• Tidak ada hasil yang ditemukan

100 Lebih Pemahaman Kaum Muslimin Perlu di Reformasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "100 Lebih Pemahaman Kaum Muslimin Perlu di Reformasi"

Copied!
251
0
0

Teks penuh

(1)

100 LEBIH PEMAHAMAN KAUM MUSLIMIN PERLU DIREFORMASI

(sebagai) PENGANTAR

UNTUK MEMAHAMI DAN MENAFSIRKAN ALQURAN MUQODDIMAH

Berpegang Teguh pada Tradisi Nenek-Moyang yang Keliru

Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Hendaklah kamu mengikuti pada apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah/Alquran,” mereka mengatakan, “(Kami tidak akan mengikutinya), bahkan kami akan mengikuti pada apa-apa yang telah kami terima/kami warisi dari nenek-moyang kami.” Apakah seterusnya (mereka akan mengikuti juga)

seandainya nenek-moyang mereka tidak menggunakan akal/tidak bersikap rasional dan tidak pula mereka orang-orang yang mendapat

petunjuk? (surat 2 ayat 170).

Berpegang teguh pada tradisi nenek-moyang yang keliru, baik berbentuk tradisi upacara keagamaan yang tanpa dasar ilmu, ataupun berbentuk tradisi pemikiran dan pemahaman keagamaan yang didasarkan pada berbagai ilmu yang ada dalam berbagai kitab itu adalah “sesuatu sikap dan tindakan yang amat-amat keliru dan tercela di dalam Islam”. Karena di dalam prinsip ajaran Islam, apabila kita hendak mengikuti, ataupun menolak sesuatu paham atau tindakan, maka kita diwajibkan mendasarkannya atas sesuatu ilmu, yang tentunya ilmu yang benar menurut ketentuan Allah yang ada dalam Alquran (surat 17 ayat 36). Oleh karena itu, dalam Islam ada “dua prinsip dasar” yang harus dijalankan oleh siapa pun dan kelompok mana pun.

Prinsip dasar yang pertama: apabila kita menganggap atau meyakini bahwa paham dan tindakan yang ada di kelompok kita itu sesuatu yang benar, maka kita punya hak dengan suatu hak yang sangat asasi, yaitu kita bebas untuk menyampaikan paham dan tindakan yang kita anggap benar itu dengan cara yang bijaksana kepada pihak lain. Dan kita akan merugi apabila kita tidak menyampaikannya (surat 103 ayat 1-3).

(2)

Prinsip dasar yang kedua: kita harus mau mendengarkan pendapat atau kritikan dan nasihat dari pihak lain, kemudian dari sekian banyak pendapat, kritikan, dan nasihat yang sampai kepada kita itu, kita wajib menyaringnya dengan seadil-adilnya, kemudian setelahnya itu kita menyimpulkan mana-mana dari sekian banyak pendapat, kritikan, dan nasihat itu yang lebih benar dan lebih indah, yang lantas kita mengikutinya (surat 39 ayat 17-18), karena hanya dengan jalan ini seseorang akan mendapatkan petunjuk dari Allah dalam berbagai hal/ , dan seseorang tersebut baru bisa dinamai orang yang

berakal sehat/ .

Prinsip dasar yang kedua tersebut wajib dilakukan, karena hanya dengan perantaraannya, apa-apa yang kita anggap benar itu akan dapat teruji dan terkoreksi. Dan jika apa-apa yang kita anggap benar itu memang “sesuatu kebenaran/ ,” maka dia pun akan tetap tegar dan bertahan walaupun dihantam oleh berbagai sanggahan dan kritikan, karena barang yang benar/ itu apabila bertemu dengan barang yang batil dan berproses di dalam kepala, pikiran, dan hati seseorang, maka barang yang benar itu akan dapat mengalahkannya (surat 17 ayat 81 dan surat 21 ayat 18).

Di dalam berbagai kejadian, berapa banyak kita telah menyaksikan: seseorang memperjuangkan keyakinannya dengan semangat yang menggebu-gebu dengan mengorbankan harta dan nyawanya, karena dia berkeyakinan bahwa yang diperjuangkannya itu adalah “sesuatu kebenaran” dan imbalannya adalah “mati syahid dan surga.” Padahal belum tentu apa yang diperjuangkannya itu adalah “sesuatu kebenaran.” Dan untuk menentukan sesuatu yang diperjuangkannya itu benar/hak atau batil, maka seseorang diwajibkan mengemukakan berbagai alasan agama yang didasarkan pada Alquran dan pada perilaku Rasulullah saw. sebagai pembawa dan pengamal Alquran, dan sesudah itu dia berkewajiban mendengarkan saran dan kritikan dari pihak lain yang mengatakan bahwa yang diperjuangkan dengan cara-caranya itu bukanlah “sesuatu kebenaran,” yang tentunya pihak lain tersebut juga berkewajiban mengemukakan berbagai alasan agama yang didasarkan pada dua hal/pegangan tersebut di atas. Dari dua belah pihak tersebut, berkewajiban saling bermusyawarah, bertukar pikiran, saling mendengar, saling menghargai, saling memahami alasan masing-masing dengan tepat, saling mengenyampingkan berbagai kepentingan tertentu, saling tidak fanatik buta terhadap pahamnya sendiri alias harus merdeka, tidak ada kebencian, dan semuannya itu dijalankan atas dasar “Isim Allah” yakni “Kasih Sayang,” dan lain-lain. Dan sesudah itu semua, baru berlaku ayat “kebenaran/al-hak apabila bertemu/bertanding dengan kebatilan dan berproses di kepala, pikiran, dan hati seseorang, maka kebenaran itu akan dapat mengalahkannya, dan akhirnya barang yang batil yang selama itu diyakini sebagai “suatu kebenaran” akan permisi keluar. Hal ini baru bisa terjadi, apabila seseorang tersebut dapat bersikap jujur dan

(3)

merdeka. Dan sebaliknya, apabila dia tidak bersikap jujur dan tidak bersikap merdeka dan merasa hanya pendapatnya sendiri yang paling benar, karena dia merasa pendapatnya itu sudah didasarkan pada kitab-kitab besar yang dikarang oleh para mujtahid atau ada kepentingan ini dan kepentingan itu, maka sulit bagi dia itu akan dapat melihat kebenaran yang ada di depan matanya sendiri (surat 36 ayat 9). Di dalam Islam, kita dilarang mengasih harga mati atau menganggap benar dengan mutlak terhadap apa-apa yang ada dalam sesuatu kitab tertentu yang dikarang oleh para mujtahid, karena menurut Alquran yang namanya manusia semulia apa pun, ada kemungkinan untuk dapat keliru dan salah yang tidak disengaja (surat 2 ayat 286), dan Rasulullah saw. sendiri bersabda: “Seseorang Mujtahid apabila ijtihadnya benar, maka dia akan mendapatkan dua pahala/ imbalan, dan apabila ijtihadnya salah/keliru, maka dia akan mendapatkan satu pahala/imbalan.” Dari ayat dan hadis tersebut, maka sangat-sangat kelirulah kita apabila kita mengasih harga mati atau menganggap mutlak benar terhadap semua hasil dari ijtihad mereka yang ada dalam kitab-kitab besar itu. Kita mengakui dengan segala hormat pada mereka, karena hidup mati mereka hanya untuk memperjuangkan kebenaran visi dan misi Islam Sesuai dengan predikat mereka sebagai “mujtahid,” maka sesuatu hal yang mustahil apabila mereka mengeluarkan/menghasilkan sesuatu pendapat yang tanpa didasarkan pada Alquran dan perilaku Rasulullah saw. selaku pembawa dan pengamal Alquran. Dan setiap mujtahid yang mana pun pasti mendasarkan hasil ijtihadnya itu kepada dua hal tersebut. Tetapi, karena hasil ijtihad mereka itu satu sama lain bisa berlainan sesuai dengan latar belakang mereka masing-masing dan bisa keliru yang tidak disengaja, karena memang data-data sebagai bahan dalam menyimpulkan pendapatnya itu belum semuanya ada dan belum lengkap di masa hidupnya, maka kita di dalam mengikuti hasil ijtihad mereka harus mengetahui alasan-alasan dan dalil-dalil dari mereka, yang lantas kita mengujinya dengan dalil-dalil dari mujtahid lain yang muncul kemudian, dan setelahnya itu baru kita memilih dan mengikuti pada hasil ijtihad yang benar dari mereka yang dalil-dalilnya lebih kuat dan tidak bisa dipatahkan.

Oleh karena itu, setiap mujtahid yang mana pun akan selalu berpesan kepada generasi kemudian “bahwa janganlah mereka membabibuta di dalam mengikuti pendapatnya, maksudnya kalau memang pendapat mereka di kemudian hari ternyata keliru karena ada pendapat dari mujtahid yang muncul kemudian yang lebih kuat dalil-dalil dan alasan-alasannya, maka mereka harus mengikuti terhadap pendapat yang muncul kemudian itu.” Di sinilah letaknya, kenapa para mujtahid di dalam keheningan malam selalu berdoa: “Ya Allah, janganlah Engkau menindak/menghukum kepada kami karena sesuatu kesalahan yang kami lakukan yang tidak kami sengaja” (surat 2 ayat 286). Tetapi sebaliknya, kalau pendapat mereka itu benar setelah diuji dengan berbagai pendapat dari mujtahid yang muncul kemudian, maka mereka pun harus konsekuen mengikutinya. Jadi, sikap

(4)

yang menganggap mutlak terhadap hasil ijtihad yang ada dalam berbagai buku dari mujtahid tertentu adalah “bertentangan dengan Alquran, bertentangan dengan hadis Nabi saw. dan bertentangan dengan wasiat dari para mujtahid itu sendiri,” apalagi kalau kita sudah kalah berdiskusi, yang lantas kita mengatakan, “Siapa sih yang dapat melebihi atau lebih pintar dari imam yang empat atau melebihi dari mujtahid ini dan mujtahid itu?” Sikap yang seperti ini telah digambarkan dalam Alquran (surat 5 ayat 104) dengan kalimat:

