TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Irigasi
Irigasi adalah usaha untuk memperoleh air yang menggunakan bangunan
dan saluran buatan untuk keperluan penunjang produksi pertanian. Kata irigasi
berasal dari kata irrigate dalam bahasa Belanda dan irrigation dalam bahasa
Inggris (Mawardi, 2007).
Air merupakan faktor yang penting dalam bercocok tanam. Selain jenis
tanaman, kebutuhan air bagi suatu tanaman juga dipengaruhi oleh sifat dan jenis
tanah, keadaan iklim, kesuburan tanah, cara bercocok tanam, luas areal
pertanaman, topografi, periode tumbuh dan sebagainya. Cara pemberian air irigasi
pada tanaman padi, tergantung pada umur dan varietas padi yang ditanam
(Mawardi, 2007).
Sistem irigasi di Indonesia dikembangkan untuk mengairi persawahan,
walaupun tidak semua persawahan yang ada sekarang ini dilayani oleh sistem
irigasi. Persawahan itu sendiri dikembangkan secara bertahap sejalan dengan
kemampuan masyarakat setempat menanggapi umpan balik yang berasal dari
lingkungan produksi (Pasandaran, 1991).
Sistem irigasi dibagi menjadi dua yaitu Irigasi Pedesaan dan Irigasi
Pekerjaan Umum (PU) atau Negara. Irigasi pedesaan yaitu suatu sistem irigasi
yang dibangun oleh masyarakat dan pengelolaan seluruh bagian jaringan
dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat. Irigasi PU adalah suatu sistem irigasi
yang dibangun oleh pemerintah dimana pengelolaan jaringan utama yang terdiri
oleh negara, dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum atau Pemerintah Daerah
setempat, dan jaringan tersier dikelola oleh masyarakat tani (Pasandaran, 1991).
Irigasi yang dikembangkan dan dikelola oleh pemerintah mulai dari
perencanaan, perancangan, konstruksi hingga pengelolaan, sekarang telah
menerapkan teknologi mutakhir. Penggunaan sistem informasi geografis, peta
indera-jauh yang dikoreksi dengan peta terestris untuk perencanaan dan
perancangan irigasi sudah lama diterapkan. Apalagi elemen organisasi teknologi
yang menyatukan kegiatan petugas dengan masyarakat petani pemakai air dalam
penjatahan dan pemanfaatan air, masih jauh dari memadai. Akibatnya nilai
kesepadanan teknologi dari sistem irigasi yang dikembangkan dan juga dikelola
pemerintah tersebut sangat rendah (Pusposutardjo, 2001).
Jaringan Irigasi
Jaringan irigasi yang dipergunakan untuk membawa dan mengagih air dari
sumbernya ke pemakai atau pemanfaat (petani) merupakan suatu sistem yang
utuh. Sistem tersebut merupakan bagian dari sistem A-PI-P-T-A. Jaringan irigasi
A-PI-P merupakan subsistem jaringan utama, jaringan P-T merupakan subsistem
jaringan tersier ke orde yang lebih awal, dan subsistem T-A merupakan jaringan
drainase. Dasar perancangan jaringan irigasi yang pada waktu sekarang ini lebih
ditekankan pada pemenuhan persyaratan teknik hidrolika dan hidrologi serta
persyaratan ekonomi saja, belum dapat mencukupi kebutuhan persyaratan
keberlanjutan suatu sistem irigasi (Pusposutardjo, 2001).
Menurut Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) yang dimaksud dengan
jaringan irigasi yaitu prasarana irigasi yang pada pokoknya terdiri dari bangunan
pengelolaannya dapat dibedakan antara jaringan irigasi utama dan jaringan irigasi
tersier.
1. Jaringan Irigasi Utama :
Meliputi bangunan bendung, saluran-saluran primer dan sekunder
termasuk bangunan-bangunan utama dan pelengkap saluran pembawa dan
saluran pembuang. Bangunan utama merupakan bangunan yang mutlak
diperlukan bagi eksploitasi meliputi bangunan pembendung, bangunan
pembagi, dan bangunan pengukur.
2. Jaringan Irigasi Tersier
Merupakan jaringan air pengairan di petak tersier, mulai air luar dari
bangunan ukur tersier, terdiri dari saluran tersier dan kuarter termasuk
bangunan pembagi tersier dan kuarter, beserta bangunan pelengkap
lainnya yang terdapat di petak tersier.
Jaringan irigasi tersier atau jaringan tersier dikelola oleh petani pemakai
air. Dengan demikian struktur jaringan yang ada di lapangan (aktual)
mencerminkan pilihan terbaik bagi petani dari jaringan tersier yang paling sesuai
dengan kepentingan mereka. Untuk menelaah bentuk perubahan struktur jaringan
tersier sesuai dengan kehendak petani, dibandingkan antara struktur jaringan
sebelum direhabilitasi dan setelah direhabilitasi dengan peran serta petani pemakai
air (Pusposutardjo, 2001).
