• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Konflik dalam Pergaulan Multikultural (Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) T1 352008602 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Konflik dalam Pergaulan Multikultural (Studi Kasus di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga) T1 352008602 BAB VI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

88 BAB VI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGELOLAAN KONFLIK

Dalam bab ini akan dibahas dua topik utama, yakni a). Faktor-faktor yang

mempengaruhi pengelolaan konflik yang dilakukan baik oleh UKSW maupun oleh

paguyuban etnis di Salatiga dan b). Berdasarkan hasil analisa faktor-faktor yang

mempengaruhi pengelolaan konflik, akan dibuat suatu konstruksi pemikiran tentang

Salatiga: Indonesia Mini yang Beriman.

6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Konflik

Berdasarkan dari hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor yang turut

mempengaruhi pengelolaan konflik di lingkungan UKSW. Faktor-faktor tersebut

adalah: pertama, Kertiban, faktor ini berkaitan dengan pemahaman bahwa setiap kelompok etnis tentu memiliki identitas budaya yang mendasari interaksi dan interelasi

mereka dengan kelompok etnis lain, sehingga pengelolaan (konflik) entis perlu

dilakukan dalam kerangka pertemuan budaya yang berbeda itu. Hal ini bertujuan

menghadirkan situasi yang tertib dan kondusif; kedua, Keamanan, faktor ini juga dilatar belakangi oleh kehadiran UKSW sebagai Indonesia Mini. Kepelbagaian suku dan etnis

yang ada dan hidup bersama di Salatiga tentu berimplikasi pada gesekan-gesekan yang dapat menimbukan ketidak-nyamanan kehidupan sosial. Sebab itu, perlu pendekatan

pengelolaan yang baik demi terciptanya kehidupan bersama yang tertib dan aman.

Namun perlu ditekankan bahwa pengelolaan konflik yang dilakukan bukan berbentuk

pendekatan keamaan, tetapi dilakukan atas dasar nilai bersama yang dimiliki UKSW

sebagai sebuah persekutuan ilmiah.

Faktor ketiga, Keharmonisan, kehidupan bersama dengan the other, liyan itu harus dikelola demi menciptakan kondisi yang harmonis. Salatiga adalah kota dengan

semboyan HATI BERIMAN, dengan demikian, kepelbagaian suku, etnis bahkan

institusi-institusi yang ada perlu berkontribusi dalam menjaga dan mewujudkan

semboyan itu. Selain itu, visi misi UKSW yang bertujuan menciptakan manusia dengan

(2)

89

tujuan saling bertoleran dalam kehidupan bersama. Toleransi yang tinggi berimplikasi

pada harmoni kehidupan bersama, sebab itu kepelbagaian atau kebhinekaan perlu

dikelola. Keempat, Kekondusifan Proses Belajar Mengajar. Pola pengelolaan konflik yang dilakukan, baik oleh pihak UKSW maupun etnis juga dilatari oleh kesadaran akan

proses belajar mengajar yang kondusif. Menciptakan proses belajar megajar yang

kondusif akan berimplikasi pada terbentuknya individu-individu yang creative monority

itu.

Berdasarkan hal di atas, maka beberapa sub topik perlu dianalisis lebih lanjut,

diantaranya: a) faktor kertiban dan keamanan, b) faktor keharmonisan dan c) faktor

kekondusifan Proses Belajar Mengajar.

6.1.1. Faktor Ketertiban dan Keamanan

Konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak akan lenyap dari

sejarah. Selama manusia masih hidup, maka cukup sulit rasanya untuk menghapuskan

konflik. Konflik berupa intrapersonal, interpersonal dan konflik antar kelompok

merupakan bagian yang tidak akan terlewatkan dalam kehidupan manusia. Berbagai

macam hal seperti perbedaan selera, perbedaan pendapat, dapat mengakibatkan konflik

yang kemudian berujung pada tindakan kekerasan. Kekerasan nampaknya bukanlah hal

asing bagi masyarakat Indonesia, sejarah mencatat telah terjadi berbagai peristiwa

kekerasan sejak zaman raja-raja hingga era demokrasi sekarang ini. Beberapa peristiwa

yang lahir akibat konflik yang termanifestasi menjadi kekerasan dalam beberapa tahun

belakangan ini seperti yang terjadi di Mesuji Lampung, Tasikmalaya, Kalimantan, dan

Bima Nusa Tenggara Barat. Konflik tersebut tercetus akibat berbagai perbedaan

(kepentingan, ras, agama, pandangan, status sosial, keadaan ekonomi dan masih banyak

lainnya) merupakan faktor-faktor yang acap kali menjerumuskan bangsa Indonesia ke

dalam jurang perpecahan. Oleh karenanya, sangat diperlukan pemahaman dan

kesadaran akan keragaman dalam upaya merawat ―ketidaktunggalan‖ yang ada di

Indonesia. Kesadaran tersebut juga perlu didasarkan pada pemahaman bahwa konflik

dan perpecahan sangat berdampak kerugian bagi kedua belah pihak.

Scott Lash (2002) berpendapat bahwa multikulturalisme memiliki arti

―keberagaman budaya‖. Dia juga berpendapat bahwa ada tiga istilah yang kerap

(3)

90

keberagaman tersebut—baik keragaman ras, suku, budaya dan bahasa yang

berbeda-beda—yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi tersebut sesungguhnya tidak mempresentasikan hal

yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ―ketidaktunggalan‖. Konsep

pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu (many) keragaman menunjukan bahwa keberadaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan

bahkan tidak dapat disamakan.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa di lingkungan UKSW

terdapat keragaman yang sangat luar biasa, mulai dari suku, ras, agama, bahasa dan

budaya, dan kesemuanya berada di satu lingkungan yang sama. Oleh karena itu tak

heran jika UKSW dengan lantang menyebutkan dirinya gambaran dari Indonesia atau

―Indonesia Mini‖. ―Ketidaktunggalan‖ yang hidup di lingkungan UKSW sudah tentunya bukan tidak disadari, pastinya sangat disadari oleh setiap individu atau kelompok yang

tinggal di dalamnya. Apalagi dengan bentuk UKSW yang tergolong kampus kecil,

dengan intensitas pertemuan yang sering menjadikan kita akan mengerti bahwa di

lingkungan UKSW terdapat sebuah keragaman. Keragaman disisi lain adalah baik, jika

saja keragaman tersebut dapat terkelola dengan baik, namun jika tidak maka masalah

akan muncul dan menjadikan yang beragam tidak baik.

