• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS

MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA

DENGAN AKTIVITAS MATAHARI

R. HIKMAT KURNIAWAN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Analisis Periodisitas Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut di Indonesia

dan Hubungannya dengan Aktivitas Matahari

R. Hikmat Kurniawan

G02499041

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

Pada

Program Studi Agrometeorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

RINGKASAN

R. HIKMAT KURNIAWAN. Analisis Periodisitas Suhu dan Tekanan Paras

Muka Laut di Indonesia dan Hubungannya dengan Aktivitas Matahari.

Di bawah bimbingan IDUNG RISDIYANTO dan THOMAS DJAMALUDDIN.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perubahan cuaca dan iklim di bumi, salah satunya adalah faktor aktivitas matahari, dengan indikator bintik matahari (sunspot) yang memiliki siklus 11 tahun. Penambahan fluks radiasi matahari diduga mempengaruhi kondisi atmosfer lapisan atas. Berbagai data dan metode telah digunakan untuk menganalisis hubungan antara parameter kosmogenik dan iklim. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan permukaan laut di beberapa tempat.

Keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut dilihat dengan analisis spektral menggunakan tehnik wavelet, yaitu Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ). Indikasi kemungkinan pengaruh aktivitas matahari dilakukan dengan mengidentifikasi periode-periode dominan 11 tahunan yang ditunjukkan pada grafik-grafik WWZ dan Winsurf pada parameter suhu dan tekanan paras muka laut. Pengujian data suhu dan tekanan paras muka laut pada 3 kota, yaitu Jakarta, Medan, dan Ambon, serta pada 4 periode musim (Desember-Februari, Maret-Mei, Juni-Agustus, dan September-November) bertujuan untuk membandingkan perbedaan pengaruh tersebut pada tempat dan waktu yang berbeda.

Hasil menunjukkan bahwa masing-masing wilayah dan periode musim memiliki periode-periode siklus yang beragam. Namun secara umum periode-periode dominan 11 tahunan terdapat pada sebagian besar data iklim. Sedangkan jika diinterpretasi evolusi tahunnya, hanya sebagian kecil data yang menunjukkan adanya periode-periode dominan akibat siklus bintik matahari. Meskipun sebaran data suhu dan tekanan paras muka laut berada di dalam kisaran data bintik matahari, korelasi kedua parameter tidak dapat dihubungkan secara langsung. Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan memerlukan waktu tunda yang bervariasi dari hitungan bulan sampai tahun.

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Analisis Periodisitas Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut di Indonesia dan

Hubungannya dengan Aktivitas Matahari

Nama : R. Hikmat Kurniawan

NRP : G02499041

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Idung Risdiyanto, MSc.IT. Dr. Thomas Djamaluddin

NIP. 132 206 238 NIP. 300 001 126

Mengetahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. NIP. 131473999

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin, puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, kuasa, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menuelesaikan Laporan Skripsi, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Jurusan Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam meyusun laporan skripsi ini banyak kelemahan dan kekurangan. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada :

1. Bapak Idung Risdiyanto MSc.IT. Selaku Pembimbing I

2. Bapak Dr. Thomas Djamaluddin sebagai Pembimbing II. Terima kasih atas segalanya 3. Bapak Dr. Ir. Yonny Koesmaryono MS. sebagai Pembimbing Akademik

4. Keluarga tercinta yang selalu memanjatkan doa dan memberikan dukungan selama ini 5. Ndo, rekan-rekan dan seluruh staf dosen serta tata usaha Jurusan Agrometeorologi IPB 6. Semua pihak yang telah membantu penulis namun yang tidak tersebutkan satu persatu.

Terima kasih banyak

Semoga laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi kepentingan banyak pihak. Terima kasih.

Bogor, Agustus 2006

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 22 April 1982 di Bandung. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara dari pasangan Lilis Sulaeha dan R. Aen Harnaen.

Penulis lulus dari SMU PGRI Bandung pada tahun 1999 dan diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN pada tahun yang sama.

Selama masa perkuliahan penulis aktif di HIMAGRETO (2000-2002), BEM FMIPA (2001/2002), BKIM IPB (2000/2001), dan berbagai kepengurusan acara lainnya.

(7)

DAFTAR ISI

Teks

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bintik Matahari (Sunspot) 2

2.2. Suhu Udara 3

2.3. Tekanan Paras Muka Laut (Sea Level Pressure) 3

2.4. Karakteristik Geografis Wilayah Jakarta, Medan, dan Ambon 4

2.5. Hubungan-hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Muka Paras Laut 4

2.6. Hubungan-hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu 5

2.7. Weighted Wavelet Z-Transform 6

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 6

3.2. Alat dan Bahan 6.

3.3. Metode Penelitian 6

Studi Pustaka 6

Pengolahan Data 6

Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet Z- Transform (WWZ) 7

Analisis Evolusi Periode Dominan dengan Pemetaan Winsurf 8

Analisis Periodisitas untuk Identifikasi Faktor Aktivitas Matahari Terhadap Parameter Iklim 8

Analisis Kuantitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Iklim 8

Analisis Kualitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Iklim 8

Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ 9

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Studi Pustaka 9

4.2.Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet Z- Transform (WWZ) 10

(8)

4.4.Analisis Periodisitas untuk Identifikasi Faktor Aktivitas Matahari Terhadap

Parameter Iklim 19

4.5. Analisis Kuantitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Iklim 21

4.6. Analisis Kualitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Iklim 21

4.7. Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ 23

V. KESIMPULAN DAN SARAN 25

VI. DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

No

Teks

Halaman

1. Fluktuasi Tahun Maksimum dari Periode Sunspot 2

2. Variasi Bilangan Bintik Matahari dan Prediksinya 3

3. Amplitudo Respon Perubahan Suhu Permukaan Terhadap Forcing Irradiansi 1 Wm-2 5

4. Selang Waktu Respon (dalam bulan) Setelah Forcing Matahari 1 Wm-2 5 5. Tampilan Program NDP041 7

6. Tampilan Program WWZ11 7

7. Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari 10 8. Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari (Periode Desember-Februari) 10

9. Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari (Periode Maret-Mei) 10

10. Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari (Periode Juni-Agustus) 10 11. Grafik WWZ Data Bilangan Bintik Matahari (Periode September-November) 10 12. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta 11 13. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta (Periode Desember-Februari) 11 14. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta (Periode Maret-Mei) 11 15. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta (Periode Juni-Agustus) 11

16. Grafik WWZ Data Suhu Jakarta (Periode September-November) 11

17. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta 11 18. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Periode Desember-Februari) 12 19. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Periode Maret-Mei) 12

20. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Periode Juni-Agustus) 12

21. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Periode September-November)12

(9)

23. Grafik WWZ Data Suhu Medan (Periode Desember-Februari) 13

24. Grafik WWZ Data Suhu Medan (Periode Maret-Mei) 13

25. Grafik WWZ Data Suhu Medan (Periode Juni-Agustus) 13

26. Grafik WWZ Data Suhu Medan (Periode September-November) 13

27. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan 13

28. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan (Periode Desember-Februari) 13

29. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan (Periode Maret-Mei) 13

30. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan (Periode Juni-Agustus) 13

31. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Medan (Periode September-November)13

32. Grafik WWZ Data Suhu Ambon 14

33. Grafik WWZ Data Suhu Ambon (Periode Desember-Februari) 14

34. Grafik WWZ Data Suhu Ambon (Periode Maret-Mei) 14

35. Grafik WWZ Data Suhu Ambon (Periode Juni-Agustus) 14

36. Grafik WWZ Data Suhu Ambon (Periode September-November) 14

37. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon 15

38. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Periode Desember-Februari) 15

39. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Periode Maret-Mei) 15

40. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Periode Juni-Agustus) 15

41. Grafik WWZ Data Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Periode September-November)15

42. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan Suhu Jakarta 23

43. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan SLP Jakarta 23

44. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan Suhu Medan 24

45. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan SLP Medan 24

46. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan Suhu Ambon 24

47. Grafik Overlay Data WWZ Bilangan Bintik Matahari dengan SLP Ambon 24

DAFTAR TABEL

No

Teks

Halaman

1. Penelitian-penelitian Hubungan Matahari dengan Parameter Iklim di Indonesia 9

2. Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu dan Tekanan Paras Muka

Laut Wilayah Berdasarkan Evolusi Periode Data 20

3. Nilai Koefisien Korelasi (R2) Bintik Matahari (SSN) dengan Suhu dan

(10)

4. Nilai WWZ, Tahun, dan Periode yang Sama antara Bintik Matahari (SSN)

dengan Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut 22

5. Nilai WWZ Iklim Saat Bintik Matahari Maksimum 22

6. Nilai WWZ Iklim Saat Bintik Matahari Minimum 22

7. Sebaran Nilai WWZ Data Bintik Matahari, Suhu, dan Tekanan

Paras Muka Laut (Normalisasi) 23

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.Grafik Winsurf Bintik Matahari Bulanan Lampiran 2.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Bulanan

Lampiran 3.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta Bulanan Lampiran 4.Grafik Winsurf Suhu Medan Bulanan

