BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”. Istilah pertama (communis) paling sering disebut sebagai asal kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Akan tetapi definisi-definisi
kontemporer menyarankan bahwa komunikasi merujuk pada cara berbagi hal-hal tersebut, seperti dalam kalimat “Kita berbagi pikiran,” “Kita mendiskusikan makna,” dan “Kita mengirimkan pesan”. Setiap ahli mempunyai definisinya tersendiri mengenai arti dari komunikasi (Mulyana, 2000).
Berikut adalah beberapa definisi komunikasi menurut para ahli yang dirangkum oleh Mulyana (2000):
1. Gerald R. Miller, Komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima.
2. Everett M. Rogers, Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.
3. Raymond S. Ross, Komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan symbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator.
4. Mary B. Cassata dan Molefi K. Asante, Komunikasi adalah transmisi informasi dengan tujuan mempengaruhi khalayak.
5. Harold Lasswell, Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi
What In Which Channel To Whom With What Effect?) Atau siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana?
Berdasarkan definisi Lasswell dalam buku Suatu Pengantar Ilmu Komunikasi (Mulyana, 2000) ini dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu:
1. Sumber (source), adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber juga boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan, atau bahkan suatu negara. 2. Pesan, apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan
merupakan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga komponen: makna simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna, dan bentuk atau organisasi pesan.
3. Saluran/Media, alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. Saluran boleh merujuk pada
bentuk pesan yang disampaikan kepada penerima, apakah saluran verbal atau saluran nonverbal.
4. Penerima (receiver), yakni orang yang menerima pesan dari sumber. Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola piker, dan perasaannya, penerima pesan ini menerjemahkan atau menafsirkan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat ia pahami.
Program Talkshow Mata Najwa, sedangkan pesan yang ingin diteliti ialah wacana kepemimpinan yang ada di tayangan episode ‘Pejabat Kekinian’. Selanjutnya peneliti akan menganalisis pesan-pesan atau wacana kepemimpinan dalam program acara tersebut.
2.2 Pesan
Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan atau non verbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud sumber. Menurut Onong Effendy, pesan adalah : “suatu komponen dalam proses komunikasi berupa paduan dari pikiran dan perasaan seseorang dengan menggunakan lambang, bahasa atau lambang-lambang lainnya yang disampaikan kepada orang lain.” (Effendy, 1989:224). Sedangkan Abdul Hanafi menjelaskan bahwa pesan itu adalah : “produk fiktif yang nyata yang dihasilkan oleh sumber-encoder.” (Siahaan, 1991:62).
Pesan mempunyai tiga komponen, yaitu makna, simbol yang digunakan
untuk menyampaikan makna, dan bentuk atau organisasi pesan. Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat merepresentasikan objek (benda), gagasan
dan perasaan, baik ucapan (percakapan, wawancara, diskusi, ceramah dan sebagainya) ataupun tulisan (surat, esai, artikel, novel, puisi, pamflet dan sebagainya). Kata-kata memungkinkan kita berbagi pikiran dengan orang lain. Pesan juga dapat dirumuskan secara non verbal, seperti melalui tindakan atau isyarat anggota tubuh.
menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain (Samovar, 1991:179).
Pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang disadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud seseorang. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual seseorang. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas manusia yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu (Mulyana, 2005:238).
Pesan dapat dimengerti dalam tiga unsur yaitu kode pesan, isi pesan dan wujud pesan.
1. Kode pesan adalah sederetan simbol yang disusun sedemikian rupa
sehingga bermakna bagi orang lain. Contoh: bahasa Indonesia adalah kode yang mencakup unsur bunyi, suara, huruf dan kata yang disusun sedemikian rupa sehingga mempunyai arti.
