Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh: Meidiana Sapoetro
NIM : 039114045
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh: Meidiana Sapoetro
NIM : 039114045
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv (Mazmur 31:32 )
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktuNya… (Pengkotbah 3:11a)
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 4 September 2009
Peneliti
vi
Meidiana Sapoetro 039114045
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal yang orang tuanya mengalami perceraian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang dilakukan terhadap 38 orang subjek yang berusia antara 20 sampai 40 tahun. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang berjumlah 27 aitem dan pemberian skor dilakukan dengan menggunakan metode rating yang dijumlahkan. Analisis data menggunakan one sample t test untuk mengetahui arah sikap terhadap pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan individu dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua memiliki sikap positif terhadap pernikahan.
vii ABSTRACT
ATTITUDE TO MARRIAGE OF YOUNG ADULT WITH PARENT DIVORECE HISTORY
Meidiana Sapoetro 039114045
The aim of this research was to know the attitude to marriage of young adult with parent divorce history. This research was quantitative descriptive research that was done to 38 subjects that aged between 20 until 40 years old. This research used questioner that was content 27 items and giving score was done by
summated rating method. Data analysis used one sample t test to know the direction of attitude to marriage. The result of research showed that young adult have positive attitude to marriage.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Bapa di surga atas berkat, rahmat dan
kasihNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan oleh peneliti guna memenuhi
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Peneliti menyadari
bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari saran, dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti hendak
menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada:
1. Bapak Eddy Suhartono, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi atas
waktu dan kesabarannya dalam memberikan pengarahan, masukan dan
saran, koreksi serta dukungan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dosen Pembimbing
Akademik.
4. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si. dan Ibu MM. Nimas Eki S., S.Psi.,
M.Si. selaku dosen penguji atas waktu, saran, koreksi, serta masukan yang
berharga.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah membagikan
ilmu pengetahuannya kepada peneliti selama menempuh perkuliahan.
6. Seluruh staff Fakultas Psikologi Sanata Dharma, Mas Muji, Mas Gandung,
Mas Doni, Pak Gie, dan Mbak Nanik atas informasi dan bantuannya
x
7. Orang tuaku tercinta, Papa Awet Joyo Sapoetro dan Mama Yenny
Cemerlang, atas support baik secara moril maupun materiil, cinta dan
kasih sayang yang tanpa pamrih, serta kesabaran yang besar dalam
menunggu kelulusanku.
8. Adikku tersayang, Ardian Sapoetro atas kasih sayang, dukungan dan
bantuan yang telah diberikan.
9. Daniel Kurniawan, S.Kom., M.M. atas perhatian, semangat, kasih sayang,
serta bantuan dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi ini.
10.Sahabat-sahabat dan teman-temanku Psikologi angkatan 2003, mira, olin,
mita, aning, tanti, yosi, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu
persatu atas kebersamaan dan suka duka yang telah kita lalui.
11.Sahabat-sahabatku yang tidak pernah lelah dalam memberikan semangat,
natalia, oki, sherly, lia, yandy, yonx, krisna, rina, dan semuanya yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
12.Seluruh Subjek Penelitian atas kontribusinya sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
13.Semua pihak yang telah membantu dan belum tersebutkan.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tentunya tidak luput dari
kesalahan dan kekurangan. Meskipun demikian, peneliti berharap skrispsi ini
dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Yogyakarta, 23 Agustus 2009
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II LANDASAN TEORI ... 7
A. Sikap Terhadap Pernikahan ... 7
1. Pengertian ... 7
2. Aspek Sikap Terhadap Pernikahan ... 11
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Terhadap Perkawinan .... 12
B. Perceraian ... 14
1. Pengertian Perceraian ... 14
2. Perlindungan Hukum Pada Anak yang Mengalami Perceraian Orang Tua ... 15
3. Dampak Perceraian Pada Anak ... 16
C. Dewasa Awal ... 20
xii
2. Karakteristik Umum dan Tugas Perkembangan Dewasa Awal ... 21
D. Sikap Terhadap Pernikahan Pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami Perceraian Orang Tua ... 23
BAB III METODE PENELITIAN... 28
A. Metode Penelitian ... 28
B. Variabel Penelitian ... 28
C. Definisi Operasional ... 28
D. Subjek Penelitian ... 29
E. Alat Pengumpulan Data ... 30
1. Penyusunan Aitem ... 30
2. Pemberian Skor Skala Sikap Terhadap Pernikahan dan Perceraian . 30 F. Validitas, Uji Daya Beda, dan Reliabilitas ... 32
1. Validitas ... 32
2. Uji Daya Beda ... 33
3. Reliabilitas ... 37
G. Metode Analisis Data ... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
A. Pelaksanaan Penelitian ... 39
B. Hasil Penelitian ... 40
1. Karakteristik Subjek ... 40
2. Analisis Data ... 42
a. Analisis Data ... 42
b. Kategorisasi ... 44
C. Pembahasan... 45
BAB V KESIMPULAN ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 52
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Distribusi Aitem Skala Sikap Terhadap Pernikahan ... 30
Tabel 3.2 Uji Daya Beda 30 Aitem ... 35
Tabel 3.3 Uji Daya Beda 27 Aitem ... 36
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 40
Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia ... 40
Tabel 4.3 Karakteristik Subjek Berdasarkan Pendidikan ... 41
Tabel 4.4 Karakteristik Subjek Berdasarkan Pekerjaan ... 41
Tabel 4.5 Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia Saat Orang Tua Bercerai ... 42
Tabel 4.6 Deskripsi Data Penelitian ... 42
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
A. Kuesioner ... A-1 B. Data Hasil Kuesioner 30 Aitem ... B-1 C. Hasil Uji Daya Beda 30 Aitem ... C-1 D. Data Hasil Kuesioner 27 Aitem ... D-1 E. Hasil Uji Daya Beda 27 Aitem ... E-1 F. Hasil Uji Reliabilitas Alfa Cronbach ... F-1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi individu dewasa awal yang tidak
ingin melakukan pernikahan meskipun dari segi ekonomi dan kematangan
psikologis sudah layak untuk berumah tangga. Individu tersebut kemungkinan
tidak ingin melakukan pernikahan karena dihantui oleh ingatan akan perceraian
yang buruk dari orang tuanya. Hal ini merupakan salah satu sikap yang negatif
terhadap pernikahan sebagai dampak dari pernikahan orang tuanya yang gagal.
Pernikahan sendiri merupakan salah satu hal yang penting di dalam
kehidupan. Dengan adanya pernikahan, seorang wanita dan seorang pria akan
secara sah menjadi sepasang suami istri yang dapat saling berbagi banyak hal,
melimpahkan dan mendapatkan kasih sayang, memperoleh keintiman tanpa
melanggar norma masyarakat, serta memperoleh keturunan yang merupakan salah
satu fase yang dianggap penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini
sejalan dengan yang diungkapkan Wahyu (2009) bahwa dengan pernikahan
seseorang mendapatkan teman hidup, pelipur lara, kepuasan seksual, keturunan,
kekerabatan, kenikmatan fisik, kebanggaan diri, hiburan-hiburan, kebersamaan,
Setiap manusia yang memasuki mahligai rumah tangga pasti menginginkan
kehidupan yang bahagia, harmonis, aman, tenteram dan sejahtera (Triadi, 2005).