Jika kita melihat pada negara Indonesia, pemahaman mengenai keragaman

tersebut sudah tentunya lahir sejak awal mula akan dibentuknya NKRI, karena dengan

pemahaman mengenai keberagaman dan keinginan untuk bersatu itulah akhirnya

terbentuk sebuah NKRI. Indonesia lahir dengan keragaman bangsa-bangsa yang tinggal

di belahan Nusantara, yang akhirnya setelah adanya persamaan nasib dan keinginan

bersatu, lahir menjadi sebuah bangsa yang bernama Indonesia.

Pemahaman mengenai keragaman sudah tentunya harus lahir dari setiap individu

yang hidup di lingkungan multikultural, karena jika tidak maka akan berdampak pada

perpecahan dan konflik antar kelompok. Di lingkungan UKSW yang beragam,

kesadaran mengenai ―ketidaktunggalan‖ nampaknya belum sepenuhnya tumbuh pada setiap individu atau kelompok yang ada, hal tersebut terbukti dengan adanya catatan

kepolisian kota Salatiga yang menunjukan adanya rentetan konflik yang dilakukan oleh

(4)

91

pengamatan lapangan dapat dikatakan bahwa individu atau kelompok yang ada di

lingkungan UKSW nampaknya belum mampu sepenuhnya memberbaur dengan

individu atau kelompok yang berbeda. Kecenderungan bergerombol sesuai dengan

kelompok, suku, asal daerah masing-masing masih sangat tinggi, itu mungkin juga yang

menjadi penyebab ketidakmampuan individu atau kelompok yang ada di lingkungan

UKSW memahami secara utuh mengenai ―ketidaktunggalan‖ yang ada.

Bagi siapapun yang hidup di dunia ini sudah tentunya mengharapkan kondisi

lingkungan tempat tinggal yang tertib dan aman, karena setiap individu pasti

mengharapkan sebuah kondisi lingkungan yang nyaman. Hal tersebut didukung dengan

banyaknya teori-teori manajemen (pengelolaan) terhadap sebuah kelompok atau

organisasi, yang tentunya dari kesemua itu mengharapkan sebuah kondisi yang nyaman.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh UKSW, kelompok etnis, Kepolisian atau bahkan

pemerintah daerah dalam konteks pengelolaan konflik dalam pergaulan multikultural di

Salatiga merupakan upaya-upaya yang bertujuan pada sebuah kondisi yang tertib dan

aman.

Ketertiban dan keamanan merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab

dilakukan pengelolaan konflik di lingkungan UKSW yang multikultural, karena semua

orang yang hidup pasti membutuhkan kondisi hidup yang tertib dan aman. Terkait

dengan pengelolaan konflik dengan tujuan menciptakan ketertiban dan keamanan,

upaya yang dilakukan oleh UKSW seperti yang diungkapkan Umbu Rauta adalah

sebagai berikut:

(5)

92

Ketertiban dan keamanan merupakan hal penting dalam sebuah kehidupan yang

beragam, karena ketertiban dan keamanan secara langsung maupun tidak langsung dapat

berdampak pada hal yang lain, seperti proses belajar mengajar. Setiap mahasiswa yang

menjadi bagian UKSW memiliki tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pelajar,

dimana harapan dari semua itu adalah menghasilkan pengetahuan yang beguna bagi

kehidupan setelah keluar/lulus dari UKSW. Kondisi yang tertib dan aman secara tidak

langsung akan berdampak pada PMB yang baik, karena tanpa adanya konflik seluruh

mahasiswa menjadi fokus pada proses perkuliahan. Sedangkan Yafet Y.W. Rissi dalam

hal pengelolaan konflik yang bertujuan untuk ketertiban dan keamanan juga mengatakan

bahwa:

―Ya sebenarnya ini kan hanya tanggungjawab moral aja ya, tidak harus satu tanggung jawab legal dari UKSW dalam hal ini PRIII untuk membantu atau membina etnis-etnis tetapi ini tanggungjawab moral, tanggunjawab bersama sebagai kampus karena bagaimanapun juga kalo etnis-etnis ini damai, etnis-etnis ini bisa membangun kehidupan sosialnya dengan harmonis, bisa bertoleransi antar yang satu dengan yang lain atau bisa berterima antar yang satu dengan yang lain, maka ia juga akan memberikan dampak positif bagi kehidupan di kampus karena sering kali terjadi bahwa justru konflik antar etnis di luar itu kemudian juga terbawa ke dalam kampus atau sebaliknya. Konflik yang terjadi di dalam kampus kemudian terbawa keluar. Sehingga saya kira memang, apalagi sekali lagi kalau organisasi di luar, kita tidak punya tanggungjawab hukum tapi tanggungjawab moral, kita untuk terus bekerjasama membina kehidupan bersama yang jauh lebih baik yang bertoleran antar yang satu dengan yang lain. Faktor terpenting dari pengelolaan ini adalah, ketertiban dan kemanan itu sudah pasti, seperti yang sudah saya katakan tadi bahwa faktor tersebut akan berpengaruh pada keharmonisan. Hal tersebut menjadi faktor penting dalam pengelolaan karena hal tersebut akan berdampak pada kekondusifan proses belajar mengajar, kita semua mengharapkan kondisi PBM yang lancar, tertib dan aman, dan kalau terjadi konflik kan pasti tidak aman, oleh karena itu kami mengelola konflik agar semuanya berjalan dengan baik. Ya sebenarnya itu saja ya tanggungjawab moral kita disini‖.

Ketertiban dan keamanan dalam sebuah kehidupan yang multikultural nampaknya

tidak semata-mata menjadi tugas instansi atau lembaga tertentu, melainkan menjadi

tugas dan tanggungjawab bersama. Peran masyarakat juga sangat penting dalam

menjaga ketertiban dan keamanan, yang tentunya didukung oleh lembaga lain seperti

(6)

93

merawat Indonesia dengan cara merawat keragaman yang dikemukakan oleh Azra

(2007) tentunya tidak lepas dengan hal-hal yang berkaitan dengan ketertiban dan

keamanan, karena dengan kita menjaga ketertiban dan kemanan secara tidak langsung

kita juga merawat Indonesia. Berkaitan dengan persoalan ketertiban dan kemanan,

tentunya kita bisa katakan bahwa di Indonesia yang multikultural belum sepenuhnya

terjadi ketertiban dan keamanan, rentetan konflik yang melibatkan banyak orang dan tak

jarang memakan korban jiwa yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia merupakan

bukti bahwa belum terjadinya ketertiban dan keamanan yang baik.