Lampiran 5.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan Bulanan Lampiran 6.Grafik Winsurf Suhu Ambon Bulanan

Lampiran 7.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon Bulanan Lampiran 8.Grafik Winsurf Bintik Matahari (Desember-Februari) Lampiran 9.Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Desember-Februari)

Lampiran 10.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Desember-Februari) Lampiran 11.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Medan (Desember-Februari)

Lampiran 12.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (Desember-Februari) Lampiran 13.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Ambon (Desember-Februari)

Lampiran 14.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Desember-Februari) Lampiran 15.Grafik Winsurf Bintik Matahari (Maret-Mei)

Lampiran 16.Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Maret-Mei)

Lampiran 17.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Maret-Mei) Lampiran 18.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Medan (Maret-Mei)

Lampiran 19.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (Maret-Mei) Lampiran 20.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Ambon (Maret-Mei)

Lampiran 21.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Maret-Mei) Lampiran 22.Grafik Winsurf Bintik Matahari (Juni-Agustus)

Lampiran 23.Grafik Winsurf Suhu Jakarta (Juni-Agustus)

Lampiran 24.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (Juni-Agustus) Lampiran 25.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Medan (Juni-Agustus)

(11)

Lampiran 27.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Ambon (Juni-Agustus)

Lampiran 28.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (Juni-Agustus) Lampiran 29.Grafik Winsurf Bintik Matahari (September-November)

Lampiran 30.Grafik Winsurf Suhu Jakarta (September-November)

Lampiran 31.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Jakarta (September-November) Lampiran 31.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Medan (September-November)

Lampiran 33.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Medan (September-November) Lampiran 34.Grafik Winsurf Suhu Jakarta Ambon (September-November)

Lampiran 35.Grafik Winsurf Tekanan Paras Muka Laut Ambon (September-November) Lampiran 36.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu Jakarta

Lampiran 37.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Paras Muka Laut Jakarta Lampiran 38.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu Medan

Lampiran 39.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Paras Muka Laut Medan Lampiran 40.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu Ambon

Lampiran 41.Grafik Hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Paras Muka Laut Ambon Lampiran 42. Diagram Alur Penelitian.

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cuaca dan iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan manusia. Aktivitas manusia berperan dalam perubahan cuaca maupun iklim dalam cakupan ruang yang kecil hingga global. Selain faktor antropogenik (aktivitas manusia), perubahan cuaca dan iklim juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Sebagai negara maritim yang terletak di ekuator, variabilitas iklim di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor. Secara geografis, Indonesia terletak di wilayah tropika, terapit oleh dua daratan luas (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik) serta karakteristik wilayahnya yang berbentuk kepulauan. Kondisi demikian membuat faktor-faktor yang mempengaruhi iklim di Indonesia menjadi lebih kompleks. Selain didasarkan pada faktor kondisi atmosfer, faktor lain yang juga semakin diperhitungkan dalam penelitian cuaca dan iklim adalah faktor kosmogenik, seperti aktivitas matahari.

Matahari sebagai sumber energi bumi sejak lama dianggap sangat mempengaruhi iklim. Pegerakan rotasi bumi dan revolusi tahunan serta aktivitas yang terjadi di permukaannya berpengaruh pada komposisi panas yang dipancarkan sehingga berakibat pada jumlah penerimaan radiasi di setiap tempat yang kemudian berpengaruh pula terhadap unsur-unsur iklim lainnya, seperti suhu udara dan tekanan paras muka laut (sea

level pressure). Berbagai data dan metode

telah digunakan untuk menganalisis hubungan antara parameter iklim dan aktivitas matahari. Namun hingga kini belum ada teori yang mampu menjelaskan secara pasti bagaimana mekanisme fisis keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap perubahan cuaca dan iklim di atmosfer. Banyak faktor yang membuat pengaruh aktivitas matahari terhadap cuaca dan iklim di bumi tidak dapat berpengaruh langsung, seperti adanya sinar kosmik di angkasa dan partikel-partikel udara bebas di atmosfer bumi. Ada suatu kemungkinan terdapat sinyal-sinyal periodik lain yang lebih kuat yang akan berakibat melemahkan sinyal bintik matahari. (Pambudi, 2000).

Pada penelitian ini, penentuan hubungan aktivitas matahari terhadap iklim dilakukan dengan analisis periodisitas (spektral) menggunakan tehnik wavelet, yaitu tehnik analisis spektrum yang

digunakan untuk mendapatkan dan mengkuantifikasi komponen-komponen periodik dari suatu data runtut waktu ( time

series ). Keterpengaruhan dilihat dari pola

evolusi periodisitas antara parameter iklim dan kosmogenik, serta dari korelasi dan waktu tunda (timelag) antara kedua parameter sebagai pelengkap.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui evolusi periodisitas bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut stasiun cuaca Jakarta, Medan, dan Ambon, dengan metode WWZ.

2. Mengetahui keterkaitan antara bintik matahari dengan suhu udara dan tekanan paras muka laut ketiga kota berdasarkan analisis WWZ.

(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bintik Matahari ( Sunspot )

Di permukaan matahari terjadi gejolak– gejolak yang kadang menguat dan kadang melemah yang dikenal dengan aktivitas matahari. Salah satu bentuk aktivitas matahari adalah bintik matahari atau dikenal dengan sunspot. Kombinasi aktivitas matahari dan magnetiknya diduga berperan besar pada siklus aktivitas matahari (Djamaluddin, 2001). Bintik yang terjadi di lapisan fotosfer matahari memiliki suhu relatif rendah (4000K) dari sekitar (6000K). Strukturnya terdiri dari umbra dan penumbra. Umbra terletak di bagian dalam bintik dan memiliki suhu yang relatif rendah (4500K) sehingga warnanya lebih gelap daripada penumbra. Diameter umbra kurang lebih setengah dari diameter bintik matahari total. Untuk bintik kecil, batas antara umbra dan penumbra tidak jelas sehingga sulit untuk dijelaskan. Bintik matahari merupakan suatu fenomena akibat adanya aktivitas magnetik yang terjadi di dalam matahari itu sendiri.

Di permukaan matahari kadang terjadi pusaran gas yang hebat dimana terjadi rotasi partikel-partikel bebas yang menimbulkan arus dan menimbulkan medan magnet. Di dalam pusat matahari terjadi rekasi inti dengan mengeluarkan panas bersuhu tinggi (orde jutaan Kelvin) sehingga semua atom atom dan gasnya terionisasi. Tekanan dipusat matahari lebih tinggi daripada di luarnya sehingga partikel partikel tadi berusaha untuk keluar menuju ke permukaan. Aliran partikel dari bawah permukaan tidak dapat melewati medan magnet, melainkan dibelokkan sehingga menyebar ke samping, yang berakibat di bagian tersebut bersuhu lebih tinggi dari bagian dalam atau kabur gelap (Pambudi,2000)

Bintik matahari bisa diamati dengan menggunakan teleskop dan akan tampak bintik-bintik hitam dipermukaan matahari. Bintik matahari muncul secara berkelompok tetapi ada juga yang secara individu. Ukuran kelompok bintik bervariasi dari 10.000 km untuk bintik ukuran sedang hingga 50.000 km untuk bintik ukuran besar. Ukuran bintik selalu berubah terhadap posisi dan waktu. Bintik yang berukuran kecil sering bertahan dalam hitungan hari sedangkan bintik berukuran besar dapat bertahan lebih dari sebulan. Bintik matahari tidak hanya periodik dalam hal bilangan (jumlah) tetapi

juga terhadap posisi lintang matahari. Pada awal siklus baru, bintik mulai muncul pada sabuk 30°LU dan 30°LS matahari. “sabuk” ini kemudian begerak menuju ekuator. Bintik akan terlihat jelas dan mencapai maksimum pada sabuk 16°LU dan 16°LS. Setelah itu aktivitasnya akan menyusut dan akhirnya menghilang disekitar 8°LU dan 8°.

Pada pusat tata surya, tidak ada fenomena lain selain bintik matahari yang kemunculannya bersifat periodik. Selama satu periode waktu, beratus-ratus bintik matahari mungkin membentuk kelompok kelompok besar tetapi pada satu waktu yang lain sama sekali tidak ditemukan bintik. Periode tersebut dinamakan periode “matahari tenang”, jika sebaliknya dinamakan “matahari aktif”. Periode bintik matahari adalah 11.1 tahun yaitu hasil perataan selama 80-90 tahun, bervariasi antara 9-14 tahun. Setiap satu siklus bintik matahari (sunspot cycle) terjadi periode

solar max dan periode solar min

(Christiany,2002)

Gambar 1. Fluktuasi tahun maksimum dari sunspot number (Djamaluddin, 2005).

Pada tahun 1948, Rudolf Wolf merumuskan bilangan bintik matahari harian untuk memperkirakan keaktifan matahari berdasarkan sunspot number “R”. adapun persamaannya adalah :

R = k (10g+f)

dengan f adalah total bintik matahari yang tampak pada permukaan mataharinya, g adalah jumlah total grup bintik matahari, k adalah faktor reduksi yang tergantung pada pengamat dan jenis teleskop yang sedang digunakan, agar setara dengan perhitungan wolf yang didefinisikan k=1. Bilangan bintik matahari tersebut merupakan sebuah index basis harian, tetapi karena variasi antar harinya besar maka menjadi basis bulanan dan tahunan (Thompson, 1985)

(14)

Gambar 2. Variasi bilangan bintik matahari dan prediksinya (http://science.nasa.gov/ast14oct99_1.htm).