Ketika melangsungkan pernikahan hampir semua orang mengharapkan
kebahagiaan dan ikatan pernikahan yang langgeng. Pernikahan menuntut adanya
penyesuaian diri terhadap tuntutan peran dan tanggung jawab baru dari kedua
pasangan, harapan-harapan tersebut sering kandas di tengah jalan dan tidak
menjadi kenyataan. Hal ini adalah karena penyesuaian diri bukanlah merupakan
sesuatu yang mudah bagi masing-masing pasangan (Desmita, 2007). Apabila
perbedaan-perbedaan individu dalam pernikahan bisa disatukan, maka akan
menjadi persatuan yang indah, akan tetapi ketika masing-masing pihak
mengutamakan egonya sendiri-sendiri, maka yang terjadi adalah kehancuran. Hal
inilah yang kemudian menjadikan pernikahan mengalami perceraian.
Perceraian merupakan putusnya ikatan pernikahan yang terjadi apabila
kedua belah pihak baik suami maupun istri merasakan ketidakcocokan dalam
menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Pernikahan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus namun
dalam Pasal 38 menyebutkan bahwa pernikahan bisa putus karena: (1) kematian,
(2) perceraian, (3) atas keputusan pengadilan.
Perceraian yang mengakibatkan putusnya hubungan suami-istri dapat
memberi trauma bagi anak dan berdampak pada sikapnya terhadap pernikahan.
Hal ini bisa terjadi karena dalam proses menjelang perceraian sering kali diwarnai
pertengkaran yang membuat anak melihat semua pertengkaran tersebut dan
Masalah yang memicu pertengkaran suami istri banyak sekali, antara lain
masalah ekonomi, seks, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Salah satu
masalah yang seringkali menjadi penyebab perceraian adalah masalah
perselingkuhan. Perselingkuhan selalu menjadi bom waktu bagi keutuhan suatu
rumah tangga, yang sewaktu-waktu bisa meledak, membinasakan keharmonisan
suatu keluarga, bahkan bisa membinasakan pelakunya sendiri.
Sebuah berita di koran Jawa Pos tanggal 23 Maret 2005 (dalam Triadi, 2005)
membuktikan hal itu. Kapolsek Sawan AKP Cede Sukarda tewas ditembak oleh
istrinya Ni Made Sunu, 45, yang sudah memberikan tiga putri dan satu putra.
Sunu merasa emosi ketika Sukarda 2 hari tidak pulang ke rumah dan mengaku
mempunyai wanita idaman lain (WIL) di Denpasar yang sudah hamil dua bulan.
Sunu tidak bisa mengendalikan emosi dan akhirnya ketika suaminya sedang
memasang pakaian, ditembaknya sampai semua peluru yang ada di pistol habis.
Kejadian ini membuat anak-anak Sunu menjadi mengalami depresi, ayah mereka
meninggal, ibu mereka masuk penjara, belum lagi bayangan pertengkaran demi
pertengkaran yang pernah terjadi antara ayah dan ibu mereka, semuanya
membekas di hati anak-anak tersebut yang memungkinkan membuat mereka
menyikapi pernikahan dengan sikap yang negatif.
Hal lain yang dapat membuat anak bersikap negatif pada pernikahan adalah
perceraian yang diawali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Anak
menjadi saksi dari kekerasan yang terjadi dalam keluarga, ikut menjadi korban
yang disakiti secara fisik, dan ikut merasakan sakit hati atas semua kekerasan
persepsi yang negatif terhadap pernikahan dan akhirnya bersikap negatif pula
terhadap pernikahan.
Nazwa (2008) menyatakan banyak sekali dampak negatif perceraian yang
bisa muncul pada anak. Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi
pembangkang, tidak sabaran, impulsif, apatis, menarik diri dari lingkungan,
adalah dampak-dampak perceraian pada anak. Selain itu, anak akan merasa
bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab
perceraian orangtuanya. Dampak lain adalah anak jadi ketakutan terhadap
kegagalan dan prahara dalam berumah tangga, yang akhirnya melahirkan sikap
traumatis sehingga membuat mereka takut untuk berumah tangga. Hal ini bisa jadi
terus mempengaruhinya hingga ia memasuki usia untuk memasuki dunia
pernikahan.
Menurut Hurlock (1980) munculnya sikap terhadap pernikahan pada
umumnya terjadi pada individu ketika memasuki masa dewasa awal. Hal ini
disebabkan tugas perkembangan dewasa awal adalah dimulainya masa menikah
dan membina keluarga. Menurut Hurlock (1980) tugas perkembangan dalam masa
dewasa awal adalah masa dimulainya upaya untuk memilih pasangan hidup dan
bekerja. Dewasa awal sendiri adalah mereka yang berusia 18 tahun sampai
kira-kira 40 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2006) sikap terhadap
pernikahan oleh individu yang memasuki dewasa awal pada umumnya tidak
dibayangi oleh ketakutan akan perceraian, melainkan berkaitan dengan kesiapan
agama. Akan tetapi sikap individu terhadap pernikahan dapat berubah apabila
orang tuanya mengalami perceraian, apalagi perceraian yang penuh konflik
sebagaimana dikemukakan pada fakta kasus di atas.
Sejalan dengan itu, (Astrella, dalam Dewi, 2006) berpendapat bahwa
perceraian akan mengubah sikap individu terhadap peranan orang tua dalam
keluarga, gambaran peran suami-istri dalam masyarakat, pandangan individu akan
pernikahan, serta pasangan. Jika dalam lingkungan keluarga, anak mendapati
kasus orang tua yang penuh dengan kekerasan dan berakhir dengan perceraian
maka hal itu dapat membentuk sikap yang negatif terhadap pernikahan pada
individu dewasa awal.
Menurut Sears, dkk (1985) sikap merupakan orientasi yang bersifat menetap
dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Komponen kognitif
terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu,
fakta, pengetahuan, dan keyakinan tentang objek. Komponen afektif terdiri dari
seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian.
Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau
kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Oleh karenanya semua nilai-nilai
sosial yang dibawa oleh orangtua akan menjadi sumber contoh utama bagi
anak-anak. Orang tua dapat memberikan contoh secara langsung terhadap anak melalui
kehidupan pernikahannya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini mengkaji
bagaimanakah sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal yang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas masalah penelitian yang muncul dan
ingin dicari jawabnya melalui penelitian ini adalah bagaimanakah sikap terhadap
pernikahan pada individu dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap yang muncul terhadap
pernikahan pada dewasa awal yang orang tuanya mengalami perceraian.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis:
Sebagai tambahan khasanah ilmu pengetahuan dalam
bidang psikologi perkembangan dan klinis, khususnya terkait dengan
sikap terhadap pernikahan.
2. Secara praktis:
Bagi masyarakat dapat bermanfaat untuk mengetahui gambaran
sikap terhadap pernikahan oleh dewasa awal yang mengalami
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sikap Terhadap Pernikahan 1. Pengertian
a. Pernikahan
Pengertian pernikahan menurut Kartono (2006) adalah suatu
peristiwa di mana sepasang mempelai atau sepasang calon suami isteri
dipertemukan secara formal di hadapan penghulu atau kepala agama
serta adanya para saksi. Sementara itu berdasarkan Undang-Undang
(UU) Pernikahan No. 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan adalah perwujudan kesepakatan-kesepakatan lisan
antar dua insan berlainan jenis untuk melebur dua karakter dasar
secara besar-besaran agar menyatu dan berpadu untuk menyongsong
kehidupan mendatang yang diharapkan lebih baik dan lebih lengkap.
