1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga memiliki peran yang penting dalam membangunkan kesejahteraan, pengasuhan, dan pendidikan dasar bagi setiap anggotanya (Fahrudin, 2005). Pada semua budaya masyarakat, tanggung jawab penjagaan, perawatan, dan pengasuhan anak dibebankan kepada institusi keluarga (Nock, 1992). Namun sejalan dengan perubahan zaman, keluarga bukan lagi satu-satunya institusi yang aman dalam memberikan perlindungan dan sosialisasi kepada anggotanya (Fahrudin, 2012). Salah satu permasalahan yang terjadi dalam keluarga yang bersifat traumatis dan sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis anak adalah perceraian orang tua. Perceraian sendiri dapat terjadi karena tuntutan atau beban hidup yang semakin berat dan gaya hidup yang salah sehingga tidak sedikit pasangan di Indonesia yang merasa keluarganya sudah tidak harmonis dan memilih untuk mengakhiri rumah tangganya. Hal tersebut dibuktikan dari tingginya angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun yang ditunjukkan dari tabel berikut.
Tabel 1.
Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk di Indonesia Tahun 2012-2014 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Nikah 2.289.648 2.210.046 2.110.776 Talak dan Cerai 346.480 324.247 344.237
Rujuk 11 4 63
Sumber: Badan Pusat Statistik (bps.go.id)
Angka talak dan cerai di Indonesia yang lebih dari 340.000 per tahun itu merupakan
angka yang sangat fantastis. Hal itu dapat diartikan bahwa di Indonesia, terjadi hampir 40
kasus perceraian setiap jamnya. Perceraian yang terjadi pada sebuah keluarga tentunya
mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan dalam keluarga tersebut. Ketidakseimbangan
keluarga pasca orang tua bercerai seperti terjadinya ketidakstabilan ekonomi keluarga akan berdampak kurang baik terutama bagi anak, hingga tak jarang juga menyebabkan terjadinya penelantaran terhadap anak. Namun pada saat ini, penyebab kasus penelantaran anak rupanya mulai bergeser, sehingga sudah tidak lagi karena alasan ekonomi.
Penelantaran anak tersebut dapat berakar dari banyaknya orang tua yang memiliki gaya hidup tidak baik dan pemahaman yang salah dalam memandang anak. Menurut Erlinda, Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (2015, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/626723-kpai-ungkap-penyebab-orangtua-tega- siksa-anak), banyak orang tua yang menganggap anak sebagai benda dimana anak tidak punya hak karena semua kendali ada pada orang tua. Konsep yang salah tersebut mengakibatkan para orang tua salah dalam mendidik dan berelasi dengan anak. Ia juga menuturkan lebih lanjut bahwa faktor yang cukup dominan yang mengakibatkan terjadinya kekerasan atau penelantaran anak adalah gaya hidup orang tua, misalnya life style dari orang tua yang berada di bawah pengaruh narkoba dan minuman keras. Salah satu contoh kasus kekerasan dan penelantaran anak yang cukup mencuri perhatian publik adalah kasus penelantaran lima anak oleh orang tuanya di rumahnya di Perumahan Citra Grand Cibubur, Bekasi, Jawa Barat pada Mei 2015. Penelantaran tersebut diduga dilakukan oleh orang
tuanya karena berada di bawah pengaruh narkoba
(http://nasional.news.viva.co.id/news/read/626723-kpai-ungkap-penyebab-orangtua-tega- siksa-anak).
Banyaknya kasus penelantaran anak memang menjadi perhatian serius pemerintah.
Untuk mengatasi dampak permasalahan ketidakseimbangan dalam keluarga bagi anak,
pada masa sekarang ini pengasuhan anak dan masalah-masalah perlindungan anak lebih
banyak diserahkan ke lembaga atau panti sosial. Anak lebih banyak dicabut dari
lingkungan keluarga, atau dengan kata lain anak lebih banyak dititipkan di lembaga sosial
anak. KPAI menyatakan kasus penelantaran anak memang sangat dilematis. Di satu sisi mereka tidak ingin memisahkan kedua orang tua dengan anak-anak mereka, namun, di sisi lain, mereka ingin melindungi hak dasar anak. Menurut KPAI, penelantaran bisa berpotensi menyebabkan anak-anak terganggu fungsi sosial dan psikisnya, serta akan membentuk konsep diri yang tidak baik untuk anak-anak di masa yang akan datang (Azizah & Nugraha, 2015).
Anak penerima Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) di Indonesia mayoritas berusia remaja. Hal tersebut ditunjukkan dengan data mengenai usia dan gender anak PKSA sebagai berikut:
Sumber: Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak Kemensos RI 2015 (Suharto, 2015) Grafik Usia dan Gender Anak PKSA Tahun 2014
Grafik di atas menunjukkan bahwa pengguna manfaat dari panti asuhan berawal dari masa kanak-kanak hingga dewasa awal. Hasil asesmen awal di salah satu panti asuhan di Sleman juga menunjukkan bahwa panti asuhan dapat mengasuh dari usia kanak-kanak awal hingga dewasa awal (lulus S1), namun kebanyakan adalah usia remaja.
Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak di bidang sosial untuk membantu anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), panti asuhan merupakan sebuah tempat untuk merawat dan memelihara anak-anak
0% 20% 40% 60% 80%
< 5 Tahun 6-18 Tahun
> 18 Tahun