Pada Gambar 2 ditunjukkan variasi bilangan bintik matahari dari tahun 1995 hingga 1999 dan prediksinya sampai tahun 2007. Pengamatan bintik matahari pertama kali diamati dengan menggunakan teleskop dimulai pada tahun 1611. Penelitian bintik matahari terus berlangsung hingga kini dengan metode dan teknologi yang lebih maju sehingga pengkajiannya menjadi lebih berkembang.

2.2. Suhu Udara

Suhu mencerminkan energi kinetik rata-rata dari pergerakan molekul-molekul. Pada udara, energi kinetik dijabarkan sebagai setengah dari perkalian massa sebuah molekul dengan kecepatan kuadrat rata- rata dari gerakan molekul tersebut.

Pada lapisan troposfer, secara umum suhu makin rendah menurut ketinggian. Rata-rata penurunan suhu berdasarkan ketinggian di Indonesia sekitar 5-6°C tiap kenaikan 1 km. Variasi suhu menurut tempat dipengaruhi juga oleh posisi daerah tersebut terhadap daratan dan lautan serta keadaan unsur iklim, seperti perawanan. Di daerah tropika fluktuasi suhu rata-rata harian relatif konstan sepanjang tahun sedangkan fluktuasi suhu diurnal lebih besar daripada fluktuasi suhu rata-rata harian. Waktu tunda antara radiasi surya maksimum dan suhu maksimum adalah sekitar 2 jam. (Handoko et al).

2.3. Tekanan Paras Muka Laut (Sea Level Pressure)

Tekanan paras muka laut merupakan besaran tekanan udara di suatu tempat pada level permukaan laut (0 mdpl). Besarnya tekanan paras muka laut dapat dikonversi dari tekanan udara stasiun dengan persamaan :

-dp = g ρ dz

dengan dp adalah perubahan tekanan udara, g adalah gravitasi, ρ adalah kerapatan udara,

dan dz adalah perubahan ketinggian. Artinya bahwa, tekanan pada ketinggian z adalah sebanding dengan massa (berat) udara pada kolom vertikal pada ketinggian tersebut.

Tekanan udara adalah gaya berat kolom udara dari permukaan tanah sampai puncak atmosfer persatuan luas (Handoko, 1995). Tekanan udara pada setiap titik merupakan berat total udara di atas titik tersebut persatuan luas. Tekanan udara berkurang dengan bertambahnya ketinggian, karena lapisan atmosfer yang makin tipis. Kita dapat menghubungkan tekanan baik dengan suhu maupun perubahan kerapatan (ρ) karena faktor- faktor ini mempengaruhi jumlah molekul pada volume udara tertentu dan kecepatan geraknya. Kerapatan udara rendah disebabkan oleh jumlah molekul yang sedikit persatuan volume, berakibat pada tekanan udara yang rendah. Kerapatan dapat diubah dengan mengurangi jumlah energi kinetik molekul- molekul udara pada suatu volume udara tanpa merubah massanya.

Kecepatan gerak molekul-molekul udara dipengaruhi oleh suhu, apabila suhu meningkat energi kinetiknya makin tinggi, sehingga semakin cepat molekul- molekul udara bergerak. Oleh karena itu untuk suatu volume udara tetap, tekanannya akan semakin tinggi dengan bertambahnya suhu.

Kenaikan suhu akan menyebabkan molekul-molekul lebih aktif bergerak dan tumbukan yang lebih sering terjadi akan mengakibatkan naiknya tekanan apabila volumenya tetap. Variasi tekanan secara horisontal lebih kecil dibandingkan secara vertikal.

Hubungan antara kerapatan, tekanan dan suhu udara untuk lapisan troposfer dapat dijelaskan sebagai berikut :

- berdasarkan persamaan hidrostastik : dp = - g ρ dz

dengan dp adalah perubahan tekanan, ρ adalah kerapatan udara, g adalah gravitasi dan dz adalah perubahan ketebalan lapisan udara.

- menurut persamaan gas ideal : P V = n R T

dengan n adalah jumlah mol. R adalah

tetapan Boltzman (8,3143 JK-1mol-1), V

adalah volume udara, dan T adalah suhu mutlak (dalam Kelvin).

(15)

2.4. Karakteristik Geografis Wilayah Jakarta, Medan dan Ambon.

Indonesia merupakan salah satu wilayah bumi yang terletak di wilayah tropika, yaitu wilayah yang terletak antara 23,5°LU dan 23,5°LS. Tipe iklim tropika dicirikan dengan suhu, kelembapan, penguapan, dan curah hujan yang tinggi.

Daerah tropika menerima jumlah radiasi matahari yang relatif lebih banyak sehingga tekanan udaranya lebih rendah dibanding sekitarnya, oleh sebab itulah wilayah tropika termasuk kedalam zona divergensi inter tropika (ITCZ). Menurut Koppen, tropika termasuk kedalam tipe iklim A dimana suhu bulan terdingin >18°C.

2.4.1. Jakarta

Terletak pada 1060BT dan 60LS, berada

di lautan rendah pantai utara pulau Jawa bagian barat. Wilayah bagian selatan relatif lebih berbukit dibandingkan dengan wilayah bagian utara sampai sekitar 10 km ke selatan dan memiliki ketinggian maksimum 7 mdpl. Pada lokasi tertentu letaknya malah berada di bawah permukaan laut, bahkan terdapat pula penurunan muka tanah. Jakarta beriklim panas. Pada tahun 1986 suhunya

rata-rata 31,70C pada siang hari, sedangkan

pada malam hari mencapai 23,90C.

Perbedaan suhu udara rata-rata antara musim hujan dan kemarau tidak mencolok. Kelembapan udara rata-rata tahun 1985 adalah 78%. Curah hujan mencapai 1935 mm pada tahun 1986, tertinggi pada bulan Januari, terendah 52,4m pada bulan Oktober (Depdikbud, 1991).

2.4.2. Medan

Medan terletak di bagian timur sebelah utara propinsi Sumatera Utara (yang terletak

pada ketinggian 0 – 2829 mdpl, antara 10LU

– 40LU dan 980BT – 1000BT). Dataran

rendahnya ada yang berupa pantai, seperti di pantai timur, tetapi ada juga yang bergelombang. Dataran tingginya ada yang berupa pegunungan rendah dengan ketinggian 25 – 300 mdpl. Medan beriklim tropis tanpa suhu tertinggi yang ekstrim (Depdikbud, 1991).

2.4.3. Ambon

Ambon berada pada posisi 128,080BT

dan 3,70LS terletak di kepulauan wilayah

timur Indonesia. Topografi kota Ambon dan juga wilayah lainnya di Maluku adalah kepulauan dengan tanah yang bergelombang dan berpegunungan dan sebagian dataran

rendah. Karena bentang wilayahnya yang sangat luas, maka masing-masing pulau ini memiliki iklim lokal sendiri. Angin laut sangat berpengaruh terhadap iklim di wilayah ini sehingga iklim lokal dapat menyimpang sama sekali. Suhu rata-ratanya

mencapai 26,30C dengan suhu minimum

15,10C dan suhu maksimum 330C

(Depdikbud, 1991).

2.5. Hubungan-hubungan Aktivitas

Matahari Terhadap Tekanan Paras Muka Laut.

Tidak semua aktivitas matahari berpengaruh pada iklim bumi. Hal ini karena bumi mempunyai medan magnet yang dapat menahan sebagian besar angin matahari. Ada suatu keuntungan yang sangat besar dimana bumi mempunyai medan magnet, garis-garis medan magnet bumi, magnetosfer, akan melindungi atmosfer dari hujan partikel kosmis (Pambudi, 2000). Adapun parameter aktivitas matahari yang cukup mempengaruhi bumi diantaranya adalah bintik matahari (Syahrina, 2005).

Aktivitas matahari berhubungan dengan cuaca dan iklim dalam skala yang luas. Emisi gelombang pendek yang berasal dari letusan di permukaan matahari mampu mempengaruhi tingkat pemanasan pada atmosfer bumi hanya dalam waktu tunda yang relatif pendek, kemudian pola sirkulasi atmosfer ke arah kutub pada daerah lintang tinggi. Indikator yang dapat diamati dengan jelas yaitu perubahan tekanan paras muka laut yang bertambah besar dari daerah lintang yang mendapatkan suplai panas maksimum (ekuator) (Pambudi, 2000).

