PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KAWAT SUPERKONDUKTOR SS316/Bi
1,6Pb
0,4Sr
2Ca
2Cu
3O
10DAN Ag/Bi
1,6Pb
0,4Sr
2Ca
2Cu
3O
10DENGAN PENAMBAHAN CARBON NANOTUBE (CNT)
TESIS
Oleh
HILDA AYU MARLINA 157026002/FIS
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KAWAT SUPERKONDUKTOR SS316/Bi
1,6Pb
0,4Sr
2Ca
2Cu
3O
10DAN Ag/Bi
1,6Pb
0,4Sr
2Ca
2Cu
3O
10DENGAN PENAMBAHAN CARBON NANOTUBE (CNT)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Fisika pada Program Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
Oleh
HILDA AYU MARLINA 157026002/FIS
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Hilda Ayu Marlina
NIM : 157026002
Program Studi : Magister Ilmu Fisika Jenis Karya Ilmiah : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan informasi kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif Free Right) atas Tesis saya yang berjudul :
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KAWAT SUPERKONDUKTOR SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 DAN Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
DENGAN PENAMBAHAN CARBON NANOTUBE (CNT)
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non- Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Medan, Juli 2017
HILDA AYU MARLINA NIM 157026002
PERNYATAAN ORISINILITAS
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KAWAT SUPERKONDUKTOR SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 DAN Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
DENGAN PENAMBAHAN CARBON NANOTUBE (CNT)
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.
Medan, Juli 2017
HILDA AYU MARLINA NIM 157026002
Telah diuji pada Tanggal :
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Kerista Sebayang, MS.
Anggota : 1. Dr. Agung Imaduddin, M.Eng 2. Dr. Krista Tarigan, M.Eng,Sc.
3. Dr. M. Fauzi, MS.
4. Dr. Kurnia Sembiring, MS.
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama lengkap berikut gelar : Hilda Ayu Marlina, S.Si Tempat dan Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 9 Juli 1991 Alamat Rumah : Jl. Raja Layang no. 17 Dusun 1
Kec. Dewantara, Kab. Aceh Utara
E_mail : ayuhilda89@gmail.com
Telepon/Faks/Hp : 082165446771
DATA PENDIDIKAN
SD : SD Swasta Iskandar Muda Tamat : 2003
SMP : SLTP Swasta Iskandar Muda Tamat : 2006
SMA : SMA Swasta Iskandar Muda Tamat : 2009
Strata-I : Universitas Sumatera Utara Tamat : 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT, Tuhan yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tak lupa
shalawat beriring salam penulis hantarkan kejujungan Rasulullah, Muhammad SAW, yang menuntun manusia menuju
jalan penuh cahaya ilmu seperti saat ini.
Tesis ini penulis persembahkan untuk Mama Ida Riswati dan Papa Tuido Herawanto tercinta.
Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Universitas Sumatera Utara, terkhusus Program Studi Magister (S2) Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).
2. Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong, Tangerang Selatan.
3. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. Mhum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara – Medan.
4. Dr. Kerista Sebayang, MS, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara – Medan sekaligus selaku pembimbing I saya yang telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan tesis.
5. Dr. Agung Imaduddin, M.Eng, selaku pembimbing II dan pembimbing lapangan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong yang telah banyak memberikan bimbingan selama melakukan penelitian dan menyelesaikan tesis.
6. Pak Pius Sebleku, selaku pembimbing lapangan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong yang telah banyak memberikan bimbingan selama melakukan penelitian.
7. Dr. Kurnia Sembiring, MS., selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Fisika Universitas Sumatera – Medan sekaligus pembanding yang banyak memberikan masukan dalam menyelesaikan tesis.
8. Dr. Krista Tarigan, M.Eng, Sc., selaku Wakil Ketua Program Studi Pascasarjana Fisika Universitas Sumatera – Medan sekaligus pembanding yang banyak memberikan masukan dalam menyelesaikan tesis.
9. Satrio Herbirowo, M.Eng; Hendrik, M.Eng.Sc; Sigit Dwi Yudanto, M.Si;
dan Septian Adi Chandra selaku pembimbing lapangan di Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong yang memberikan bimbingan selama melakukan penelitian.
10. Dr. Ing. Andika W. Pramono, M.Sc selaku kepala Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong, Dr. Ika Kartika, S.T., M.T.
selaku Kepala Bidang Diseminasi dan Pengelolaan Hasil Penelitian - Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong, Pak Heri, Mba Nisa selaku operator SEM EDS, Pak Nauh dan Pak Syarifuddin selaku security P2MM yang banyak berjasa saat lembur hingga larut malam di laboratorium, serta seluruh karyawan Pusat Penelitian Metalurgi dan Material (P2MM) LIPI Serpong yang berjasa dalam pelaksanaan penelitian.
11. Laboratorium Analisis Instrument Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral PTPSM BPPT.
12. Pak Nur Ikhwan selaku operator XRD di Laboratorium Analisis Instrument Pusat Teknologi Sumberdaya Mineral PTPSM BPPT.
13. Pak Juni selaku operator rolling machine di Laboraorium Logam Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) – Institut Teknologi Bandung.
14. Kedua saudara kandung saya, Aisyah Fajrina Fitri dan Annisya Fitri Maulyani atas doa dan dukungan dalam kelancaran penyelesaian Magister Fisika.
15. Ibu Neneng dan Teh Lina Mariani, A.Md atas perhatian dan kasih sayang sebagaimana ibu dan saudara kandung selama melakukan penelitian di Tangerang Selatan.
16. Teman seperjuangan, Cindy Al Kindi Saragih, S.Si; Zehan Yuliana Sitorus, S.Pd; dan Hariyati Lubis, S.Si atas semua perjalanan yang dilalui bersama selama menyelesaikan Magister Sains (fisika).
17. Seluruh keluarga, saudara, dan teman - teman yang senantiasa mendukung dan mendoakan kelancaran penelitian dan penyelesaian tesis.
Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan masukan pembaca demi kesempurnaan tesis ini sangat diharapkan. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Medan, Juli 2017
Hilda Ayu Marlina
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KAWAT SUPERKONDUKTOR SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 DAN Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 DENGAN
PENAMBAHAN CARBON NANOTUBE (CNT)
ABSTRAK
Telah dilakukan pembuatan dan karakterisasi kawat superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dan Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT). Baik kawat superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 maupun Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 keduanya merupakan kawat superkonduktor berbasis Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube, perbedaannya terletak pada penggunaan selubung/tabung yaitu SS316 (stainless steels 316) dan Ag (argentum). Penggunaan kedua tabung ini dilakukan untuk melihat perbandingan keduanya, khususnya SS316 yang diharapkan dapat menggantikan Ag, karena harga SS316 yang jauh lebih terjangkau. Kawat superkonduktor banyak digunakan dalam aplikasi tenaga listrik. Proses pembuatan kawat superkonduktor ini dilakukan menggunakan metode PIT (powder in tube), yang terdiri dari beberapa tahapan proses yaitu, preparasi bahan, penarikan kawat, dan proses perlakuan panas (heat treatment).
