• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN EKSPRESI TOPOISOMERASE IIα PADA DIFFUSE LARGE B CELL LYMPHOMA DENGAN RESPON TERAPI TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN EKSPRESI TOPOISOMERASE IIα PADA DIFFUSE LARGE B CELL LYMPHOMA DENGAN RESPON TERAPI TESIS"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN EKSPRESI TOPOISOMERASE IIα PADA

DIFFUSE LARGE B CELL LYMPHOMA DENGAN

RESPON TERAPI

TESIS

INDRI WINDARTI 0806361156

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA/RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO

JAKARTA NOVEMBER 2012

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN EKSPRESI TOPOISOMERASE IIα PADA

DIFFUSE LARGE B CELL LYMPHOMA DENGAN

RESPON TERAPI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis

INDRI WINDARTI 0806361156

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA/RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO

JAKARTA NOVEMBER 2012

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah Subhanallahu Wata’ala, atas limpahan berkah dan kasih sayang-Nya kepada kami sekeluarga, sehingga memudahkan langkah saya menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan sebagai salah satu syarat mencapai gelar Spesialis pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I Bidang Studi Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Saya menyadari bahwa proses penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, asupan, dukungan, pengertian, perhatian dan doa dari banyak pihak bagi saya, mulai dari awal hingga akhir, untuk itu saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih dengan segala ketulusan hati kepada semua pihak yang telah membantu saya.

Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada dr. Endang S.R. Hardjolukito, MS., SpPA(K)., dr. Maria Francisca Ham, PhD., SpPA yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing, memberi saran, koreksi dan dukungan kepada saya dalam pembuatan tesis ini dan kepada DR.dr.Djumhana Atmakusuma, SpPD-KHOM yang telah memberikan saya kesempatan untuk melakukan penelitian di Divisi Hematologi Onkologi Departemen Penyakit Dalam, juga atas kesediaannya membimbing, memberi saran dan koreksi. Kiranya semua kebaikan yang telah diberikan kepada saya dibalas dengan rejeki yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Kepada dr. Budiningsih Siregar, MS,SpPA(K) dan dr. Benjamin Makes, SpPA(K) selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi PPDS I Patologi Anatomik sekaligus penilai tesis, saya sampaikan terima kasih atas bimbingan, dorongan dan motivasi kepada saya selama mengikuti pendidikan Spesialis I Patologi Anatomik di FKUI/RSCM.

Kepada guru-guru saya di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM, perkenankanlah saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Semua yang telah saya capai ini tidak lepas dari peran, dukungan serta restu para guru yang saya hormati.

(6)

Rasa terima kasih juga ingin saya sampaikan kepada dr. Wulyo Rajabto, SpPD yang telah memberikan masukan dan diskusi mengenai pasien di poli Hematologi Onkologi Medik, juga kepada seluruh karyawan Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM dan Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang telah banyak membantu dalam memperoleh data yang diperlukan.

Kepada rekan-rekan PPDS Patologi Anatomik FKUI/RSCM saya ucapkan terima kasih yang tulus atas dukungan moral dan kerjasama yang baik selama saya menyelesaikan pendidikan Spesialis I ini.

Terima kasih dan hormat saya yang mendalam saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, Zainal Abidin dan Aryati, yang telah mendidik dan membesarkan saya dengan penuh kasih sayang. Terima kasih atas doa yang selalu menyertai saya sejak masa kecil hingga saat ini. Saya mohon maaf karena belum dapat berbakti yang sebaik-baiknya kepada papa dan mama. Saya memohon kepada Allah SWT agar selalu memberikan kesehatan dan kebahagiaan kepada papa dan mama. Terima kasih juga saya sampaikan kepada ayah dan ibu mertua saya M. Soleh Ali dan Asewi serta seluruh keluarga besar yang senantiasa memberi dukungan dan doa sehingga memudahkan langkah saya dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhirnya saya menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada suami saya, Dani Rahman yang selalu memberi dukungan, perhatian dan semangat selama saya menjalani pendidikan ini. Terima kasih juga kepada anak-anak tersayang, Ihsan Ali Nurrahman dan Nashwa Aulia Nurrahman yang telah memberi pengertian dan doa serta sabar menunggu sampai bunda dapat menyelesaikan pendidikan Spesialis I ini. Semoga kalian mendapat kesempatan yang lebih baik dari apa yang sudah saya dapatkan dan dapat menjadi orang yang berguna serta menjadi kebanggaan keluarga, dan masyarakat terlebih lagi bagi Allah SWT. Amin. Terima kasih dan semoga Allah SWT melimpahkan berkah dan karunia-Nya kepada kita semua.

(7)
(8)

Nama : Indri Windarti

Program Studi : Program Pendidikan Dokter Spesialis I Patologi Anatomik Judul : Hubungan Ekspresi Topoisomerase IIα pada Diffuse Large

B Cell Lymphoma dengan Respon Terapi

Latar belakang: Kemoterapi pilihan untuk Diffuse Large B Cell Lymphoma

(DLBCL) adalah regimen yang mengandung doksorubisin. Doksorubisin merupakan obat kemoterapi golongan antrasiklin yang bekerja sebagai anti Topoisomerase II (Top2). Penelitian sebelumnya terhadap galur sel tumor menunjukkan bahwa ekspresi Topoisomerase IIα (Top2A) yang tinggi berhubungan dengan sensitifitas terhadap antrasiklin yang tinggi pula. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ekspresi protein Top2A pada DLBCL dan hubungannya dengan respon terapi.

Bahan dan cara kerja: Dilakukan studi analitik potong lintang terhadap 38 kasus

DLBCL dengan pulasan CD20 positif dan telah mendapatkan kemoterapi minimal 4 siklus. Dilakukan pulasan imunohistokimia terhadap protein Top2A dan dinilai menggunakan H-score.

Hasil: Secara keseluruhan ekspresi Top2A ditemukan pada 37 dari 38 kasus

(97,4%) dengan nilai H-score sangat bervariasi yaitu antara 101,5 sampai dengan 215,0 dan median 124,1. H-score Top2A digolongkan tinggi jika H-score lebih dari 124,1. Analisis statistik menunjukkan bahwa ekspresi Top2A pada DLBCL tidak berhubungan bermakna dengan respon terapi (p=0,670).

Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan bermakna antara ekspresi Top2A

dengan respon terapi. Ekspresi Top2A tidak dapat dijadikan faktor prediktor respon terapi pada DLBCL.

(9)

Name : Indri Windarti

Study Program : Program Pendidikan Dokter Spesialis I Patologi Anatomik Title : The Relation between Topoisomerase II α Expression in Diffuse

Large B Cell Lymphoma with Treatment Response.

Background: Standard of chemotherapy for Diffuse Large B Cell Lymphoma

(DLBCL) is a regimen containing doxorubicin. Doxorubicin is a component of anthracycline based chemotherapy that work as anti Topoisomerase II (Top2). Previous study on tumor cell lines showed that high expression of Topoisomerase IIα (Top2A) was related to higher sensitivity to anthracycline. The aim of this study is to know the expression of Top2A and its relation to treatment response.

Material and methods: This is an analytic cross-sectional study on 38 CD20

positive DLBCL cases that have been treated with at least 4 cycles of chemotherapy. The immunohistochemical staining for Top2A protein was performed assesed using H-score.

Result: Expression of Top2A protein were found in 37 of 38 (97,4%) cases

(score range: 101.5-215.0 and median 124.1). Top2A was defined as high if H-score was higher than 124.1. Statistical analysis showed that Top2A expression in DLBCL was not significantly related to treatment response (p=0.670).

Conclusion : There was no significant relation between Top2A expression to

treatment response. Top2A expression in DLBCL cannot be used as a predictor of treatment response.

(10)

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN ORISINALITAS i

LEMBAR PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH v

ABSTRAK vi

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Identifikasi Masalah 2 1.3. Pertanyaan Penelitian 2 1.4. Hipotesis 2 1.5. Tujuan Penelitian 3 1.6. Manfaat 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1. Aspek Umum Limfoma non Hodgkin 4

2.2. Nomenklatur dan Klasifikasi Limfoma 4

2.3. Epidemiologi 6 2.4. Patogenesis 6 2.5. Diagnosis 9 2.5.1. Klinis 9 2.5.2. Pemeriksaan Histopatologi 10 2.5.1. Imunohistokimia 10 2.6. Stadium 11 2.7. Terapi 12 2.7.1. Siklofosfamid 12 2.7.2 .Doksorubisin 12 2.7.3. Vinkristin 13 2.7.4. Prednison 13 2.7.5 Rituksimab 13 2.8. Respon Kemoterapi 15 2.9. Prognosis 16 2.10. Topoisomerase II α 17 2.11. Kerangka Teori 20 2.12. Kerangka Konsep 21 3. METODE PENELITIAN 22 3.1. Desain Penelitian 22

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 22

3.3. Populasi dan Sampel 22

(11)