(cukup bagi kami apa-apa yang kami dapati dari nenek-moyang kami), dan digambarkan juga dalam (surat 2 ayat 170) dengan

kalimat: (bahkan kami akan mengikuti

pada apa-apa yang kami peroleh/kami warisi dari nenek-moyang kami). Dengan sikap-sikap ini berarti kita telah mematikan kita punya akal dan menitipkannya pada mereka yang kita anggap mutlak benar itu atau dengan kata lain kita telah melakukan yang /taqlid pada ilmu yang ada dengan membabi-buta pada mereka, yang sekaligus sikap yang seperti itu berarti “kita telah menjadikan para alim ulama/para mujtahid tertentu di dalam Islam sebagai tuhan-tuhan/rabb dari selain Allah.” Padahal sikap yang seperti itu adalah sikap terkutuk dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani seperti yang disebutkan dalam surat 9 ayat 31. Tentang sikap terkutuk dari mereka ini dan tentang sikap-sikap terkutuk lainnya yang ada dalam berbagai ayat Alquran, Rasulullah saw. mengingatkan bahwa kaum Muslimin lambat laun akan mengikuti sikap-sikap terkutuk itu, oleh karena itu kaum Muslimin agar selalu waspada dan hati-hati. Dan sikap membatasi terhadap karunia Allah apa pun bentuknya, bahwa karunia Allah itu hanya ada pada orang-orang yang terdahulu saja, telah dilukiskan dalam

Alquran, surat 5 ayat 64 dengan kalimat: , yang

artinya: Dan telah mengatakan orang-orang Yahudi itu “tangan Allah itu dibelenggu.” Maksudnya, Allah tidak akan menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di kemudian hari, karena mereka/Yahudi menganggap, bahwa kebenaran itu mutlak hanya ada pada pendeta-pendeta atau alim ulama yang terdahulu saja. Dan tentang sikap yang seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan firman Allah yang mengatakan, “Allah akan memberikan hikmah/kebenaran kepada siapa yang Dia kehendaki (surat 2 ayat 269), Allah akan menunjuki kepada kebenaran kepada siapa yang Dia kehendaki (surat 2 ayat 213), dan Allah setiap saat akan menurunkan kebenaran dari perbendaharaan-perbendaharaan kebenaran yang ada di sisi-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki menurut ukuran tertentu sesuai dengan kondisi waktu dan zaman (surat 15 ayat 21), dan lain-lain.” Apakah firman-firman Allah tersebut akan kita kufuri dan ingkari dengan sikap kita yang sangat tercela seperti yang sudah diuraikan dengan terperinci tersebut?

Berdasarkan surat 2 ayat 170 dan berbagai uraiannya dalam “MUQODDIMAH” tersebut, maka marilah kita memulai untuk “Mengadakan

(5)

reformasi/perbaikan besar-besaran terhadap berbagai pemahaman keagamaan kaum Muslimin yang ternyata kurang tepat dan keliru menurut Alquran!,” yang karenanya umat Islam menjadi terpecah belah dan mundur.

Akhirnya, sebagai penutup dari MUQODDIMAH ini, marilah kita sama-sama mendoa kepada Allah, agar Dia senantiasa memperlihatkan kepada kita “sesuatu kebenaran/al-haq” yang hakikatnya memang benar-benar “sesuatu kebenaran/al-haq,” dan kemudian agar Dia sudi membimbing kita, sehingga kita dapat mengikutinya. Dan sebaliknya, kita mohon kepada-Nya, agar Dia senantiasa memperlihatkan kepada kita “sesuatu yang salah/al-batil” yang hakikatnya memang benar-benar “sesuatu yang salah/al-batil,” dan kemudian agar Dia sudi menjauhkan kita dari mengikutinya. Amin!

NB: Isi buku ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Setiap saran dan kritik yang objektif mohon dialamatkan: Ahmad Hariadi 1. Telp. (0262) 236158, HP. 081 281 25695 2. E-mail: ahmadhariadi@cbn.net.id Wassalam Penulis (Ahmad Hariadi) 21 Romadlon 1424 H Garut, Indonesia: 16 Nopember 2003 M

(6)

1. Beriman Kepada Allah/

“Beriman kepada Allah/ ” maksudnya adalah:

Mempercayakan diri kita pada apa saja yang ada dalam Alquran apa pun bentuknya, lebih-lebih lagi terhadap peraturan-peraturan-Nya yang mengatur kehidupan kita sehari-hari, baik yang berhubungan dengan “hablumminallah”, ataupun yang berhubungan dengan “hablumminannas.” Karena, beriman kepada Allah itu harus dibuktikan dengan tingkah laku kita, di mana tingkah laku kita di dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus sesuai dengan peraturan-peraturan-Nya, terutama sekali yang menyangkut enam hal:

a. Bicara harus benar (dalam arti luas), b. menepati janji (dalam arti luas), c. menunaikan amanat (dalam arti luas),

d. menahan diri dari perbuatan yang merugikan orang lain, apa pun bentuknya,

e. menahan diri dari melihat sesuatu yang tidak bermanfaat apalagi yang merugikan, dan

f. menahan diri dari melakukan perzinahan.

Oleh karena itu, Rasulullah saw. menjamin pada siapa saja yang dalam enam hal tersebut dapat melaksanakan dengan baik, maka orang tersebut akan dijamin masuk surga/hidup bahagia (hadis Imam Ahmad bin Hambal). Maka kalau kita di dalam salat berkali-kali mengatakan “beriman dan bersaksi kepada Allah,” tetapi tingkah laku kita sehari-hari tidak sesuai dengan peraturan-peraturan-Nya/ tidak islami, terutama sekali yang menyangkut enam hal tersebut di atas, maka hakikatnya kita pada waktu itu tidak beriman kepada Allah (surat 2 ayat 8), dengan kata lain kita telah kufur kepada Allah, kufur kepada peraturan-peraturan-Nya. Jadi, iman seseorang itu dapat dikenal melalui tingkah lakunya, yakni amal salehnya, seperti “sebuah pohon dapat dikenal karena buahnya” (surat 14 ayat 24 dan ayat 25). Dan begitu juga hakikat iman yang tidak benar/kufur kepada Allah juga dapat dikenal karena buahnya, yakni amal-amal yang melanggar peraturan-peraturan Allah/tingkah laku yang tidak islami (surat 14 ayat 26). Makanya, kita di dalam segala aktivitas sehari-hari apa pun posisi dan jabatan kita, kita harus berhati-hati menjaga tingkah laku kita, karena hakikat beriman kepada Allah dan hakikat kufur kepada Allah itu dapat terjadi pada siapa pun dalam setiap saat dan tempat, yakni apabila tingkah laku kita itu bermanfaat untuk kemanusiaan/amal saleh yang walaupun kemanfaatannya itu terbatas sesuai keterbatasan dan kemampuan kita, maka dia itu adalah merupakan buah dari “keimanan kepada Allah.” Tetapi sebaliknya, apabila tingkah laku kita itu merugikan diri sendiri, orang lain, dan masyarakat, yakni amal kejahatan, maka

(7)

dia itu adalah merupakan buah dari “kekufuran kepada Allah,” walaupun di hari-hari dan saat-saat itu kita selalu mengatakan, “Beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain dari Allah, dan hanya kepada Dia beribadah dan hanya kepada Dia minta tolong” seperti yang diucapkan di dalam salat sehari-hari. Jadi, pemahaman kita tentang “hakikat iman dan kufur kepada Allah” itu harus sehakikat yang Alquran jelaskan seperti tersebut di atas. Karena Rasulullah saw. sendiri pun selaku pembawa sekaligus pengamal Alquran sering mengatakan, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak menepati janji, tidak menjalankan amanat, mencuri apa pun bentuknya, berzina, minum-minuman keras, tidak berkasih sayang satu sama lain, tidak bersih, tidak disiplin, tidak gigih/sabar, dan lain-lain tindakan yang tidak islami/ yang jumlahnya ratusan buah” itu. Dari sini nampak jelas, bahwa di dalam ajaran Islam itu lebih mementingkan “nilai-nilai yang islami” daripada “simbol-simbol yang islami.” Dan simbol-simbol itu baru berarti apabila di dalamnya ada nilai-nilai. Apalah artinya simbol-simbol yang islami apabila di dalamnya tidak ada nilai-nilai yang islami, bahkan hal ini akan mendatangkan kebencian Allah (surat 61 ayat 2-3) dan sekaligus akan menjadi tertawaan dan ejekan dari orang lain.

Di dalam Alquran surat 29 ayat 61, surat 29 ayat 63, surat 31 ayat 25, surat 39 ayat 38, surat 43 ayat 9, surat 43 ayat 87, dan masih banyak ayat lagi yang mengatakan dengan jelas “bahwa orang-orang yang kafir itu bukan berarti mereka tidak percaya kepada Allah dan sifat-sifat-Nya, mereka percaya kepada-Nya dan sifat-sifat-kepada-Nya itu, tetapi tingkah lakunya banyak yang bertentangan dengan ketetapan-ketetapan Allah/banyak melanggar peraturan-peraturan-Nya.” Dari sini jelaslah “bahwa hakikat kufur kepada Allah” itu dapat terjadi pada orang-orang di luar agama Islam dan juga dapat terjadi pada orang-orang yang beragama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, kaum Muslimin di dalam menjalankan nilai-nilai yang islami yang jumlahnya ratusan itu, minimal di dalam persentasenya harus lebih banyak, jika dibandingkan dengan orang-orang yang di luar agama Islam, jangan sampai terbalik, karena kalau terbalik mereka akan lebih maju dan lebih berkuasa yang akhirnya kaum Muslimin akan selalu dikalahkan oleh mereka seperti yang terjadi selama ini (tahun 2002).

(8)

2. “Iman yang Sejati” Merupakan “Syarat Mutlak” untuk Mencapai Keunggulan/

Surat 3 ayat 139 ini kalau diterjemahkan secara bebas, maka akan berarti “Janganlah kamu merasa lemah dan janganlah kamu berdukacita, wahai umat Islam, padahal kamulah umat yang paling tinggi jika kamu benar-benar menjadi orang-orang mukmin yang sejati.”

Dalam ayat ini ditegaskan: “Kalau kaum Muslimin ingin menjadi umat yang paling tinggi, paling berkuasa, paling disegani, dan paling-paling yang positif lainnya, maka ada persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh mereka.” Persyaratan mutlak tersebut adalah “mereka harus menjadi orang-orang mukmin yang sejati.”

