• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JAMBI 2022 ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN PENGOLAHAN PASCAPANEN KOPI ROBUSTA PETANI SERTIFIKAT INDIKASI GEOGRAFIS DAN KONVENSIONAL DI KECAMATAN JANGKAT KABUPATEN MERANGIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JAMBI 2022 ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN PENGOLAHAN PASCAPANEN KOPI ROBUSTA PETANI SERTIFIKAT INDIKASI GEOGRAFIS DAN KONVENSIONAL DI KECAMATAN JANGKAT KABUPATEN MERANGIN"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

INDIKASI GEOGRAFIS DAN KONVENSIONAL DI KECAMATAN JANGKAT

KABUPATEN MERANGIN

SKRIPSI

ADITYA WAHYU SUSANTO

JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022

(2)

ABSTRAK

ADITYA WAHYU SUSANTO, Analisis Komparasi Pendapatan Pengolahan Pascapanen Kopi Robusta Petani Sertifikat Indikasi Geografis dan Konvensional di Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin. Dibimbing oleh Bapak. Dr. Ir. Yanuar Fitri, M.Si dan Ibu Dr. Rozaina Ningsih, M.Si.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Gambaran pengolahan pascapanen kopi robusta yang sesuai dengan standar operasional prosedur Indikasi Geografis dan pengolahan pascapanen kopi robusta secara umum di Kecamatan Jangkat. (2) Pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta petani anggota MPIG dan petani konvensional di Kecamatan Jangkat. (3) Perbedaan pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta petani sertifikat Indikasi Geografis dan konvensional di Kecamatan Jangkat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) di Desa Muara Madras Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin.

Metode yang digunakan ialah melalui wawancara langsung ke petani menggunakan kuesioner dengan data yang digunakan ialah data primer dan sekunder serta analisis yang digunakan ialah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa (1) Petani anggota MPIG melakukan metode pengolahan fullwash process yang terdiri dari sortasi, pulping, fermentasi, pengeringan dan hulling serta metode pengolahan honey process yang terdiri dari sortasi, pulping, pengeringan dan hulling. Sedangkan petani konvensional melakukan metode pengolahan natural process yang terdiri dari pengangkutan, pengeringan dan hulling. (2) Rata-rata pendapatan dari pengolahan pascapanen kopi robusta di Desa Muara Madras Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin petani MPIG sebesar Rp. 44.871.234/ha/tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan petani konvensional sebesar Rp. 28.431.038/ha/tahun. (3) Hasil analisis komparasi pendapatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pengolahan pascapanen petani MPIG dan konvensional.

Kata kunci : Pascapanen, Kopi Robusta, Pendapatan.

(3)

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Komparasi Pendapatan Pengolahan Pascapanen Kopi Robusta Petani Sertifikat Indikasi Geografis dan Konvensional di Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dan membimbing serta memberi dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Yanuar Fitri, M.Si. selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Rozaina Ningsih, S.P, M.Si. selaku pembimbing II serta Ibu Zakiah, S.P, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan studi. Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan dan doa restu dalam pembuatan skripsi ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman serta semua pihak atas doa dan dukungannya yang telah membantu serta menyumbangkan pikirannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Atas perhatian pembaca, penulis mengucapkan terima kasih.

Jambi, Desember 2022.

Penulis

.

(4)

i

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Landasan Teori ... 8

2.1.1 Tanaman Kopi Robusta ... 8

2.1.2 Sapta Usahatani ... 9

2.1.3 Pascapanen Kopi Robusta ... 11

2.1.4 Indikasi Geografis ... 16

2.1.5 Pendapatan ... 18

2.1.6 Studi Komparasi ... 21

2.2 Penelitian Terdahulu ... 21

2.3 Kerangka Pemikiran ... 23

2.4 Hipotesis ... 25

III. METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 26

3.2 Sumber dan Metode Pengambilan Data ... 27

3.2.1 Data Primer ... 27

3.2.2 Data Sekunder ... 27

3.3 Metode Penarikan Sampel ... 28

3.4 Metode Analisis Data ... 29

3.4.1 Analisis Biaya ... 29

3.4.2 Analisis Penerimaan ... 30

3.4.3 Analisis Pendapatan ... 30

3.4.4 Komparasi ... 30

3.5 Konsepsi Pengukuran ... 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

4.1 Gambaran Pengolahan Kopi Robusta ... 33

4.1.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 33

4.1.2 Identitas Petani Responden ... 36

4.1.3 Gambaran Usaha Pengolahan Pascapanen Kopi Robusta ... 40

(5)

ii

4.2.2 Penerimaan Pengolahan Pascapanen Kopi Robusta ... 48

4.2.3 Biaya Pengolahan Pascapanen Kopi Robusta ... 48

4.2.4 Pendapatan Pengolahan Pascapanen Kopi Robusta ... 51

4.3 Analisis Komparasi Sertifikat Indikasi Geografis ... 52

4.4 Implikasi Hasil Penelitian ... 54

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN ... 59

(6)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Luas areal, produksi dan produktivitas perkebunan kopi di

Provinsi Jambi tahun 2019 ... 2 2. Rata-rata harga komoditi kopi robusta di Provinsi Jambi tahun

2019 ... 3 3. Mutu green bean berdasarkan nilai cacat ... 16 4. Daftar jumlah petani, luas lahan dan rata-rata produksi anggota

MPIG di Kecamatan Jangkat tahun 2019 ... 28 5. Distribusi petani responden berdasarkan kelompok umur di

daerah penelitian tahun 2021 ... 37 6. Distribusi petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di

daerah penelitian tahun 2021 ... 38 7. Distribusi petani responden berdasarkan jumlah anggota keluarga

di daerah penelitian tahun 2021 ... 39 8. Distribusi petani responden berdasarkan jumlah pengalaman

berusaha di daerah penelitian tahun 2021 ... 40 9. Distribusi produksi cherry bean dan green bean kopi robusta per

petani di daerah penelitian tahun 2021 ... 47 10. Rata-rata produksi dan penerimaan pengolahan pascapanen kopi

robusta di daerah penelitian tahun 2021 ... 48 11. Rata-rata biaya pengolahan pascapanen kopi robusta di daerah

penelitian tahun 2021 ... 49 12. Rata-rata biaya tetap pada pengolahan pascapanen kopi robusta

di daerah penelitian tahun 2021 ... 51 13. Rata-rata pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta di

daerah penelitian tahun 2021 ... 52 14. Uji beda dua sampel pendapatan pengolahan pascapanen kopi

robusta di daerah penelitian tahun 2021 ... 53

(7)

iv

1. Bagan proses pengolahan metode kering ... 12 2. Bagan proses pengolahan metode basah dengan fullwash process

dan honey process ... 14 3. Kerangka pemikiran ... 25

(8)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Luas areal menurut status tanaman, produksi kopi dan

produktivitas perkebunan Indonesia tahun 2019 ... 59 2. Luas areal dan produksi tanaman kopi di Kabupaten Merangin

tahun 2019 ... 60 3. Surat keputusan bupati pengukuhan kelembagaan Masyarakat

Perlindungan Indikasi Geografis kopi robusta Masurai Sungai

Tenang Jangkat ... 61 4. Sertifikat Indikasi Geografis kopi robusta Sumatera Merangin ... 65 5. Daftar nama kelompok tani, jumlah anggota, alamat, luas lahan

dan rata-rata produksi anggota Masyarakat Perlindungan Indikasi

Geografis kopi robusta MSJ ... 67 6. Penentuan nilai cacat green bean ... 69 7. Identitas petani responden di daerah penelitian tahun 2021 ... 71 8. Biaya penyusutan peralatan pada pengolahan pascapanen kopi

robusta di daerah penelitian tahun 2021 ... 74 9. Biaya karung dan transportasi pada pengolahan pascapanen kopi

robusta di daerah penelitian tahun 2021 ... 80 10. Biaya tenaga kerja pada pengolahan pascapanen kopi robusta di

daerah penelitian tahun 2021 ... 83 11. Biaya upah mesin pada pengolahan pascapanen kopi robusta di

daerah penelitian tahun 2021 ... 86 12. Total biaya variabel pada pengolahan pascapanen kopi robusta di

daerah penelitian tahun 2021 ... 89 13. Total biaya pengolahan pascapanen kopi robusta di daerah

penelitian tahun 2021 ... 92 14. Produksi kopi robusta dan penerimaan pengolahan pascapanen di

daerah penelitian tahun 2021 ... 95 15. Pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta di daerah

penelitian tahun 2021 ... 98 16. Hasil perhitungan SPSS perbedaan pendapatan pengolahan

pascapanen kopi robusta petani anggota MPIG dan petani

konvensional di daerah penelitian tahun 2021 ... 101 17. Standar Operasional Prosedur (SOP) Indikasi Geografis

pengolahan kopi robusta Sumatera Merangin ... 102

(9)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kopi (Coffea sp) adalah spesies tanaman semak belukar berbentuk pohon yang termasuk ke dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea. Tanaman kopi tumbuh tegak, bercabang dan bila dibiarkan tumbuh dapat mencapai tinggi 12 meter. Bunga kopi terbentuk pada akhir musim hujan hingga siap petik pada awal musim kemarau. Tanaman kopi berasal dari Benua Afrika, kemudian dibawa ke Indonesia oleh VOC pada tahun 1696 – 1699 (Rednandari, 1991).

Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan dalam sektor perkebunan Indonesia selain kelapa sawit, karet, kelapa dalam dan kakao. Kopi juga menjadi komoditas ekspor yang penting sebagai penghasil devisa negara. Pada tahun 2019 luas perkebunan kopi di Indonesia mencapai 1.239.756 ha dengan produksi mencapai 741.657 ton (Lampiran 1). Luas lahan dan total produksi yang tinggi tersebut menjadikan komoditi kopi sebagai salah satu komoditi unggul perkebunan di Indonesia.

Salah satu daerah penghasil kopi di Indonesia adalah Provinsi Jambi, dimana pada tahun 2019 Provinsi Jambi dengan luas areal perkebunan kopi seluas 28.096 ha mampu memproduksi 16.587 ton kopi dengan produktivitas sebesar 986 kg/ha.

Produktivitas yang besar tersebut menjadikan Provinsi Jambi sebagai produsen kopi dengan produktivitas terbesar ke-2 di Indonesia setelah Provinsi Sumatera Utara dengan produktivitas sebesar 1.080 kg/ha/tahun (Lampiran 1).

Secara umum, jenis kopi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Provinsi Jambi adalah kopi robusta, arabika dan liberika. Hal tersebut menjadikan Provinsi Jambi sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang membudidayakan tiga jenis kopi sekaligus. Kopi jenis arabika menghendaki kondisi iklim yang dingin sehingga hanya dibudidayakan di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Kopi jenis liberika berkembang dengan baik di lahan gambut dan tersebar di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Sedangkan kopi jenis robusta terdapat di dataran menengah di Kabupaten Bungo dan dataran tinggi di Kabupaten Merangin. Luas areal dan produksi tanaman kopi di Provinsi Jambi secara rinci disajikan dalam Tabel 1 berikut.

(10)

2

Tabel 1. Luas areal, produksi dan produktivitas perkebunan kopi di Provinsi Jambi tahun 2019.

Kabupaten/kota Luas areal (ha)

Produksi (ton)

Produktivitas (ton/ha)

Kerinci 8.622 4.232 0,491

Merangin 11.233 9.141 0,814

Sarolangun 79 10 0,127

Batang Hari 21 13 0,619

Muaro Jambi 94 25 0,266

Tanjung Jabung Barat 3.323 1.237 0,372

Tanjung Jabung Timur 2.708 1.354 0,500

Tebo 232 20 0,086

Bungo 641 328 0,512

Kota Jambi - - -

Kota Sungai Penuh 1.143 227 0,199

Provinsi Jambi 28.096 16.587 0,590

Sumber: Jambi dalam Angka Tahun 2019, Badan Pusat Statistik 2020.

Tabel 1 menunjukkan bahwa perkebunan kopi diusahakan hampir di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jambi, kecuali Kota Jambi. Kabupaten Merangin memiliki luas areal perkebunan yang paling luas dan produksi yang paling tinggi dibandingkan daerah lain. Kontribusi luas areal perkebunan kopi di Kabupaten Merangin sebesar 39,98% dari total luas perkebunan kopi di Provinsi Jambi, dan kontribusi produksi kopi di kabupaten tersebut sebesar 55,1% dari total produksi kopi Provinsi Jambi. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Merangin adalah sentra dari perkebunan kopi di Provinsi Jambi karena sebagian besar produksi kopi berasal dari daerah tersebut. Produktivitas kopi di Kabupaten Merangin sebesar 814 kg/ha, hal tersebut lebih tinggi daripada produktivitas rata-rata nasional, yaitu 794 kg/ha. Selain itu, kopi yang diproduksi di Kabupaten Merangin memiliki reputasi yang sangat baik di tingkat nasional, yakni dengan diperolehnya gelar kopi robusta terbaik pada event SCAI 2018 di Bali dan 2019 di Bandung. Sebagian besar perkebunan kopi robusta di Kabupaten Merangin terletak di Kecamatan Jangkat, Jangkat Timur dan Lembah Masurai (Lampiran 2).

(11)

Tabel 2. Rata-rata harga komoditi kopi robusta di Provinsi Jambi tahun 2019.

Kabupaten/kota Harga

(Rp/kg)

Kerinci 20.000

Merangin 16.500

Bungo 15.000

Kota Sungai Penuh 21.500

Provinsi Jambi 18.250

Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Tahun 2019, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi 2020.

Sebagai produsen kopi robusta terbesar di Provinsi Jambi, harga kopi robusta yang dihasilkan di Kabupaten Merangin justru di bawah rata-rata harga provinsi, yakni sebesar Rp 16.500/kg. Harga tertinggi diperoleh kopi robusta produksi Kota Sungai Penuh, yakni sebesar Rp 21.500/kg. Perbedaan harga bisa disebabkan oleh perbedaan mutu yang dihasilkan. Dalam perdagangan kopi robusta, terdapat 9 grade atau tingkatan kualitas mutu yang mana semakin tinggi grade maka harga akan tinggi.

Untuk meningkatkan nilai jual, petani harus memproduksi produk yang bermutu tinggi sehingga pedagang dan konsumen akan membayar dengan harga yang lebih tinggi. Cara meningkatkan mutu dari green bean kopi robusta adalah memperbaiki proses pengolahan setelah buah dipanen. Namun dengan keterbatasan kemampuan petani secara individu dalam mengolah hasil pertanian yang sesuai dengan keinginan pasar membuat kualitas produk yang dihasilkannya masih rendah. Untuk itu, diperlukan suatu organisasi yang mengkhususkan diri untuk membina dan memberikan pengawasan kepada petani kopi robusta agar petani konsisten menghasilkan produk yang berkualitas. Menyadari pentingnya hal tersebut, para petani dan penggiat kopi robusta di Kabupaten Merangin membentuk suatu kelembagaan masyarakat yang bernama Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Robusta Masurai Sei. Tenang Jangkat (MPIG Kopi Robusta MSJ).

MPIG Kopi Robusta MSJ merupakan gabungan dari petani kopi robusta, pengepul dan pengelola serta pedagang yang berdomisili dan beraktivitas di sekitar kaki Gunung Masurai dalam wilayah Kecamatan Lembah Masurai, Jangkat dan Jangkat Timur. Kelembagaan ini dibentuk pada 2018 yang dikukuhkan oleh Bupati Merangin dengan surat keputusan nomor 724/Balitbang/2018 (Lampiran 3). Tujuan

(12)

4

dari kelembagaan ini, yaitu : 1) memproduksi Kopi Robusta Sumatera Merangin dengan kualitas terbaik; 2) melindungi Kopi Robusta Sumatera Merangin dari pemalsuan; dan 3) meningkatkan pemasaran untuk memperoleh nilai tambah terbaik guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani dan pelaku usaha Kopi Robusta Sumatera Merangin (Dokumen Deskripsi MPIG).

MPIG Kopi Robusta MSJ mendapatkan perlindungan hukum atas nama produk dan pengakuan atas mutu dan kekhasan produk yang dihasilkan dengan memperoleh sertifikat Indikasi Geografis dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI (Lampiran 4). UU No.

20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, Bab 1 Pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa, Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/produk yang dihasilkan.

Standar untuk sertifikasi Indikasi Geografis kopi robusta dimulai dari budidaya, manajemen perkebunan, pengolahan dan pasca panen yang sesuai dengan prosedur operasional yang telah ditetapkan oleh MPIG Kopi Robusta MSJ. Jenis produk yang dilindungi oleh sertifikasi Indikasi Geografis adalah kopi biji (grean bean), kopi sangrai (roasted coffee) dan kopi bubuk (ground coffee). Pihak yang berhak menggunakan perlindungan Indikasi Geografis atas produk-produk tersebut adalah pihak yang memperoleh hak penggunaannya.