Christoforou dan Hameed (1997) (dalam Djamaluddin, 2001) menganalisis hubungan aktivitas matahari (indikator bintik matahari) terhadap aktivitas cuaca di Pasifik. Dua daerah sistem tekanan semi permanen di Pasifik belahan utara, yaitu Aleut (350 – 700LU, 1200BB – 130BT) yang

bertekanan rendah, dan Hawaii (200

500LU, 1000BB – 1400BT) yang bertekanan

tinggi, dianalisis perubahan lokasi pusat tekanannya selama Desember – Januari tahun 1900-1994. Hasilnya menunjukkan adanya pengelompokkan yang signifikan. Pada saat aktivitas matahari minimum, pusat tekanan rendah Aleut berpindah sejauh rata-rata 700 km ke arah timur, sedangkan pusat tekanan tinggi Hawaii berpindah ke utara dari sekitar 31,60LU ke sekitar 33,20LU.

(16)

2.6. Hubungan-hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu.

Pengaruh aktivitas matahari terhadap

suhu udara di bumi diteliti oleh beberapa

ilmuwan di dunia. Respon suhu udara permukaan global terhadap variabilitas aktivitas matahari 11 tahunan diteliti Stevens dan North (1996) (dalam Djamaluddin, 2001) dengan memanfaatkan data suhu udara permukaan jangka panjang (1934-1993) dan data irradiansi matahari yang dikalibrasi dengan data bintik matahari. Mereka menunjukkan (gambar 3 dan 4) bahwa perubahan suhu udara global dipengaruhi oleh aktivitas matahari. Pengaruh terbesar terjadi di daratan dekat ekuator, terutama wilayah Arab dan Afrika utara yang merespon perubahan irradiansi

matahari 1 Wm-2 dengan perubahan suhu

sekitar 0,060C dan di Amerika selatan

dengan 0,050C. Sedangkan di Indonesia

sekitar 0,045-0,050C. Dari simulasi itu juga

ditunjukkan bahwa respon aktivitas matahari terhadap suhu itu tidak langsung, tetapi ada selang waktu 8-24 bulan. Asia tengah paling cepat merespon, hanya dengan selang waktu 8 bulan, sedangkan Indonesia sekitar 18 bulan.

Gambar 3. Amplitudo respon perubahan suhu udara

permukaan terhadap forcing irradiansi 1 Wm-2. (dalam

Djamaluddin, 2001).

Gambar 4. Selang waktu respon (dalam bulan) setelah

forcing matahari 1 Wm-2. (dalam Djamaluddin, 2001).

Friis-Christensen dan Lassen (1991,1994) (dalam Djamaluddin, 2001) menunjukkan hal lain bahwa hubungan aktivitas matahari (dengan indikator bilangan bintik matahari) dan suhu

permukaan sulit diinterpretasikan bila dikorelasikan secara langsung. Walaupun menunjukkan yang mirip tetapi perubahan suhu udara ternyata mendahului 20 tahun daripada perubahan bilangan bintik matahari. Mereka lalu menunjukkan perubahan suhu permukaan rata-rata global (1750-1990) ternyata berkorelasi sangat baik dengan panjang siklus aktivitas matahari, bukan dengan bilangan bintik mataharinya.

Sedangkan Charvatova dan Strestik (1995) (dalam Djamaluddin, 2001) menunjukkan bahwa dari analisis data suhu udara permukaan jangka panjang dijumpai indikasi peranan gerak inersial matahari di sekitar pusat massa surya. Dengan membandingkan antara spektra periodisitas bilangan bintik matahari dan gerak inersia matahari, mereka menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pada saat gerak matahari teratur (pada rentang waktu 1727-1777 dan 1906-1956), suhu udara permukaan relatif lebih hangat dibandingkan saat gerakan tidak teratur.

Lean (1991) (dalam Djamaluddin, 2001) mengungkapkan bahwa perbedaan irradiansi (solar constant) antara saat siklus matahari minimum dan maksimum adalah 0,1%. Perubahan tingkat irradiansi matahari dari aktivitas minimum ke maksimum yang sekitar 0,1% hanya berdampak pada pengurangan pemanasan langsung di

permukaan bumi sekitar 0,25 Wm-2 (Schiffer

dan Unninayar, 1991) (dalam Djamaluddin,

2001) dan perubahan suhu global 0,020C

(Foukal dan Lean, 1990) (dalam Djamaluddin, 2001).

Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Svensmark (1998) menyatakan bahwa pada dekade-dekade akhir, variasi suhu bumi lebih mendekati variasi flux sinar kosmik dan panjang siklus matahari, dibanding parameter aktivitas matahari lainnya. Kesimpulan utamanya bahwa gejala-gejala di heliosfer dapat mempengaruhi iklim bumi. Selain itu Svensmark bersama Christensen juga meneliti hubungan flux sinar kosmik dengan penutupan awan global yang menyimpulkan bahwa variasi sistem penutupan awan global selama siklus aktivitas matahari terakhir dapat disebabkan oleh variasi aktivitas matahari 11 tahunan dari flux sinar kosmik meskipun hubungannya tidak bersifat langsung.

(17)

2.7. Weighted Wavelet Z-Transform WWZ)

WWZ merupakan suatu metode analisis spektrum yang digunakan untuk menganalisis data runtut waktu (time series) yang tidak lengkap. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh G. Foster tahun 1996 untuk mendeteksi dan mengkuantifikasi sinyal periodik. Metode ini dikembangkan dalam piranti lunak oleh The American Association of Variable Star Observes (AAVSO). Awalnya metode ini dibuat untuk keperluan analisis data bintang variabel yang juga memerlukan evolusi periodisitasnya, namun karena segala data runtut waktu dapat digunakan dengan metode tersebut, maka penggunaannya dapat diperluas termasuk untuk data meteorologi dan astronomi lainnya.

Keunggulan metode ini dibanding metode lain adalah WWZ memungkinkan untuk mendeteksi periode sesaat (transient

periodic) dengan nilai periode, amplitude,

dan fase yang senantiasa berubah-ubah (Djamaluddin, 1998b). Selain itu WWZ juga dapat memroses data yang tidak lengkap dan dapat menyeragamkan selang waktu dari setiap data runtut waktu tanpa perlu melakukan interpolasi sebelum memroses. Data hilang tidak masalah karena analisisnya bersifat sesaat.

Metode lain yang digunakan untuk mendapatkan periodisitas atau komponen-komponen periodik yang lain dari suatu data runtut waktu lain mengharuskan masukan data yang lengkap dalam selang waktu yang tetap, padahal dalam kenyataannya data runtut waktu seringkali tidak lengkap atau selang waktu antar data tidak seragam. Cara yang biasa dilakukan adalah interpolasi, dengan periodisitas yang dihasilkan tidak tepat. Salah satu penggunaan wavelet untuk menganalisis aktivitas matahari dilakukan oleh Djamaluddin (2001) yang menyimpulkan bahwa periode aktivitas matahari bervariasi antara 9-13 tahun.

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung pada bulan Januari-Mei 2006.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah personal komputer dengan perangkat lunak pengolah kata, pengolah angka, notepad, Numerical Data Package (NDP) 041, Winsurf, dan Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ) 11. Bahan yang digunakan adalah data bulanan bintik matahari (Sunspot Number/SSN), suhu, dan tekanan paras muka laut (Sea Level Pressure / SLP) jangka panjang (1889-1988) stasiun kota Jakarta, Medan, dan Ambon.

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Studi Pustaka

Metode ini digunakan untuk mencari berbagai literasi dan referensi keterkaitan suhu udara dan tekanan paras muka laut dengan aktivitas matahari (dengan indikator bintik matahari).

3.3.2. Pengolahan Data

Pengolahan awal yang dilakukan adalah mengelompokkan data bilangan bintik matahari, suhu udara, tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon (periode Desember-Februari, Maret-Mei, Juni-Agustus, dan September-November). Periode didasarkan pada perbedaan posisi matahari terhadap letak lintang bumi sehingga mempengaruhi jumlah penerimaan intensitas radiasi matahari yang kemudian berpengaruh pada suhu dan tekanan udara. Wilayah kajian yang dianalisis adalah Jakarta, Medan, Ambon didasarkan atas perbedaan pola curah hujan masing-masing wilayah, dimana Jakarta berpola hujan monsoon (puncak hujan pada musim panas), Medan berpola bimodal (dua puncak hujan dalam setahun), dan Ambon berpola lokal (puncak hujan pada musim dingin). Pengelompokkan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan suhu dan tekanan paras muka laut pada masing-masing periode, serta keterkaitannya dengan keterpengaruhan aktivitas matahari.

Proses selanjutnya adalah memanggil data bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut. Data bilangan

(18)

bintik matahari didapatkan dari solar index data center (SIDC) Belgia yang dapat didownload melalui situs

www.sidc.oma.be/data/monthssn.dat.

sedangkan suhu udara dan tekanan paras muka laut untuk Jakarta, Medan, dan Ambon menggunakan program basis data parameter iklim NDP041 buatan Vose, et al. (1992), parameter iklim yang tersedia adalah curah hujan ( R ), suhu ( T ), tekanan udara ( P1 ), dan tekanan paras muka laut ( P2 ) beberapa stasiun cuaca seluruh dunia. T. Djamaluddin mengekstraknya untuk data iklim Indonesia.

Gambar 5. Tampilan program NDP041.