3.6.2 Kemoterapi CHOP dan RCHOP 24

3.6.3 Ekspresi Top2A 24

3.6.4. Kriteria respon 24

3.7. Alur Penelitian 25

3.8. Metode Pewarnaan Imunohistokimia 26

3.8.5 Pulasan imunohistokimia dengan CD20 26 3.8.6 Pulasan imunohistokimia dengan Top2A 27

3.9. Penilaian Ekspresi CD20 28

3.10 Penilaian Ekspresi Top2A 28

3.11 Analisis Data 29

4. HASIL PENELITIAN 30

4.1. Demografi dan Karakteristik Dasar 30

4.2. Ekspresi Top2A 30

4.3. Hubungan Ekspresi Top2A dengan Respon Terapi 32

5. PEMBAHASAN 36

5.1. Demografi dan Karakteristik Dasar 36

5.2. Ekspresi Top2A 36

5.3. Hubungan Ekspresi Top2A dengan Respon Terapi 37 5.4. Kelemahan dan Keterbatasan PEnelitian 40

6. KESIMPULAN DAN SARAN 41

6.1. Kesimpulan 41

6.2. Saran 41

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Diffuse large B-cell lymphoma: varian, subkelompok dan

subtipe menurut klasifikasi WHO 2008. 5

Tabel 2.2. Stadium berdasarkan kesepakatan Ann Arbor 11

Tabel 2.3. Kriteria respon LNH 15

Tabel 2.4. The International Prognostic Index (IPI) 17

Tabel 4.1. Karakteristik pasien LMNH DLBCL 31

Tabel 4.2. Hubungan nilai median H-score Top2A dengan respon

terapi 32

Tabel 4.3. Tabel sensitifitas dan spesifisitas dengan kurva ROC pada kategori respon, tidak respon dan kategori respon lengkap,

tidak respon lengkap 33

Tabel 4.4. Hubungan kelompok ekspresi Top2A pada DLBCL dengan

respon terapi (CR+PR). 34

Tabel 4.5. Hubungan kelompok ekspresi Top2A pada DLBCL dengan

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema diferensiasi sel B 8

Gambar 2.2 Mekanisme rituksimab pada sel limfoma non Hodgkin 14 Gambar 2.3 Struktur DNA (supercoil, knotting dan katenasi). 18 Gambar 4.1 Diffuse large B-cell lymphoma dengan pewarnaan

Haematoxylin eosin dan ekspresi CD20

32

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data dasar DLBCL 47

Lampiran 2. Deskripsi usia 49

Lampiran 3. Test normalitas usia 49

Lampiran 4. Deskripsi lokasi 50

Lampiran 5. Deskripsi Stadium Ann-Arbor 50

Lampiran 6. Deskripsi tingkat respon terapi (CR+PR) 51 Lampiran 7. Deskripsi tingkat respon terapi (CR) 51 Lampiran 8. Tabel Uji Kesesuaian (t-test) skor Top2A IND- MFH 52 Lampiran 9. Tabel Uji Kesesuaian (t-test) skor Top2A IND-ESR 52

Lampiran 10. Deskripsi H-score Top2A 52

Lampiran 11. Test normalitas H-score Top2A 52

Lampiran 12. Cross tabulation respon terapi berdasarkan H-score

Top2A 53

Lampiran 13. Boxplot respon terapi berdasarkan H-score Top2A 55 Lampiran 14. Tabel uji Kemaknaan antara respon terapi berdasarkan

median H-score Top2A 55

Lampiran 15. Cross tabulation respon terapi (CR) berdasarkan skor

Top2A 56

Lampiran 16. Tabel uji Kemaknaan antara respon terapi (CR)

berdasarkan median H-score Top2A 57

Lampiran 17. Cross tabulation respon terapi (CR+PR) berdasarkan

ekspresi Top2A 56

Lampiran 18. Tabel uji kemaknaan respon terapi (CR+PR) berdasarkan

ekspresi Top2A 58

Lampiran 19. Cross tabulation respon terapi (CR) berdasarkan ekspresi

Top2A 58

Lampiran 20. Tabel uji kemaknaan respon terapi (CR) berdasarkan

ekspresi Top2A 59

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Limfoma non Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit. Diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL) merupakan subtipe tersering dari LNH. DLBCL adalah neoplasma yang terdiri atas proliferasi difus sel limfosit B berukuran hampir sama atau sama dengan inti makrofag normal atau dua kali lebih besar dari limfosit normal. Angka kejadian DLBCL bervariasi jika dibandingkan dengan LNH jenis lainnya, 25-30% di negara Barat, 58% di Asia, dan dari kasus-kasus yang didiagnosis di Departemen Patologi Anatomik RSCM sekitar 56%.1-6

Kemoterapi standar untuk LNH sejak 1970 adalah CHOP [siklofosfamid, hidroksidaunorubisin (doksorubisin), vinkristin dan prednison] yang diberikan selama 6-8 siklus dengan interval 4 minggu.5 Hanya 30 sampai 40 persen pasien dengan DLBCL dapat disembuhkan dengan terapi konvensional yang berbasis doksorubisin.7 Setelah penemuan rituksimab yaitu anti CD20 sebagai obat target (targeted therapy) yang ditambahkan pada regimen CHOP, angka kesembuhan pasien dapat diperbaiki dari 40% menjadi 76%.8

Doksorubisin adalah obat golongan antrasiklin yang bekerja sebagai anti Topoisomerase II (Top2). Top2A adalah suatu enzim yang berperan pada replikasi, transkripsi dan rekombinasi yang sangat penting dalam pembentukan struktur kromosom, kondensasi/dekondensasi serta segregasi kromosom. Top2A bekerja dalam replikasi sel dengan cara memotong untai DNA yang mengalami

knotting, katenasi dan supercoil akibat pemisahan untai DNA, dengan cara

memotong DNA tersebut dan menyambungkannya kembali.9 Doksorubisin dapat menempatkan diri antara Top2 dan untai DNA sehingga menyebabkan kestabilan kompleks kovalen DNA-Top2 dan menghambat penyambungan kembali untai DNA yang terurai. Hal ini menyebabkan akumulasi DNA yang terurai sehingga

(16)

terjadi kematian sel.10 Penelitian terhadap galur sel tumor yang mengekspresikan Top2A lebih banyak menunjukkan sensitifitasnya terhadap antrasiklin.10-12

Tanner menyebutkan bahwa ekspresi Top2A dapat juga dipakai sebagai penanda proliferasi, yang menyebabkan sel tumor bersifat agresif namun juga lebih sensitif terhadap kemoterapi.13 Penelitian yang dilakukan Pantheroudakis et

al menyatakan bahwa ekpresi Top2A terdapat pada 91% kasus DLBCL dan

terdapat hubungan yang bermakna antara Top2A dengan respon kemoterapi.14 Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan angka kesembuhan pasien, yaitu dengan klasifikasi menggunakan skor IPI (International Prognostic Index) termasuk subklasifikasi histologik namun belum menunjukkan hasil yang bermakna untuk peningkatan respon terapi.8,9

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Pemberian kemoterapi pada DLBCL yang digunakan saat ini masih belum selektif karena belum berdasarkan pada adanya molekul target pada sel tumor, khususnya Top2A. Pemberian kemoterapi yang mengandung anti Top2 belum banyak diteliti kaitannya dengan ekspresi Top2A, sehingga perlu diteliti apakah penanda molekul target tersebut dapat digunakan sebagai indikator respon terapi pada DLBCL.

1.3 PERTANYAAN PENELITIAN

1. Bagaimana ekspresi Top2A pada DLBCL?

2. Apakah ada perbedaan ekspresi Top2A pada kelompok kasus yang respon dan tidak respon?

3. Bagaimana hubungan ekspresi Top2A dengan respon terapi?

1.4 HIPOTESIS

1. Ada perbedaan ekspresi Top2A pada kelompok kasus yang respon dan tidak respon.

(17)

2. Ekspresi Top2A pada DLBCL yang tinggi berhubungan dengan respon terapi yang baik.

1.5 TUJUAN PENELITIAN

1.5.1 Tujuan umum:

Mengetahui peran Top2A sebagai indikator respon terapi pada DLBCL.

1.5.2 Tujuan khusus:

1. Mengetahui proporsi kasus yang mengekspresikan Top2A pada DLBCL.

2. Mengetahui perbedaan ekspresi Top2A pada kelompok kasus yang respon dan tidak respon.

3. Mengetahui hubungan ekspresi Top2A dengan respon terapi.

1.6 MANFAAT PENELITIAN

Dalam bidang akademis

Mengetahui peran ekspresi protein Top2A sebagai penanda molekul target kemoterapi pada DLBCL.

Dalam bidang profesi

Bila terbukti bahwa terdapat perbedaan ekspresi Top2A pada kelompok kasus DLBCL yang respon dan tidak respon, maka Top2A dapat dijadikan indikator prediksi respon terapi, sehingga membantu seleksi terapi pada pasien.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASPEK UMUM LIMFOMA NON-HODGKIN

Limfoma non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit. World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan neoplasma limfoid berdasarkan klasifikasi Revised European American Lymphoma

Classification of Lymphoid Neoplasms (REAL). Klasifikasi tersebut membedakan

limfoma berdasarkan morfologi, imunofenotip, genetik dan gambaran klinis. Tiga kategori utama yaitu: limfoma non Hodgkin sel B, sel T/ sel NK dan limfoma Hodgkin.1

Diffuse large B cell lymphoma (DLBCL) adalah neoplasma yang terdiri

atas proliferasi difus sel limfosit B berukuran hampir sama atau sama dengan inti makrofag normal atau dua kali lebih besar dari limfosit normal.1 DLBCL dapat terjadi pada semua usia, usia median untuk limfoma jenis ini adalah usia dekade ke-7. Tumor ini membesar dengan sangat cepat dan 40% lokasinya berada di ekstranodal. Hampir sepertiga pasien memiliki gejala B, serta lebih dari separuh kasus memiliki peningkatan kadar Lactat dehidrogenase dalam darah.15

