• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketetapan-Ketetapan yang Bertentangan dengan Alquran Harus Didiamkan/Tidak Boleh Diikuti

Surat 7 ayat 204 ini kalau diterjemahkan dengan bebas, maka artinya: Dan apabila Alquran telah dibacakan (kepada kamu), maka hendaklah kamu mendengarkannya dan hendaklah kamu mendiamkan (pada ketetapan-ketetapan lain yang bertentangan dengan Alquran) supaya kamu mendapat rahmat.

Kata diterjemahkan dengan “hendaklah kamu mendiamkan (pada ketetapan-ketetapan lain yang bertentangan dengan Alquran)”. Yang di dalam ayat itu maf’ulnya dibuang, karena kata itu adalah “fi’il Muta’addi” yang berasal dari “fi’il Lazim .” Hal ini dapat dilihat dalam berbagai kamus Arab termasuk kamus Lisaanul-‘Arob al-Muhiith! Jadi, kata , artinya “diam,” dan kata , artinya “mendiamkan” dan fi’il Amernya , artinya “hendaklah kamu mendiamkan”.

Adapun maksud dari “hendaklah kamu mendiamkan pada ketetapan lain yang bertentangan dengan Alquran,” adalah “apabila ketetapan-ketetapan Alquran sudah kita dengar dan kita ketahui, maka kita harus mengikutinya. Dan pada waktu itu pula, kita harus membuang jauh-jauh ketetapan lain yang sudah mendarahdaging di masyarakat yang ternyata ketetapan-ketetapan tersebut bertentangan dengan Alquran.”

Jadi, kata “mendengarkan” dan “mendiamkan” dalam ayat itu, adalah bukan hanya sekedar “mendengarkan dengan telinga,” dan bukan hanya sekedar “diam dengan tidak berbicara pakai mulut,” tetapi “mendengar” dan “diam” dengan “seribu arti/makna”. Karena dengan perantaraan mana, seseorang akan mendapatkan rahmat dari Allah dalam berbagai segi kehidupannya.

Oleh karena itu, kalau kaum Muslimin di awal abad ke-21 ini ingin mendapatkan rahmat dari Allah, maka hanya ada satu jalan, yakni “kembali kepada kitab Suci-Nya/Alquran untuk didengar suaranya,” sehingga dapat mengetahui berbagai ketetapan-ketetapan dan undang-undangnya, yang hanya dengan perantaraan mana, kita, kaum Muslimin akan dapat mendeteksi mana-mana saja peraturan-peraturan dan undang-undang yang dibikin oleh manusia itu yang isinya bertentangan dengan peraturan-peraturan dan undang-undang Alquran.

Dalam Islam, manusia itu sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman telah dibolehkan, bahkan diharuskan membikin peraturan-peraturan dan undang-undang baru yang berhubungan dengan kemaslahatan manusia dan lingkungan yang tidak ada perinciannya di dalam Alquran, tetapi isinya harus senantiasa sesuai dengan undang-undang dasar Alquran, tidak boleh bertentangan dengan jiwa dari undang-undang dasar tersebut. Dan jika memang sesuai, maka

boleh diikuti dan dijalankan. Dan di saat itu, berarti telah mengikuti dan menjalankan jiwa dari undang-undang Alquran.

Oleh karena itu, di dalam tubuh kaum Muslimin harus muncul sebanyak-banyaknya para pakar di berbagai bidang hukum, sehingga dengan perantaraan mereka-mereka itu, maka akan dapat dibikin berbagai hukum dan ketetapan-ketetapan, yang lantas diundangkan, yang tentunya isinya tidak boleh bertentangan dengan jiwa undang-undang dasar Alquran.

74. “Sikap Berkepala Batu” dan “Merasa Benar Sendiri”

Surat 8 ayat 32 ini kalau diterjemahkan dengan bebas, maka artinya: Dan (hendaklah kamu mengingat) ketika mereka mengatakan, “Wahai Allah, jika ini Alquran adalah kebenaran dari sisi Engkau, maka hendaklah Engkau menghujani kami dengan batu-batu dari langit atau hendaklah Engkau mendatangkan azab yang pedih pada kami.” Kalimat tersebut mengungkapkan terhadap suatu “sikap berkepala batu” dari orang-orang yang menganggap bahwa Alquran itu bukanlah suatu kebenaran yang datang dari Allah. Di mana setelah Alquran itu disampaikan kepada mereka, maka mereka pun tetap kukuh menganggap bahwa Alquran itu bukanlah suatu kebenaran yang datang dari Allah. Hal ini terjadi karena mereka tidak mau menggunakan akal sehatnya di dalam menanggapi argumen-argumen Alquran. Pikiran dan hati mereka sudah terbelenggu sedemikian rupa oleh tradisi pemikiran dan keyakinan lama. Yang dengan perantaraan mana, mereka tetap kukuh dalam keyakinan bahwa “Alquran itu bukanlah suatu kebenaran yang datang dari Allah,” sampai-sampai karena kekukuhannya yang begitu keras, maka mereka pun pada waktu itu berani menanggung resiko untuk dihujani batu dari langit dan diazab oleh Allah.