Berkaitan dengan keinginan menjadi wilayah yang tertib dan aman dalam kondisi

kehidupan yang multikultural di Salatiga, pihak kepolisian resort kota Salatiga melalui

IPDA Sulistiyono SH mengatakan bahwa:

―Kami sebagai pihak berwajib yang tugasnya adalah menciptakan perdamaian dan keamanan tentunya itu yang mendorong kami untuk melakukan pengelolaan terhadap konflik. Memang kita menyadari bahwa Salatiga meskipun kota kecil, akan tetapi kehidupan yang ada sangat beragam, dan kenyataan tersebut seharusnya memang dikelola dengan baik. Semua orang tentu mengharapkan adanya ketertiban dan kemanan, dan hal tersebut merupakan tugas kami sebagai pihak kepolisian, akan tetapi sebenarnya harus disadari juga bahwa untuk menciptakan lingkungan yang tertib dan aman bukan hanya menjadi tugas kami, melainkan seluruh elemen masyarakat harus turut berpartisipatif dalam menciptakan kondisi yang kita inginkan. Konflik tidak akan terjadi di Salatiga seandainya kesadaran tersebut dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat, namun karena masih kurangnya kesadaran itu timbulan konflik-konflik kecil yang tidak diinginkan‖.

Ketertiban dan keamanan merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Tugas negara adalah menciptakan keamanan dan ketertiban. Bahkan pemerintah

diberikan kewenangan penuh untuk menegakkan hal tersebut, yang tentunya didukung

sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat dan kelompok yang ada. Konflik kelompok

etnis mahasiswa yang terjadi di Salatiga sebagian berawal dari persoalan pribadi, yang

kemudian berubah menjadi persoalan kelompok karena adanya dorongan solidaritas

kesukuan atau kedaerahan. Pada konflik-konflik yang terjadi, salah satu pemicunya

adalah karena minuman keras, berkaitan dengan hal tersebut IPDA Sulitiyono SH juga

(7)

94

―Jika kita lihat kasus-kasus konflik yang terjadi yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa sebenarnya dipicu oleh salah satunya minuman keras. Oleh karena itu dalam satu pertemuan kita selalu menghimbau kepada teman-teman agar tidak terlalu sering atau banyak mengkonsumsi minuman keras, tugas utama adalah kuliah bukan hura-hura dengan alkohol. Untuk mengatasi hal tersebut, kami selalu melakukan patroli di lokasi-lokasi yang banyak dihuni mahasiswa, seperti daerah Kemiri atau daerah Margosari. Harapannya dengan adanya patroli tersebut selain terhindar dari tindak pencurian juga untuk menciptakan kota Salatiga yang tertib dan aman. Selain itu juga kita berencana akan bekerja dengan pihak kampus untuk mendirikan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat di dalam kampus, tujuannya adalah agar ketika terjadi masalah dapat dislesaikan ditempat tersebut, selain itu juga dapat membantu menjaga ketertiban dan keamanan.‖

Berdasarkan pada keterangan-keterangan di atas, seluruhnya berujung pada

keinginan untuk menciptakan sebuah kondisi atau lingkungan yang tertib dan aman.

Pada kehidupan yang multikultural, kondisi yang tertib dan aman hanya akan tercipta

jika saja seluruh elemen yang tinggal di dalamnya mampu untuk hidup saling

menghargai dan menghormati perbedaan, karena hanya dengan cara itu akan tercipta

sebuah kondisi yang tertib dan aman. Dalam sebuah kondisi lingkungan yang

multikultural, menurut hemat penulis nampaknya sangat diperlukan pendekatan yang

multidemensi atau dengan pendekatan holistik diantaranya dengan perspektif

multikultural. Pendekatan dengan cara holistik dirasa sangat tepat dalam penyelesaian

masalah konflik dalam kehidupan multikultural, karena dalam pendekatan holistik,

konflik tidaklah dianggap sebagai suatu masalah.

UKSW sebagai lembaga pendidik memiliki tugas dan tanggungjawab penuh

terhadap itu, akan tetapi tugas dan tanggungjawab tersebut akan menjadi sulit terlaksana

jika tidak didukung oleh seluruh lapisan atau manusia yang tinggal di dalamnya.

Kesadaran akan pentingnya ketertiban dan keamanan harus dimiliki oleh seluruh bagian

UKSW, yang tentunya didukung dengan upaya-upaya penyadaran yang dilakukan oleh

UKSW. Dengan berkembangnya kesadaran akan ketertiban dan keamanan maka

keragaman yang ada akan menjadi baik, dan dampak negatif dari keragaman juga dapat

terminimalisir, sehingga seluruh elemen yang terkandung di dalamnya dapat

menjalankan perannya masing-masing dengan baik tanpa rasa takut, karena dengan

(8)

95

kehidupan yang harmonis. Berkaitan dengan hal tersebut, Rusdiani Umbu Riada

pengurus kelompok etnis mahasiswa Sumba mengatakan bahwa:

―Ketertiban dan keamanan memang merupakan hal penting, karena

setiap manusia dimanapun dia tinggal pasti mengharapkan hal tersebut. Saya secara pribadi maupun secara organisasi sangat sepakat dengan gagasan membangun ketertiban di lingkungan UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya, itu juga yang kami selalu tanamkan kepada seluruh anggota PERWASUS, bahwa dimanapun kita berada kita harus bisa menjaga ketertiban dan keamanan, apalagi kita datang ke Salatiga tujuannya untuk kuliah, sebagai kaum akademisi tentunya kita harus mampu menempatkan diri sebagai akademisi dalam kaitannya dengan menjaga ketertiban dan keamanan. Persoalannya, kami cukup merasa kerepotan (mungkin dialami juga oleh kelompok etnis mahasiswa yang lain juga) dalam membina adik-adik yang baru, sirkulasinya kadang susah diatur, bahkan kami secara organisasi kurang mampu menjangkau mereka, apalagi mereka yang masih baru dengan latar belakang kedaerahan yang masih sangat kental, ini juga salah satu masalah yang susah diatasi, nanti kalau sudah kena konflik baru datang minta tolong bantu selesaikan. Akan tetapi sejauh ini kami secara organisasi sebisa mungkin ikut serta dalam menciptakan kondisi yang tertib dan aman, agar aktivitas yang

lain juga tidak terganggu.‖

Melihat pada pengelolaan konflik yang dilakukan oleh UKSW bersama

pihak-pihak lain dengan kesadaran untuk menciptakan suatu kondisi yang harmonis di

lingkungan UKSW dan Salatiga, nampaknya upaya-upaya yang dilakukan masih belum

maksimal. Hal tersebut dikarenakan masih saja terjadi konflik (baik yang tercatat

maupun yang tidak tercatat) meskipun berbagai pihak telah berupaya mengelola

keragaman agar tidak terjadi konflik. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis

mengidentifikasi bahwa hal tersebut dikarenakan ketidak kompakan antar pihak dalam

upaya mengelola keragaman. Berdasarkan identifikasi tersebut, dapat dijelaskan seperti

