yang illatnya mustambat
14 Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 155.
15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 1671.
dari sesuatu asal yang zanni atau istimbathnya zanni walaupun dari asal yang qath’i atau diistimbathkan dari asal yang qath’i, tetapi penerapannya kepada furu’
adalah zanni, maka didahulukanlah hadis ahad atas qiyas.
Adapun jika hadis ahad ditentang oleh asal yang umum qath’i, penerapannya qath’i pula, maka Abu Hanifah melemahkan hadis, tidak menerimanya dan menetapkan hukum berdasarkan pada kaidah yang umum itu.
d. Mursal
Hadis mursal ialah hadis yang tidak disebut nama sahabi oleh tabi‟i yang meriwayatkannya, seperti dikatakan oleh seorang tabi’in, “Bersabdalah Nabi …. ” Sesungguhnya Imam Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai hujjah, karena tabi’in kepercayaan yang diterima hadisnya oleh Imam Abu Hanifah, menegaskan kepadanya bahwa mereka tidak menyebutkan nama sahabi yang memberi hadis kepada mereka apabila yang memberi itu empat orang sahabat. Jadi, Imam Abu Hanifah menerima as-Sunnah yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan dan meletakkan hadits-hadits ahad sesudah al-Qur'an. Apabila hadits-hadits ahad berlawanan dengan kaidah umum, yang telah diijma’i oleh para ulama, Imam Abu Hanifah menolak hadits-hadits itu dengan dasar tidak membenarkan bahwa Nabi S.A.W. Ada mengatakannya.16
3. Aqwalus-sahabah (fatwa sahabi)
16 Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 158.
Abu Hanifah menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat Islam mengikutinya. Jika ada suatu masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka beliau mengumpulkan salah satunya. Jika tidak ada pendapat sahabat pada suatu masalah, beliau berijtihad, tidak mengikuti pendapat para tabi’in. tetapi pada dasarnya Abu Hanifah mendahulukan fatwa sahabat daripada qiyas.17
4. Al-Ijma’
Ijma’ adalah sesuatu yang dapat dijadikan hujjah. Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahidin dari masa ke masa untuk menentukan suatu hukum dan telah disepakati para ulama untuk dijadikan hujjah, tetapi ada perselisihan dalam wujudnya setelah masa sahabat dan Imam Ahmad telah mengingkarinya setelah masa sahabat untuk tidak menyepakatinya dan tidak mungkin ada kesepakatan fuqaha setelah masa sahabat.18
Imam Abu Hanifah menurut penegasan ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’ menjadi hujjah. Ulama Hanafiyah menerima ijma’ qauli dan sukuti.
Juga menetapkan bahwa tidak boleh mengadakan hukum baru terhadap sesuatu urusan yang diperselisihkan dari masa ke masa atas dua pendapat saja.
Mengadakan fatwa baru dipandang menyalahi ijma’. Dalam kitab al-Manakib diterangkan bahwa Abu Hanifah mengambil hukum yang diijtma’i oleh mujtahidin, tidak mau menyalahi yang telah disepakati oleh ulama-ulama Kufah.19
17 Ibid., hlm. 161
18 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi, Beirut, tt., hlm. 163
19 Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 162.
5. Qiyas
Abu Hanifah apabila tidak menemukan nas dalam kitabullah dan sunnatur Rasul dan tidak menemukan pada fatwa sahabi, maka beliau berijtihad untuk mengetahui hukum. Beliau menggunakan qiyas, kecuali apabila tidak baik memakainya dan tidak sesuai dengan apa yang dibiasakan masyarakat. Jika tidak baik dipakai qiyas, beliau menggunakan istihsan. Qiyas yang dipakai Abu Hanifah ialah yang dita’rifkan dengan : “Menerangkan hukum sesuatu urusan yang dinaskan hukumnya dengan suatu urusan lain yang diketahui hukumnya dengan al-Qur'an atau as-Sunnah atau al-Ijma’ karena bersekutunya dengan hukum itu tentang illat hukum.”20 Pada dasarnya Abu Hanifah banyak memakai qiyas, karena ia memperhatikan hukum-hukum bagi masalah-masalah yang belum terjadi dan hukum-hukum yang akan terjadi, lantaran itu ia mengistimbathkann illat yang menimbulkan hukum tersebut dan memperhatikan maksud-maksud yang menyebabkan Nabi menyebutkan suatu hadis. Abu hanifah tidak mencukupkannya dengan tafsir dahiri, beliau melihat lebih jauh kepada maksud dan isyarat-isyarat perkataan. Abu Hanifah mengistimbathkan aneka macam illat hukum lalu menta‟rifkan cabang-cabang hukum bagi perbuatan-perbuatan yang tidak diperoleh nas, illat itulah yang dipandang dasar untuk menetapkan hukum bagi hal-hal yang tidak diperoleh nas. Jika hadits sesuai dengan hukum yang telah ditarik dengan jalan mempelajari illat, bertambah kukuhlah kepercayaannya, dan jika hadits itu diriwayatkan oleh orang kepercayaan, Abu Hanifah mengambil hadis meninggalkan qiyas. Kadang-kadang hukum yang diistimbathkan dengan
20 Ibid., hlm. 166
illat sesuai dengan hadits. Hal ini bukanlah berarti mendahulukan qiyas atas hadis.