Berdasarkan keperluan pertimbangan data kosong, data dari NDP041 dipisah ke dalam meteo2 dan meteo3. Pada meteo2, keluaran data bulanan yang kosong dilewat. Sedangkan pada meteo3 keluaran data bulanan yang kosong diinterpolasi. Meteo2 biasanya yang digunakan masukan data pada analisis periodisitas. Sedangkan meteo3 bisa digunakan dalam menganalisis korelasi. Keluaran data dari program NDP berupa data runtut waktu dan nilai data. Data pada kolom waktu menjelaskan tahun dan bulan yang dinyatakan dalam desimal tahun, bulan ke-n tahun ke-1 dinyatakan dengan :

Tahun Desimal = t+(n-0,5)/12

Misalnya Januari 1982 dinyatakan dengan 1982.042. Data bilangan bintik matahari dilambangkan dengan R. Bilangan ini dihitung dengan persamaan :

R = k (10g+f)

dengan k adalah faktor reduksi (yang tergantung pada pengamat dan jenis teleskop yang digunakan (agar setara dengan perhitungan Wolf, digunakan k=1), g adalah jumlah grup bintik matahari, dan f adalah total bintik matahari.

3.3.3. Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ).

Weighted Wavelet Z-transform merupakan pengembangan dari aplikasi tehnik wavelet. Tehnik wavelet banyak digunakan sebagai metode analisis periodik dari data runtut waktu. Program ini dibuat oleh The American Association of Variable Star Observers, berdasarkan Foster (1996). Adapun persamaan dari WWZ yang digunakan adalah : Z =

)

(

2

)

3

(

Vy

Vx

Vy

Neff

dengan Z sebagai nilai WWZ, Vx adalah variasi pembobot (weighted variation) data pada sumbu horizontal (timeseries), Vy adalah variasi pembobot fungsi model pada sumbu vertikal, dan Neff adalah jumlah efektif (Effective Number) waktu dan frekuensi data yang diuji.

Pada penelitian ini WWZ digunakan untuk mendapatkan periode dominan dari data bilangan bintik matahari serta suhu dan tekanan paras muka laut untuk kota Jakarta, Medan, dan Ambon. Sampel data yang dianalisis bervariasi antara 25-100 tahun berdasarkan kelengkapan data. Nilai relatif WWZ menunjukkan kekuatan siklus periode dominan dari data.

Gambar 6. Tampilan program WWZ11.

Untuk menjalankan program ini diharuskan adanya data runtut waktu dua kolom (kolom waktu dan kolom data) yang disimpan dalam format *prn. Pengujian ini dilakukan untuk data bulanan dan periode musim. Kisaran periode yang dilakukan adalah 0-25 tahun. Hasil yang diperoleh berupa nilai frekuensi (yang kemudian didapatkan nilai periodenya, P = 1/F), Amplitude, Jumlah efektif, dan nilai

(19)

WWZ-nya. Selanjutnya dari proses tersebut dapat dibuat grafiknya untuk melihat lebih jelas pola spektrum dari bilangan bintik matahari, suhu, dan tekanan paras muka laut yang menunjukkan dominasi periodik data berdasarkan nilai WWZ.

Analisis data dilakukan dengan menginterpretasi periode-periode dominan yang muncul pada grafik dan hubungannya antara bintik matahari dengan suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon.

3.3.4. Analisis Evolusi Periode Dominan dengan Pemetaan Winsurf.

Perangkat lunak winsurf dalam penelitian ini digunakan untuk melihat evolusi periode dominan dari data bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut. Data olahan dari proses sebelumnya berupa tiga kolom (kolom tahun, periode, dan nilai WWZ). Kemudian data disimpan dalam format excel spreadsheet. File tersebut dibuka dengan winsurf dan di set selang tahun dan selang periodenya serta jarak antar tahun dan periodenya. Program akan mengkontur data peta atas file data yang sekarang dalam format *grid. Lalu diatur level, label, dan warna dari kontur yang diinginkan.

Grafik winsurf berupa gambar tiga dimensi. Sumbu x menyatakan waktu pada runtut waktu, sumbu y menyatakan periodenya, dan nilai WWZ dinyatakan dengan kontur. Domain periodisitas data dianalisis berdasarkan nilai puncak WWZ yang berubah terhadap waktu.

3.3.5. Analisis Periodisitas untuk Identifikasi Faktor Aktivitas Matahari Terhadap Parameter Iklim.

Grafik winsurf selanjutnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor aktivitas matahari terhadap parameter suhu dan tekanan paras muka laut. Indikasi adanya keterkaitan dilihat dari kemiripan evolusi periode dan tahun data. Titik-titik puncak periode dominan pada grafik winsurf bintik matahari menjadi tolak ukur untuk dibandingkan dengan puncak-puncak periode dominan pada grafik suhu dan tekanan paras muka laut setiap wilayah. Setiap puncak periodisitas pada grafik winsurf bintik matahari diidentifikasi dengan tanda alfabet. Jika pada masing-masing grafik winsurf parameter wilayah teridentifikasi tanda alfabet yang sama,

berarti terdapat keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap parameter tersebut.

Metode diatas dilakukan pula untuk data antar periode musim. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan signifikan pengaruh aktivitas matahari terhadap iklim, pada setiap periode musim. 3.3.6. Analisis Kuantitatif Korelasi Parametr Bintik Matahari dengan Parameter Iklim.

Metode ini dilakukan untuk melihat hubungan keterpengaruhan aktivitas matahari terhadap parameter suhu dan tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon. Metode yang dilakukan adalah dengan mencari nilai r antara nilai bintik matahari dengan unsur iklim (suhu dan tekanan). Nilai r dihitung dari data bintik matahari dan unsur iklim yang telah dihaluskan (smoothing) dan dinormalisasi.

Data smoothing menggunakan persamaan :

S=[(S1+S13)/2+S2+S3+S4+S5+S6+S7+S8+S9+

S10+S11+S12]/12

dengan S adalah nilai penghalusan data

bulan ke-7 (pertengahan tahun), S1 dan S13

merupakan data awal dan akhir tahun data

sehingga diberi pembobotan 0,5. S2 sampai

S12 menyatakan nilai data pada bulan ke-2

hingga ke-12.

Data smoothing selanjutnya digunakan untuk ditampilkan pada grafik moving average data bintik matahari dan parameter iklim, yang diplotkan pada skala normalisasi 0-1.

Nilai korelasi r berada pada selang

-1<0<1. dimana jika nilai r mendekati 0 maka menunjukkan tidak adanya hubungan antara kedua variabl ( x dan y saling bebas ). Jika nilai r mendekati 1 maka terdapat hubungan yang cukup kuat antara kedua variabel, dan jika r mendekati -1 maka terjadi hubungan berkebalikan antar variabel.

3.3.7. Analisis Kualitatif Korelasi Parameter Bintik Matahari dengan Parameter Iklim.

Metode lain yang digunakan untuk melihat korelasi bintik matahari dengan parameter iklim ditinjau dari kesamaan tahun, periode, dan nilai WWZ antara kedua parameter, identifikasi data saat nilai WWZ maksimum/minimum, serta sebaran data.

Terdapat hubungan keterpengaruhan antara parameter bintik matahari dengan parameter iklim jika kedua parameter

(20)

memiliki nilai WWZ yang sama pada tahun yang dan periode yang sama pula. Hubungan keterpengaruhan juga teridentifikasi jika pada saat nilai WWZ bintik matahari maksimum, didapatkan nilai WWZ parameter iklim yang maximum pula, dan sebaliknya, jika pada saat nilai WWZ bintik matahari minimum, parameter iklim menunjukkan nilai WWZ yang minimum pula.

Analisis sebaran data digunakan untuk melihat selang data pada masing-masing data bilangan bintik matahari dan parameter iklim. Terdapat keterpengaruhan jika selang data parameter iklim berada di dalam kisaran sebaran data bilangan bintik matahari. Nilai sebaran data [X] :

[X] = X + SD X

dengan X adalah nilai rataan seluruh data dan SD X merupakan nilai standar deviasi data.

Tabel 1. Penelitian-penelitian hubungan matahari dengan parametr iklim di Indonesia

3.3.8. Analisis Waktu Tunda pada Grafik Overlay WWZ

Analisis Waktu Tunda digunakan untuk melihat kemungkinan adanya keterlambatan pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu dan tekanan paras muka laut. Analisis ini dilakukan pada grafik overlay antara parameter kosmogenik dengan parameter iklim ketiga wilayah kajian. Panjang waktu tunda ditunjukkan dari selisih periodisitas dominan antara puncak WWZ bintik matahari dengan puncak WWZ parameter iklim yang paling dekat setelah puncak WWZ bintik matahari tersebut. Metode ini tidak dilakukan perperiode musim karena data antar bulan dan tahunnya saling berkesinambungan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Studi Pustaka

Hasil studi pustaka beberapa penelitian hubungan matahari dengan parameter iklim yangb telah dilakukan di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1.

