• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hakikat “Ikhlas karena Allah/ ” Menurut Alquran

Surat 6 ayat 162 ini, kalau diterjemahkan secara bebas, maka artinya: Hendaklah engkau mengatakan “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah karena Allah, Rabbnya berbagai alam.”

Perlu diberi tanda petik, bahwa kata yang terjemahannya “hendaklah engkau mengatakan” itu tidak terbatas pada ucapan mulut, tetapi yang lebih penting dari pada itu, hendaklah sikap kita dalam kehidupan sehari-hari mengatakan “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah karena Allah, Rabbnya berbagai alam.”

Kata “ /karena Allah,” dalam kalimat itu tidak dapat diartikan dengan “manfaatnya untuk Allah,” karena Allah itu tidak butuh dan tidak bergantung pada ciptaan-Nya, bahkan ciptaan-Nya itulah yang butuh dan bergantung pada-Nya (surat 35 ayat 15, surat 47 ayat 38, dan lain-lain).

Adapun kata “lillah” yang diterjemahkan dengan “karena Allah,” yang biasanya istilah itu menjadi “ikhlas karena Allah,” maksudnya adalah “karena ketetapan-ketetapan Allah menetapkan seperti itu, sehingga kita melakukannya, baik itu tingkah laku yang berhubungan dengan Allah secara vertikal seperti salat, puasa, ibadah haji, zikir, dan lain-lain ataupun tingkah laku yang berhubungan dengan sesama manusia dan lingkungan.” Dan ucapan “karena Allah” atau “ikhlas karena Allah” ini sering kita dengar diucapkan oleh seseorang di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, “istilah ucapan” itu harus ditempatkan pada tempat yang sebenarnya menurut ukuran Alquran, yakni ucapan “karena Allah/ , itu harus berhubungan dengan perbuatan dan tingkah laku yang sesuai dengan peraturan-peraturan Allah.” Hal mana seperti, kalau seseorang mengatakan “karena Allah” atau “ikhlas karena Allah” saya menjadi menteri, menjadi anggota DPR, menjadi polisi, menjadi jaksa, menjadi pengacara, menjadi hakim, dan lain-lain, tetapi kalau pola pikir, sikap mental dan tingkah lakunya di dalam menjalankan amanah/tugas-tugasnya tadi tidak dijalankan dengan baik, tidak amanah, tidak jujur, mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, dan banyak melanggar peraturan-peraturan Allah lainnya, maka tatkala itu mereka tidak berhak untuk mengatakan kepada orang lain bahwa mereka menjabat kedudukan-kedudukan itu dilakukan “karena Allah.” Tetapi sebaliknya, kalau mereka di dalam menjalankan amanah dan tugas-tugasnya itu, mereka melakukannya dengan baik, jujur, amanah, mementingkan masyarakat banyak, selalu hati-hati sehingga hak orang lain atau masyarakat tidak ada yang terambil olehnya, mau menerima nasihat, menepati janji, disiplin, selalu gigih dan tabah walaupun banyak godaan dari sana-sini untuk menyimpang, untuk KKN, dan lain-lain yang dilarang oleh

Allah, maka tatkala itu mereka baru boleh mengatakan, “kami menjabat jabatan ini dan jabatan itu adalah kami lakukan karena Allah.”

Jadi kesimpulannya, bahwa perbuatan seseorang itu dilakukan “karena Allah” atau “ikhlas karena Allah” adalah dapat dilihat dari berbagai perbuatan dari yang bersangkutan itu sendiri, kalau sesuai dengan peraturan Allah, maka bisa dikatakan “ikhlas karena Allah,” dan kalau tidak sesuai dengannya, banyak yang melanggar peraturan-peraturan Allah, maka tidak bisa dikatakan “ikhlas karena Allah,” apa pun jabatan dan kedudukan dari seseorang tersebut, baik dari masyarakat kelas bawah sampai masyarakat kelas atas. Oleh karena itu, menurut Alquran “orang yang ikhlas” itu bukan berarti dia melakukan pekerjaan dengan tanpa mengharapkan imbalan dari pekerjaannya itu,” tetapi menurut Alquran malah sebaliknya, dia harus diberi imbalan sesuai dengan kadar jasanya (surat 36 ayat 54, surat 37 ayat 39, surat 2 ayat 281, dan banyak lain-lain ayatnya). Kalau dia tidak diberikan imbalan sesuai dengan kadar jasanya, padahal dia sangat membutuhkannya, maka berarti dia telah dizalimi hak-haknya (surat 36 ayat 54). Jadi, amat salahlah doktrin atasan yang mengatakan kepada bawahannya “hendaklah kamu bekerja di badan ini atau di badan itu, di kantor ini, atau di kantor itu dengan ikhlas karena Allah, dengan maksud tidak mengharapkan imbalan dari pekerjaannya itu.” Jika doktrin “ikhlas karena Allah” dengan pemahaman yang keliru ini diterapkan dalam badan-badan Islam, maka jangan diharap badan-badan Islam tersebut akan dapat berjalan dengan baik. Karena pada waktu itu banyak pegawai-pegawai tingkat bawah dari badan tersebut yang dizalimi/tidak diberikan hak-haknya sesuai dengan kadar jasanya, sehingga dengan sendirinya mereka tidak akan mungkin dapat bekerja dengan sepenuh hati. Dan kata “ikhlas/ ” itu sendiri adalah bahasa Arab yang mana dia berasal dari kata kerja , yang artinya “memurnikan.” Dan adapun yang dimaksud dengan “orang yang ikhlas/ ” menurut Alquran adalah seperti yang sudah dicontohkan di atas. Sedangkan penjelasan dari segi bahasa tentang kata “ikhlas/ ” yang diartikan dengan “memurnikan,” maka penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: Memerangi “Kemusyrikan” dengan “Senjata Alquran” di bagian yang akhir.