Sifat Fisik Tanah
Ditinjau dari sifat fisiknya, tanah adalah benda alami yang bersifat
komplek, heterogen, tersusun dari tiga fase yaitu fase padat (butir-butir bahan
Bagian padat terdiri dari bahan anorganik dan bahan organik. Bagian gas adalah
udara tanah, sedang bagian cair adalah tanah yang mengandung bahan-bahan
terlarut didalamnya (Yuliprianto, 2010).
Beberapa sifat fisik tanah yaitu: struktur tanah, tekstur tanah, warna tanah,
temperatur tanah, tata air dalam tanah dan sebagainya, namun yang terpenting
adalah struktur tanah dan teksturnya (Yuliprianto, 2010).
Tekstur Tanah
Ukuran relatif partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang
mengacu pada kehalusan atau kekerasan tanah. Lebih khasnya tekstur adalah
perbandingan relatif pasir, debu dan tanah liat. Partikel debu terasa halus seperti
tepung dan mempunyai sedikit kecenderungan untuk saling melekat atau
menempel pada partikel lain. Tanah dengan kapasitas terbesar untuk menahan air
melawan tarikan gravitasi merupakan ciri utama tanah liat. Tanah berdebu
mempunyai kapasitas besar untuk menyimpan air yang tersedia untuk
pertumbuhan tanaman. Pada tanah yang bertekstur lebih halus, kadar air pada
tegangan air yang sama lebih tinggi dibandingkan tanah bertekstur kasar. Dengan
demikian tanah bertekstur halus lebih kuat menahan air dibanding tanah yang
bertekstur kasar (Foth, 1994).
Tekstur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang sangat menentukan
kemampuan tanah untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Tekstur tanah akan
mempengaruhi kemampuan tanah menyimpan dan menghantarkan air,
menyimpan dan menyediakan hara tanaman. Tanah berpasir memiliki porositas
rendah (<40%), sebagian besar ruang pori berukuran besar sehingga aerasinya
Tanah liat memiliki porositas yang relatif tinggi (60%), tetapi sebagian besar
merupakan pori berukuran kecil sehingga daya hantar air sangat lambat dan
sirkulasi udara kurang lancar. Kemampuan menyimpan air dan hara tanaman
tinggi. Tanah berlempung merupakan tanah dengan proporsi pasir, debu dan liat
sedemikian rupa sehingga sifatnya berada diantara tanah berpasir dan berliat. Jadi
aerasi dan tata udara serta air cukup baik, kemampuan menyimpan dan
menyediakan air untuk tanaman tinggi (Islami dan Utomo, 1995).
Tekstur tanah berhubungan erat dengan plastisitas, permeabilitas,
kekerasan, kemudahan oleh, kesuburan dan produktifitas tanah pada
daerah-daerah geografis tertentu. Akan tetapi berhubung dengan adanya variasi yang
terdapat dalam sistem minerologu fraksi tanah, maka belum ada
ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk semua jenis tanah di permukaan bumi
(Hakim, dkk., 1986).
Tabel 1. Pembagian Ukuran Fraksi Tanah (Tekstur)
Sistem USDA Diameter Fraksi (mm)
Pasir sangat kasar (very coarse sand) 2,0 – 1,0
Pasir kasar (coarse sand) 1,0 – 0,5
Pasir sedang (medium sand) 0,5 – 0,25
Pasir halus (fine sand) 0,25 – 0,10
Pasir sangat halus (very fine sand) 0,1 – 0,05
Debu (silt) 0,05 – 0,002
Liat (clay) < 0,002
Pasir Debu Liat
Gambar 1. Ilustrasi Fraksi Tanah
Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density)
Menurut Foth (1994), kerapatan massaadalah bobot per satuan volume
tanah kering oven yang biasanya dinyatakan sebagai gram per centimeter kubik.
Menurut Islami dan Utomo (1995), bobot volume tanah “bulk density” yaitu
nisbah antara massa total tanah dalam keadaan kering dengan volume total tanah.
B�=Mp
Vt
...(1)
Dimana :
B� = kerapatan massa (bulk density) (g/cm3)
Mp = Massa padatan tanah (g)
Vt = Volume total tanah (cm3)
Tanah yang lebih padat mempunyai bulk density yang lebih besar. Pada
tanah mineral bagian atas mempunyai kandungan bulk density yang lebih rendah
dibandingkan tanah dibawahnya. Bulk density dilapangan tersusun atas
tanah-tanah mineral yang umumnya berkisar 1,0 – 1,6 g/cm3. Tanah organik memiliki
nilai bulk density yang lebih rendah, misalnya dapat mencapai 0,1 – 0,9 g/cm3
mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti porositas, kekuatan, daya dukung,
kemampuan tanah menyimpan air drainase dan lain-lain (Hardjowigeno, 2003).
