• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP TERHADAP PERNIKAHAN PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SIKAP TERHADAP PERNIKAHAN PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Meidiana Sapoetro

NIM : 039114045

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Meidiana Sapoetro

NIM : 039114045

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv (Mazmur 31:32 )

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktuNya… (Pengkotbah 3:11a)

(6)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 4 September 2009

Peneliti

(7)

vi

Meidiana Sapoetro 039114045

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal yang orang tuanya mengalami perceraian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang dilakukan terhadap 38 orang subjek yang berusia antara 20 sampai 40 tahun. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang berjumlah 27 aitem dan pemberian skor dilakukan dengan menggunakan metode rating yang dijumlahkan. Analisis data menggunakan one sample t test untuk mengetahui arah sikap terhadap pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan individu dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua memiliki sikap positif terhadap pernikahan.

(8)

vii ABSTRACT

ATTITUDE TO MARRIAGE OF YOUNG ADULT WITH PARENT DIVORECE HISTORY

Meidiana Sapoetro 039114045

The aim of this research was to know the attitude to marriage of young adult with parent divorce history. This research was quantitative descriptive research that was done to 38 subjects that aged between 20 until 40 years old. This research used questioner that was content 27 items and giving score was done by

summated rating method. Data analysis used one sample t test to know the direction of attitude to marriage. The result of research showed that young adult have positive attitude to marriage.

(9)
(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa di surga atas berkat, rahmat dan

kasihNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan oleh peneliti guna memenuhi

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Peneliti menyadari

bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari saran, dukungan dan bantuan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti hendak

menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada:

1. Bapak Eddy Suhartono, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi atas

waktu dan kesabarannya dalam memberikan pengarahan, masukan dan

saran, koreksi serta dukungan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dosen Pembimbing

Akademik.

4. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si. dan Ibu MM. Nimas Eki S., S.Psi.,

M.Si. selaku dosen penguji atas waktu, saran, koreksi, serta masukan yang

berharga.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah membagikan

ilmu pengetahuannya kepada peneliti selama menempuh perkuliahan.

6. Seluruh staff Fakultas Psikologi Sanata Dharma, Mas Muji, Mas Gandung,

Mas Doni, Pak Gie, dan Mbak Nanik atas informasi dan bantuannya

(11)

x

7. Orang tuaku tercinta, Papa Awet Joyo Sapoetro dan Mama Yenny

Cemerlang, atas support baik secara moril maupun materiil, cinta dan

kasih sayang yang tanpa pamrih, serta kesabaran yang besar dalam

menunggu kelulusanku.

8. Adikku tersayang, Ardian Sapoetro atas kasih sayang, dukungan dan

bantuan yang telah diberikan.

9. Daniel Kurniawan, S.Kom., M.M. atas perhatian, semangat, kasih sayang,

serta bantuan dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi ini.

10.Sahabat-sahabat dan teman-temanku Psikologi angkatan 2003, mira, olin,

mita, aning, tanti, yosi, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu

persatu atas kebersamaan dan suka duka yang telah kita lalui.

11.Sahabat-sahabatku yang tidak pernah lelah dalam memberikan semangat,

natalia, oki, sherly, lia, yandy, yonx, krisna, rina, dan semuanya yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

12.Seluruh Subjek Penelitian atas kontribusinya sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

13.Semua pihak yang telah membantu dan belum tersebutkan.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tentunya tidak luput dari

kesalahan dan kekurangan. Meskipun demikian, peneliti berharap skrispsi ini

dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Yogyakarta, 23 Agustus 2009

(12)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 7

A. Sikap Terhadap Pernikahan ... 7

1. Pengertian ... 7

2. Aspek Sikap Terhadap Pernikahan ... 11

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Terhadap Perkawinan .... 12

B. Perceraian ... 14

1. Pengertian Perceraian ... 14

2. Perlindungan Hukum Pada Anak yang Mengalami Perceraian Orang Tua ... 15

3. Dampak Perceraian Pada Anak ... 16

C. Dewasa Awal ... 20

(13)

xii

2. Karakteristik Umum dan Tugas Perkembangan Dewasa Awal ... 21

D. Sikap Terhadap Pernikahan Pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami Perceraian Orang Tua ... 23

BAB III METODE PENELITIAN... 28

A. Metode Penelitian ... 28

B. Variabel Penelitian ... 28

C. Definisi Operasional ... 28

D. Subjek Penelitian ... 29

E. Alat Pengumpulan Data ... 30

1. Penyusunan Aitem ... 30

2. Pemberian Skor Skala Sikap Terhadap Pernikahan dan Perceraian . 30 F. Validitas, Uji Daya Beda, dan Reliabilitas ... 32

1. Validitas ... 32

2. Uji Daya Beda ... 33

3. Reliabilitas ... 37

G. Metode Analisis Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Pelaksanaan Penelitian ... 39

B. Hasil Penelitian ... 40

1. Karakteristik Subjek ... 40

2. Analisis Data ... 42

a. Analisis Data ... 42

b. Kategorisasi ... 44

C. Pembahasan... 45

BAB V KESIMPULAN ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Distribusi Aitem Skala Sikap Terhadap Pernikahan ... 30

Tabel 3.2 Uji Daya Beda 30 Aitem ... 35

Tabel 3.3 Uji Daya Beda 27 Aitem ... 36

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 40

Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia ... 40

Tabel 4.3 Karakteristik Subjek Berdasarkan Pendidikan ... 41

Tabel 4.4 Karakteristik Subjek Berdasarkan Pekerjaan ... 41

Tabel 4.5 Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia Saat Orang Tua Bercerai ... 42

Tabel 4.6 Deskripsi Data Penelitian ... 42

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

A. Kuesioner ... A-1 B. Data Hasil Kuesioner 30 Aitem ... B-1 C. Hasil Uji Daya Beda 30 Aitem ... C-1 D. Data Hasil Kuesioner 27 Aitem ... D-1 E. Hasil Uji Daya Beda 27 Aitem ... E-1 F. Hasil Uji Reliabilitas Alfa Cronbach ... F-1

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi individu dewasa awal yang tidak

ingin melakukan pernikahan meskipun dari segi ekonomi dan kematangan

psikologis sudah layak untuk berumah tangga. Individu tersebut kemungkinan

tidak ingin melakukan pernikahan karena dihantui oleh ingatan akan perceraian

yang buruk dari orang tuanya. Hal ini merupakan salah satu sikap yang negatif

terhadap pernikahan sebagai dampak dari pernikahan orang tuanya yang gagal.

