• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KORO BENGUK

Kacang koro benguk (Mucuna pruriens L.) termasuk dalam famili Fabaceae. Di Indonesia, budidaya kacang ini masih terbatas. Koro benguk dapat tumbuh di daerah yang kurang subur, kering, serta kondisi cuaca ekstrim (Rahardi 2008). Penanamannya banyak dilakukan di huma-huma atau di tanah tegal. Menurut Syam (2003) produktivitas koro benguk cukup tinggi mencapai 0.51 ton per hektar. Daerah penghasil koro benguk berpusat di Jawa, terutama yang memiliki daerah pertanian kering seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Koro benguk dalam jumlah yang lebih sedikit juga ditemukan di Jawa Barat dengan nama kacang kowas. Selain di pulau Jawa, koro benguk juga ditemukan di Sumatera khususnya di lahan-lahan perkebunan. Tanaman koro benguk digunakan sebagai land covering crops (LCC) yang berguna untuk rehabilitasi lahan. Namun sayangnya, bagian biji koro benguk belum dimanfaatkan secara khusus sebagai bahan pangan yang bernilai tambah.

Dari sisi morfologi, koro benguk tergolong tanaman semak yang merambat dengan panjang lebih dari 15 m. Tanaman ini memiliki bunga yang tersusun aksial. Bunga koro benguk berwarna putih, lavender atau ungu. Buahnya berupa polong yang dilindungi kulit berbulu. Rata-rata dalam setiap polong mengandung sekitar lima sampai tujuh biji. Polong berbentuk seragam elipsoid dengan panjang 1 sampai 1.9 cm, lebar 0.8-1.3 cm dan tebal 4-6.5 cm (Atun 2009). Koro benguk memiliki beberapa varietas yang dibedakan berdasarkan warna kulit bijinya yaitu putih, belang, dan hitam (Gambar 1).

Gambar 1. Koro benguk (Mucuna pruriens L.) Sumber gambar: www.tanijaya.com

Dari segi kandungan gizi, kacang koro benguk mempunyai nilai gizi yang tidak kalah tinggi dibandingkan dengan kacang-kacangan lain. Koro benguk mengandung karbohidrat dan protein yang cukup tinggi dengan kandungan lemak yang rendah. Di Indonesia, pengembangan kacang koro benguk sebagai bahan pangan yang bernilai tambah belum banyak dilakukan. Kalaupun ada, pemanfaatan koro benguk masih terbatas sebagai pakan ternak, bahan baku pembuatan tempe, dan tepung substitusi, meskipun belum banyak digunakan secara komersial. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kandungan zat gizi antara koro benguk segar utuh, kedelai, dan kacang hijau.

(2)

4

Tabel 1. Perbandingan komposisi zat gizi koro benguk, kedelai, dan kacang hijau

Sumber: aWanjecke E et al. (2010), bKumar S et al. (2010), cBlessing dan Gregory (2010)

Salah satu tantangan pemanfaatan kacang koro benguk adalah adanya toksin yang terkandung secara alami pada bijinya. Toksin tersebut adalah sianida. Sianida mencakup senyawa-senyawa yang mengandung ion sianida (CN-), di mana satu atom karbon berikatan rangkap tiga dengan nitrogen. Sianida umumya ditemukan berikatan dengan unsur lain membentuk suatu senyawa. Contoh senyawa sianida sederhana yang sering ditemukan antara lain hidrogen sianida (HCN), natrium sianida (NaCN), kalium sianida (KCN), kalsium sianida (Ca(CN)2) dan sianogen (suatu senyawa dalam bentuk NC-CN atau X-CN, di mana X adalah

suatu halogen).