2. Isi pesan adalah bahan atau materi yang dipilih yang ditentukan oleh komunikator untuk mengkomunikasikan maksudnya.
3. Wujud pesan adalah sesuatu yang membungkus inti pesan itu sendiri, komunikator memberi wujud nyata agar komunikan tertarik aka nisi pesan di dalamnya. (Siahaan, 1991:62)
Pesan juga dapat dilihat dari segi bentuknya. Menurut A.W. Widjaja dan M. Arisyk Wahab terdapat tiga bentuk pesan, yaitu :
a. Informatif
situasi tertentu pesan informatif tentu lebih berhasil dibandingkan persuasif.
b. Persuasif
Yaitu berisikan bujukan yakni membangkitkan pengertian dan kesadaran manusia bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan sikap berubah. Tetapi berubahnya atas kehendak sendiri. Jadi perubahan seperti ini bukan terasa dipaksakan, akan tetapi diterima dengan keterbukaan dari penerima.
c. Koersif
Menyampaikan pesan yang bersifat memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi. Bentuk yang terkenal dari penyampaian secara inti adalah agitasi dengan penekanan yang menumbuhkan tekanan batin dan ketakutan di kalangan publik. Koersif berbentuk perintah-perintah, instruksi untuk penyampaian suatu target. (Widjaja & Wahab, 2000:61)
Dalam menciptakan pengertian yang baik dan tepat antara komunikator
dan komunikan, pesan harus disampaikan sebaik mungkin. Sedikitnya ada Sembilan pesan menurut S.M. Siahaan dalam bukunya “Komunikasi Pemahaman dan Penerapan”, yaitu :
a. Pesan harus cukup jelas (clear), bahasan yang mudah dipahami, tidak berbelit-belit, tanpa denotasi yang menyimpang dan tuntas.
b. Pesan itu mengandung kebenaran yang mudah diuji (correct), berdasarkan fakta, tidak mengada-ada dan tidak diragukan.
c. Pesan itu diringkas (consice) dan padat serta disusun dengan kalimat pendek (to the point) tanpa mengurangi arti yang sesungguhnya. d. Pesan itu mencakup keseluruhan (comprehensive), ruang lingkup
pesan mencakup bagian-bagian yang penting dan yang patut diketahui komunikan.
e. Pesan itu nyata (konkret) dapat dipertanggung jwabkan berdasarkan data dan fakta yang ada, tidak sekedar isu atau kabar angina.
g. Pesan itu menarik dan meyakinkan (convincing). Menarik karena bertautan dengan dirinya sendiri, menarik dan meyakinkan karena logis.
h. Pesan itu disampaikan dengan sopan (courtesy) harus diperhitungkan kadar kebiasaan, kepribadian, pola hidup dan nilai-nilai komunikasi, nilai etis sangat menentukan sekali bagaimana orang dapat terbuka. i. Nilai pesan itu sangat mantap (consistent) artinya tidak mengandung
pertentangan antara bagian pesan yang lain. Konsistensi ini sangat penting untuk meyakinkan komunikan akan kebenaran pesan yang disampaikan. (Siahaan, 1991:63)
2.3 Kepemimpinan
Dahulu orang beranggapan bahwa kepemimpinan tidak dapat dipelajari karena kepemimpinan merupakan suatu bakat alamiah yang dimiliki oleh seorang pemimpin yang dibawa sejak lahir. Tegasnya, pemimpin yang sukses menjalankan kepemimpinannya tanpa teori, tanpa menjalani pelatihan dan
pendidikan sebelumnya. Namun dalam perkembangan zaman, kepemimpinan secara ilmiah berkembang bersamaan dengan pertumbuhan manajemen ilmiah
yang dipelopori oleh ilmuwan Frederick W. Taylor pada awal abad ke-20 dan di kemudian hari berkembang menjadi satu ilmu kepemimpinan (Kartono, 2005:55).
orang lain untuk melakukan suatu perubahan. Dalam hal pemimpin adalah agen perubahan, sedangkan kepemimpinan sebagai perilaku kepemimpinan yang mampu melibatkan seperangkat proses yang bertujuan memotivasi anggota kelompok untuk mengembangkan strategi mencapai tujuan.
Sehubungan dengan ketiga hal diatas maka kepemimpinan pada dasarnya merupakan kajian individu yang memiliki karakteristik fisik, mental dan kedudukan yang dipandang oleh individu lain dalam satu kelompok, sehingga individu yang bersangkutan dapat mempengaruhi kelompoknya untuk bertindak mencapai tujuan bersama.