Pembuatan kawat superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dilakukan secara insitu (dimana proses sintering dilakukan setelah serbuk Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
dengan penambahan CNT (%wt) dimasukkan ke dalam tabung), sedangkan pembuatan kawat superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 terdiri dari tiga pembuatan, dimana pada pembuatan I dan II dilakukan secara insitu, namun pembuatan III dilakukan secara exsitu (dimana proses sintering dilakukan sebelum serbuk Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan CNT (%wt) dimasukkan ke dalam tabung). Karakterisasi sampel dilakukan menggunakan cryogenic untuk menentukan suhu kritis (Tc), XRD untuk melihat fasa yang terbentuk, dan SEM untuk morfologi sampel. Dari penelitian yang dilakukan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT) pada pembuatan kawat superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 belum dapat menaikkan nilai Tc (suhu kritis), namun penambahan (%wt) carbon nanotube pada pembuatan kawat superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dapat meningkatkan Tc (suhu kritis) dengan nilai Tc
onset = 109,17 K dan Tc zero = 71 K hasil sintering pada temperatur 850 oC selama 30 jam (sintering I) dengan diameter kawat = 5 mm. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tabung SS316 belum dapat menggantikan tabung Ag sebagai selubung pada pembuatan kawat superkonduktor Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10.
Kata kunci : Kawat superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10,
kawat superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10, Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10, carbon nanotube (CNT), Ag, SS316 (stainless steels 316), PIT (powder in tube), cryogenic, XRD, SEM.
FABRICATION AND CHARACTERIZATION OF SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 AND Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
SUPERCONDUCTING WIRE WITH ADDITION OF CARBON NANOTUBE (CNT)
ABSTRACT
Fabrication and characterization of SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 and Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 superconducting wire with addition (wt%) of carbon nanotubes (CNT). SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 and Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
wire are superconducting wires based Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 with the addition of carbon nanotube (%wt), the difference are the use of the tube SS316 (stainless steels 316) and Ag (argentum). The use of both tubes is done to see the comparison of both, especially SS316 which is expected to replace Ag, because SS316 price is much more affordable. These superconducting wires are widely used in electrical power applications. This process using by the PIT (powder in tube) method, which is preparation of material, wire drawing, and heat treatment processes. Fabrication of Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 superconducting wire made by in situ (which in the sintering process is done after Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 powder with the addition of CNT (%wt) is inserted into the tube), while the fabrication of SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 superconducting wire consists of three fabrication, which is 1st and 2nd fabrication are made by in situ, but 3th fabrication is made by exsitu (wherein the sintering process is done prior to the Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
with addition of CNT powders (%wt) is inserted into the tube). Characterization of the sample was using by cryogenic to determine the critical temperature (Tc), XRD to determine the phase formed, and SEM for the sample morphology. In this research, addition (wt%) carbon nanotube (CNT) in the fabrication of SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 superconducting wire not been able to increase the value of Tc (critical temperature), but the addition (wt%) carbon nanotube in the fabrication of Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 wire can increase the Tc (critical temperature) with Tc onset = 109.17 K and zero Tc zero = 71 K result of sintering at a temperature of 850 °C for 30 hours (sintering I) with a wire diameter = 5 mm.
This indicates that the use of SS316 tubes has not been able to replace the Ag tubes as a sheath on the fabrication of Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 superconducting wire.
Keywords : SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 superconducting wire, Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 superconducting wire, Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10, carbon nanotube (CNT), Ag,
SS316 (stainless steels 316), PIT (powder in tube), cryogenic, XRD, SEM.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
ABSTRAK iv
ABSTRACT v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Batasan Masalah 4
1.4 Tujuan Penelitian 4
1.5 Manfaat Penelitian 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Sejarah Superkonduktor 6
2.2 Efek Meissner 9
2.3 Persamaan London dan Kedalaman Penetrasi Magnetik 13 2.4 Arus Kritis pada Superkonduktor Tipe I 14 2.5 Magnetisasi dalam Superkonduktor Tipe I 14
2.6 Keadaan Intermediate 16
2.6.1 Keadaan Demagnetisasi 16
2.6.2 Energi Permukaan 18
2.7 Koherensi Panjang 18
2.7.1 Sejarah 18
2.7.2 Magnitude 18
2.7.3 Ketergantungan pada Kemurnian 19
2.8 Superkonduktor Tipe II 19
2.8.1 Sejarah 19
2.8.2 Parameter Ginzburg-Landau 20
2.9 Keadaan Campuran: 𝐻𝑐1 dan 𝐻𝑐2 21
2.9.1 Garis Fluks yang Terkuantisasi atau Vortisitas 21