Dari ungkapan yang ada dalam ayat tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa “seseorang itu sangat mungkin akan berani membela mati-matian terhadap sesuatu keyakinannya yang mereka anggap benar yang walaupun kenyataannya salah”. Karena “kenyataannya salah” dari suatu keyakinan yang mereka anggap benar tersebut, baru akan dapat dilihat oleh mereka yang mau menggunakan akal sehatnya. Dan dalam surat 8 ayat 22, dan dalam surat 39 ayat 18, jelas-jelas dikatakan, “Hanya orang-orang yang mau menggunakan akal sehatnya-lah, yang akan diberi petunjuk oleh Allah, sehingga mereka dapat mendengar dan melihat dengan baik terhadap suatu kebenaran yang datang kepada mereka.” Jika tidak, maka mereka pun akan diberi gelar oleh Alquran “orang-orang yang peka/tuli, “orang-orang-“orang-orang yang bisu, dan “orang-orang-“orang-orang yang buta, mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi” (surat 2 ayat 18, surat 7 ayat 179, dan lain-lain).

Dari kesimpulan tersebut, kita dapat mengambil pelajaran darinya, sehingga “Kita akan senantiasa mau menggunakan akal sehat kita di dalam menanggapi argumen-argumen orang lain yang lebih benar dan lebih tepat menurut ukuran Alquran dan kita harus sanggup membebaskan diri kita dari tradisi pemikiran dan keyakinan lama yang salah yang selama ini membelenggu kita.” Yang dengan perantaraan mana kita akhirnya bisa mendengar, melihat dan berbicara dengan

sebaik-baiknya menurut ukuran Alquran. Tentang penjelasan hal ini secara agak detail dapat dilihat dalam Bab: “Berpegang Teguh pada Tradisi Nenek-Moyang yang Keliru” yang ada di dalam “MUQODDIMAH” di depan.

75. “Memerangi Kemusyrikan” dengan “Senjata Alquran”

Kalimat dalam surat 8 ayat 39 ini kalau diterjemahkan dengan bebas, maka artinya: Hendaklah kamu memerangi pada mereka, sehingga tidak akan ada fitnah (yang masuk ke dalam agama Allah) dan yang akan ada hanyalah agama Allah (yang murni) yang setiap ajarannya adalah kepunyaan/berasal dari Allah. Kata “memerangi” di sini tidak hanya diartikan “perang dengan pedang/ senjata secara fisik” sebagaimana perang yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya terhadap orang-orang kafir yang memulai dahulu memeranginya di masa lalu. Karena di masa sekarang ini kemusyrikan sudah merajalela di dalam penganut berbagai agama, termasuk di dalam penganut agama Islam itu sendiri, sehingga banyak ajaran-ajaran dari berbagai agama tersebut yang sudah dicampuri oleh kemusyrikan, maka untuk membersihkannya, kita hanya punya satu senjata, yakni “senjata Alquran”. Karena, Alquran itu sendiri merupakan “senjata yang paling ampuh,” maka kita harus menggunakannya sebagai alat untuk berjuang/berjihad dan memerangi mereka-mereka yang senantiasa memadukan/menserikatkan ajaran-ajaran palsu dengan ajaran-ajaran Allah yang murni. Sehingga dengan perantaraan mana, ajaran-ajaran palsu yang telah menindih terhadap ajaran-ajaran Allah yang murni itu akan segera terdeteksi sedini mungkin. Yang akhirnya di saat itu yang nampak hanyalah agama Allah yang murni/ , sebagaimana firman-Nya dalam surat 39 ayat 3, yang berbunyi: yang artinya “Ketahuilah bahwasanya agama yang murni/tidak bercampur dengan kemusyrikan itulah yang milik Allah.” Itulah

rahasianya dari ayat yang berbunyi: atau

yang ada dalam berbagai ayat Alquran. Dan kalimat-kalimat ini selalu didahului oleh perintah Allah yang menyuruh kita berdoa dan beribadah kepada-Nya; yang maksudnya, kalau kita berdoa dan beribadah kepada Allah, kita harus mengikuti peraturan-peraturan Allah yang ada di dalam agama-Nya yang murni dalam Alquran, tidak boleh mengikuti peraturan-peraturan yang bertentangan dengannya.

