A. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan suatu “perbuatan” yaitu perbuatan hukum, perbuatan
yang mempunyai akibat hukum. Seperti dalam Pasal 1313 KUHPerdata memuat
pengertian yuridis perjanjian, yaitu “Suatu perbuatan dengan mana seorang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih.”11 Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban,
yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekuensinya.12 Dalam lintas
hukum, istilah perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu
“overeenskomst”. Overeenskomst biasanya diterjemahkan dengan perjanjian dan
atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak
dalam perjanjian yang akan diadakan telah sepakat tentang apa yang mereka
sepakati berupa janji-janji yang diperjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan
menunjukan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga
sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang diperjanjikan.13
Hal ini secara jelas dapat disimak juga dari judul Buku III title Kedua
tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam
bahasa aslinya (bahasa Belanda), yaitu: “Va n verbintenissen die uit contr a ct of
overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini juga didukung pendapat banyak
11
Muhammad, Syaifuddin Hukum Kontrak, (Bandung, Mandar Maju, 2012). hal. 20. 12“Pengertian P
erjanjian”, http://www.legalakses.com/perjanjian/, diakses pada tanggal 06 Juni 2014.
13 “Pengertian P
sarjana, antara lain: Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J.Satrio, Soetojo
Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid
Patrik, dan Tirtodiningrat yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam
pengertian yang sama.14
Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal
1313 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Subekti
memberikan definisi perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Sedangkan KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian
adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau
lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh
undang-undang.15 Namun, definisi perjanjian dari Pasal 1313 KUHPerdata ini
belum lengkap karena hanya mencakup kontrak atau perjanjian sepihak, yaitu satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih,
sedangkan satu orang lainnya atau lebih itu tidak diharuskan mengikatkan diri
kepada pihak pertama. Definisi Pasal 1313 BW tersebut mengalami perubahan
dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW), sebagaimana diatur dalam Buku 6 Bab
5 Pasal 6: 213, yaitu: “A contra ct in the sense of this title is a multila tera l
juridica l a ct where by one or more pa rties a ssume a n obliga tion towa rds one or
more other pa rties.” Menurut NBW kontrak merupakan perbuatan hukum yang
14
Hernoko, A. Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010). hal 13.
15Ibid
bertimbal balik, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.
Buku III BW tentang Perikatan (van Verbintenis) tidak memberikan definisi
tentang apa yang dimaksud dengan perikatan itu. Namun justru diawali dengan
Pasal 1233 BW mengenai sumber perikatan, yaitu kontrak atau perjanjian dan
undang-undang. Dengan demikian, kontrak atau perjanjian merupakan salah satu
dari dua dasar hukum yang ada selain dari undang-undang yang dapat
menimbulkan perikatan. Bahkan apabila diperhatikan dalam praktik di
masyarakat, perikatan yang bersumber dari kontrak atau perjanjian begitu
mendominasi. 16 Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum
perjanjian/kontrak dapat dikemukakan sebagai berikut:17 1. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni
tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum dalam perjanjian tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat dan
yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual
beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini
berasal dari hukum adat.
2. Subyek hukum
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan
sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subyek
16
Hernoko, A. Yudha. Ibid, hal. 19. 17
hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang
yang berpiutang sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3. Adanya prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur.
Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berkut: memberikan
sesuatu; berbuat sesuatu; tidak berbuat sesuatu.
4. Kata sepakat
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan empat syarat sahnya
perjanjian seperti dimaksud di atas, dimana salah satunya adalah kata sepakat
(konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para
pihak.
5. Akibat hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat
hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian
sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Atau dengan kalimat lain, bila definisi
dari Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari Pasal
1233 KUHPerdata, maka dapat terlihat pengertian dari perikatan, karena perikatan
tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.
Satu hal yang kurang dalam berbagai definisi kontrak yang dipaparkan di
atas, yaitu bahwa para pihak dalam kontrak semata-mata hanya orang-perorang.
kontrak, termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum. Dengan
demikian, definisi itu, perlu dilengkapi dan disempurnakan.
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, mensyaratkan adanya 4 (empat) hal
yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :18
1. Kesepakatan
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang
disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar para pihak. Pernyataan pihak
yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte) dan pernyataan pihak yang
menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).19
Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dan asas konsesualitas, maka
para pihak dapat membuat perjanjian apa saja yang diinginkannya sepanjang telah
terjadi kesepakatan (consensus) diantara para pihak itu. Tentu saja substansi dari
kesepakatan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan sebagaimana dimaksud Pasal 1337 KUHPerdata.