Adapun tujuannya adalah membentuk keluarga sejahtera, bahagia
lahir dan batin (Triadi, 2005).
Dalam pandangan Erikson (dalam Desmita, 2007), pernikahan
merupakan keintiman yang biasanya menuntut perkembangan seksual
jenis yang ia cintai, yang dipandang sebagai teman berbagi suka dan
duka. Ini berarti bahwa hubungan intim yang terbentuk akan
mendorong orang dewasa awal untuk mengembangkan genitalitas
seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan
mitra yang dicintai.
Pernikahan menurut Dariyo (2004) adalah ikatan kudus antara
pasangan dari seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah
menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa.
Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus karena hubungan pasangan
antara seorang laki-laki dan seorang wanita telah diakui secara sah
dalam hukum agama.
Berdasarkan pernyataan di atas maka pengertian pernikahan
dapat disimpulkan sebagai ikatan lahir dan batin antara sepasang
wanita dan pria dengan tujuan membentuk rumah tangga yang kekal
yang diakui secara hukum, agama dan masyarakat.
b. Sikap
Azwar (2005), menggolongkan definisi sikap dalam tiga
kerangka pemikiran. Pertama, sikap adalah suatu bentuk evaluasi
atau reaksi perasaan. Berarti sikap seseorang terhadap suatu objek
adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada
objek tersebut. Kedua, sikap merupakan semacam kesiapan untuk
dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan
kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu
apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya respon. Ketiga, sikap merupakan konstelasi komponen
kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.
Sears, dkk (1985) menyatakan sikap merupakan orientasi yang
bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan
perilaku. Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang
dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu, fakta, pengetahuan,
dan keyakinan tentang objek. Komponen afektif terdiri dari seluruh
perasaan atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian.
Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi
atau kecenderungan untuk bertindak terhadap objek.
Menurut Thurstone (dalam Walgito, 1999) sikap merupakan
suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif
dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang
positif, yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negatif adalah afeksi
yang tidak menyenangkan. Objek dapat menimbulkan
berbagai-bagai macam sikap, dapat menimbulkan berberbagai-bagai macam tingkatan
afeksi pada seseorang. Thurstone melihat sikap hanya sebagai
Secara eksplisit Thurstone melihat sikap hanya mengandung
komponen afeksi saja.
Lebih lanjut menurut Thurstone, dkk (dalam Azwar, 2005) sikap
adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak (unfavorable).
Sementara itu Gerungan (dalam Walgito, 2003) menyatakan
bahwa sikap itu merupakan pandangan atau sikap perasaan, sikap
mana disertai oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap
terhadap objek tadi. Jadi sikap menurut pendapat ini mengarah
kepada sesuatu yang membuat terjadinya kecenderungan berperilaku
tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan
kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil
interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling
bereaksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap
suatu objek.
c. Sikap Terhadap Pernikahan
Berdasarkan definisi sikap yang telah diuraikan di atas, maka
dapat diberi definisi sikap terhadap pernikahan sebagai bentuk
merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan
konatif yang saling bereaksi di dalam memahami, merasakan dan
berperilaku terhadap pernikahan.
2. Aspek Sikap Terhadap Pernikahan
Pembentukan sikap terhadap pernikahan merupakan hasil dari
pengalaman yang dilihat dari bentuk pernikahan orang tua maupun
dari orang sekitar. Seperti halnya dimensi dalam sikap pada umumnya
maka dimensi dalam sikap terhadap pernikahan dibagi dalam tiga
dimensi yaitu kognitif, afektif, dan konatif.
Dimensi pertama berupa kognitif merupakan masuknya persepsi
individu terhadap pernikahan. Persepsi tersebut bisa mengarah ke
positif maupun negatif. Persepsi positif disini adalah seseorang
memandang pernikahan sebagai lembaga yang memberikan
kenyamanan serta mendapatkan keintiman dalam ikatan yang sah
secara hukum dan agama. Persepsi negatif terhadap pernikahan adalah
ketika seseorang memandang pernikahan sebagai suatu hal yang
menakutkan karena akan dihadapkan pada masalah-masalah baru
dalam kehidupannya.
Dimensi kedua berupa afektif dimana sikap seseorang sangat
ditunjukkan secara langsung, apakah ia menganggap pernikahan
sebagai sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan. Apabila
seseorang memandangnya secara positif ia akan merasa bahwa
seseorang memandangnya secara negatif, maka ia akan menganggap
pernikahan sebagai sesuatu yang menyedihkan.
Dimensi ketiga berupa konatif dimana dimensi ini menunjukkan
kecenderungan sikap seseorang. Apabila pandangan dan perasaannya
terhadap pernikahan adalah positif, maka seseorang akan cenderung
menerima suatu ikatan pernikahan sebagai fase yang akan dilewati
dalam kehidupannya, sedangkan apabila persepsi dan perasaan
seseorang terhadap pernikahan adalah negatif, maka ia akan
cenderung untuk tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Terhadap Perkawinan Faktor-faktor sikap menurut Walgito (1999:127-128) antara lain:
a. Faktor fisiologis
Faktor fisiologis seseorang akan ikut menentukan bagaimana sikap seseorang. Berkaitan dengan ini ialah faktor umur dan kesehatan. Pada umumnya orang muda sikapnya lebih radikal daripada orang yang telah tua, sedangkan pada orang dewasa sikapnya lebih moderat. Dengan demikian masalah umur akan berpengaruh terhadap sikap seseorang. Orang yang lebih sering sakit lebih bersikap tergantung daripada orang yang tidak sering sakit.
b. Faktor pengalaman langsung terhadap objek sikap
Bagaimana sikap seseorang terhadap objek sikap akan dipengaruhi oleh pengalaman langsung orang yang bersangkutan dengan objek sikap tersebut. Misal orang yang mengalami peperangan yang sangat mengerikan, akan mempunyai sikap yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami peperangan terhadap objek sikap peperangan. Orang akan mempunyai sikap yang negatif terhadap peperangan atas dasar pengalamannya.
c. Faktor kerangka acuan
d. Faktor komunikasi sosial
Faktor komunikasi sosial sangat jelas menjadi determinan sikap seseorang, dan faktor ini yang banyak diteliti. Komunikasi sosial yang berwujud informasi dari seseorang kepada orang lain dapat menyebabkan perubahan sikap pada diri orang yang bersangkutan.
Faktor-faktor sikap terhadap pernikahan dapat dilihat
berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap tersebut diatas.
Usia individu dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pernikahan,
kematangan emosional individu akan berpengaruh terhadap positif
atau negatif sikapnya terhadap pernikahan. Selain itu juga dapat
dengan melihat pernikahan orang tuanya, apabila seorang individu
merasakan perceraian orang tua, meskipun tidak terlibat dalam
pernikahan itu sendiri seorang individu dapat merasakan akibat dari
kegagalan pernikahan orang tuanya, apabila seorang individu dapat
melalui fase menerima perceraian tersebut dengan baik maka sikapnya
terhadap pernikahan dapat positif, akan tetapi apabila tidak dapat
menerima perceraian orang tuanya maka sikapnya terhadap
pernikahan bisa menjadi negatif. Selain itu sikap terhadap pernikahan
juga dapat terpengaruh dengan menyaring informasi-informasi yang
ada sehingga individu dapat menilai bagaimana arti sebuah pernikahan
itu sendiri sehingga dapat menentukan apakah sikapnya terhadap
B. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Menurut UU No 1 tahun 1974 tentang pernikahan, putusnya
pernikahan dapat terjadi oleh karena:
a. Kematian salah satu pihak. b. Perceraian.
c. Atas keputusan pengadilan.