(9)

96

Bagan 6.1

Identifikasi Masalah

Oleh karena itu, untuk menciptakan kondisi yang harmonis, maka dalam upaya

menciptakan kondisi yang tertib dan aman sangat diperlukannya kekompakan dan

kerjasama yang baik dengan cara menciptakan program bersama antar lembaga yang

terkait dengan upaya pengelolaan konflik dalam lingkup yang multikultural. Disamping

adanya program bersama yang akan dijalankan untuk menciptakan kondisi yang tertib

dan aman, maka perlu juga dilakukan pemaksimalan fungsi lembaga-lembaga terkait,

karena program bersama yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang tertib dan

aman akan berjalan dengan baik jika didukung secara maksimal oleh lembaga-lembaga

terkait.

Jika melihat pada bagan hasil identifikasi, capaian akhir dari upaya-upaya

pengelolaan konflik tidak lain adalah untuk sebuah keharmonisan. UKSW dengan ciri

Creative Minority yang tinggal di lingkungan Salatiga dengan semboyan kota hati beriman tentu mengharapkan situasi yang aman, tertib dan damai. Hanya saja, jika kita

melihat pada fakta lapangan, upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait yang

secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab atas terwujudnya kondisi PENYEBAB: -Miras -Ego -Kurang mampu memahami perbedaan -Pacar -Bahasa, DLL PENDUKUNG: Solidaritas kesukuan/ kedaerahan UKSW POLISI/PEMKOT HARMONISASI Indonesia Mini Hati Beriman PROGRAM BERSAMA -Dialog/seminar -Kegiatan akademik -Pesta Budaya -Kegiatan Keagamaan SEBAB: -Sirkulasi anggota -Kehadiran anggota dalam kegiatan -Peran pihak kurang maksimal -Minuman keras -Latar belakang budaya ETNIS MASIH KONFLIK FAKTOR PENGELOLAAN -Keteriban dan keamanan -Keharmonisan -Kondusifitas PBM -Merawat Keragaman PENGELOLAAN KONFLIK

UKSW: ekspo budaya, dialog antar kelompok, kegiatan akademik, pendekatan senior, program LK, kerjasama dengan lembaga lain (Polisi).

(10)

97

yang tertib dan aman tersebut belum berjalan/bekerja secara maksimal. Yang terjadi

justru nampak bekerja sendiri-sendiri, antara pihak UKSW sebagai pemilik keragaman,

Kelompok Etnis Mahasiswa sebagai sub sistem dari UKSW, Lembaga Kemahasiswaan

yang juga sebagai sub sistem dari UKSW, kepolisian kota Salatiga dan Pemerintah kota

Salatiga belum memiliki strategi bersama dalam hal penanganan keragaman yang sangat

memungkinkan menimbulkan konflik.

Oleh karena itu, catatan penting yang yang direkomendasikan oleh penulis dalam

kaitannya kerjasama mengelola konflik untuk menciptakan kondisi yang tertib dan

aman adalah memaksimalkan kerjasama antara pihak-pihak terkait seperti UKSW

sebagai pemilik keragaman, Kelompok Etnis Mahasiswa sebagai sub sistem dari

UKSW, Lembaga Kemahasiswaan yang juga sebagai sub sistem dari UKSW, kepolisian

kota Salatiga dan Pemerintah kota Salatiga. Pihak-pihak terkait tersebut harus mempu

menciptakan strategi atau pendekatan dalam menangani keragaman yang terjadi di

UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya.

6.1.2. Faktor Pergaulan (kebersamaan, kedekatan, keragaman)

J. Jones (dalam Liliweri 2007) mendefinisikan etnis atau sering disebut

Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok manusia)

yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur

tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran dan fungsi

tertentu.Keberadaan mahasiswa UKSW sebagian besar telah membentuk komunitasnya

masing-masing—membentuk kelompok/komunitas berdasarkan asal kedaerahan atau

kesukuan— hal tersebut dilakukan dengan alasan karena mereka merasa nyaman

dengan orang-orang yang berasal dari satu etnis/daerah ketimbang dengan orang yang

berasal dari daerah/suku lain. Rasa nyaman itulah yang kemudian mendorong mereka

untuk membentuk komunitasnya masing-masing.

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa masyarakat yang ada

dilingkungan UKSW sangat rentan terhadap konflik, alasannya adalah karena

masyarakat yang berada dilingkungan UKSW lebih cenderung hidup berkelompok

sesuai dengan latar belakang budaya dan etnis masing-masing. Pada saat yang sama, ada

keterbatasan kapasitas UKSW dalam menjangkau mahasiswanya agar tidak terlibat

(11)

98

UKSW hanya menjangkau mahasiswa ketika mereka berada di lingkungan kampus

sebagai akademisi, namun jika mereka sudah keluar dari lingkungan kampus dan hidup

sebagai masyarakat Salatiga, UKSW tidak mampu menjangkau lagi, karena setiap

kelompok etnis memiliki payung atau lembaga hukumnya masing-masing. Oleh karena

itu, mahasiswa dalam hal ini yang juga merupakan masyarakat Salatiga harus mampu

untuk mengelola konflik dan menghadirkan perdamaiannya.