No Peneliti Judul Metode

1 2 3 4 5 Thomas Djamaluddin (1998) Rilo Pambudi (2000) Tuti Kurniaty (1997) Ari Christiany (2005) Syahrina (2004)

Efek pasang surut bulan dan aktivitas matahari pada penyebaran awan di Indonesia

Prediksi Curah Hujan Regional Jangka Panjang Berdasarkan Fenomena Siklus Sunspot

Pengaruh Sunspot Terhadap Iklim dan Pengujian Hipotesis

Pengaruh Aktivitas Matahari (solar activity) Terhadap Perubahan Cuaca di Indonesia Berdasarkan Teori Fractal dan Hubungannya Dengan Fenomenea El-Nino

Identifikasi Pengaruh Siklus Bintik Matahari pada Spektrum Curah Hujan Pulau Jawa

- analisis spektral pada data awan di sekitar Jakarta dengan Weighted Wavelet Z-Transform

- penentuan zona sinyal sunspot pada data curah hujan dan analisis spektral entropi maksimum - perata-rataan ruang terhadap data curah hujan

yang berada dalam zona sinyal sunspot - estimasi koefisien regresi menggunakan Least

Square

- metode korelasi linier dan smoothing menggunakan Low Pass Filter binomial 5 suku

- nilai korelasi r dan pengujian hipoteis H0 =

tidak ada pengaruh, H1 = ada pengaruh

- pengujian keterpengaruhan menggunakan distribusi normal Z 2 arah dengan α = 0,05 - koefisien korelasi dan uji F hitung

- penentuan nilai α ( Self Similarity Parameter ) - penentuan nilai fractal dengan metode DFA

( Detrended Fluctuation Analysis )

- Low Pass Filter suku 5

- analisis spektral menggunakan FFT - analisis spektrum silang

(21)

4.2. Analisis Periode Dominan Menggunakan Program Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ).

Hasil grafik yang sebelumnya diolah dengan WWZ memunculkan periode-periode dominan yang mengindikasikan siklus dari suatu fenomena alam. Periode dominan 4-8 tahun dapat diakibatkan karena efek ENSO (Wiratmo, 1998), 9-14 tahun kemungkinan besar merupakan siklus bintik matahari (Perry, 1994), 15-18 tahun diduga akibat pasang surut bulan – aktivitas matahari (Currie, 1996) dan periode 19-25 tahun akibat perubahan siklus magnetik matahari (Perry, 1994).

4.2.1. Analisis WWZ Data Bilangan Bintik Matahari.

Weighted Wavelet Z-Transform merupakan salah satu program yang dapat digunakan untuk menganalisis siklus yang paling dominan dari suatu data runtut waktu (dalam hal ini data bintik matahari, suhu udara dan tekanan paras muka laut) dalam bentuk spektrum.

Dominasi periodik untuk bilangan bintik matahari terlihat pada Gambar 7.

0 100 200 300 400 500 600 0 10 20 30 40 50 Periode (tahun) WWZ

Gambar 7. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari. Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa periode yang sangat dominan adalah sekitar 11 dan 12 tahunan. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata siklus aktivitas matahari 11 tahunan muncul sangat kuat, ditunjukkan dengan nilai relatif WWZ yang mencapai hampir 600. Begitu pula jika dipilah permusim menurut posisi matahari relatif terhadap bumi, dominasi periodenya tetap menunjukkan 11 atau 12 tahunan walaupun nilai WWZ-nya tidak sebesar pada data bulanan dikarenakan grafik WWZ data bulanan merupakan akumulasi keempat data periode musiman sehingga jumlah data lebih banyak dan nilai WWZ puncak periode juga menjadi tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 8, 9, 10, dan 11. 0 50 100 150 200 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 8. Grafik WWZ data bilangan biuntik matahari (periode Desember-Februari). 0 50 100 150 200 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 9. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode Maret-Mei). 0 50 100 150 200 1 5 9 13 17 21 25 29 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 10. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode Juni-Agustus). 0 50 100 150 200 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 11. Grafik WWZ data bilangan bintik matahari (periode September-November).

Di Indonesia, komponen yang paling berpengaruh adalah terhadap variabel iklim termasuk suhu udara dan tekanan paras muka laut adalah komponen 1 tahun dari fenomena monsoon. Hal ini terlihat pada data suhu dan tekanan paras muka laut. Namun penelitian ini bertujuan untuk

(22)

melihat kemungkinan sinyal periodisitas bintik matahari (periode sekitar 11 tahunan) yang terindikasi pada data suhu dan tekanan paras muka laut untuk wilayah kota Jakarta, Medan, dan Ambon.

Data parameter iklim suhu udara dan tekanan paras muka laut ketiga wilayah menghasilkan grafik WWZ yang berbeda dengan data bintik matahari. Namun secara umum periode 1 tahunan muncul lebih kuat (walaupun kekuatan siklus berbeda-beda) dibanding periode-periode lainnya karena pengaruh dari kedudukan relatif matahari terhadap bumi.

4.2.2. Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Jakarta.

0 70 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 12. Grafik WWZ data suhu Jakarta.

Gambar 12 menunjukkan terdapat periode dominan yang muncul cukup kuat selain periode 1 tahunan yaitu periode skitar 2 tahun akibat QBO (Quation Biennial

Oscilation), kemudian 14 tahunan diduga

akibat pengaruh aktivitas matahari (siklus bintik matahari) dan diatas 25 tahun yang merupakan efek siklus magnetik matahari (siklus perubahan polaritas magnetik di daerah aktif matahari) atau disebut Hales Cycle, yang memiliki periodisitas 22 tahun.

Namun dominasi periode bervariasi jika dipilah berdasarkan periode musim. Muncul periode-periode dominan 1,5 tahunan, 3-4 tahunan dan 10 tahunan seperti yang terlihat pada Gambar 13, 14, 15 dan 16.

0 20 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 13. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Desember-Februari). 0 10 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 14. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Maret-Mei). 0 12 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 15. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode Juni-Agustus). 0 20 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) Ni la i WW Z

Gambar 16. Grafik WWZ suhu Jakarta (periode September-November).

Dari grafik-grafik di atas terlihat bahwa ada 2 pengaruh dominan yang menentukan siklus suhu udara Jakarta (selain 1 tahunan) yaitu pengaruh sistem el nino/la nina dan aktivitas matahari (bintik matahari dan siklus hale). 0 20 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 17. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta.

(23)

Sedangkan pada Gambar 17 tekanan paras muka laut Jakarta tersebut muncul sinyal kuat selain periode 1 tahunan yaitu 6 tahunan karena ENSO, dan 15-16 tahunan yang bisa disebabkan karena efek pasang surut bulan-matahari.

Sementara untuk grafik WWZ tekanan paras muka laut perperiode musim ditunjukkan dengan Gambar 18, 19, 20, dan 21. 0 12 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 18. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Desember-Februari).

0 7 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 19. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Maret-Mei).

0 10 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 20. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode Juni-Agustus).

0 10 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 21. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Jakarta (periode September-November).

Gambar 18 dan 19 memiliki pola yang hampir sama dimana muncul periode dominan 6-8 tahunan serta periode 13-17 tahunan. Periode 7 tahunan diduga karena fenomena elnino, kemudian periode 15 tahunan diduga akibat efek pasang surut bulan-matahari. Sedangkan pada Gambar 20 dan 21, terdapat sedikit kesamaan pola walaupun pada Gambar 20 grafiknya lebih berfluktuasi dibanding pada Gambar 21. Pada Gambar 20 dan 21 terlihat periode dominan 1,5 tahun, 6 tahun, dan 18-20 tahunan.

Berdasarkan hasil tersebut ternyata untuk data tekanan paras muka laut Jakarta, antara periode musim basah (Desember-Februari) dan periode musim kering (Juni-Agustus) memiliki pola siklus yang sedikit berbeda. Hal ini bisa diakibatkan karena pada musim basah, pengaruh kedudukan matahari yang relatif lebih dekat pada kota Jakarta memberi keragaman pengaruh pada iklim Jakarta, sedangkan pada musim kering, pengaruh lokal muncul sehingga periode dominan yang muncul lebih beragam.

4.2.3. Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Medan.

0 70 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 22. Grafik WWZ suhu Medan.

Pada Gambar 22 terdapat puncak-puncak periode dominan 5 tahun dan 14 tahunan. Periode 5 tahunan menunjukkan suhu Medan dipengaruhi kuat oleh el nino dan terdapat indikasi periode 14 tahun.

0 10 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 23. Grafik WWZ suhu Medan (periode Desember-Februari).

(24)

0 15 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 24. Grafik WWZ suhu Medan (periode Maret-Mei). 0 14 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 25. Grafik WWZ suhu Medan (periode Juni-Agustus). 0 14 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N il a i WWZ

Gambar 26. Grafik WWZ suhu Medan (periode September-November).

Pada Gambar 23, 24, 25, dan 26, periode-periode dominan yang muncul antar periode tidak berbeda jauh dengan periode dominan pada data tahunannya, dimana periode 5 dan 14 tahunan muncul lebih dominan dibanding tahun-tahun periode lainnya. 0 40 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) Ni la i W W Z

Gambar 27. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan.

Fluktuasi WWZ pada Gambar 27 relatif lebih kecil dibanding grafik tekanan paras

muka laut wilayah Jakarta. Periode 5 tahunan muncul karena sistem ENSO, 11 tahunan diduga akibat adanya siklus aktivitas bintik matahari dan 15 tahunan karena pasang surut bulan-matahari.

