• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata “ /Jihad” Dalam Alquran Bukan Berarti “Perang”

Dalam Alquran, kata-kata yang berasal dari kata pokok itu ada sebanyak 41 buah, yang fi’il Madli sebanyak 15 buah, yang fi’il Mudlore’ ada sebanyak 5 buah, kata pokok/Masdar ada sebanyak 10 buah, isim Faa’il ada sebanyak 4 buah, dan yang fi’il Amer ada sebanyak 7 buah. Dan dari masing-masingnya itu, tidak ada satu pun yang artinya “perang.” Karena memang, kata “jihad” itu menurut Alquran dan berbagai kamus Arab, arti pokoknya adalah “bersungguh-sungguh/berjuang.” Dan untuk arti “perang” itu sendiri, Alquran memakai kata-kata yang berasal dari kata pokok “ /qital.”

Dalam surat 9 ayat 41 ada ayat yang berbunyi:

Yang artinya: “Hendaklah kamu berjuang/bersungguh-sungguh di dalam garisan/ jalan Allah dengan harta-harta kamu dan diri-diri kamu ....”

Kata dalam ayat ini adalah “fi’il Amer Jamak” yang berasal dari kata pokok /jihad. Kata kerja “jihad,” baik yang fi’il Madli dan fi’il Mudlore’ ataupun yang fi’il Amer, dalam Alquran biasanya dihubungkan dengan kata-kata /fii sabilillah, sebagaimana yang ada dalam ayat tersebut, yang artinya adalah “di dalam garisan/jalan Allah.”

Dalam surat 29 ayat 69 ada ayat yang berbunyi:

Yang artinya: “Dan adapun orang-orang yang bersungguh-sungguh/berjuang di dalam garisan/jalan Kami, niscaya Kami akan menunjuki mereka pada garisan-garisan/jalan-jalan Kami.” Ayat ini maksudnya adalah “umum,” yakni “siapa saja (sesuai dengan bidangnya masing-masing) yang bersungguh-sungguh atau berjuang agar dirinya dapat berada di dalam peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh Allah, maka Allah akan menunjuki mereka ke arah itu.”

Dalam surat 9 ayat 41 di atas, orang-orang yang beriman telah diperintahkan oleh Allah agar mereka berjihad/berjuang dengan harta dan jiwa mereka/ , sehingga peraturan-peraturan yang telah digariskan oleh Allah dapat ditegakkan di bumi ini, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain. Dan di dalam surat 25 ayat 52, Allah memerintahkan agar kita berjuang menghadapi orang-orang kafir dengan pakai “senjata Alquran,” karena perjuangan tersebut adalah “suatu jihad yang besar” menurut Allah.

Dan lagi di dalam surat 9 ayat 73 dan surat 66 ayat 9, ada ayat yang bunyinya sama, yakni:

Yang artinya: “Wahai Nabi, hendaklah engkau berjihad/berjuang terhadap orang-orang yang kafir dan munafik (dengan senjata Alquran) dan hendaklah engkau kokoh di dalam menghadapi mereka!”

Perintah “jihad” dalam ayat yang terakhir inilah yang biasa diartikan dengan “perang fisik” oleh sebagian kecil kaum Muslimin, sehingga dengan perantaraannya, kata “jihad” itu menurut mereka selalu identik dengan “peperangan secara fisik,” padahal ayat tersebut maksudnya adalah, “Nabi saw. diperintah oleh Allah untuk menyampaikan visi dan misi Islam yang ada dalam Alquran, agar orang-orang kafir dan munafik segera sadar dari segala kesalahannya.” Dan di dalam hal tersebut Nabi saw. diperintahkan agar selalu kokoh/ di dalam memegang kebenaran, sehingga dapat menundukkan mereka. Dan kata ini pulalah, yang biasa diartikan oleh mereka bahwa “Nabi saw. disuruh untuk bersikap kasar terhadap orang-orang kafir dan munafik.” Sehingga dengan perantaraannya, sebagian kecil kaum Muslimin bersifat keras dan kasar terhadap orang-orang yang mereka anggap kafir. Padahal kata-kata yang berasal dari fi’il itu berdasarkan ayat-ayat Alquran dan juga berdasarkan kamus-kamus Arab, artinya “tidak senantiasa keras/kasar,” lihat kata dan kata yang ada di surat 48 ayat 29 dan surat 4 ayat 21. Dalam kedua ayat tersebut, dua kata ini tidak bisa diartikan dengan “kasar atau keras,” tetapi diartikan dengan arti “kokoh atau kuat.” Dan di samping itu, kalau kata dalam ayat tersebut di atas diartikan dengan “Nabi saw. disuruh bersikap kasar atau keras terhadap orang-orang kafir,” maka arti yang seperti ini akan bertentangan dengan surat 3 ayat 159 yang mengatakan, “Nabi saw. itu tidak pernah bersikap kasar terhadap orang-orang yang didakwahi.” Bahkan dalam ayat tersebut dikatakan, “Nabi saw. itu selalu bersikap lunak dan lemah lembut terhadap mereka,” sehingga dengan perantaraannya, orang-orang yang kafir itu banyak yang tertarik kepada Islam.