Untuk dapat mengelola konflik, maka sangat diperlukannya modal sosial atau

sosial capital. Yang dimaksud dengan modal sosial dalam hal ini adalah jaringan sosial antar satu orang dengan orang lain (Helpern, 2005). Namun definisi yang lebih terkenal

adalah seperti yang dikatakan oleh Putnam, bahwa modal sosial merupakan suatu ciri

kehidupan sosial yang di dalamnya terkandung jaringan, norma, dan kepercayaan. Jika

melihat pada data yang diperoleh di lapangan, modal sosial merupakan hal penting yang

sejauh ini digunakan oleh para senior etnis dan UKSW dalam mengelola dan

menyelesaikan konflik. Dalam kaitannya dengan modal sosial sebagai upaya

pengelolaan dan penyelesaian konflik, Augie D. Manuputy sebagai senior kelompok

etnis Ambon mengatakan bahwa:

―Dalam upaya penyelesaian konflik, hal yang biasa kita lakukan

adalah dengan mendekati senior etnis untuk berdiskusi tentang bagaimana baiknya masalah tersebut diselesaikan. Kami sesama senior yang sudah dekat sejak kuliah dulu, saling bertemu untuk membicarakan persoalan tersebut. Selain dekat kita juga saling percaya, pendekatan itu yang biasa kami lakukan, makanya dalam setiap kejadian konflik kami selalu menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan. Saya kira metode itu juga sangat efektif baik untuk mengelola ataupun menyelesaikan konflik, dan kami ingin model-model kedekatan antar kelompok etnis itu juga ditiru oleh adik-adik agar ketika terjadi konflik lebih mudah dalam menyelesaikannya. Relasi seperti ada baiknnya juga dikembangkan oleh para generasi

baru, karena memang baik‖.

Melanjutkan apa yang dikatakan oleh Augie D. Manuputy mengenai peran

penting modal sosial dalam pengelolaan konflik yang terjadi di lingkungan UKSW,

berdasarkan pada fakta dan keterangan dari kepolisian Resort Kota Salatiga, dikatakan

juga bahwa sejauh ini proses penyelesaian konflik yang terjadi memang lebih sering

menggunakan model kekeluargaan. Hal tersebut menunjukan bahwa peran senior

(12)

99

ditingkatkan dalam upaya pengelolaan konflik yang terjadi di lingkungan mahasiswa

UKSW. Relasi sebagai salah satu faktor dalam modal sosial merupakan hal yang layak

untuk dikembangkan oleh kelompok-kelompok etnis mahasiswa. Selain itu, dengan

model saling percaya dan menghormati dengan didorong oleh norma-norma yang

berlaku di UKSW maupun di Salatiga maka ketertiban dan perdamaian akan tercipta

dilingkungan UKSW khususnya dan Salatiga pada umumnya.

Dalam hal ini penulis berasumsi bahwa dengan bertumbuhnya modal sosial di

lingkungan mahasiswa UKSW maka kebiasaan untuk hidup bergerombol sesuai dengan

kelompok etnis akan hilang dan yang ada adalah kehidupan yang membaur antar etnis

yang satu dengan etnis yang lain. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa modal sosial

merupakan hal terpenting dalam upaya mengelola kehidupan masyarakat yang

multikultural.

Richard Mayopu sebagai senior sekaligus mantan pengurus kelompok etnis

mahasiswa Ikmasti (Timor) terkait dengan pergaulan sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi pengelolaan konflik mengatakan bahwa:

―Coba kita perhatikan, sebagian besar kelompok etnis mahasiswa

yang melakukan konflik pasti berasal dari Indonesia bagian Timur. Kita sama-sama dari Timur, jadi sebisa mungkin kita harus berusaha untuk meminimalisir terjadinya konflik. Mungkin sekarang gaya-gayanya sudah agak berbeda, kalau dulu, kita saling kenal dengan mahasiswa dari etnis lain, karena pada waktu itu senior-senior kami juga mengajarkan untuk saling mengenal etnis lain. Berbeda dengan sekarang, mereka lebih senang untuk bergaul dengan etnis atau sukunya sendiri, kebiasaan mahasiswa untuk membaur atau bergaul dengan etnis lain sangat kurang. Itu memang baik, tapi akan menjadi lebih baik jika kita bisa mengenal etnis lain, buktinya karena kedekatan itulah dalam setiap masalah senior ikut turun tangan dalam proses penyelesaiannya, jika tidak ada kedekatan senior dengan etnis lain pasti cukup susah dalam mendamaikan konflik antaretnis. Bergaul dengan etnis lain dan membangun kedekatan emosional juga sangat penting untuk meminimalisir terjadinya konflik, oleh karenanya hal tersebut harus dikembangkan oleh masing-masing kelompok etnis agar potensi-potensi konflik yang ada dapat diminimalisir.‖

Berdasarkan pada pengamatan lapangan dengan data yang diperoleh, penulis

menemukan bahwa faktor pergaulan merupakan salah satu faktor penting dalam

kaitannya dengan pengelolaan konflik antar kelompok etnis mahasiswa di UKSW.

(13)

100

komunikasi yang baik dan dapat mengurangi intensitas terjadinya konflik

antarkelompok. Dalam proses pergaulan antar kelompok etnis mahasiswa,

masing kelompok etnis akan meninggalkan sejenak identitas komunitasnya

masing-masing dan membaur untuk saling pempelajari karakter-karakter yang lain, dalam

proses pergaulan itu juga akhirnya dapat menghasilkan modal sosial yang baru, akan

muncul norma-norma seperti saling menghargai dan saling toleran. Selain itu, modal

sosial yang terbentuk juga akan menghasilkan jaringan antar kelompok yang dapat

difungsikan untuk penyelesaian konflik ketika terjadi perselisihan antarkelompok. Oleh

karena itu, sebagian besar konflik antarkelompok etnis mahasiswa yang terjadi selama

ini dapat terselesaikan secara kekeluargaan.

Secara lebih rinci, berkaitan dengan pergaulan sebagai salah satu faktor dalam

pengelolaan konflik di lingkungan UKSW, hal tersebut dapat dijelaskan seperti yang

terlihat dalam bagan sebagai berikut:

Bagan 6.2

Komunikasi Lintas Budaya

Dalam bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa modal sosial dan komunikasi

antarbudaya merupakan suatu kesatuan yang saling mendukung, secara tidak disadari,

manusia yang merupakan mahkluk sosial hidup dengan mengandalkan modal sosial dan

dalam proses pembentukan modal sosial akan terjadi sebuah komunikasi antarbudaya.

Hal ini selaras dengan keberadaan komunitas etnis yang ada di Salatiga yang selalu

HARMONISASI MODAL SOSIAL BARU KOMUNIKASI LINTAS -BUDAYA

-SUKU -AGAMA

KOMUNITAS B (Modal sosial) KOMUNITAS A

(Modal sosial)

(14)

101

berusaha untuk mengandalkan modal sosial untuk bisa Survive. Modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat (strong community), masyarakat sipil

yang kokoh, maupun identitas negara-bangsa (nation-state identity). Melihat pada

keterangan-keterangan yang didapat, modal sosial yang terjadi antarkomunitas telah

terbangun sejak lama. Modal sosial yang terbentuk adalah turun-temurun (bukan

warisan) dari para senior kelompok etnis mahasiswa. Dalam kaitannya dengan

pengelolaan konflik di lingkungan mahasiswa, modal sosial itulah yang digunakan

untuk mencegah dan menyelesaikan konflik. Nilai-nilai yang terkandung dalam modal

sosial seperti kepercayaan, relasi dan norma seringkali digunakan para senior etnis

untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan.