Jadi, kalau kita berjihad dengan Alquran untuk memerangi kemusyrikan sebagaimana yang diperintahkan oleh-Nya dalam surat 25 ayat 52, maka jihad tersebut termasuk beribadah kepada Allah dalam rangka memurnikan ajaran-ajaran Allah yang sudah tertindih dan ternodai oleh berbagai kemusyrikan yang ada. Oleh karena itu, kata atau yang tersebut, selalu mempunyai maf’ul kata , yang sebelum kata itu ada kata , yang maksudnya adalah . Kata atau itu, diartikan “selaku orang-orang yang

memurnikan,” karena kata itu berasal dari fi’il Muta’addi , yang artinya “memurnikan”. Dan fi’il Muta’addi ini berasal dari fi’il Lazim

yang artinya “murni,” sehingga dalam Alquran surat 16 ayat 66 ada ungkapan artinya “susu yang murni”. Untuk lebih jelasnya tentang berjihad dengan Alquran untuk memerangi berbagai kemusyrikan, maka penjelasannya dapat dilihat dalam Bab: Kata “ /Jihad” Dalam Alquran Bukan Berarti “Perang”. Dan Bab: Hakikat “Musyrik dan Bentuk-Bentuknya” Menurut Alquran di bagian bentuk kemusyrikan yang ketiga bagian kedua!

76. “Alquran” Sebagai “Alat Penjinak dan Pemersatu Umat Manusia”

Surat 8 ayat 63 ini kalau diterjemahkan dengan bebas, maka artinya: Andaikan engkau membelanjakan apa-apa yang ada di bumi semuanya, niscaya engkau tidak dapat mempersatukan hati-hati mereka, tetapi Allah-lah yang dapat mempersatukan hati-hati mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Perkasa lagi Yang Maha menghakimi/memutuskan.

Dari ayat tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa “cara-cara yang bukan berasal dari Allah, apa pun bentuknya, tidak akan dapat menjinakkan atau mempersatukan hati-hati manusia”. Tetapi, cara-cara yang datangnya dari Allah-lah yang akan dapat menjinakkan atau mempersatukan hati-hati manusia. Yang tentunya cara-cara tersebut barangnya ada dalam Alquran.

Jadi, kalau kita, kaum Muslimin ingin bersatu dan menjalin “ukhuwah islamiah yang sejati,” maka hanya ada satu jalan, yaitu “Kita masing-masing harus segera menekuni dan menadaburi Alquran, sehingga pola pikir, akidah, kemauan dan tingkah laku kita akan segera dapat diwarnai dengan warna yang berasal dari Allah yang ada dalam Alquran.” Karena dalam surat 2 ayat 138, telah disebutkan dengan tegas, “Kita manusia, khususnya kaum Muslimin, telah diperintahkan agar kita mewarnai diri kita dengan warna/shibghoh yang berasal dari Allah, karena tidak ada warna yang lebih indah kecuali warna yang berasal dari Allah, yang barangnya ada dalam Alquran.”

Dengan demikian, jika pola pikir, pemahaman, akidah, dan tingkah laku kaum Muslimin sudah tidak diwarnai dengan warna yang berasal dari Alquran, maka di antara mereka sudah saling tidak jinak, bermusuh-musuhan, berpecah belah, yang karenanya keadaan mereka terpuruk seperti yang selama ini terjadi. Oleh karena itu, kalau kita, kaum Muslimin ingin mengentaskan diri dari keadaan terpuruk tersebut, maka kaum Muslimin berdasarkan surat 3 ayat 103, harus segera berpegang teguh pada ketetapan-ketetapan Alquran. Karena hanya dengan perantaraannya, kaum Muslimin di mana pun berada akan dapat menjalin “ukhuwah islamiyah yang sejati”. Yang ukhuwah islamiyah mana sudah pernah terjadi di masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya dan juga di masa-masa kaum Muslimin memperoleh kajayaan yang gemilang di masa-masa yang lalu. Tetapi sebaliknya, kalau kaum Muslimin tidak mau melakukan hal itu, bahkan menjadikan Alquran sebagai sesuatu yang ditinggalkan dan disingkirkan (surat 25 ayat 30), maka kaum Muslimin akan berada di dalam jurang kehancuran yang mustahil akan dapat diselamatkan (surat 3 ayat 103), bahkan dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun keadaannya makin bertambah parah, saling bermusuhan satu sama

lain, saling berebut kedudukan dan jabatan, saling menjatuhkan, saling mengejar kekayaan materi dengan tidak mempedulikan kepentingan umat, saling menjilat kepada penguasa yang zalim lagi otoriter, dan saling-saling lainnya yang sungguh amat memprihatinkan. Dari ini semua, akhir bin akhirnya, kaum Muslimin mengalami kekalahan dan kehinaan di mana-mana. Dan di saat yang serba memprihatinkan itu, akhirnya kaum Muslimin menjadi makanan empuk umat lain. Hal yang seperti inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw., sehingga beliau pernah bersabda “Akan datang suatu zaman di mana Alquran hanya tinggal tulisan dan bacaannya saja, Islam tinggal namanya/bangga dengan simbul Islam, tetapi jauh dari nilainya, dan ulama-ulama Islam pada waktu itu adalah sejahat-jahat manusia di kolong langit, karena mereka satu sama-lain saling memfitnah demi untuk mengejar materi, jabatan dan kedudukan.” Mudah-mudahan keadaan yang seperti ini yang selama ini terjadi, kita, kaum Muslimin segera sadar dan akhirnya mau menjadikan Alquran sebagai kitab petunjuk satu-satunya dalam menjalani kehidupannya, Amin!