Pernikahan sendiri merupakan salah satu hal yang penting di dalam

kehidupan. Dengan adanya pernikahan, seorang wanita dan seorang pria akan

secara sah menjadi sepasang suami istri yang dapat saling berbagi banyak hal,

melimpahkan dan mendapatkan kasih sayang, memperoleh keintiman tanpa

melanggar norma masyarakat, serta memperoleh keturunan yang merupakan salah

satu fase yang dianggap penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini

sejalan dengan yang diungkapkan Wahyu (2009) bahwa dengan pernikahan

seseorang mendapatkan teman hidup, pelipur lara, kepuasan seksual, keturunan,

kekerabatan, kenikmatan fisik, kebanggaan diri, hiburan-hiburan, kebersamaan,

(17)

Setiap manusia yang memasuki mahligai rumah tangga pasti menginginkan

kehidupan yang bahagia, harmonis, aman, tenteram dan sejahtera (Triadi, 2005).

Ketika melangsungkan pernikahan hampir semua orang mengharapkan

kebahagiaan dan ikatan pernikahan yang langgeng. Pernikahan menuntut adanya

penyesuaian diri terhadap tuntutan peran dan tanggung jawab baru dari kedua

pasangan, harapan-harapan tersebut sering kandas di tengah jalan dan tidak

menjadi kenyataan. Hal ini adalah karena penyesuaian diri bukanlah merupakan

sesuatu yang mudah bagi masing-masing pasangan (Desmita, 2007). Apabila

perbedaan-perbedaan individu dalam pernikahan bisa disatukan, maka akan

menjadi persatuan yang indah, akan tetapi ketika masing-masing pihak

mengutamakan egonya sendiri-sendiri, maka yang terjadi adalah kehancuran. Hal

inilah yang kemudian menjadikan pernikahan mengalami perceraian.

Perceraian merupakan putusnya ikatan pernikahan yang terjadi apabila

kedua belah pihak baik suami maupun istri merasakan ketidakcocokan dalam

menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Pernikahan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus namun

dalam Pasal 38 menyebutkan bahwa pernikahan bisa putus karena: (1) kematian,

(2) perceraian, (3) atas keputusan pengadilan.

Perceraian yang mengakibatkan putusnya hubungan suami-istri dapat

memberi trauma bagi anak dan berdampak pada sikapnya terhadap pernikahan.

Hal ini bisa terjadi karena dalam proses menjelang perceraian sering kali diwarnai

pertengkaran yang membuat anak melihat semua pertengkaran tersebut dan

(18)

Masalah yang memicu pertengkaran suami istri banyak sekali, antara lain

masalah ekonomi, seks, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Salah satu

masalah yang seringkali menjadi penyebab perceraian adalah masalah

perselingkuhan. Perselingkuhan selalu menjadi bom waktu bagi keutuhan suatu

rumah tangga, yang sewaktu-waktu bisa meledak, membinasakan keharmonisan

suatu keluarga, bahkan bisa membinasakan pelakunya sendiri.

Sebuah berita di koran Jawa Pos tanggal 23 Maret 2005 (dalam Triadi, 2005)

membuktikan hal itu. Kapolsek Sawan AKP Cede Sukarda tewas ditembak oleh

istrinya Ni Made Sunu, 45, yang sudah memberikan tiga putri dan satu putra.

Sunu merasa emosi ketika Sukarda 2 hari tidak pulang ke rumah dan mengaku

mempunyai wanita idaman lain (WIL) di Denpasar yang sudah hamil dua bulan.

Sunu tidak bisa mengendalikan emosi dan akhirnya ketika suaminya sedang

memasang pakaian, ditembaknya sampai semua peluru yang ada di pistol habis.

Kejadian ini membuat anak-anak Sunu menjadi mengalami depresi, ayah mereka

meninggal, ibu mereka masuk penjara, belum lagi bayangan pertengkaran demi

pertengkaran yang pernah terjadi antara ayah dan ibu mereka, semuanya

membekas di hati anak-anak tersebut yang memungkinkan membuat mereka

menyikapi pernikahan dengan sikap yang negatif.

Hal lain yang dapat membuat anak bersikap negatif pada pernikahan adalah

perceraian yang diawali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Anak

menjadi saksi dari kekerasan yang terjadi dalam keluarga, ikut menjadi korban

yang disakiti secara fisik, dan ikut merasakan sakit hati atas semua kekerasan

(19)

persepsi yang negatif terhadap pernikahan dan akhirnya bersikap negatif pula

terhadap pernikahan.

Nazwa (2008) menyatakan banyak sekali dampak negatif perceraian yang

bisa muncul pada anak. Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi

pembangkang, tidak sabaran, impulsif, apatis, menarik diri dari lingkungan,

adalah dampak-dampak perceraian pada anak. Selain itu, anak akan merasa

bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab

perceraian orangtuanya. Dampak lain adalah anak jadi ketakutan terhadap

kegagalan dan prahara dalam berumah tangga, yang akhirnya melahirkan sikap

traumatis sehingga membuat mereka takut untuk berumah tangga. Hal ini bisa jadi

terus mempengaruhinya hingga ia memasuki usia untuk memasuki dunia

pernikahan.

Menurut Hurlock (1980) munculnya sikap terhadap pernikahan pada

umumnya terjadi pada individu ketika memasuki masa dewasa awal. Hal ini

disebabkan tugas perkembangan dewasa awal adalah dimulainya masa menikah

dan membina keluarga. Menurut Hurlock (1980) tugas perkembangan dalam masa

dewasa awal adalah masa dimulainya upaya untuk memilih pasangan hidup dan

bekerja. Dewasa awal sendiri adalah mereka yang berusia 18 tahun sampai

kira-kira 40 tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2006) sikap terhadap

pernikahan oleh individu yang memasuki dewasa awal pada umumnya tidak

dibayangi oleh ketakutan akan perceraian, melainkan berkaitan dengan kesiapan

(20)

agama. Akan tetapi sikap individu terhadap pernikahan dapat berubah apabila

orang tuanya mengalami perceraian, apalagi perceraian yang penuh konflik

sebagaimana dikemukakan pada fakta kasus di atas.

Sejalan dengan itu, (Astrella, dalam Dewi, 2006) berpendapat bahwa

perceraian akan mengubah sikap individu terhadap peranan orang tua dalam

keluarga, gambaran peran suami-istri dalam masyarakat, pandangan individu akan

pernikahan, serta pasangan. Jika dalam lingkungan keluarga, anak mendapati

kasus orang tua yang penuh dengan kekerasan dan berakhir dengan perceraian

maka hal itu dapat membentuk sikap yang negatif terhadap pernikahan pada

individu dewasa awal.