Anggota Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Robusta MSJ berjumlah 786 orang yang tergabung di dalam 37 kelompok tani dan ditambah 131 orang atau 13 kelembagaan lainnya seperti pengepul, pedagang, unit usaha pengolahan (UUP), unit pengumpul hasil (UPH) dan koperasi (Lampiran 2). Setiap petani anggota Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Kopi Robusta MSJ harus memproduksi dan mengolah kopi robusta sesuai dengan standar operasional yang telah ditetapkan oleh standarisasi Indikasi Geografis (Lampiran 3). Proses pengolahan pascapanen yang diterapkan berdasarkan SOP adalah natural process, honey process dan fullwash process.

(13)

Indikasi Geografis akan meningkatkan nilai ekonomi dan daya saing produk di pasaran karena prosedur pengolahan pascapanen telah diatur dalam ketentuan standar operasional sehingga kualitas produk yang dihasilkan menjadi tinggi. Nilai jual green bean kopi robusta hasil pengolahan yang sesuai dengan standar mutu Indikasi Geografis telah meningkatkan pendapatan petani dalam satu musim panen (Padmaningrum, 2019). Selain meningkatkan pendapatan, Indikasi Geografis juga memberikan perlindungan kepada produsen dan konsumen kopi robusta dari tindakan pemalsuan produk. Untuk komoditi kopi robusta, standar operasional Indikasi Geografis sendiri hanya diterapkan dari kegiatan pascapanen, yang mana kegiatan pascapanen tersebut terdiri dari pengolahan buah kopi (cherry bean) menjadi biji kopi (green bean). Karena tidak semua petani memiliki kapasitas untuk mengolah green bean hingga menjadi kopi bubuk.

Salah satu penghasil green bean kopi robusta terbesar di Kabupaten Merangin adalah Kecamatan Jangkat, namun dengan harga jual di bawah rata-rata provinsi.

Hal ini tidak selaras dengan tujuan dari Indikasi Geografis, yakni memproduksi kopi kualitas terbaik yang bernilai jual tinggi. Petani kopi secara umum tidak mampu menghasilkan kopi kualitas terbaik dikarenakan adanya waktu dan biaya tambahan yang dikeluarkan untuk melakukan proses pengolahan pasca panen.

Selain itu, proses sortasi dalam pasca panen versi Indikasi Geografis menyebabkan jumlah produksi yang dihasilkan jauh lebih sedikit dibandingkan pengolahan secara konvensional. Oleh sebab itu, petani enggan mengikuti standar operasional Indikasi Geografis. Hal ini terbukti dengan jumlah petani anggota MPIG yang hanya berjumlah 252 orang atau 13,77% dari total petani kopi robusta yang berada di Kecamatan Jangkat (Lampiran 5).

Adanya perbedaan dalam penanganan pasca panen kopi robusta antara petani yang bersertifikasi Indikasi Geografis dan konvensional, maka perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui besaran pendapatan diantara dua jenis pengolahan kopi robusta tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Komparasi Pendapatan Pengolahan Pascapanen Kopi Robusta Petani Sertifikat Indikasi Geografis dan Konvensional di Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin.”

(14)

6

1.2. Rumusan Masalah

Kecamatan Jangkat merupakan salah satu penghasil kopi robusta terbesar di Kabupaten Merangin dan memiliki reputasi yang sangat baik di tingkat nasional, yakni dengan diperolehnya gelar kopi robusta terbaik pada event SCAI 2018 dan 2019. Untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah, maka kopi robusta yang diproduksi di Kecamatan Jangkat didaftarkan oleh masyarakat ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dengan perlindungan Indikasi Geografis dengan nama “Kopi Robusta Sumatera Merangin” dan setiap pelaku dalam usaha kopi robusta tersebut harus mengikuti dan melaksanakan standar operasional yang telah ditetapkan untuk menjaga mutu dan nama baik dari produk tersebut.

Tidak semua petani kopi robusta di Kecamatan Jangkat memperoleh sertifikat Indikasi Geografis. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis, petani diharuskan menerapkan standar operasional sebagai salah satu persyaratannya. Berdasarkan wawancara dengan salah satu lembaga penggiat Indikasi Geografis kopi robusta, alasan mengapa petani-petani kopi robusta tidak ingin mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis adalah karena petani merasa enggan dalam menjalankan setiap prosedur operasional (lampiran 4). Petani kopi robusta di Kabupaten Merangin terbiasa dengan kebiasaan langsung menjual green bean setelah proses pengeringan meski harga jualnya lebih rendah dibandingkan dengan proses pasca panen kopi fullwash, honey, dan natural yang telah ditetapkan prosedurnya oleh Indikasi Geografis.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana gambaran pengolahan pascapanen kopi robusta yang sesuai dengan standar operasional prosedur Indikasi Geografis dan pengolahan pascapanen kopi robusta secara umum di Kecamatan Jangkat?

2. Seberapa besar pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta petani anggota MPIG dan petani konvensional di Kecamatan Jangkat?

3. Bagaimana perbedaan pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta petani sertifikat Indikasi Geografis dan konvensional di Kecamatan Jangkat?

(15)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui gambaran pengolahan pascapanen kopi robusta yang sesuai dengan standar operasional prosedur Indikasi Geografis dan pengolahan pascapanen kopi robusta secara umum di Kecamatan Jangkat.

2. Mengetahui pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta petani anggota MPIG dan petani konvensional di Kecamatan Jangkat.

3. Menganalisis perbedaan pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta petani sertifikat Indikasi Geografis dan konvensional di Kecamatan Jangkat.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi tingkat sarjana pada program studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jambi.

2. Sumber bahan informasi bagi petani dalam melakukan kegiatan standar operasional Indikasi Geografis, agar mampu meningkatkan pendapatan usahanya.

3. Sebagai acuan kepada peneliti lain yang hendak melakukan penelitian yang sejenis.

(16)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Tanaman Kopi Robusta

Kopi (Coffea sp) merupakan spesies tanaman berbentuk pohon yang termasuk dalam famili Rubiaceae dan genus Coffea. Tanaman kopi tumbuh tegak, bercabang dapat mencapai tinggi hingga 12 meter. Daun berbentuk bulat telur dengan ujung agak meruncing. Memiliki akar tunggang yang dangkal, tetapi akar tunggang tidak terdapat pada tanaman kopi yang berasal dari bibit stek dan cangkok. Tanaman kopi mulai berbunga setelah berumur 2 tahun, waktu yang dibutuhkan untuk menjadi buah matang adalah 6-11 bulan semenjak munculnya bunga (Najiyati, 1998).

Beberapa jenis kopi yang paling sering dibudidayakan di Indonesia adalah kopi arabika, robusta dan liberika. Tiap jenis kopi memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda. Berbeda dengan jenis kopi arabika dan liberika, kopi robusta bukan merupakan nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari beberapa spesies kopi, terutama Coffea canephora (Najiyati, 1998). Kopi robusta mempunyai sifat di antaranya:

1. Resisten terhadap penyakit HV.

2. Tumbuh sangat baik pada ketinggian 400-700 mdpl, tetapi masih toleran pada ketinggian kurang dari 400 mdpl dengan temperatur 21-24oC.

3. Menghendaki daerah yang mempunyai bulan kering 3-4 bulan secara berturut-turut, dengan 3-4 kali hujan kiriman.

4. Produksi lebih tinggi daripada kopi arabika dan liberika (rata-rata 9-13 kwintal kopi beras/ha/tahun). Bila dikelola secara intensif bisa berproduksi 20 kw/ha/tahun.

5. Kualitas buah lebih rendah daripada kopi arabika, tetapi lebih tinggi daripada kopi liberika.

6. Rendemen yang diperoleh mencapai 22%.

Kopi robusta berkembang sangat cepat di Indonesia karena mempunyai sifat lebih unggul dibanding kopi arabika yang sudah terlebih dahulu dibudidayakan di Indonesia. Berdasarkan data dari PDSIP Sekjen Kementan, pada periode 2001-2020 jenis kopi yang diusahakan didominasi oleh kopi robusta yang mencapai produksi

(17)

rata-rata 521,74 ribu ton atau share 80,31% dari total rata-rata produksi kopi Indonesia yang mencapai 649,68 ribu ton.