Pada DLBCL arsitektur kelenjar getah bening normal menjadi rusak digantikan oleh sel limfoid atipik berukuran besar yang tersusun sebagai lembaran; kadang ditemukan sklerosis.1 Secara praktis DLBCL dapat didiagnosis berdasarkan morfologi dan positifitasnya terhadap CD20, penanda sel B. Pada keadaan tertentu jika didapatkan CD20 negatif, maka dapat digunakan penanda

pan-B-cell yaitu CD79a.1

2.2 NOMENKLATUR DAN KLASIFIKASI LIMFOMA

Kemajuan yang sangat cepat dalam bidang imunologi dan biologi molekular dalam 2 dekade terakhir mengakibatkan penemuan-penemuan penting yang berhubungan dengan asal dan fungsi sel limfosit. Hal ini dituangkan dalam perubahan konseptual dalam nomenklatur dan klasifiksai limfoma. Pengamatan terdahulu mengenai sel limfosit kecil, matur yang ketika distimulasi oleh lektin

(19)

dan antigen tertentu dapat menyebabkan transformasi menjadi sel limfosit besar, immatur yang dipengaruhi oleh DNA dan aktifitas mitosis membuat pertanyaan kita bagaimana mengenali diferensiasi seluler berdasarkan morfologi.16

Tabel 2.1. Diffuse large B-cell lymphoma: varian, subkelompok dan subtipe

menurut klasifikasi WHO 2008.17

Diffuse large B-cell lymphoma, not otherwise specified (NOS)

Common morphologic variants Centroblastic

Immunoblastic Anaplastic

Rare morphologic variants Molecular subgroups

Germinal centre B-cell-like (GCB) Activated B-cell-like (ABC)

Immunohistochemical subgroups CD5-positive DLBCL

Germinal centre B-cell-like (GCB)

Non-germinal centre B-cell-like (non-GCB)

Diffuse large B-cell lymphoma subtypes

T-cell/histiocyte-rich large B-cell lymphoma Primary DLBCL of the CNS

Primary cutaneous DLBCL, leg type EBV-positive DLBCL of the elderly

(20)

WHO tahun 2008 membagi limfoma menjadi beberapa entitas. Tiga varian morfologi DLBCL yaitu: sentroblastik, imunoblastik dan anaplastik. Subkelompok imunohistokimia dan molekuler diperkenalkan juga di dalam klasifikasi WHO tahun 2008. Pengenalan subtipe tersebut tidak hanya berdasarkan gambaran morfologi namun juga gambaran klinis, seperti DLBCL pada sistem saraf pusat dan DLBCL dengan EBV positif pada pasien dewasa.17

2.3 EPIDEMIOLOGI

DLBCL merupakan subtipe tersering dari LNH jenis sel B. DLBCL terjadi sekitar 25 sampai 30 persen di negara Barat dan bahkan lebih tinggi lagi di negara berkembang.1,4 Angka kejadian LNH di Amerika semakin meningkat dengan persentase peningkatan rata-rata 2,4% per tahun, dan angka kejadian rata-rata limfoma non Hodgkin dari tahun 2004-2008 adalah 19,8 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2011 terdapat sekitar 66.360 kasus baru dan 19.320 pasien meninggal karenanya.2 Studi di Asia mengenai LNH mendapatkan tipe DLBCL terjadi sekitar 58%.4 Anderson J.R et al dalam penelitian epidemiologinya mendapatkan angka kejadian DLBCL di Hongkong 36%, London 27%, Van Couver 29%.3 Di Indonesia, LNH bersama dengan leukemia dan penyakit Hodgkin menempati urutan keenam dari keganasan tersering. Data DLBCL dari kasus-kasus yang didiagnosis di Departemen Patologi Anatomik RSCM mencakup sekitar 56 % dari seluruh LNH jenis sel B.5, 6

Usia median untuk limfoma jenis ini adalah pada dekade ke-7, dengan rentang usia yang luas dan dapat juga terjadi pada anak-anak. Laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan.1,5 LNH dapat terjadi akibat infeksi virus dan sindroma imunodefisiensi. Dalam beberapa dekade terakhir, HIV diketahui dapat menjadi faktor resiko.1,5

2.4 PATOGENESIS

LNH jenis sel B memiliki gambaran morfologi yang mirip dengan sel normal. Hal ini menunjukkan bahwa jenis neoplasma sel B ini tergantung pada saat kapan diferensiasinya terjadi (gambar 2.1).1

(21)

Agen Infeksi dapat menyebabkan limfomagenesis melalui dua mekanisme utama. Pertama, virus seperti EBV dan HHV-8 secara langsung menginfeksi sel target dan mengekspresikan berbagai produk virus yang mempromosikan pertumbuhan sel dan kelangsungan hidupnya, sehingga genom virus biasanya dapat ditemukan pada sel tumor. Lingkungan dan faktor genetik berkontribusi untuk menyebabkan fenotipe ganas. Kedua, agen infeksi terutama bakteri, secara tidak langsung dapat berkontribusi terhadap limfomagenesis dengan menyediakan stimulus kronik antigenik yang akan mendorong perkembangan limfoma yang dapat dimulai dari mucosa associated lymphoid tissue lymphoma (maltoma) dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan tumor menjadi agresif.18

Proliferasi sel B juga tergantung kontaknya dengan sel T CD4 +. Antigen yang berasal dari agen infeksi mengalami cross-reactive dengan self antigen, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pertumbuhan sel B yang menetap. Hal ini menunjukkan bahwa agen infeksi dapat memicu reaktivitas autoimun sehingga mekanisme autoimun dapat memainkan peran dalam patogenesis limfoma.18

Selama perkembangannya dalam sumsum tulang, terjadi rekombinasi dari segmen gen V, D dan J yang memiliki gen rantai berat (IgH) dan rantai ringan (IgL). Pada proses rekombinasi ini, terdapat 2 enzim yang dikode oleh

recombinase activating genes (RAG1 dan RAG2) yang menyebabkan DNA untai

ganda terurai, namun terdapat proses perbaikan kembali. Dalam proses penguraian DNA tersebut dapat terjadi translokasi kromosom seperti yang terjadi pada limfoma.19

DLBCL dapat terjadi melalui berbagai proses tahapan mutasi somatik, khususnya translokasi kromosom yang melibatkan onkogen yaitu pada regio promotor dari gen immunoglobulin. Gen-gen yang paling sering mengalami

rearrangement pada DLBCL adalah BCL6 (lebih dari 30% kasus), BCL2 (sekitar

20% kasus) dan C-MYC (5-10% kasus). Mutasi pada gen lain termasuk CARD11, A20 dan TNFRSF11A mengarah ke jalur aktifasi NF-kB juga terdapat pada 10 sampai 20% kasus. Kecuali C-MYC, semua kelainan gen rearrangement pada DLBCL belum dikaitkan dengan outcome tertentu. DLBCL dengan

rearrangement C-MYC memiliki prognosis yang lebih buruk dan kurang respon

(22)

Sentrum germinativum dapat merupakan sumber dari beberapa jenis limfoma. Reaksi sentrum germinativum dimulai dengan adanya antigen, bersamaan dengan sinyal dari sel T, terjadi aktivasi sel B menjadi sentroblast, sentrosit dan kemudian menjadi sel B memori atau sel plasma.19 Sel B melalui

B-cell receptor (BCR) dan molekul protein CD20 sebagai channel ion kalsium,

dapat mengaktifkan sinyal intraseluler.21 Eksperimen menunjukkan bahwa CD20 berfungsi untuk mengaktifkan sel B dan masuk ke dalam siklus sel.22

Gambar 2.1. Skema diferensiasi sel B, menunjukkan juga bagian-bagian yang

dapat menjadi neoplasma sel B.1

Selama reaksi sentrum germinativum terdapat 2 modifikasi dari DNA sel B yang berbeda yaitu: hipermutasi somatik dan rekombinasi (pertukaran rantai berat imunoglobulin), yang keduanya membutuhkan activated-induced cytidine

deaminase (AID). Hipermutasi somatik membawa immunoglobulin-variable-region mutations, yang dapat mengubah afinitas sel B terhadap antigen tertentu.

Rekombinasi mengubah immunoglobulin rantai berat dari IgM menjadi IgG, IgA atau IgE. Modifikasi genetik selama perkembangan sel B ini berperan penting

(23)

pada respon imun, namun dapat menjadi sumber kerusakan DNA dan menyebabkan terjadinya limfoma.20

Secara imunofenotip DLBCL dapat dibagi menjadi 3 yaitu: germinal

center B-cell–like (GCB), dan non germinal center B-cell–like (non-GCB),

DLBCL dengan CD5 positif. Ketiga subtipe tersebut berbeda dalam berbagai ekspresi gen dan proses transformasi menjadi ganas masing-masing subtipe juga berbeda seperti yang dibuktikan dengan perbedaan klinis, angka kesembuhan setelah kemoterapi dan respon terapi.17

Subkelompok GCB dan non GCB pada DLBCL dinilai dengan kriteria Hans berdasarkan ekspresi protein CD10, BCL6 dan MUM1.23 Subtipe GCB mengekspresikan berbagai protein seperti pada sentrum germinativum yaitu CD10 dan BCL6.19 Sebaliknya, subtipe non GCB memiliki ekspresi sel plasma, juga ditemukan ekspresi faktor transkripsi XBP1 (regulator sekresi immunoglobulin) dan terdapat aktifasi jalur NF-κB yang menyebabkan limfoma ini mengekspresikan IRF4 (MUM1) sehingga dapat berdiferensiasi menjadi sel plasma.19 DLBCL juga dapat mengekspresikan CD5. DLBCL dengan CD5 positif ini dapat dibedakan dengan limfoma sel mantel varian blastoid dengan pewarnaan Cyclin D1.17

2.5 DIAGNOSIS

2.5.1 Klinis

Gambaran klinis pasien dengan limfoma non Hodgkin, seperti pada DLBCL sangat bervariasi. Sebagian besar pasien mengalami limfadenopati, kadang-kadang terdapat keterlibatan ekstranodal. Keterlibatan ekstranodal yang paling sering adalah : saluran cerna, sumsum tulang, sinus, tiroid, sistem saraf pusat (SSP). 15