Menurut WHO (2004) senyawa sianida terdapat pada bahan pangan sebagai bagian dari komponen gula (sianogenik glukosida) ataupun sebagai suatu senyawa yang terbentuk secara alami. Konsentrasi sianogenik glukosida pada tanaman dapat bervariasi, yang disebabkan oleh genetik dan faktor lingkungan seperti lokasi, musim, dan jenis tanah (JECFA 1993 diacu dalam WHO 2004). Hidrogen sianida dapat diproduksi melalui reaksi hidrolisis yang dikatalis oleh enzim endogenous pada tanaman yang mengandung senyawa sianogenik glukosida.

Sianida bersifat racun bagi manusia. Gejala khas keracunan sianida akut diantaranya

tachypnoea, sakit kepala, vertigo, koordinasi gerak menurun, denyut nadi melemah, cardiac arrhythmias, muntah, pingsan, dan koma. Gettler dan Braine (1938) diacu dalam WHO (2004)

memperkirakan bahwa kematian terjadi setelah menyerap rata-rata 1.4 mg hidrogen sianida/kg berat badan, di mana dosis terendah yang menyebabkan efek fatal sebesar 0.54 mg/kg berat badan. Konsumsi bahan pangan yang mengandung senyawa sianogenik glukosida dikaitkan dengan beberapa penyakit yang memengaruhi sistem saraf (WHO 2004).

Paparan sianida terhadap manusia melalui asupan makanan ditentukan dengan melihat konsumsi populasi terhadap singkong. Hal ini disebabkan singkong telah menjadi makanan pokok bagi 500 juta penduduk dunia. Namun, data konsentrasi sianida pada makanan secara keseluruhan tidak cukup sehingga asupan harian untuk sianida melalui bahan pangan tidak dapat ditentukan. Meskipun demikian, Codex (1989) telah menetapkan kadar hidrogen sianida pada tepung singkong tidak melebihi 10 mg/kg.

Kacang koro benguk segar mengandung sianida sebesar 17.72 mg/kg (Handajani et al. 2008). Proses pengolahan pendahuluan sering dilakukan untuk mengurangi kandungan sianida. Salah satu proses pengolahan untuk mengurangi kandungan sianida dalam bahan pangan yaitu dengan melakukan perendaman di dalam air. Sianida merupakan senyawa yang larut air sehingga pencucian ataupun perendaman bahan pangan sering dilakukan untuk mengurangi kadarnya. Handajani et al. (2008) melaporkan bahwa tidak hanya perlakuan perendaman, tetapi perlakuan pengukusan, perebusan, dan presto juga dapat menurunkan kadar sianida koro benguk segar.

Komponen (% bk) koro benguk utuh

a

kedelaib Kacang hijau utuhc Putih Hitam Belang

Protein 28.81 25.42 25.50 45.76 26.83

Karbohidrat 54.38 50.80 58.10 25.26 62.10

(3)

5

B. TEPUNG BERPROTEIN TINGGI

Protein merupakan polipeptida yang tersusun oleh lebih dari 100 buah asam amino yang berikatan satu sama lain melalui ikatan peptida dengan urutan yang khas. Damodaran (1996) menyatakan protein merupakan sumber gizi utama yaitu sebagai sumber delapan asam amino esensial yang diperlukan tubuh, yaitu lisin, triptofan, fenilalanin, metionin, treonin, leusin, isoleusin, dan valin. Di samping memberikan nilai gizi, protein juga memberikan sifat fungsional yang penting dalam membentuk karakteristik produk pangan. Sifat fungsional ini berperan penting dalam pengolahan pangan, penyimpanan, dan penyajian yang memengaruhi karakteristik yang diinginkan, mutu makanan, dan penerimaannya oleh konsumen (seperti penampakan, warna, tekstur, dan cita rasa). Protein memerlukan pemekatan atau pemurnian untuk memperoleh sifat fungsional agar memberikan kinerja yang optimal, sehingga munculah proses pemekatan protein yang menghasilkan tepung berprotein tinggi.