Menurut Islami dan Utomo (1995) besarnya bobot volume (bulk density)
tanah-tanah pertanian bervariasi dari sekitar 1,0 g/cm3 sampai 1,6 g/cm3, yang
dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan organik tanah, dan struktur
tanah atau lebih khusus bagian rongga pori tanah. Nilai porositas pada tanah
pertanian bervariasi dari 40% sampai 60%.
Bulk density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle
density tanah sangat besar maka bulk density juga besar. Hal ini dikarenakan
particle density berbanding lurus dengan bulk density, namun apabila tanah
memiliki tingkat kadar air yang tinggi maka particle density dan bulk density akan
rendah. Dapat dikatakan bahwa particle density berbanding terbalik dengan kadar
air. Hal ini terjadi jika suatu tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi dalam
menyerap air tanah, maka kepadatan tanah menjadi rendah karena pori-pori di
dalam tanah besar sehingga tanah yang memiliki pori besar akan lebih mudah
memasukkan air di dalam agregat tanah (Hanafiah, 2005).
Menurut Nurmi, dkk (2009) nilai BD (bulk density) berbanding terbalik
dengan ruang pori total tanah. Nilai BD (bulk density) yang tinggi menunjukkan
bahwa tanah tersebut lebih padat dibandingkan dengan tanah-tanah yang memiliki
nilai BD (bulk density) yang lebih rendah. Semakin padat suatu tanah, volume
pori pada tanah tersebut semakin rendah.
Mustofa (2007) menyatakan bahwa nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan oleh
Pengolahan tanah yang sangat intensif akan menaikkan bobot isi. Hal ini
disebabkan pengolahan tanah yang intensif akan menekan ruang pori menjadi
lebih sedikit dibandingkan dengan tanah yang tidak pernah diolah.
Kerapatan Partikel Tanah (Particle Density)
Kerapatan partikel adalah nisbah antara massa padatan dengan volume
padatan tanah.
Pd=Mp
Vp...(2)
Dimana:
P� = Kerapatan partikel tanah (g/cm3)
Mp = Massa padatan tanah (g)
Vp = Volume tanah kering (cm3)
Besarnya kerapatan partikel tanah pertanian bervariasi diantara 2,2 g/cm3
sampai 2,8 g/cm3, dipengaruhi terutama oleh kandungan bahan organik tanah dan
kepadatan jenis partikel penyusun tanah. Kandungan bahan organik yang tinggi
menyebabkan tanah mempunyai bobot jenis partikel (particle density) rendah.
Tanah Andosol misalnya, nilai kerapatan partikel hanya 2,2 – 2,4 g/cm3
(Islami dan Utomo, 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi particle density yaitu kadar air, tekstur
tanah, struktur tanah, bahan organik, dan topografi. Kandungan bahan organik di
dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan butir tanah. Semakin banyak
kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka makin kecil nilai
Berat jenis butir adalah berat bagian padat dibagi dengan volume bagian
padat dari tanah tersebut. Berat jenis butir tanah pada umumnya berkisar antara
2,6-2,7 g/cm3. Dengan adanya kandungan bahan organik pada tanah maka nilai
menjadi lebih rendah.Istilah kerapatan ini sering dinyatakan dalam istilah berat
jenis atau specific gravity, yang berarti perbandingan kerapatan suatu benda
tertentu terhadap kerapatan air pada keadaan 4oC dengan tekanan udara biasa,
yaitu satu atmosfer (Sarief, 1986).
Porositas Tanah
Didalam tanah terdapat sejumlah ruang pori-pori. Ruang pori-pori ini
penting oleh karena ruang-ruang ini diisi oleh air dan udara. Air dan udara
(gas-gas) juga bergerak melalui ruang pori-pori ini. Jadi, penyediaan air dan S2 untuk
pertumbuhan tanaman dan jumlah air yang bergerak melalui tanah berkaitan
sangat erat dengan jumlah dan ukuran pori-pori tanah ini. Oleh karena berat tanah
berhubungan dengan jumlah ruang pori-pori, maka hubungan-hubungan ruang
pori-pori dan berat tanah akan didiskusikan bersama-sama (Hakim, dkk., 1986).
Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang dapat
ditempati oleh udara dan air, serta merupakan indikator kondisi drainase dan
aerasi tanah. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (makro) dan
pori-pori halus (mikro). Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang
mudah hilang karena gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus berisi air kapiler
atau udara. Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur
dan tekstur tanah. Porositas tanah tinggi jika kandungan bahan organik tinggi.