Perceraian menurut Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU Pernikahan:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus cukup ada alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan di atur dalam perundangan tersendiri.
Perceraian dimaknai sebagai terputusnya hubungan suami-istri
yang memiliki dampat besar bagi anak dan berkelanjutan. Perceraian
merupakan alternatif terakhir sebagai solusi pernikahan yang
bermasalah, karena hingga saat penelitian berlangsung individu masih
merasa dampak dari perceraian orang tua yang telah terjadi lebih dari
10 tahun (Astrella, dalam Dewi, 2006).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
perceraian adalah putusnya ikatan rumah tangga antara suami dan istri
2. Perlindungan Hukum Pada Anak yang Mengalami Perceraian Orang Tua
Ketentuan mengenai akibat perceraian terhadap anak diatur
dalam pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974. Adapun isi dari pasal tersebut
adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
Jadi menurut UU No. 1 Tahun 1974 walaupun orang tua sudah
bercerai, mereka masih terikat pada kewajiban memelihara anak-anak
yang telah dilahirkan dari pernikahan mereka. Juga dapat diketahui
bahwa baik ibu ataupun bapak mempunyai hak yang sama terhadap
pemeliharaan anak. Persamaan hak untuk memelihara ini sering
menjadi pemicu perebutan hak pemeliharaan anak antara ayah dan
ibu. Atas perebutan hak pemeliharaan anak Pengadilan yang akan
memutuskan siapa yang berhak untuk itu. Dalam memberikan
keputusan Pengadilan semata-mata memperhatikan kepentingan anak,
misalnya jika anak masih berumur kurang dari 12 tahun, maka
Pengadilan akan memberikan hak pemeliharaan kepada ibu, karena
anak yang masih dibawah umur tersebut, jika anak sudah dapat
memilih, maka anak disuruh memilih untuk ikut ibu atau ikut ayahnya.
Apapun yang menjadi keputusan hakim, ayah sebagai mantan suami
tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada anak untuk biaya
hidup dan pendidikannya. Walaupun demikian ibu juga dapat
ditetapkan untuk ikut memikul beban biaya pemeliharaan anak
tersebut.
Berdasarkan ketentuan undang-undang di atas, dapat diketahui
bahwa dampak perceraian yang dimuat hanyalah yang berdimensi
fisik, tetapi tidak diatur dampak psikisnya.
3. Dampak Perceraian Pada Anak
Rumah tangga yang pecah karena perceraian dapat lebih
merusak anak dan hubungan keluarga ketimbang rumah tangga yang
pecah karena kematian. Terdapat dua alasan untuk hal ini. Pertama,
periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi
anak daripada periode penyesuaian apabila pernikahan orang tuanya
pecah karena kematian (Hurlock, 1978). Hozman dan Froiland (dalam
Hurlock, 1978) menemukan bahwa kebanyakan anak melalui lima
tahap dalam penyesuaian ini: penolakan terhadap perceraian,
kemarahan yang ditujukan pada mereka yang terlibat dalam situasi
tersebut, tawar-menawar dalam usaha mempersatukan orang tua,
Kedua, perpisahan yang disebabkan perceraian itu serius sebab
perceraian cenderung membuat anak ”berbeda” dalam mata kelompok
teman sebaya. Jika anak ditanya kemana orang tuanya atau mengapa
mereka mempunyai orang tua baru sebagai pengganti orang tuanya
yang tidak ada, mereka menjadi serba salah dan merasa malu. Di
samping itu mereka mungkin merasa bersalah jika mereka menikmati
waktu bersama dengan orang tua yang satunya, sementara orang
tuanya yang lain tidak bersama mereka (Hurlock, 1978).
Menurut Rini (2002) dampak psikologis yang biasanya
dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah: tidak aman
(insecurity), tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi,
sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan
diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.
Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat
termanifestasi dalam bentuk perilaku: suka mengamuk, menjadi kasar,
dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak
suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas
sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka
melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.
Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada
awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya
tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan
bertahun-tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi,
tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan
kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak
yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa
perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan
ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa menjadi takut
gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau
lawan jenis (Rini, 2002).
Sejalan dengan Rini, Andreas (2008) dalam penelitiannya
menyebutkan bahwa perceraian orang tua akan membawa pengaruh
langsung bagi anak–anak yang tiba-tiba saja harus menerima
keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, tanpa ada bayangan
bahwa hidup mereka akan berubah secara tiba-tiba. Perceraian
menurut Andreas (2008) selalu menimbulkan akibat buruk pada anak
anak, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik
daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan
pernikahan yang buruk.
Perkembangan anak akibat perceraian orangtuanya akan lebih
menderita dan akan menimbulkan trauma, sehingga membawa
pengaruh langsung dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru yang
diperlihatkan dengan cara dan penyelesaian yang berbeda. Peranan
pada tahun–tahun pertama dalam kehidupannya setelah orang tuanya
bercerai.
Severe (dalam Andreas, 2008) mengemukakan anak dapat
melihat ketegangan yang dialami orang tuanya, tetapi khawatir jika
mengungkapkan emosinya, akan menambah kepedihan setiap orang.
Inilah alasan mengapa sebagian besar anak tidak pernah bicara dengan
orang tuanya tentang perasaannya mengenai perceraian. Perasaan
tersembunyi ini akan meningkatkan kecemasan dan memperlemah
kemampuan anak untuk berprestasi di sekolah. Selain itu, perasaan
yang tertekan bisa menjadi bibit bagi permasalahan yang lebih besar
dalam kehidupannya nanti.
Menurut Handoko (dalam Andreas, 2008) perceraian bagi anak
adalah "tanda kematian" keutuhan keluarganya, hidup tak akan sama
lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima
kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Perasaan
kehilangan, penolakan dan ditinggalkan akan merusak kemampuan
anak berkonsentrasi di sekolah. Perasaan-perasaan tersebut akan
meningkat bila kedua orang tuanya saling menyerang atau menghina.
Bila salah satu orang tua mengatakan hal-hal yang jelek mengenai
pasangannya di depan anak mereka, anak akan cemas bahwa ciri-ciri
yang tidak menyenangkan itu akan melekat pada diri mereka. Amarah
dan agresi merupakan reaksi yang lazim dalam perceraian, hal itu
biasanya akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain, misalnya
kepada rekan-rekan sebayanya dan adik-adiknya karena relatif lebih
aman.
C. Dewasa Awal
1. Pengertian Dewasa Awal
Menurut Hurlock (2002) orang dewasa adalah individu yang
telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan
dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya. Masa dewasa dini
adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu
suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional,
periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan,
perubahan nilai-nilai, kreativitas, dan penyesuaian diri pada pola
hidup yang baru. Usia dewasa dini dari umur 18 tahun hingga kurang
lebih 40 tahun.
Dariyo (2004) menyebutkan bahwa secara umum mereka yang
tergolong dewasa muda ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.
Papalia, Olds, dan Feldman (dalam Dariyo, 2004) menyatakan bahwa
golongan dewasa muda berkisar antara 21-40 tahun.