2.9.2 Kisi Abrikosov 22
2.10 Magnetisasi Reversibel pada
Superkonduktor Tipe II 23
2.11 Arus Kritis dan Sifat Irreversibel Magnetik
Superkonduktor Tipe II 24
2.11.1 Arus Kritis dan Pinning Defect
Superkonduktor Tipe II 25
2.11.1.1 Gradien Garis Fluks 25
2.11.1.2 Gaya Pinning Maksimum
dan Rapat Arus Kritis 26
2.11.2 Garis Irreversibel dan Vortex Liquid 26 2.11.3 Permukaan Kritis Superkonduktor
Tipe II 27
2.12 Teori Bardeen, Cooper, dan Schrieffer (BCS) 28
2.13 Superkonduktor Suhu Tinggi (HTS) 30
2.14 Superkonduktor Berbasis Bi-Sr-Ca-Cu-O
2.14.1 Struktur Kristal 31
2.14.2 Diagram Fasa 34
2.15 Penambahan CNT pada
Superkonduktor Berbasis Bi-2223 35
2.16 BSCCO untuk Aplikasi Industri Energi
(Metode PIT pada kawat BSCCO menggunakan
Tabung Ag) 36
2.17 Penggunaan Tabung Stainless Steels 316 (SS316) 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 44
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 44
3.2 Peralatan dan Bahan 45
3.2.1 Alat Penelitian 45
3.2.2 Bahan Penelitian 45
3.3 Metodologi Penelitian 46
3.3.1 Tabel Metodologi Penelitian 46 3.3.2 Diagram Alir Pembuatan Kawat
Superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
dengan Penambahan CNT 47
3.3.2.1 Pembuatan I 47
3.3.2.2 Pembuatan II 51
3.3.2.3 Pembuatan III 53
3.3.3 Diagram Alir Pembuatan Kawat
Superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
dengan Penambahan CNT 55
3.4 Karakterisasi Kawat Superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
dan Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 57 3.4.1 Pengujian menggunakan Cryogenic 57 3.4.2 Pengujian menggunakan XRD
(X-Ray Diffraction) 59
3.4.3 Pengujian menggunakan SEM
(Scanning Electron Microscope) 60
3.4.4 Pengujian Efek Meissner 61
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 62
4.1 Hasil Pengujian Suhu Kritis (Tc) 62
4.1.1 Suhu Kritis (Tc) Kawat Superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan
Penambahan CNT 62
4.1.1 (a) Pembuatan I 62
4.1.1 (b) Pembuatan II 65
4.1.1 (c) Pembuatan III 67
4.1.2 Suhu Kritis (Tc) Kawat Superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan
Penambahan CNT 73
4.2 Hasil Pengujian XRD 72
4.2.1 Fasa Kawat Superkonduktor
SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan
Penambahan CNT 73
4.2.2 Fasa Kawat Superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan
Penambahan CNT 74
4.3 Hasil Pengujian menggunakan SEM 78
4.3.1 Pengamatan Morfologi Kawat
Superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
dengan Penambahan CNT 78
4.3.2 Pengamatan Morfologi Kawat
Superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
dengan Penambahan CNT 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 82
5.1 Kesimpulan 82
5.2 Saran 83
SUMBER DANA PENELITIAN 84
DAFTAR PUSTAKA 85
LAMPIRAN a
DAFTAR TABEL
Nomer
Tabel Judul Halaman
2.1 Penemuan Superkonduktor 2
2.2 Unsur-unsur yang termasuk superkonduktor tipe I 16 2.3 Melting Range untuk Sejumlah Baja Tahan Karat
Austenitik (Hochmann 1974) 39
2.4 Densitas Baja Tahan Karat Utama (Hochmann, 1974) 40 2.5 Koefisien Rata-Rata Ekspansi pada 10-6.oC dari
Beberapa Variasi Baja Tahan Karat Sebagai Fungs
Suhu (Hochmann, 1974) 40
2.6 Koefisien Rata-Rata Ekspansi pada 10-6.oC dari Beberapa Baja Tahan Karat Pada Suhu Rendah
(Hochmann, 1974) 41
2.7 Modulus Elastisitas Beberapa Stainless Steels
(Hochmann, 1974) 41
2.8 Perubahan Modulus Elastisitas Stainless Steels sebagai Fungsi Temperatur, Young’s Modulus E
(KN/mm2) (Hochmann, 1974) 41
2.9 Resistivitas, Konduktivitas Termal dan Specific Heat Beberapa Baja Tahan Karat pada Suhu Kamar
(Hochmann, 1974) 42
2.10 Pengaruh Suhu Terhadap Specific Heat Beberapa
Baja Tahan Karat (J kg-1K-1) (Hochmann, 1974) 42
3.1 Jadwal Penelitian 44
3.2 Alat Penelitian 45
3.3 Bahan Penelitian 45
3.3.1 Tabel Metodologi Penelitian 46
4.1 Hasil Pengujian Suhu Kritis (Tc) Kawat
SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 pada Pembuatan I 64 4.2 Hasil Pengujian Suhu Kritis (Tc)
KawatSS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 pada Pembuatan II
67 4.3 Hasil Pengujian Cryogenic pada Pembuatan III 69 4.4 Hasil Pengujian Tc (Suhu Kritis) menggunakan
Cryogenic 73
4.5 Fraksi Volume (Bi,Pb)-2212 dan (Bi,Pb)-2223
Sampel X*, A2, dan B2 77
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Gambar Judul Halaman
2.1 Hasil dari Plot Original Resistansi Listrik Hg
Versus Temperatur oleh Kamirlingh Onnes (1911) 6 2.2 (a) Pengaruh Temperatur terhadap Resistansi
terhadap Logam dan superkonduktor Hg (Puri, 2008) dan (b) Variasi Resistansi dari Konduktor dan Thermistor (Semikonduktor) terhadap
Temperatur (Kaufman, 1984) 7
2.3 Perkembangan Temperatur Kritis (Tc) dari Material
Superkonduktor (Maeda, 1996) 8
2.4 Kurva Induksi Normal 11
2.5 Kurva Histerisis Magnet 11
2.6 Skematik Perilaku dari Pengaplikasian Medan Ha
dan Densitas Fluks Magnetik B dalam Percobaan Field-Cooled (FC) dan Zero-Field-Cooled (ZFC) Superkonduktor Tipe I dan Material Non-
Superkonduktor dengan Konduktivitas Sempurna.
Dimana Percobaan ZFC (a b), Mengikuti Aplikasi dari Medan Magnet Ha (c) dan Penghilangan Medan Magnet (d) Ditandai ole Superkonduktivitas (Disesuaikan dari Rose-Innes
Rhoderick (1978, hal.18 dan 20) 12
2.7 Kurva Magnetisasi Khusus untuk Superkonduktor tipe II yang Tidak Teridentifikasi. Untuk H<Hc1
Sampel Berada dalam Keadaan Superkonduktor yang Menunjukkan Diamagnetisme Sempurna;
untuk Hc1<H<Hc2 SampelBerada dalam Keadaan Campuran/Vortex; dan untuk H>Hc2 Sampel Kembali ke Keadaan Normal (Disesuaikan dari
Kittel, 1986, hal 324) 24
2.8 Permukaan Kritis Superkonduktor pada Suhu T, Medan Magnet H yang Diterapkan, dan Kerapatan Arus J, di Bawah Arus Masuk yang Bisa bertahan.