Pada dasarnya pembuatan tepung berprotein tinggi dari koro-koroan sama dengan pembuatan tepung berprotein tinggi dari beras, yaitu dengan memanfaatkan enzim α-amilase untuk memecah sebagian komponen pati (Hansen et al. 1989). Dengan bantuan enzim tersebut, pati dalam tepung koro akan dipecah acak menjadi dekstrin dan maltosa, sedangkan protein akan terkonsentrasi pada bagian yang tidak terurai oleh enzim. Suatu produk, baik tepung atau produk olahan lainnya, dapat diklaim berprotein tinggi apabila kandungan proteinnya lebih tinggi 25% dari produk acuannya (BPOM 2011). Menurut Zayas (1997), tepung berprotein tinggi termasuk dalam pekatan protein dengan konsentrasi kurang dari 60%, sedangkan produk pekatan protein lain seperti konsentrat dan isolat protein memiliki konsentrasi berturut-turut 60-70% (bk) dan lebih dari 90% (bk).

C. SIFAT FISIK DAN KIMIA TEPUNG BERPROTEIN TINGGI

1. Densitas kamba (Bulk Density)

Densitas kamba adalah sifat penting tepung-tepungan karena sangat berperan pada transportasi, penyimpanan, dan pengemasan. Pengetahuan tentang karakteristik kamba suatu bahan sangat penting. Ketika sejumlah padatan dituang ke dalam container, total volume yang ditempati mengandung sejumlah substansi udara (Lewis 1996).

Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh bahan yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian dari berat bahan dan volume wadah. Porositas merupakan bagian yang tidak ditempati oleh partikel atau bahan padatan.

Bubuk digolongkan dalam dua tingkat, yaitu bubuk sebagai partikel dan bubuk sebagai suatu kesatuan (kamba). Sifat-sifat kamba dipengaruhi oleh sifat-sifat partikel, dimana hubungan keduanya tidak sederhana dan meliputi faktor-faktor eksternal, seperti sistem geometris, proses mekanis dan proses panas dari bubuk, sehingga untuk menentukan sifat-sifat bubuk dari partikel agak sulit (Wirakartakusumah et al. 1992).

Menurut Winata (2001) densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, sifat bahan, komposisi bahan, dan mungkin pula dipengaruhi oleh degradasi molekul-molekul dalam bahan, akibat adanya proses pengolahan. Jadi kenaikan densitas kamba disebabkan adanya degradasi molekul-molekul pati, protein, lemak, dan lain-lain saat diberi perlakuan pemasakan awal, sehingga molekul-molekul tersebut menempati ruang yang lebih sempit.

(4)

6

2. Derajat warna dan derajat putih

Warna diukur secara umum menggunakan Cromameter Minolta dan dinyatakan sebagai nilai L, a, b. Nilai L adalah ukuran sejumlah cahaya yang direfleksikan atau ditransmisikan oleh obyek (0=hitam, 100=putih). Nilai a adalah ukuran warna merah ketika positif dan hijau ketika negatif. Nilai b adalah warna kuning ketika positif dan biru ketika negatif. Sedangkan derajat putih adalah atribut untuk menduga obyek mendekati warna referensi yang lebih putih (Waggle et al. 1989).

Menurut Waggle et al. (1989) pada konsentrasi tetap, nilai L meningkat dengan penurunan kelarutan protein karena peningkatan kecerahan dipengaruhi oleh protein yang tidak larut. Jika ada dua sampel yang memiliki nilai b setara, sampel yang kurang larut akan tampak putih.

3. Aktivitas air (a

w

)

Kerusakan yang terjadi pada bahan pangan pada umumnya merupakan kerusakan kimiawi, enzimatik, mikrobiologis, atau kombinasi antar ketiga macam kerusakan tersebut. Semua jenis kerusakan ini memerlukan air selama prosesnya. Oleh karena itu, banyaknya air dalam bahan pangan ikut menentukan kecepatan terjadinya kerusakan.

Menurut Fennema (1996) air terikat dapat dibagi ke dalam empat tipe berdasarkan derajat keterikatan airnya. Tipe 1 adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen berenergi besar. Tipe II yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan-ikatan hidrogen dengan molekul air lain yang terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya berbeda dari air murni. Tipe III air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni yang memiliki sifat-sifat air seperti biasa dengan keaktifan penuh.