Menurut Levinson (dalam Monks, 2006) usia dewasa awal
adalah 17-45 tahun. Antara usia 17 dan 22 tahun seseorang ada dalam
dua masa. Ia meninggalkan masa pra-dewasa dan memasuki masa
periode pengenalan dengan dunia orang dewasa (22-28 tahun). Orang
mengakui dirinya sendiri serta dunia yang ia masuki dan berusaha
untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Orang mencari
tempat dalam dunia kerja dan dunia hubungan sosial. Pada akhir usia
20 tahun maka pemilihan struktur hidup ini makin menjadi penting.
Pada usia antara 28-33 tahun pilihan struktur kehidupan ini menjadi
lebih tetap dan stabil. Dalam fase kemantapan (33-40 tahun) orang
dengan keyakinan yang mantap menemukan tempatnya dalam
masyarakat dan berusaha untuk memajukan karier sebaik-baiknya.
Pekerjaan dan kehidupan keluarga membentuk struktur peran yang
memunculkan aspek-aspek kepribadian yang diperlukan dalam fase
tersebut. Pada usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa. Sesudah
ini mulailah peralihan ke arah masa dewasa madya.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa dewasa awal
adalah individu yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap
menerima kedudukan dalam masyarakat, pertumbuhan dan
perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak
dan berusia 20– 40 tahun.
2. Karakteristik Umum dan Tugas Perkembangan Dewasa Awal Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteritik tersendiri.
Seperti halnya tahap perkembangan lain, masa dewasa awal ditandai
dengan berbagai karakteristik khas. Dariyo (2003) mengatakan bahwa
profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan
perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak.
Mereka memiliki daya tahan dan taraf kesehatan yang prima sehingga
dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatif, kreatif, energik,
cepat dan proaktif.
Dalam perkembangan psikososial masa dewasa awal terdapat
krisis intimacy versus isolation (Erikson, dalam Monks, 2006). Pada masa dewasa awal inilah individu membuat komitmen personal yang
dalam dengan orang lain, yakni dengan membentuk keluarga. Apabila
individu dewasa awal tidak mampu melakukannya, maka akan merasa
kesepian dan krisis keterasingan (isolation).
Sebagian besar golongan dewasa muda telah menyelesaikan
pendidikan sampai taraf universitas dan kemudian mereka segera
memasuki jenjang karier dalam pekerjaannya. Kehidupan psikososial
dewasa muda makin kompleks dibandingkan masa remaja karena
selain bekerja, mereka akan memasuki kehidupan pernikahan,
membentuk keluarga baru, memelihara anak-anak, dan tetap harus
memperhatikan orang tua yang makin tua (Dariyo, 2003).
Havighurst (dalam Dariyo, 2003) mengemukakan tugas-tugas
perkembangan dewasa muda, diantaranya (a) mencari dan
menemukan calon pasangan hidup, (b) membina kehidupan rumah
ekonomi rumah tangga, dan (d) menjadi warga negara yang
bertanggung jawab.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
karakteristik individu dewasa awal yang dikaitkan dengan tugas
perkembangan adalah beberapa tugas perkembangan pada masa
dewasa awal, diantaranya mulai bekerja, memilih pasangan, belajar
hidup dengan pasangan dan mulai membina keluarga. Hal ini
mengarahkan bahwa sikap terhadap pernikahan mulai terbentuk pada
inidividu dewasa awal.
D. Sikap Terhadap Pernikahan Pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami Perceraian Orang Tua
Perceraian merupakan jalan yang ditempuh pasangan suami istri yang sudah
tidak mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahan. Setelah berlangsungnya
perceraian, masalah belum tentu selesai, bisa jadi perceraian tersebut
menimbulkan trauma yang menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk
di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan
trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan
Rahe (dalam Rini, 2002), perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi,
setelah kematian pasangan hidup.
Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi
perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum
panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Tidak demikian
halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah
dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup
mereka akan berubah. Tiba-tiba saja orang tua mereka sudah tidak serumah lagi
dan sulit untuk ditemui. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah
sebelumnya orang tua mereka sering bertengkar hingga membuat anak-anak tidak
takut, dan sekarang sudah tidak ada lagi pertengkaran, tetapi orang tua mereka
tidak bersatu lagi.
Apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak,
meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik
daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan
yang buruk. Anak-anak merasa tidak aman (insecurity), tidak diinginkan atau
ditolak oleh orangtuanya yang pergi, sedih dan kesepian, marah, kehilangan,
merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.
Semua perasaan ini bercampur baur dalam pikiran anak, membuat anak menjadi
suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam,
tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada
tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun,
terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.
Bagi anak yang dapat segera mengatasi perasaan-perasaan yang bercampur
aduk ini dan beradaptasi dengan perceraian orang tuanya, maka perceraian itu
akan meminimkan trauma pada anak. Beberapa indikator bahwa anak telah
bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orangtua, dapat menerima
rasa kehilangan, tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri,
serta menjadi dirinya sendiri lagi. Akan tetapi bagi anak yang tidak mampu
beradaptasi dengan perceraian orang tuanya akan menimbulkan pemikiran bahwa
untuk menghindari perceraian maka tidak boleh ada pernikahan. Pikiran seperti ini
akan dibawanya terus sampai anak memasuki tahap dewasa awal.
Tahap dewasa awal dimulai pada saat individu menyelesaikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang
dewasa lainnya (Hurlock, 1980). Pada saat inilah individu siap memasuki
pernikahan.
Pernikahan adalah gerbang yang menandai masuknya individu ke dalam
ikatan rumah tangga dengan orang yang telah dipilihnya untuk menjalani hidup
sampai tua. Namun tidak demikian halnya pandangan individu yang pernah
mengalami perceraian orang tua. Apalagi jika perceraian itu menimbulkan trauma
yang dalam, maka ia memandang pernikahan adalah sesuatu yang buruk dan tidak
perlu dilakukan.
Selanjutnya pemikiran anak terhadap perceraian tersebut akan
mempengaruhi sikapnya terhadap pernikahan. Ada dua macam sikap terhadap
pernikahan, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif terhadap
pernikahan ditunjukkan dengan persepsi positif terhadap pernikahan, pandangan
bahwa pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan, dan kecenderungan untuk
menerima ikatan pernikahan sebagai fase yang akan dilewati dalam kehidupannya.
akan mempunyai persepsi negatif terhadap pernikahan yang memandang bahwa
pernikahan adalah sesuatu yang menakutkan, memandang pernikahan adalah
sesuatu yang menyakitkan, dan kecenderungan untuk menolak terikat dalam
pernikahan seperti yang dapat kita lihat pada skema berikut :
Berdasarkan uraian dan skema di atas dapat diketahui bahwa seorang anak
yang mengalami perceraian orang tua akan merasakan akibat dari kegagalan
pernikahan orang tuanya meskipun tidak terlibat langsung dalam pernikahan,
sehingga dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pernikahan. Seorang anak yang
berpikir bahwa kegagalan pernikahan orang tuanya adalah hal yang buruk akan
cenderung mempunyai sikap negatif terhadap pernikahan. Begitu pula apabila
anak mendapatkan informasi yang negatif mengenai pernikahan, dapat
bisa melalui fase menerima perceraian orang tua dan beradaptasi baik dengan hal
tersebut, maka kemungkinan sikap anak terhadap pernikahan adalah positif.