Perkebunan kopi yang terdapat di Kecamatan Jangkat adalah jenis kopi robusta. Awalnya di daerah ini hanya terdapat jenis kopi arabika yang dibudidayakan sejak tahun 1901 dan secara masif dibudidayakan pada tahun 1918 – 1950. Kopi robusta muncul pada tahun 1990 yang didatangkan oleh seorang perantau dari Sumatera Selatan dan kemudian mendominasi hampir seluruh perkebunan kopi di kecamatan tersebut.

2.1.2 Sapta Usahatani

Sapta usahatani kopi robusta adalah tujuh tindakan yang dilakukan petani untuk memperoleh pendapatan maksimum yang meliputi penggunaan benih unggul, pengolahan lahan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, irigasi, panen dan pascapanen.

A. Penggunaan Bibit Unggul.

Secara umum, asal bibit tanaman kopi robusta dapat dibedakan menjadi dua, yakni generatif dan vegetatif. Bibit yang berasal dari penyambungan atau okulasi (vegetatif) relatif lebih baik karena petani dapat memilih batang yang pertumbuhannya baik dengan klon yang menghasilkan buah relatif banyak dan sudah di uji sebelumnya. Sumber bibit sebaiknya berada tidak jauh dari lokasi penanaman atau perkebunan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi resiko atau dampak kerusakan akibat jarak dan waktu transportasi bibit. Jarak tanam 3 x 3 meter membutuhkan bibit sebanyak 1.111 batang/hektare, sedangkan jarak tanam 2,5 x 2,5 meter membutuhkan bibit sebanyak 1.600 batang/hektare (Panggabean, 2019).

B. Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan untuk perkebunan kopi robusta meliputi pembuatan teras, pembersihan di sekitar area tanam, dan pembongkaran tanaman yang tidak diperlukan. Pembuatan teras dilakukan untuk lahan dengan kemiringan tertentu.

Pembersihan hanya dilakukan di sekitar lubang tanam dengan diameter sekitar satu meter. Pembuatan lubang tanam untuk bibit kopi biasanya dilakukan satu bulan sebelum tanam dengan ukuran lubang tanam adalah 60 x 60 x 60 cm (Panggabean, 2019).

(18)

10

C. Pemupukan

Tanaman kopi robusta memerlukan pupuk sebagai salah satu sumber hara.

Tanaman yang relatif muda dan belum menghasilkan,memerlukan unsur nitrogen dan fosfor dengan perbandingan unsur N, P dan K masing-masing 2 : 1 : 1.

Sementara itu, untuk tanaman yang sudah berbuah, unsur yang dibutuhkan adalah nitrogen, fosfor dan kalium dengan perbandingan N, P dan K masing-masing 2 : 2 : 2. Pemupukan dilakukan dua kali setahun atau menyesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi robusta (Panggabean, 2019).

D. Pengendalian Hama dan Penyakit

Hama pada tanaman kopi robusta terbagi atas bagian tanaman mana yang terserang. Diantaranya adalah hama pada akar (nematoda), hama pada batang dan dahan (larva kumbang penggerek merah), hama pada ranting (bubuk dahan), hama pada buah (Hypothenemus hampei dan Stephanoderes hampei) dan hama pada daun, tunas dan bunga (kutu dompolan, kutu hijau dan kutu lamtoro). Untuk pengendalian hama dapat menggunakan cara pemangkasan bagian yang terserang dan menggunakan pestisida jika serangannya cukup tinggi (Panggabean, 2019).

Penyakit pada tanaman kopi diantaranya adalah penyakit akar hitam, akar coklat, karat daun, bercak daun, daun hangus dan bercak hitam. Jika yang terserang adalah bagian akar, maka cara pengendaliannya adalah membongkar dan membakar tanaman yang terserang penyakit, lalu belerang atau kapur ditaburkan di bekas pembongkaran tanaman. Jika yang terserang bagian daun, dahan atau batang, maka musnahkan bagian yang telah diserang dengan cara memotong dan membakarnya (Panggabean, 2019).

E. Irigasi

Tanaman kopi robusta membutuhkan curah hujan maksimum 2.000 mm/tahun untuk mempengaruhi pembentukan bunga hingga menjadi buah. Daerah yang berada diatas ketinggian 1.000 meter dpl dan memiliki curah hujan yang baik umumnya memiliki musim kering yang relatif pendek. Oleh karena curah hujan yang cukup tinggi, petani biasanya tidak melakukan penyiraman secara rutin.

(19)

F. Panen

Panen dilakukan ketika buah kopi sudah berwarna merah hingga merah tua.

Dalam satu hektare perkebunan kopi, tenaga panen biasanya sebanyak 2-4 orang.

Pemanenan dilakukan dengan cara memetik buah kopi satu per satu menggunakan tangan, lalu buah tersebut dimasukkan ke dalam keranjang panen yang telah disiapkan sebelumnya. Pola panen berdasarkan buah kopi dibedakan menjadi tiga, yaitu petik merah, petik hijau, dan petik sembarang. Petik merah adalah pemetikan buah kopi yang berwarna merah (sudah matang). Petik hijau adalah pemetikan buah kopi yang masih hijau, biasanya dilakukan oleh beberapa faktor, seperti faktor keamanan, ekonomi, iklim dan kebiasaan. Petik sembarang adalah pemetikan buah kopi yang berwarna merah dan hijau sekaligus, karena tingkat kematangan kopi di dalam satu ranting berbeda-beda.

2.1.3 Pascapanen Kopi Robusta

Pascapanen kopi adalah suatu kegiatan yang meliputi sortasi buah, pengupasan, fermentasi, pencucian, pengeringan, sortasi biji, pengemasan, penyimpanan, standarisasi mutu dan transportasi hasil. Hasil akhir dari pengolahan buah kopi atau cherry bean adalah kopi beras atau green bean. Secara umum, terdapat dua metode dalam pengolahan pascapanen kopi, yakni metode kering dan metode basah. Buah kopi merah (superior) diolah dengan cara proses basah agar diperoleh biji kopi kering dengan tampilan yang bagus (Natawidjaya, 2012).

A. Pengolahan Metode Konvensional

Petani konvensional atau petani kopi secara umumnya melakukan pengolahan kopi robusta menggunakan metode kering. Pengolahan kopi metode kering atau dikenal sebagai natural process banyak dilakukan petani dikarenakan kapasitas olah kecil, mudah dilakukan dan peralatan yang dibutuhkan sederhana.

Tahapan pengolahan kopi dengan metode kering secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.

(20)

12

Gambar 1. Bagan proses pengolahan metode kering

Buah kopi yang sudah dipanen dan disortasi harus langsung dikeringkan agar tidak mengalami proses kimia yang bisa menurunkan mutu. Pengeringan dapat dilakukan dengan alat pengering atau dijemur dengan bantuan cahaya matahari.

Pengeringan dengan cara dijemur memerlukan waktu 2-3 minggu tergantung kepada keadaan cuaca. Kadar air maksimal yang terkandung dalam biji kopi kering adalah 12,5% (Panggabean, 2019).

Setelah mencapai kadar air yang diinginkan, maka dilakukan pengupasan buah kopi. Pengupasan buah kopi kering bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulit buah, kulit tanduk dan kulit ari. Pengupasan dilakukan dengan menggunakan mesin pengupas (huller), namun beberapa petani masih menggunakan cara menumbuk yang tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan banyak biji kopi menjadi pecah. Beberapa tipe huller sederhana yang sering digunakan adalah huller putar tangan (manual) dan huller dengan penggerak motor (Panggabean, 2019).

B. Pengolahan Metode Indikasi Geografis

Petani kopi yang telah tergabung menjadi keanggotaan Indikasi Geografis melakukan pengolahan kopi robusta menggunakan metode basah. Pengolahan metode basah hanya digunakan untuk buah kopi yang sudah masak penuh atau berwarna merah. Pengolahan metode basah terbagi menjadi 2, yakni fullwash process dan honey process. Perbedaannya adalah fullwash process membersihkan semua lendir yang melekat pada biji kopi dengan cara fermentasi, sedangkan pada honey process lendir biji kopi tidak dibersihkan dan langsung dijemur dengan

Panen

Sortasi buah

Pengeringan

Pengupasan kulit kopi

Sortasi biji kering

(21)

tujuan supaya biji kopi menyerap lendir tersebut yang akan menghasilkan cita rasa yang berbeda (Panggabean, 2019).