Menurut Sears, dkk (1985) sikap merupakan orientasi yang bersifat menetap

dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Komponen kognitif

terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu,

fakta, pengetahuan, dan keyakinan tentang objek. Komponen afektif terdiri dari

seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian.

Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau

kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Oleh karenanya semua nilai-nilai

sosial yang dibawa oleh orangtua akan menjadi sumber contoh utama bagi

anak-anak. Orang tua dapat memberikan contoh secara langsung terhadap anak melalui

kehidupan pernikahannya.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini mengkaji

bagaimanakah sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal yang

(21)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas masalah penelitian yang muncul dan

ingin dicari jawabnya melalui penelitian ini adalah bagaimanakah sikap terhadap

pernikahan pada individu dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap yang muncul terhadap

pernikahan pada dewasa awal yang orang tuanya mengalami perceraian.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis:

Sebagai tambahan khasanah ilmu pengetahuan dalam

bidang psikologi perkembangan dan klinis, khususnya terkait dengan

sikap terhadap pernikahan.

2. Secara praktis:

Bagi masyarakat dapat bermanfaat untuk mengetahui gambaran

sikap terhadap pernikahan oleh dewasa awal yang mengalami

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sikap Terhadap Pernikahan 1. Pengertian

a. Pernikahan

Pengertian pernikahan menurut Kartono (2006) adalah suatu

peristiwa di mana sepasang mempelai atau sepasang calon suami isteri

dipertemukan secara formal di hadapan penghulu atau kepala agama

serta adanya para saksi. Sementara itu berdasarkan Undang-Undang

(UU) Pernikahan No. 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan adalah perwujudan kesepakatan-kesepakatan lisan

antar dua insan berlainan jenis untuk melebur dua karakter dasar

secara besar-besaran agar menyatu dan berpadu untuk menyongsong

kehidupan mendatang yang diharapkan lebih baik dan lebih lengkap.

Adapun tujuannya adalah membentuk keluarga sejahtera, bahagia

lahir dan batin (Triadi, 2005).

Dalam pandangan Erikson (dalam Desmita, 2007), pernikahan

merupakan keintiman yang biasanya menuntut perkembangan seksual

(23)

jenis yang ia cintai, yang dipandang sebagai teman berbagi suka dan

duka. Ini berarti bahwa hubungan intim yang terbentuk akan

mendorong orang dewasa awal untuk mengembangkan genitalitas

seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan

mitra yang dicintai.

Pernikahan menurut Dariyo (2004) adalah ikatan kudus antara

pasangan dari seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah

menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa.

Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus karena hubungan pasangan

antara seorang laki-laki dan seorang wanita telah diakui secara sah

dalam hukum agama.

Berdasarkan pernyataan di atas maka pengertian pernikahan

dapat disimpulkan sebagai ikatan lahir dan batin antara sepasang

wanita dan pria dengan tujuan membentuk rumah tangga yang kekal

yang diakui secara hukum, agama dan masyarakat.

b. Sikap

Azwar (2005), menggolongkan definisi sikap dalam tiga

kerangka pemikiran. Pertama, sikap adalah suatu bentuk evaluasi

atau reaksi perasaan. Berarti sikap seseorang terhadap suatu objek

adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun

perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada

objek tersebut. Kedua, sikap merupakan semacam kesiapan untuk

(24)

dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan

kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu

apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki

adanya respon. Ketiga, sikap merupakan konstelasi komponen

kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam

memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Sears, dkk (1985) menyatakan sikap merupakan orientasi yang

bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan

perilaku. Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang

dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu, fakta, pengetahuan,

dan keyakinan tentang objek. Komponen afektif terdiri dari seluruh

perasaan atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian.

Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi

atau kecenderungan untuk bertindak terhadap objek.

Menurut Thurstone (dalam Walgito, 1999) sikap merupakan

suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif

dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang

positif, yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negatif adalah afeksi

yang tidak menyenangkan. Objek dapat menimbulkan

berbagai-bagai macam sikap, dapat menimbulkan berberbagai-bagai macam tingkatan

afeksi pada seseorang. Thurstone melihat sikap hanya sebagai

(25)

Secara eksplisit Thurstone melihat sikap hanya mengandung

komponen afeksi saja.

Lebih lanjut menurut Thurstone, dkk (dalam Azwar, 2005) sikap

adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang

terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak

(favorable) maupun perasaan perasaan tidak mendukung atau tidak

memihak (unfavorable).

Sementara itu Gerungan (dalam Walgito, 2003) menyatakan

bahwa sikap itu merupakan pandangan atau sikap perasaan, sikap

mana disertai oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap

terhadap objek tadi. Jadi sikap menurut pendapat ini mengarah

kepada sesuatu yang membuat terjadinya kecenderungan berperilaku

tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat

disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan

kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil

interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling

bereaksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap

suatu objek.

c. Sikap Terhadap Pernikahan

Berdasarkan definisi sikap yang telah diuraikan di atas, maka

dapat diberi definisi sikap terhadap pernikahan sebagai bentuk

(26)

merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan

konatif yang saling bereaksi di dalam memahami, merasakan dan

berperilaku terhadap pernikahan.

2. Aspek Sikap Terhadap Pernikahan

Pembentukan sikap terhadap pernikahan merupakan hasil dari

pengalaman yang dilihat dari bentuk pernikahan orang tua maupun

dari orang sekitar. Seperti halnya dimensi dalam sikap pada umumnya

maka dimensi dalam sikap terhadap pernikahan dibagi dalam tiga

dimensi yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

Dimensi pertama berupa kognitif merupakan masuknya persepsi

individu terhadap pernikahan. Persepsi tersebut bisa mengarah ke

positif maupun negatif. Persepsi positif disini adalah seseorang

memandang pernikahan sebagai lembaga yang memberikan

kenyamanan serta mendapatkan keintiman dalam ikatan yang sah

secara hukum dan agama. Persepsi negatif terhadap pernikahan adalah

ketika seseorang memandang pernikahan sebagai suatu hal yang

menakutkan karena akan dihadapkan pada masalah-masalah baru

dalam kehidupannya.