Oleh karena itu, untuk mengetahui secara jelas bagaimana sikap terhadap
pernikahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian. Pertanyaan penelitian yang
diberikan adalah sebagai berikut: Bagaimana sikap terhadap pernikahan pada
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang
menggambarkan variabel yang akan diteliti melalui pengisian skala tanpa perlu
mencari atau menerangkan hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan, atau
mendapatkan makna dari implikasi (Amirin dalam Ratih, 2006). Menurut Azwar
(2009) penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi,
yaitu menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih
mudah untuk difahami dan disimpulkan. Uraian kesimpulan didasari oleh angka
yang diolah tidak secara terlalu dalam. Kebanyakan pengolahan datanya
didasarkan pada analisis persentase dan analisis kecenderungan.
B. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah sikap terhadap pernikahan.
C. Definisi Operasional
Sikap terhadap pernikahan adalah bentuk evaluasi perasaan dan
kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara
komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling bereaksi di dalam memahami,
1. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang
berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal
yang berhubungan dengan bagaimana subjek mempersepsi pernikahan.
2. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang
berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap
pernikahan.
3. Komponen konatif (komponen perilaku), yaitu komponen yang
berhubungan dengan kecenderungan tindakan seseorang terhadap
pernikahan.
Sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal yang mengalami
perceraian akan dapat dilihat dari skor total skala, yaitu semakin tinggi skor total
yang diperoleh subjek pada skala, maka semakin positif sikapnya terhadap
pernikahan.
D. Subjek Penelitian
Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah:
1. Berada pada masa dewasa awal yaitu usia antara 20-40 tahun yang
orang tuanya bercerai.
2. Lokasi berada di Yogyakarta, karena posisi peneliti yang berada di
E. Alat Pengumpulan Data 1. Penyusunan Aitem
Alat pengumpul data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah skala sikap terhadap pernikahan. Skala ini disusun dan
dikembangkan oleh peneliti sendiri. Pada masing-masing indikator
atau aspek terdapat pernyataan favourable dan pernyataan
unfavourable.
Skala sikap terhadap pernikahan terdiri dari 30 aitem, yang
terdiri dari 15 aitem favourable dan 15 aitem unfavourable. Tabel 3.1
merupakan distribusi skala aitem sikap terhadap pernikahan.
Tabel 3.1
Distribusi Aitem Skala Sikap Terhadap Pernikahan
Aspek Aitem Jumlah
Favourable Unfavourable
Kognitif 1, 7, 13, 19, 25 4, 10, 16, 22, 28 10 Afektif 2, 8, 14, 20, 26 5, 11, 17, 23, 29 10 Konatif 3, 9, 15, 21, 27 6, 12, 18, 24, 30 10
Jumlah 15 15 30
2. Pemberian Skor Skala Sikap Terhadap Pernikahan dan Perceraian
Pemberian skor pada skala dilakukan dengan menggunakan
metode rating yang dijumlahkan (summated rating), yaitu metode penskalaan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar
penentuan nilai skalanya (Gable dalam Azwar, 2005). Dalam skala
yang menggunakan rating dijumlahkan ini, subjek diminta untuk
dengan menentukan faktor yang berpengaruh terhadap suatu sikap
secara favourable dan unfavourable tentang sesuatu. Pernyataan favourable adalah pernyataan yang mendukung secara teknis atau memihak obyek (sikap) yang akan diukur, sebaliknya pernyataan yang
tidak mendukung atau kontra terhadap obyek yang diukur disebut
pernyataan yang unfavourable.
Jawaban yang bersifat favourable dan unfavourable terdiri dari
empat pilihan jawaban yaitu “Sangat Setuju (SS)”, “Setuju (S), “Tidak
Setuju (TS)” dan “Sangat Tidak Setuju (STS)”. Pada pernyataan
favourable skor yang diperoleh untuk masing-masing jawaban adalah Sangat Setuju (SS) diberi skor 4, Setuju (S) diberi skor 3, Tidak Setuju
(TS) diberi skor 2 dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 1,
sedangkan untuk pernyataan unfavorable jawaban Sangat Tidak
Setuju (STS) diberi skor 4, Tidak Setuju (TS) diberi skor 3, Setuju (S)
diberi skor 2 dan Sangat Setuju (SS) diberi skor 1.
Skor untuk tiap-tiap aitem pada skala dijumlahkan sehingga
menjadi skor total. Semakin tinggi skor total yang diperoleh oleh
subjek maka menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap yang
mengarah kepada sikap positif dan sebaliknya skor yang rendah
menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap yang mengarah kepada
F. Validitas, Uji Daya Beda, dan Reliabilitas
Sebelum mengolah hasil penelitian terlebih dahulu dilakukan tiga pengujian,
yakni: validitas, uji daya beda, dan reliabilitas. Berikut adalah penjelasan dari
masing-masing uji menurut Azwar (2008):
1. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti
sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat
dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut
menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai
dengan maksud dilakukannya pengukuran terebut Azwar (2008).
Pada penelitian ini akan digunakan validitas isi atau yang
disebut juga dengan content validity yang merupakan validitas yang
diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional
atau lewat professional judgement (Azwar, 2008). Pertanyaan yang
dicari jawabannya dalam validasi ini adalah “sejauhmana aitem-aitem
dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak
diukur” atau “sejauhmana isi tes mencerminkan ciri atribut yang
hendak diukur” (Azwar, 2008).
Validitas isi terbagi menjadi dua tipe yakni validitas muka (face
validity) dan validitas logik (sampling validity). Pada penelitian ini akan menggunakan validitas logik karena validitas muka mempunyai
logik akan menunjukkan sejauhmana isi tes merupakan representasi
dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur.
Untuk memperoleh validitas logik yang tinggi suatu tes harus
dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar berisi hanya aitem
yang relevan dan perlu menjadi bagian tes secara keseluruhan. Suatu
objek ukur yang hendak diungkap oleh tes haruslah dibatasi lebih
dahulu kawasan perilakunya secara seksama dan konkret. Batasan
perilaku yang kurang jelas akan menyebabkan terikutnya aitem-aitem
yang tidak relevan dan tertinggalnya bagian penting dari objek ukur
yang seharusnya masuk sebagai bagian dari tes yang bersangkutan.