Penyelesaian konflik dengan cara kekeluargaan dilakukan dengan memanfaatkan

elemen-elemen dalam modal sosial yaitu:

1. Trust : adanya rasa saling percaya antara kedua etnis untuk menyelesaikan

masalah. Rasa saling percaya ini dibuktikan dengan tindakan negosiasi yang

dilakukan tanpa campur tangan pihak kepolisian. Pihak kepolisian hanya

bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai mediator sebab yang menjadi

mediator adalah dua komunitas etnis tersebut. Hal ini bisa terjadi karena

adanya rasa ―bagian dari‖ suatu keutuhan. Yang dimaksud dengan keutuhan

adalah rasa bahwa kedua etnis tersebut merupakan bagian dari Indonesia

Timur. Walaupun terdengar seperti rasis, namun inilah kenyataan yang

terjadi bahwa mereka merasa adalah satu ras (berkulit hitam dan berambut

tidak lurus). Hal ini adalah bentuk dari asosiasi sukarela yang merupakan

syarat berdirinya masyarakat modern.

2. Networking : adanya rasa saling membutuhkan antar kedua belah pihak yang

bertikai sehingga mampu membentuk kondisi rekonsiliasi yang cepat. Dan

mereka juga sadar bahwa jaringan ini akan berlaku dalam jangka waktu yang

sangat panjang (beberapa tahun kedepan ketika sudah kembali ke kampung

halaman masing-masing ataupun menetap di Salatiga dan sekitarnya.

3. Sharing : adanya rasa untuk saling berbagi antara etnis tersebut. Yang di bagi

(15)

102

terbuka bagi kedua pihak. Hal ini merupakan faktor yang sangat vital dalam

proses rekonsiliasi dan pembenahan kedua komunitas etnis tersebut.

Oleh karena itu, dalam upaya mengelola konflik di lingkungan UKSW maka

sangat diharuskan untuk tetap menghidupkan dan memelihara modal sosial dan faktor

pergaulan, karena secara langsung ataupun tidak langsung faktor pergaulan dan modal

sosial dapat digunakan untuk pencegahan dan penyelesaian konflik.

6.1.3. Faktor Kondusifitas Proses Belajar Mengajar

Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindari dan

cenderung menghambat pencapaian tujuan organisasi. Sumber-sumber organisasi—

sumber daya manusia, sumber daya finansial dan sumberdaya teknologi—digunakan

untuk menyelesaikan suatu konflik bukan untuk meningkatkan produktivitas organisasi.

Oleh karena itu manajemen konflik harus dilakukan secara sistematis untuk mencapai

tujuan organisasi (Wirawan, 2010:132). Dalam hal ini, seperti yang telah juga

dipaparkan dalam Bab IV pada gambaran umum wilayah penelitian, UKSW sebagai

organisasi tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. UKSW sebagai lembaga

pendidikan memiliki banyak tujuan yang salah satunya adalah turut membantu

Pemerintah Indonesia dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dengan

memberikan hak yang sama kepada semua orang yang memenuhi syarat untuk

menikmati pendidikan akademik dan pendidikan profesional agar dapat

mengembangkan dirinya sebagai manusia yang mandiri dalam masyarakat.

Dalam kaitannya turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satu Visi

UKSW adalah menciptakan provil lulusan yang creative minority, hal tersebut tentunya dapat terwujud dengan didorong oleh sistem pengajaran yang kondusif tertib dan aman.

Oleh karena itu lingkungan yang tertib dan aman menjadi satu faktor yang

mempengaruhi pengelolaan konflik di UKSW. UKSW sebagai organisasi dalam upaya

mewujudkan visi dan misinya harus mampu mengarahkan sub-sub sistem di dalamnya

untuk turut serta melaksanakan program/kegiatan dalam upaya perwujudan visi.Semua

subsistem dan para anggotanya harus mampu bekerjasama saling mendukung dan saling

membantu untuk mencapai tujuan organisasi. Kesadaran akan tujuan menciptakan

kondisi yang tertib dan aman dalam upaya mewujudkan tujuan UKSW secara organisasi

(16)

103

dengan hal tersebut akan tercipta proses belajar mengajar yang kondusif dan tercapai

tujuan UKSW secara organisasi.

UKSW sebagai organisasi yang memiliki tujuan turut mencerdaskan bangsa harus

mampu meredam konflik atau meminimalisir konflik antar kelompok, karena secara

langsung ataupun tidak langsung kejadian konflik yang melibatkan mahasiswa akan

berpengaruh pada ketidakkondusifan proses belajar mengajar. Dalam kaitannya dengan

hal tersebut, Yafet Y.W. Rissi mengatakan bahwa:

―Seluruh mahasiswa yang menjadi bagian UKSW tentu datang kemari

memiliki tujuan yang jelas, yaitu menimba ilmu. Bahkan UKSW secara organisasi juga memiliki tujuan yang salah satunya adalah turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dalam hal ini dilakukan melalui kegiatan akademik. Mahasiswa dapat berpengetahuan dan UKSW dapat mencapai tujuannya jika dalam proses belajar-mengajar tercipta kondisi yang kondusif, tertib dan aman, oleh karena itu UKSW secara organisasi berkaitan dengan terjadinya konflik antar

kelompok etnis mahasiswa harus mampu meredam atau

meminimalisir terjadinya konflik. Oleh karenanya, dalam upaya melakukan pengelolaan konflik antar kelompok etnis mahasiswa yang dilakukan bersama dengan lembaga lain, ingin menciptakan proses belajar mengajar yang kondusif. Dengan kondisi belajar yang kondusif, tertib dan aman, maka proses belajar-mengajar akan berjalan

dengan baik, dan hal tersebut sudah tercipta di kampus ini.‖

Organisasi yang mapan tentunya memiliki visi-misi dan tujuan yang strategis.

Ketiganya harus dicapai atau direalisasikan dengan cara yang sistematis dan dalam

kurun waktu yang direncanakan. Konflik dapat mengganggu perhatian serta

mengalihkan energi dan kemampuan anggota organisasi untuk mencapai visi-misi dan

tujuan yang strategis dari organisasinya. Jika tidak dimanajemeni dengan baik, konflik

akan berkembang menjadi konflik destruktif bagi pihak-pihak yang terlibat konflik.