Gejala B yaitu gejala sistemik seperti demam, berat badan berkurang dalam 6 bulan terakhir dan berkeringat malam sering terjadi pada pasien dangan limfoma sebanyak lebih kurang sepertiga pasien.24

Tidak ada satupun metode yang handal untuk memprediksi kejadian limfoma, tantangan saat ini adalah mengidentifikasi populasi yang memiliki resiko yang tinggi untuk terkena limfoma. Pasien dapat dikenali menderita

(24)

limfoma setelah adanya gejala limfadenopati dan gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit ini.15

2.5.2 Pemeriksaan histopatologi

Di samping kemajuan dalam tehnik imaging untuk mengidentifikasi limfoma, pemeriksaan histopatologi masih merupakan standar utama dalam menegakkan diagnosis, karena terapi yang tepat pada pasien ini memerlukan diagnosis yang akurat. Dalam hal ini diperlukan pemeriksaan histopatologi pada kelenjar getah bening yang terkena yang didapat dari spesimen biopsi eksisi. Pasien dengan limfadenopati intraabdominal atau retroperitoneal membutuhkan pemeriksaan laparoskopi untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan sitologi dengan tehnik FNAB (fine needle aspiration biopsy) juga dapat digunakan untuk pemeriksaan limfadenopati namun kadang tidak sampai membuat diagnosis definitif. Pemeriksaan histopatologi dari sediaan biopsi pun kadang membutuhkan pemeriksaan tambahan untuk menentukan subtipe. Karena itu pemeriksaan sitologi tidak dianjurkan sebagai diagnosis awal karena beberapa keterbatasan.15

2.5.3 Imunohistokimia

Sel-sel limfoma sel B mengekspresikan penanda pan B-cell seperti CD19. CD20, CD22 dan CD79a. CD20 adalah protein permukaan dengan berat molekul 33-kDa yang diekspresikan oleh sel B dan sel B ganas, namun tidak diekspresikan oleh sel pre-B maupun sel plasma. Ekspresi protein CD20 ditemukan pada hampir seluruh neoplasma sel B matur, setengah kasus limfoma limfoblastik dan tidak ditemukan dalam neoplasma sel T, sehingga dapat digunakan untuk mendiagnosis LNH jenis sel B. Penilaian ekspresi CD20 pada sel limfoma sangat penting tidak hanya untuk menegakkan diagnosis yang akurat, namun juga untuk menyiapkan rencana terapi dengan menggunakan anti CD20.21

Imunoglobulin (lgM, IgG, IgA) dapat ditemukan pada sitoplasma atau permukaan sel pada 50-75% kasus. Adanya imunoglobulin pada sitoplasma ataupun pada permukaan sel tidak berkorelasi dengan ekspresi penanda sel plasma seperti CD38 dan CD138. Kedua penanda ini jarang ko-ekspresi pada sel B yang positif dengan CD20. Ekspresi CD30 dapat positif terutama pada limfoma sel B

(25)

yang terjadi secara de novo. DLBCL juga dapat mengekspresikan CD5. Fraksi proliferasi dengan penanda Ki-67 umumnya tinggi (>40%) dan dapat lebih tinggi lagi (90%) pada beberapa kasus. Ekspresi P53 terjadi pada 20-60% kasus.17

2.6 STADIUM

Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pengobatan dan setiap lokasi jaringan harus didata dengan cermat baik jumlah maupun ukurannya. Hal ini sangat penting dalam menilai hasil pengobatan.5

Tabel 2.2 Stadium berdasarkan kesepakatan Ann Arbor.24

Stadium Keterangan

I Pembesaran satu kelenjar getah bening (KGB)

II Pembesaran 2 KGB atau lebih, tetapi masih satu sisi diafragma III Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma (atas dan bawah)

III1 Pembesaran organ subdiafragma : lien, KGB hilar dan kgb porta

III2 Pembesaran organ subdiafragma III1 termasuk paraaorta, iliaka,

KGB mesenterium

IV Keterlibatan ekstranodal (dapat lebih dari satu) Keterlibatan ekstranodal di regio manapun Keterlibatan hati maupun sumsum tulang

Gejala A Tanpa gejala

Gejala B Berat badan berkurang >10% selama 6 bulan sebelum penilaian stadium

Suhu tubuh meningkat persisten >38°C tanpa penyebab apapun dalam beberapa bulan

Berkeringat malam hari dalam beberapa bulan

Lesi E Keterlibatan jaringan ekstralimfatik termasuk hati dan sumsum tulang

Stadium Ann Arbor awalnya digunakan untuk limfoma Hodgkin dan telah digunakan untuk LNH selama lebih dari 40 tahun. Pada sistem Ann Arbor cincin Waldeyer, timus, limpa, appendiks, dan plak Peyer usus kecil dianggap sebagai jaringan kelenjar getah bening, dan keterlibatan daerah-daerah tersebut bukan merupakan lesi 'E', namun karena karakteristiknya yang unik, sebagian besar

(26)

sebagai limfoma ekstranodal atau lesi ‘E’, kecuali limpa. Klasifikasi Ann Arbor juga telah dimodifikasi, seperti limfoma di kepala dan leher, keterlibatan nasofaring dan tonsil masih dianggap sebagai stadium IE, kedua kelenjar parotis dan jaringan adneksa daerah mata bilateral dianggap sebagai stadium IE.l8

2.7 TERAPI

Ketika memilih pengobatan pada limfoma non Hodgkin, seorang pakar imunologi memilih antigen yang terbaik yang dapat dijadikan target pengobatan. Antigen tumor dibagi menjadi 2, yaitu: tumor spesific antigen (protein yang secara khusus terekspresi pada sel tumor tertentu) dan tumor associated antigen (protein yang diekspresikan oleh sel tumor, namun dapat juga terekspresi pada sel normal). Idealnya, respon imun terhadap antigen tumor membunuh semua sel tumor tanpa merusak sel normal. Dengan demikian, tumor spesific antigen merupakan pilihan terbaik. Sayangnya, tumor spesific antigen ini merupakan protein baru yang dihasilkan akibat fusi beberapa onkogen, yang tidak terjadi pada limfoma non Hodgkin. Hal lain dalam pemilihan pengobatan adalah meyakinkan bahwa antigen yang dipilih tidak bermutasi selama pengobatan sehingga memungkinkan sel kanker menghindar dari kerusakan yang diakibatkan oleh sistem imun.21

Kemoterapi standar untuk limfoma non Hodgkin sejak 1970 adalah CHOP [(cyclophosphamid, hidroksidaunorubisin (doksorubisin), oncovin (vinkristin) dan prednison] yang diberikan selama 6-8 siklus dengan interval 4 minggu.5

2.7.1 Siklofosfamid

Siklofosfamid adalah obat inaktif yang membutuhkan enzim dalam aktifitasnya. Sel tumor mengekspresikan fosfamidase yang tinggi, sehingga dapat terjadi pemotongan ikatan fosfor-nitrogen yang melepaskan nitrogen mustard. Siklofosfamid dapat mengganti gugus metil dari nitrogen mustard ini dan menyebabkan DNA crosslink dan akhirnya terjadi kematian sel tumor.25

2.7.2 Doksorubisin

Doksorubisin adalah obat golongan antrasiklin. Antrasiklin dapat berikatan dan menghambat aktivitas Topoisomerase II α (Top2A). Antrasiklin terikat pada

(27)

kompleks kovalen DNA-TopII dan kompleks ini cukup stabil untuk mencegah pengikatan kembali untai DNA yang terurai. Akumulasi untai DNA yang terurai menjadi tanda bagi p53 untuk menghentikan aktivitas siklus sel, dan memulai perbaikan DNA. Jika untai DNA yang terurai sangat banyak, maka sel tersebut akan mengalami apoptosis.9

2.7.3 Vinkristin

Vinkristin termasuk ke dalam golongan ankaloid vinka. Vinkristin dapat menyebabkan kematian sel dengan berinteraksi dan merusak mikrotubulus, khususnya mikrotubulus yang terbentuk dari gulungan mitosis. Vinkristin terikat lemah pada ujung mikrotubulus sehingga menghambat pembentukan mikrotubulus dan terikat kuat pada dindiing mikrotubulus sehingga menyebabkan kerusakan mikrotubulus. Hal ini menyebabkan hambatan siklus sel pada fase M karena tidak adanya mikrotubul yang dibutuhkan untuk pemisahan kromosom, sehingga terjadi apoptosis.24,26

2.7.4 Prednison

Prednison adalah salah satu regimen dalam pengobatan lesi limfoproliferatif dan merupakan golongan steroid yang dapat terikat pada reseptor glukokortikoid (GR) di dalam sel dan dapat menyebabkan kematian sel melalui mekanisme apoptosis. Mekanisme molekular bagaimana glukokortikoid ini menyebabkan apoptosis masih belum jelas, namun hambatan dalam produksi interleukin 2 (IL-2) dan penekanan faktor transkripsi merupakan mekanisme yang diduga dapat menyebabkan kematian sel tumor.27

2.7.5 Rituksimab

Rituksimab adalah antibodi monoklonal pertama untuk CD20, yaitu murine anti-CD20 B1, yang ditemukan pada tahun 1980. Karena potensinya dalam pengobatan sel B, pada tahun-tahun sesudahnya antibodi anti-CD20 secara genetik direkayasa untuk aplikasi klinis. Pada tahun 1997, rituksimab adalah anti CD20 pertama yang disetujui khusus untuk pengobatan pasien LMNH yang kambuh atau LNH tipe folikuler.22

(28)