Dimensi kedua berupa afektif dimana sikap seseorang sangat

ditunjukkan secara langsung, apakah ia menganggap pernikahan

sebagai sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan. Apabila

seseorang memandangnya secara positif ia akan merasa bahwa

(27)

seseorang memandangnya secara negatif, maka ia akan menganggap

pernikahan sebagai sesuatu yang menyedihkan.

Dimensi ketiga berupa konatif dimana dimensi ini menunjukkan

kecenderungan sikap seseorang. Apabila pandangan dan perasaannya

terhadap pernikahan adalah positif, maka seseorang akan cenderung

menerima suatu ikatan pernikahan sebagai fase yang akan dilewati

dalam kehidupannya, sedangkan apabila persepsi dan perasaan

seseorang terhadap pernikahan adalah negatif, maka ia akan

cenderung untuk tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Terhadap Perkawinan Faktor-faktor sikap menurut Walgito (1999:127-128) antara lain:

a. Faktor fisiologis

Faktor fisiologis seseorang akan ikut menentukan bagaimana sikap seseorang. Berkaitan dengan ini ialah faktor umur dan kesehatan. Pada umumnya orang muda sikapnya lebih radikal daripada orang yang telah tua, sedangkan pada orang dewasa sikapnya lebih moderat. Dengan demikian masalah umur akan berpengaruh terhadap sikap seseorang. Orang yang lebih sering sakit lebih bersikap tergantung daripada orang yang tidak sering sakit.

b. Faktor pengalaman langsung terhadap objek sikap

Bagaimana sikap seseorang terhadap objek sikap akan dipengaruhi oleh pengalaman langsung orang yang bersangkutan dengan objek sikap tersebut. Misal orang yang mengalami peperangan yang sangat mengerikan, akan mempunyai sikap yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami peperangan terhadap objek sikap peperangan. Orang akan mempunyai sikap yang negatif terhadap peperangan atas dasar pengalamannya.

c. Faktor kerangka acuan

(28)

d. Faktor komunikasi sosial

Faktor komunikasi sosial sangat jelas menjadi determinan sikap seseorang, dan faktor ini yang banyak diteliti. Komunikasi sosial yang berwujud informasi dari seseorang kepada orang lain dapat menyebabkan perubahan sikap pada diri orang yang bersangkutan.

Faktor-faktor sikap terhadap pernikahan dapat dilihat

berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap tersebut diatas.

Usia individu dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pernikahan,

kematangan emosional individu akan berpengaruh terhadap positif

atau negatif sikapnya terhadap pernikahan. Selain itu juga dapat

dengan melihat pernikahan orang tuanya, apabila seorang individu

merasakan perceraian orang tua, meskipun tidak terlibat dalam

pernikahan itu sendiri seorang individu dapat merasakan akibat dari

kegagalan pernikahan orang tuanya, apabila seorang individu dapat

melalui fase menerima perceraian tersebut dengan baik maka sikapnya

terhadap pernikahan dapat positif, akan tetapi apabila tidak dapat

menerima perceraian orang tuanya maka sikapnya terhadap

pernikahan bisa menjadi negatif. Selain itu sikap terhadap pernikahan

juga dapat terpengaruh dengan menyaring informasi-informasi yang

ada sehingga individu dapat menilai bagaimana arti sebuah pernikahan

itu sendiri sehingga dapat menentukan apakah sikapnya terhadap

(29)

B. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Menurut UU No 1 tahun 1974 tentang pernikahan, putusnya

pernikahan dapat terjadi oleh karena:

a. Kematian salah satu pihak. b. Perceraian.

c. Atas keputusan pengadilan.

Perceraian menurut Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU Pernikahan:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.

b. Untuk melakukan perceraian harus cukup ada alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan di atur dalam perundangan tersendiri.

Perceraian dimaknai sebagai terputusnya hubungan suami-istri

yang memiliki dampat besar bagi anak dan berkelanjutan. Perceraian

merupakan alternatif terakhir sebagai solusi pernikahan yang

bermasalah, karena hingga saat penelitian berlangsung individu masih

merasa dampak dari perceraian orang tua yang telah terjadi lebih dari

10 tahun (Astrella, dalam Dewi, 2006).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

perceraian adalah putusnya ikatan rumah tangga antara suami dan istri

(30)

2. Perlindungan Hukum Pada Anak yang Mengalami Perceraian Orang Tua

Ketentuan mengenai akibat perceraian terhadap anak diatur

dalam pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974. Adapun isi dari pasal tersebut

adalah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Jadi menurut UU No. 1 Tahun 1974 walaupun orang tua sudah

bercerai, mereka masih terikat pada kewajiban memelihara anak-anak

yang telah dilahirkan dari pernikahan mereka. Juga dapat diketahui

bahwa baik ibu ataupun bapak mempunyai hak yang sama terhadap

pemeliharaan anak. Persamaan hak untuk memelihara ini sering

menjadi pemicu perebutan hak pemeliharaan anak antara ayah dan

ibu. Atas perebutan hak pemeliharaan anak Pengadilan yang akan

memutuskan siapa yang berhak untuk itu. Dalam memberikan

keputusan Pengadilan semata-mata memperhatikan kepentingan anak,

misalnya jika anak masih berumur kurang dari 12 tahun, maka

Pengadilan akan memberikan hak pemeliharaan kepada ibu, karena

(31)

anak yang masih dibawah umur tersebut, jika anak sudah dapat

memilih, maka anak disuruh memilih untuk ikut ibu atau ikut ayahnya.

Apapun yang menjadi keputusan hakim, ayah sebagai mantan suami

tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada anak untuk biaya

hidup dan pendidikannya. Walaupun demikian ibu juga dapat

ditetapkan untuk ikut memikul beban biaya pemeliharaan anak

tersebut.

Berdasarkan ketentuan undang-undang di atas, dapat diketahui

bahwa dampak perceraian yang dimuat hanyalah yang berdimensi

fisik, tetapi tidak diatur dampak psikisnya.

3. Dampak Perceraian Pada Anak

Rumah tangga yang pecah karena perceraian dapat lebih

merusak anak dan hubungan keluarga ketimbang rumah tangga yang

pecah karena kematian. Terdapat dua alasan untuk hal ini. Pertama,

periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi

anak daripada periode penyesuaian apabila pernikahan orang tuanya

pecah karena kematian (Hurlock, 1978). Hozman dan Froiland (dalam

Hurlock, 1978) menemukan bahwa kebanyakan anak melalui lima

tahap dalam penyesuaian ini: penolakan terhadap perceraian,

kemarahan yang ditujukan pada mereka yang terlibat dalam situasi

tersebut, tawar-menawar dalam usaha mempersatukan orang tua,

(32)

Kedua, perpisahan yang disebabkan perceraian itu serius sebab

perceraian cenderung membuat anak ”berbeda” dalam mata kelompok

teman sebaya. Jika anak ditanya kemana orang tuanya atau mengapa

mereka mempunyai orang tua baru sebagai pengganti orang tuanya

yang tidak ada, mereka menjadi serba salah dan merasa malu. Di

samping itu mereka mungkin merasa bersalah jika mereka menikmati

waktu bersama dengan orang tua yang satunya, sementara orang

tuanya yang lain tidak bersama mereka (Hurlock, 1978).