Pada superkonduktor suhu rendah, Permukaan Kritis Sangat Dekat dengan Medan Kritis Hc2 dan
Arus Kritis Fluks-Creep-FreeKepadatan Jc0 27 2.9 Penurunan Tiba-Tiba Resistivitas ke Nol pada
Keadaan Transisi Superkonduktor Suhu Tc; (a) untuk Superkonduktor Suhu Rendah pada dan (b) untuk Superkonduktor Suhu Tinggi
(Charles, 2007) 31
2.10 Struktur Kristal Sistem BSCCO untuk Fasa : (a)
2201, (b) 2212 dan (c) 2223 (Lehndroff, 2001) 33 2.11 Diagram Suhu Versus Konsentrasi (Skematis)
Berada dalam Kisaran antaraBi2Sr2CuO6 dan
Bi2Sr2Ca2.6Cu3.6O11.2 (Majewski, 1997) 34 2.12 Diagram Skematik Proses PIT (Powder in Tube)
untuk Kabel atau Tape Bi-2223, Bi-2212, dan Tl-
1223 (Yamada et al., 2007) 37
3.1 Diagram Alir Pembuatan I Kawat Superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan
(%wt) CNT (in situ) 47
3.2 Diagram Alir Pembuatan II Kawat Superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan
(%wt) CNT (in situ) 51
3.3 Diagram Alir Pembuatan III Kawat
Superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 (ex situ)
53 3.4 Diagram Alir Pembuatan Kawat Superkonduktor
Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan Penambahan
(%wt) CNT 55
3.5 Prinsip Four Point Probe 58
4.1 Hubungan Resistansi terhadap Temperatur Sampel
XA3 63
4.2 Hubungan Resistansi terhadap Temperatur Kawat Superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 Non
doped (Hilda dkk, 2017) 64
4.3 Hubungan Resistansi terhadap Temperatur Sampel
C3 65
4.4 Hubungan Resistansi terhadap Temperatur Sampel
D3 66
4.5 Hasil Pengujian Efek Meissner Pelet
Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan 0,1
%wt carbon nanotube (Sample H3) 68
4.6 Hubungan Resistansi terhadap Temperatur Sampel
H3 69
4.7 Hubungan Resistansi Terhadap Temperatur (a)
Sampel A2 dan (b) Sampel F2 70
4.8 Perbandingan Hubungan Resistansi terhadap Temperatur pada Sampel Penambahan 0,1 %wt Carbon Nanotube (Sampel A2) dan No doped (Joshua dkk, 2016)
71
4.9 Hubungan Resistansi Terhadap Temperatur
(a) Sampel B2 dan (b) Sampel G2 71
4.10 Pola Difraksi Sampel C3 73
4.11 Pola Difraksi (a) Sampel X (Joshua dkk, 2016), (b)
Sampel A2, dan (b) Sampel B2 75
4.12 Morfologi Sampel C3 Perbesaran 5000x (a)Tampak
Pinggir, (b) Tampak Tengah 78
4.13 (a) Morfologi Sampel D3 Perbesaran 5000x Tampak Pinggir, (b) Morfologi Sampel D3
Perbesaran 5000x Tampak Tengah 79
4.14 (a) Morfologi Sampel A2 Perbesaran 5000x Tampak Pinggir, (b) Morfologi Sampel A2
Perbesaran 5000x Tampak Tengah 80
4.15 (a) Morfologi Sampel F2 Perbesaran 5000x Tampak Pinggir, (b) Morfologi Sampel F2
Perbesaran 5000x Tampak Tengah 81
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Lampiran Judul
L-1 Alat dan Bahan Penelitian
L-2 Perhitungan Bahan Baku yang Digunakan L-3 Perhitungan Bahan Baku yang Digunakan
L-4 Hasil Uji XRD
L-5 Hasil Pengujian Menggunakan SEM EDS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Superkonduktifitas merupakan fenomena yang diamati dalam beberapa material. Material ini kehilangan resistansi listriknya dan menolak medan magnet saat didinginkan di bawah karakteristik suhu kritis (Tc) (Abbas et al., 2015).
Superkonduktor pertama kali ditemukan oleh Kamerlingh Onnes pada awal 1900- an. Onnes menyelidiki tentang hambatan listrik dari logam murni pada suhu rendah, yaitu merkuri. Dia menemukan bahwa resistansi merkuri tiba-tiba turun menjadi nol di bawah suhu 4 K, fenomena ini dia sebut superkonduktifitas (Chu, 2012).
Lalu, pada 1986, Fisikawan dari Switzerland, Allex Müller dan Georg Bedrnoz, berhasil membuat suatu keramik yang terdiri dari unsur lanthanum, barium, tembaga, dan oksigen (LaBaCuOx) yang bersifat superkonduktor pada temperatur tertinggi 30 K. Penemuan ini menjadi populer karena selama ini keramik dikenal sebagai isolator dan pada tempertur ruang tidak dapat menghantarkan listrik sama sekali, setahun kemudian mereka mendapatkan nobel (Yulianti, 2010). Pada 1987, kelompok M.K. Wu dan C.W. Chu menemukan superkonduktivitas dalam sistem Y-Ba-Cu-O atau YBa2Cu3O7 dengan Tc onset 93 K dan lebar transisi <5 K. Nilai Tc superkonduktivitas yang lebih tinggi ditemukan oleh Maeda et al. dan Tallon et al. pada 1988 dalam sistem Bi-Sr-Ca-Cu-O Bi2Sr2Ca2Cu3O10 dengan Tc 110 K.
Setelah itu, muncul superkonduktor-superkonduktor dengan Tc tinggi, yaitu Tl2Ba2Ca2Cu3O10 (Tc ~130 K) dan HgBa2Ca2Cu3O8 (Tc ~135 K) (Chu, 2012).
Karena sifat superkonduktor muncul pada temperatur yang cukup tinggi, maka material - material tersebut diberi nama superkonduktor suhu tinggi (high-Tc
superconductor atau HTS) (Lusiana, 2013).
Beberapa upaya dilakukan untuk menemukan superkonduktor suhu tinggi, diantaranya ditemukan pada bahan cuprate (copper oxide). Diantara bahan cuprate, fase Bi-2223 dianggap sebagai salah satu teknologi superkonduktor fase Tc tinggi yang paling banyak menarik perhatian fisikawan, ilmuan material, maupun teknik elektro (Abbas et al., 2015). Namun, kendala yang dihadapi dalam mendapatkan fasa 2223 murni adalah saat proses sintesa, karena pada umumnya masih tercampuri fasa lain yang tidak menguntungkan maupun pengotor seperti Ca3CuO, CuO, Ca2PbO4 (Widodo, 2009). Penggunaan doping Pb dalam sintesis superkonduktor sistem Bismut, selain memudahkan pembentukan senyawa bersangkutan dengan tingkat kemurnian fasa yang tinggi, juga berperan menentukan sifat senyawa yang dihasilkan (Nurmalita, 2011).
Beberapa tahun belakangan, berbagai doping seperti carbon nanotube (CNT), SiC, B4C, dan berbagai jenis karbon telah menaikkan sifat cuprate (Dadras et al., 2009; Galvan, et al., 2004; Galvan et al., 2008; Yang, 1999). Dalam penelitian lain, disebutkan bahwa penamabahan carbon nanotube (CNT) dalam BPSCCO tidak terlalu buruk karena Tc yang diperoleh cukup tinggi yaitu 114.51 K, meskipun terindikasi fasa Bi(Pb)-2212 (Saoudel, 2013).
Seiring perkembangannya, teknologi superkonduktor telah sampai pada pembuatan kawat monofilamen dan multifilamen, salah satunya pada pembuatan kawat superkonduktor Bi-2223 temperatur tinggi diselubungi oleh Ag (argentum atau silver) menggunakan metode PIT (powder in tube). Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa Tc yang dihasilkan bernilai 119,5 K dengan 81 kawat monofilamen dalam kawat multifilamen. Kawat multifilamen tersebut memiliki nilai Tc yang lebih besar dibandingkan pelet superkonduktor maupun kawat monofilamen, meskipun diameter multifilamennya berukuran lebih kecil (Jabur, 2012).
Untuk mendukung perkembangan kawat superkonduktor, dalam penelitian ini akan dilakukan pembuatan dan karakterisasi kawat superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dan Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT). Baik kawat superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 maupun SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 keduanya
merupakan kawat superkonduktor berbasis Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT), perbedaannya terletak pada penggunaan selubung yaitu Ag (argentum) dan SS316 (stainless steels 316).
Penggunaan kedua selubung ini dilakukan untuk melihat perbandingan keduanya, khususnya SS316 yang diharapkan dapat menggantikan Ag sebagai selubung, karena harga SS316 yang jauh lebih terjangkau (dengan perbandingan harga Ag:SS316 sekitar 1:96). Pembuatan kawat superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT) dan SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT) ini dilakukan menggunakan metode PIT (powder in tube). Serbuk superkonduktor yang digunakan merupakan serbuk superkonduktor Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan serbuk carbon nanotube (CNT) dalam
%wt. Dari pembuatan kawat superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT) dan SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
dengan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT)ini diharapkan keunggulan dalam nilai Tc-nya.