Tanah dengan struktur granuler/remah mempunyai porositas yang lebih tinggi
(porimakro) memiliki porositas lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (pori
mikro), sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno, 2007).
Untuk menghitung persentase ruang pori(�) yaitu dengan membandingkan
nilai kerapatan massa dan kerapatan partikel dengan persamaan:
�= �1−Bd
Pd�× 100%...(3)
Dimana:θ = porositas (%)
Bd = Kerapatan massa (g/cm3)
Pd = Kerapatan partikel (g/cm3)
(Hansen, dkk., 1992).
Bahan Organik Tanah
Bahan organik merupakan bahan penting dalam menciptakan kesuburan
tanah, baik secara fisika, kimia maupun dari segi biologi tanah. Bahan organik
adalah bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Sekitar setengah dari
kapasitas tukar kation (KTK) berasal dari bahan organik. Ia merupakan sumber
hara tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi dari sebagian
besar organisme tanah (Hakim, dkk., 1986).
Penetapan bahan organik di laboratorium dapat dilakukan dengan metode
pembakaran, metode Walkley and Black, dan metode Colorimetri (Walkley and
Black Modifikasi). Prinsip Metode Walkley and Black adalah C-organik
dihancurkan oleh oksidasi Kalium bikromat yang berlebih akibat penambahan
asam sulfat. Kelebihan kromat yang tidak direduksi oleh C-organik tanah
kemudian ditetapkan dengan jalan titrasi dengan larutan ferro. Dan untuk
menghitung kandungan bahan organik tanah dapat dihitung dengan menggunakan
Bahan organik = % C−organik × 1,724 ... (4)
(Mukhlis, 2007).
Debit
Debit adalah suatu koefisien yang menyatakan banyaknya air yang
mengalir dari suatu sumber per satuan waktu, biasanya diukur dalam satuan liter
per detik. Pengukuran debit dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satu
diantaranya yaitu pengukuran kecepatan aliran dan luas penampang melintang,
dalam hal ini untuk mengukur kecepatan arus digunakan pelampung atau
pengukur arus dengan kincir (Dumairy, 1992).
Pengukuran debit air dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Dalam pengukuran debit air secara langsung digunakan beberapa alat
pengukur yang secara langsung dapat menunjukkan ketersediaan air pengairan
bagi penyaluran melalui jaringan-jaringan yang telah ada/telah dibangun. Dalam
hal ini berbagai alat pengukur yang telah biasa digunakan yaitu : alat ukur pintu
romijin, sekat ukut tipe Cipoletti, sekat ukur tipe Thomson, dan alat ukur Parshall
Flume. Dalam pengukuran tidak langsung yang sangat diperhatikan yaitu tentang
kecepatan aliran (V) dan luas penampang aliran (A), sehingga terdapat rumus
pengukuran debit air sebagai berikut :
Q = V × A………...(5)
Dimana,
Q = Debit air (m3/detik)
V = Kecepatan aliran (m/detik)
Tentang kecepatan aliran dapat diukur dengan pelampung (metode pelampung),
dengan alat ukur (current meter) ataupun dengan menggunakan rumus
(Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Menurut Hansen, dkk (1992) debit air juga dapat diukur dengan
menggunakan sekat ukur tipe Cipoletti atau Thomson (Segitiga 90o). Seorang
insinyur Italia bernama Cipoletti merancangkan suatu bendung trapesium dengan
kontraksi sempurna dimana pengaliran diberikan secara langsung sebanding
dengan panjang ambang bendung sehingga tidak perlu untuk membetulkan ujung
kontraksi. Bendung tersebut telah dipakai secara luas karena memiliki banyak
keuntungan. Persamaan Cipoletti yang menunjukkan pengaliran adalah:
Q = 0.0186 LH3�2...(6)
Dimana Q adalah dalam liter tiap detik dan L dan H adalah dalam sentimeter.
Untuk bendungan segitiga 90o(tipe Thomson) persamaannya adalah:
Q = 0.0138H5�2...(7)
Di mana Q adalah dalam liter per detik dan H adalah dalam sentimeter.