Menurut Rini (2002) dampak psikologis yang biasanya

dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah: tidak aman

(insecurity), tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi,

sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan

diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.

Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat

termanifestasi dalam bentuk perilaku: suka mengamuk, menjadi kasar,

dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak

suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas

sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka

melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.

Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada

awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya

tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan

(33)

bertahun-tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi,

tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan

kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak

yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa

perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan

ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa menjadi takut

gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau

lawan jenis (Rini, 2002).

Sejalan dengan Rini, Andreas (2008) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa perceraian orang tua akan membawa pengaruh

langsung bagi anak–anak yang tiba-tiba saja harus menerima

keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, tanpa ada bayangan

bahwa hidup mereka akan berubah secara tiba-tiba. Perceraian

menurut Andreas (2008) selalu menimbulkan akibat buruk pada anak

anak, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik

daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan

pernikahan yang buruk.

Perkembangan anak akibat perceraian orangtuanya akan lebih

menderita dan akan menimbulkan trauma, sehingga membawa

pengaruh langsung dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru yang

diperlihatkan dengan cara dan penyelesaian yang berbeda. Peranan

(34)

pada tahun–tahun pertama dalam kehidupannya setelah orang tuanya

bercerai.

Severe (dalam Andreas, 2008) mengemukakan anak dapat

melihat ketegangan yang dialami orang tuanya, tetapi khawatir jika

mengungkapkan emosinya, akan menambah kepedihan setiap orang.

Inilah alasan mengapa sebagian besar anak tidak pernah bicara dengan

orang tuanya tentang perasaannya mengenai perceraian. Perasaan

tersembunyi ini akan meningkatkan kecemasan dan memperlemah

kemampuan anak untuk berprestasi di sekolah. Selain itu, perasaan

yang tertekan bisa menjadi bibit bagi permasalahan yang lebih besar

dalam kehidupannya nanti.

Menurut Handoko (dalam Andreas, 2008) perceraian bagi anak

adalah "tanda kematian" keutuhan keluarganya, hidup tak akan sama

lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima

kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Perasaan

kehilangan, penolakan dan ditinggalkan akan merusak kemampuan

anak berkonsentrasi di sekolah. Perasaan-perasaan tersebut akan

meningkat bila kedua orang tuanya saling menyerang atau menghina.

Bila salah satu orang tua mengatakan hal-hal yang jelek mengenai

pasangannya di depan anak mereka, anak akan cemas bahwa ciri-ciri

yang tidak menyenangkan itu akan melekat pada diri mereka. Amarah

dan agresi merupakan reaksi yang lazim dalam perceraian, hal itu

(35)

biasanya akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain, misalnya

kepada rekan-rekan sebayanya dan adik-adiknya karena relatif lebih

aman.

C. Dewasa Awal

1. Pengertian Dewasa Awal

Menurut Hurlock (2002) orang dewasa adalah individu yang

telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan

dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya. Masa dewasa dini

adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu

suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional,

periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan,

perubahan nilai-nilai, kreativitas, dan penyesuaian diri pada pola

hidup yang baru. Usia dewasa dini dari umur 18 tahun hingga kurang

lebih 40 tahun.

Dariyo (2004) menyebutkan bahwa secara umum mereka yang

tergolong dewasa muda ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.

Papalia, Olds, dan Feldman (dalam Dariyo, 2004) menyatakan bahwa

golongan dewasa muda berkisar antara 21-40 tahun.

Menurut Levinson (dalam Monks, 2006) usia dewasa awal

adalah 17-45 tahun. Antara usia 17 dan 22 tahun seseorang ada dalam

dua masa. Ia meninggalkan masa pra-dewasa dan memasuki masa

(36)

periode pengenalan dengan dunia orang dewasa (22-28 tahun). Orang

mengakui dirinya sendiri serta dunia yang ia masuki dan berusaha

untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Orang mencari

tempat dalam dunia kerja dan dunia hubungan sosial. Pada akhir usia

20 tahun maka pemilihan struktur hidup ini makin menjadi penting.

Pada usia antara 28-33 tahun pilihan struktur kehidupan ini menjadi

lebih tetap dan stabil. Dalam fase kemantapan (33-40 tahun) orang

dengan keyakinan yang mantap menemukan tempatnya dalam

masyarakat dan berusaha untuk memajukan karier sebaik-baiknya.

Pekerjaan dan kehidupan keluarga membentuk struktur peran yang

memunculkan aspek-aspek kepribadian yang diperlukan dalam fase

tersebut. Pada usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa. Sesudah

ini mulailah peralihan ke arah masa dewasa madya.

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa dewasa awal

adalah individu yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap

menerima kedudukan dalam masyarakat, pertumbuhan dan

perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak

dan berusia 20– 40 tahun.

2. Karakteristik Umum dan Tugas Perkembangan Dewasa Awal Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteritik tersendiri.

Seperti halnya tahap perkembangan lain, masa dewasa awal ditandai

dengan berbagai karakteristik khas. Dariyo (2003) mengatakan bahwa

(37)

profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan

perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak.

Mereka memiliki daya tahan dan taraf kesehatan yang prima sehingga

dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatif, kreatif, energik,

cepat dan proaktif.

Dalam perkembangan psikososial masa dewasa awal terdapat

krisis intimacy versus isolation (Erikson, dalam Monks, 2006). Pada masa dewasa awal inilah individu membuat komitmen personal yang

dalam dengan orang lain, yakni dengan membentuk keluarga. Apabila

individu dewasa awal tidak mampu melakukannya, maka akan merasa

kesepian dan krisis keterasingan (isolation).

Sebagian besar golongan dewasa muda telah menyelesaikan

pendidikan sampai taraf universitas dan kemudian mereka segera

memasuki jenjang karier dalam pekerjaannya. Kehidupan psikososial

dewasa muda makin kompleks dibandingkan masa remaja karena

selain bekerja, mereka akan memasuki kehidupan pernikahan,

membentuk keluarga baru, memelihara anak-anak, dan tetap harus

memperhatikan orang tua yang makin tua (Dariyo, 2003).