1.2 Perumusan Masalah
Suhu kritis (Tc) pada kawat superkonduktor berbasis Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10
dengan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT) dipengaruhi oleh penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT) dan jenis tabung yang digunakan. Dengan demikian, perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT) terhadap Tc
(suhu kritis) yang dihasilkan dari pembuatan kawat superkonduktor Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 diselubungi SS316 (stainless steels 316) dan Ag (argentum)?
2. Bagaimana pengaruh jenis tabung yang digunakan (yaitu SS316 (stainless steels 316) dan Ag (argentum)) terhadap Tc (suhu kritis) yang dihasilkan dari pembuatan kawat superkonduktor Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube (CNT)?
1.3 Batasan Masalah
Untuk membatasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka diberikan batasan masalah sebagai berikut :
1. Dalam penelitian ini, pembuatan kawat superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube dan kawat superkonduktor Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube dilakukan menggunakan metode PIT (powder in tube), dimana serbuk Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan carbon nanotube (%wt) dimasukkan ke dalam dua tabung masing-masing, yaitu tabung SS316 (stainless steels 316) dan tabung Ag (argentum) dengan diameter kedua tabung 8 mm dan panjang 5 cm.
2. Karakterisasi dilakukan menggunakan cryogenic untuk mengetahui suhu kritis (Tc), XRD untuk mengetahui fasa yang terbentuk, dan SEM untuk analisa morfologi kawat superkonduktor.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menentukan pengaruh penambahan (%wt) carbon nanotube tehadap Tc (suhu kritis) yang dihasilkan dari pembuatan kawat superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dan Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10.
2. Menentukan pengaruh jenis tabung yang digunakan (yaitu SS316 (stainless steels 316) dan Ag (argentum)) terhadap Tc (suhu kritis) yang dihasilkan dari pembuatan kawat superkonduktor Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan carbon nanotube (%wt).
1.5 Manfaat Penelitian
Dari tujuan yang telah disebutkan di atas, maka diharapkan manfaat dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1. Memberikan informasi mengenai teknologi pembuatan kawat superkonduktor SS316/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dan Ag/Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube.
2. Mendukung perkembangan teknologi kawat superkonduktor berbasis Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10 dengan penambahan (%wt) carbon nanotube yang diselubungi Ag.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Superkonduktor
Pada awal 1990an, beberapa saat setelah Kamerlingh Onnes menemukan cara mencairkan helium, dia mulai menyelidiki tentang resistansi listrik dari logam murni pada temperatur rendah. Pada waktu itu, belum diketahui bagaimana karakteristik resistansi listrik pada temperatur rendah. Salah satu logam paling murni yang tersedia saat itu adalah merkuri. Pada 1911, Kamerlingh Onnes mengukur hambatan listrik merkuri murni sebagai sebagai fungsi temperatur saat ia menemukan bahwa resistansi merkuri tiba-tiba turun ke nol di bawah 4 K (De Bruyn Ouboter et al., 2012; Kamerlingh Onnes, 1911), dimana dia sebut sebagai
“superkonduktivitas” (De Ouboter dkk., 2012).
Gambar 2.1 Hasil dari Plot Original Resistansi Listrik Hg Versus Temperatur oleh Kamirlingh Onnes (1911)
Pada Gambar 2.1 menunjukkan plot original resistansi listrik Hg (merkuri) versus temperatur yang ditemukan oleh Onnes, dimana pada gambar tersebut menunjukkan kurva karakteristik material superkonduktor. Berbeda dengan material lainnya (seperti konduktor dan semikonduktor), pada material superkonduktor resistansi turun secara tiba – tiba menuju nol. Perbedaan hubungan resistivitas terhadap temperatur pada material superkonduktor, semikonduktor, dan konduktor ditunjukkan pada Gambar 2.2 sebagai berikut.
Gambar 2.2 (a) Pengaruh Temperatur terhadap Resistansi terhadap Logam dan superkonduktor Hg (Puri, 2008) dan (b) Variasi Resistansi dari Konduktor dan
Thermistor (Semikonduktor) terhadap Temperatur (Kaufman, 1984).
Pada gambar 2.2 (a) menunjukkan bahwa hubungan resistansi dengan temperatur untuk material superkonduktor dan konduktor. Dimana kurva superkonduktor dengan bahan Hg yang telah diselidiki Onnes, menunjukkan bahwa resistansi turun secara tiba-tiba mencapai 0 ohms pada suhu 4.2 K. Sedangkan pada material konduktor normal (biasa) terlihat bahwa pada suhu 0 K resistansi sekitar 0.1 ohms (Puri, 2008). Sedangkan pada gambar 2.2 (b) menunjukkan hubungan resistansi terhadap suhu pada material thermistor (yang merupakan material semikonduktor) dan konduktor, dimana material semikonduktor memiliki karakteristik yang sangat sensitif terhadap perubahan temperatur dan menyebabkan resistansinya tidak linear (Kaufman, 1984).
Ada beberapa material yang kemudian ditemukan untuk menunjukkan fenomena superkonduktor pada temperatur yang cukup rendah dan diasumsikan selama bertahun-tahun bahwa hanya terdapat satu jenis superkonduktor. Baru, beberapa tahun kemudian, para peneliti menyadari bahwa terdapat dua jenis superkonduktor yang memiliki banyak sifat yang sama, tapi yang paling membedakan muncul pada karakteristik dalam medan magnet yang diterapkan.