Fermentasi bertujuan untuk menghilangkan senyawa lendir yang tersisa dari kulit kopi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan keseragaman biji dalam jumlah yang besar dan serentak. Jika di suatu daerah pengolahan kesulitan mendapatkan air, proses fermentasi dapat dilakukan secara kering dan berlokasi di tempat terbuka (open fermentation). Pada fermentasi basah biji kopi direndam dengan air, sedangkan pada fermentasi kering biji kopi hanya ditutupi dengan karung goni atau kain basah. Waktu yang diperlukan untuk fermentasi kopi arabika cenderung lebih lama dibandingkan dengan fermentasi kopi robusta. Fermentasi harus dilakukan secara benar dan tepat. Jika fermentasi tidak tepat dan terlalu lama, dapat beresiko mengubah cita rasa menjadi sour dan stinky (Panggabean, 2019). Secara ringkas pengolahan metode basah dapat dilihat pada Gambar 2.

(22)

14

Gambar 2. Bagan proses pengolahan metode basah dengan fullwash process (kiri) dan honey process (kanan).

C. Quality Assurance dan Standar Mutu Green Bean

Quality Assurance atau jaminan kualitas adalah suatu tindakan yang telah direncanakan untuk mendapatkan bukti-bukti dan menjaga kepercayaan bahwa produk atau jasa tersebut memenuhi kebutuhan konsumen. Tujuan utama quality assurance adalah membangun kepercayaan konsumen terhadap perusahaan (petani) sebagai produsen, selain itu juga sebagai metode guna mengoptimalkan proses kerja dan efisiensi sistem kualitas, hasilnya akan membuat perusahaan dapat bersaing dengan perusahaan lainnya dalam industri yang sama. Quality assurance memotivasi dan mengarahkan perusahaan untuk menghasilkan produk sesuai kebutuhan, harapan dan tuntutan konsumen.

Pengeringan Panen

Sortasi buah

Pengupasan kulit buah merah

Fermentasi

Pencucian

Panen

Sortasi buah

Pengupasan kulit buah merah

Pengeringan

Pengupasan kulit kopi

Sortasi biji kering

Pengupasan kulit kopi

Pengeringan

Sortasi biji kering

(23)

Standar mutu diperlukan sebagai tolak ukur dalam pengawasan mutu biji kopi beras. Kopi beras (green bean) telah ditetapkan mutunya berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01-2907-2008. Standar ini disusun berdasarkan perkembangan pasar global serta mempertimbangkan persyaratan internasional dalam ICO 407 yang menegaskan pelarangan untuk perdagangan kopi mutu rendah yang diberlakukan sejak tanggal 1 Oktober 2002. ICO (International Coffee Organization) adalah sebuah organisasi atau wadah yang diakui sebagai badan standarisasi ekspor impor kopi di seluruh negara (Panggabean, 2019).

Kopi robusta yang baik sering disebut sebagai EK (eerst kwaliteit) yang berarti kualitas nomor satu. Berdasarkan ukurannya, kopi robusta dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut (Panggabean, 2019).

1. Biji ukuran besar, tidak lolos ayakan lubang bulat ukuran diameter 7,5 mm dengan maksimum lolos 2,5%.

2. Biji ukuran sedang, lolos ayakan lubang bulat ukuran diameter 7,5 mm, tetapi tidak lolos ayakan 6,5 mm, dengan maksimum lolos 2,5%.

3. Biji ukuran kecil, lolos ayakan bulat ukuran 6,5 mm, tetapi tidak lolos ayakan 5,5 mm, dengan maksimum lolos 2,5%.

Berdasarkan cara pengolahan, standar mutu green bean adalah sebagai berikut (Panggabean, 2019):

1. Metode pengolahan kering.

• Kadar air maksimum 13%.

• Benda lainnya, seperti ranting, batu dan tanah maksimum 0,5%.

• Bebas dari serangga hidup.

• Bebas dari biji yang berbau busuk dan kapang.

2. Metode pengolahan basah.

• Kadar air maksimum 12%.

• Benda lainnya, seperti ranting, batu dan tanah maksimum 0,5%.

• Bebas dari serangga hidup.

• Bebas dari biji yang berbau busuk dan kapang.

Selain dari cara pengolahan, mutu green bean dapat dinilai dari tingkat kecacatannya. Sampel green bean yang akan dinilai diambil secara acak dari

(24)

16

beberapa karung sebanyak 300 gram. Berdasarkan nilai cacat, standar mutu green bean adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Mutu green bean berdasarkan nilai cacat.

Mutu atau grade Nilai cacat

Grade 1 Maksimum 11

Grade 2 12 – 25

Grade 3 26 – 44

Grade 4a 45 – 60

Grade 4b 61 – 80

Grade 5 81 – 150

Grade 6 151 – 225

Grade Cabutan > 225

Grade Asalan (pexel) Semuanya cacat

Sumber: Panggabean, 2019.

Kegiatan perdagangan kopi lokal terdapat istilah grade cabutan dan asalan (pexel). Grade cabutan merupakan sampah dan kotoran dari penyortiran grade 1 (standar ekspor). Sementara itu, kopi grade asalan merupakan sampah dari semua biji kopi dengan kondisi rusak seperti pecah, hitam, kisut, kecil, kulit ari, kulit tanduk, dan terdapat kotoran (Panggabean, 2019). Nilai cacat ditentukan berdasarkan dari kriteria-kriteria yang tertera pada Lampiran 3.

2.1.4 Indikasi Geografis

UU Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyebutkan bahwa, Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, produk dari Indikasi Geografis hanya bisa diproduksi di daerah tertentu saja dan tidak dapat disebarluaskan ke daerah lain, karena akan merubah ciri khas yang didapatkan dari produk tersebut. Secara garis besar, suatu Indikasi Geografis meliputi nama asal tempat dan asal barang. Secara spesifik, produk-produk pertanian mempunyai kualitas yang mengarah dari produksi tempat mereka dan dipengaruhi secara spesifik oleh faktor lokal seperti iklim dan tanah (Anggraeni, 2008).

(25)

Indikasi Geografis mengacu pada merek tetapi Indikasi Geografis penekanannya pada tempat atau asal di mana barang atau produk itu berasal dari suatu daerah dan juga merek dimiliki secara individu sedangkan Indikasi Geografis dimiliki secara kolektif. Tujuan dari pelindungan Indikasi Geografis adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, 2020):

1. Melindungi produsen dan konsumen dari pemalsuan produk khas wilayah.

2. Menjaga kualitas produk khas wilayah.

3. Menjaga kelestarian budaya dan pengetahuan tradisional masyarakat penghasil produk khas wilayah.

4. Memperkuat kelembagaan masyarakat penghasil produk khas wilayah.

5. Meningkatkan pendapatan dari kesejahteraan masyarakat pelaku usaha produk khas wilayah.

Indikasi Geografis dilindungi setelah barang atau produk didaftarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan perlindungan hak atas Indikasi Geografis. Hak atas Indikasi Geografis adalah hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada pemegang hak Indikasi Geografis yang terdaftar, selama reputasi, kualitas dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada. Untuk memperoleh perlindungan hak Indikasi Geografis, pemohon/pendaftar melakukan permohonan pendaftaran kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Pemohon berasal dari pemerintah daerah atau kelembagaan masyarakat.

Persyaratan yang harus dipersiapkan oleh pemohon Indikasi Geografis menurut Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (2020) adalah sebagai berikut:

1. Softcopy dokumen deskripsi.

2. Surat kuasa.

3. Surat rekomendasi.

4. Peta wilayah Indikasi Geografis yang disahkan oleh pemerintah daerah.

5. Abstrak/ringkasan.

6. Label/logo Indikasi Geografis.

Dokumen deskripsi adalah suatu dokumen yang memuat informasi, termasuk reputasi, kualitas dan karakteristik barang dan/atau produk yang terkait dengan

(26)

18

faktor geografis dari barang dan/atau produk yang dimohonkan perlindungan Indikasi Geografis. Isi dari dokumen deskripsi menurut Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (2020) adalah sebagai berikut:

1. Pemohon, berisi identitas pemohon antara lain: nama kelembagaan, alamat sekretariat kelembagaan, nomor telepon, email dan lain-lain.