Apabila qiyas tidak dapat dilakukan karena berlawanan dengan hadits, maka Abu Hanifah pun meninggalkan qiyas, mengambil istihsan. Pokok pegangan dalam menggunakan qiyas ialah bahwa hukum syara‟ ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, hukum-hukum syara‟ yang berpautan dengan ibadah tidak dapat akal menyelami illatnya. Maka dari itu Abu Hanifah membagi nas dalam dua bagian, yaitu:
a. Nusus Ta’abudiyah, yang tidak dibahas illatnya. Pada nas-nas ini tidak dilakukan qiyas, karena tidak dibahas illatnya walaupun diyakini ibadah- ibadah itu disyari'‟tkan Allah untuk kemaslahatan manusia.
b. Nas-nas yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan illat itu.
Nas-nas ini adalah nas-nas yang mu’allal, dipelajari illatnya dan maksudnya, sebabnya dan gayahnya dan padanya berlaku qiyas. Ulama Hanafiyah mensyaratkan pada qiyas adalah hukum asal, bukan hukum yang dikhususkan untuk suatu hukum saja, dan nas bukanlah yang dipalingkan dari qiyas, yakni qiyas yang menyalahi illat yang umum yang ditetapkan syara‟ sendiri. Abu Hanifah berpegang pada umum illat kecuali apabila berlawanan dengan ‘urf masyarakat, maka Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan mengambil istihsan.
Lantaran Abu Hanifah menggunakan illat, maka ia terkenal sebagai imam yang memegang ra’yu, bukan imam yang memegang asar dan terkenallah keahliannya dalam bidang qiyas, walaupun ia juga seorang imam sunni.21 6. Istihsan
21 Ibid., hlm. 171
Istihsan secara bahasa adalah memandang dan meyakini baiknya sesuatu.
Istihsan adalah salah satu metode ijtihad yang dikembangkan ulama mazhab Hanafi ketika hukum yang dikandung metode qiyas (analogi) atau kaidah umum tidak diterapkan pada suatu kasus. Macam-macam istihsan menurut ulama mazhab Hanafi, yaitu :
a. Al-Istihsan bi an-nas (istihsan berdasarkan ayat atau hadits) b. Al-Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma‟)
c. Al-Istihsan bi al-qiyas al-khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi) d. Al-Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan)
e. Al-Istihsan bil al-‘urf (istihsan berdasar adat kebiasaan yang berlaku umum).
f. Al-Istihsan bi ad-daruriyah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).22 g. ‘Urf
‘Urf adalah pendapat muslimin atas suatu masalah yang tidak terdapat di dalamnya nas dari al-Qur'an atau Sunnah atau pendapat sahabat, maka dari itu ‘urf dapat dijadikan hujjah. ‘Urf dibagi dua :
i. ‘Urf sahih, yaitu ‘urf yang tidak menyalahi nas.
ii. „Urf fasid, yaitu ‘urf yang menyalahi nas.
Dari dua ‘urf yang dapat dijadikan hujjah adalah ‘urf sahih.23
22 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,
(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 771.
23 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi, Beirut, tt., hlm. 163.
Imam Abu Hanifah mengamalkan ‘urf bila tidak dapat menggunakan qiyas atau istihsan. Ulama Hanafiyah mengemukakan ‘urf terhadap masalah-masalah yang tidak ada nashnya, mereka mentakhishkan nas-nas yang umum jika menyalahi ‘urf umum. Jika qiyas meyalahi ‘urf, mereka mengambil ’urf. Begitu pula mereka mengambil ‘urf khas dikala tidak ada dalil yang menyalahinya.24
B. Biografi Imam Syafi`i
Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-„Abbas ibn Utsman ibn Syafi‟ ibn al-Sa‟ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abdal- Muthalib ibn Abd Manaf.25 Lahir di Ghazzah, Syam (masuk wilayah Palestina) pada tahun 150 H/767 M. Kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah, yang tidak lain merupakan tanah para leluhurnya. Syafi‟i kecil tumbuh berkembang di kota itu sebagai seorang yatim dalam pangkuan ibunya. Semasa hidupnya, ibu Imam Syafi‟i adalah seorang ahli ibadah, sangat cerdas, dan dikenal sebagai seorang yang berbudi luhur.26
Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an dalam umur yang masih sangat muda (9 tahun) dan umur sepuluh tahun sudah hafal kitab al-Muwattha' karya Imam Malik. Kemudian ia memusatkan perhatian menghafal hadis. Imam Syafi‟i belajar hadis dengan jalan mendengarkan dari para gurunnya, kemudian mencatatnya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab
24 Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 182.