Superkonduktor tipe I (sebelumnya disebut sebagai “soft” superkonduktor), biasanya terdapat pada unsur-unsur, dengan karakteristik kehilangan sifat superkonduktivitasnya dalam medan magnet yang relatif rendah, sedangkan superkonduktor tipe II (sebelumnya disebut sebagai “hard” superkonduktor), biasanya pada paduan logam (alloy), dimana memiliki daya tahan medan magnet yang sangat keras sebelum kehilangan sifat superkonduktivitasnya. Beberapa unsur-unsur murni, yaitu niobium, vanadium, dan teknetium merupakan bagian dari tipe II dengan parameter-parameter Ginzburg – Landau κ = 0,78, κ = 0,82, dan κ = 0,92, berturut – turut (perubahan dari tipe I ke tipe II terjadi pada κ = 1/√2). Setiap tipe superkonduktor cukup berbeda dan harus diperlakukan berbeda. Sejarah penemuan superkonduktor dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Perkembangan Temperatur Kritis (Tc) dari Material Superkonduktor (Maeda, 1996)
Seperti yang ditunjukkan Gambar 2.3, superkonduktor pertama kali ditemukan tahun 1911 pada raksa (Hg) pada temperatur 4,2 K, lalu berlanjut pada Pb, Nb, hingga ditemukannya superkonduktor berbasis keramik (Bi2Sr2Ca2Cu3O) dengan Tc 110 K, selanjutnya Tl2Ba2Ca2Cu3O10 dengan Tc ~130 K, dan HgBa2Ca2Cu3O8 dengan Tc tertinggi sepanjang ditemukannya superkonduktor, yaitu bernilai ~135 K) (Chu, 2012). Sejarah penemuan superkonduktor dapat dirangkum seperti pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penemuan Superkonduktor
Bahan Tc (K) Ditemukan
Raksa Hg (α ) 4,2 1911
Timbal Pb 7,2 1913
Niobium nitrida (NbN) 16,0 1960-an
Niobium-3-timah 18,1 1960-an
Niobium-3-germanium (Nb3Ge) 23,2 1973
Lanthanum barium tembaga oksida (La2-xSrxCuO4) 28 1985 Yttrium barium tembaga oksida (1-2-3 atau YBCO) 93 1987 Bismuth oksida (Bi2Sr2Ca2Cu3O) 110 1988 Thalium barium kalsium tembaga oksida (Tl2Ba2Ca2Cu3O10) 130 1987
HgBa2Ca2Cu3O8 135 1988
2.2 Efek Meissner
Pada 1933, Meissner dan Ochensenfield (1933) mulai menyelidiki sifat magnet dari superkonduktor tipe I. Mereka menemukan bahwa ketika superkonduktor didinginkan dalam aplikasi medan magnet stabil H, kemudian pada temperatur transisi superkonduktivitas Tc, garis-garis medan magnet dikeluarkan dan superkonduktor berperilaku seperti diamagnetik sempurna dengan magnetisasi M = -H/4π atau M = - H (cgs/mks). Tipe dari pengukuran magnetisasi ini menunjukkan percobaan field-cooled (FC) dan skemanya ditunjukkan pada gambar 2.4 (kiri). Perilaku ini jauh berbeda dabandingkan percobaan zero-field-cooled (ZFC) dan tidak dapat dijelaskan hanya dengan asumsi bahwa superkonduktor merupakan konduktivitas sempurna (bergerak bebas yang tak berbatas).
Sebaliknya, efek Meissner menyatakan bahwa flux density B dalam material
diidentifikasikan nol (B=0) untuk temperatur di bawah Tc. Gejala efek Meissner pada superkonduktor dinyatakan oleh Persamaan 2.1
𝐵̅ = 𝜇0(𝐻̅ + 𝑀̅) = 0...(2.1) dengan, 𝐵̅: induksi magnet (Weber/Ampere)
𝐻̅: medan magnet luar (Ampere/meter) 𝑀̅: magnetisasi bahan (Ampere/meter)
𝜇0: permeabilitas ruang hampa (4π × 10−7Weber/Ampere.meter)
Pada bahan anisotropik linier besarnya magnetisasi adalah :
𝑀̅ = 𝜒𝑚𝐻̅...(2.2) dengan, 𝜒𝑚: suseptibilitas magnetik bahan superkonduktor (𝜒𝑚= -1) dinamakan
keadaan diamagnetisme sempurna.
Substitusi Persamaan (2.1) ke Persamaan (2.2), maka diperoleh : 𝐵̅ = 𝜇0(𝐻̅ + 𝑀̅)
𝐵̅ = 𝜇0(𝐻̅ + 𝜒𝑚𝐻̅) 𝐵̅ = 𝜇0𝐻̅ + 𝜇0𝜒𝑚𝐻̅ 𝐵̅ = 𝜇0(1 + 𝜒𝑚)𝐻̅ 𝐵̅ = 𝜇0(1 + (−1)𝐻̅ 𝐵̅ = 𝜇0(1 − 1)𝐻̅ 𝐵̅ = 𝜇0𝐻̅ (0)
𝐵̅ = 0...(2.3)
Hubungan antara induksi magnetik (B) pada suatu material dengan medan magnetik yang menimbulkan (H) ditunjukkan oleh kurva histerisis. Kurva histerisis diperoleh dengan cara memberikan medan magnetik yang besar pada suatu arah kemudian diperkecil hingga menuju nol dan selanjutnya dibalikkan pada arah yang berlawanan. Bentuk umum kurva induksi magnet (B) sebagai fungsi medan magnet yang menimbulkannya (H) terlihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Kurva Induksi Normal
Gambar 2.4 menunjukkan kurva tidak berbentuk garis lurus, sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan kenaikan harga H, mula-mula B turut naik dengan lancar, tetapi mulai dari satu titik tertentu harga H hanya menghasilkan sedikit kenaikan B dan makin lama B hampir konstan.
Keadaan ini disebut dengan kedaan saturasi, yaitu keadaan di mana medan magnet B tidak banyak berubah. Harga medan magnet untuk keadaan saturasi disebut dengan Bs atau medan magnet saturasi. Bila sudah mencapai saturasi intensitas magnet (H) diperkecil ternyata harga B tidak terletak pada kurva semula. Pada harga H = 0, induksi magnet atau rapat fluks B mempunyai harga B ≠ 0. Harga Br ini disebut dengan induksi remanen atau remanensi bahan. Kurva histerisis magnet ditunjukkan pada Gambar 2.5 berikut.
Gambar 2.5 Kurva Histerisis Magnet
Bila setelah mencapai nol harga intensitas magnet H dibuat negatif (dengan membalik arus pada lilitan), kurva B-vs-H akan memotong sumbu H pada harga - Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B=0 atau menghilangkan fluks dalam bahan.
Gambar 2.6 Skematik Perilaku dari Pengaplikasian Medan Ha dan Densitas Fluks Magnetik B dalam Percobaan Field-Cooled (FC) dan Zero-Field-Cooled (ZFC) Superkonduktor Tipe I dan Material Non-Superkonduktor dengan Konduktivitas
Sempurna. Dimana Percobaan ZFC (a b), Mengikuti Aplikasi dari Medan Magnet Ha (c) dan Penghilangan Medan Magnet (d), Ditandai oleh
Superkonduktivitas
(Disesuaikan dari Rose-Innes Rhoderick (1978, hal.18 dan 20)
Jika superkonduktor hanya merupakan konduktor sempurna dengan konduktivitas tak terbatas (σ = ∞) dan didinginkan dibawah Tc dengan kehadiran medan magnet dalam keadaan stabil H, dimana tidak ada fluks magnet yang keluar
(B = 0) pada Tc tertentu dengan dH/dt. Konduktor sempurna didinginkan pada keadaan dasar medan magnet pada keadaan stabil dan Tc tidak akan terjadi. Namun, di sisi lain konduktor sempurna telah didinginkan di medan magnet nol kemudian medan magnet yang diterapkan (yaitu dH/dt > 0), maka konduktor sempurna tersebut akan menolak fluks. Percobaan magnetisasi jenis ini disebut sebagai ZFC dan secara skematis ditunjukkan pada gambar 2.6 (kanan). Dengan demikian, diamgnetisme yang sempurna diamati dari efek Meissner dengan eksperimen magnetisasi FC yang ditandai oleh superkonduktivitas. Tentu saja, semua deskripsi ini harus memenuhi syarat bahwa lapisan tipis (ditandai dengan kedalaman penetrasi magnetik atau London) pada permukaan superkonduktor yang menerima fluks magnet, seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.