Nilai kepemimpinan tidak lagi ditentukan oleh bakat alamnya akan tetapi oleh kemampuannya menggerakkan banyak orang melakukan satu karya bersama, berkat pengaruh kepemimpinannya yang diperoleh melalui pelatihan dan pendidikan. Menurut Kartono (2005:56) kepemimpinan bersifat spesifik, khas dan diperlukan bagi satu situasi khusus. Sebab dalam satu kelompok yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dan punya tujuan serta peralatan khusus, pemimpin
kelompok dengan ciri-ciri karakteristiknya merupakan fungsi dari situasi khusus tersebut. Jelasnya, sifat-sifat utama dari pemimpin dan kepemimpinannya harus
sesuai dan bisa diterima oleh kelompoknya serta cocok-pas dengan situasi dan zamannya. Selain itu, pada umumnya pemimpin juga memiliki beberapa sifat superior melebihi kawan-kawannya atau pengikutnya. Paling sedikit pemimpin harus memiliki satu atau dua kemampuan atau keahlian sehingga kepemimpinannya berwibawa.
menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management 1964 (Kartono, 2005:47):
1. Kekuatan
Kekuatan secara badaniah dan rohaniah merupakan syarat pokok bagi seorang pemimpin, hal ini dikarenakan jika seorang pemimpin memiliki kekuatan baik secara badaniah dan rohaniah, maka pemimpin akan memiliki daya tahan untuk menghadapai berbagai rintangan.
2. Stabilitas Emosional
Dengan emosi yang stabil akan menunjang pencapaian lingkungan sosial yang rukun, damai dan harmonis.
3. Pengetahuan Tentang Relasi Insani
Pemimpin yang baik memiliki sifat, watak dan perilaku bawahan agar bisa menilai kelebihan/ kelemahan bawahan sesuai dengan tugas yang diberikan.
4. Kejujuran
Kejujuran adalah modal utama seorang pemimpin, bukan hanya jujur
kepada bawahan tetapi seorang pemimpin harus bisa jujur kepada diri sendiri.
5. Obyektif
Pemimpin harus mencari bukti yang nyata, sebab musabab dari suatu kejadian dan memberikan alasan rasional atas sebuah penolakan.
6. Dorongan Pribadi
Keinginan dan kesediaan untuk menjadi pemimpin yang timbul dari dalam diri seorang pemimpin, hal ini akan memberikan rasa ikhlas saat memberikan pelayanan dan pengabdian kepada kepentingan umum.
7. Ketrampilan Berkomunikasi
8. Kemampuan Mengajar
Pemimpin adalah guru, sehingga dapat membuat orang belajar pada saran-saran tertentu untuk menambah pengetahuan, ketrampilan agar bawahanya mandiri.
9. Ketrampilan Sosial
Pemimpin bersikap ramah, terbuka, menghargai pendapat orang lain, sederhana dan apa adanya, sehingga bisa memupuk kerja sama dengan siapa saja.
10.Kecakapan teknis atau kecakapan manajerial
Untuk mencapai efektivitas kerja, keuntungan maksimal dan kesejahteraan anggota, pemimpin harus memiliki kemahiran manajerial untuk membuat rencana, mengelola, menganalisis keadaan, membuat keputusan, mengarahkan, mengontrol dan memperbaiki situasi yang tidak mapan. Selain syarat kepemimpinan, terdapat pula model gaya kepemimpinan. Menurut Ratnaningsih (2009:126) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi
perilaku orang lain seperti yang ia inginkan. Burn (1978) dalam Ratnaningsih (2009:126) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dapat dikelompokan ke dalam dua tipe yang berbeda yaitu gaya kepemimpinan transformasional dan gaya kepemimpinan transaksional. Kedua gaya tersebut saling bertentangan, namun sangat dibutuhkan dalam organisasi.
1. Gaya Kepemimpinan Transformasional
Burns (1978) dalam Ratnaningsih (2009:129) berbicara mengenai
“heroic leadership” dan sebuah konsep tentang transformational
mendorong semangat, menggunakan nilai – nilai, kepercayaan dan dapat memenuhi kebutuhan bawahannya. Pemimpin yang melakukan hal tersebut dalam situasi yang krisis disebut dengan pemimpin transformasional. Terdapat 4 keahlian yang digunakan oleh para pemimpin transformasional menurut Donnely (1998:359), yaitu :
1) Pemimpin memiliki visi bahwa ia mampu mengutarakan visinya dengan jelas. Visi tersebut dapat berupa tujuan, sebuah rencana atau serangkaian prioritas.
2) Pemimpin dapat mengkomunikasikan dengan jelas visi mereka. Pemimpin juga mampu menunjukkan citra yang menguntungkan sebagai hasil apabila visinya dapat terwujud.