0 8 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 28. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (Periode Desember-Februari).

0 10 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 29. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (Periode Maret-Mei).

0 20 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 30. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (periode Juni-Agustus).

0 14 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 31. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Medan (periode September-November).

Seperti halnya pada grafik suhu udara Medan, pada grafik WWZ tekanan paras

(25)

muka laut Medan juga terdapat pola yang berbeda untuk periode Desember-Februari dan periode Juni-Agustus. Pada periode Desember-Februari, fluktuasi dan periode dominan lebih banyak dibanding periode Juni-Agustus. Hal ini menggambarkan bahwa pada periode Desember-Februari, dimana posisi relatif matahari terhadap bumi lebih jauh dibanding pada periode Juni-Agustus, muncul kuasi-kuasi lain yang muncul pada suhu juga tekanan di kota Medan diantaranya 4 periode dominan, yaitu pada periode 3-4 tahun, 4-6 tahun, 10-11 tahun, dan 15-17 tahunan. Terdapat periode 10-11 tahun dengan nilai WWZ relatif lebih besar dibanding periode dominan lainnya, yang mengindikasikan adanya kemungkinan pengaruh dari aktivirtas matahari. Sedangkan untuk periode Juni-Agustus, jumlah puncak periode dominan terpusat di sekitar 4-8 tahun yang mengindikasikan kuatnya pengaruh ENSO pada periode musim tersebut untuk wilayah Medan. 4.2.4. Analisis WWZ Data Suhu dan Tekanan Paras Muka Laut Ambon

0 60 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 32. Grafik WWZ suhu Ambon.

Untuk grafik tahunan suhu Ambon, muncul periode-periode dominan yang kecil diantaranya sekitar 3 tahunan, 7 tahunan, dan periode-periode indikasi aktivitas matahari, yaitu 11 dan 25 tahunan.

0 20 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N il a i WWZ

Gambar 33. Grafik WWZ suhu Ambon (periode Desember-Februari). 0 12 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 34. Grafik WWZ suhu Ambon (periode Maret-Mei). 0 12 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 35. Grafik WWZ data suhu Ambon (periode Juni-Agustus). 0 14 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) Ni la i WW Z

Gambar 36. Grafik WWZ data suhu Ambon (periode September-November).

Pada Gambar 33, periode-periode dominan hampir sama dengan Gambar 34, hanya saja lebih berfluktuatif dan untuk periode dominan 1 tahunannya agak terjadi waktu tunda pada periode 1,5 – 2 tahunan dan tidak sekuat dominasi periode 1 tahunan pada Gambar 34. Sedangkan periode dominan yang sama dengan siklus bintik matahari muncul lebih kuat, indikasinya dengan nilai WWZ yang lebih tinggi dan bahkan untuk periode dominan di atas 25 tahun muncul dengan nilai WWZ yang hampir sama dengan periode dominan 1,5 dan 2 tahunannya.

Pada Gambar 35, periode 11 tahunan tidak muncul dominan, justru periode berulang 2-4 tahunan yang meningkat akibat fenomena lanina serta periode 15 tahun yang merupakan periode berulang pasang surut

(26)

bulan-matahari. Periode 9 tahunan juga terlihat pada grafik ini, dan tidak terjadi peningkatan yang signifikan untuk periode-periode dominan lainnya. Sedangkan pada Gambar 36, periode 1,5 tahun, 3-4 tahun, dan 9 tahunan timbul dengan nilai WWZ yang hampir sama, sedangkan periode di atas 25 tahun justru jauh menurun.

0 60 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 37. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon.

Grafik dominasi periode untuk tekanan paras muka laut wilayah Ambon terjadi seperti grafik untuk suhu udaranya dimana untuk grafik data tahunan fluktuasinya sangat kecil dibandingkan grafik data perperiode musimnya. Hal ini terjadi karena untuk data tahunan merupakan kumulasi dari seluruh data perperiode musim sehingga pengaruh-pengaruh yang muncul pada setiap musimnya tidak terlihat dominan. Pada gambar tersebut terlihat adanya pengaruh 11 tahunan selain pengaruh 1 dan 1,5 tahunan.

0 8 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 38. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Desember-Februari).

0 7 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 39. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Maret-Mei).

0 14 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 40. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode Juni-Agustus).

0 8 1 5 9 13 17 21 25 Periode (tahun) N ila i W W Z

Gambar 41. Grafik WWZ tekanan paras muka laut Ambon (periode September-November).

Grafik WWZ periode dominan tekanan paras muka laut berbeda dan wilayah lainnya dikarenakan muncul periode-periode dominan lain yang tidak terdapat pada periode dominan data tahunannya. Jika pada Gambar 37 hanya muncul periode 1,5 tahun dan 11-12 tahunan maka pada Gambar 38, 39, 40, dan 41 muncul pula periode-periode di luar itu. Gambar 38 menunjukkan beberapa periode dominan diantaranya sekitar 1-3 tahun (ENSO minor), lalu yang tertinggi adalah periode 5 tahunan (ENSO) serta 7,5 tahunan (ENSO mayor) serta periode 12 tahunan, yang kemungkinan bisa diakibatkan oleh periode bintik matahari.

Namun pada periode Maret-Mei dan Juni-Agustus, pola grafik hampir menunjukkan fluktuasi yang sama, dimana ada 2 periode dominan utama yang terindikasi, yaitu periode sekitar 1-3 tahun dan 9 tahunan. Berbeda halnya dengan periode musim lainnya, pada periode September-November, tekanan paras muka laut lebih dipengaruhi oleh periode 1-3 tahunan dan tidak muncul pengaruh yang signifikan pada periode-periode lainnya, seperti yang terlihat pada gambar 41. Dengan demikian untuk wilayah Ambon, parameter tekanan paras muka laut didominasi oleh 2 periode utama, yaitu kemungkinan efek el nino/la nina dan aktivitas matahari (dengan indikator bintik matahari).

(27)

4.3. Analisis Evolusi Periode Dominan Dengan Pemetaan Winsurf.

4.3.1. Analisis Winsurf Data Bulanan. Selain dilihat secara grafik (2 dimensi), periode dominan bintik matahari, suhu, dan tekanan paras muka laut juga dapat dilihat dari pemetaan 3 dimensi menggunakan perangkat lunak Winsurf. Pada Lampiran 1 dapat dianalisis bahwa periode dominan siklus bintik matahari jelas terlihat antara 8 hingga 14 tahunan yang tidak terputus yang berada di sekitar periode 11 tahunan. Hal tersebut terjadi sepanjang tahun selama 100 tahun data.

Lampiran 2 menunjukkan grafik Winsurf suhu Jakarta bulanan. Pada lampiran tersebut muncul beberapa periode dominan (di luar periode 1 tahunan) yaitu periode sekitar 13 tahunan dan 25 tahunan yang keduanya terjadi pada sekitar tahun 1960-an. Jika dihubungkan dengan siklus aktivitas matahari, periode-periode tersebut bisa dikarenakan faktor siklus bintik matahari sekitar 11 tahunan (dengan jeda waktu 2 tahun) dan siklus Hale (jeda 3 tahun) dan pada sekitar tahun 1960 terjadi periode matahari aktif (solar max) dimana aktivitas matahari berada pada titik balik maksimum.

Grafik winsurf untuk tekanan paras muka laut kota Jakarta dapat dilihat pada Lampiran 3. Terlihat adanya periode berulang 19 tahun dengan puncak spektrum sekitar tahun 1950. Namun pada grafik tersebut tidak terlihat sinyal 11 tahunan. Pada grafik tersebut muncul periode el nino 6 tahun dengan puncak pada tahun 1938 dan 1958 serta efek QBO pada tahun 1963.

Pada Lampiran 4 terlihat pola periode dominan yang sangat teratur, selain periode 1 tahunan pada 3 rentang periode waktu, muncul periode dominan 5 tahunan dan sekitar 13-20 tahunan. Efek ENSO pada periode 5 tahunan muncul sangat kuat sekitar tahun 1952 dan periode dominan 13-20 tahunan juga muncul yang mirip dengan periode pasang surut bulan-matahari.

Grafik winsurf tekanan paras muka laut Medan diperlihatkan pada Lampiran 5. Pada lampiran tersebut terdapat periode-periode dominan dan yang terkuat adalah sama seperti suhu udaranya yaitu periode 5 tahunan pada tahun-tahun yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara suhu dan tekanan, dan indikasi el nino cukup kuat pada data suhu dan tekanan kota Medan.

Periode dominan lainnya yang muncul adalah periode 10 tahunan pada tahun-tahun 1945-1950 yang jika dihubungkan dengan aktivitas matahari, merupakan puncak siklus bintik matahari ke-19. Sedangkan untuk berikutnya, pengaruh ENSO muncul kembali pada tahun 1977-1987, dan periode dominan lain yaitu sekitar 25 tahunan yang merupakan merupakan dari siklus magnetik pada tahun diatas 1977.