2.3 Persamaan London dan Kedalaman Penetrasi Magnetik
Pada 1935, London bersaudara (London & London, 1935) mampu menjelaskan efek Meissner secara matematik dengan asumsi bahwa rapat arus J dalam keadaan superkonduktivitas berbanding lurus dengan potensial vektor A dari medan magnet dalam B, dimana B = ∇ × 𝐴 (dalam taksiran London, ∇ ∙ A = 0).
Persamaan London diberikan oleh 𝐽 = −1/(4𝜋𝜆𝐿2)𝐴 or 𝐽 = −1/(𝜇0𝜆2𝐿)𝐴 (cgs/mks), dimana 𝜆𝐿 memiliki dimensi panjang.
Dibawah keadaan statik, persamaan satu Maxwell (Hukum Amper) menurunkan ∇ × 𝐵 = 4 𝜋𝐽 atau ∇ × 𝐵 = 𝜇0𝐽 (cgs/mks). Dari kedua sisi tersebut, disederhanakan menjadi −𝛻2𝐵 = 4𝜋𝛻 × 𝐽 or −∇2𝐵 = 𝜇0∇ × 𝐽 (cgs/mks). Dari penggabungan persamaan ini dan persamaan London, kita peroleh ∇2𝐵 = 𝐵/ 𝜆𝐿2. Penyelesaian persamaan ini adalah flux density B yang diturunkan secara eksponensial dengan jarak dari permukaan eksternal. Dalam satu dimensi, superkonduktor semiinfinite medium yang menempati sisi positif sumbu x, penyelesaian persamaan ini untuk kerapatan fluks magnetik nebjadi 𝐵(𝑥) = 𝐵𝑜(−𝑥/𝜆𝐿) = 𝜋𝑟2, dimana 𝐵𝑜= 𝐵𝜇𝑜𝐻 merupakan medan paralel pada batas bidang (Kittel, 1986). Pada contoh tersebut, pengukuran 𝜆𝐿 berjarak dengan 𝐵(𝑥) telah turun menjadi 1/e dari nilai awalnya, yang dikenal sebagai kedalaman penetrasi magnetik atau London.
2.4 Arus Kritis pada Superkonduktor Tipe I
Pada superkonduktor tipe I, dari definisinya, merupakan material yang menunjukkan pengeluaran fluks yang sempurna dari bagian dalamnya. Secara fisik, efek Meissner muncul karena arus megalir pada permukaan superkonduktor tepat diseluruh volume dari sampel. Jadi, apabila pemberian medan H ditingkatkan, permukaan melindungi arus dapat juga menaikkan nilai B= 0 dalam sampel.
Namun, bagaimanapun, bagian limit atas untuk jarak dari permukaan (dengan jarak 𝜆𝐿) yang melindungi arus dimana superkonduktor tipe I mungkin terjadi. Batas medan magnet dikenal sebagai rapat arus kritis 𝐽𝐶. Rapat arus kritis mungkin dinyatakan dalam medan kritis yang menggunakan curl dari persamaan London, yaitu, 𝛻 𝑥 𝐽 = (−1/4𝜋𝐿2)𝐵 atau ∇ × 𝐽 = ( 1
𝜇0𝜆𝐿2) 𝐵 (cgs/mks). Persamaan ini menghubungkan kerapatan supercurrent J menjadi kerapatan fluks magnetik B pada titik dalam superkonduktor.
Kebalikan dari keberadaan efek ini. Dengan tidak adanya medan eksternal, medan dalam yang dihasilkan oleh transpor arus pada permukaan tidak boleh melebihi medan magnet kritis. Jika medan sendiri melebihi medan kritis ini, maka superkonduktor beralih dari keadaan superkonduktor ke keadaan nornalnya. Ini dikenal sebagai Silsbee criterion (Silsbee, 1916). Untuk superkonduktor tipe I dengan kebalikan magnetisasi, ketentuan Silsbee menunjukkan rapat arus kritis maksimum 𝐽𝑐 dimana superkonduktor tipe I dapat membawa sebelum kembali ke keadaan nornal (bukan superkonduktor). Ketentuan ini untuk 𝐽𝐶 berlaku untuk banyak unsur (murni) superkonduktor dan cukup rndah, menjadikan material tipe I tidak sesuai untuk aplikasi daya listrik yang membutuhkan transportasi tinggi.
2.5 Magnetisasi dalam Superkonduktor Tipe I
Superkonduktor tipe I (sebagaimana yang dikenal sebagai superkonduktor
“soft”) menunjukkan efek Meissner (yaitu, diamagnetisme sempurna, 𝐵 = 0) ketika mengikuti pengaplikasian medan magnet, terlepas dari apakah material tersebut didinginkan pada medan magnet nol atau pada medan magnet, menjadikan sejarah medan magnet yang tidak tergantung. Respon diamagnetik sempurna ini
adalah kebalikan proses termodinamika dan prinsip tarnsisi fasa termodinamika harus berlaku.
Perbedaan energi keadaan normal dan superkonduktivitas mungkin diturunkan sebagai berikut. Dengan pertimbangan panjang, batang tipis dengan sumbu panjang dalam arah H. Hal ini akan memungkinkan terjadinya efek yang disebabkan oleh bidang pinggiran di ujung spesimen yang diabaikan. Bila ada material magnet yang ditempatkan di medan magnet, itu merupakan energi Gibs bebas per unit volume G berubah oleh banyaknya ∆𝐺 (𝐻) = − ∫ 𝑀𝑑𝐻0𝐻 atau
∆𝐺 (𝐻) = −𝜇0∫ 𝑀𝑑𝐻0𝐻 (cgs/mks). Untuk superkonduktor tipe I dengan aplikasi medan magnet, Gibbs energi bebasnya persatuan volume G berubah dengan jumlah 𝑀 = −𝐻/4𝜋 atau 𝑀 = −𝐻 (𝑐𝑔𝑠/𝑚𝑘𝑠), dan energi bebas meningkat dengan 𝐻2/8𝜋 atau 𝜇0𝐻2/2 (𝑐𝑔𝑠/𝑚𝑘𝑠). Keadaan normal superkonduktor biasanya hanya sedikit magneti dan tidak memperoleh perubahan yang berarti dalam energi bebasnya. Jadi, jika H menibgkat cukup, superkonduktor akan berubah secara reversibel dari keadaan superkonduktornua menjadi keadaan normal. Perubahan ini akan terjadi bila 𝐺𝑠(𝑇, 𝐻) > 𝐺𝑛(𝑇, 𝑂) atau 𝐻𝑐2
8𝜋 > [𝐺𝑛(𝑇, 0) − 𝐺𝑠(𝑇, 0)] atau 𝜇0𝐻𝑐2/2 > 𝐺𝑛(𝑇, 0) − 𝐺𝑠(𝑇, 0)] (cgs/mks). Untuk superkonduktor tipe I, kuat medan magnet maksimum yang dapat diaplikasikan untuk superkonduktor, jika itu merupakan sisa dalam keadaan superkonduktivitas, merupakan termodinamika medan magnet kritis Hc, dimana Hc(T), dimana 𝐻𝑐(𝑇) = {8𝜋[𝐺𝑛(𝑇, 0) − 𝐺𝑠(𝑇, 0)]}1/2 atau 𝐻𝑐(𝑇) = {2𝜇0[𝐺𝑛(𝑇, 0) − 𝐺𝑠(𝑇, 0)]}1/2 (cgs/mks).