3) Pemimpin harus dapat membangun kepercayaan dengan tindakan yang adil, tegas dan konsisten. Kegigihannya terhadap rintangan dan kesulitan sudah dapat terbukti.
4) Pemimpin memiliki pandangan positif tentang dirinya. Ia akan bekerja untuk pengembangan keahliannya sehingga kesuksesan
dapat tercapai.
Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.
Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional
harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka
melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang
lebih besar. Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa
pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi
yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan
menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh
Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai
efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat
individu. Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational
Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio
(1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional
mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's".
Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence
(pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku
pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan
sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai
inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin
transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu
mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan,
mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan
mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan
entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai
intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional
harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif
terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan
memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari
pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration
(konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional
digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan
penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir.
Adapun ciri-ciri kepemimpinan transformasional sebagai berikut : 1. Karismatik
Karismatik menurut Yukl (1998) merupakan kekuatan pemimpin
yang besar untuk memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
mempunyai pandangan, nilai dan tujuan yang dianggapnya benar.
Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai karisma lebih besar
dapat lebih mudah mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar
bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemimpin.
2. Inspirasional
Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl & Fleet (dalam
Bass, 1985) dapat merangsang antusiasme bawahan terhadap
tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat
menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk
menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.
3. Stimulasi Intelektual
Seltzer dan Bass (1990) menjelaskan bahwa melalui stimulasi
intelektual, pemimpin merangsang kreativitas bawahan dan
mendorong untuk menemukan pendekatan-pendekatan baru
terhadap masalahmasalah lama. Jadi, melalui stimulasi intelektual,
bawahan didorong untuk berpikir mengenai relevansi cara, system
nilai, kepercayaan, harapan dan didorong melakukan inovasi dalam
menyelesaikan persoalan melakukan inovasi dalam menyelesaikan
persoalan dan berkreasi untuk mengembangkan kemampuan diri
serta didorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang
menantang.
4. Perhatian secara Individual
Perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan individual
implikasinya adalah memelihara kontak langsung face to face dan
komunikasi terbuka dengan para pegawai. Zalesnik (dalam Bass,
1985) mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu
persatu antara atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang
utama. Perhatian secara individual tersebut dapat sebagai
indentifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang
mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Sedangkan
ditunjukkan melalui tindakan konsultasi, nasehat dan tuntutan yang
diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman
bila dibandingkan dengan seniornya.
2. Gaya Kepemimpinan Transaksional
Dalam kepemimpinan transaksional, pemimpin dan pengikutnya beraksi sebagai agen penawar dalam suatu proses, dimana imbalan dan hukuman teradministrasi. Bass pada Pidekso dan Harsiwi (2001:3) mendefiniskan kepemimpinan transaksional sebagai kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan jenis ini, didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran dimana para pengikut mendapat imbalan segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin. Terdapat 3 unsur utama dalam kepemimpinan transaksional menurut Ratnaningsih (2009:125), yaitu :
1) Imbalan Kontingensi
Pemberian imbalan sesuai dengan pekerjaan yang telah
dilakukan oleh bawahan sesuai dengan kesepakatan dan biasanya disebut sebagai bentuk pertukaran yang aktif.
2) Manajemen Eksepsi
Merupakan transaksi yang aktif dan pasif. Aktif dilakukan oleh pemimpin yang secara terus menurus mengawasi bawahan untuk mengantisipasi adanya kesalahan. Dan pasif yang berarti intervensi dan kritik dilakukan setelah kesalahan terjadi, pemimpin terlebih dahulu menunggu tugas selesai. Selanjutnya menentukan ada atau tidaknya kesalahan.
3) Laissez – Faire
kepemimpinan ini diterapkan dalam organisasi yang menghadapi keadaan darurat. Kepemimpinan demokrasi akan menimbulkan kepuasan kerja para karyawan, akan terjadi saling saran antara pimpinan dan bawahan, semua orang dianggap sama pentingnya dalam menyumbangkan ide dalam pembuatan keputuasn. Kepemimpinan liberal akan menyebabkan ketidakpuasan di pihak pimpinan, karena melaksanakan sedikit kontrol dan pengawasan pada karyawan.
