• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hindarkanlah “Sifat Mencaci Maki di Dalam Berdakwah”

Kalimat yang ada dalam surat 6 ayat 108 itu kalau diterjemahkan dengan bebas, maka artinya “Janganlah kamu mencaci maki kepada orang-orang yang dijadikan tuhan-tuhan selain Allah, yang mana mereka yang musyrik itu selalu menyeru kepada tuhan-tuhan itu, maka akibatnya mereka yang musyrik itu akan mencaci Allah karena sikap permusuhannya yang tanpa ilmu.”

Sebagaimana dijelaskan dalam Bab: Hakikat “Musyrik dan Bentuk-Bentuknya” Menurut Alquran, bahwa sesuatu yang dapat disembah itu bentuknya ada tiga macam, yang di antaranya adalah: /orang-orang yang/ manusia, baik dia sebagai ulama, mujtahid, orang-orang suci, orang-orang yang terhormat, para penguasa, ataupun lain-lainnya.

Di dalam kita berdakwah kepada mereka yang menjadikan /orang-orang yang/manusia itu sebagai tuhan-tuhan selain Allah, maka kita dilarang mencaci maki kepada sesembahan-sesembahan mereka itu, karena nantinya mereka akan mencaci maki kepada Islam dan kepada Alquran. Yang mana Alquran itu sendiri adalah sebagai alat dakwah kita untuk menyadarkan mereka. Dan di waktu itu berarti mereka sama saja mencela Allah yang menurunkan Alquran.

Oleh karena itu, di dalam kita berdakwah kepada mereka, kita harus cukup bijaksana dan pandai-pandai mengambil hati mereka, jangan sampai mereka merasa disakiti, dicaci, dihina, dan lain-lain. Bahkan kita harus sanggup dalam segala keadaan menjadi “rohmatan lil ‘aalamiin” bagi mereka, sehingga mereka merasa dihargai, dikasih sayangi, dihormati, dan lain-lain.

Cara-cara dakwah yang cukup bijaksana inilah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., para sahabatnya, dan kaum Muslimin di masa lalu sehingga mereka berhasil dan memperoleh kejayaan yang begitu gemilang yang tiada taranya dalam sejarah kemanusiaan.

Dan dalam surat 16 ayat 125 s/d ayat 128, Allah telah menerangkan, “bagaimana cara-cara dakwah yang baik lagi bijaksana, sehingga dengan perantaraan mana orang-orang yang berjiwa baik dan jujur dapat tertunjuki kepada berbagai kebenaran sesuai dengan yang digariskan oleh Allah”, yaitu dengan jalan:

a. Dengan cara-cara yang cukup bijaksana, yang dengan perantaraan mana, pihak yang didakwahi tidak merasa dibenci, tidak merasa dipojokkan, tidak merasa dijelekkan, bahkan mereka merasa dihormati, dan dikasih sayangi.

b. Dengan memilih materi-materi dakwah yang sangat indah lagi efektif yang sesuai dengan kondisi dari masing-masing yang didakwahi.

c. Kalau terpaksa harus dilakukan dialog atau perdebatan tentang materi yang bersangkutan, hendaklah dengan cara dialog/perdebatan yang seindah-indahnya, dan jangan sampai dialog dilakukan dengan jalan emosi yang meluap-luap, sehingga kebenaran yang mestinya dapat diterima oleh mereka-mereka yang berhati jujur itu menjadi terhalang karenanya.

d. Jika kita diserang dengan berbagai serangan, apa pun bentuknya, maka kita harus membalasnya sesuai dengan yang seumpamanya; seperti umpamanya kalau agama Islam atau Nabi Muhammad saw. diserang atau dijelek-jelekan melalui tulisan atau karangan, maka hendaklah kita menyanggahnya melalui cara yang sama dengan jalan menunjukkan keunggulan dan keagungan dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri.

e. Di dalam kita berdakwah, kita harus tetap gigih/sabar, bertahan di atas ketetapan-ketetapan Allah yang ada, jangan sampai menyimpang darinya. f. Kita dilarang bersedih hati dan sempit dada karena ulah dari serangan-serangan

mereka itu, sehingga karenanya kita melampiaskan hawa nafsu kita untuk merusak apa saja yang dimiliki oleh mereka, apalagi sampai kita berusaha mencelakakan dan membunuh mereka, padahal mereka ini tidak menyerang kita secara fisik.