Medan magnet kritis dari superkonduktor ditemukan untuk temperatur berbeda. Karena suhu diturunkan, nilai medan magnet kritis meningkat. Demikian juga, karena suhu meningkat, nilai 𝐻𝑐(𝑇) menurun menuju nol pada Tc. Ketergantungan suhu 𝐻𝑐(𝑇) yang diberikan oleh pernyataan umum 𝐻𝑐(𝑇) = 𝐻𝑐0[1 − (𝑇/𝑇𝑐)𝛼 ], dimana 𝐻𝑐0merupakan pengukuran medan magnet kritis pada temperatur nol (T0) dan 𝛼 memiliki nilai teori 2. Dalam parkteknya, 𝛼 merupakan parameter yang cocok secara eksperimental biasanya mendekati 2 untuk kebanyakan superkonduktor. 𝑇𝑐 dan 𝐻𝑐 merupakan sifat dasar dari superkonduktor, dan menggunakan sifat ketergantungan temperatur yang diberikan, 𝐻𝑐 dapat
dihitung untuk nilai apapun dari temperatur di bawah 𝑇𝑐. Begitu pula ketergantungan temperatur untuk rapat arus kritis diberikan oleh 𝐽𝑐(𝑇) = 𝐽𝑐0[1 − (𝑇/𝑇𝑐)𝛽], dimana 𝐽𝑐0 merupakan rapat arus kritis pada temperatur nol dan 𝛽 secara eksperimental dilengkapi dengan nilai yang biasanya dekat dengan kesatuan.
Superkonduktor tipe I hanya mempunyai satu harga medan magnet kritis (Hc). Jika medan magnet luar yang dikenakan pada superkonduktor berharga lebih kecil dari Hc, maka terjadi efek Meissner sempurna dan jika lebih besar dari Hc, maka fluks magnet luar akan menerobos masuk kedalam bahan superkonduktor sehingga fenomena superkonduktivitas menghilang. Superkonduktor tipe 1 terdiri dari logam dan metaloid yang menunjukkan beberapa sifat konduktivitas di suhu ruangan. Superkonduktor tipe 1 ini membutuhkan suhu yang sangat dingin agar menjadi superkonduktif. Saat menjadi superkonduktif, tipe1 ini akan menghasilkan sifat diamagnetik yang kuat.
Semua unsur logam kecuali Nb dan V (Vanadium) merupakan superkonduktor tipe I. Tabel 2.2 Di bawah merupakan beberapa contoh superkonduktor tipe 1 (Hulm et al., 1981).
Tabel 2.2 Unsur-unsur yang termasuk superkonduktor tipe I
Unsur Tc
Timbal (Pb) 7,196 K
Lantanum (La) 4,88 K
Tantalum (Ta) 4,47 K
Air raksa (Hg) 4,15 K
Timah (Sn) 3,72
Indium (In) 3,41
Paladium (Pd) 3,3 K
Krom (Cr) 3 K
2.6 Keadaan Intermediate 2.6.1 Keadaan Demagnetisasi
Demagnetisasi medan magnet (Hd) adalah medan magnet yang dihasilkan oleh magnetisasi M dalam magnet. Medan magnet total dalam magnet adalah jumlah vektor bidang demagnetisasi dan mefan magnet yang dihasilkan oleh arus bebas atau perpindahan arus. Istilah bidang demagnetisasi mencerminkan
kecenderungan bidang ini untuk mengurangi momen magnetik total spesimen.
Bidang demagnetisasi sangat sulit untuk menghitung benda yang berbentuk acak, bahkan dalam kasus magnetisasi bidang yang seragam. Untuk kasus khusus ellipsoids yang meliputi benda-benda sperti bola, batang panjang tipis, dan pelat datar, Hd berhubungan linear dengan M, dengan konstanta yang bergantung pada geometri yang disebut faktor demagnetisasi n. Untuk batang tipis panjang yang ditempatkan dalam magnet yang seragam di sepanjang sumbu panjangnya, faktor demagnetisasi mendekati nol. Untuk bola yang ditempatkan dalam medan magnet seragam, faktor demagnetisasinya 1/3, untuk piring datar dengan magnetisasi tegak lurus terhadap pesawat, mendekati kelompok. Hasilnya merupakan bentuk sampel tertentu, bidang demagnetisasi dapat memusatkan garis medan magnet di wilayah terlokalisasi tertentu dari spesimen relatif terhadap bulk. Bentuk atau efek demagnetisasi harus dipertimbangkan dan dipertanggungjawabkan dalam pengaplikasian superkonduktor yang beroperasi di hadapan medan magnet.
Sifat magnetik superkonduktor tipr I dengan faktor demagnetisasi nol n.
Untuk mempertahankan agar penjabaran matematika sesederhana mungkin, sebuah geometri bola akan diasumsikan sebagai faktor demagnetisasi n yang berfungsi sebagai superkonduktivitas didefinisikan oleh 𝑛 = (𝐻𝑖− 𝐻)/𝑀, dimana H merupakan pengaplikasian medan magnet dan 𝐻𝑖merupakan kekuatan medan di dalam spesimen. Rentang nilai dari n adalah 0 → 4𝜋 atau 0 → 1 (cgs/mks). Nilai efektif B bagian dalam seperti itu merupakan fluks total yang melewati spesimennya dibagi dengan luas penampang maksimalnya. Namun, pertimbangan untuk memenuhi kriteria elektromagnetik saat bidang yang diterapkan cukup tinggi, sampel perlu masuk ke domain normal dan siperkonduktor daerah masing-masing memiliki daerah 𝑋𝑛 dan 𝑋𝑠. Ini disebut keadaan antara (intermediate), yang harus dibedakan dari keadaan campuran. Dalam superkonduktor tipe I, B = 0 di dalam semua superkonduktor (kecuali dalam keadaan penetrasi magnetik di permukaan).
Untuk sampel, B yaitu 𝑧𝐵𝑛, dimana 𝐵𝑛 merupakan rapat fluks lokal dalam daerah normal, dan 𝑧 = 𝑋𝑛/(𝑋𝑛+ 𝑋𝑠) merupakan penampang fraksional dalam keadaan normal. Medan magnet lokal di semua wilayah spesimen tidak boleh melebihi