2.4 Analisis Wacana Kritis
Istilah wacana secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta
wac/wak/vak, artinya ‘berkata’ atau ‘berucap’. Kata tersebut mengalami perkembangan menjadi wacana. Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan. Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para linguis di Indonesia sebagai terjemahan istilah dari bahasa Inggris discourse. Kata ini diturunkan dari dis (dan/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari) (Oetomo,
1993:3).
Dalam buku Alex Sobur dituliskan pengertian wacana menurut Ismail Maharimin, yakni sebagai kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya, komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur (Sobur, 2001:10). Sedangkan menurut Roger Flower dalam buku Eriyanto mengatakan wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman (Eriyanto, 2001:2). Mengenai pengertian analisis wacana, Alex Sobur berpendapat bahwa wacana merupakan studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa (Sobur, 2001:75).
mengkomunikasikan pikiran dalam bentuk lisan maupun tulisan yang teratur dan sistematis dalam kesatuan bahasa yang besar, dengan tema-tema dan topik-topik yang disajikan kepada khalayak.”
Analisa adalah cara mengkaji soal dengan mencari unsur-unsur dasar yang terkandung dalam persoalan tersebut dan kemudian menggali hubungan antara unsur-unsur itu, proses pemecahan kasus secara teratur, terorganisasi, sistematis, dan langkah menguraikan satu keseluruhan ke dalam bagian-bagian. Sedangkan analisis adalah memecahkan, menguraikan, melepaskan, dan membuat terurai (Dagun, 1977:44).
Dalam suatu studi terhadap media, terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan, yaitu analisis isi, analisis framing, analisis semiotika, dan analisis wacana. Posisi keempatnya sama-sama berada dalam pembahasan terhadap isi media, khususnya dengan metodologi kualitatif. Perbedaannya adalah pendekatan analisis isi hanya bertujuan melihat peristiwa apa yang diberitakan pada suatu media (to find what), sementara kegiatan pendekatan lainnya melihat
bagaimana wartawan memandang suatu peristiwa (to find how). Seiring perkembangannya, analisis isi dinilai memiliki banyak keterbatasan untuk
menganalisis isi pesan, terutama dalam menyingkap tingkat ideologis suatu media.
suatu teks. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan analisis wacana.
Pembahasan wacana pada segi lain adalah membahas bahasa dan tuturan itu harus di dalam rangkaian kesatuan situasi penggunaan yang utuh. Analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori, dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan pengamatan dan penafsiran peneliti. (Eriyanto, 2001:337).
Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana dalam bahasa. Pandangan pertama dituturkan kaum positivism-empiris, menurutnya analisis wacana menggambarkan tata tuturan kalimat, bahasa dan pengertian bahsa. Pandangan kedua disebut konstruktivisme, yang menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu. Pandangan ketiga disebut sebagai paradigm kritis yang menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna, di mana bahasa dipahami
sebagai reprentasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya (Badara, 2012:19-20).
Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. (Eriyanto, 2001:3-6). Pandangan ini melihat bagaimana kedudukan wartawan dan media yang bersangkutan dalam keseluruhan proses berita.
maksud atau makna tertentu. Pandangan kristis menganggap bahasa sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, sehingga analisis wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa seperti batasan wacana, prespektif yang dipakai, dan topik yang dibicarakan.
Analisis wacana kritis bukan hanya mempelajari mengenai bahasa. Bahasa dalam analisis wacana dianalisis dengan menggambarkan dan menghubungkan dengan konteks. Konteks yang dimaksudkan adalah bahasa yang digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk praktik kekuasaan (Eriyanto,2001:7). Menurut Fairclough dan Wodak (2001:7) analisis wacana kritis dalam pemakaian bahasa berupa kata-kata dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial, yang berdampak menjadi efek ideologi dimana ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kuasa yang tidak seimbang. Kekuasaan yang didapat digunakan sebagai pembentukkan subyek dan merepresentasikan masyarakat.
Analisis wacana kritis memiliki karakteristik menurut Teun A. van Djik, Fairclough, dan Wodak (Eriyanto,2001:8) :
1. Tindakan
Wacana dipahami sebagai suatu tindakan, dalam hal ini wacana dianggap sebagai suatu interaksi. Interaksi yang dimaksudkan adalah tulisan dan tutur kata, sehingga tulisan dan tutur kata dianggap sebagai wacana. Wacana dipandang sesuatu yang bertujuan baik mempengaruhi, mendebat, atau membujuk, dan juga dipandang sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol.