Dari ayat tersebut timbul pertanyaan “kenapa selama ini kaum Muslimin tidak lebih tinggi, tidak lebih berkuasa, tidak lebih berwibawa, jika dibanding dengan umat-umat lain?” Adapun jawabannya sesuai dengan ayat itu adalah “karena mereka bukan orang-orang mukmin yang sejati sebagaimana yang diharapkan oleh Allah dalam Alquran.” Oleh karena itu, kita kaum Muslimin di zaman ini dan seterusnya harus benar-benar menjadi orang-orang mukmin yang sejati, agar kita tidak lemah/lembek dan tidak selalu gelisah yang diakibatkan oleh tipu daya umat lain. Di saat itu kita akan selalu optimis dan yakin seyakin-yakinnya bahwa tipu daya yang jahat dari umat lain, apa pun bentuknya tidak akan dapat merugikan dan mengalahkan kita, kaum Muslimin yang benar-benar beriman, benar-benar bertakwa dan benar-benar gigih dalam perjuangan (S.3 ayat 139, S.5 ayat 105, S.3 ayat 120, dll.). Dalam ayat-ayat ini, dengan tegas telah dijanjikan oleh Allah “bahwa Kalau kamu beriman kepada Allah dengan benar, pola pikir dan tingkah laku kamu selalu sesuai dengan petunjuk-petunjuk-Nya dalam Alquran, setiap saat selalu bertakwa/sadar terhadap ketetapan-ketetapan-Nya, dan selalu gigih di dalam memperjuangkan visi dan misi Islam, maka tipu daya jahat dari orang-orang yang sesat, sama sekali tidak akan dapat merugikan dan membahayakan kepada kamu.” Janji-janji Allah dalam ayat-ayat tersebut sudah terbukti di masa Rasulullah saw., di masa para sahabatnya, dan di masa-masa kejayaan Islam yang lalu, baik di Irak, Spanyol, Mesir, Turki, dll. Tetapi sebaliknya, setelah predikat “iman sejati, takwa sejati dan jihad sejati itu angsur hilang dari kaum Muslimin, maka mereka pun secara berangsur-angsur pula akan menjadi lemah, mundur, selalu gelisah, dan dikuasai oleh umat lain. Keadaan yang cukup memprihatinkan ini masih berlangsung sampai sekarang (th.2004).

Kalau kita, kaum Muslimin ingin mengentaskan diri dari keadaan tersebut, maka hanya ada satu syarat yang harus kita lakukan, yakni “menjadi orang-orang

(9)

mukmin yang sejati.” Dan tentang “hakikat iman yang sejati,” penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Beriman Kepada Allah/ ”.

(10)

3. Beribadah Kepada Allah/

“Beribadah kepada Allah/ ” yang kita lakukan itu hanyalah dengan tujuan supaya kita dapat bertakwa kepada Allah (surat 2 ayat 21). Bertakwa kepada Allah di sini, maksudnya adalah “menginsafi/menyadari” terhadap ketetapan-ketetapan Allah, baik ketetapan-Nya yang berhubungan dengan “hablumminallah”, ataupun yang berhubungan dengan “sesama manusia dan lingkungan (hablumminannas).” Jadi, manusia yang bertakwa kepada Allah adalah: “manusia-manusia yang insaf/sadar terhadap peraturan-peraturan/hukum-hukum Allah.” Sehingga dengan perantaraan keinsafan/ketakwaannya itulah, mereka akan selalu berusaha agar tingkah lakunya senantiasa sesuai dengan peraturan-peraturan Allah, baik tingkah lakunya yang berhubungan dengan peribadatannya kepada Allah (hablumminallah), ataupun yang berhubungan dengan sesama manusia dan lingkungan (hablumminannas). Jadi, menurut ayat tersebut “hablumminallah” yang kita lakukan seperti salat, siyam, doa, istighfar, zikir, wirid, dan yang sejenisnya bukanlah “tujuan” tetapi dia adalah “alat,” yakni dengan alat itu si pelaku akan dapat menjadi orang yang bertakwa (insaf/sadar), yang dengan perantaraannya dia akan selalu melakukan “hablumminallah” dengan baik dan kontinu, dan akhirnya akan membuahkan hasil menjadi “manusia-manusia yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, dan umat manusia” seperti yang ditegaskan dalam surat 3 ayat 110. Yang tentunya, kadar manfaat tersebut akan disesuaikan dengan bidang dan profesi serta kemampuan dan wawasan masing-masing orang. Karena memang, Allah swt. itu tidak akan membebani seseorang untuk beramal saleh (berbuat yang bermanfaat) yang di luar bidang/profesi dan wawasannya (surat 65 ayat 7, surat 2 ayat 286, dll.). Sehingga, dengan tegas Allah swt. menyuruh agar masing-masing orang berusaha sekeras mungkin untuk dapat melakukan sesuatu perbuatan yang bermanfaat (amal saleh) sesuai dengan bidang/kedudukan dan profesinya masing-masing (surat 6 ayat 135, surat 17 ayat 84 dll.). Dan juga berusaha sekeras mungkin untuk dapat menghindarkan diri dalam kehidupan bermasyarakat dari perbuatan keji dan mungkar. Oleh karena itu, “hablumminallah” yang paling sering kita lakukan adalah “salat” sebagaimana yang diperintahkan oleh-Nya, yang mana salat itu sebagai alat untuk mencapai tujuan itu/terhindar dari perbuatan keji dan mungkar (surat 29 ayat 45). Dan amat celaka bagi orang yang selalu melakukan salat dengan tertib, tetapi mereka lalai dari tujuan salatnya itu sendiri (surat 107 ayat 4-5), karena mereka di tengah-tengah masyarakat berakhlak bejad dan rusak, berbagai tindakannya selalu merugikan orang lain atau dengan kata lain mereka tidak berakhlak mulia, yang padahal agama Islam itu sendiri intinya adalah “keindahan budi pekerti/berakhlak luhur lagi mulia” (hadis Bukhari Muslim). Dan lagi, dalam hadis yang lain disebutkan “orang yang rajin berpuasa dan rajin salat, tetapi

(11)

akhlaknya atau tingkah lakunya banyak merugikan orang lain, maka orang itu akan berada dalam neraka/hidup sengsara.” Dengan adanya ayat-ayat dan hadis-hadis yang bernada memperingatkan itu, maka kita harus benar-benar sadar bahwa: salat, siyam, ibadah haji, berdoa, zikir, istighfar, dan yang sejenisnya itu “bukanlah tujuan” tetapi masing-masingnya itu adalah sebagai “alat,” atau “sarana” untuk mencapai tujuan, yakni “agar kita berakhlak mulia di dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Jika hal ini dapat terwujud, maka di saat itu keridaan Allah atau mardlootillah akan dengan sendirinya dapat diperoleh.

(12)

4. Bertakwa Kepada Allah/

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menginsafi/bertakwa pada Allah dengan sebenar-benarnya ketakwaan/keinsafan terhadap-Nya dan janganlah benar-benar kamu mati kecuali kamu dalam keadaan orang-orang yang berserah diri terhadap-Nya.

Kata dalam kalimat yang ada dalam surat 3 ayat 102 itu adalah “perintah Allah” kepada kita, yang terjemahannya adalah “hendaklah kamu menginsafi/bertakwa.” Dalam Alquran, kata selalu mempunyai satu maf’ul/objek, dan dalam ayat itu maf’ul darinya adalah yang ada di kalimat . Kata kerja yang “fi’il Amer”-nya adalah itu asal-asalnya adalah berasal dari kata kerja yang “fi’il Amer”-nya adalah . Dan dalam Alquran “fi’il Amer ini selalu mempunyai dua buah maf’ul, seperti dalam surat 66 ayat 6 yang berbunyi: . Kata di sini diterjemahkan “hendaklah kamu menginsafkan/menyadarkan,” dalam ayat ini maf’ul pertamanya adalah dan , dan maf’ul keduanya adalah . Jadi, ayat itu kalau diterjemahkan akan menjadi “hendaklah kamu menginsafkan/ menyadarkan (pada) diri-diri kamu dan keluarga kamu (pada) neraka/kesengsaraan hidup!”

Kata dalam Alquran akan sering kita jumpai sebanyak 78 buah. Walaupun begitu, maf’ulnya selalu satu dan maf’ulnya tadi bisa berbentuk sesuatu yang positif dan bisa juga berbentuk sesuatu yang negatif, sebagai contoh masing-masingnya adalah:

a. . Di sini maf’ulnya adalah (maf’ul yang positif) dengan diterjemahkan “hendaklah kamu bertakwa/menginsafi pada Allah (dengan) sebenar-benarnya keinsafan terhadap-Nya!, surat 3 ayat 102.”

b. , di sini maf’ulnya adalah

(maf’ul yang negatif) dengan diterjemahkan “hendaklah kamu menginsafi (pada) neraka/kesengsaraan hidup, yang ia itu diperhitungkan bagi orang-orang yang kafir,” surat 3 ayat 131. Dalam kehidupan sehari-hari bentuk bertakwa/menginsafi pada Allah dan menginsafi pada neraka/naar adalah “kita harus senantiasa insaf/sadar pada ketetapan-ketetapan Allah,” sehingga dengan perantaraan keinsafan yang kadarnya

(13)

tinggi, kita dalam setiap saat akan dapat menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi dari larangan-larangan-Nya. Dan kita harus senantiasa menyadari/ menginsafi, bahwa apabila kita melanggar peraturan-peraturan-Nya, maka hukumannya adalah “neraka/kesengsaraan hidup, baik dalam dunia ini, ataupun sesudah kematian nanti.” Oleh karena itu, Allah memerintahkan dengan tegas supaya kita menginsafkan pada diri kita dan keluarga kita pada neraka/ kesengsaraan hidup itu yang dapat terjadi pada siapa pun yang melanggar peraturan-peraturan-Nya.

Dalam Alquran, yang diperintah untuk menginsafi/bertakwa itu tidak hanya untuk orang-orang yang beriman saja, tetapi juga untuk seluruh umat manusia (surat 3 ayat 102, surat 31 ayat 33, dan lain-lain). Dan dalam surat 49 ayat 13, Allah menyebutkan “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling menginsafi/bertakwa.” Maksudnya adalah “orang yang kadar keinsafannya/ketakwaannya tinggi itu, sangat mulia di sisi Allah,” karena dengan perantaraan mana seseorang akan dapat melakukan amal-amal saleh/perbuatan-perbuatan baik lagi bermanfaat sesuai dengan bidang dan profesinya masing-masing. Jadi, “keinsafan/ketakwaan yang kadarnya tinggi/ ” itu adalah “inti alias sari pati” dari ajaran-ajaran agama-agama yang diturunkan oleh Allah. Seseorang dari penganut agama yang mana pun, tanpa mempunyai atau membekali dirinya dengan keinsafan/ketakwaan yang kadarnya tinggi, niscaya seseorang tersebut tidak akan dapat menjadi “orang yang berakhlak luhur/ , walaupun mereka beribu-ribu kali mengatakan beriman kepada Allah dan hari yang kemudian/ ,” karena hakikat keimanan itu harus dijiwai dengan keinsafan yang kadarnya tinggi, yang dengan perantaraan mana dapat dibuktikan dengan tingkah laku lahir yang baik/amal saleh di tengah-tengah masyarakat. Sehingga Rasulullah saw. sebagai pembawa sekaligus pengamal Alquran mengatakan dengan tegas: Aku diutus oleh Allah hanya untuk supaya manusia mempunyai akhlak yang luhur,

. Dan beliau saw. mengatakan lagi: “Agama itu adalah keindahan budi pekerti/

.”

Oleh karena itu semua, marilah kita membekali diri kita dengan keinsafan/ ketakwaan kepada Allah yang kadarnya tinggi di dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, karena dialah sebaik-baik perbekalan untuk menciptakan “negeri yang damai lagi aman/ ,” surat 2 ayat 197 dan surat 7 ayat 26.

(14)

5. “Salat” Bukan “Tujuan” Tetapi “Alat”

Surat 8 ayat 3 ini kalau diterjemahkan dengan bebas, maka artinya: (Orang-orang yang bertawakkal) itu adalah “orang-orang yang mereka menegakkan salat dan mereka membelanjakan sebagian rezeki yang diberikan Allah kepada mereka (apa pun bentuknya untuk manfaat kemanusiaan).”

Dalam Alquran, kalimat disebutkan sebanyak 6 kali, yang dua kali, kalimat itu dihubungkan dengan kalimat

(surat 2 ayat 3 dan surat 8 ayat 3), dan yang empat kali, dihubungkan dengan kalimat (surat 5 ayat 55, surat 9 ayat 71, surat 27 ayat 3, dan surat 31 ayat 4).

Jadi, “salat” yang kita lakukan itu bukanlah “tujuan” tetapi adalah “alat,” yang dengan alat mana seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, dia akan senantiasa berusaha untuk dapat memanfaatkan apa saja yang Allah berikan kepadanya untuk mendatangkan manfaat bagi kemanusiaan. Sehingga dengan perantaraan hal mana, seseorang yang menegakkan salat itu dapat terhindar dari perbuatan keji dan mungkar (surat 29 ayat 45). Kalau seseorang melakukan salat, maka manfaatnya “bukan untuk Allah” tetapi “untuk dirinya sendiri,” karena dengan perantaraan salat mana, dia dalam kehidupan bermasyarakat akan dapat melakukan berbagai kebaikan dan menjauhi segala perbuatan keji dan mungkar. Dan perlu diberi tanda petik “bahwa Allah itu tidak butuh sama ciptaan-Nya, tetapi ciptaan-Nya/manusia itulah yang sangat membutuhkan Allah/ (surat 35 ayat 15).” Karena manusia sangat membutuhkan Allah agar dirinya dalam hidup bermasyarakat dapat melakukan berbagai kebaikan dan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar, maka mereka harus menghubungkan dirinya dengan Allah/ berhablumminallah, yang di antaranya dengan melakukan salat.

Kalau “hablumminallah” yang kita lakukan itu “benar adanya,” maka darinya akan melahirkan “hablumminannas yang benar” pula, sebagaimana yang telah disebutkan. Dan dua perbuatan yang tidak dapat dipisahkan ini adalah merupakan:

1. cirinya orang-orang yang bertawakal/mutawakkiliin (surat 8 ayat 3), 2. cirinya orang-orang yang benar-benar beriman/mukminiin haqqon

(surat 8 ayat 4),

3. cirinya orang-orang yang bertakwa/muttaqiin (surat 2 ayat 3), dan 4. cirinya orang-orang yang mengindahkan peraturan-peraturan Allah/

(15)

Tentang hakikat “orang-orang yang bertawakal kepada Allah,” penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Bertawakkal Kepada Allah/ ”. Tentang hakikat “orang-orang yang beriman kepada Allah,” penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Beriman Kepada Allah/ ”. Tentang hakikat “orang-orang yang bertakwa kepada Allah,” penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Bertakwa Kepada Allah/ ”. Dan tentang hakikat “orang-orang yang muhsiniin,” secara garis besarnya adalah “orang-orang yang selalu mengindahkan dan akhirnya mematuhi terhadap peraturan-peraturan Allah.”

(16)

6. “Iman dan Takwa” Merupakan “Syarat Mutlak” bagi Terbentuknya “Negeri yang Damai lagi Sejahtera”

Surat 7 ayat 96 ini sering dikemukakan oleh para juru dakwah di dalam berbagai forum; yang ayat tersebut kalau diartikan secara bebas, maka artinya “Dan seandainya penduduk sesuatu negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami telah membukakan kepada mereka berbagai keberkatan langit dan bumi (subur, makmur, tenteram, gemah ripah loh jinawi). Tetapi, karena mereka mendustakan (peraturan-peraturan Kami), maka Kami mengambil tindakan kepada mereka disebabkan karena tingkah laku mereka (yang menyimpang).”

Dari ayat tersebut telah ditegaskan oleh Allah, “bahwa keberkatan langit dan bumi yang ada dalam sebuah negeri” itu akan dibukakan oleh Allah, kalau seandainya penduduknya, terutama para pemimpinnya itu beriman dan bertakwa kepada Allah. Maksudnya di situ adalah “baik tanah, gunung-gunung, hutan-hutan, lautan-lautan, sungai-sungai, dan juga apa yang ada di atas, termasuk wilayah udara dan lain-lain yang dimiliki oleh sebuah negara itu akan diberkati oleh Allah swt., atau dengan kata lain, semuanya itu akan mendatangkan manfaat yang banyak bagi kepentingan umat manusia.” Hal ini terjadi karena para pemimpin negara tersebut adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mana mereka sesuai dengan jabatan dan profesinya masing-masing, mereka menjalankan tugasnya dengan baik serta berorientasikan kepada kepentingan masyarakat banyak dalam jangka panjang, bukan kepentingan pribadi dan kelompok sesaat. Tetapi sebaliknya, kalau penduduk negeri, terutama para pemimpinnya itu adalah orang-orang yang tidak beriman dan tidak bertakwa, maka masing-masingnya akan menjalankan tugasnya dengan tidak amanah, tidak jujur, mementingkan diri sendiri dan kelompoknya untuk mengejar kesenangan duniawi sesaat, menyalahgunakan jabatan, berjiwa perampok dengan aji mumpungnya, dan lain-lain. Sehingga, dari itu semuanya akan lahirlah berbagai krisis, baik politik, ekonomi, moral, ataupun lainnya yang melahirkan berbagai bencana, berbagai tragedi, dan hal-hal yang memilukan lainnya, seperti yang selama ini terjadi di berbagai negara, termasuk di negara kita tercinta ini (tahun 2003 M).

Tentang hal “orang-orang yang beriman,” penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Beriman Kepada Allah/ ”. Dan tentang hal “orang-orang yang bertakwa,” penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Bertakwa Kepada Allah/ ”. Dan tentang hal “berkat,” penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Hakikat Berkah/ ” Menurut Alquran.

(17)

Oleh karena itu, negara mana pun yang menginginkan kawasannya, baik darat, laut, ataupun udara agar diberkati oleh Allah, maka para penduduknya, terutama para pemimpinnya harus benar-benar menjadi orang-orang yang beriman dan bertakwa dalam kualitas. Maksudnya: orang-orang yang beriman dan bertakwa yang sanggup membuktikan keimanan dan ketakwaanya kepada Allah itu dengan bukti-bukti amal saleh/karya yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka keimanan dan ketakwaannya itu adalah “palsu alias dusta.”

(18)

7. Arti “Aslama/ ” dan “Islam/ ” Menurut Alquran

Surat 2 ayat 131 ini kalau diterjemahkan berdasarkan Nahwu-Sorof, maka artinya: Ketika telah mengatakan terhadap dia/Ibrahim (siapa) Rabb dia “Hendaklah engkau berserah diri!,” dia/Ibrahim mengatakan “Aku telah berserah diri terhadap Rabbnya berbagai alam.”

Kata , diterjemahkan dengan “Aku telah berserah diri,” karena sesudah kata itu ada kata yang ada pada . Akan tetapi, apabila kata

sesudahnya disebut maf ’ulnya tanpa seperti dan yang ada dalam surat 3 ayat 20, surat 2 ayat 112, dan surat 4 ayat 125, maka dia diterjemahkan dengan “aku telah menyerahkan,” dan yang kata yang ada di dua ayat yang terakhir, diterjemahkan dengan “dia telah menyerahkan.” Dan kata , yang artinya “berserah diri/penyerahan” adalah “Masdar” dari fi’il , yang kata “Masdar” tersebut dijadikan “selaku agama,” seperti disebutkan: (surat 5 ayat 3), dan menurut ilmu Nahwu yang namanya “haal/selaku” itu adalah termasuk “sifat.” Jadi, seseorang yang mengaku beragama, maka di dalam dirinya harus ada sifat-sifat “berserah diri/penyerahan/ ” kepada Allah, kepada ketetapan-ketetapan-Nya. Dan orang yang mempunyai sifat islam itu disebut “muslim” yang jamaknya “muslimuun.” Sehingga, “agama seseorang” itu baru akan berarti “di sisi Allah” apabila di dalam dirinya ada “sifat-sifat berserah diri kepada-Nya” sebagaimana

yang disebutkan: (surat 3 ayat 19).

Kalau seseorang mengaku beragama Islam, tetapi pola pikir, akidah, dan tingkah lakunya banyak yang tidak mencerminkan penyerahannya kepada Allah/ tidak islami/ , maka hal itu tidak akan ada artinya di sisi Allah, tidak akan diterima oleh-Nya, dan di hari kemudian dia akan masuk ke dalam golongannya orang-orang yang merugikan diri sendiri, sebagaimana disebutkan: (surat 3 ayat 85).

Jadi, di dalam Islam antara “nama” dan “sifat,” antara “simbol/merk” dan “kualitas” tidak dapat dipisahkan sama-sekali. Sehinga ada istilah, “apalah artinya sebuah nama” kalau “sifat” dan “kualitas” adalah “nol besar.”

(19)

8. “Kegigihan di Atas Petunjuk Alquran” Akan Dapat Mengalahkan Kekuatan Lawan yang Jauh Lebih Besar

Terjemahan bebasnya: “Jika ada dua puluh orang yang gigih/sabar di antara kamu/kaum Muslimin, niscaya pasti akan dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika ada seratus orang dari antara kamu, niscaya pasti akan dapat mengalahkan seribu orang yang kafir, karena sesungguhnya mereka adalah suatu kaum yang tidak mengerti.”

Kalimat pendek yang ada dalam surat 8 ayat 65 ini, dengan tegas mengatakan, “Kalau kaum Muslimin benar-benar gigih di atas petunjuk-petunjuk Allah yang ada dalam Alquran, maka mereka akan dapat mengalahkan terhadap musuh-musuhnya yang kafir yang jumlahnya sepuluh kali lipat.” Sehingga dalam surat 3 ayat 120 dengan tegas dikatakan: “Jika kamu gigih dan kamu bertakwa pada Allah dengan sebenar-benarnya ketakwaan, maka tipu daya dari pihak mana pun tidak akan bisa merugikan atau membahayakan pada kamu.” Dan dalam surat 5 ayat 105 dengan tegas dikatakan lagi: “Bahwa kewajiban kamu, kaum Muslimin adalah agar selalu dapat menjaga supaya kamu senantiasa berada di atas petunjuk Alquran, sehingga apabila kamu benar-benar di atas petunjuk Alquran (dalam segala hal), maka tipu daya dari pihak yang sesat mana pun tidak akan dapat merugikan dan membahayakan pada kamu.” Bahkan juga di dalam surat 3 ayat 139 dikatakan dengan tegas lagi: “Kamu, kaum Muslimin jika benar-benar beriman kepada Allah, niscaya kamu akan selalu lebih tinggi jika dibanding dengan umat-umat lain.”

Oleh karena itu menurut Alquran, bagaimanakah agar kita dapat selalu gigih/sabar di atas petunjuk-petunjuk Allah yang ada dalam Alquran dan dapat bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan juga dapat beriman dengan sebenar-benarnya beriman, maka penjelasan tentang “gigih/sabar,” dapat dilihat dalam Bab: “Hakikat Sabar/ ” Menurut Alquran. Dan tentang “takwa,” dapat dilihat dalam Bab: “Bertakwa Kepada Allah/ ”. Dan tentang “beriman,” dapat dilihat dalam Bab: “Beriman Kepada Allah/ ”. Dan tentang “keunggulan dan kejayaan yang gemilang yang tak pernah terkalahkan itu sebagaimana yang ada dalam ayat-ayat tersebut di atas,” maka hal itu semuanya pernah dialami oleh kaum Muslimin di zaman Rasulullah saw., di zaman para sahabat, dan di zaman kejayaan-kejayaan Islam sesudahnya. Jadi, kalau kita selama berabad-abad tidak memperoleh keunggulan dan kejayaan yang seperti itu, bahkan keadaan kaum Muslimin selama ini makin

(20)

terpecah-pecah dan makin bertambah ruwet, maka menurut ayat-ayat tersebut “keimanan” dan “ketakwaan” kita, kaum Muslimin, perlu “dipertanyakan, perlu dikoreksi kembali, dan akhirnya perlu segera direformasi.” Dan kita tidak bisa mengatakan, “bahwa kondisi yang selama ini kita alami adalah kondisi yang benar.” Karena apabila kondisi kita itu benar menurut Alquran, niscaya “buah keunggulan dan kejayaan yang gemilang yang tak pernah terkalahkan itu pasti akan ada pada kita.” Karena ada istilah “Pohon dikenal karena buahnya,” yang maksudnya adalah, “iman dikenal karena amal salehnya yang membuahkan keunggulan dan kejayaan, baik di dunia ini, ataupun sesudah kematian nanti.”

(21)

9. Hakikat “Musyrik dan Bentuk-Bentuknya” Menurut Alquran

Surat 4 ayat 36 ini, kalau diterjemahkan secara harfiyah, maka artinya: “Dan hendaklah kamu mengabdi (pada) Allah dan janganlah kamu menyekutukan/ menserikatkan dengan Dia/Allah (pada) suatu apa pun ….”

Kalimat “janganlah kamu meyekutukan/menserikatkan dengan Dia/Allah (pada) suatu apa pun” adalah terjemahan dari kalimat . Kata dlomir yang ada pada dalam susunan kalimat seperti yang tersebut itu, banyak sekali dalam Alquran, dan selalunya dlomir itu kembali kepada “Dia/ Allah,” bukan kepada yang lain. Oleh karena itu, dalam terjemah kalimat yang seperti itu tidak diterjemahkan dengan “janganlah kamu menyekutukan/ menserikatkan Dia/Allah dengan suatu apa pun” sebagaimana yang ada dalam banyak terjemahan Alquran. Adapun maksud dari ayat itu, adalah “kita dilarang menserikatkan atau menyekutukan sesuatu apa pun dengan Allah.”

“Suatu apa pun/ ” yang berkedudukan sebagai “maf’ul” dalam kalimat tersebut, berdasarkan ayat-ayat yang lain bentuknya secara garis besar ada tiga macam:

1. Bisa berbentuk “berbagai berhala/ ” dengan beraneka ragam jenisnya, seperti patung-patung, sungai-sungai, batu-batu, matahari, bintang, kuburan, dan benda-benda yang tidak berakal lainnya (surat 14 ayat 35, surat 6 ayat 74, dan lain-lain).

2. Bisa berbentuk “hawa nafsu/ yang berasal dari kekuatan setan” dengan beraneka ragam jenisnya, seperti pikiran-pikiran jahat, ide-ide jahat, kemauan-kemauan jahat, niat-niat jahat, berbagai tingkah laku yang jahat, dan lain sebagainya yang menyimpang dan melanggar dari aturan-aturan Allah (surat 45 ayat 23 dan surat 25 ayat 43). 3. Bisa berbentuk “manusia-manusia/orang-orang yang/ ” dengan

beraneka ragam pangkat dan kedudukan, seperti pemimpin umat, alim ulama, penguasa yang zalim, dan lain-lain (surat 9 ayat 31, surat 6 ayat 56, dan surat 40 ayat 66).

Jadi, berdasarkan tiga bentuk tersebut, maka dari berbagai penganut agama mana pun, termasuk penganut agama Islam, dapat menjadi orang-orang yang musyrik atau melakukan tindakan musyrik apabila mereka mengabdi/beribadah kepada salah satu dari 3 bentuk yang tersebut itu.

Untuk bentuk kemusyrikan yang pertama, insya Allah penganut agama Islam sudah banyak yang tidak melakukannya, karena banyak ayat-ayat Alquran yang dengan tegas melarang hal itu. Tetapi, walaupun begitu masih ada saja orang yang menganggap bahwa kuburan ini dan kuburan itu, batu ini dan batu itu, bintang

(22)

ini dan bintang itu, dan lain-lain dapat mempunyai kekuatan yang bisa menentukan nasib baik dan buruknya seseorang, sehingga mereka secara rutin menziarahinya dengan memohon ini dan itu kepadanya.

Untuk bentuk kemusyrikan yang kedua, telah banyak dilakukan oleh penganut agama mana pun, termasuk penganut agama Islam, yakni banyak di antara mereka yang menjadikan “hawa nafsu”-nya yang bersumber dari kekuatan setan itu sebagai “tuhan,” terutama mereka-mereka yang sudah mencapai kedudukan/pangkat yang tinggi, mereka berbuat semena-mena, otoriter, mau menang sendiri, suka menindas, suka mengambil haknya rakyat, tidak mau dinasihati, banyak hak asasi manusia yang dilanggar. Yang kesemuanya itu karena mereka selalu mengikuti/mengabdikan diri pada nafsu-nafsu jahatnya atau dengan kata lain “mereka menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan.”

Dan untuk bentuk kemusyrikan yang ketiga, sangat banyak sekali dilakukan oleh penganut agama mana pun, termasuk penganut agama Islam. Dalam hal ini ada dua macam bentuknya:

Bentuk yang pertama “seperti kalau ada penguasa yang zalim, entah dia sebagai presiden, raja, perdana menteri, dan lain-lain, kemudian perintah-perintah dan berbagai kebijakannya diikutinya dan didukung sedemikian rupa, padahal jelas-jelas semuanya itu bertentangan dengan aturan-aturan Allah. Yang mana semuanya itu tidak tampak di matahati mereka, karena mereka sudah banyak mendapatkan berbagai kebaikan lahiriah dari penguasa zalim tersebut. Yang lantas di samping itu, mereka dipuji-pujinya setinggi langit, didoakannya sedemikian rupa, supaya kekuasaannya yang penuh dengan kezalimannya itu dapat langgeng dan lain dan lain sebagainya, maka tindakan-tindakan yang seperti itu adalah “suatu tindakan yang mencerminkan pengabdian seseorang yang mutlak-mutlakan kepada penguasa yang zalim, karena dia menganggap hidup dan mati mereka, jaya dan bangkrut mereka, berpangkat dan tidak berpangkatnya mereka tergantung di tangan penguasa yang zalim tersebut.” Bentuk pengabdian yang mutlak-mutlakan semacam inilah, identik dengan “mereka menjadikan para penguasa yang zalim itu sebagai sesuatu yang disembah” atau dengan kata lain “mereka sudah tidak menyembah Allah lagi,” karena tindakan-tindakannya itu sudah terlalu banyak yang melanggar terhadap aturan-aturan Allah, walaupun di dalam sehari-hari, mereka selalu rukuk dan sujud di dalam salat. Padahal salat itu sendiri bertujuan agar si pelakunya di dalam bermasyarakat dan berbangsa dapat terhindar dari tindakan-tindakan keji tersebut. Dan Rasulullah saw. sendiri di dalam suatu riwayat menyabdakan bahwa: yang dimaksud dengan menjadikan seseorang tertentu sebagai tuhan-tuhan selain dari Allah adalah “mengikuti segala perintahnya yang tidak diperintahkan oleh Allah, dan menjauhi larangannya yang tidak dilarang oleh Allah, walaupun mereka tidak rukuk dan sujud kepada seseorang yang dipatuhi dengan mutlak-mutlakan tersebut.”

(23)

terhadap apa saja yang datang dari seseorang ulama atau mujtahid tertentu yang ada dalam berbagai kitab, yang lantas apa pun perintahnya akan selalu diikutinya yang walaupun perintah tersebut tidak diperintahkan oleh Allah, dan apa pun larangannya akan selalu dijauhinya, yang walaupun larangan tersebut tidak dilarang oleh Allah, dan juga apa pun ketetapannya selalu dianggap mutlak benar yang walaupun ketetapannya itu bertentangan dengan ketetapan Allah dalam Alquran, maka di saat itu berarti mereka telah menjadikan para alim ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain dari Allah.” Tentang keterangan hal ini secara agak terperinci dapat dilihat dalam MUQODDIMAH di depan yang menerangkan tentang “Berpegang Teguh pada Tradisi Nenek-Moyang yang Keliru”.

Jadi, kata “ ” yang ada dalam kalimat: , yang mana kita dilarang menyekutukan/menserikatkannya dengan Allah, maksudnya adalah “kita dilarang menyekutukan atau memadukan berbagai ajaran yang datang dari mereka-mereka itu dengan ajaran-ajaran Allah yang ada dalam Alquran,” yang mana ajaran-ajaran dari mereka itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Allah, atau dengan kata lain “kita dilarang menyekutukan/menserikatkan

dengan .”

Adapun bahaya dari tindakan kemusyrikan tersebut adalah: “berakhir dengan tidak tampaknya ajaran-ajaran murni yang ada dalam Alquran, dan yang akan tampak hanyalah ajaran-ajaran palsu tersebut,” yang tak ubahnya seperti “tembaga dilapiskan pada emas murni, yang akhirnya tembaganya yang nampak, dan emas murninya tak kelihatan sedikit pun.” Lain halnya “kalau emas murni yang dilapiskan pada tembaga, maka yang akan nampak di situ emas murninya bukan tembaganya.”

Jadi, kalau seseorang sudah paham dengan baik terhadap ajaran-ajaran murni yang ada dalam Alquran, kemudian dia melihat ajaran-ajaran lain, maka ajaran-ajaran lain yang tidak benar, dengan sendirinya akan terhapus dan dikalahkan oleh ajaran-ajaran murni tersebut. Tetapi sebaliknya, kalau seseorang tidak paham dengan baik dan benar terhadap ajaran-ajaran Allah yang ada dalam Alquran, karena memang kurang menekuninya, bahkan dia malah menekuni ajaran-ajaran yang sebenarnya palsu yang di luar Alquran yang ada dalam berbagai kitab, sehingga pola pikir dan akidahnya dibentuk oleh ajaran-ajaran palsu tersebut, yang lantas ajaran-ajaran palsu yang tidak disadarinya itu dibawa untuk memahami Alquran yang memang kurang ditekuninya, maka akhirnya ketika itu yang nampak hanyalah ajaran-ajaran palsu yang di luar Alquran tersebut, dan ajaran-ajaran Allah yang ada dalam Alquran tidak bisa dipahaminya dengan baik dan benar, bahkan terhapus oleh ajaran-ajaran palsu yang sudah mendarah daging itu, karena memang hal itu dipelajarinya dengan setekun-tekunnya. Itulah rahasianya, kenapa “kita dilarang menyekutukan/memadukan suatu ajaran apa pun dengan ajaran Allah.”

(24)

Jadi, kalimat tidak dapat diterjemahkan dengan “janganlah kamu menyekutukan/menserikatkan-Nya/Allah dengan sesuatu yang lain.” Kalau diterjemahkan demikian, akan menyalahi kaidah Nahwu karena akhirnya kata “Allah” di situ akan menjadi “Maf’ul,” padahal Maf’ulnya di situ adalah kata , dan dlomir yang ada pada dalam susunan kalimat seperti yang tersebut, selalunya akan kembali kepada “Dia/Allah” bukan kepada yang lain. Dan di samping itu juga, akan menyalahi maksud yang dituju oleh kalimat tersebut sebagaimana yang sudah dijelaskan dengan perumpamaan tersebut di atas. Dijelaskannya hal tersebut dari segi Nahwu dan juga dari segi maksud kalimat itu, karena dalam Alquran susunan kalimat yang seperti itu akan banyak kita jumpai.

Oleh karena itu, agar kita dapat terhindar dari perbuatan musyrik yang dosanya tidak akan pernah diampuni oleh Allah itu, makanya kita harus selalu menomorsatukan Alquran dengan jalan menekuninya dengan setekun-tekunnya, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik kamu/yang paling terpilih di antara kamu adalah orang-orang yang mempelajari/menekuni Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain.”

(25)

10. Dosa-Dosa Kemusyrikan Tidak Akan Diampuni oleh Allah swt.

Surat 4 ayat 48 ini kalau diterjemahkan berdasarkan Nahwu-Sorof, maka artinya: “Sesungguhnya (adapun) Allah (adalah) tidak Dia akan memperbaiki/ mengampuni (pada) bahwa akan dipersekutukan dengan Dia (apa) (suatu apa pun), dan Dia akan memperbaiki/mengampuni (pada) apa-apa yang selain (yang demikian) itu bagi siapa yang Dia/Allah menghendaki (pada dia/man). Dan (adapun) siapa yang dia menyekutukan/menserikatkan dengan Allah (pada suatu apa pun), maka (adalah) benar-benar dia telah mengada-ada (pada) (sesuatu) dosa yang agung/besar.”

Kalimat yang ada di ayat itu diterjemahkan dengan “Sesungguhnya (adapun) Allah (adalah) tidak Dia akan memperbaiki/ mengampuni (pada) bahwa akan dipersekutukan dengan Dia (apa) (suatu apa pun).” Terjemahan ini adalah terjemahan berdasarkan kaidah Nahwu-Sorof. Tetapi, apabila kalimat itu diterjemahkan dengan bebas, maka terjemahannya akan menjadi “Sesungguhnya Allah tidak akan memperbaiki/mengampuni pada dosa-dosanya orang-orang yang melakukan tindakan musyrik.”

Tentang kata yang diartikan dengan “memperbaiki/mengampuni,” penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Arti “Istighfar/ ” dan “Hakikatnya” Menurut Alquran”. Dan tentang bentuk-bentuk tindakan musyrik dapat dilihat dalam Bab: Hakikat “Musyrik dan Bentuk-Bentuknya” Menurut Alquran.

Semua dosa-dosa akibat tindakan musyrik yang tersebut itu, tidak akan diperbaiki dan diampuni oleh Allah swt. Dan adapun bentuk, bahwa Allah tidak akan memperbaiki dan mengampuni terhadap dosa-dosa/dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh kemusyrikan itu adalah: “terjadinya berbagai perpecahan dan berbagai keterbelakangan yang dialami oleh umat Islam dewasa ini.” Hal tersebut tidak akan mungkin diperbaiki dan diampuni oleh Allah swt. sebelum mereka sadar sesadar-sadarnya, bahwa semuanya itu terjadi karena mereka telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan dan juga mereka telah menserikatkan ajaran-ajaran palsu dengan ajaran-ajaran Allah, atau dengan kata lain mereka telah melakukan tindakan kemusyrikan, seperti yang sudah diterangkan dalam Bab: Hakikat “Musyrik dan Bentuk-Bentuknya” Menurut Alquran. Jadi, berbagai perpecahan, berbagai keterbelakangan dan juga berbagai hal-hal yang memprihatinkan lainnya yang selama ini dialami oleh umat Islam itu adalah “bentuk-bentuk dosa/dampak-dampak negatif yang diakibatkan oleh kemusyrikan.” Selama kemusyrikannya belum dilenyapkan, maka berbagai

(26)

perpecahan dan berbagai keterbelakangan itu, makin hari akan makin bertambah

menjadi-jadi (surat 4 ayat 116/ ).

Kalau umat Islam menginginkan agar dosa-dosa yang seperti itu diperbaiki dan diampuni/dilenyapkan oleh Allah, maka satu-satunya jalan: “mereka harus mengubur kemusyrikan tersebut dan kemudian mengikuti pada ajaran-ajaran Allah yang ada dalam Alquran (surat 6 ayat 153).”

Dan dalam surat 30 ayat 30, dengan tegas Allah swt. telah memerintahkan kepada masing-masing dari kita selaku ciptaan-Nya (khalqullah) dan selaku susunan-Nya (fitratullah) untuk mengukuhkan (iqamah) pada “dinullah/agama Allah.” Yang mana “din” tersebut juga diciptakan oleh Allah (khalqullah) dan disusun oleh-Nya (fitratullah). Allah menciptakan dan menyusun manusia atas landasan din yang diciptakan dan disusun oleh-Nya. Keduanya sama sekali tidak akan mengalami perubahan dan penggantian (laa tabdiila likholqillah).

Apabila “dinullah” ini tidak berubah dari susunannya, benar-benar murni (khoolish), maka “din” tadi akan tegak, kukuh dan kuat (addiinul-qoyyim). Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, sehingga ada sebagian mereka yang telah membikin din baru yang berisi akidah-akidah dan syariat-syariat yang mereka susun sendiri. Kemudian akidah-akidah dan syariat-syariat tersebut diyakini dan diamalkan oleh generasi sesudahnya, karena generasi tadi menganggap itu semua berasal dari “dinullah.”

Dan pada waktu itulah, din yang disusun oleh manusia telah disyerikatkan, dipadukan dengan “dinullah.” Perbuatan mensyerikatkan dinunnas/agama manusia dengan “dinullah” ini disebut “Isyrak” dan orang yang melakukan perbuatan itu disebut “Musyrik” yang akhirnya “dinullah” sudah tidak murni lagi (tidak khoolish), tidak kukuh (tidak qoyyim), dan tidak logis, bertentangan dengan akal pikiran yang sehat.

Maka dari itu, dalam surat Al-An’am ayat 151 dengan tegas Allah telah mengharamkan kepada kita, yakni janganlah kita berani-berani mensyerikatkan sesuatu akidah atau syariat yang disusun oleh manusia (dinunnas) dengan akidah dan syariat yang disusun oleh Allah (dinullah). Larangan Allah seperti itu banyak kita jumpai dalam kitab Suci Alquran. Dan apabila larangan itu dilanggar oleh kita, maka kita akan jatuh ke dalam perbuatan dosa yang sangat besar yang tidak mungkin Allah akan memperbaiki dan mengampuninya (surat An-Nisa’ ayat 116). Dalam surat Ar-Rum ayat 31 dan 32, dijelaskan sebab-sebabnya, kenapa Dia tidak akan mengampuni dosa-dosa yang ditimbulkan oleh kemusyrikan?, di antara penyebabnya adalah: kemusyrikan akan menimbulkan perpecahan (firqah) di dalam agama, berpartai-partai, dan berkelompok-kelompok, dan masing-masing kelompok itu akan selalu bangga dengan apa-apa yang ada pada kelompok mereka masing-masing, yang akhirnya perpecahan-perpecahan (firqah-firqah) ini akan melahirkan perpecahan-perpecahan baru yang berkelanjutan, yang tentunya dari sebab itu semua, umat Islam menjadi mundur dan terbelakang. Kalau kita ingin

(27)

mendapat perbaikan dan pengampunan dari Allah, maka hanya ada satu jalan, yakni sekali lagi “kita harus segera mengubur kemusyrikan yang merupakan pangkal penyebab dari perpecahan-perpecahan, pertikaian-pertikaian dan kemunduran-kemunduran yang selama ini kita alami.”