Pada penelitian ini yang akan diukur adalah sikap terhadap
pernikahan pada individu dewasa awal yang mengalami perceraian
orang tua. Menurut Walgito (1999), atribut sikap adalah komponen
kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Sehingga dalam
penelitian ini, atribut-atribut tersebut yang dipakai dan pengujian
terhadap isi tes telah disetujui oleh dosen pembimbing selaku
professional judgement. 2. Uji Daya Beda
Pengujian keselarasan fungsi aitem dengan fungsi tes
menghendaki dilakukannya komputasi koefisien korelasi antara
distributor skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan
yaitu distribusi skor total tes itu sendiri. Prosedur pengujian
aitem-total (rix
Secara teknis, pengujian konsistensi aitem dilakukan dengan
menghitung koefisien korelasi antara skor subjek pada aitem yang
bersangkutan dengan skor total tes (korelasi aitem-total). Bagi tes
yang setiap aitemnya diberi skor kontinyu dapat digunakan formula
koefisien korelasi product-moment Pearson. Semakin tinggi korelasi
positif antara skor aitem dengan skor tes berarti semakin tinggi
konsistensi antara aitem tersebut dengan tes keseluruhan yang berarti
semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasinya rendah
mendekati nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi
ukur tes dan daya bedanya tidak baik. Untuk mengetahui aitem mana
yang memiliki daya beda tinggi dan tidak maka hasil dari r
) yang umum juga dikenal dengan sebutan indeks daya beda
aitem. Sebutan ini adalah benar dikarenakan pada hakikatnya suatu
aitem yang konsisten merupakan aitem yang mampu menunjukkan
perbedaan antar subjek pada aspek yang diukur oleh tes yang
bersangkutan (Azwar, 2008).
ix perlu
dibandingkan dengan r tabel dengan N adalah jumlah subjek yang
diteliti. Apabila rix
Dalam penelitian ini terdapat 38 subyek, sehingga r tabel yang
digunakan adalah 0,320 (Riduwan, 2006). Penggunaan r tabel dipilih
dikarenakan dianggap lebih cermat oleh peneliti. Jika indeks daya > r tabel maka aitem tersebut mempunyai daya
beda yang diperoleh di bawah 0,320 maka dikategorikan rendah, dan
berikut adalah hasil yang diperoleh:
Tabel 3.2
Uji Daya Beda 30 Aitem
No. Pernyataan Indeks Daya Beda aitem Daya Beda
1. Aitem 1 0,473 Tinggi
Pada Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa ada tiga aitem yang memiliki
indeks daya beda di bawah 0,320 yakni aitem 10, 11, dan 29. Hal ini
berarti ketiga aitem tersebut mempunyai indeks daya beda rendah
aspek yang diukur oleh tes ini. Sehingga ketiga aitem ini tidak
digunakan lagi. Oleh karena penelitian ini hanya diujikan satu kali
pada sekelompok subjek maka aitem yang mempunyai indeks daya
beda tinggi diuji lagi untuk melihat apakah ke-27 aitem sudah
mempunyai indeks daya beda tinggi. Indeks daya beda pada 27 aitem
ditunjukkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3
Uji Daya Beda 27 Aitem
No. Pernyataan Indeks Daya Beda aitem Daya Beda
Pada Tabel 3.3, indeks daya beda ke-27 aitem sudah masuk ke
dalam kategori tinggi karena sudah melebihi r tabel (0,320). Oleh
karena itu, ke-27 aitem sudah mampu menunjukkan perbedaan antar
subjek pada aspek yang diukur pada penelitian ini.
3. Reliabilitas
Ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah
sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang
memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel
(reliable). Secara empirik, tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan
oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas yang
dilambangkan dengan rxx’.
Dalam penelitian ini untuk melakukan uji reliabilitas digunakan
formula dari Alpha Cronbach (Sugiyono, 2008). Dalam hal ini apabila
nilai koefisien α ≥ 0,6 maka dapat dikatakan bahwa skala yang
digunakan tersebut reliabel. Hasil koefisien α yang dilakukan dengan
menggunakan SPSS didapatkan bahwa reliabilitas dari ke-27 aitem
adalah 0.896. Diketahui bahwa koefisien α hasil pengujian lebih besar
daripada 0,6 sehingga dapat dikatakan bahwa hasil pengukuran ini
dapat dipercaya.
G. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan untuk mengetahui arah
hasil tes. Apabila skor mean empirik lebih tinggi daripada skor mean hipotetik
maka arah sikap terhadap perkawinan tinggi dan sebaliknya. Untuk lebih
meyakinkan seberapa signifikan perbedaan mean empirik dan mean hipotetik maka dilakukan uji t, dan hasil uji akan signifikan apabila nilai p value di lebih
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik purposive
sampling. Hal tersebut disebabkan karena sampel ditentukan oleh orang yang mengenal betul populasi yang akan diteliti sehingga akan didapatkan sampel yang
representatif untuk populasi yang sedang diteliti. Peneliti melakukan penelitian
dengan menyebarkan kuisioner tentang skala sikap terhadap pernikahan kepada 50
orang subjek, yang dilengkapi dengan identitas subjek. Subjek sebagian
merupakan orang yang dikenal oleh peneliti, dan sebagian lagi merupakan kenalan
dari orang yang dikenal oleh peneliti. Dalam proses pengerjaan kuisioner, pada
beberapa orang, peneliti menunggu karena kuisioner diisi secara langsung, dan
sebagian besar yang lain meminta untuk ditinggal terlebih dahulu dan kuisioner
diambil keesokan harinya atau beberapa hari kemudian. Dari 50 kuisioner yang
disebarkan tersebut, sebanyak 5 kuisioner tidak dikembalikan kepada peneliti
sehingga tersisa 45 kuisioner. Dari 45 kuisioner yang tersisa, sebanyak 7 kuisioner
tidak dapat dipergunakan sebagai data penelitian karena orang tua subjek tidak
bercerai, sehingga tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam penelitian ini,
yaitu orang tua subjek bercerai. Oleh karena itu jumlah kuisioner yang layak
B. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Subjek
Subjek penelitian ini adalah individu dewasa awal yang
mengalami perceraian orang tua. Jumlah subjek penelitian ini adalah
38 orang. Adapun deskripsi subjek berdasarkan jenis kelamin, usia,
pendidikan, pekerjaan, dan usia saat orang tua bercerai dijelaskan pada
Tabel 4.1 sampai dengan Tabel 4.5:
Tabel 4.1
Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Prosentase (%) Laki-laki 15 39,47 Perempuan 23 60,53
Total 38 100
Tabel 4.2
Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia
Usia Jumlah Prosentase (%)
20 tahun 1 2,63
21 tahun 4 10,53
22 tahun 5 13,16
23 tahun 10 26,32
24 tahun 6 15,79
25 tahun 4 10,53
26 tahun 2 5,26
27 tahun 1 2,63
28 tahun 3 7,89
29 tahun 2 5,26
Total 38 100
Tabel 4.3
Karakteristik Subjek Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan Jumlah Prosentase (%) Tidak ada keterangan 1 2,63
SMA 20 52,63
D3 3 7,89
S1 14 36,84
Total 38 100
Tabel 4.4
Karakteristik Subjek Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Jumlah Prosentase (%) Tidak ada keterangan 10 26,32
Mahasiswa/i 11 28,95
Honorer PNS 1 2,63
Pegawai Negeri 1 2,63
Pegawai Swasta 2 5,26
Pedagang HP 1 2,63
Calon Dokter 1 2,63
Distributor Buku 1 2,63
Distributor HP 1 2,63
Guru 2 5,26
Karyawan 3 7,89
Wiraswasta 4 10,53
Tabel 4.5
Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia Saat Orang Tua Bercerai Usia Saat Orang Tua
Bercerai
Jumlah Prosentase (%)
Rata-rata Usia 8,76
2. Analisis Data a. Analisis Data
Setelah penelitian dilakukan, maka data yang diperoleh
dideskripsikan. Hasil penelitian yang diperoleh dideskripsikan
dalam Tabel 4.6:
Tabel 4.6
Deskripsi Data Penelitian
Variabel Hipotetik Empirik
Min Maks Rerata Min Maks Rerata Sikap 27 108 67,5 76 106 91,13 Catatan
Data hipotetik = Skor yang diperoleh oleh subjek
Data empiris = Skor yang sebenarnya diperoleh dari hasil penelitian
Berdasarkan data hasil penelitian, skor variabel akan
Klasifikasi dilakukan dengan mengasumsikan bahwa skor
populasi subjek mempunyai distribusi normal, sehingga dapat
dibuat skor hipotetik yang terdistribusi menurut model normal
(Azwar, 2003).