Menurut Aji dan Maraden (2008) alat ukur Thomson sering digunakan
untuk mengukur debit-debit yang kecil. Alat ini berbentuk segitiga sama kaki
terbalik, dengan sudut puncak di bawah. Sudut puncak dapat merupakan sudut
siku atau sudut lain, misalnya 60o atau 30o. Ambang pada alat ukur Thomson
merupakan suatu pelimpah air sempurna yang melewati ambang tipis dengan
rumus pengalirannya adalah sebagai berikut:
Q = c × H5�2...(8)
Dimana Q = debit, H = tinggi muka air pada Thomson, dan c = koefisien debit
Koefisien dapat ditentukan oleh kondisi di salurannya. Maka untuk mendapatkan
nilai koefisien yang akurat, hasil pengukuran debit dengan alat ukur Thomson
perlu dikalibrasi dengan cara sebagai berikut:
Waktu aliran rata−rata (tr�) = �1+ �2+ �3+⋯+ ��
� ...(9)
Q = Volume (V)
Waktu rata−rata (tr�)...(10)
c = Q
H5�2...(11)
Menurut Asdak (1995) pengukuran debit aliran yang paling sederhana
dapat dilakukan dengan metoda apung. Caranya dengan menempatkan benda yang
tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu dan
mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari suatu
titik pengamatan ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan.
Kehilangan Air
Kehilangan air pada saluran-saluran irigasi (conveyance loss) meliputi
komponen kehilangan air melalui evaporasi, perkolasi, perembesan (seepage) dan
bocoran. Pada saluran yang dilapisi bahan kedap, kehilangan air dapat ditekan dan
hanya melalui proses evaporasi yang relatif kecil. Pada saluran irigasi yang
ditumbuhi rumput (aquatic weed) seperti enceng gondok (Eichornia sp) terjadi
kehilangan melalui evapotranspirasi (Wigati dan Zahab, 2005).
Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah perpaduan dua proses yakni evaporasi dan
transpirasi. Evaporasi adalah proses penguapan atau hilangnya air dari tanah dan
badan-badan air (abiotik), sedangkan transpirasi adalah proses keluarnya air dari
yang saling terpisah dimana kehilangan air dari permukaan tanah melalui proses
evaporasi dan kehilangan air dari tanaman melalui proses transpirasi disebut
evapotranspirasi (ET) (Hanum, 2013).
Thornthwaite telah mengembangkan suatu metode untuk memperkirakan
besarnya evapotranspirasi potensial dari data klimatologi. Evapotranspirasi
potensial tersebut berdasarkan suhu udara rata-rata bulanan dengan standar satu
bulan 30 hari, dan lama penyinaran matahari 12 jam sehari. Metode ini
memanfaatkan suhu udara sebagai indeks ketersediaan energi panas untuk
berlangsungnya proses ET dengan asumsi suhu udara tersebut berkorelasi dengan
efek radiasi matahari dan unsur lain yang mengendalikan proses ET (Hanum,
2013).
Jika tn= suhu rata-rata bulanan dalam tahun (oC), dengan n = 1, 2, 3…12,
maka dapat dicari indeks panas bulanan (j) sebagai berikut:
�= ��� 5�
1,514
………...(12)
dan indeks panas tahunannya (J) dirumuskan sebagai berikut:
� = ∑ �12� ……….…(13)
Besarnya evapotranspirasi (cm/hari) dalam bulan yang diperhitungkan
sama dengan 30 hari dengan jumlah jam per hari 12 jam
E∗P = 1,6 �
Untuk bulan yang jumlah harinya bukan 30 hari dan jumlah jam per hari
EP = E∗P S .Tx
30 × 12……….……(16)
Keterangan:
S = jumlah hari dalam bulan tertentu
Tx = jumlah jam rata-rata sehari antara matahari terbit hingga matahari terbenam
dalam bulan tertentu.
(Soemarto, 1995).
Penggunaan konsumtif diartikan sebagai jumlah air yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman. Doorenbos dan Pruit (1977) mendefinisikan kebutuhan air
tanaman sebagai jumlah air yang disediakan untuk mengimbangi air yang hilang
akibat evaporasi dan transpirasi. Evapotranspirasi adalah gabungan proses
penguapan dari permukaan tanah atau evaporasi dan penguapan dari daun
tanaman atau transpirasi. Besarnya nilai evaporasi dipengaruhi oleh iklim,
varietas, jenis dan umur tanaman. Dengan memasukkan koefisien tanaman (kc),
penggunaan konsumtif tanaman merupakan fungsi dari evapotranspirasi potensial
tanaman. Menurut Direktorat Jenderal Pengairan (1986) penggunaan konsumtif
dapat dihitung dengan persamaan berikut ini :
Etc = Eto × kc ………...…...(17)
dengan :
Etc = penggunaan konsumtif (mm/hari),
Eto = evapotranspirasi potensial (mm/hari),
kc = koefisien tanaman.