2. Nama Indikasi Geografis yang diusulkan.

3. Jenis barang dan/atau produk.

4. Kualitas dan karakteristik barang dan/atau produk yang dapat membedakan dengan barang lain yang kategorinya sama.

5. Batas dan peta wilayah geografis.

6. Pengaruh faktor alam dan manusia terhadap kualitas barang dan/atau produk Indikasi Geografis.

7. Proses produksi barang dan/atau produk Indikasi Geografis.

8. Uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang dihasilkan.

9. Sejarah wilayah penghasil dan sejarah keberadaan barang dan/atau produk Indikasi Geografis yang dihasilkan.

10. Logo atau label Indikasi Geografis yang akan digunakan.

11. Sistem keterunutan barang dan/atau produk Indikasi Geografis yang dihasilkan.

12. Tata cara penggunaan tanda Indikasi Geografis.

13. Sistem pembinaan dan pengawasan proses produksi, kualitas dan pemasaran barang dan/atau produk Indikasi Geografis.

14. Surat dukungan atau surat rekomendasi dari pemerintah daerah bagi pemohon untuk mengajukan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis.

2.1.5 Pendapatan

Usaha pengolahan pascapanen kopi robusta merupakan kegiatan terpadu yang meliputi sortasi buah, pengupasan, fermentasi, pencucian, pengeringan, sortasi biji, pengemasan, penyimpanan, standarisasi mutu dan transportasi hasil.

Pengembangan usaha kopi robusta dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para pelaku usaha komoditi kopi robusta. Perhitungan usaha meliputi biaya produksi, penerimaan, dan pendapatan (Suratiyah, 2016).

(27)

A. Biaya Proses Pengolahan

Biaya proses pengolahan adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan (produsen) untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan (produsen) tersebut (Suhardi, 2016). Biaya biaya proses pengolahan atau biaya produksi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap.

1. Biaya Tetap (Fixed Cost)

Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan serta tidak tergantung pada banyak/sedikitnya produk yang dihasilkan. Contoh dari biaya tetap di antaranya sewa tanah, pajak, alat-alat produksi, dan sebagainya.

Perhitungan biaya alat-alat yang digunakan, yaitu menggunakan perhitungan nilai penyusutan. Biaya penyusutan merupakan pendekatan dari pengurangan nilai alat tiap tahunnya. Secara matematis biaya penyusutan dapat dirumuskan sebagai berikut (Suratiyah 2016):

Penyusutan per tahun = Nilai beli - Nilai sisa

Umur ekonomis (jumlah tahun yang digunakan) 2. Biaya Tidak Tetap (Variabel Cost)

Biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya tergantung pada output yang dihasilkan. Biaya tidak tetap dapat berubah-ubah tergantung pada besar-kecilnya skala produksi. Biaya tidak tetap, meliputi pengeluaran upah tenaga kerja, sewa mesin dan biaya-biaya lainnya yang habis dalam satu kali proses produksi (Soekartwi, 2016).

3. Biaya Total (Total Cost)

Biaya total adalah keseluruhan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi tiap tingkat output, dengan kata lain adalah jumlah biaya produksi yang dikeluarkan produsen. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Sudirno, 2016):

TC = TFC + TVC

(28)

20

Dimana:

TC = Total Cost / biaya total (Rp/tahun).

TFC = Total Fixced Cost / biaya tetap total (Rp/tahun).

TVC = Total Variabel Cost / biaya tidak tetap total (Rp/tahun).

B. Penerimaan (Revenue)

Penerimaan adalah nilai uang yang diterima produsen dari hasil usaha penjualan barang/jasa (output) yang diproduksi oleh perusahaan (produsen) tersebut. Dalam hal ini, hasil jual pengolahan green bean yang dilakukan oleh petani kopi robusta. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 2016):

TR = Y x Py Dimana:

TR = Total Revenue / total penerimaan (Rp/tahun).

Y = Hasil pengolahan (kg/tahun).

Py = Harga jual (Rp/kg).

C. Pendapatan

Pendapatan merupakan selisih pengurangan antara penerimaan total dan biaya total yang dikeluarkan petani selama melakukan proses produksi (Soekartawi, 2016). Jika hasilnya positif, berarti produsen mendapatkan keuntungan (laba). Jika hasilnya negatif, maka produsen mengalami rugi. Jika hasilnya nol, berarti produsen mencapai titik balik modal (break event point).

Penerimaan adalah nilai uang yang diperoleh dari memproduksi barang dan biaya adalah semua yang dipergunakan untuk menghasilkan pendapatan. Secara matematis pendapatan dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 2016):

Pd = TR - TC Dimana:

Pd = Pendapatan pengolahan (Rp/tahun).

TR = Total penerimaan (Rp/tahun).

TC = Total biaya (Rp/tahun).

(29)

2.1.6 Studi Komparasi

Studi komparasi adalah penelitian yang berusaha untuk menemukan dan membandingkan antara variabel-variabel yang saling berhubungan dengan mengemukakan persamaan dan perbedaan tentang benda, tentang suatu prosedur kerja, tentang ide maupun kritik terhadap orang atau kelompok. Ciri-ciri metode komparasi menurut Muliawan (2004) yaitu:

1. Memiliki dua atau lebih objek yang berbeda.

2. Masing-masing berdiri sendiri dan bersifat terpisah.

3. Memiliki kesamaan pola atau cara kerja tertentu.

4. Objek yang dibandingkan jelas dan spesifik.

5. Memiliki standar dan ukuran perbandingan berbeda dari objek yang sama.

Menggunakan metode ini peneliti bermaksud untuk menarik sebuah konklusi dengan cara membandingkan pendapatan dari pengolahan green bean kopi robusta petani anggota MPIG dan petani non anggota di Kecamatan Jangkat.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Saroja (2021) dengan judul “Komparasi Pendapatan Petani Kopi Organik dan Konvensional” menunjukkan bahwa biaya pengeluaran petani konvensional lebih tinggi daripada petani kopi organik, dengan rincian pengeluaran petani kopi organik sebesar Rp. 14.373.855/ha/tahun dan petani konvensional Rp. 19.602.547/ha/tahun. Sedangkan pendapatan petani konvensional lebih tinggi daripada petani organik, dengan rincian pendapatan petani kopi organik Rp. 17.434.556/ha/tahun dan petani konvensional Rp.

26.903.922/ha/tahun. Hal tersebut diakibatkan karena penerapan sistem budidaya organik masih baru diterapkan dan petani kopi organik masih mengalami masa konversi lahan dari konvensional menjadi organik.

Penelitian yang dilakukan oleh RN. Tamaradewi, dkk (2019) dengan judul

“Analisis Nilai Tambah dan Strategi Pengembangan Usaha Kopi (Coffea sp) di Kelompok Tani Hutan (KTH) Cibulao Hijau.” Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai tambah paling tinggi yang dihasilkan dari proses pengolahan kopi robusta adalah dengan Natural process dengan nilai tambah green bean, roasted bean dan ground coffee, yaitu Rp 5.510 (42,38%), Rp 77.781 (52,55%), dan Rp

(30)

22

159.821 (45,66%). Sedangkan nilai tambah tertinggi yang dihasilkan dari proses pengolahan kopi arabika adalah dengan fullwash process dengan nilai tambah green bean, roasted bean dan ground coffee, yaitu Rp 3.735 (26,12%), Rp 84.584 (18,79%), dan Rp 182.091 (63,45%). Analisis matriks IFE menghasilkan total skor 2,708 dan analisis matriks EFE menghasilkan total skor 2,911.

Penelitian yang dilakukan oleh Robinardus Jampur, dkk (2019) dengan judul

“Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani Terhadap Peran Sertifikasi Indikasi Geografis Kopi Arabika di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.” Persepsi petani terhadap peran Indikasi Geografis kopi arabika dilihat dari empat indikator, yakni faktor alam, faktor manusia, karakteristik kopi dan kualitas kopi. Dari hasil penelitian keempat indikator tersebut berada pada indeks persepsi sangat baik yaitu dengan angka 87%. Hal tersebut peran sertifikasi Indikasi Geografis sangat baik untuk meningkatkan produktivitas kopi arabika di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Faktor–faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap peran sertifikasi Indikasi Geografis kopi arabika berpengaruh positif dan signifikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai tertinggi signifikan, yaitu dipengaruhi oleh harga jual dan diikuti oleh produksi, modal, tenaga kerja dan luas lahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Simarmata (2019) dengan judul “Analisis Penerapan Indikasi Geografis (IG) untuk Mendapatkan Sertifikasi IG Kopi Arabika di Kabupaten Karo”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik faktor alam berpengaruh signifikan terhadap perencanaan penerapan Indikasi Geografis kopi arabika di Kabupaten Karo. Sedangkan pemahaman tentang Indikasi Geografis, pola budidaya dan pasca panen, dan karakteristik komoditas berpengaruh tidak signifikan terhadap perencanaan penerapan Indikasi Geografis kopi arabika Kabupaten Karo. Secara simultan variabel pemahaman Indikasi Geografis, pola budidaya dan pasca panen, karakteristik komoditas, dan karakteristik faktor alam berpengaruh signifikan terhadap perencanaan penerapan Indikasi Geografis kopi arabika Kabupaten Karo. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,472 berarti bahwa pengaruh dari variabel pemahaman Indikasi Geografis, pola budidaya dan pasca panen, karakteristik komoditas, dan karakteristik faktor

(31)

alam terhadap perencanaan penerapan Indikasi Geografis kopi arabika Kabupaten Karo adalah sebesar 48,2%.