Sesuai dengan kedua asas tersebut, kesepakatan yang telah dibuat oleh
para pihak dianggap telah terjadi pada saat dibuatnya perjanjian. Akan tetapi
menurut Pasal 1321 KUHPerdata, perjanjian itu dapat dibatalkan apabila
perjanjian itu diberikan karena suatu kekhilafan, paksaan ataupun karena
penipuan. Selanjutnya dalam Pasal 1449 KUHPerdata disebutkan bahwa:
18
Mohammad Amari, dan Asep N. Mulyana. Kontrak Ker ja Konstruksi Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, (Semarang, Aneka Ilmu, 2010). hal. 96.
19
“Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menimbulkan
tuntutan untuk membatalkannya.”
2. Kecakapan (lack of capacity)
Mengenai kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Pasal 1329
KUHPerdata menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.”
Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata menentukan secara limitasi
orang-orang yang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian, yaitu :20 a. Anak yang belum dewasa
Menurut Pasal 330 KUHPerdata, pengertian belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan belum terikat dalam
suatu perkawinan.
b. Orang yang berada di bawah pengampuan
Istilah pengampuan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 433
KUHPerdata, yaitu : setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap, harus ditaruh di bawah pengampuan, walaupun
bila ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.
c. Perempuan yang telah kawin
Pada dasarnya, perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan
tidak dapat melakukan perjanjian dengan pihak lain, kecuali atas izin suaminya.
Tetapi tidak berlaku lagi setelah keluarnya SEMA dan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974.s
20
3. Suatu pokok persoalan tertentu
Mengenai syarat objektif telah dinyatakan dalam Pasal 1332
KUHPerdata sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1333
KUHPerdata, menentukan: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok
perjanjian berupa suatu kebendaan, yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah
itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
Dalam ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata itu, menjadi jelas bahwa
apapun bentuk perjanjiannya (memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu) senantiasa mengenai eksistensi dari suatu pokok persoalan
tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Suatu sebab tidak terlarang sebagai syarat objektif dalam perjanjian telah
ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1337
KUHPerdata. Meskipun KUHPerdata tidak memberikan definisi tentang “suatu
sebab”, namun dari rumusan Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa yang
disebut dengan sebab yang halal, yaitu: “Bukan tanpa sebab, bukan sebab yang
palsu ataupun bukan sebab yang terlarang.” Oleh karena itu, Pasal 1336
KUHPerdata menyatakan: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab
yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu,
Dua syarat di atas yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif,
karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian.
Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan.21 Dalam hal ini juga harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam hal syarat objektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi,
perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah
gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan Hakim.
Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu Null and
Void.22
C. Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian atau kontrak ini dapat dibedakan menurut berbagai aspek
(tinjauan), sehingga timbullah berbagai jenis perjanjian.
Jenis-jenis perjanjian ini secara umum dikelompokkan menjadi 5, yaitu:23 1. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Formil dan Perjanjian Riil (Perjanjian
menurut Persyaratan Terjadi/Terbentuknya)
a. Perjanjian Konsensual
21
Mohammad Amari dan Asep N. Mulyana, Op.Cit, hal. 17. 22 Ibid
, hal. 20. 23 “
Perjanjian konsensuil ini adalah perjanjian yang dianggap sah kalau
sudah ada consensus diantara para pihak yang membuat. Perjanjian semacam ini
untuk sahnya tidak memerlukan bentuk tertentu. Misalnya, perjanjian jual-beli
menurut Pasal 1457 KUHPerdata terjadi sepakat mengenai barang dan harganya.
b. Perjanjian Formil
Suatu perjanjian yang harus diadakan dengan bentuk tertentu, seperti
harus dibuat dengan akta notariil. Jadi perjanjian semacam ini baru dianggap sah
jika dibuat dengan akta notaris dan tanpa itu maka perjanjian dianggap tidak
pernah ada.
c. Perjanjian Riil
Perjanjian riil, yaitu perjanjian yang memerlukan kata sepakat, tetapi
barangnyapun harus diserahkan. Misalnya, perjanjian penitipan barang menurut
Pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti menurut Pasal 1754
KUHPerdata.
2. Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik (Perjanjian menurut Hak
dan Kewajiban para pihak yang membuatnya)
a. Perjanjian Sepihak
Suatu perjanjian dengan mana hak dan kewajiban hanya ada pada
salah satu pihak saja. Misalnya : perjanjian hibah/pemberian menurut Pasal 1666
KUHPerdata, maka dalam hal itu yang dibebani kewajiban hanya salah satu
pihak, yaitu pihak yang memberi, dan pihak yang diberi tidak dibebani kewajiban
b. Perjanjian Timbal Balik
Suatu perjanjian yang membebankan hak dan kewajiban kepada
kedua belah pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik ini adalah perjanjian jual
beli.
3. Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Kebendaan (Perjanjian menurut
Sifat dan Akibat Hukumnya)
a. Perjanjian Obligatoir (Obligatoire Overeenkomst)
Suatu perjanjian yang hanya membebankan kewajiban bagi para
pihak, sehingga dengan perjanjian disitu baru menimbulkan perikatan. Perjanjian
Obligatoir ini juga menurut Pasal 1313 Jo. Pasal 1349 KUHPerdata, adalah
perjanjian yang timbul karena kesepakatan kedua belah pihak atau lebih dengan
tujuan timbulnya suatu perikatan untuk kepentingan yang satu atas beban yang
lain. Misalkan: perjanjian jual beli, maka dengan sahnya perjanjian jual beli itu
belum akan menyebabkan beralihnya benda yang dijual. Tetapi dari perjanjian itu
menimbulkan perikatan, yaitu bahwa pihak penjual diwajibkan menyerahkan
barang dan pihak pembeli diwajibkan membayar sesuai dengan harganya.
Selanjutnya untuk beralihnya suatu benda secara nyata harus ada
levering/penyerahan, baik secara yuridis maupun empiris.
b. Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeenkomst)
Perjanjian penyerahan benda atau levering yang menyebabkan
seorang yang memperoleh itu menjadi mempunyai hak milik atas benda yang
bersangkutan. Jadi perjanjian itu tidak menimbulkan perikatan, dan justru
4. Perjanjian Pokok dan Perjanjian Accessoir
a. Perjanjian Pokok
Suatu perjanjian yang dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada
perjanjian yang lainnya.
b. Perjanjian Accessoir
Suatu perjanjian yang keberadaannya tergantung pada perjanjian
pokok. Dengan demikian perjanjian accessoir tidak dapat berdiri sendiri tanpa
adanya perjanjian pokok. Misalnya : perjanjian hak tanggungan, perjanjian
pendidikan dan perjanjian penjaminan.
5. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama (Perjanjian menurut
Penamaan dan Sifat Pengaturan Hukumnya)
a. Perjanjian Bernama (BenoemdeContract atau NominaatContract)
Perjanjian-perjanjian yang disebut serta diatur dalam buku III
KUHPerdata atau di dalam KUHD, seperti : perjanjian jual-beli, perjanjian
pemberian kuasa, perjanjian kredit, perjanjian asuransi, dan lain-lain. Perjanjian
bernama ini juga mempunyai nama sendiri yang telah diatur secara khusus dalam
KUHPerdata bab V sampai dengan Bab XVIII.
b. Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata dan KUHD, dan
yang tidak diatur secara khusus dalam KUH Pedata, tetapi timbul dan berkembang
di masyarakat berdasarkan atas kebebasan membuat kontrak menurut Pasal 1338
KUHPerdata, antara lain perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan dan
Kedua perjanjian tersebut tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam
Bab I, Bab II, dan Bab IV buku III KUHPerdata Pasal 1319.
- Bab I: mengatur ketentuan-ketentuan tentang perikatan-perikatan pada
umumnya.
- Bab II: mengatur ketentuan-ketentuan tentang perjanjian sebagai sumber
daripada perikatan.
- Bab IV: mengatur ketentuan-ketentuan tentang hapusnya perikatan.
Bab I, Bab II, dan Bab IV dalam hukum perdata disebut sebagai ajaran umum
daripada perikatan.
D. Prinsip Hukum Perjanjian
Pelaksanaan perjanjian atau kontrak pada dasarnya merupakan
pelaksanaan kewajiban kontraktual. Pada sisi pengguna barang/jasa, kewajiban
utama adalah melakukan pembayaran, sedangkan pemenuhan kewajiban
kontraktual oleh penyedia barang/jasa bergantung pada jenis kontraknya:
pengadaan barang, jasa konsultasi atau pemborongan. Dalam beberapa jenis
perjanjian, juga terdapat kewajiban lain yang harus ditaati, diantaranya yang perlu
perhatian adalah kewajiban untuk menjaga kerahasiaan informasi yang terdapat
dalam perjanjian, karena sekalipun transparan merupakan prinsip utama dalam
pengadaan barang oleh pemerintah, dalam situasi tertentu prinsip confidentiality
merupakan pembatas penerapan transparansi.24 Perbedaan-perbedaan prinsip antar
sistem hukum semakin menipis dan justru yang banyak terbentuk adalah prinsip
24
hukum perjanjian/kontrak yang telah menjadi ius commune. Negara-negara
dengan sistem common la w banyak mengadopsi prinsip yang secara tradisional
melekat pada sistem civil law, misalnya prinsip itikad baik (goodfaith).