Rembesan
Perembesan air dan kebocoran air pada saluran pengairan pada umumnya
pengairan yang dibangun pada tanah-tanah tanpa dilapisi tembok, sedang pada
saluran yang dilapisi (kecuali kalau keadaannya retak-retak) kehilangan air
sehubungan dengan terjadinya perembesan dan kebocoran tidak terjadi. Untuk
menghitung kehilangan air pengairan sehubungan dengan berlangsungnya
perembesan pada saluran pengairannya, berdasarkan cara empiris yaitu dengan
menghitung konduktivitas hidrolik tanah, kemiringan saluran serta beberapa
parameter (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Beberapa macam cara yang dipergunakan untuk mengukur rembesan dari
saluran adalah pemasukan-pengeluaran (inflow-outflow), empang, meteran
rembesan, sumuran, test laboratorium, permeabilitas tanah, dan metode khusus,
termasuk tahanan listrik dan penelusuran daripada alam serta garam radioaktif.
Metode terbaik yang sesuai terhadap suatu saluran akan tergantung kepada
kedalaman dan kecepatan aliran, kemampuan mendrain saluran, material yang di
dasar dan perimbangan rembesan. Salah satu metode yang sering digunakan
adalah metode inflow-outflow. Metode inflow-outflow terdiri dari pengukuran
aliran yang masuk dan aliran ke luar dari suatu penampang saluran yang
dipilihnya (Hansen, dkk., 1992).
Untuk menghitung besarnya nilai rembesan dapat digunakan rumus
sebagai berikut:
Rembesan = kehilangan air di saluran– (Evapotranspirasi + Perkolasi)….(18)
Perkolasi
Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari zona tidak jenuh, yang terletak
di antara permukaan tanah sampai ke permukaan air tanah (zona jenuh). Daya
dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam zona tidak jenuh, yang terletak di antara
permukaan tanah dengan permukaan air tanah. Perkolasi tidak mungkin terjadi
sebelum zona tidak jenuh mencapai kapasitas lapang (field capacity)
(Soemarto, 1995).
Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) mendefinisikan perkolasi adalah
pembebasan air ke dalam lapisan tanah bagian dalam, berlangsung secara
horisontal dan vertikal, perembesan ini sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik
tanah (permeabilitas dan struktur tanah), pengendapan-pengendapan lumpur dan
kedalaman muka air tanah. Berlangsungnya yaitu sebagai akibat gaya berat.
Salah satu cara menentukan laju perkolasi di lapangan adalah dengan
metode silinder. Pengukuran dengan metode silinder yaitu dengan membenamkan
pipa ke tanah sedalam 30-40 cm, lalu diisi air setinggi 10 cm (h1),
(Harianto, 1987) dalam Susanto (2006). Laju perkolasi dihitung dengan rumus:
P = h1−h2
t1−t2 mm/hari………..(19)
Dimana,
P : Laju perkolasi (mm/hari)
h1-h2 : Beda tinggi air dalam silinder waktu t1 dan t2 (mm)
t1-t2 : Selisih waktu pengamatan air dalam pipa (hari)
Efisiensi Irigasi
Efisiensi pengairan merupakan suatu rasio atau perbandingan antar jumlah
air yang nyata bermanfaat bagi tanaman yang diusahakan terhadap jumlah air
yang tersedia atau yang diberikan dinyatakan dalam satuan persentase. Dalam hal
ini dikenal 3 macam efisiensi yaitu efisiensi penyaluran air, efisiensi pemberian
Penggunaan air irigasi yang efisien adalah merupakan kewajiban setiap
pemakai. Konsep efisiensi pemberian air irigasi yang paling awal untuk
mengevaluasi kehilangan air adalah efisiensi saluran pembawa air. Kebanyakan
air irigasi kemudian datang dari pintu pengambilan dari sungai atau waduk.
Kehilangan yang terjadi pada waktu air disalurkan sering berlebihan. Efisiensi
saluran pembawa yang diformulasikan untuk mengevaluasi kehilangan tersebut
dapat dinyatakan sebagai berikut :
Ec = 100 Wf
Wr ………(20)
Dimana,
Ec = Efisiensi saluran pembawa air
Wf = Air yang disalurkan ke sawah
Wr = Air yang diambil dari sungai atau waduk
(Hansen, dkk., 1992).
Setelah menyalurkan air yang tersedia ke sawah melalui bangunan
pembagi dan pembawa, yang diperlukan adalah pemakaian air secara efisien.
Sering terjadi dengan menyolok lebih banyak air yang dialirkan ke dalam tanah
daripada yang mungkin bisa ditahannya. Konsep efisiensi pemakaian air ini
dikembangkan untuk mengukur dan memusatkan perhatian terhadap efisiensi
dimana air disalurkan sedang ditampung pada daerah akar dari tanah, yang dapat
digunakan oleh tumbuh-tumbuhan.