18. “Hakikat Izin Allah/ ” Menurut Alquran

Kalimat “dengan izin Dia/Allah” adalah terjemahan dari kalimat . Kata itu dalam Alquran disebutkan sebanyak sepuluh kali, dan kata disebutkan sebanyak sembilan belas kali, yang di antaranya dalam surat 2 ayat 255, surat 5 ayat 16, surat 2 ayat 249, surat 3 ayat 145, dan lain-lain. Yang mana, masing-masing dari “izin Allah” yang tersebut itu mekanismenya tidak bisa disamakan dengan sesuatu “izin” yang diberikan oleh atasan kepada bawahannya (sesama manusia). Adapun mekanisme/proses datangnya izin Allah di situ, adalah dengan cara mengikuti ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan dengan izin yang dimaksud. Sebagai contoh, dalam surat 2 ayat 255, dengan jelas, bahwa seseorang dengan profesi apa pun, dia akan dapat memberikan syafaat/pertolongan/bantuan kepada pihak lain dengan izin Allah, baik secara materi ataupun rohani. Dan “izin Allah” tersebut akan datang apabila masing-masing orang di dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan bidang dan profesinya masing-masing akan selalu mengikuti terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Kata “syafaat” di sini bukan berarti “seseorang dapat membebaskan orang lain dari hukuman Allah yang telah ditetapkan oleh-Nya atas orang-orang yang jahat.” Dan dalam Alquran surat 4 ayat 85 dikatakan, “Barang siapa yang mensyafaati/ menolong pada orang lain dengan syafaat yang indah/baik, niscaya dia akan mendapatkan bagian keindahan/kebaikan dari orang lain itu. Dan barang siapa yang mensyafaati pada orang lain dengan syafaat yang jahat, niscaya dia akan mendapatkan bagian kejahatan dari orang lain tersebut.” Jadi, “kalau kita ingin mendapatkan syafaat kebaikan dari Rasulullah saw. yang mana beliau selaku pembawa dan pengamal Alquran, maka kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk Alquran yang telah diamalkan oleh beliau.” Yang tanpa mana, syafaat kebaikan beliau saw. tidak akan pernah datang kepada kita. Begitu pula kalau kita ingin mendapatkan syafaat kebaikan dari orang yang selalu mengajari dan menasihati kita dengan petunjuk-petunjuk Alquran. Tetapi sebaliknya, kalau kita mengikuti syafaat yang jelek/jahat dari orang lain, niscaya syafaat kejahatan tadi akan datang kepada kita, karena bagaimanapun perbuatan jahat seseorang pasti akan selalu mendapatkan hukuman yang setimpal (surat 6 ayat 160, surat 10 ayat 27, dan lain-lain).

Kembali kepada hal “izin Allah,” di mana munculnya izin Allah tersebut didahului oleh persyaratan-persyaratan yang telah dikemukakan oleh-Nya. Kita ambil contoh dalam surat 2 ayat 249 dan surat 8 ayat 65-66, di mana dalam ayat-ayat tersebut telah ditegaskan oleh Allah, “Golongan atau kelompok yang sedikit, dengan izin Allah akan dapat mengalahkan kelompok yang banyak.” Datangnya izin Allah sehingga kelompok yang sedikit itu dapat mengalahkan kelompok yang banyak, karena kelompok yang sedikit itu mempunyai “keimanan yang sejati

terhadap Allah dan gigih/sabar dalam perjuangan.” Bahkan dalam surat 8 ayat 65-66, lebih tegas lagi disebutkan, “Orang-orang yang beriman sejati lagi gigih/ sabar dalam perjuangan, dengan ‘izin Allah’ akan dapat mengalahkan orang-orang yang kafir yang berjumlah sepuluh kali lipat atau minimal yang berjumlah dua kali lipat.” Jadi, datangnya “izin Allah” tersebut sehingga mereka dapat menang terhadap orang-orang yang kafir itu, karena mereka adalah “orang-orang yang beriman sejati dan gigih/sabar dalam perjuangan.” Jika dua persyaratan ini tidak ada pada mereka, maka mereka tidak akan dapat mengalahkannya, karena Allah tidak mengizinkan. Oleh karena itu, kalau kaum Muslimin ingin mendapatkan izin Allah sehingga mereka dapat mengalahkan orang-orang yang kafir tersebut, maka mereka harus menjadi “orang-orang yang beriman dan bertakwa yang sejati.” Penjelasan tentang hakikat “iman dan takwa” itu, dapat dilihat dalam Bab: “Beriman Kepada Allah/ ” dan Bab: “Bertakwa Kepada Allah/