Penelitian yang dilakukan oleh Syaputra (2020) dengan judul “Strategi Pengembangan Kopi Robusta di Kabupaten Merangin” dengan metode SWOT dan QSPM yang digunakan menunjukkan bahwa titik koordinat internal eksternal faktor Analysis Summary berada pada Kuadran I dengan nilai 0,45 ; 0,8 yang artinya kondisi saat ini menguntungkan. Strategi pengembangan usahatani kopi robusta di Merangin melalui hilirisasi hasil usahatani kopi robusta sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk berbahan kopi. Prioritas perancangan program pengembangan kopi robusta di Merangin diarahkan pada peningkatan kapasitas petani kopi robusta agar mampu menghadapi persaingan, pengembangan akses pemasaran kopi melalui promosi produk, penumbuhan minat investor dalam dan luar daerah untuk mengembangkan hilirisasi produk berbasis kopi dan pembangunan infrastruktur penunjang pada sentra-sentra produksi kopi robusta di Merangin.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada waktu, lokasi serta fenomena yang melatarbelakangi penelitian ini. Fenomena dalam penelitian ini adalah banyaknya petani kopi robusta yang tidak mengikuti sertifikasi Indikasi Geografis padahal banyak keuntungan yang dapat diperoleh jika mengikuti sertifikasi. Metode tersebut belum digunakan oleh peneliti sebelumnya. Besarnya angka pendapatan dari dua pola kegiatan usaha tersebut akan menjadi pertimbangan bagi petani untuk kedepannya.

2.3 Kerangka Pemikiran

Kegiatan pengolahan pascapanen kopi robusta bertujuan untuk mendapatkan pendapatan yang tinggi dari penjualan hasil produksi. Untuk meningkatkan pendapatan, petani dibawah kelembagaan Mayarakat Perlindungan Indikasi Geografis meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan melalui standarisasi dan telah diakui dengan diberikannya sertifikat Indikasi Geografis. Semua anggota MPIG memiliki sertifikat Indikasi Geografis. Sesuai dengan tujuannya, Indikasi Geografis akan memberikan jaminan dari pemalsuan dan segala tindakan yang akan merugikan petani dan pelaku usaha kopi robusta selama mereka mampu untuk menjaga proses produksi yang dilakukan telah sesuai dengan standar operasional

(32)

24

yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini tentu akan membawa dampak yang positif, salah satunya adalah harga jual produk yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual petani konvensional.

Produksi yang dihasilkan dari petani anggota MPIG tentu berbeda dengan petani konvensional. Perbedaan jumlah produksi disebabkan oleh penerapan standar operasional Indikasi Geografis yang mengharuskan petani mengolah buah kopi menggunakan metode kering (natural process) dan metode basah (fullwash process dan honey process). Hal ini berbeda dengan petani kopi robusta bukan anggota MPIG yang hanya memproses buah dengan metode kering, yakni natural process. Proses ini dilakukan petani dikarenakan kapasitas olah kecil, mudah dilakukan dan peralatan yang dibutuhkan sederhana, sehingga petani bisa menghemat biaya yang dikeluarkan selama proses pengolahan.

Tujuan akhir yang diinginkan petani adalah adanya peningkatan pendapatan petani. Namun biaya yang diperlukan sebagai pemegang sertifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan pola petani biasa. Selain itu, jumlah produksi yang dihasilkan anggota MPIG justru lebih sedikit dibandingkan dengan pola petani konvensional.

Penerimaan petani didapatkan dari jumlah green bean yang diproduksi dikali dengan harga jual. Sementara pendapatan adalah selisih angka antara penerimaan dan biaya total. Dengan adanya perbedaan kegiatan dalam usaha pengolahan pascapanen kopi robusta, maka hasil yang didapatkan untuk masing-masing kegiatan akan berbeda. Perbedaan dalam angka produksi, biaya dan harga akan mengakibatkan angka penerimaan dan pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta anggota MPIG dan konvensional berbeda pula.

Kedua kondisi yang telah disebutkan tersebut diperlukan adanya analisis komparasi yang mengkaji perbedaan pendapatan antara kedua pola yang dilakukan oleh petani di mana petani yang menerapkan sertifikasi Indikasi Geografis dan petani konvensional. Untuk lebih jelasnya kerangka penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

(33)

Gambar 3. Kerangka pemikiran

2.4 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, landasan teori, serta kerangka pemikiran, maka hipotesis dari penelitian ini, yaitu diduga petani yang memperoleh sertifikat Indikasi Geografis memperoleh tingkat pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendapatan petani konvensional.

Pengolahan Pascapanen Kopi Robusta

Petani MPIG

Standar Operasional Prosedur Indikasi

Geografis

Pengolahan pasca panen : 1. Natural process 2. Fullwash process 3. Honey process

Petani konvensional

Pengolahan pasca panen : 1. Natural process

Produksi green bean Produksi green bean

Penerimaan

Harga Penerimaan Harga

Pendapatan

Biaya Pendapatan Biaya

Perbedaan Pendapatan Pengolahan Pascapanen Kopi Robusta

Uji T

(34)

26

III. METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Muara Madras Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) sesuai dengan keanggotaan MPIG. Kecamatan Jangkat dipilih karena meskipun mempunyai anggota MPIG yang lebih sedikit dibandingkan dua kecamatan lainnya (Jangkat Timur dan Lembah Masurai), namun kecamatan ini memiliki luas lahan dan produksi kopi robusta yang paling tinggi dibanding kecamatan lainnya. Desa Muara Madras sebagai desa terpilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa kegiatan Indikasi Geografis di desa tersebut adalah yang paling aktif, dibuktikan dengan jumlah petani perdesa terbanyak yang melaksanakan program, yakni sebesar 132 orang yang tergabung ke dalam 5 kelompok tani (Lampiran 5). Adapun yang menjadi objek pada penelitian ini adalah petani kopi robusta yang sudah tergabung dengan MPIG dan telah mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode survei dengan menggunakan kuesioner.

Ruang lingkup penelitian ini akan difokuskan untuk mengetahui besar pendapatan dari pengolahan pascapanen kopi robusta petani anggota MPIG dan petani konvensional di Desa Muara Madras Kecamatan Jangkat selama 1 tahun.

Penelitian ini dilakukan dari tanggal 14 Februari sampai tanggal 27 Februari tahun 2022. Data pendapatan yang diambil adalah pendapatan petani pada Februari 2021 sampai Januari 2022.

Adapun data yang diperlukan dalam menjawab tujuan 1 (satu) adalah sebagai berikut:

1. Profil daerah yang terdiri dari: kondisi geografis, keadaan penduduk, sarana prasarana dan kondisi umum pertanian.

2. Identitas petani sampel yang terdiri dari: nama, umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga dan pengalaman berusaha.

3. Tata cara dan tahapan proses pengolahan green bean secara natural, full wash dan honey process yang digunakan oleh petani.

(35)

Adapun data yang diperlukan dalam menjawab tujuan 2 (dua) dan 3 (tiga) adalah sebagai berikut:

1. Jumlah kopi beras (green bean) yang dihasilkan selama satu tahun proses pengolahan (kg/tahun).

2. Biaya sewa mesin basah (pulping) dan mesin kering (huller) yang dikeluarkan untuk melakukan proses pengolahan selama satu tahun (Rp/tahun).