Aktivitas air (aw) adalah sejumlah air bebas di dalam media pertumbuhannya dan bahan

pangan yang dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air larutan dan tekanan uap air murni. Aktivitas air juga dapat diartikan sebagai sejumlah air bebas di dalam bahan pangan yang pada kondisi tertentu mikroba dapat tumbuh dan memungkinkan bahan pangan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi (Fardiaz et al. 1992).

Dengan meningkatnya aktivitas air, air menjadi lebih tersedia sebagai pelarut dan medium untuk reaksi, kecepatan enzimatik, dan degradasi mikrobiologi juga meningkat. Rata-rata batas terendah aktivitas air untuk pertumbuhan mikroba adalah >0.90 (bakteri), 0.80-0.90 (khamir), dan 0.60-0.70 (kapang) (Fennema 1996). Meningkatnya ketersediaan air juga mempercepat pencoklatan enzimatik dan berkurangnya nilai gizi (Pomeranz 1991).

D. SIFAT FUNGSIONAL TEPUNG BERPROTEIN TINGGI

1. Daya serap air

Daya serap air suatu protein didefinisikan sebagai kemampuan untuk menahan air melawan perlakuan gravitasi dan fisikokimia. Air berinteraksi dengan protein dalam beberapa cara. Interaksi antara molekul air dan gugus hidrofilik pada rantai protein terjadi melalui ikatan hidrogen. Pengikatan air dengan protein dipengaruhi oleh gugus hidrofilik polar seperti imino, amino, karboksil, hidroksil, karbonil, dan sulfihidril. Kapasitas protein untuk menahan

(5)

7

air dipengaruhi oleh jenis dan jumlah dari gugus polar pada rantai polipeptida protein (Zayas 1997).

Asam amino diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya untuk mengikat air yaitu : 1) Asam amino polar dengan daya pengikatan air paling tinggi, 2) asam amino yang tidak mengion, mengikat sejumlah air dalam jumlah yang medium. 3) asam amino hidrofobik yang hanya dapat mengikat sedikit air atau tidak sama sekali. Gugus asam amino polar pada molekul protein adalah sisi utama dalam interaksi protein-air (Zayas 1997).

Pengikatan air dapat disebabkan oleh kemampuan matriks protein untuk mengembang dan menyerap air tanpa pelarut. Viskositas tinggi dihasilkan dari protein yang larut atau mengembang dan pembentukan gel selama persiapan sampel (Waggle et al. 1989). Penyerapan air oleh beberapa jenis protein dapat mengakibatkan pembengkakan. Pembengkakan mencerminkan pengambilan air oleh jaringan protein sambil melonggarkan jaringan polipeptida. Tingkat pembengkakan dipengaruhi oleh gaya-gaya antar molekul, ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik antara polipeptida yang berdekatan, dan fasilitas tertentu yang dengannya air akan memberikan gangguan dan menggantikan ikatan protein-protein dengan protein-protein-air (Muchtadi 1991).

2. Daya serap minyak

Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat tambahan lain, suhu, dan derajat denaturasi protein. Partikel yang berukuran kecil mampu menyerap minyak 65-130% dari berat keringnya, lebih banyak jika dibandingkan dengan partikel yang berukuran besar. Denaturasi protein dapat meningkatkan kemampuan protein untuk mengikat lemak dikarenakan terbukanya struktur protein memaparkan asam amino yang bersifat non-polar.

Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi protein-lipid. Ikatan yang ikut berperan dalam interaksi protein-lipid adalah ikatan hidrofobik elektrostatik, ikatan hidrogen, dan ikatan non-kovalen. Ikatan hidrofobik penting dalam stabilitas kompleks protein-lipid. Interaksi antara protein dan anion asam lemak dapat mengubah struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul (Zayas 1997).