CD20 merupakan target ideal untuk terapi karena CD20 tidak ditemukan dalam stem sel haematopoetik, sehingga pemberian anti CD20 tidak mempengaruhi jalur haematopoiesis sel B dan liniage sel lain. Selain itu, CD20 tidak diekspresikan pada sel plasma, yang berarti bahwa terapi antibodi ini tidak akan menurunkan produksi imunoglobulin terhadap patogen lain secara signifikan. Keuntungan lain dari penargetan CD20 adalah CD20 tidak beredar dalam plasma, tidak keluar dari permukaan sel dan tidak mengalami internalisasi setelah antibodi terikat.22

Mekanisme kerja rituksimab adalah dengan merangsang aktifitas komplemen dan antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC), juga menghambat proliferasi sel dan menginduksi langsung apoptosis (Gambar 2.2).21

Setelah terjadi ikatan antara CD20 dengan rituksimab, Fc dari antibodi rituksimab terikat pada Fc reseptor dari sel dan menyebabkan lisis, hal ini terjadi karena pembentukan sinyal platform (perakitan lipid) dan akhirnya menyebabkan aliran kalsium dan aktivasi caspase. Pembentukan perakitan lipid dan kaskade sinyal selanjutnya dapat terjadi bersamaan, aktivasi caspase menyebabkan apoptosis.22, 27 Ikatan CD20 dengan rituksimab juga dapat menginduksi peningkatan jumlah ion kalsium dalam sitosol yang menyebabkan sel berada pada fase G1 yang menetap sehingga terjadi apoptosis.27

(29)

2.8 RESPON KEMOTERAPI

Berdasarkan rekomendasi International Working Group kriteria respon terapi pada LNH adalah berdasarkan definisi anatomik, selanjutnya gambaran radiologi, laboratorium digunakan juga sebagai nilai prediktif.28

Complete Response (CR) adalah penderita yang memenuhi kriteria sebagai

berikut yaitu hilangnya semua gejala yang terdeteksi secara klinis dan radiografi dan hilangnya semua penyakit yang berhubungan dengan gejala sebelum terapi, dan kelainan biokimia (laktat dehidrogenase [LDH]) menjadi normal (1). Kelenjar getah bening (KGB) dan semua lesi berkurang ke ukuran normal ( ≤ 1,5 cm diameter untuk KGB). Jika ukuran KGB yang terlibat sebelumnya berdiameter 1,1-1,5 cm sebelum terapi, maka harus berkurang ≤ 1 cm setelah terapi, atau berkurang lebih dari 75% total diameter yang terbesar (2). Jika limpa dianggap besar sebelum terapi berdasarkan CT scan, ukurannya harus berkurang dan tidak dapat diraba pada pemeriksaan fisik (3). Jika sumsum tulang positif sebelum pengobatan, ulangi aspirasi sumsum tulang setelah terapi dan biopsi pada tempat yang sama (4).28

Tabel 2.3 Kriteria Respon LNH 28

Kategori Respon Pemeriksaan Fisik Jumlah KGB yang membesar Ukuran KGB Sumsum Tulang

CR Normal Normal Normal Normal

CRu Normal Normal Normal Indeterminate

Normal Normal Berkurang >75% Normal atau In

determinate

PR Normal Normal Normal Positif

Normal Berkurang ≥ 50% Berkurang ≥ 50% Tidak sesuai Berkurang

pada hati/ limpa

Berkurang ≥ 50% Berkurang ≥ 50% Tidak sesuai

Progresif Pembesaran hati /limpa

Baru atau bertambah Baru atau bertambah Positif

Keterangan: CR: Complete Response; Cru: complete respon unconfirmed;

PR: Partial Response.

Complete respon unconfirmed (Cru) yaitu penderita yang memenuhi

(30)

membesar harus berkurang >75% dari diameter terbesarnya, namun pada sumsum tulang terjadi peningkatan jumlah atau agregat limfoid.28

Pasien disebut memiliki partial response (PR) apabila tidak ditemukan lagi kelainan klinis pada pemeriksaan fisik maupun radiologis, akan tetapi pembesaran KGB tidak seluruhnya mengecil, hanya berkurang 50% dan tidak didapatkan penambahan ukuran nodul KGB, hati atau limpa. Hati atau limpa harus mengecil ≥ 50%. Pemeriksaan sumsum tulang memberikan hasil yang tidak adekuat untuk dinilai.28

Stable disease (SD) didefinisikan sebagai: kurang dari satu kriteria PR,

tetapi bukan suatu penyakit yang progresif (PD).28

Progressive disease (PD) apabila ditemukan peningkatan ukuran ≥50%

KGB yang membesar daripada sebelum terapi dan adanya lesi baru selama atau pada akhir terapi. Penilaian respon kemoterapi dilakukan pada akhir siklus setelah penderita menerima 6-8 siklus regimen CHOP maupun RCHOP, namun dapat pula dilakukan pada petengahan siklus yaitu setelah siklus ke-4.28

2.9 PROGNOSIS

LNH dapat dibagi ke dalam dua kelompok prognostik yaitu: limfoma indolen dan limfoma agresif. Limfoma indolen memiliki prognosis yang relatif baik dangan kesintasan 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe indolen adalah limfoma folikuler. Tipe limfoma agresif memiliki perjalanan penyakit yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan dengan kemoterapi kombinasi intensif.23

International Prognostic Index (IPI) digunakan untuk memprediksi outcome pasien dengan LNH agresif yang mendapat kemoterapi regimen

kombinasi yang mengandung antrasiklin, namun dapat pula digunakan pada hampir semua subtipe LNH. Komponen skor IPI yaitu : usia, serum LDH, status

(31)

Table 2.4 The International Prognostic Index (IPI) 5

Variabel Keterangan

Usia

Stadium Ann Arbor Serum LDH Status ECOG ≤ 60 tahun = 0 >60 tahun = 1 I atau II = 0 III atau IV = 1 Normal = 0 Meningkat = 1 Tanpa gejala = 0 Gejala ambulatori = 1 <2 =0, >2 =1 Di tempat tidur < ½ hari =2

Ditempat tidur > ½ hari = 3 Di tempat tidur kronis = 4

Keterangan : nilai 0-1 : rendah, nilai 2 : sedang-rendah, nilai 3 : sedang-tinggi, nilai ≥4 : tinggi

2.10 Topoisomerase IIα

Topoisomerase adalah enzim seluler yang mampu memodifikasi topologi DNA dan berpartisipasi dalam replikasi, transkripsi dan segregasi kromosom.29

Sel manusia memiliki dua anggota keluarga Topoisomerase yaitu: Topoisomerase 1 (Top1), Topoisomerase 2 (Top2).29,30 Terdapat 2 isoform Top2 yaitu Top2A dan B, dengan berat molekul masing-masing 170 dan 180kDa. Top2A dikode oleh gen yang berlokasi pada kromosom 17q21-22 mengandung 35 ekson. Gen Top2A mentranskripsi mRNA yg mengandung 4.590 nukleotida yg menghasilkan 1.530 asam amino, sedangkan Top2B dikode oleh gen yang berada pada kromosom 3p24 mengandung 36 ekson. Gen Top2B mentranskipsikan mRNA yang mengandung 4.863 nukleotida, menghasilkan protein yg mengandung 1.621 asam amino. Isoform Top2A dan Top2B mempunyai fungsi yang tidak sama. Sejalan dengan fungsi spesifiknya pada pembelahan, ekspresi Top2A berhubungan dengan proliferasi sel. Ekspresi Top2A sedikit pada fase G1, meningkat pada fase S dan fase G2/M, sedangkan ekspresi Top2B relatif konstan selama siklus sel. Top2A khususnya diekspresikan pada sel yang sedang berproliferasi dan Top2B pada sel yang tidak berproliferasi/ istirahat (quiescent).12,30

Proses replikasi atau transkripsi dimulai dengan penguraian DNA untai ganda. Karena DNA merupakan struktur sikular, maka proses penguraian untai ganda ini menyebabkan pembentukan struktur yang rumit dari DNA yaitu :

(32)

katenasi, knotting dan supercoil. Katenasi adalah daughter DNA yang baru terbentuk cenderung untuk saling membelit, knotting adalah stuktur dimana DNA melilit dirinya sendiri, sedangkan supercoil adalah keadaan overwinding dari struktur DNA (Gambar 2.3). Topoisomerase bekerja untuk mengubah topologi DNA dari keadaan katenasi menjadi dekatenasi, knotting menjadi unknotting, dan

supercoil menjadi relaksasi dengan cara mengikat segmen G DNA sehingga

membentuk struktur seperti hairpin dan kemudian segmen T dari DNA dapat melewati segmen G melalui celah yang dibentuk oleh struktur hairpin tersebut. Top2A juga dapat menyambungkan kembali/ religasi DNA yang terpotong.31-33 Pemotongan untai DNA oleh topoisomerase terjadi melalui pengenalan DNA dengan reaksi transesterifikasi, di mana residu tirosinnya membentuk ikatan fosfotirosin dengan gugus fosfat DNA.29

Gambar 2.3. Struktur DNA (supercoil, knotting dan katenasi). Masing-masing

garis merepresentasikan DNA untai ganda.