2. Konteks
3. Historis
Historis melihat wacana berada dalam sebuah konteks sosial, sehingga wacana ditempatkan dalam konteks historis tertentu. Kontes historis akan melihat sejarah atau cerita dibalik sebuah wacana atau melihat bagaimana keadaan saat wacana diproduksi.
4. Kekuasaan
Teks atau sebuah percakapan dipandang sebagai sebuah wacana. Wacana tersebut bukan sebagai sesuatu yang ilmiah, wajar dan netral, namun wacana merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksud adalah sebuah kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Memiliki kekuasaan berarti berhak mengkontrol siapa yang perlu diwacanakan dan diwacanakan seperti apa, sehingga wacana tersebut dipakai untuk mengkontrol pihak yang tidak dominan.
5. Ideologi
Dalam ideologi, memandang teks dan percakapan sebagai sebuah praktik ideologi atau cerminan ideologi. Ideologi tersebut dibangun untuk
2.5 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.4.
Penelitian Tedahulu
Penelitian Judul Konsep Metode Hasil
Episode Pejabat
Kekinian
Kekinian. kemudian secara kognisi sosial
mendokumentasi kan wacana-wacana pada media massa dan media sosial Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo, dan secara konteks sosial
menganalisis melalui kondisi sosial di Bandung dan Jawa Tengah. Setelah itu
dengan menggunakan teori gaya
kepemimpinan George R. Terry
dapat dilihat gaya kepemimpinan Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo.
kepemimpina n Ridwan
Dengan adanya beberapa penelitian terdahulu yang digunakan sebagai acuan untuk ini, dan sebagaimana dapat dilihat pada tabel diatas bahwa metode yang digunakan adalah metode analisis wacana kritis dengan model Teun Van Djik, maka peneliti merasa pernting untuk menggambarkan perbedaan dari penelitian yang hendak dilakukan dengan beberapa penelitian terdahulu diatas.
Peneliti melihat bahwa pada penelitian beberapa penelitian terdahulu diatas secara secara konsep pada umumnya hanya menggambarkan bagaimana media mengkonstruksi atau membangun sebuah teks, wacana, gambaran sebuah program acara dan juga idielogi yang dibangun melalui media serta program acara yang diteliti. Lebih jauh peneliti belum melihat adanya upaya untuk melihat lebih jauh tentang hal-hal yang sebenarnya ingin disampaikan melalui teks serta wacana yang dikonstruksi oleh media yang diteliti serta program acara yang diteliti sebelumnya. Untuk itu melalui penelitian ini peneliti tidak sekedar mencari tau bagai mana media lewat program acaranya mengkonstruksi teks, wacana serta ideologi yang dibangun tapi peneliti lebih jauh ingi melihat apa yang hendak disampaikan di balik hal – hal tersebut.
Dengan mengamati program talkshow Mata Najwa edisi pejabat kekinian,
2.6 Kerangka Pikir
Pada tanggal 9 Maret 2016, program talkshow Mata Najwa mengangkat episode ‘Pejabat Kekinian’ yang menghadirkan Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo sebagai narasumber utama. Dari tayangan inilah, peneliti ingin melihat bagaimana gaya kepemimpinan Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo berdasarkan analisis wacana kritis program talkshowMata Najwa episode ‘Pejabat Kekinian’. Untuk mengetahui wacana kepemimpinan tersebut peneliti akan menganalisis tayangan tersebut menggunakan model analisis Teun A. Van Dijk. Pertama, peneliti akan menganalisis secara teks. Kemudian, peneliti akan melihat kognisi dari wacana-wacana yang ada di media massa dan media sosial. Setelah itu, dilihat konteks sosialnya dari kondisi-kondisi lokal (tempat kedua pejabat daerah ini bertugas, Bandung dan Jawa Tengah), juga melihat kondisi nasional saat ini. Baru kemudian peneliti menggunakan teori gaya kepemimpinan George R. Terry untuk melihat gaya kepemimpinan Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo.
Bagan 1. Kerangka Pikir
Pesan (Kepemimpinan) Program Talkshow Mata
Najwa
Episode ‘Pejabat Kekinian’
Analisis Wacana Kritis
Teun A. Van Dijk
Teori Gaya Kepemimpinan George R. Terry. Gaya Kepemimpinan Ridwan
Kamil dan Ganjar Pranowo