Dari sini, nyatalah bahwa “menafsirkan ayat-ayat Alquran itu tidak boleh hanya melihat dari satu ayat saja, karena ayat yang satu terhadap yang lainnya itu saling menerangkan.” Kalau menafsirkan ayat-ayat Alquran hanya melihat satu ayat saja, tanpa melihat ayat lain yang menerangkannya, maka akan rusaklah pengertian-pengertian ayat-ayat Alquran itu sendiri. Kita ambil sebuah contoh lagi dalam surat 8 ayat 39 dan surat 9 ayat 29, di situ ada perintah dari Allah agar kaum Muslimin memerangi orang-orang yang kafir dan memerangi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah. Kalau hanya melihat dari dua ayat ini saja

tanpa melihat ayat lain, maka kaum Muslimin itu wajib memerangi kepada mereka-mereka secara umum. Jika hal ini dilakukan, maka betapa bengisnya kaum Muslimin di saat itu, setiap ketemu mereka, mereka memeranginya dan menyikatnya habis-habisan. Padahal dalam surat 2 ayat 190 dan surat 22 ayat 39, yang merupakan keterangan dari ayat itu mengatakan bahwa, yang harus diperangi itu adalah “mereka yang memerangi kaum Muslimin”. Kepada mereka-mereka inilah, kaum Muslimin baru diizinkan untuk berperang. Yang tidak memerangi, ya jangan diperangi, karena tugas kita hanyalah menyampaikan visi dan misi Islam yang ada dalam Alquran kepada mereka. Dan kaum Muslimin itu sendiri di masa Rasulullah saw. berdasarkan sejarah Islam yang benar, tidak pernah memulai peperangan. Di masa itu, peperangan terjadi karena orang-orang kafir dan orang-orang musyrik memulai lebih dahulu. Peperangan itu mereka lakukan, karena mereka sudah kehabisan hujah di dalam menghadapi argumen-argumen dari kaum Muslimin, sehingga mereka kehabisan akal yang menyebabkan mereka dendam dan akhirnya untuk melampiaskan kedendaman itu, mereka memulai peperangan.

Jadi, kembali lagi kepada kata “jihad” yang ada di dalam Alquran sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa kata itu tidak bisa diartikan dengan “perang,” karena untuk arti itu Alquran memakai kata “qital.” Tetapi, perintah “jihad” yang artinya “berjuang/bersungguh-sungguh” yang sifatnya umum itu juga berlaku bagi kita di dalam menjalani peperangan fisik terhadap orang-orang kafir yang memerangi kita, maksudnya adalah “kita harus berjuang, bersungguh-sungguh di dalam memerangi mereka, sampai mereka dapat dikalahkan atau disadarkan.”

Di samping itu, kalau kaum Muslimin tidak hati-hati di dalam memahami kata-kata yang ada dalam Alquran seperti yang telah dicontohkan di atas, maka kaum Muslimin akan terjebak, sehingga mereka akan menjadi sosok-sosok yang keras, kasar, dan bengis, yang kesemuanya ini akhirnya akan bertentangan dengan jiwa dari visi dan misi Islam yang “rohmatan lil ‘aalamin.” Dan di samping itu juga, kaum Muslimin harus lebih hati-hati lagi terhadap hadis-hadis palsu, yang dengan perantaraan meyakini dan mengamalkannya, mereka akan menjadi manusia-manusia kasar seperti yang telah disebutkan. Dalam hal ini, kita ambil contoh beberapa hadis palsu yang mengatakan, “Orang yang murtad atau keluar dari Islam itu harus dibunuh/halal darahnya; orang-orang yang musyrik itu harus diperangi sampai mereka mau membaca dua kalimat syahadat; kalau pemerintahan Islam tidak ada dalam sebuah negara, maka kaum Muslimin harus menyendiri ke hutan-hutan untuk mengadakan perang gerilya melawan pemerintahan yang mereka anggap kafir; kaum Muslimin diwajibkan mendengar dan taat yang membabibuta kepada pimpinan Islam walaupun punggung mereka dipukul dan harta mereka diambil; orang mukmin itu diibaratkan seperti unta yang ditusuk batang hidungnya/tidak boleh mengeluarkan pendapat yang lain dari pimpinan;

harus ikut kepada pimpinan ke mana saja mereka akan dihalau; dan lain-lain.” Sekali lagi, kesemuanya ini adalah hadis-hadis palsu yang Nabi saw. tidak pernah mengucapkannya. Karena isi dan jiwa dari hadis-hadis tersebut bertentangan dengan Alquran. Tentang hadis-hadis palsu yang disandarkan atas nama Rasulullah saw. seperti itu, penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: “Kewajiban Taat Kepada Allah dan Rasul-Nya”.