Jaringan tumor yang mengekspresikan Top2A cenderung bersifat lebih agresif.10 Peningkatan ekspresi Top2A dalam jaringan tumor menyebabkan hipersensitifitasnya terhadap obat yang menargetkan Top2, sehingga tumor yang mengekspresikan Top2A yang tinggi merupakan calon yang baik untuk menerima anti Top2.10

(33)

Di dalam regimen kemoterapi untuk DLBCL (CHOP maupun RCHOP) mengandung doksorubisin. Doksorubisin adalah obat yang menargetkan Top2 dan tergolong Top2 poison. Beberapa penelitian preklinik menunjukkan bahwa DNA interkalator seperti doksorubisin dapat memposisikan diri (intercalates) antara enzim Top2 dan DNA. Top2 poison ini menyebabkan kestabilan kompleks DNA-Top2 -yang pada keadaan normal berada dalam keadaan tidak stabil- dengan menghambat penyambungan kembali/religasi DNA. Akumulasi jumlah kompleks kovalen DNA-Top2 yang stabil menyebabkan akumulasi jumlah DNA yang terurai sehingga obat ini menyebabkan program kematian sel menjadi aktif.12,13,21,22

(34)

2.11 KERANGKA TEORI

Aktivasi sel B

Top2A

Antigen

Sel T Sel B naive

Transformasi ganas: - mutasi p53 - ↑ NF-κβ - translokasi BCL2 - mutasi BCL6 Top2A Anti Top2 Respon terapi Sel plasma

Limfoma dengan Top2A ↑↑ / agresif

Siklus sel Mutasi Top2A

Modifikasi post translasi gen Top2A Kombinasi dengan regimen lain Ekspresi Top2B (-) Subtipe imuno histokimia DLBCL

(35)

2.12 KERANGKA KONSEP Respon terapi (+) DLBCL dengan Top2A ↑ Kematian sel ↑ DLBCL DLBCL dengan Top2A↓ DNA-dokso-Top2A ↑ stabil DNA-dokso-Top2A labil

DNA terurai ↑ DNA terurai ↓

Kematian sel ↓

Respon terapi (-) Doksorubisin

(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Desain penelitian ini adalah suatu studi analitik potong lintang. Penelitian diawali dengan mengumpulkan data rekam medik dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi Onkologi Medik FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kemudian dicari slaid Haematoxylin Eosin yang ada di arsip Departemen Patologi Anatomik, dilakukan penilaian ulang mengenai gambaran histopatologik. Selanjutnya dicari blok parafin dipilih secara consecutive dan memenuhi kriteria inklusi, dilakukan potong dalam slaid polos untuk pemulasan imunohistokimia CD20 dan Top2A.

3.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Anatomik dan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi Onkologi Medik FKUI RSUPN/CM dan berlangsung selama 1 tahun dari bulan Oktober 2011 sampai bulan September 2012.

3.3 Populasi dan sampel penelitian

Populasi penelitian adalah kasus-kasus yang didiagnosis sebagai DLBCL secara histopatologik yang mendapat terapi CHOP maupun RCHOP. Populasi terjangkau adalah kasus-kasus dengan diagnosis PA DLBCL dengan terapi CHOP/RCHOP di RSCM tahun 2009 sampai dengan tahun 2012. Sampel adalah blok parafin dari kasus-kasus tersebut di atas dipilih secara consecutive dan memenuhi kriteria inklusi.

(37)

Penghitungan sampel menggunakan rumus besar sampel analitik numerik tidak berpasangan

N1= N2=

N1 dan N2 : Besar sampel masing-masing kelompok

S : Standar deviasi ekspresi Top2A pada DLBCL, dari penelitian sebelumnya didapatkan angka 19

Xa-Xo : perbedaan ekspresi Top2A pada DLBCL yang masih dapat diterima (11)

Zα : 1,645

Zβ : 0,842

N1= N2=

N1= N2= 19

Total sampel yang diperlukan minimal = 2 x 19 = 38 kasus Untuk penelitian ini dipakai sampel sebanyak 38 kasus

3.4 Kriteria Inklusi dan eksklusi Kriteria Inklusi :

- Jaringan biopsi kasus di RSUPN/CM tahun 2009-2012 yang didiagnosis PA sebagai DLBCL dan terbukti sebagai sel B dengan pulasan CD20/CD79a (+).

- Data klinik dan respon terapi lengkap. - Blok parafin masih tersedia dan baik.

- Penderita telah mendapat kemoterapi minimal 4 siklus.

Kriteria eksklusi:

- Blok parafin yang telah habis massa tumornya. - Slide rontok saat pembuatan pulasan.

(Zα + Zβ)S (Xa-Xo) 2 (1,645 x 0,842)19 (11)

2

(38)

3.5 Variabel Penelitian

Variabel bebas adalah ekspresi Top2A, sedangkan variabel tergantung adalah respon terapi.

3.6 Batasan operasional

3.6.1 DLBCL adalah neoplasma yang terdiri atas proliferasi difus sel limfosit B berukuran hampir sama atau sama dengan inti makrofag normal atau dua kali lebih besar dari limfosit normal, dibuktikan dengan pulasan imunohistokimia CD20 (+) atau CD79a.

3.6.2 Kemoterapi CHOP yang diberikan yaitu: 750 mg/m2 siklofosfamid iv/hari, 1; 50 mg/m2 doksorubisin iv/hari, 1; 1.4 mg/m2 vinkristin iv, dosis maksimal 2 mg; dan 100 mg/m2 prednison per oral selama lima hari. Kemoterapi diulang setiap 4 minggu dengan total 6 sampai 8 siklus.

Kemoterapi RCHOP yang diberikan yaitu: 375 mg/m2 rituximab iv/hari, 750 mg/m2 siklofosfamid iv/hari, 1; 50 mg/m2 doksorubisin iv/hari, 1; 1.4 mg/m2 vinkristin iv, dosis maksimal 2 mg; dan 100 mg/m2 prednison per oral selama lima hari. Kemoterapi diulang setiap 4 minggu dengan total 6 sampai 8 siklus. 3.6.3 Ekspresi Top2A dinyatakan dengan H-score = (i+1) Pi

Pi : persentase sel yang terwarnai positif (0-100%), i = skor 0,1,2,3.

Skor 0 : negatif, skor 1 : intensitas lemah, skor 2 : intensitas sedang, skor 3 : intensitas kuat.

Hasil perhitungan akan menunjukkan kisaran angka 100-400.

3.6.4 Kriteria respon dilihat dari data rekam medis. Respon kemoterapi ditentukan secara klinis berdasarkan kriteria WHO complete response (CR),

(39)

3.7 Alur Penelitian

Menilai ulang slide mikroskopik sediaan HE dan IHK kasus DLBCL

Potong dalam/ unstained blok parafin untuk dipulas Top2A

Menilai positifitas Top2A

Kasus DLBCL dengan data respon terapi lengkap dari data rekam medis penderita

Penilaian hubungan antara ekspresi Top2A dengan respon terapi Slide IHK CD20 tidak ditemukan CD20 (+) Menilai positifitas CD20 CD20 (-) Potong dalam/ unstained blok parafin untuk dipulas CD20 dikeluarkan CD79a (+) CD79a (-)

(40)

3.8 Metode Pewarnaan Imunohistokimia

3.8.1 Pulasan imunohistokimia dengan CD20

Pulasan CD20 dilakukan untuk mengkonfirmasi asal sel B. Apabila tidak ditemukan slaid imunohistokimia dengan CD20 positif akan dilakukan potongan blok parafin ulang untuk menilai CD20, dan jika negatif akan dilanjutkan dengan CD79a, jika positif akan dijadikan sampel penelitian dan jika masih negatif akan dikeluarkan dari sampel penelitian.

Potongan blok parafin untuk CD20 dilakukan setebal 4 mikrometer dengan tehnik imunoperoksida avidin-biotin. Antibodi primer yang digunakan:

monoclonal mouse anti human CD20 (Biocare Medical).

Cara:

3.8.1.1 Deparafinisasi dan rehidrasi.

3.8.1.2 Bloking peroksida endogen dengan 0,3% hidrogen peroksida dalam methanol selama 30 menit.

3.8.1.3 Pemanasan/ antigen retrieval menggunakan microwave 750 watt selama 10 menit.

3.8.1.4 Bloking protein non spesifik dengan Background Sniper (Starr Trek Universal HRP Detection System-Biocare Medical) selama 15 menit. 3.8.1.5 Inkubasi dengan antibodi primer monoclonal mouse anti human CD20

(Biocare Medical), pengenceran 1: 100 selama 60 menit.

3.8.1.6 Inkubasi dengan antibodi sekunder Biotinylated secondary antibody (Trekkie Universal link / Starr Trek Universal HRP Detection System-Biocare Medical) selama 15 menit.

3.8.1.7 Inkubasi dengan Horseradish Peroxidase (HRP) labelled- streptavidin (TrekAvidin-HRP / Starr Trek Universal HRP Detection System-Biocare Medical) selama 10 menit

3.8.1.8 Color development dengan larutan Betazoid DAB (Diaminobenzidine) Chromogen 1 tetes dalam Betazoid DAB buffer 1 ml (Starr Trek

Universal HRP Detection System-Biocare Medical) selama 3 menit. 3.8.1.9 Counterstain dengan haematoxylin Lilie Mayer selama 2-3 menit.

3.8.1.10 Dehidrasi bertingkat (Alkohol 70%, 80% dan 90% dan ethanol) dan

(41)

3.8.1.11 Mounting dengan entelan.

Setiap pulasan disertakan kontrol negatif dari setiap kasus dan setiap kali membuat pulasan (10-15 kasus) disertai kontrol positif dari timus dengan CD20 positif sebagai kontrol tehnik pulasan dan standar penilaian.

3.8.2 Pulasan imunohistokimia dengan Top2A

Dilakukan pada potongan blok parafin setebal 4 mikrometer dengan tehnik imunoperoksida avidin-biotin. Antibodi primer yang digunakan: monoclonal

mouse anti human Topoisomerase II α (DAKO).