Protein hidrofobik efektif pada tegangan permukaan yang lebih rendah dan mengikat lebih banyak materi lipofilik seperti lipid, emulsifier, dan materi flavor. Kapasitas protein untuk mengikat lemak sangat penting dalam produksi meat extender atau replacer, dimana penyerapan lemak oleh protein meningkatkan retensi flavor dan meningkatkan mouthfeel. Lemak diserap terutama melalui pemerangkapan secara fisik. Penyerapan lemak dapat ditingkatkan jika protein dimodifikasi secara kimia untuk meningkatkan densitas kambanya (Pomeranz 1991).

3. Daya emulsi

Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi (Muchtadi 1991).

(6)

8

Daya emulsi merupakan kemampuan protein untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi. Kemampuan ini disebut kemampuan protein sebagai emulsifier. Menurut Subarna et al. (1990) daya emulsi ini dipengaruhi oleh konsentrasi protein, kecepatan pencampuran, jenis protein, jenis lemak, dan sistem emulsi. Daya kerja emulsifier disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat, baik pada minyak (non-polar) maupun air (polar).

Emulsifier mengandung dua gugus, yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Di dalam molekul emulsifier, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polar lebih dominan, maka molekul emulsifier tersebut akan diadopsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu. Demikian juga sebaliknya jika gugus non-polar lebih dominan, maka molekul emulsifier akan lebih kuat diikat oleh minyak dibandingkan dengan air (Muchtadi 1991).

Apabia emulsifier tersebut lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w). Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalam minyak (non-polar) terjadilah emulsi air dalam minyak (w/o). Contohnya adalah mentega dan margarin (Winarno 2002).

4. Daya busa

Busa merupakan struktur terdispersi dimana cairan koloid seperti larutan protein bertindak sebagai medium pendispersi dan gas sebagai fase terdispersi. Mekanisme pembentukan busa diawali dengan terbukanya ikatan dalam molekul protein sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Kemudian udara masuk di antara molekul protein yang terbuka dan bertahan sehingga volume protein mengembang (Cherry dan Watters 1980). Busa pangan umumnya sangat kompleks, termasuk campuran dari gas-gas, cairan-cairan, padatan-padatan, dan surfaktan-surfaktan. Protein berkontribusi pada distribusi merata dari sel-sel udara dalam struktur pangan. Menurut Elizalde et al. (1991) kapasitas pembusaan sangat kritis dalam aplikasi pangan. Protein dari sumber berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam menstabilkan busa karena perbedaan dalam komposisi, konformasi, fleksibilitas molekuler, dan sifat-sifat fisikokimianya.

Kemampuan membentuk busa dipengaruhi oleh sumber protein alami, metode, dan suhu selama proses. Kemampuan pembusaan meningkat jika konsentrasi protein meningkat dikarenakan meningkatnya ketebalan lapisan film pada interfasial. Foam inhibitor adalah bahan yang tidak larut air dan dapat mengganggu film protein di gelembung-gelembung udara. Zat yang termasuk foam inhibitor adalah lemak dengan aktivitas permukaan yang tinggi. Lemak melemahkan interaksi protein-protein dengan mengganggu permukaan hidrofobik (Zayas 1997).

Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan dan stabilitas busa protein meliputi kelarutan, laju difusi ke arah permukaan, dan penyerapan. Faktor-faktor tersebut bergantung pada sifat-sifat hidrofobik, orientasi, dan asosiasi polipeptida, viskoelastisitas, kesetimbangan agregasi-konjugasi, muatan permukaan, dan hidrasi (Pomeranz 1991).

Pembentukan dan stabilitas busa juga dipengaruhi oleh pH, suhu, garam, gula, lemak, dan sumber protein. Volume dan stabilitas busa bertambah dengan meningkatnya konsentrasi protein. Busa yang terbentuk pada konsentrasi tinggi bersifat padat dan stabil karena lapisan

(7)

9

permukaan lebih tebal (Kinsella dan Damodaran 1981). Film-film dengan viskositas permukaan yang tinggi membentuk busa yang kuat sebagai hasil dari gaya kohesif antar molekul-molekul protein. Stabilitas busa mencapai maksimal saat elastisitas permukaan juga maksimal. Sifat daya busa dapat diaplikasikan pada pembuatan whipped toppings, chiffon

dessert, dan minuman.

5. Daya gelasi

Gelasi merupakan salah satu sifat protein yang berkaitan dengan penarikan air dari lingkungan oleh molekul-molekul protein. Sifat gelasi berfungsi untuk pembentukan dan pengendapan matriks protein. Gelasi protein adalah sifat yang kompleks dan sulit diinterpretasikan karena membutuhkan kondisi tertentu yang sangat ekstrim untuk pembentukan gel. Faktor-faktor yang memengaruhi gelasi adalah kekuatan gel, pelekatan antara agregat protein, pelekatan dengan zat lain, dan elastisitas (Widowati et al. 1998). Kemampuan gelasi dari protein-protein dipengaruhi juga oleh konsentrasi protein, komposisi asam amino, berat molekul, dan hidrofobisitas protein-protein.

Gel dapat terbentuk karena pemanasan dan penambahan kapur. Mekanisme pembentukan gel karena pemanasan terjadi pada dua tahap, yaitu tahap asosiasi dan agregasi yang mengakibatkan terbentuknya formasi gel di bawah kondisi yang sesuai. Suhu gelasi bergantung pada karakter protein di dalam sistem. Waktu dan suhu pemanasan untuk terbentuknya gel umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi protein. Peningkatan suhu juga akan meningkatkan kekeruhan gel (Schmidt 1981). Pembentukan gel protein merupakan hasil dari interaksi-interaksi intermolekuler yang menghasilkan jaringan tiga dimensi serat-serat protein. Dalam sebuah gel, cairan mencegah matriks tiga dimensi dari

collapsing (melipat), dan matriks mencegah cairan keluar. Gel-gel dibentuk saat

protein-protein membuka sebagian, mengembangkan segmen-segmen polipeptida terurai yang berinteraksi pada titik-titik spesifik untuk membentuk jaringan ikatan silang tiga dimensi.

Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik, gaya-gaya van der walls, dan ikatan disulfida kovalen. Gel dengan kekuatan dan stabilitas tinggi dapat dibentuk dari ikatan silang yang memberi fluiditas, elastisitas, dan perilaku aliran dari gel-gel (Zayas 1997). Interaksi molekuler dimungkinkan pada konsentrasi protein yang meningkat, menghasilkan gel-gel lebih kuat, seiring dengan banyaknya air yang diikat ke molekul protein. Matriks gel dibentuk sebagai hasil dari asosiasi terdenaturasi dengan pembentukan agregat-agregat.

Gel bervariasi dalam sifat misalnya kekerasan dan kelekatan. Sifat unik dari gel adalah perilaku seperti bahan padat, namun sekaligus memiliki ciri-ciri cairan. Sifat-sifat protein untuk membentuk gel dan menahan jumlah tertentu dari gula, flavor, dan bahan baku pangan lainnya dalam matriks tiga dimensi dipakai secara luas dalam pengolahan pangan dan pengembangan makanan baru.

E. DAYA CERNA PROTEIN

Daya cerna protein merupakan proporsi protein pada bahan pangan yang diserap. Daya cerna menunjukkan efektivitas suatu protein dicerna hingga menghasilkan asam-asam amino, lalu diserap oleh usus halus. Daya cerna protein dapat diukur, baik secara in vivo maupun in vitro. Pengukuran daya cerna secara in vivo digolongkan menjadi dua, yaitu daya cerna semu (apparent

(8)

10

Suhu (°C) A kti vit as r elati f (% ) pH L aju re aks i

digestibility) dan daya cerna sejati (true digestibility). Daya cerna sejati memperhitungkan

nitrogen metabolik, sedangkan daya cerna semu mengasumsikan nitrogen yang terbuang seluruhnya berasal dari makanan (WHO 2007). Sementara itu, pengukuran daya cerna protein in

vitro dapat dilakukan dengan menggunakan multienzim pankreatik protease yang kondisi

reaksinya disesuaikan dengan kondisi fisiologis. Pengukuran daya cerna protein in vitro relatif lebih cepat dan hasilnya merupakan persen relatif terhadap kasein standar.