Havighurst (dalam Dariyo, 2003) mengemukakan tugas-tugas

perkembangan dewasa muda, diantaranya (a) mencari dan

menemukan calon pasangan hidup, (b) membina kehidupan rumah

(38)

ekonomi rumah tangga, dan (d) menjadi warga negara yang

bertanggung jawab.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

karakteristik individu dewasa awal yang dikaitkan dengan tugas

perkembangan adalah beberapa tugas perkembangan pada masa

dewasa awal, diantaranya mulai bekerja, memilih pasangan, belajar

hidup dengan pasangan dan mulai membina keluarga. Hal ini

mengarahkan bahwa sikap terhadap pernikahan mulai terbentuk pada

inidividu dewasa awal.

D. Sikap Terhadap Pernikahan Pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami Perceraian Orang Tua

Perceraian merupakan jalan yang ditempuh pasangan suami istri yang sudah

tidak mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahan. Setelah berlangsungnya

perceraian, masalah belum tentu selesai, bisa jadi perceraian tersebut

menimbulkan trauma yang menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk

di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan

trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan

Rahe (dalam Rini, 2002), perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi,

setelah kematian pasangan hidup.

Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi

perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum

(39)

panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Tidak demikian

halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah

dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup

mereka akan berubah. Tiba-tiba saja orang tua mereka sudah tidak serumah lagi

dan sulit untuk ditemui. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah

sebelumnya orang tua mereka sering bertengkar hingga membuat anak-anak tidak

takut, dan sekarang sudah tidak ada lagi pertengkaran, tetapi orang tua mereka

tidak bersatu lagi.

Apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak,

meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik

daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan

yang buruk. Anak-anak merasa tidak aman (insecurity), tidak diinginkan atau

ditolak oleh orangtuanya yang pergi, sedih dan kesepian, marah, kehilangan,

merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.

Semua perasaan ini bercampur baur dalam pikiran anak, membuat anak menjadi

suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam,

tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada

tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun,

terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.

Bagi anak yang dapat segera mengatasi perasaan-perasaan yang bercampur

aduk ini dan beradaptasi dengan perceraian orang tuanya, maka perceraian itu

akan meminimkan trauma pada anak. Beberapa indikator bahwa anak telah

(40)

bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orangtua, dapat menerima

rasa kehilangan, tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri,

serta menjadi dirinya sendiri lagi. Akan tetapi bagi anak yang tidak mampu

beradaptasi dengan perceraian orang tuanya akan menimbulkan pemikiran bahwa

untuk menghindari perceraian maka tidak boleh ada pernikahan. Pikiran seperti ini

akan dibawanya terus sampai anak memasuki tahap dewasa awal.

Tahap dewasa awal dimulai pada saat individu menyelesaikan

pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang

dewasa lainnya (Hurlock, 1980). Pada saat inilah individu siap memasuki

pernikahan.

Pernikahan adalah gerbang yang menandai masuknya individu ke dalam

ikatan rumah tangga dengan orang yang telah dipilihnya untuk menjalani hidup

sampai tua. Namun tidak demikian halnya pandangan individu yang pernah

mengalami perceraian orang tua. Apalagi jika perceraian itu menimbulkan trauma

yang dalam, maka ia memandang pernikahan adalah sesuatu yang buruk dan tidak

perlu dilakukan.

Selanjutnya pemikiran anak terhadap perceraian tersebut akan

mempengaruhi sikapnya terhadap pernikahan. Ada dua macam sikap terhadap

pernikahan, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif terhadap

pernikahan ditunjukkan dengan persepsi positif terhadap pernikahan, pandangan

bahwa pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan, dan kecenderungan untuk

menerima ikatan pernikahan sebagai fase yang akan dilewati dalam kehidupannya.

(41)

akan mempunyai persepsi negatif terhadap pernikahan yang memandang bahwa

pernikahan adalah sesuatu yang menakutkan, memandang pernikahan adalah

sesuatu yang menyakitkan, dan kecenderungan untuk menolak terikat dalam

pernikahan seperti yang dapat kita lihat pada skema berikut :

Berdasarkan uraian dan skema di atas dapat diketahui bahwa seorang anak

yang mengalami perceraian orang tua akan merasakan akibat dari kegagalan

pernikahan orang tuanya meskipun tidak terlibat langsung dalam pernikahan,

sehingga dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pernikahan. Seorang anak yang

berpikir bahwa kegagalan pernikahan orang tuanya adalah hal yang buruk akan

cenderung mempunyai sikap negatif terhadap pernikahan. Begitu pula apabila

anak mendapatkan informasi yang negatif mengenai pernikahan, dapat

(42)

bisa melalui fase menerima perceraian orang tua dan beradaptasi baik dengan hal

tersebut, maka kemungkinan sikap anak terhadap pernikahan adalah positif.

Oleh karena itu, untuk mengetahui secara jelas bagaimana sikap terhadap

pernikahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian. Pertanyaan penelitian yang

diberikan adalah sebagai berikut: Bagaimana sikap terhadap pernikahan pada

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang

menggambarkan variabel yang akan diteliti melalui pengisian skala tanpa perlu

mencari atau menerangkan hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan, atau

mendapatkan makna dari implikasi (Amirin dalam Ratih, 2006). Menurut Azwar

(2009) penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi,

yaitu menganalisa dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih

mudah untuk difahami dan disimpulkan. Uraian kesimpulan didasari oleh angka

yang diolah tidak secara terlalu dalam. Kebanyakan pengolahan datanya

didasarkan pada analisis persentase dan analisis kecenderungan.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah sikap terhadap pernikahan.

C. Definisi Operasional

Sikap terhadap pernikahan adalah bentuk evaluasi perasaan dan

kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara

komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling bereaksi di dalam memahami,

(44)

1. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang

berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal

yang berhubungan dengan bagaimana subjek mempersepsi pernikahan.

2. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang

berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap

pernikahan.

3. Komponen konatif (komponen perilaku), yaitu komponen yang

berhubungan dengan kecenderungan tindakan seseorang terhadap

pernikahan.

Sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal yang mengalami

perceraian akan dapat dilihat dari skor total skala, yaitu semakin tinggi skor total

yang diperoleh subjek pada skala, maka semakin positif sikapnya terhadap

pernikahan.