Cara:

3.8.2.1 Deparafinisasi dan rehidrasi.

3.8.2.2 Bloking peroksida endogen dengan 0,3% hidrogen peroksida dalam methanol selama 30 menit.

3.8.2.3 Pemanasan/ antigen retrieval menggunakan microwave 750 watt selama 10 menit.

3.8.2.4 Bloking protein non spesifik dengan Background Sniper (Starr Trek Universal HRP Detection System-Biocare Medical) selama 15 menit. 3.8.2.5 Inkubasi dengan antibodi primer monoclonal mouse anti human

Topoisomerase II α (DAKO), pengenceran 1: 1000 selama 60 menit.

3.8.2.6 Inkubasi dengan antibodi sekunder Biotinylated secondary antibody (Trekkie Universal link / Starr Trek Universal HRP Detection System-Biocare Medical) selama 15 menit.

3.8.2.7 Inkubasi dengan Horseradish Peroxidase (HRP) labelled- streptavidin (TrekAvidin-HRP / Starr Trek Universal HRP Detection System-Biocare Medical) selama 10 menit.

3.8.2.8 Color development dengan larutan Betazoid DAB (Diaminobenzidine) Chromogen 1 tetes dalam Betazoid DAB buffer 1 ml (Starr Trek

Universal HRP Detection System-Biocare Medical) selama 3 menit. 3.8.2.9 Counterstain dengan haematoxylin Lilie Mayer selama 2 menit.

3.8.2.10 Dehidrasi bertingkat (Alkohol 70%, 80% dan 90% dan ethanol) dan

clearing dengan xylol bertingkat (I, II dan III).

(42)

Setiap pulasan disertakan kontrol negatif dari setiap kasus dan setiap kali membuat pulasan (10-15 kasus) disertai kontrol positif dari karsinoma payudara dengan Top2A positif 30% sebagai kontrol tehnik pulasan dan standar penilaian.

3.9 Penilaian ekspresi CD20

Positifitas pulasan CD20 terlihat sebagai warna coklat pada membran sitoplasma. Penilaian dilakukan dengan menghitung jumlah sel tumor yang terwarnai coklat pada membrannya dibagi dengan seluruh jumlah sel tumor dikalikan dengan 100%, dilakukan pada lima lapangan pandang dengan menggunakan mikroskop Axio Carl Zeiss, kemudian dihitung nilai rata-rata dari lima lapangan pandang tersebut.

3.10 Penilaian ekspresi Top2A

Positifitas pulasan Top2A terlihat sebagai warna coklat pada inti sel. Sistem skoring dilakukan secara kontinyu pada 5 lapangan pandang area non nekrotik dan dilakukan pengambilan gambar dengan mikroskop Axio Carl Zeiss. Pada masing-masing gambar dihitung jumlah inti sel yang berwarna coklat dengan menggunakan cell counter secara manual dengan menggunakan program

image-J. Intensitas pulasan juga dihitung dengan penilaian yaitu: Skor 0: negatif,

skor 1: intensitas lemah, skor 2: intensitas sedang, skor 3: intensitas kuat. Kemudian dilakukan penilaian secara semikuantitatif dengan mengalikan skor persentase sel dengan angka intensitas pulasan ditambah satu, untuk mendapatkan histoscore (H-score) dengan rumus yaitu :34

H-score = (i+1) Pi

Pi : persentase sel yang terwarnai positif (0-100%), i = skor 0,1,2,3.

Hasil perhitungan akan menunjukkan skor minimal 100 (negatif) dan skor maksimal 400. Penghitungan ekspresi Top2A ini dilakukan oleh 3 orang pengamat secara independen. Uji kesesuaian antar pengamat dilakukan dengan uji t tidak berpasangan.

(43)

3.11 Analisis data

Semua data dimasukkan ke dalam tabel induk. Data respon terapi dikategorikan juga menjadi 2 kelompok yaitu kelompok respon dan tidak respon. Data pulasan imunohistokimia Top2A dibuat dalam bentuk H-score (100-400) yang dideskripsikan dengan nilai median, nilai minimum dan maksimum, kemudian untuk membuat kategori dua kelompok yaitu Top2A rendah dan tinggi dibuat titik potong dengan menggunakan nilai median, selanjutnya dilakukan uji statistik Chi-square jika memenuhi persyaratan dan uji Fisher’s exact jika tidak memenuhi syarat. Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat SPSS 20.

(44)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Demografi dan karakteristik dasar

Dari keseluruhan subjek penelitian didapatkan rentang usia antara 22 hingga 82 tahun, dengan usia rata-rata adalah 51,7 (SD 13,7). Jenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu 26 kasus (68,4%) daripada jenis kelamin perempuan 12 kasus (31,6%). Stadium terbanyak yang ditemukan pada kasus penelitian ini adalah stadium II yaitu 31 kasus (82,2%), sedangkan kasus dengan stadium I, III dan IV masing-masing sebanyak 12,6%, 2,6% dan 2,6%. Lokasi tumor yang sering ditemukan adalah regio tonsil yaitu 9 kasus (23,7%). Karakteristik umum penelitian digambarkan dalam tabel 4.1.

Ekspresi CD20 ditemukan pada seluruh kasus dengan nilai persentase lebih dari 95% sel. Hal ini menunjukkan bahwa semua kasus yang diteliti adalah kasus-kasus DLBCL dengan CD20 positif (Gambar 4.1).

Uji kesesuaian antar pengamat untuk menilai H-score Top2A dilakukan dengan uji t tidak berpasangan didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna antar pengamat pertama dan kedua dengan nilai p=0,0832 dan antara pengamat pertama dan ketiga dengan nilai p=0,0910.

Dari hasil pengumpulan data pada penelitian ini didapatkan 20 kasus (52,6%) dengan kriteria CR, 12 kasus (31,6%) kriteria PR Sedangkan subyek dengan kriteria SD dan PD masing-masing 3 kasus (7,9%).

4.2 Ekspresi Top2A

Hasil perhitungan H-score Top2A akan menunjukkan skor minimal 100 (negatif) dan skor maksimal 400 (positif kuat). Berdasarkan hasil penghitungan ini didapatkan satu kasus dengan H-score Top2A 100 (negatif) dan 37 dari 38 kasus (97,4%) dengan H-score Top2A >100 (positif), H-score Top2A positif berkisar antara 101,5 hingga 215,0 dengan nilai median 124,1. Intensitas pulasan dinilai antara lemah, sedang dan kuat (Gambar 4.1B).

(45)

Tabel 4.1. Karakteristik pasien LMNH DLBCL Variabel Jumlah % Usia Rata-rata 51,7 SD 13,7 Jenis kelamin laki-laki 26 68,4 perempuan 12 31,6

Stadium Ann Arbor

I 5 12,6 II 31 82,2 III 1 2,6 IV 1 2,6 Lokasi cavum nasi 3 7,9 colli 6 15,8 kutis 1 2,6 mata 1 2,6 mediastinum 1 2,6 nasofaring 4 10,5 orofaring 3 7,9 palatum 1 2,6 penis 1 2,6 proksimal humerus 1 2,6 sinonasal 3 7,9 sinus piriformis 1 2,6 testis 2 5,3 tiroid 1 2,6 tonsil 9 23,7

H-score Top2A (37/38 kasus)

Minimum-maksimum 101,5-215,0 Median 124,1 Respon terapi complete response (CR) 20 52,6 partial response(PR) 12 31,6 stable disease (SD) 3 7,9 progresif disease (PD) 3 7,9

(46)

Gambar 4.1. Diffuse large B-cell lymphoma dengan pewarnaan Haematoxylin Eosin (pembesaran 400x) (A). Ekspresi CD20 hampir di seluruh membran sel tumor dengan intensitas umumnya kuat (Pembesaran 400x) (B).

Gambar 4.2. Pewarnaan imunohistokimia Top2A. Ekspresi Top2A di inti sel tumor dengan intensitas umumnya kuat (A). Ekspresi Top2A di inti sel tumor dengan intensitas umumnya lemah (B) (Pembesaran 400x)

4.3 Hubungan Ekspresi Top2A dengan Respon Terapi

Tabel 4.2. Hubungan nilai median H-score Top2A dengan respon terapi

H-score Top2A

median (min-maks) Nilai p Respon terapi : Respon (CR+PR = 32)

Tidak respon (SD+PD = 6)

124,1(100,0-215,0) 0,656 126,6 (103,9-172,4)

Respon terapi : Respon lengkap (CR = 20) Tidak respon lengkap (nonCR = 18)

127,9 (101,5-215,0) 0,330 120,9 (100,0-172,4)

A

B

B

A

(47)

Pada tabel 4.2 terlihat bahwa jika kategori respon terapi dibagi menjadi 2 kelompok berespon dan tidak berespon, didapatkan 32 kasus (84,2%)yang berespon (CR dan PR) dengan dan 6 kasus (15,8%) tidak berespon (SD dan PD).

Jika data respon terapi ditransformasikan menjadi kelompok yang berespon lengkap (CR) dan tidak berespon lengkap (PR, SD dan PD), maka didapatkan data yang berespon lengkap sebanyak 20 kasus (52,6%) dan berespon tidak lengkap 18 kasus (47,4%).

Uji normalitas H-score dengan Shaphiro Wilk menunjukkan nilai nilai p= 0,004, tidak normal. Uji statistik Mann Whitney dilakukan untuk membedakan nilai median ekspresi H-score Top2A terhadap respon terapi, hasilnya menunjukkan tidak didapatkan perbedaan H-score Top2A yang bermakna antara kelompok yang berespon [124,1 (100,0-215,0)] terhadap kemoterapi dengan kelompok yang tidak berespon [126,6 (103,9-172,4)] dengan nilai p=0,656. Hal yang sama juga didapatkan pada uji Mann Whitney antara kelompok yang berespon lengkap [127,9 (101,5-215,0)] dan kelompok yang tidak berespon lengkap [120,9 (100,0-172,4)] dengan nilai p=0,330.