F. LIQUOZYME SUPRA (

α

-AMILASE)

Liquozyme supra adalah suatu cairan dari α-amilase yang sangat termostabil (EC 3.2.1.1)

yang digunakan untuk likuifikasi pati. Enzim α-amilase diproduksi oleh Bacillus licheniformis.

Liquozyme supra mempunyai keuntungan unik untuk operasi pada pH rendah. Liquozyme supra

adalah suatu cairan berwarna coklat dengan kepadatan sekitar 1.25 g/mL dan umumnya memiliki penurunan aktivitas 90 KNU (T)/g dan 45 KNU (S)/g (Novozyme 2001).

Liquozyme supra mematuhi FAO/WHO IECEA dan direkomendasikan oleh ECC. Enzim

ini telah dikembangkan untuk likuifikasi yang beroperasi pada temperatur 90-110 °C (221-230 °F). Liquozyme supra dapat beroperasi pada pH 5.1-5.6 dan dengan waktu proses 60-180 menit. Aplikasi penggunaan yang direkomendasikan adalah dengan dosis 0.25-0.65 kg per ton pati pada pH 5.3 pada bubur pati. Kondisi-kondisi penyimpanan yang direkomendasikan adalah 0-2 °C (32-77 °F) di tempat yang tidak rusak dan terlindungi dari matahari. Bagaimanapun, enzim secara berangsur-angsur dapat hilang aktivitasnya dari waktu ke waktu. Penyimpanan dengan kondisi kurang baik, seperti temperatur lebih tinggi, akan mendorong ke arah suatu kebutuhan dosis lebih tinggi (Novozyme 2001). Menurut Naz (2002) Enzim ini memiliki aktivitas terbaik pada rentang suhu 90-105 °C dan pH 5-6. Gambar 2 menunjukkan kondisi pengaruh lingkungan (suhu, pH) terhadap aktivitas enzim.

(a) (b)

Gambar 2. (a) Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim α-amilase dari Bacillus licheniformis (b) Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim α-amilase dari Bacillus licheniformis

Mekanisme kerja α-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat

100

(9)

11

cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat pula. Tahap kedua adalah terjadinya pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir secara spesifik. Pada tahap ini pembentukan relatif sangat lambat. Keduanya merupakan kerja enzim α-amilase pada molekul amilosa saja. Sedangkan pada molekul amilopektin, kerja α-amilase akan menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jenis α limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu gula yang semuanya mengandung ikatan a-(1,6) (Winarno 2002).

G. HIDROLISIS PATI SECARA ENZIMATIS

Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dan substansinya. Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa, dan glukosa (Rindit et al. 1998 dalam Purba 2009). Proses hidrolisis pati menurut Kearsley (1995) pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C6H10O5)n menjadi unit-unit dekstrosa

(C6H12O6) dengan menggunakan air.

Pemutusan rantai polimer pati dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, asam, ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara asam dalam hal pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutuskan rantai secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutuskan rantai polimer pati secara spesifik pada percabangan tertentu (Norman 1981).

Proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu enzim, ukuran partikel, temperatur, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan pengadukan (Purba 2009). Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih spesifik prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai yang diinginkan. Kondisi prosesnya dapat dikontrol dan produk sampingnya lebih sedikit serta tahap pemurnian (menghilangkan abu) dan pembentukan warna dapat ditekan sedikit mungkin (Jariyah 2002).