Dilihat dari data penelitian diketahui bahwa mean yang
diperoleh menunjukkan hasil yang tinggi, untuk meyakinkan
hasil tersebut maka dilakukan uji t. Dalam penelitian ini hanya
digunakan satu variabel, maka digunakan uji one sample t test.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat bantu Program
SPSS versi 16.00 for windows.
Cara pengujian adalah dengan melihat nilai one sample t
test yang dihasilkan dalam penelitian. Jika one sample t test bernilai positif, berarti subjek mempunyai kecenderungan sikap
positif. Sebaliknya jika one sample t test bernilai negatif, berarti
subjek mempunyai kecenderungan sikap negatif. Selanjutnya
untuk mengetahui apakah nilai one sample t test tersebut
signifikan atau tidak, maka dilihat p value hasil pengujian. P
value adalah tingkat kesalahan yang terjadi dalam perhitungan, sedangkan α adalah tingkat kesalahan yang ditolerir. Pendekatan
kaidah pengambilan keputusan biasanya memilih α sebesar 0,05
atau 0,01 atau kadang-kadang sebesar 0,10 (Winarno, 2007).
Dalam penelitian ini α yang digunakan adalah 0,05 (5%) karena
value ≤ α (alpha) maka dikatakan signifikan. Sebaliknya jika nilai p value > α (alpha) maka dikatakan tidak signifikan.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan diperoleh nilai one
sample t test sebesar 70,395 (positif). Hal ini menunjukkan bahwa subjek mempunyai kecenderungan sikap positif terhadap
pernikahan. Untuk mengetahui apakah sikap yang terbentuk
tersebut signifikan atau tidak, dilakukan perbandingan nilai p
value dengan α. Dari perbandingan yang dilakukan diketahui bahwa nilai p value (0,000) < α (0,05). Artinya, bahwa
kecenderungan subjek untuk bersikap positif terhadap
pernikahan adalah signifikan.
b. Kategorisasi
Pada skala sikap terhadap pernikahan dengan jumlah
aitem sebanyak 27 buah, skor minimum yang dapat diperoleh
dari subjek adalah 27 x 1 = 27 dan skor maksimum yang dapat
diperoleh adalah 27 x 4 = 108, sehingga jarak sebarannya adalah
108 – 27 = 81 dan setiap satuan deviasi standar (σ) bernilai 81/6
= 13,5 serta mean hipotetiknya (M) = 81 – 13,5 = 67,5.
Berdasarkan hasil perhitungan ini maka Skala Sikap terhadap
Pernikahan dapat diklasifikasikan menjadi tiga klasifikasi
Tabel 4.7
Klasifikasi Evaluatif Skala Sikap Terhadap Pernikahan Kategori Ketentuan Nilai Frekuensi Persentase (%) Tinggi X > M + 1σ X > 81 32 84,21 Sedang M - 1σ < X ≤ M + 1σ 54 < X ≤ 81 6 15,79
Rendah X ≤ M - 1σ X ≤ 54 0 0
Catatan:
M = Rerata hipotetik
σ = Setiap satuan standar deviasi
Berdasarkan hasil klasifikasi sebagaimana dimuat dalam
Tabel 4.7, diketahui bahwa 6 orang subjek (15,79%) memiliki
skor sedang, dan 32 orang (84,21%) memiliki skor tinggi. Jika
dilihat dari jumlah subjek, maka dapat dikatakan bahwa
mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki persentase tinggi.
Hal ini terbukti dari rata-rata skor empirik subjek yang lebih
tinggi dibandingkan rata-rata skor hipotetik.
C. Pembahasan
Hasil dari penelitian sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal
yang mengalami perceraian orang tua adalah individu dewasa awal memiliki sikap
positif terhadap pernikahan. Hasil dari penelitian ini tidak mendukung pendapat
Rini (2002) yang mengungkapkan bahwa perceraian orang tua dapat
mempengaruhi sikap seorang individu terhadap pernikahan. Hasil penelitian ini
juga tidak sejalan dengan pandangan Astrella (dalam Dewi, 2006) yang
berpendapat bahwa perceraian akan mengubah sikap individu terhadap peranan
orang tua dalam keluarga, gambaran peran suami-istri dalam masyarakat,
Santoso (2009) mengungkapkan bahwa akibat perceraian orang tua,
anak-anak di masa dewasanya bisa mengalami phobia berupa takut akan pernikahan.
Mereka dihantui kekhawatiran akan bercerai seperti yang dialami oleh kedua
orang tuanya. Namun dampak negatif perceraian tersebut kemungkinan dapat
dicegah dengan beberapa cara, antara lain: orangtua meminta maaf kepada
anak-anak atas langkah perceraian yang terpaksa mereka tempuh dan memberikan
penjelasan yang menyejukkan bagi mereka, orang tua tidak melakukan
pertengkaran di depan anak, dan setelah bercerai orang tua tetap menjaga
hubungan baik satu dengan yang lain, serta melakukan aktivitas bersamaan
dengan anak sehingga dapat menjalin komunikasi dengan baik.
Rini (2002) mengungkapkan bahwa seorang anak yang berhasil dalam
proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan
kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal
beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak
berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak
tersebut, setelah dewasa menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang
dekat dengan orang lain atau lawan jenis. Akan tetapi bagi anak yang dapat
beradaptasi mereka akan menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak
lagi bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orangtua, dapat
menerima rasa kehilangan, tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri
sendiri, serta menjadi dirinya sendiri lagi sehingga pandangan terhadap
pernikahan tidak negatif, dan tetap dapat menjalin hubungan yang baik dengan
apabila seorang individu tidak berhasil dalam proses adaptasi. Dalam penelitian
ini, sikap subjek terhadap terhadap pernikahan yang positif dimungkinkan karena
subjek dapat beradaptasi dengan baik.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 walaupun orang tua sudah bercerai, mereka
masih terikat pada kewajiban memelihara anak-anak yang telah dilahirkan dari
pernikahan mereka. Kesejahteraan anak yang dilindungi oleh Undang-Undang
yang menuntut orang tua untuk tetap menjalankan kewajibannya tersebut dapat
membuat anak tetap merasa diperhatikan oleh orang tuanya, sehingga sikap positif
terhadap pernikahan dapat terbentuk dikarenakan subjek tidak kehilangan figur
orang tua lengkap, kendati orang tuanya bercerai, mereka masih meluangkan
waktu yang banyak bersama subjek, mengetahui perkembangan subjek, dan
mencurahkan perhatian. Figur orang tua juga bisa diisi oleh orang lain selain
orang tua subjek, yang dapat memberikan kontribusi positif pada diri subjek.
Selain itu orang tua juga menanamkan pada diri subjek bahwa perceraian yang
dilakukan oleh orang tuanya merupakan jalan keluar yang terbaik dari
permasalahan yang dihadapi orang tuanya, dan bukan dikarenakan kesalahan
subjek. Hal ini sejalan dengan pendapat Widyarini (2007) yang mengungkapkan
bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh orangtua yang
bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak bahwa
mereka tidak bersalah. Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah
mencarikan orang dewasa lain seperti tante atau paman, yang untuk sementara
dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya agar