Dan akhir dari semuanya itu, di dalam berdakwah kita harus bermodalkan “takwa” dan “akhlak-akhlak yang luhur,” karena hanya dengan perantaraan mana, maka dakwah kita akan dapat mencapai hasil yang baik, atau dengan kata lain “Allah akan menyertai kita di dalam berdakwah (surat 16 ayat yang terakhir).

61. “Derajat” dan “Martabat Seseorang” karena “Amal Salehnya”

Surat 6 ayat 132 ini kalau diterjemahkan dengan bebas, maka artinya: Dan setiap orang atau kaum itu akan memperoleh derajat sesuai dengan amal perbuatannya. Dan Allah tidak akan pernah lengah dari apa-apa yang mereka perbuat.

Seseorang atau kaum yang perbuatannya jahat, maka derajatnya atau martabatnya akan jatuh. Tetapi sebaliknya, seseorang atau kaum yang perbuatannya dan karya-karyanya bermanfaat (amal saleh), maka derajat dan martabatnya akan dinaikkan oleh Allah. Karena memang Allah tidak akan pernah lengah untuk memberikan balasan-balasan terhadap mereka, yang perbuatannya jahat akan dibalas dengan kejahatan/siksa, dan yang perbuatannya baik (beramal saleh) akan dibalas dengan kebaikan/kebahagian.

Perlu diberi tanda petik bahwa “amal saleh” yang menyebabkan derajat dan martabat seseorang dinaikkan oleh Allah itu sifatnya adalah “umum”, tidak hanya terbatas pada amal-amal saleh atau ibadah-ibadah vertikal yang berhubungan dengan Allah, tetapi juga amal-amal saleh, karya-karya nyata yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Karena memang, Allah memerintahkan kepada masing-masing orang agar mereka berkarya/beramal saleh sesuai dengan bidang dan wawasannya masing-masing (surat 6 ayat 135, surat 11 ayat 93, surat 2 ayat 286, dan lain-lain).

“Derajat seseorang/kaum ditentukan oleh amal perbuatannya.” Kalimat pendek yang ada dalam ayat tersebut yang penuh dengan seribu arti inilah yang menyebabkan kaum Muslimin di masa lalu berusaha dan berjuang sekeras mungkin untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya supaya mereka dapat beramal saleh sebanyak mungkin yang jangkauan manfaatnya bisa dirasakan oleh banyak pihak.

Dan di samping itu, dalam surat 58 ayat 11 menegaskan, “Allah akan mengangkat derajatnya orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.” Yang dengan perantaraan ilmu mana, orang-orang yang beriman itu dapat beramal saleh sebanyak-banyaknya. Perlu diberi tanda petik bahwa “ilmu” yang dengan perantaraan mana seseorang atau kaum akan diangkat derajatnya oleh Allah itu, sifatnya adalah “umum,” tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu yang berhubungan dengan “hablumminallah”, tetapi juga ilmu-ilmu pengetahuan umum yang dengan perantaraan mana seseorang atau kaum akan dapat berkarya/beramal saleh sebanyak mungkin.

Derajat seseorang karena “ilmu” dan “amal salehnya” seperti yang ada dalam dua ayat tersebut itulah yang mendongkrak kaum Muslimin di masa lalu, sehingga mereka saling berlomba-lomba di dalam menuntut ilmu pengetahuan

dan berlomba-lomba di dalam berkarya/beramal saleh. Yang dengan perantaraan mana, mereka memperoleh simpati dari kaum lain, dan banyak dari mereka yang tertarik dan menggabungkan diri kepada visi dan misi Islam. Hal-hal yang seperti itulah yang menyebabkan kaum Muslimin di masa lalu memperoleh keberhasilan dan kejayaan yang begitu gemilang di dalam sejarah kemanusiaan.

62. Ada “Pelajaran Penting” bagi Kita di Dalam Sejarah Bangsa-Bangsa