Menurut Palmer (1991) reaksi hidrolisis dengan menggunakan enzim memiliki persamaan reaksi :

A-X + H2O X-OH+ HA

Sedangkan hidrolisis secara asam lebih mudah dilaksanakan dan lebih murah biayanya namun memiliki kekurangan dibandingkan hidrolisis enzimatis yaitu timbulnya warna dan rasa yang tidak diinginkan sehingga dapat menurunkan mutu produk (Chaplin dan Buckle 1990).

H. LIKUIFIKASI

Likuifikasi merupakan proses pencairan gel pati yang memiliki viskositas tinggi ke viskositas yang lebih rendah dengan menghidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dari oligosakarida atau dektrin dengan menggunakan enzim α-amilase. Dalam proses tersebut granula pati yang semula tidak larut dipanaskan sampai mengembang dan rusak sehingga dapat tersebar ke dalam larutan dan proses tersebut dikatakan baik bila viskositas larutan yang dihasilkan makin kecil (Misset 2003).

(10)

12

Menurut Alan dalam Schenck (1992) likuifikasi terbaik digambarkan sebagai kombinasi dua proses sebagai berikut.

1. Gelatinisasi (mencakup hidrasi) pada polimer pati untuk memastikan keadaan padat masuk ke serangan hidrolisis.

2. Dekstrinisasi sampai batas tertentu untuk mencegah retrogradasi pada proses lebih lanjut. Aktivitas enzim α-amilase menentukan cepat lambatnya proses likuifikasi dimana enzim α-amilase akan aktif terhadap substrat yang berbentuk gel. Hal ini ditunjukkan pada proses likuifikasi yang dilakukan tanpa gelatinisasi terlebih dahulu memerlukan waktu beberapa jam, tetapi pada likuifikasi yang dilakukan pada pati yang digelatinisasi terlebih dahulu ternyata hanya memerlukan waktu beberapa menit sesuai dengan konsentrasi enzim yang digunakan (Whitaker 1996).

Biasanya dalam tahap likuifikasi pati, hidrolisis dilakukan sampai mencapai Dextrose

Equivalent (DE) 15-20% atau sampai larutan berwarna merah kecoklatan bila direaksikan dengan

iodin. Suhu likuifikasi yang terlampau tinggi akan merusak enzim, namun bila terlalu rendah akan mengakibatkan gelatinisasi tidak sempurna (Muchtadi et al. 1992). Beberapa faktor yang mempengaruhi proses likuifikasi yaitu konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pengaturan suhu, pengaturan pH, dan lama likuifikasi (Jariyah 2002).

Gambar

Tabel 1. Perbandingan komposisi zat gizi koro benguk, kedelai, dan kacang hijau
Gambar 2. (a) Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim α-amilase dari Bacillus licheniformis                     (b) Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim α-amilase dari Bacillus licheniformis

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan panduan Global initiative for chronic obstructive lung disease (2015) penderita PPOK yang memerlukan perawatan di RS adalah penderita PPOK dengan

Secara singkat, masalah-masalah yang sering muncul sehubungan dengan perkembangan remaja pada aspek kognitif adalah bersikap negatif terhadap guru mata pelajaran,

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis peroleh di lapangan, terdapat dua dampak positif dan satu dampak negatif yang ditimbulkan dari perkawinan endogami ( Siala

Uydurduklarý Ýngilizce’de ‘ý’ harfini kullanmadýklarý için siyonist bilgeler bu ‘sýn’ sözcüðünü ‘sin (antik Ýbranice’de ‘þin’dir)’ olarak yazmýþ ve

kreativitas, menciptakan kondisi yang menyenangkan, menantang dan kontekstual; (3) penilaian berbasis kelas yang bersifat internal sebagai bagian dari proses

SKRIPSI ANALISIS DAMPAK PELAKSANAAN COMMON EFFECTIVE ....

Dalam buku metode penelitian komunikasi , menegaskan bahwa analisis isi ini digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi yang akan disampaikan.dalam