25 Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 355.
26 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta:Almahira, 2010), hlm.6
untuk menghindari pengaruh bahasa ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada saat itu, untuk pergi ke daerah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh tahun.27
Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari pengaruh ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di Badiyah itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang digubah golongan Huzail itu, amat indah susunan bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal hadis, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-penduduk kota.28
Imam Syafi'i belajar pada ulama Makkah, baik pada ulama fiqih, maupun ulama hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqih dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam Syafi'i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu. Karena ilmu baginya adalah ibarat lautan yang tidak bertepi.29
27 Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 286
28 Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 357-360.
29 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 28. Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis
Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yaitu Malik bin Anas, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Imam Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwattha' karya Imam Malik yang telah berkembang pada masa itu. Ia berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur Makkah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian untuk mendalami fiqih di samping mempelajari al-Muwattha’. Imam Syafi'i mengadakan mudārasah dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Imam Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa dan matang.30
Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi'i adalah tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah atau metode istinbath (ushul fikih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku ushul fikih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 287.
30Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997), hlm. 480-481
seorang ahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar Imam Syafi'i menyusun metodologi istinbath.31
Imam Syafi‟i di samping menguasai dalam bidang al-Kitab, ilmu balaghah, ilmu fikih, ilmu berdebat juga terkenal sebagai muhaddits. Orang-orang memberikan gelar padanya “Nāhir al-Hadīts. Imam Sufyan ibn „Uyainah bila didatangi seseorang yang meminta fatwa, beliau terus memerintahkannya agar meminta fatwa kepada Imam Syafi‟i, ujarnya “salu hadza al-ghulama”
(bertanyalah kepada pemuda itu).32
Dialah yang meletakkan dasar-dasar periwayatan. Dia juga yang berani secara terang-terangan berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah, yaitu bahwasannya ketika ada sanad yang shahih dan muttashil kepada Nabi ﷺ, maka wajib beramal dengannya tanpa ada keterkaitan dan keterikatan dengan amal ahli Madinah sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Malik ataupun syarat-syarat Imam Abu Hanifah.
Pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad selama dua tahun, untuk mengambil ilmu dan pendapat dari murid-murid Imam Abu Hanifah, bermunādharah dan berdebat dengan mereka, kemudian kembali ke Makkah.
Pada tahun 198 H, beliau pergi lagi ke Baghdad hanya sebulan lamanya, dan akhirnya pada tahun 199 H, beliau pergi ke Mesir dan memilih kota terakhir untuk tempat tinggalnya untuk mengajarkan Sunnah dan al-Kitab kepada khalayak
31 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 29.
32 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. 4, 2003), hlm.
233.
ramai. Jika kumpulan fatwa beliau ketika di Baghdad disebut dengan qaul qadīm, maka kumpulan fatwa beliau selama di Mesir dinamakan dengan qaul jadīd.33
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “semua masalah kami tidak pernah terselesaikan oleh pengikut Abu Hanifah, sampai kami akhirnya kami bertemu dengan Imam Syafi‟i. sungguh, dia orang yang paling paham tentang Kitabullah dan as-Sunnah.” Maksud dari kata-kata itu ialah bahwa para ahli hadis dan para ahli fiqih seakan menjadi murid Imam Syafi‟i, sebab keagungan madzhabnya, kefasihan penjelasannya, kekuatan hujjahnya, dan keseganan yang ditunjukkan baik oleh mereka yang sependapat maupun orang yang berbeda dengan pendapatnya. Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata: “Imam Syafi‟i bagai mentari bagi dunia, dan kekuatan bagi manusia. Lihatlah, apakah ada sesorang yang mampu menggantikan posisinya.”34
1. Latar Belakang Sosial Dan Politik
Imam Syafi'i lahir pada masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh kehidupannya berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas memerintah wilayah-wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat
33 Ibid, hlm. 232
34 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta:Almahira, 2010), hlm.10
Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak. Mengingat pentingnya pembahasan ini, maka kami akan memberikan gambaran singkat tentang tentang kondisi pemikiran dan sosial kemasyarakatan pada masa itu.35
Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki unsur- unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan Nabath.
Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis bangsa. Kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatangan mereka sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaannya yang dalam.36
Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya di mana masing-masing ras mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat.
Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.37
35 Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syāfi’i Hayātuhu wa Asruhu wa Fikruhu arāuhu wa Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Utsman, “Imam al-Syafi'i Biografi danPemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005),hlm. 84.
36 Ibid., hlm. 84
37 Ibid., hlm. 85