Prinsip ini secara gradual telah diterapkan di sejumlah pengadilan
negara-negara dengan sistem common la w. Sebaliknya negara dengan sistem civil
la w juga menerima pengaruh dari tradisi common law.25 Indonesia secara tradisi
jelas masuk ke dalam kelompok civil law karena BW Indonesia pada dasarnya
sama dengan BW Belanda. Dalam perjalanan waktu hal ini tidak mutlak sebab
praktek-praktek bisnis sangat mempengaruhi perkembangan hukum nasional,
terutama bidang hukum kontrak.
Prinsip hukum dalam suatu perjanjian ada dikenal 4, yaitu :26 1. Prinsip Kebebasan Berkontrak
Prinsip kebebasan berkontrak dikenal dengan istilah Pa rtij
OtonomiePrinsip atau Freedom of Contract atau Liberty of Contract. Istilah yang
kedua lebih umum digunakan daripada istilah yang pertama dan ketiga. Prinsip
kebebasan berkontrak ini adalah prinsip yang universal, artinya dianut oleh
hukum kontrak di semua negara pada umumnya.27 Prinsip ini merupakan topik dalam setiap kajian hukum yang berkaitan dengan kontrak. Prinsip ini menjadi
domain terpenting dalam kontrak tetapi dalam perkembangannya mengalami
pasang surut. Tidak seperti prinsip itikad baik yang menunjukkan fungsi yang
lebih menguat, kebebasan berkontrak justru mengalami penurunan secara
fungsional karena kuatnya intervensi negara dalam membatasi individu dalam
25
Ibid, hal 27. 26
Ibid, hal 30.
27
menciptakan dan mengatur hubungan berkontraktual.kebebasan berkontrak
menjadi penting dalam mendukung kepentingan para pelaku ekonomi. Prinsip
efisiensi dalam ekonomi menemukan justifikasinya dalam model kontrak klasik.
Kebebasan inilah yang pada akhirnya melahirkan kontrak adhesi. Kontrak yang
mengandung sifat adhesi merupakan implikasi yang jelas dan hal ini merupakan
kelaziman dalam kontrak yang dibuat oleh pemerintah.
2. Prinsip Itikad Baik (goodfaith)
Prinsip ini mempunyai fungsi sangat penting dalam konstelasi hukum
Kontrak. Batasan tentang itikad baik memang sulit ditentukan. Tetapi pada
umumnya dipahami bahwa itikad baik merupakan bagian dari kewajiban
kontraktual. Dalam sistem kita, prinsip ini tertuang dalam Pasal 1338 (3) BW
yang menekankan adanya keharusan bagi para pihak untuk melaksanakan kontrak
dengan itikad baik. Terdapat dua makna itikad baik. Pertama dalam kaitannya
dengan pelaksanaan kontrak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 (3) BW.
Dalam kaitan ini, itikad baik atau bona fides diartikan perilaku yang layak dan
patut antar kedua belah pihak (redlijkbeid en billijkbeid). Kedua, itikad baik juga
diartikan sebagai keadaan tidak mengetahui adanya cacat, seperti misalnya
pembayaran dengan itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1386 BW.28
3. Prinsip Konsesualisme
Asas konsesualisme berasal dari kata latin consensus yang artinya
sepakat. Sepakat itu adalah penyesuaian paham dan kehendak antara para pihak
yang membuat kontrak. Dalam membuat kontrak disyaratkan adanya konsensus,
28
yaitu para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang dijanjikan. Suatu
kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat
lainnya sudah terpenuhi. Asas konsensualisme ini merupakan salah satu syarat
untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Tanpa adanya kesepakatan ini, perjanjian tersebut batal demi
hukum. kesepakatan maksudnya adalah seiya-sekata tentang apa yang
diperjanjikan. Kesepakatan ini dicapai dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan
dan tekanan salah satu pihak.29 Prinsip konsensualisme juga terkandung dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yang memuat ketentuan imperatif, yaitu kontrak
yang telah dibuat secara sah tidak dapat ditarik kembali (diputuskan) secara
sepihak, selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan
yang ditentukan undang-undang.30
4. Prinsip Kekuatan Mengikat Kontrak
Prinsip kekuatan mengikat kontrak ini mengharuskan para pihak
memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak
yang mereka buat. Prinsip hukum ini disebut juga prinsip pacta sunt servanda ,
yang secara konkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
memuat ketentuan imperatif, yaitu “Semua kontrak yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Adagium pacta sunt servanda (yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata) diakui sebagai aturan yang menetapkan bahhwa semua kontrak
yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat kekuatan hukum yang terkandung
29“Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak”, http://www.audrytimisela.wordpress.com/
, diakses tgl 17 September 2014.