Tabel 4.3 Tabel sensitifitas dan spesifisitas dengan kurva ROC pada kategori respon, tidak respon dan kategori respon lengkap, tidak respon lengkap.

Respon terapi Titik

potong AUC sensitifitas spesifisitas Respon (CR+PR) vs tidak

respon (SD+PD) 148,0 0,505 33,33% 84,37

Respon lengkap (CR) vs tidak

respon lengkap (non CR) 117,1 0,621 38,89 90,00

Untuk membedakan DLBCL dengan ekspresi Top2A rendah dan ekspresi Top2A tinggi dilakukan analisis dengan kurva ROC. Jika analisis kurva ROC dilakukan pada kelompok yang berespon dan tidak berespon didapatkan nilai sensitifitas dan spesifisitas 33,33% dan 84,37 dan nilai area under the curve (AUC) 0,505 yang kurang baik pada titik potong > 148,0, sehingga digunakan nilai median 124,1. Namun jika analisis ROC dilakukan pada kelompok yang berespon lengkap dan tidak berespon lengkap, nilai sensitifitas dan spesifisitas

(48)

0,621 pada titik potong > 117,1 sehingga titik potong 117,1 dapat digunakan (Tabel 4.3).

Tabel 4.4. Hubungan kelompok ekspresi Top2A pada DLBCL dengan respon terapi. Ekspresi Top2A ( titik potong : 124,1) Respon Terapi Nilai p Respon (%) Tidak respon (%) Tinggi (n=19) 16 (84,2) 3 (15,8) 0,670 Rendah (n=19) 16 (84,2) 3 (15,8)

Pada tabel 4.4 terlihat bahwa terdapar masing-masing 19 kasus pada ekspresi Top2A tinggi dan rendah. Uji statistik dengan Fisher’s menunjukkan tidak terdapat perbedaan ekspresi Top2A yang bermakna antara kelompok yang berespon dibandingkan kelompok yang tidak berespon terhadap terapi, nilai p=0,670.

Tabel 4.5 Hubungan kelompok ekspresi Top2A pada DLBCL dengan respon terapi. Ekspresi Top2A (Titik potong : 117,1) Respon Terapi Nilai p Odd Ratio (IK95%) Respon lengkap (%) Tidak respon lengkap (%) Tinggi (n=29) 18 (63) 11 (37) 0,043 5,727 (1,042-32,673) Rendah (n=9) 2 (22) 7 (78)

Ekspresi Top2A yang dikelompokkan berdasarkan titik potong ROC didapatkan ekspresi Top2A rendah (H-score ≤ 117,1) 9 kasus (23,6%) dan Top2A tinggi (H-score > 117,1) 29 kasus (75,4%). Pada tabel 4.5 terlihat bahwa dengan uji statistik Fisher’s menunjukkan terdapat perbedaan ekpresi Top2A pada kelompok yang berespon lengkap (CR) dibandingkan kelompok yang tidak berespon lengkap (non CR) terhadap terapi, nilai p= 0,043. Kekuatan hubungan antara dua kelompok dilakukan dengan menghitung rasio odds (RO), didapatkan nilai 5,727 (IK 1,040-32,673)

(49)

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Demografi karakteristik dasar

Jumlah kasus LNH yang memiliki catatan medis lengkap dan mendapat kemoterapi baik dan tersedia blok parafinnya sebanyak 38 kasus. Usia rata-rata penderita DLBCL menurut WHO adalah pada dekade 6 dan 7, yaitu pada usia 50 dan 60 tahun. Pada penelitian ini didapatkan usia rata-rata penderita yaitu 51,7 tahun, sesuai dengan kepustakaan. Berdasarkan data WHO, DLBCL lebih banyak terjadi pada pria. 5,16,17 Pada penelitian ini juga didapatkan dominasi laki-laki lebih tinggi perempuan (68,4% vs 31,6%).

5.2 Ekspresi Top2A

Ekspresi Top2A merupakan salah satu protein yang banyak diteliti karena keterkaitannya dengan anti Top2. Ekspresi Top2A telah diidentifikasi pada galur sel dan ditemukan ekspresi yang tinggi pada galur sel tumor yang berasal dari testis dan karsinoma paru tipe sel kecil yang sensitif terhadap anti Top2. Sedangkan ekspresi Top2A yang rendah ditemukan pada galur sel tumor yang berasal dari karsinoma urotelial dan karsinoma paru jenis bukan sel kecil yang resisten terhadap anti Top2.12 Penelitian mengenai ekspresi Top2A juga telah dilakukan pada berbagai jenis tumor yaitu pada tumor payudara, ovarium dan lambung, termasuk limfoma.35-38

Pada penelitian Schrader et al yang dilakukan pada limfoma sel mantel di Jerman mendapatkan nilai ekspresi Top2A dengan kisaran 0,7%-57,8% dan nilai median 10,2%. Penelitian dari Schrader ini menggunakan nilai median ekspresi Top2A 10% untuk membedakan Top2A tinggi dan rendah.39 Penelitian yang dilakukan Korkolopoulou et al pada pasien LNH di Yunani mendapatkan ekspresi Top2A yang lebih tinggi lagi pada DLBCL dengan kisaran 10,2%-85,6% dan nilai median 20,7%.38 Pantheroudakis et al juga meneliti Top2A pada DLBCL di Yunani menunjukkan ekspresi Top2A yang bervariasi yang ditemukan pada 91% kasus dengan kisaran yaitu 0%-95%, dengan nilai median 80%.14

(50)

Ekspresi Top2A pada penelitian ini dinilai secara semikuantitatif menggunakan H-score agar lebih akurat. Pada 97,4% (37 dari 38) kasus didapatkan H-score Top2A berkisar antara 101,5-215,0 dengan nilai median 124,1. Nilai median ini setara dengan nilai 24,1% sel tumor yang mengekspresikan Top2A dengan intensitas lemah, atau minimal 12,1% dengan intensitas sedang. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan nilai median yang didapatkan pada penelitian Schrader dan Korkolopoulou, namun berbeda dengan penelitian Pantheroudakis yang mendapatkan nilai median Top2A yang lebih tinggi, 80%.14,38 Penelitian yang dilakukan oleh Withoff et al menyatakan bahwa protein Top2A tidak terekspresi secara terus menerus selama siklus sel, terdapat variasi ekspresi Top2A selama berlangsungnya siklus sel.40-43

5.3 Hubungan ekspresi Top2A dengan respon terapi

Mekanisme anti tumor terhadap Top2A adalah kemampuannya untuk membuat stabil kompleks DNA-Top2 dan menghambat penyambungan kembali/religasi dari DNA yang telah terurai, sehingga semakin banyak DNA yang terurai akan menyebabkan aktifnya program kematian sel.10 Menurut beberapa kepustakaan yang menggunakan galur sel, sel yang mengekspresikan Top2A lebih banyak menyebabkannya lebih sensitif terhadap anti Top2.12

Beberapa penelitian pada tumor payudara dan limfoma non Hodgkin menunjukkan bahwa ekspresi Top2A dapat dijadikan penanda yang menjanjikan untuk memprediksi respon terapi.14,44,45 Penelitian yang dilakukan pada tumor payudara oleh Cardoso et al pada tumor payudara di Belgia menunjukkan ekspresi Top2A maupun amplifikasi gen Top2A berhubungan dengan sensitifitasnya terhadap doksorubisin.45 Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan Pantheroudakis mendapatkan hubungan yang bermakna antara ekspresi Top2A pada DLBCL dengan respon terapi (CR dan PR) dengan nilai p=0,04.14

Pada penelitian ini, ketika kelompok respon terapi dibagi menjadi kelompok respon dan tidak respon menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi Top2A dengan respon terapi, baik melalui uji Mann Whitney maupun dengan uji Fisher’s. Namun pada penelitian ini juga

Gambar

Gambar 2.1  Skema diferensiasi sel B  8
Tabel  2.1.  Diffuse  large  B-cell  lymphoma:  varian,  subkelompok  dan  subtipe  menurut klasifikasi WHO 2008
Gambar  2.1.  Skema  diferensiasi  sel  B,  menunjukkan  juga  bagian-bagian  yang  dapat menjadi neoplasma sel B
Tabel  2.2 Stadium berdasarkan kesepakatan Ann Arbor. 24
+7

Referensi

Dokumen terkait

Produk yang sudah selesai divalidasi oleh beberapa validator materi, validator media, dan validator bahasa serta telah selesai direvisi dan perbaikan, selanjutnya produk akan

Hasil penelitian adalah kriteria penentuan lokasi PKL berdasarkan preferensi pedagang di Kawasan Perkotaan Sidoarjo sebagai berikut: (1) Jenis barang yang dijual

Alasan inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menulis skripsi dengan permasalahan apa sajakah instrumen hukum nasional Indonesia yang berhubungan dengan perlindungan

Thơ Tân Hình Thức là một loại ca dao tân thời, không phải thứ ca dao đã trở thành văn học được chọn lọc và giảng dạy ở nhà trường qua lăng kính thẩm mỹ trí thức, mà

a) Krisis air yang melanda Kota DKI Jakarta menyebabkan 60% penduduk Jakarta yang hanya terpenuhi kebutuhan air bersihnya sedangkan 40% sisanya mendapatkan air dari sumber air

Apabila 3 pokok ajaran islam itu sudah benar-benar tertanam dalam diri kita sebagai umat manusia, maka ketika kita bertemu dengan paham-paham yang begitu banyak dengan

Pelaksanaan syariat islam akan menjadi sukses jika mampu mewujudkan masyarakat menjadi lebih makmur,damai,adil, dan lebih-lebih lagi jika syariat islam itu

09 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil : “ Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perlindungan, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan