• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah “Dua Anak Manusia, Habil dan Qabil,” dan Pelajaran yang Terkandung di Dalamnya

Dalam surat 5 ayat 27 s/d 31, telah dikisahkan tentang dua orang anak manusia/Adam, yang satunya adalah “anak yang baik/Habil”, dan yang satunya lagi adalah “anak yang jahat/Qabil.”

1. Adapun ciri-ciri pokok dari “anak yang baik,” di situ dijelaskan adalah: bertakwa, selalu berhasil, selalu menang dalam berbagai persaingan yang sehat, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi selalu berusaha untuk damai.

2. Adapun ciri-ciri pokok dari “anak yang jahat,” di situ dijelaskan adalah: tidak bertakwa, selalu dengki terhadap keberhasilan orang lain, selalu gagal, selalu kalah dalam berbagai persaingan yang sehat, dan selalu bersikap permusuhan, sehingga melakukan segala macam cara untuk dapat membunuh, menjatuhkan, dan mengalahkan lawannya. Dan akhirnya, di kemudian hari dia menyesal.

Dari kisah permisalan ini, menunjukan bahwa “anak manusia secara umum akan bercorak dengan dua macam corak tersebut”. Yang ciri-ciri pokoknya dapat dikenal seperti yang telah disebutkan.

Dan dari kisah permisalan ini juga, dapat dijadikan pelajaran oleh kita, kaum Muslimin agar supaya kita berhati-hati dalam hidup ini, sehingga akan dapat selalu mempunyai “sifat-sifat mulia” sebagaimana yang dianjurkan oleh Alquran, dan menjauhi sifat-sifat yang tidak terpuji yang dibenci oleh Allah swt.. Karena kisah apa pun, baik kisah baik ataupun kisah buruk yang ada dalam Alquran, gunanya adalah untuk supaya kita dapat mengambil pelajaran darinya, dengan kata lain, yang baik kita tiru dan yang jelek/buruk kita jauhi. Karena menurut Alquran, Allah telah mengadakan berbagai permisalan/lambang di dalam Alquran itu agar supaya manusia dapat mengambil pelajaran darinya (surat 30 ayat 58 dan surat 39 ayat 27).

Kisah dua macam corak anak manusia itu juga dapat dijadikan pelajaran bagi berbagai kelompok/golongan yang ada dalam berbagai agama, bahkan juga dapat dijadikan pelajaran bagi berbagai bangsa yang ada di jagat ini; suatu kelompok atau golongan, bahkan lebih-lebih lagi suatu bangsa, kalau mereka ingin mendapatkan keberhasilan dan kejayaan yang sejati, maka mereka harus memiliki keimanan dan ketakwaan terhadap Allah yang dapat melahirkan sifat-sifat dan tingkah laku yang terpuji. Tetapi sebaliknya, kalau mereka itu kufur terhadap Allah alias keimanannya palsu dengan bukti banyaknya melakukan kejahatan, banyaknya melanggar peraturan-peraturan Allah, maka di kemudian hari dan di hari kemudian sesudah kematiannya, benar-benar mereka tidak akan berhasil dan tidak memperoleh kejayaan, selalu gagal dan gagal dan akhirnya hanya penyesalanlah yang ada.

Dua corak kelompok atau bangsa yang seperti itu telah disebutkan juga dalam surat 11 ayat 24 dengan permisalan sebagai berikut “perumpamaan dua golongan, yakni golongan orang-orang yang kafir itu dimisalkan seperti ‘orang-orang yang buta dan tuli’. Sedangkan golongan ‘orang-orang-‘orang-orang yang beriman, dimisalkan seperti ‘orang-orang yang tajam pandangan dan pendengarannya.’” Lantas di akhir ayat ada pertanyaan dari Allah “apakah sama dua permisalan itu?” Lantas kenapa kamu tidak mau mengambil pelajaran dari permisalan tersebut?

52. Pelajaran yang Terkandung Dalam Kisah “Maryam dan Nabi Isa a.s. dengan Orang-Orang Yahudi, Terutama Alim Ulamanya”

Dalam surat 19 ayat 16 s/d ayat 40, telah dikisahkan tentang “Siti Maryam (sang Ibu) dan Nabi Isa (sang Putra) dengan orang-orang Yahudi, terutama alim ulamanya.” Dalam ayat 16 ada kalimat “hendaklah engkau mengingat kisah Maryam di dalam kitab Alquran!” Maksudnya adalah, “pesan” yang ada dalam kisah tersebut supaya dijadikan “pelajaran yang bermanfaat untuk kita”.