30
di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat
dipaksakan penataannya.31 Kekuatan mengikat kontrak mempunyai daya kerja (strekking) sebatas para pihak yang membuat kontrak, menunjukkan bahwa hak
yang lahir merupakan hak perorangan (persoonlijk recht) dan bersifat relatif.32
E. Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian yang telah dibuat dan dilaksanakan oleh para pihak dapat
berakhir atau hapus. Ada logika hukum tentang ini, bahwa jika perjanjian berakhir
atau hapus, maka perikatan yang bersumber dari kontrak itu juga menjadi berakhir
atau hapus. Sebaliknya, jika perikatan yang bersumber dari kontrak berakhir atau
hapus, maka kontraknya juga berakhir atau hapus. Dalam kaitannya juga dengan
pelaksanaan kontrak pengadaan di Indonesia, ketentuan mengenai pemutusan
kontrak dapat dijumpai dalam Pasal 93 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah (selanjutnya disebut Perpres
No.54/2010), sedangkan untuk penghentian kontrak diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah
(selanjutnya disebut Perpres No.54/2010), melainkan dituangkan dalam Perka
LKPP No.6/2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun
2012 (Selanjutnya disebut Perpres No.70/2012) tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (Selanjutnya disebut Perpres
31
Herlien Budiono. Asas keseimbangan bagi hukum perjanjian Indonesia:hukum perjanjian berlandaskan asas-asa wigati Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006). hal 91
32
No.54/2010) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.33 Penghentian kontrak
dikaitkan dengan terjadinya keadaan memaksa/keadaan kahar (force majeur),
sedangkan pemutusan dilakukan jika penyedia barang/jasa dinilai gagal
melaksanakan kewajibannya. Aturan hukum mengenai keadaan memaksa secara
fragmentaris tertuang dalam BW, yakni Pasal 1235, 1244, 1245 dan 1444. Namun
demikian BW tidak merumuskan batasan keadaan memaksa ini. Penilaian ada
tidaknya keadaan memaksa dengan demikian, diserahkan kepada kedua belah
pihak. Jika kemudian terjadi sengketa mengenai hal ini, maka pengadilan hanya
akan menilai terjadinya keadaan memaksa bertitik tolak dari jenis-jenis peristiwa
yang telah ditetapkan di kontrak. Penghentian kontrak juga dapat dilakukan
karena pekerjaan telah selesai. Suatu kontrak dapat terhapus atau berakhir juga,
karena 34:
1. Para pihak menentukan berlakunya kontrak untuk jangka waktu tertentu;
2. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya kontrak;
3. Salah satu pihak meninggal dunia, misalnya dalam kontrak pemberian
kuasa, kontrak perburuhan, dan kontrak perseroan;
4. Satu pihak atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan kontrak,
misalnya dalam kontrak kerja atau kontrak sewa menyewa;
5. Karena putusan hakim;
6. Tujuan kontrak telah tercapai;
7. Dengan persetujuan para pihak.
33
Y. Sogar, Simamora. Op.Cit, hal 281 34
Sementara itu, pemutusan kontrak lazimnya dikaitkan dengan kegagalan
penyedia barang/jasa dalam memenuhi kewajiban kontraktualnya. Dalam
Peraturan Presiden No.54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah,
pemutusan kontrak juga dapat dilakukan jika penyedia barang/jasa terbukti
melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan baik dalam proses pemilihan
maupun dalam pelaksanaan pekerjaan. Pemutusan kontrak dapat pula disertai
sanksi berupa:35
1. Jaminan pelaksanaan dicairkan
2. Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa atau jaminan
uang muka dicairkan
3. Penyedia barang /jasa membayar denda keterlambatan
4. Penyedia barang/jasa dimasukkan dalam daftar hitam
Sanksi tersebut bersifat kumulatif. Tetapi bertitik dari prinsip
Proporsionalitas, seharusnya sanksi-sanksi ini bersifat fakultatif bukan kumulatif.