Mereka akan lebih memfokuskan diri pada konflik dan bukan pada pencapaian

visi-misi. Oleh karenanya, situasi proses belajar mengajar yang kondusif menjadi salah satu

faktor dalam pengelolaan konflik, dan hal tersebut didasarkan pada keinginan untuk

mewujudkan visi-misi UKSW sebagai lembaga pendidikan.

UKSW sebagai organisasi/lembaga pendidikan memiliki tanggungjawab penuh

terhadap terciptanya kondusifitas proses belajar-mengajar bahkan lebih daripada

tanggungjawab moral. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa hal yang harus

(17)

104

antar sub-sub sistem yang ada di dalamnya. Ikatan sinergi yang dimaksudkan adalah

bertujuan untuk mengikat semua subsistem menjadi satu kesatuan sistem agar bergerak

bersama-sama secara harmonis ke arah tujuan organisasi. Selain itu, upaya-upaya yang

perlu dilakukan oleh UKSW adalah memberikan penyadaran terhadap sub-sub sistem

dan seluruh elemen yang ada mengenai pentingnya menjaga situasi yang kondusif, yang

tentunya dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti melalui kegiatan akademik

maupun kegiatan nonakademik.

Berkaitan dengan upaya-upaya penyadaran kepada seluruh elemen/bagian Satya

Wacana terkait dengan pentingnya situasi yang kondusif, Yafet Y.W. Rissi juga

menambahkan bahwa:

―Ada banyak upaya yang kami lakukan, baik itu melalui kegiatan akademik maupun kegiatan nonakademik, karena tujuan dari organisasi ini adalah mendidik. Upaya nonkademik yang kami lakukan adalah dengan cara mendatangi setiap kegiatan yang dilakukan oleh kelompok etnis, seperti kegiatan malam keakraban etnis, disitu kita memberikan banyak pemahaman mengenai pentingnya kondisi yang harmonis. Sedangkan dalam kegiatan akademik hal yang kami lakukan adalah sama, memberikan pemahaman kepada seluruh elemen yang dalam hal ini melalui sub-sub sistem yang ada mengenai akan pentingnya kondisi yang harmonis. UKSW dalam hal ini memang bertanggungjawab penuh dalam upaya menciptakan kondisi/situasi yang harmonis, dan tujuan

itu baik, maka sejauh ini kami lakukan dengan baik.‖

Sebagai mayarakat akademis, kesadaran mengenai heterogeninas dan kehidupan

yang harmonis harusnya dimiliki oleh masing-masing individu, karena kesadaran itulah

yang membawa kita untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan aman. Hanya

saja, faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan konflik pasti akan datang silih berganti,

karena dalam kehidupan manusia potensi konflik akan selalu ada. Upaya-upaya

penyadaran yang dilakukan oleh UKSW sejauh ini memang sudah cukup baik, hanya

mungkin belum maksimal, karena meski UKSW sebagai organisasi pendidik telah

memberikan penyadaran untuk hidup harmonis, konflik antar kelompok etnis

mahasiswa masih muncul. Oleh karena itu, kesadaran tersebut harus terus ditumbuh

kembangkan di lingkungan UKSW, karena jika tidak, maka dapat mengganggu tujuan

(18)

105

UKSW sebagai lembaga akademisi tentu harus mampu memanfaatkan proses

belajar mengajar yang kondusif untuk menanamkan nilai-nilai kedamaian melalui

kelas-kelas perkuliahan. Menurut hemat penulis, ada beberapa mata kuliah yang dapat

digunakan oleh UKSW untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan, seperti mata kuliah

Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan beberapa

mata kuliah lainnya. Melalui kelas perkuliahan itulah seharusnya UKSW masuk untuk

memberikan pemahaman kepada seluruh mahasiswanya mengenai arti penting

perdamaian dalam lingkup yang multikultural. Menurut hemat penulis, jalur akademik

tersebut sangat efektif digunakan untuk memberikan pemahaman-pemahaman dasar

mengenai perdamaian, saling toleransi dan menghargai, tanpa kita berupaya lain untuk

menciptakan lingkungan yang tertib dan aman untuk menghasilkan proses belajar

mengajar yang baik, dengan diberikan pemahaman dasar mengenai ketertiban,

perdamaian, toleransi dan saling menghargai akan muncul dengan sendirinya dalam diri

masing-masing mahasiswa.

6.2. Salatiga: “Indonesia Mini yang Beriman”

Salatiga sebagai ―Indonesia Mini yang Beriman‖ merupakan sebuah konstruksi

pemikiran yang dilakukan penulis bersadasarkan hasil deskripsi tentang pengelolaan

konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan konflik yang sudah diuraikan

pada bagian sebelumnya. Terminologi ―Indonesia Mini yang Beriman‖ merupakan

formulasi dari semboyan yang diusung oleh Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)

dan kota Salatiga. UKSW sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi hadir dan menjadi

bagian dari kota Salatiga dengan mengusung semboyan sebagai ―Indonesia Mini‖

semboyan ini didasarkan atas fakta kemajemukan atau kebhinekaan etnis, suku, bahasa,

budaya termasuk agamayang hidup dan saling berinteraksi di UKSW.

Salatiga dalam beberapa referensi ditemukan bahwa kota ini merupakan

kotamadya yang secara administratif kewilahaan berukuran kecil, namun tingkat

kemajemukan masyarakatnya cukup tinggi. Hal ini tentu dipengaruhi juga dengan

kehadiran beberapa perguruan tinggi yang ada di Salatiga. Tingkat kemajemukan yang

tinggi ini lalu diikat dengan semboyang HATI BERIMAN yang ditetapkan dengan

Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Salatiga, No. 10 Tahun 1993. Hati Beriman,

(19)

106

Beriman mengandung arti: sejiwa dengan Sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang

Maha Esa. Dengan demikian rangkaian kata "SALATIGA HATI BERIMAN"

mempunyai makna: "suasana kehidupan kota/masyarakat Salatiga yang sehat,

tertib,bersih, indah dan aman dimana penduduknya adalah insan yang percaya dan

taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut agama dan kepecayaannya

masing-masing.