Konsep efisiensi pemakaian air dapat diterapkan pada proyek, sawah, atau
lading untuk mengevaluasi pelaksanaan pemberian air irigasi. Efisiensi pemberian
air irigasi dapat berbeda-beda dari harga yang paling rendah sampai mendekati
Salah satu persoalan utama yang terjadi dalam penyediaan air irigasi
adalah semakin langkanya ketersediaan air (water scarcity) pada waktu-waktu
tertentu. Pada sisi lain permintaan air untuk berbagai kebutuhan cenderung
semakin meningkat sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk, beragamnya
pemanfaatan air, berkembangnya pembangunan, serta kecenderungan
menurunnya kualitas air akibat pencemaran oleh berbagai kegiatan (Bustomi,
2003).
Efisiensi irigasi dapat ditingkatkan dengan penjadwalan irigasi.
Penjadwalan irigasi, berarti perencanaan waktu dan jumlah pemberian air irigasi
sesuai dengan kebutuhan air tanaman. Suplai air yang terbatas dapat menurunkan
produksi tanaman. Sedangkan suplai air yang berlebih selain dapat menurunkan
produksi tanaman juga dapat meningkatkan jumlah air irigasi yang hilang dalam
bentuk perkolasi (Raes, 1987).
Kecepatan Aliran
Dalam pengukuran debit air kecepatan aliran/arus air dapat diperhitungkan
dengan memanfaatkan beberapa rumus sebagai berikut:
1. Rumus STRICKER :
V = K R2�3 i 1�2………...(21)
Dimana : V = kecepatan aliran air (m/detik)
K = koefisien kekasaran dinding dan dasar saluran
R =radius hidrolika (m)
i = kemiringan dasar saluran (%)
2. Rumus MANNING :
Dimana : V = kecepatan aliran air (m/detik)
n = koefisien kekasaran dinding dan dasar saluran
R= jari-jari hidrolik (m)
i = gradien permukaan air
Rumus Manning tersebut sebaiknya digunakan jika hanya terdapat debit-debit
yang diukur pada permukaan air tinggi. Luas penampang melintang dan radius
hidrolik (jari-jari hidrolik) yang sesuai dengan permukaan air yang sembarang,
dapat diketahui dari penampang melintang (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Menurut Basak (1999) kecepatan dari pengukuran aliran pada aliran
permukaan disebut dengan kecepatan permukaan. Kecepatan pada setiap
kedalaman di saluran ataupun sungai tidaklah sama. Untuk disain saluran dengan
jenis tanah non-alluvial, koefisien kekerasan memiliki peranan penting, namun
faktor lain seperti sedimentasi tidak berperan penting. Disini, kecepatan aliran
permukaan dianggap sangat dekat terhadap kecepatan kritis.
Tabel 2. Nilai Koefisien Kekasaran (n)
Bahan Koefisien Kekasaran (n)
Tanah 0,0225
Batuan 0,02
Beton 0,013-0,018
Basak (1999)
Kecepatan Kritis
Kecepatan kritis merupakan kecepatan aliran air yang tidak menyebabkan
pengendapan ataupun penggerusan di dasar saluran. Kecepatan kritis disimbolkan
dengan Vo, nilai dari Vo dapat diperoleh melalui persamaan yang diungkapkan
oleh Kennedy, yaitu :
Dimana D adalah kedalaman air.
Rasio Kecepatan Kritis
Perbandingan antara kecepatan aliran V terhadap kecepatan kritis Vo
disebut sebagai rasio kecepatan kritis.
CRV = V
VO atau m = V
VO………(24)
(Basak, 1999).
Jika m = 1 berarti tidak terjadi pengendapan atau penggerusan, jika m > 1 maka
akan terjadi penggerusan, dan jika m < 1 maka akan terjadi pengendapan. Maka
melalui nilai m ini kondisi saluran dapat diprediksi terjadi penggerusan atau
pengendapan.
Kecepatan minimum yang diizinkan atau kecepatan tanpa pengendapan
(nonsliting velocity) merupakan kecepatan terendah yang tidak menimbulkan
sedimentasi dan mendorong pertumbuhan tanaman air dan ganggang. Kecepatan
ini sangat tidak menentu dan nilainya yang tepat tidak dapat ditentukan dengan
mudah. Bagi air yang tidak mengandung lanau (silk), hal ini tidak membawa
pengaruh besar kecuali terhadap pertumbuhan tanaman. Umumnya dapat
dikatakan bahwa kecepatan rata-rata 2 sampai 3 kali per detik dapat digunakan
bila persentase lanau ditunjukkan dalam saluran kecil tidak kurang dari 2,5 kaki
per detik dapat mencegah pertumbuhan tanaman air yang dapat mengurangi
kapasitas saluran tersebut (Chow, 1997).
Kemiringan Saluran
Persoalan kedudukan saluran dalam berbagai segi serupa dengan persoalan
letak jalan raya, tetapi pemecahannya dapat lebih sulit karena kemiringan dasar
berkali-kali (dan demikian juga perubahan penampangnya) haruslah dihindari.