Penguburan kemusyrikan ini baru dapat direalisasikan, apabila masing-masing dari kita bersedia masuk ke dalam “dinullah” dan kemudian mengukuhkan perhatian kita kepadanya (surat Ar-Ruum ayat 30), yang tentunya “dinullah” itu barangnya ada di dalam “Alquran” yang merupakan kalam-Nya. Dia memerintahkan/mewasiatkan kepada kita, agar mengikutinya, dan Dia melarang kita menyakini dan mengamalkan akidah-akidah dan syariat-syariat lain yang tidak Dia susun, karena hanya akidah-akidah dan syariat-syariat-Nya sajalah yang wajib diikuti yang merupakan “jalan-Nya yang mustaqim,” tidak ada sedikit pun kebengkokan (surat 18 ayat 1). Apabila larangan ini dilanggar, maka akibatnya kita akan berpecah belah, menyempal, dan menyimpang jauh dari prinsip-prinsip dasar ajaran Allah yang ada dalam Alquran (surat 6 ayat 153).

Perpecahan itu tentunya disebabkan karena kita mengikuti suatu ajaran, akidah, dan syariat yang dibikin oleh manusia. Karena manusia itu banyak dan beraneka ragam latar belakangnya dan juga beraneka ragam persoalannya dan kepentingannya, maka berbagai akidah dan syariat yang dibikin dan disusunnya pun akan banyak dan beraneka ragam pula, dan malahan yang sering terjadi, satu sama lain saling bertentangan dan berbeda. Karena bagaimanapun hebat dan pandainya manusia, dia tetap manusia, dicipta dan disusun oleh Allah swt. yang tentunya dia tidak akan dapat memiliki sifat “ ‘alimul gaib.” Karena, yang dapat mengetahui hal-hal yang gaib itu hanyalah Allah swt. semata (surat 27 ayat 65). Bahkan, Rasulullah saw. sendiri pun tidak dapat mengetahui hal-hal yang gaib (surat 7 ayat 188). Dan memang seorang rasul dalam batas-batas tertentu dapat mengetahui hal-hal gaib, tetapi itu pun karena Allah swt. memberitahukan kepadanya (surat 72 ayat 26-27).

Jadi sekali lagi, bahwa “dinullah” itu harus benar-benar murni, tidak dapat dikurangi dan ditambah. Jika ada penambahan dan pengurangan di sana-sini, maka dia akan berubah dari susunannya. Sehingga dari din/agama yang sudah tidak murni lagi itu akan muncul hal-hal yang bertentangan dengan fitrah dan kodrat manusia, nurani manusia, dan akal pikiran yang sehat serta jujur. Tetapi sebaliknya, jika “dinullah” tadi murni, maka ajaran-ajarannya, baik yang berhubungan dengan akidah ataupun syariat, tidak akan mungkin bertentangan dengan itu semua, karena keduanya sama-sama dicipta dan disusun oleh Allah swt. yang mempunyai sifat “ ‘Alimul gaib.” Yang hal mana dapat diumpamakan seperti “baut dan mur,” kedua komponen ini dibikin dan disusun dalam ukuran dan bentuk yang serasi, yakni lingkaran-lingkaran yang ada pada mur akan disesuaikan dengan lingkaran- lingkaran yang ada pada baut. Sehingga apabila keduanya dipertemukan, maka akan dapat bersatu, pas, dan harmonis. Tetapi,

(28)

apabila lingkaran-lingkaran yang ada pada baut itu tadi ditambahi, dirubah, atau dikurangi, maka akibatnya akan terjadi ketidak serasian, yakni mur tidak dapat bersatu lagi dengan baut. Begitu pulalah mengenai “dinullah” dan “manusia.”

Oleh karena itu, “berbagai bidah akidah, dan syariat yang berasal dari ajaran-ajaran di luar Alquran, dan juga tak ketinggalan yang berasal dari hadis-hadis palsu yang telah melapisi pada berbagai akidah dan syariat yang ada pada “dinullah” yang murni, harus segera disingkirkan dan dicampakkan!,” yakni, “tembaga jangan dilapiskan pada emas murni,” biarlah tetap emas murni, biarlah tetap “dinullah yang murni,” yang setiap ajarannya, baik yang berhubungan dengan akidah ataupun syariat benar-benar berasal dari Allah swt. (surat 8 ayat 39).

Jadi, seperti itulah cara-cara awal untuk mengubur kemusyrikan, yang dengan perantaraan mana dosa-dosa yang diakibatkan olehnya akan dapat diperbaiki dan diampuni/dilenyapkan oleh Allah swt.

(29)

11. Arti “Istighfar/ ” dan “Hakikatnya” Menurut Alquran Kalimat yang ada di surat 3 ayat 135 diterjemahkan dengan “Lantas mereka minta perbaikan/pengampunan (pada Allah) untuk dosa-dosa mereka.” Dalam kalimat itu kata “Allah” yang sebagai “maf’ul” tidak disebutkan, karena sudah maklum, lantaran dalam Alquran banyak ayat-ayat yang menyebutkan bahwa “istighfar” itu harus ditujukan kepada Allah.

Kata adalah “fi’il Madli” yang Masdarnya adalah

diterjemahkan dengan “minta perbaikan/pengampunan,” karena kata tersebut mengikuti timbangan yang di dalamnya ada tambahan arti “minta,” yang mana kata tersebut sebelum mendapat tambahan tiga huruf di depannya, adalah berasal dari yang artinya “memperbaiki/mengampuni.”

Oleh karena itu, kalau pelaku dari kata tersebut adalah kata “Allah,” maka artinya “Allah akan memperbaiki/mengampuni” seperti umpamanya sebuah ayat yang berbunyi artinya “Dia/Allah akan memperbaiki/ mengampuni untuk kamu pada dosa-dosa kamu.” Jadi, kata dalam Terjemahan ini, tidak diterjemahkan dengan “mereka minta ampun,” karena pengampunan Allah itu baru akan diberikan setelah seseorang insaf/sadar dengan sebenar-benarnya keinsafan/haqqo tuqootih bahwa “dirinya salah” yang disampaikan di hadapan Allah, lantas dia minta perbaikan pada-Nya agar dosa-dosa/kesalahan-kesalahannya diperbaiki oleh-Nya. Atas dasar keinsafan/ kesadarannya itulah, akhirnya dia ada kemampuan untuk memperbaiki dosa-dosa/ kesalahan-kesalahannya yang sudah-sudah dan mengganti dengan perbuatan-perbuatan baik, yang tentunya kemampuan mana berasal dari Allah karena keinsafannya tadi, dan setelahnya itu baru terjadi “pengampunan/pelenyapan” terhadap dosa-dosanya. Kalau dosa/kesalahan seseorang sudah diampuni/ dilenyapkan oleh Allah, berarti dampak-dampak negatif dari dosa/kesalahan yang pernah dilakukannya itu, sudah lenyap dan sudah tidak berpengaruh lagi pada hati dan jiwanya, karena sudah terhapus oleh dampak-dampak positif yang berasal dari perbuatan-perbuatan baik yang selalu dilakukannya. Dan memang, Alquran mengatakan “bahwa dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari perbuatan jahat seseorang itu hanya akan dapat terhapus oleh dampak-dampak positif yang berasal dari perbuatan-perbuatan baiknya” (surat 13 ayat 22-23), sehingga Rasulullah saw. bersabda “Hendaklah kamu menyusulkan/menindihkan perbuatan baik lagi indah terhadap perbuatan jahat, niscaya perbuatan-perbuatan baik tadi akan dapat menghapus/melenyapkannya, dan hendaklah kamu berakhlak mulia di dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara!,” (hadis Bukhari Muslim).

(30)

‘adhiim” dengan tanpa didasari oleh suatu keinsafan/kesadaran “bahwa dirinya salah” dan tanpa didasari oleh hasrat yang kuat untuk minta perbaikan kepada Allah, maka “istighfar” yang semacam itu tidak akan memberikan dampak-dampak kebaikan di dalam perilaku kehidupannya. Tetapi sebaliknya, kalau “istighfar” itu diucapkan di hadapan Allah dengan didasari oleh keinsafan/ketakwaan yang mendalam dengan hasrat yang kuat minta perbaikan kepada Allah, maka “istighfar yang hakiki” seperti inilah yang akan memberikan dampak-dampak kebaikan di dalam perilaku kehidupannya, sehingga di dalam kehidupannya, dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan yang akan bisa timbul dapat ditekan seminim mungkin. Hal ini sesuai dengan surat 8 ayat 33 yang mengatakan, “Allah tidak akan menyiksa/ mengazab sesuatu kaum, sedangkan mereka melakukan istighfar/

.”

Kalau kita lihat sepintas ayat tersebut, maka akan timbul pertanyaan: “kenapa banyak orang atau kaum yang mendapat siksa dari Allah di dunia ini, padahal mereka selalu membaca/mengucapkan istighfar dengan rutin?” Sebagai jawabannya yang sesuai dengan penjelasan di atas, “karena mereka membaca/ mengucapkan istighfar di hadapan Allah tidak didasari oleh keinsafan/ketakwaan yang mendalam dan tanpa didasari oleh hasrat yang kuat untuk minta perbaikan kepada Allah.”

Karena bagaimanapun, menurut Alquran “bahwa perbuatan baik sekecil apa pun akan memberikan dampak yang baik kepada si pelakunya, dan perbuatan jahat sekecil apa pun akan memberikan dampak yang buruk kepada si pelakunya, baik secara lahir ataupun secara batin (surat 99 ayat 7 dan 8).” Dan lagi dalam surat 101 ayat 6 s/d 11, dikatakan “bahwa adapun orang yang berat timbangan amal-amal kebaikannya, maka dia akan berada di dalam kehidupan yang senang,” tetapi sebaliknya “orang-orang yang ringan timbangan amal-amal kebaikannya, maka api yang sangat panaslah yang akan menjadi ibu kandungnya yang akan selalu mengerami dan mendekaminya, yang akhirnya akan melahirkan siksaan Allah yang berupa berbagai kesengsaraan hidup alias neraka, baik di dunia ini ataupun sesudah kematian nanti.”