D. Subjek Penelitian

Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah:

1. Berada pada masa dewasa awal yaitu usia antara 20-40 tahun yang

orang tuanya bercerai.

2. Lokasi berada di Yogyakarta, karena posisi peneliti yang berada di

(45)

E. Alat Pengumpulan Data 1. Penyusunan Aitem

Alat pengumpul data yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah skala sikap terhadap pernikahan. Skala ini disusun dan

dikembangkan oleh peneliti sendiri. Pada masing-masing indikator

atau aspek terdapat pernyataan favourable dan pernyataan

unfavourable.

Skala sikap terhadap pernikahan terdiri dari 30 aitem, yang

terdiri dari 15 aitem favourable dan 15 aitem unfavourable. Tabel 3.1

merupakan distribusi skala aitem sikap terhadap pernikahan.

Tabel 3.1

Distribusi Aitem Skala Sikap Terhadap Pernikahan

Aspek Aitem Jumlah

Favourable Unfavourable

Kognitif 1, 7, 13, 19, 25 4, 10, 16, 22, 28 10 Afektif 2, 8, 14, 20, 26 5, 11, 17, 23, 29 10 Konatif 3, 9, 15, 21, 27 6, 12, 18, 24, 30 10

Jumlah 15 15 30

2. Pemberian Skor Skala Sikap Terhadap Pernikahan dan Perceraian

Pemberian skor pada skala dilakukan dengan menggunakan

metode rating yang dijumlahkan (summated rating), yaitu metode penskalaan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar

penentuan nilai skalanya (Gable dalam Azwar, 2005). Dalam skala

yang menggunakan rating dijumlahkan ini, subjek diminta untuk

(46)

dengan menentukan faktor yang berpengaruh terhadap suatu sikap

secara favourable dan unfavourable tentang sesuatu. Pernyataan favourable adalah pernyataan yang mendukung secara teknis atau memihak obyek (sikap) yang akan diukur, sebaliknya pernyataan yang

tidak mendukung atau kontra terhadap obyek yang diukur disebut

pernyataan yang unfavourable.

Jawaban yang bersifat favourable dan unfavourable terdiri dari

empat pilihan jawaban yaitu “Sangat Setuju (SS)”, “Setuju (S), “Tidak

Setuju (TS)” dan “Sangat Tidak Setuju (STS)”. Pada pernyataan

favourable skor yang diperoleh untuk masing-masing jawaban adalah Sangat Setuju (SS) diberi skor 4, Setuju (S) diberi skor 3, Tidak Setuju

(TS) diberi skor 2 dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 1,

sedangkan untuk pernyataan unfavorable jawaban Sangat Tidak

Setuju (STS) diberi skor 4, Tidak Setuju (TS) diberi skor 3, Setuju (S)

diberi skor 2 dan Sangat Setuju (SS) diberi skor 1.

Skor untuk tiap-tiap aitem pada skala dijumlahkan sehingga

menjadi skor total. Semakin tinggi skor total yang diperoleh oleh

subjek maka menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap yang

mengarah kepada sikap positif dan sebaliknya skor yang rendah

menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap yang mengarah kepada

(47)

F. Validitas, Uji Daya Beda, dan Reliabilitas

Sebelum mengolah hasil penelitian terlebih dahulu dilakukan tiga pengujian,

yakni: validitas, uji daya beda, dan reliabilitas. Berikut adalah penjelasan dari

masing-masing uji menurut Azwar (2008):

1. Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti

sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam

melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat

dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut

menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai

dengan maksud dilakukannya pengukuran terebut Azwar (2008).

Pada penelitian ini akan digunakan validitas isi atau yang

disebut juga dengan content validity yang merupakan validitas yang

diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional

atau lewat professional judgement (Azwar, 2008). Pertanyaan yang

dicari jawabannya dalam validasi ini adalah “sejauhmana aitem-aitem

dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak

diukur” atau “sejauhmana isi tes mencerminkan ciri atribut yang

hendak diukur” (Azwar, 2008).

Validitas isi terbagi menjadi dua tipe yakni validitas muka (face

validity) dan validitas logik (sampling validity). Pada penelitian ini akan menggunakan validitas logik karena validitas muka mempunyai

(48)

logik akan menunjukkan sejauhmana isi tes merupakan representasi

dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur.

Untuk memperoleh validitas logik yang tinggi suatu tes harus

dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar berisi hanya aitem

yang relevan dan perlu menjadi bagian tes secara keseluruhan. Suatu

objek ukur yang hendak diungkap oleh tes haruslah dibatasi lebih

dahulu kawasan perilakunya secara seksama dan konkret. Batasan

perilaku yang kurang jelas akan menyebabkan terikutnya aitem-aitem

yang tidak relevan dan tertinggalnya bagian penting dari objek ukur

yang seharusnya masuk sebagai bagian dari tes yang bersangkutan.

Pada penelitian ini yang akan diukur adalah sikap terhadap

pernikahan pada individu dewasa awal yang mengalami perceraian

orang tua. Menurut Walgito (1999), atribut sikap adalah komponen

kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Sehingga dalam

penelitian ini, atribut-atribut tersebut yang dipakai dan pengujian

terhadap isi tes telah disetujui oleh dosen pembimbing selaku

professional judgement. 2. Uji Daya Beda

Pengujian keselarasan fungsi aitem dengan fungsi tes

menghendaki dilakukannya komputasi koefisien korelasi antara

distributor skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan

yaitu distribusi skor total tes itu sendiri. Prosedur pengujian

(49)

aitem-total (rix

Secara teknis, pengujian konsistensi aitem dilakukan dengan

menghitung koefisien korelasi antara skor subjek pada aitem yang

bersangkutan dengan skor total tes (korelasi aitem-total). Bagi tes

yang setiap aitemnya diberi skor kontinyu dapat digunakan formula

koefisien korelasi product-moment Pearson. Semakin tinggi korelasi

positif antara skor aitem dengan skor tes berarti semakin tinggi

konsistensi antara aitem tersebut dengan tes keseluruhan yang berarti

semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasinya rendah

mendekati nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi

ukur tes dan daya bedanya tidak baik. Untuk mengetahui aitem mana

yang memiliki daya beda tinggi dan tidak maka hasil dari r

) yang umum juga dikenal dengan sebutan indeks daya beda

aitem. Sebutan ini adalah benar dikarenakan pada hakikatnya suatu

aitem yang konsisten merupakan aitem yang mampu menunjukkan

perbedaan antar subjek pada aspek yang diukur oleh tes yang

bersangkutan (Azwar, 2008).