Akibat hukum atas penghentian dan pemutusan kontrak juga merupakan hal
penting untuk diperhatikan. Jika kontrak dihentikan karena terjadinya keadaan
memaksa maka pengadaan barang/jasa sesuai dengan jasa wajib membayar
kepada penyedia barang/jasa sesuai dengan prestasi atau kemajuan pelaksaan
proyek yang telah dicapai. Jika telah terdapat prestasi yang telah dipertukarkan,
harus saling dikembalikan. Tetapi ada juga dalam banyak situasi akibat
pembubaran, dilihat dari isi kontrak. Ini adalah konsekuensi pemutusan dan
pembubaran.
F. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya
Dalam suatu kontrak baku sering dijumpai ketentuan bahwa para pihak
telah bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1266 KUHPerdata. Menurut
kamus hukum, wanprestasi berarti “kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak
menepati kewajibannya dalam kontrak.36 Jadi wanprestasi adalah suatu keadaan
dalam mana seorang debitur (berutang) tidak melaksanakan prestasi yang
diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul karena kesengajaan atau
kelalaian debitur itu sendiri dan adanya keadaan memaksa (overmacht).37 Seorang
debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam
kontrak, yang dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi ada 4 (empat)
macam wujudnya, yaitu:
1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya;
3. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya;
4. Melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam kontrak.
Tindakan wanprestasi dapat terjadi karena:38 1. Kesengajaan;
2. Kelalaian;
3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)
36
R. Subekti dan R. Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1996),
hal. 110. 37
P. N. H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 2007).hal. 340.
38
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur atau pihak yang mempunyai
kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dapat menimbulkan kerugian
bagi debitur atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi. Akibat hukum
bagi debitur atau pihak yang melakukan wanprestasi, yaitu:39
1. Dia harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur atau
pihak yang mempunyai hak menerima prestasi;
2. Dia harus menerima pemutusan kontrak disertai dengan pembayaran
ganti kerugian;
3. Dia harus menerima peralihan risiko sejak saat terjadinya wanprestasi;
4. Dia harus membayar biaya perkara jika diperkarakan di pengadilan.
Kewajiban membayar ganti kerugian bagi debitur atau pihak yang
mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan
wanprestasi baru dapat dilaksanakan jika telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
1. Dia memang telah lalai melakukan wanprestasi;
2. Dia tidak berada dalam keadaan memaksa;
3. Dia tidak melakukan pembelaan untuk melawan tuntutan ganti kerugian;
4. Dia telah menerima pernyataan lalai atau somasi.
Seorang debitur yang dituduh lalai dan dituntut supaya dihukum atas
kelalaiannya, dapat mengajukan pembelaan yang disertai dengan alasan, yaitu:
mendalilkan adanya keadaan memaksa (overmacht), mendalilkan bahwa kreditur
telah lalai, dan mendalilkan bahwa kreditur telah melepaskan haknya. Akibat
hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut tidak perlu
39
dimintakan pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya sudah batal demi
hukum. Dalam hal ini wanprestasi merupakan syarat batal. Akan tetapi, beberapa
ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal terjadi wanprestasi
perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan kepada
hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipun debitur sudah wanprestasi
hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan kepadanya untuk memenuhi
perjanjian. Akibat hukum suatu perikatan terdiri dari 2, yaitu :40 1. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian
Akibat hukum ini memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang
perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu penyesuaian kehendak antara pihak
yang membuat perjanjian.
2. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang
Akibat hukum ini tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan
hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.
Akibat hukum juga bagi debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban
melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi, yaitu :41
a. Dia harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur atau
pihak yang mempunyai hak menerima prestasi (Pasal 1243 KUHPerdata)
b. Dia harus menerima pemutusan kontrak disertai dengan pembayaran
ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata)
c. Dia harus menerima peralihan risiko sejak saat terjadinya wanprestasi
(Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata)
40
Suharnoko. Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 117.
d. Dia harus membayar biaya perkara jika diperkarakan di pengadilan
(Pasal 181 ayat (1) HIR)
Selain itu, menurut Pasal 1266 KUHPerdata, dalam kontrak timbal balik,
wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk
memutuskan kontrak di pengadilan, walaupun syarat putus mengenai tidak