Dalam batasan topografi, jalur saluran yang pasti ditentukan oleh kemiringan yang
dapat diterima. Kemiringan yang berlebihan dapat mengakibatkan kecepatan yang
cukup untuk menggerus dasar dari sisi saluran. Kecepatan yang mengakibatkan
mulainya penggerusan tergantung pada jenis bahan dasar dan bentuk penampang
saluran. Tanah berbutir halus biasanya tergerus oleh kecepatan yang lebih rendah
daripada untuk tanah berbutir kasar, tetapi tidak selalu demikian, karena adanya
bahan-bahan perekat pada tanah yang bersangkutan dapat sangat meningkatkan
daya tahannya terhadap penggerusan (Linsley and Franzini, 1991).
Kemiringan memanjang saluran ditentukan berdasarkan kemiringan taraf
muka air yang diperlukan. Ketinggian taraf muka air ini direncanakan berdasarkan
tinggi air di sawah yang diperlukan yang selanjutnya dihitung berdasarkan
kehilangan tinggi tekan di setiap bangunan dan di sepanjang saluran. Kemiringan
talud saluran bergantung kepada jenis tanah, kedalaman saluran, dan terjadinya
rembesan saluran. Kemiringan minimum talud saluran pembawa untuk jenis tanah
lempung pasiran, tanah pasiran kohesif yaitu 1,5 – 2,5. Untuk jenis tanah pasir
lanauan 2 – 3 dan untuk jenis batu < 0,25 (Mawardi, 2007).
Rancangan SaluranTersier Daerah Irigasi Bandar Sidoras
Pengendapan sedimen dan penggerusan di saluran pembawa dapat terjadi
akibat perubahan kapasitas debit. Dengan menurunnya kapasitas debit di bagian
hilir dari jaringan saluran dapat menimbulkan terjadinya pengendapan sedimen.
Untuk itu dalam desain harus disyaratkan bahwa pengendapan dan penggerusan
setempat di setiap potongan melintang harus seimbang sepanjang tahun. Agar
kedalaman air (h) dengan lebar dasar (b), (h:b) dan kemiringan memanjang
saluran (i). Perbandingan antara kedalaman air dengan dasar saluran (h:b) tersebut
berkisar antara 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; 4; dan 4,5 serta 5, 6,8, 10, dan 12 yang
tergantung pada besarnya debit saluran dari 0,0050 m3/dt sampai dengan 80 m3/dt.
Bentuk penampang melintang saluran untuk mengalirkan air dengan penampang
sekecil mungkin bentuk penampang basah yang paling baik adalah bentuk
setengah lingkaran. Dalam praktek bentuk ini sulit dibangun sehingga bentuk
yang lazim digunakan yaitu bentuk trapesium (Mawardi, 2007).
Secara umum, pengendapan dapat mengubah saluran yang sangat tidak
beraturan menjadi cukup beraturan dan memperkecil n, sedangkan penggerusan
dapat berakibat sebaliknya dan memperbesar n. Namun efek utama dari
pengendapan akan tergantung pada sifat alamiah bahan yang diendapkan.
Endapan yang tidak teratur seperti gelombang pasir dan alur-alur pasir
menjadikan saluran tidak beraturan dan kekasaran meningkat. Besar dan
keserbasamaan penggerusan akan tergantung pada bahan pembentuk keliling
basah. Sebab itu, bahan yang berpasir atau berkerikil akan tererosi secara lebih
seragam dibandingkan dasar yang berlempung. Pengendapan lanau hasil erosi di
hulu akan cenderung memperbaiki ketidakteraturan saluran dibandingkan dengan
tanah liat. Energi yang dipakai untuk menggerus dan mengangkut bahan dalam
suspensi atau menggulingkannya sepanjang dasar saluran juga memperbesar nilai
n. Efek penggerusan tidak terlalu nyata selama erosi pada dasar saluran yang
diakibatkan oleh kecepatan air yang tinggi berlangsung secara terus menerus dan
Menurut Hansen, dkk (1992) tepi saluran tanah biasanya dibuat miring
sedemikian rupa seperti kemampuan tanah berdiri bila keadaan basah. Kemiringan
tepi (�) berbeda dari tiga horizontal dan satu vertikal (bagi material yang sangat
stabil). Hubungan antara lebar dasar saluran (B) dengan kedalaman pada saluran
tanah (d) ditentukan sesuai dengan keadaan topografi. Lebar dasar saluran dapat
lebih kecil dari kedalamannya atau dapat sepuluh kali atau lebih besar dari
kedalamannya. Potongan melintang hidrolik terbaik pada keadaan bangunan yang
sesuai adalah :
B = 2d tan θ