Kenyataan akan heterogenitas (multikultural) masyarakat yang hidup dalam

wilayah (Salatiga) yang relatif kecil niscaya ―pertemuan budaya‖ itu menimbulkan

permasalahan jika tidak dikelola dengan tepat. Hasil penelitian membuktikan bahwa

konflik antar etnis memang sering terjadi, namun yang manarik adalah konflik etnis

dengan latarbelakang apapun tidak pernah menjadi ―ledakan besar‖ yang

menggungcang dan menarik minat media untuk memberitakannya, seperti

konflik-konflik yang terjadi di beberapa daerah lainnya. Atas dasar itu, deskripsi pengelolaan

konflik dan analisa faktor-faktor yang mempengaruhi mengerucut pada pertanyaan:

mengapa konflik di Salatiga tidak pernah menjadi ledakan konflik besar yang

mengguncang Indonesia mengingat tingkat kemajemukan yang begitu tinggi hidup

dalam wilayah yang relatif kecil? ―Indonesia Mini yang Beriman‖ merupakan referensi

yang tepat untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) didirikan atas dasar nilai Kristiani.

Bukan berarti peneliti ingin mengakatan bahwa hanya dengan nilai-nilai kristiani (nilai

tunggal) konflik dapat teratasi, tetapi bagaimana nilai-nilai kristiani itu

diimplementasikan dalam kehidupan kampus sebagai bentuk penghargaan kepada

perbedaan atau penghargaan kepada kemanusiaan (humanity). Salah satu nilai dasar kristen yang diyakini dan diajarkan di UKSW adalah ―Persekutuan Tubuh Kristus‖

sebab manusia Imago Dei–segambar dengan Penciptanya. Konsep Imago Dei dipahami dan diimplementasikan sebagai: a) manusia sebagai mitra Tuhan; b) kesamaderajadan

manusia dihadapan Tuhan; c) kesetaraan dosen dan mahasiswa; dan d) penghargaan

terhadap perbedaan atas dasar KASIH.

Dengan pemahaman seperti itulah, maka nilai-nilai Kristiani (Imago Dei dan KASIH) itu menjadi nilai universal yang dapat mengeratkan mahasiswa dan

(20)

107

menjadi dasar bagi perilaku berinteraksi baik dosen, pegawai dan mahasiswa (civitas

akademika UKSW) yang mampu membentuk persepsi setiap individu untuk hidup

bertoleran dengan liyan. Walaupun demikian, implementasi nilai-nilai Kristiani ini tidak dalam rangka mengkristenkan yang bukan Kristen. Di sinilah pemahaman dan

pengakuan dari civitas akademika UKSW akan kehidupn yang bertoleran, saling

menghargai, saling menghormati untuk mengeratkan kebersamaan dalam perbedaan itu

mengerucut pada pengidentifikasian diri (UKSW) sebagai Indonesia Mini, miniaturnya

Indonesia.

―Manusia UKSW‖ yang mengakui Imago Dei dan KASIH sebagai dasar perilaku dan berintekasi dengan sesama itu tentu BERIMAN menurut agama dan

kepercayaannya masing-masing. Sebab UKSW sebagai miniatur Indonesia tentu

mengakui Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Tuhan mereka–

Tuhannya orang Indonesia yang berkebudayaan. Karena itu, selain kemajemukan

budaya yang ada di UKSW, kemajemukan agama di Salatiga juga bisa hidup berdamai,

bahkan aliran Kepercayaan (agama suku) Kejawen juga diberi ruang yang sama dengan

agama-agama yang diakui negara untuk hidup dan berkembang di Salatiga.

Dengan demikian, kalau UKSW mampu mengidentifikasi dirinya sebagai

Indonesia Mini, maka tentu UKSW juga mampu mengindentifikasi dirinya sebagai

Salatiga Mini atau dengan bahasa lain, kalau Indonesia saja mampu di miniaturkan

menjadi dirinya mengapa Salatiga tidak?

Deskripsi dan analisis terhadap pengelolaan konflik dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya membuktikan bahwa nilai-nilai kristiani yang menjadi dasar hidup

UKSW dalam menagtur kemajemukan ―dalam dirinya‖ serta dalam ―pertemuannya

dengan semboyan HATI BERIMAN nilai yang mengikat dan mendamaikan

kemajemukan di Salatiga, dalam implementasi keduanya saling berkontribusi dan tidak

bertentangan; manusia yang memiliki ―HATI BERIMAN‖ tentu manusia yang mau

hidup bertoleran, menghargai, menghormati dan saling mencintai serta mengasihi

sesamanya. Itulah manusia Pancasila dalam perspektif Indonesia.

Dalam konteks Salatiga, kemampuan mengimplementasikan dan menjadikan

nilai-nilai HATI BERIMAN itulah yang memungkinkan tidak terjadinya konflik dengan

(21)

108

untuk memberitakan sebagai guncangan gelombang yang menghantam wajah Salatiga,

Indonesia bahkan dunia. Dengan demikian tingkat kemajemukan, keanekaragaman atau

kebhinekaan yang hidup dan saling bertemu setiap saat belum tentu menjadi masalah

serius yang bisa merusak kebersamaan. Dia hanya akan berjawah sangar dan

―mengganas‖ apabila tidak memiliki nilai dasar bersama yang baik dan tidak dikelola

dengan baik.

Salatiga yang merupakan kota multikultural mampu membuktikan bahwa

masyarakatnya bisa hidup bersama dengan damai, bertoleran, saling menghargai, saling

mengasihi dalam perbedaan itu. Salatiga sebagai Indonesia Mini Yang Beriman,

merupakan contoh penting yang dapat dirujuk sebagai pengelolaan konflik pada tingkat

Referensi

Dokumen terkait

In this study, we compare and contrast estimates of deformation obtained from different pre and post-event airborne laser scanning (ALS) data sets of the 2014 South Napa

• Teori kepemimpinan awal berfokus pada pemimpin (teori ciri) dan cara pemimpin berinteraksi dengan anggota kelompok (teori perilaku). Enam ciri terkait kepemimpinan

[r]

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah

KUDUS-PURWODADI NO.93 MENGUMUMKAN RENCANA UMUM PENGADAAN BARANG/JASA UNTUK PELAKSANAAN KEGIATAN TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013, SEPERTI TERSEBUT DIBAWAH INI. NON LELANG/

Pengetahuan fisis adalah suatu pengetahuan yang menunjukkan karakteristik fisik (ukuran, bentuk, warna, tekstur dsb) dari suatu objek/benda dan interaksi maupun

Apabila Saudara membutuhkan keterangan dan penjelasan lebih lanjut, dapat menghubungi kami sesuai alamat tersebut di atas sampai dengan batas akhir pemasukan Dokumen