Grafik winsurf untuk suhu dan tekanan paras muka laut Ambon diperlihatkan pada Lampiran 6 dan 7. Pada Lampiran 6 terdapat 1 faktor yang paling dominan untuk suhu udara Ambon yaitu periode siklus magnetik matahari yang muncul sepanjang tahun. Sedangkan pada tekanan paras muka laut Ambon, periode yang muncul cukup kuat adalah periode 10 tahunan di atas tahun 1978-an yang juga periode aktivitas matahari. Dari analisis di atas dapat diduga adanya pengaruh faktor aktivitas matahari pada parameter iklim di sekitar wilayah Ambon.

4.3.2. Analisis Winsurf Data Periode Desember-Februari

Lampiran 8 memperlihatkan grafik winsurf untuk data bilangan bintik matahari periode Desember-Februari. Pada lampiran tersebut siklus 11 tahunan untuk periode Desember-Februari (menurut tahun bumi) muncul terkuat pada tahun sekitar tahun 1900, sedangkan untuk periode 22 tahunan muncul paling kuat pada sekitar tahun 1915-1922. Berdasarkan grafik tersebut juga dapat dianalisis bahwa kedua faktor tersebut muncul beriringan. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan hubungan langsung antara fenomena bintik matahari dan siklus ganda bintik matahari.

Grafik winsurf suhu udara Jakarta ditunjukkan dengan Lampiran 9. Pada grafik tersebut banyak muncul periode-periode dominan. Namun secara umum terdapat beberapa periode dominan yang muncul yaitu 2 dan 3 tahunan (QBO dan QTO) kemudian 4-8 tahunan (ENSO) dan 10-11 tahunan (bintik matahari) yang muncul pada tahun sebelum tahun 1900, sedangkan pada tahun-tahun sekarang periode tunggal yang dominan muncul adalah akibat siklus 1 tahunan.

Grafik winsurf dan tekanan paras muka laut Jakarta ditunjukkan dengan Lampiran 10. Pada grafik tersebut muncul 3 periode yang dominan, yaitu periode 5-7 tahun yang muncul terkuat pada tahun 1958, periode 13 tahunan pada 1935-1943), serta pada tahun

(28)

di atas 1967 dimana muncul 2 periode dominan yaitu 1 tahunan (seperti halnya pada suhu udara Jakarta) serta 11 tahunan. Grafik winsurf suhu Medan ditunjukkan oleh Lampiran 11. Pada grafik tersebut periode siklus bintik matahari muncul sepanjang tahun dan mencapai peaknya pada tahun 1985, sedangkan periode ENSO muncul dengan peak pada periode tahun tahun 1945-1952, selain itu muncul pula periode-periode lain yaitu 8 tahunan dan di atas 5 tahunan. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Medan diperlihatkan dengan Lampiran 12. Pada lampiran tersebut terdapat 3 faktor dominan yang terindikasi yaitu periode el nino dan aktivitas matahari (bintik matahari dan siklus magnetik matahari), periode bintik matahari muncul lebih awal diikuti siklus magnetiknya.

Grafik winsurf suhu Ambon ditunjukkan oleh Lampiran 13. Pada grafik tersebut terdapat 4 faktor utama yang dominan yaitu QBO (tahun 1949 dan 1966), el nino (tahun 1950-1960), 11 tahunan (di atas 1973), dan siklus Hale yang muncul sepanjang tahun dan mencapai puncak pada sekitar tahun 1959.

Sedangkan untuk winsurf tekanan paras muka laut diperlihatkan oleh Lampiran 14. Pada lampiran tersebut terdapat 3 periode dominan, yaitu periode ENSO (7 tahunan sebelum 1968 dan 4 tahunan setelah 1973), 10 tahunan pada tahun-tahun di atas 1975, dan siklus magnetik matahari pada sepanjang tahun.

Pada periode tersebut Desember-Februari, untuk ketiga wilayah muncul 3 periode utama yang dominan dalam grafik suhu dan tekanan paras muka laut yaitu periode el nino, bintik matahari, dan siklus hale.

4.3.3. Analisis Winsurf Data Periode Maret-Mei.

Grafik winsurf periode dominan bintik matahari periode Maret-Mei ditunjukkan oleh Lampiran 15. Pada grafik tersebut muncul pola periode yang hampir sama dengan periode Desember-Februari. Lampiran 16 menunjukkan periode dominan untuk suhu Jakarta. Dari grafik terlihat bahwa terdapat 1 faktor selain faktor 1 tahunan, yaitu faktor aktivitas matahari 11 tahunan yang muncul kuat pada sekitar tahun 1880 dan tahun 1925. Sedangkan untuk tekanan paras muka laut Jakarta diperlihatkan pada lampiran 17. Periode dominan yang muncul berbeda dengan

grafik suhunya. Untuk grafik tekanan paras muka laut, fenomena ENSO muncul sepanjang tahun setelah puncaknya pada tahun 1955. Periode aktivitas matahari juga terlihat pada tahun 1925-1945 (bintik matahari) dan diikuti oleh siklus magnetik matahari pada tahun 1945-1965.

Lampiran 18 menunjukkan periode dominan untuk suhu Medan. Dari grafik menunjukkan bahwa periode aktivitas matahari (bintik matahari dan magnetik matahari) muncul dengan puncak-puncak pada tahun di atas 1965. Periode dominan lain yang muncul adalah periode sekitar 5 tahunan akibat el nino/la nina.

Sementara Lampiran 19 menunjukkan periode-periode dominan untuk tekanan paras muka laut Medan. Pada tekanan paras muka laut Medan, periode dominan bintik matahari muncul berkebalikan dengan suhunya, dimana periode sekitar 10 tahunan muncul sebelum tahun 1955, namun periode siklus Hale muncul hampir sepanjang tahun. Pada grafik ini muncul pula periode-periode yang diakibatkan oleh el nino.

Sedangkan grafik winsurf untuk wilayah Ambon ditunjukkan dengan lampiran 20 dan 21. Pada Lampiran 20 jelas terlihat bahwa juga terdapat 3 periode dominan yaitu el nino (yang muncul pada tahun sebelum tahun 1950 dan setelah tahun 1975), periode 15 tahunan, dan sekitar 25 tahunan yang muncul hampir sepanjang tahun sebelum tahun 1989. Hal serupa berlaku juga untuk tekanan paras muka laut Ambon dimana 3 periode dominan muncul cukup kuat.

Berdasarkan analisis tersebut, seperti halnya pada periode Desember-Februari, pada periode Maret-Mei juga terdapat 3 periode dominan, yaitu indikasi el nino, bintik matahari 11 tahunan, dan magnetik matahari 22 tahunan untuk data bilangan bintik matahari, suhu, serta tekanan paras muka laut ketiga wilayah kajian.

4.3.4. Analisis Winsurf Data Periode Juni-Agustus.

Grafik winsurf untuk data bintik matahari periode Juni-Agustus diperlihatkan pada Lampiran 22. Hasil yang tampak sama dengan hasil winsurf untuk periode Desember-Februari dan Maret-Mei.

Sedangkan untuk data suhu dan tekanan paras muka laut kota Jakarta periode Juni-Agustus ditunjukkan oleh Lampiran 23 dan 24. Pada Lampiran 23 muncul pengaruh 3 tahunan QTO pada tahun 1979, 1889, 1903

Gambar

Gambar 1. Fluktuasi tahun maksimum dari sunspot  number (Djamaluddin, 2005).
Gambar 2. Variasi bilangan bintik matahari dan  prediksinya (http://science.nasa.gov/ast14oct99_1.htm).
Gambar 3. Amplitudo respon perubahan suhu udara  permukaan terhadap forcing irradiansi 1 Wm -2
Gambar 5. Tampilan program NDP041.
+7

Referensi

Dokumen terkait

DRBEM dapat menyelesaikan model matematika masalah infiltrasi saluran irigasi alur di dalam tanah homogen yang berbentuk MSB dengan persamaan pengaturnya adalah

15 Kuliah dan Diskusi (HS) Sistem Utilitas Bangunan - Sistem Pengkondisian Udara Mencari contoh obyek sistem pengkondisian udara Memahami penerapan sistem

Perubahan selalu terjadi dalam sebuah usaha. Perubahan di dunia usaha terjadi secara eksternal dan internal, di mana perubahan internal dibutuhkan agar perusahaan dapat

Setelah tercapainya keamanan dan stabilitas pemerintah yang baik, maka Kolonel Gatot Subroto selaku Gubernur Militer di Surakarta memutuskan untuk menyusun kembali

Pengukuran produktivitas ini dapat dilihat dari data keuangan yang diperoleh dari perusahaan CV Cherry Sarana Agro.Kemudian hasil pengolahan data memperlihatkan level

Beberapa media cetak diatas adalah media cetak yang dibuat untuk media promosi acara Pemilihan Cak dan Ning Surabaya, dengan warna terang dan model yang ceria mewakili

Telur ikan bandeng yang digunakan adalah hasil pemijahan alami dengan penyuntikan hormon LHRH-a (Lutenizing Hormon- Releasing Hormon- analog) yang didapatkan dari PT.

Penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu 1) membandingkan viabilitas embrio pada setiap tahap perkembangan (8 sel, morula, dan blastosis) setelah