Dan dalam ayat 19-nya dikatakan, “Anak yang akan lahir/Isa itu adalah seseorang anak yang sangat suci kepribadiannya”, bahkan dalam surat 3 ayat 48 dikatakan, “Nabi Isa akan diajari oleh Allah tentang berbagai ketetapan, isi/jiwa Taurat, hikmah/kebijakan dan Injil.” Sehingga karenanya, Nabi Isa dalam usia yang sangat relatif muda (istilahnya masih dalam buaian/ayunan) sudah melakukan berbagai kegiatan dakwah dengan berbagai argumen yang brilian kepada khalayak ramai, terutama kepada alim ulama Yahudi yang jago-jago lagi tersohor yang usianya jauh di atas beliau (surat 3 ayat 46 dan surat 5 ayat 110).

Dengan bantuan Ruh Kudus, maka dakwah Nabi Isa a.s. mempunyai daya tarik atau magnet yang sangat luar biasa, sehingga banyak dari antara mereka yang tertarik dan simpati yang akhirnya menerima dakwah beliau itu. Dalam menghadapi hal ini, para alim ulama Yahudi yang sudah kehabisan hujah, akhirnya mereka mendatangi ibunya Nabi Isa, yakni Siti Maryam dan mereka mengatakan kepadanya “Wahai saudara perempuan Harun/wahai Maryam, kalau dilihat dari asal usul bapakmu dan ibumu dan seterusnya, bukanlah orang-orang yang membikin onar/pengacau/pembangkang dan lain-lain.” Karena hal tersebut menyangkut dakwah yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s., maka sang Ibu mempersilahkan kepada mereka untuk langsung saja menanyakan kepada Nabi Isa., kemudian mereka menjawab “bagaimana kami harus berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan/buaian?” Istilah ini digunakan oleh mereka, karena mereka merasa lebih tahu tentang isi kitab Taurat, lebih tua, lebih pintar, lebih tersohor, lebih banyak pengikut, dan lebih-lebih lainnya, yang karenanya mereka menganggap/mengistilahkan bahwa Nabi Isa itu adalah “anak yang masih ingusan, anak kecil yang masih dalam ayunan”.

Adapun “pesan” yang terkandung dalam kisah antara kedua belah pihak itu adalah “jangan sampai sifat-sifat jelek dari alim ulama Yahudi itu ditiru oleh alim ulama dalam Islam”. Dan alim ulama dalam Islam diharuskan menjauhkan diri dari sifat-sifat sombong seperti itu di dalam menghadapi berbagai persoalan dakwah yang disampaikan oleh pihak lain yang walaupun dalam ukuran mereka pihak lain tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai seorang juru dakwah dan seorang ulama. Bukankah Allah akan memberikan “hikmah” kepada siapa yang Dia kehendaki?, dan memberikan kebenaran kepada siapa yang Dia kehendaki?, dan juga memberikan kepahaman tentang agama kepada siapa yang Dia

kehendaki? (bukan menurut kehendak dan ukuran manusia) (surat 2 ayat 269, surat 10 ayat 35, surat 24 ayat 35 dan ayat 46, dan lain-lain).

Dan tentang bagaimana keadaan dan sikap orang-orang Yahudi, terutama alim ulamanya tatkala Nabi Isa datang di tengah-tengah mereka, maka penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Nabi Isa tidak Dihukum Salib” Tetapi “Beliau Disalib”.

Sebagai catatan yang perlu direnungkan tentang istilah “bayi yang masih dalam ayunan/buaian” yang digunakan untuk Nabi Isa a.s. itu “bukanlah dalam arti yang hakiki,” tetapi dalam arti “majaz/kiasan”. Karena, kalau diartikan dengan arti yang hakiki, yakni “bayi benar-benar yang masih dalam ayunan,” maka suatu hal yang mustahil, dan dibantah keras oleh ayat 30-nya yang mengatakan bahwa “pada waktu itu Nabi Isa sudah diberi kitab Injil oleh Allah dan juga sudah menjadi nabi.”

53. Gelar “Kafir, Zalim dan Fasik” bagi Siapa Saja yang tidak Menghukum