3. Biaya upah tenaga kerja yang dikeluarkan untuk melakukan proses pengolahan selama satu tahun (Rp/tahun).

4. Biaya transportasi yang dikeluarkan untuk melakukan proses pengangkutan buah ceri maupun green bean selama satu tahun (Rp/tahun).

5. Biaya penyusutan alat yang dikeluarkan untuk melakukan proses pengolahan selama satu tahun (Rp/tahun).

6. Harga green bean yang diterima petani (Rp/kg).

7. Penerimaan dan pendapatan yang diterima petani kopi robusta selama satu tahun (Rp/tahun).

8. Data lainnya yang mendukung penelitian ini.

3.2 Sumber dan Metode Pengumpulan Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder.

3.2.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari petani melalui metode wawancara yang dipandu dengan daftar pertanyaan (kuesioner).

Metode pengumpulan data primer, yaitu dengan cara observasi dan wawancara.

Observasi, yaitu metode pengamatan dan peninjauan langsung ke perkebunan kopi robusta milik petani. Wawancara, yaitu metode dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan daftar pertanyaan (kuesioner) kepada petani kopi robusta.

3.2.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, literatur maupun data dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian ini. Metode pengumpulan data sekunder, yaitu dengan

(36)

28

menggunakan metode membaca dan mengutip berbagai literatur, laporan-laporan dari instansi pemerintahan yang terkait, serta hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

3.3 Metode Penarikan Sampel

Daerah yang menjadi tempat penelitian adalah Desa Muara Madras Kecamatan Jangkat. Penelitian ini menggunakan pengambilan sampel karena jumlah populasi petani yang cukup besar. Dari jumlah populasi tersebut dilakukan penentuan besarnya sampel yang dapat mewakili populasi. Metode penentuan sampel yang digunakan untuk menentukan jumlah petani sampel adalah sampel kuota (quota sample). Sampel kuota adalah teknik penentuan sampel dengan menentukan kuota atau jumlah dari sampel penelitian yang memenuhi persyaratan ciri-ciri populasi (Arikunto, 2014). Sampel yang ditetapkan adalah petani kopi robusta yang tergabung ke dalam MPIG. Secara rinci jumlah petani kopi robusta dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Daftar jumlah petani, luas lahan dan rata-rata produksi anggota MPIG kopi robusta di Kecamatan Jangkat tahun 2019.

Desa Jumlah petani

(orang)

Luas lahan (ha)

Rata-rata produksi (ton/tahun)

Muara Madras 132 228,70 498,57

Rantau Kermas 28 70,00 152,60

Pulau Tengah 42 87,70 191,19

Renah Alai 20 102,00 222,36

Renah Pelaan 8 8,00 17,44

Jumlah 230 496,40 1.082,15

Sumber: Dokumen Deskripsi Indikasi Geografis Kopi Robusta Sumatera Merangin (Data diolah).

Jumlah sampel yang ditetapkan adalah 60 orang responden, dari 60 petani sampel tersebut dianggap cukup untuk mewakili petani kopi robusta di Kecamatan Jangkat. Anggota-anggota sampel dibagi menjadi 30 orang petani responden yang terdaftar sebagai anggota MPIG dan 30 orang petani responden di luar keanggotaan MPIG. Terbatasnya waktu, tenaga dan biaya membuat peneliti menentukan sampel sebanyak 60 petani sampel, dari 60 petani sampel tersebut dianggap cukup mewakili petani kopi robusta di Kecamatan Jangkat. Metode pengambilan sampel

(37)

menggunakan snowball sampling. Sampel awal diperoleh dari rekomendasi sekretariatan kelembagaan MPIG di Desa Muara Madras, kemudian dari petani sampel tersebut direkomendasikan rekannya yang memiliki sifat dan ciri yang sama dengannya.

Alasan menggunakan teknik snowball sampling karena kurangnya informasi mengenai jumlah petani kopi robusta sesuai syarat dalam penentuan sampel penelitian. Snowball sampling merupakan teknik penentuan sampel yang mula- mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Pertama-tama dipilih satu sampel sesuai dengan syarat sampel, kemudian sampel terpilih memilih rekannya yang memiliki sifat dan ciri sama dengannya, sehingga jumlah sampel yang diperoleh akan semakin banyak seperti bola salju yang menggelinding (Sugiyono, 2019).

3.4 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data analisis kualitatif dilakukan untuk menjawab tujuan pertama. Analisis ini digunakan untuk mengetahui kondisi, situasi dalam penelitian yang berbentuk data dan informasi, untuk memberi gambaran umum dan karakteristik responden dalam penelitian ini. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga. Data diolah menggunakan alat berupa kalkulator dan program komputer (Microsoft Excel dan SPSS). Pengolahan dan analisis data untuk menjawab tujuan kedua dalam penelitian ini digunakan metode-metode berikut:

3.4.1 Analisis Biaya

Biaya usaha pengolahan kopi robusta merupakan penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel yang digunakan dalam usahatani kopi robusta selama satu tahun, dihitung dalam satuan rupiah. Untuk menghitung biaya usaha digunakan rumus berikut (Sukirno, 2016):

TC = TFC + TVC Dimana:

TC = Total Cost / total biaya usaha pengolahan kopi robusta (Rp/tahun).

TFC = Total Fixced Cost / biaya tetap total terdiri dari keseluruhan biaya alat- alat yang digunakan untuk usaha pengolahan kopi robusta (Rp/tahun).

TVC = Total Variabel Cost / biaya tidak tetap total terdiri dari keseluruhan biaya upah tenaga kerja, sewa alat pengolahan, dan sebagainya (Rp/tahun).

(38)

30

3.4.2 Analisis Penerimaan

Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 2016):

TR = Y x Py Dimana:

TR = Total Revenue / total penerimaan berasal dari penjualan green bean (Rp/tahun).

Y = Produksi green bean dalam satu tahun (kg/tahun).

Py = Harga jual green bean pada tahun 2020 (Rp/kg).

3.4.3 Analisis Pendapatan

Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 2016):

Pd = TR - TC Dimana:

Pd = Pendapatan usaha pengolahan kopi robusta (Rp/tahun).

TR = Total penerimaan usaha pengolahan kopi robusta (Rp/tahun).

TC = Total biaya usaha pengolahan kopi robusta (Rp/tahun).

3.4.4 Komparasi

Untuk mengetahui tingkat pendapatan yang diterima petani pada pengolahan pascapanen kopi robusta MPIG dan konvensional, maka dilakukan uji independent sample t-test. Terdapat dua macam uji t-test, yakni uji perbandingan satu variabel bebas yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan variabel yang dihipotesiskan dan uji perbandingan dua variabel bebas yang bertujuan untuk membandingkan apakah kedua variabel tersebut sama atau berbeda. Uji t-test dalam penelitian ini menggunakan uji perbandingan dua variabel bebas karena terdapat dua variabel yang akan dibandingkan, yakni petani kopi robusta MPIG dan petani konvensional.

Untuk menghitung apakah pendapatan pengolahan pascapanen kopi robusta berbeda nyata, maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan uji t pada taraf 5%.

H0 : X̅1= X̅2 H1 : X̅1 ≠ X̅2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan amanat Surat Edaran Direktur Jenderal Cipta Karya nomor: 40/SE/DC/2016 tentang Pedoman Umum Program Kota Tanpa Kumuh, Kota Malang telah membentuk kelompok

Responden adalah penerima pelayanan publik yang pada saat pencacahan sedang berada di lokasi unit pelayanan dan telah menerima pelayanan dari aparatur penyelenggara

[r]

Persentase Perubahan Tingkat Nyeri Sendi Tangan Setelah Dilakukan Masase Swedia pada Penderita Artritis di Puskesmas Sungai Besar Banjarbaru Perubahan Tingkat Nyeri

Kompresi citra merupakan aplikasi data yang dilakukan terhadap citra digital dengan tujuan untuk mengurangi redudansi dari data-data yang terdapat dalam citra sehingga dapat

Kerukunan antar umat beragama bukan berarti melebur agama- agama yang ada menjadi satu totalitas (sinkretisme agama), melainkan sebagai cara atau sarana untuk

Pada siklus II siswa terlihat lebih tenang dan memahami pembelajaran yang disampaikan guru. Siswa dapat mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru dengan baik dan tepat.

Seluruh  penerimaan  bahan  baku  kayu  PT.  Deka  Sari  Perkasa  didukung  dengan  dokumen  angkutan  hasil  hutan  yang  sah.  Hasil  uji  petik  stock  bahan