(31)

12. Allah dan Alquran Adalah “Satu-Satunya Hakim” bagi Kita

Kalimat yang ada dalam surat 6 ayat 114 itu, kalau diterjemahkan dengan bebas, maka artinya “Apakah aku akan mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan Alquran kepada kamu secara terperinci?,” …, dan seterusnya. Dari ayat yang begini jelas, maka kita harus benar-benar menjadikan Allah sebagai “Satu-Satunya Hakim” atau dengan kata lain, kita harus menjadikan Alquran sebagai “satu-satunya hakim” yang dapat memutuskan dengan benar terhadap permasalahan kita apa pun bentuknya, karena dia adalah “satu-satunya kitab yang diturunkan oleh Allah yang sangat sempurna lagi terperinci.” Dan dalam surat 6 ayat 38, dikatakan “bahwa Allah tidak mengalpakan sesuatu apa pun di dalam Alquran/semuanya ada di dalamnya.” Bahkan di dalam surat 16 ayat 89 dikatakan, “Alquran itu sebagai penjelasan bagi setiap sesuatu apa saja, sebagai petunjuk, sebagai rahmat, dan sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang mau berserah diri kepada Allah/muslimin.” Kenapa kita selama ini tidak menjadikan Alquran sebagai “satu-satunya hakim” yang dapat memutuskan permasalahan kita yang serba rumit ini?, bahkan kita menjadikan kitab-kitab selain Alquran sebagai hakim-hakim terhadap permasalahan kita, sehingga akibatnya kehidupan umat Islam benar-benar sempit dan terhimpit, terpecah belah, dan terbelakang dalam segala hal (surat 20 ayat 124 dan surat 6 ayat 153).

Sebenarnya, jika para pakar Muslim sesuai dengan bidangnya masing-masing mau menekuni dan menggali apa-apa yang terkandung dalam perbendaharaan Alquran, niscaya mereka akan menemukan terhadap apa saja yang mereka cari yang berhubungan dengan bidangnya masing-masing itu, sehingga benar-benar pada waktu itu Alquran sebagai petunjuk, sebagai penerang, dan sebagai kabar gembira bagi mereka untuk dapat mengembangkan profesinya, baik dalam bidang hukum pidana, perdata, bidang ekonomi, bidang sosial politik, science-technology, dan lain-lain. Dan akhir semuanya itu, adalah untuk manfaat manusia (surat 3 ayat 110).

Di dalam surat 15 ayat 21, dikatakan, “Perbendaharaan-perbendaharaan ilmu Alquran itu ada di sisi Allah, dan Dia tidak akan menurunkannya kecuali dengan ukuran-ukuran yang tertentu yang sesuai dengan situasi dan kondisi zaman dan tempat.” Dan diturunkannya ilmu-ilmu yang ada dalam perbendaharaan-perbendaharaan Alquran itu, tentunya melalui para pakar di bidangnya masing-masing, yang mereka sudi menekuni dan menggalinya dengan penuh ketekunan dan keikhlasan. Tanpa mana, ilmu-ilmu yang bermanfaat yang terkandung dalam Alquran itu tidak mungkin akan muncul ke permukaan, yang tak ubahnya seperti kandungan bumi yang tidak pernah diteliti dan digali, maka bumi itu pun seperti tidak ada apa-apanya. Padahal kita sama-sama tahu, setelah diteliti, ditekuni, dan

(32)

digali oleh para pakar, maka bumi pun mengeluarkan berbagai sesuatu jenis benda yang dikandungnya yang bermanfaat banyak bagi kemanusiaan. Begitu pulalah perbendaharaan-perbendaharan ilmu Alquran yang menyangkut masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian manusia. Yang semuanya itu akan dapat muncul ke permukaan dan bermanfaat bagi kejiwaan manusia, jika hal itu diteliti, ditelaah, ditadaburi oleh mereka-mereka para psikolog dan para rohaniawan.

(33)

13. Orang-Orang/Kelompok yang Ada di Atas Petunjuk Alquran, Tidak Akan Dapat Dikalahkan oleh Siapa pun dan Kelompok Mana pun

Surat 5 ayat 105 ini, kalau diterjemahkan secara harfiyah, maka artinya “Wahai mana-manakah orang-orang yang mereka telah mempercayakan, (adapun) (kewajiban) atas kamu (adalah hendaklah kamu menjaga) (pada) diri-diri kamu (agar senantiasa berada di atas petunjuk Alquran). Tidak akan membahayakan (pada) kamu (siapa) orang yang dia telah sesat apabila kamu telah tertunjuki/ berada di atas petunjuk Alquran. (adalah) Kepada Allah (yaitu) tempat kembali kamu (selaku) Pengelompok, lantas Dia akan mengkabarkan (pada) kamu pada apa-apa yang kamu telah ada (adalah) kamu mengerjakan/mengaryakan (pada dia/maa).”

Kalimat dalam ayat itu, kalau

diterje-mahkan dengan bebas, maka artinya “orang yang sesat (siapa pun orangnya atau kelompok mana pun), mereka tidak akan dapat membahayakan/merugikan kepada kamu/kaum Muslimin, dengan syarat apabila kamu berada di atas petunjuk Alquran.”

Dari ayat ini, jelaslah bahwa jika berbagai pola pikir, akidah, dan tingkah laku kaum Muslimin benar-benar sesuai dengan petunjuk Alquran, maka pihak ketiga yang sesat, tidak akan dapat membahayakan, merugikan, dan mengadu domba pada mereka, baik pihak yang sesat tadi berasal dari orang-orang Yahudi dan orang Nasrani yang sudah menyimpang dari ajaran aslinya, orang-orang Kapitalis, orang-orang-orang-orang Komunis, orang-orang-orang-orang Sekuler ataupun lainnya.

Tetapi di dalam masa yang cukup lama hingga zaman sekarang (2004 M), sesuai dengan fakta yang ada, maka keadaan kaum Muslimin di banyak negara, masih banyak yang dapat dibahayakan, dirugikan, dipojokkan, dan diadu domba oleh mereka-mereka itu. Adapun penyebab dari semuanya itu adalah “karena berbagai pola pikir, akidah, dan tingkah laku mereka sudah banyak yang menyimpang dari petunjuk Alquran,” kalau tidak, tentunya kaum Muslimin tidak akan mengalami nasib jelek yang seperti itu. Tanpa merubah penyebabnya itu, sesuatu perubahan mustahil dapat dilakukan. Sehingga, dalam surat 13 ayat 11 telah ditegaskan “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib jelek yang ada pada sesuatu kaum, sehingga kaum itu sendiri mau merubah berbagai penyebab yang ada pada diri mereka. Dan apabila Allah sudah menimpakan nasib jelek pada sesuatu kaum, maka di saat itu tidak ada yang dapat menolaknya, dan bagi mereka yang bernasib jelek itu tidak ada satu pun orang yang dapat memimpinnya.” Tentang

(34)

syarat-syarat yang harus dilakukan sehingga perubahan dapat terwujud, penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Maju Mundurnya Sesuatu Bangsa atau Umat/

(35)

14. Bersyukur Kepada Allah/

Bersyukur kepada Allah/ maksudnya adalah “menghargai pada nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita.” Karena dalam surat 4 ayat 147 dikatakan, “Allah tidak akan mengazab pada seseorang ataupun kaum apabila mereka mau mensyukuri/menghargai pada nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.”

Bentuk menghargai kepada nikmat-nikmat Allah dalam kehidupan sehari-hari adalah “nikmat yang Allah berikan pada kita apa pun bentuknya, kita harus menghargai, dengan jalan selalu menjaganya dengan baik dan mempergunakannya dengan tepat lagi manfaat sesuai dengan ketentuan Allah.” Di saat itulah nikmat yang ada tersebut akan selalu ditambah oleh Allah. Tetapi sebaliknya, kita akan menjadi kufur kepada nikmat-nikmat Allah itu, apabila kita tidak menghargai, menjaga, dan mempergunakannya yang sesuai dengan ketentuan Allah. Dan di saat itu nikmat yang Allah berikan akan menjadi sebab datangnya azab Allah (surat 14 ayat 7). Sebagai contoh yang bersyukur kepada nikmat Allah, “Seseorang ataupun kaum apabila mereka mendapatkan nikmat dari Allah yang berbentuk kebaikan yang diterimanya apa pun bentuknya, seperti kepercayaan, kedudukan, pekerjaan, jabatan yang tinggi ataupun yang paling rendah, yang lantas mereka menjaganya dan memanfaatkannya dengan baik dan hati-hati dengan jalan selalu berorientasikan untuk manfaat manusia/ukhrijat linnas (surat 3 ayat 110), niscaya nikmat-nikmat yang ada itu akan ditambah-tambah oleh Allah dengan jalan Allah akan memberkati dan melipatgandakan berbagai kebaikan yang berasal dari nikmat yang ada tersebut.” Sebagai contoh yang kufur kepada nikmat Allah, “Apabila nikmat-nikmat tersebut tidak dihargai/tidak disyukuri, tidak dijaga, dan tidak dimanfaatkannya dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah dengan jalan tidak jujur, khianat, sewenang-wenang, aji mumpung, melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan malakukan berbagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan lain-lain, yang semuanya itu dilarang oleh Allah swt., niscaya mereka akan ditimpa oleh malapetaka dan azab Allah di dunia ini dan sesudah kematian nanti.” Yang mana, situasi yang mengerikan lagi tragis seperti itu, sama-sama telah kita saksikan dalam berbagai daerah dan negeri, termasuk dalam negeri kita ini, yang hal mana merupakan “neraka dunia” bagi mereka yang tidak mau bersyukur/tidak mau menghargai alias kufur terhadap nikmat-nikmat itu.

Dalam Alquran, ada kata sifat yang disebutkan sebanyak 9 kali, yang empat kali untuk Allah (surat 35 ayat 30, surat 35 ayat 34, surat 42 ayat 23, dan surat 64 ayat 17), dan yang lima kali untuk manusia (surat 14 ayat 5, surat 31 ayat 31, surat 34 ayat 13, surat 34 ayat 19, dan surat 42 ayat 33). Oleh karena itu menurut penulis, kata “bersyukur/ ” dalam Alquran lebih tepat dan mengena jika diartikan dengan “menghargai” sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.

(36)

Sehingga, kalau disebutkan dalam Alquran bahwa Allah itu adalah artinya “Allah itu Maha Menghargai,” maksudnya “Allah itu Maha Menghargai terhadap amal-amal baik dari orang-orang yang beriman.” Arti dan maksud tersebut didukung oleh surat 17 ayat 19, dan surat 76 ayat 22, di mana dalam ayat ini disebutkan, “Usaha-usaha baik orang-orang yang beriman itu akan dihargai/ .” Dalam kalimat ini ada kata “dihargai/ ,” tentunya yang menghargainya itu adalah “Allah” yang mempunyai sifat tetap/mubalaghoh/ .

Referensi

Dokumen terkait