ix perlu

dibandingkan dengan r tabel dengan N adalah jumlah subjek yang

diteliti. Apabila rix

Dalam penelitian ini terdapat 38 subyek, sehingga r tabel yang

digunakan adalah 0,320 (Riduwan, 2006). Penggunaan r tabel dipilih

dikarenakan dianggap lebih cermat oleh peneliti. Jika indeks daya > r tabel maka aitem tersebut mempunyai daya

(50)

beda yang diperoleh di bawah 0,320 maka dikategorikan rendah, dan

berikut adalah hasil yang diperoleh:

Tabel 3.2

Uji Daya Beda 30 Aitem

No. Pernyataan Indeks Daya Beda aitem Daya Beda

1. Aitem 1 0,473 Tinggi

Pada Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa ada tiga aitem yang memiliki

indeks daya beda di bawah 0,320 yakni aitem 10, 11, dan 29. Hal ini

berarti ketiga aitem tersebut mempunyai indeks daya beda rendah

(51)

aspek yang diukur oleh tes ini. Sehingga ketiga aitem ini tidak

digunakan lagi. Oleh karena penelitian ini hanya diujikan satu kali

pada sekelompok subjek maka aitem yang mempunyai indeks daya

beda tinggi diuji lagi untuk melihat apakah ke-27 aitem sudah

mempunyai indeks daya beda tinggi. Indeks daya beda pada 27 aitem

ditunjukkan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3

Uji Daya Beda 27 Aitem

No. Pernyataan Indeks Daya Beda aitem Daya Beda

(52)

Pada Tabel 3.3, indeks daya beda ke-27 aitem sudah masuk ke

dalam kategori tinggi karena sudah melebihi r tabel (0,320). Oleh

karena itu, ke-27 aitem sudah mampu menunjukkan perbedaan antar

subjek pada aspek yang diukur pada penelitian ini.

3. Reliabilitas

Ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah

sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang

memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel

(reliable). Secara empirik, tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan

oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas yang

dilambangkan dengan rxx’.

Dalam penelitian ini untuk melakukan uji reliabilitas digunakan

formula dari Alpha Cronbach (Sugiyono, 2008). Dalam hal ini apabila

nilai koefisien α ≥ 0,6 maka dapat dikatakan bahwa skala yang

digunakan tersebut reliabel. Hasil koefisien α yang dilakukan dengan

menggunakan SPSS didapatkan bahwa reliabilitas dari ke-27 aitem

adalah 0.896. Diketahui bahwa koefisien α hasil pengujian lebih besar

daripada 0,6 sehingga dapat dikatakan bahwa hasil pengukuran ini

dapat dipercaya.

G. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan untuk mengetahui arah

(53)

hasil tes. Apabila skor mean empirik lebih tinggi daripada skor mean hipotetik

maka arah sikap terhadap perkawinan tinggi dan sebaliknya. Untuk lebih

meyakinkan seberapa signifikan perbedaan mean empirik dan mean hipotetik maka dilakukan uji t, dan hasil uji akan signifikan apabila nilai p value di lebih

(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik purposive

sampling. Hal tersebut disebabkan karena sampel ditentukan oleh orang yang mengenal betul populasi yang akan diteliti sehingga akan didapatkan sampel yang

representatif untuk populasi yang sedang diteliti. Peneliti melakukan penelitian

dengan menyebarkan kuisioner tentang skala sikap terhadap pernikahan kepada 50

orang subjek, yang dilengkapi dengan identitas subjek. Subjek sebagian

merupakan orang yang dikenal oleh peneliti, dan sebagian lagi merupakan kenalan

dari orang yang dikenal oleh peneliti. Dalam proses pengerjaan kuisioner, pada

beberapa orang, peneliti menunggu karena kuisioner diisi secara langsung, dan

sebagian besar yang lain meminta untuk ditinggal terlebih dahulu dan kuisioner

diambil keesokan harinya atau beberapa hari kemudian. Dari 50 kuisioner yang

disebarkan tersebut, sebanyak 5 kuisioner tidak dikembalikan kepada peneliti

sehingga tersisa 45 kuisioner. Dari 45 kuisioner yang tersisa, sebanyak 7 kuisioner

tidak dapat dipergunakan sebagai data penelitian karena orang tua subjek tidak

bercerai, sehingga tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam penelitian ini,

yaitu orang tua subjek bercerai. Oleh karena itu jumlah kuisioner yang layak

(55)

B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Subjek

Subjek penelitian ini adalah individu dewasa awal yang

mengalami perceraian orang tua. Jumlah subjek penelitian ini adalah

38 orang. Adapun deskripsi subjek berdasarkan jenis kelamin, usia,

pendidikan, pekerjaan, dan usia saat orang tua bercerai dijelaskan pada

Tabel 4.1 sampai dengan Tabel 4.5:

Tabel 4.1

Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Prosentase (%) Laki-laki 15 39,47 Perempuan 23 60,53

Total 38 100

Tabel 4.2

Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia

Usia Jumlah Prosentase (%)

20 tahun 1 2,63

21 tahun 4 10,53

22 tahun 5 13,16

23 tahun 10 26,32

24 tahun 6 15,79

25 tahun 4 10,53

26 tahun 2 5,26

27 tahun 1 2,63

28 tahun 3 7,89

29 tahun 2 5,26

Total 38 100

(56)

Tabel 4.3

Karakteristik Subjek Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Jumlah Prosentase (%) Tidak ada keterangan 1 2,63

SMA 20 52,63

D3 3 7,89

S1 14 36,84

Total 38 100

Tabel 4.4

Karakteristik Subjek Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Jumlah Prosentase (%) Tidak ada keterangan 10 26,32

Mahasiswa/i 11 28,95

Honorer PNS 1 2,63

Pegawai Negeri 1 2,63

Pegawai Swasta 2 5,26

Pedagang HP 1 2,63

Calon Dokter 1 2,63

Distributor Buku 1 2,63

Distributor HP 1 2,63

Guru 2 5,26

Karyawan 3 7,89

Wiraswasta 4 10,53

(57)

Tabel 4.5

Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia Saat Orang Tua Bercerai Usia Saat Orang Tua

Bercerai

Jumlah Prosentase (%)

Rata-rata Usia 8,76

2. Analisis Data a. Analisis Data

Setelah penelitian dilakukan, maka data yang diperoleh

dideskripsikan. Hasil penelitian yang diperoleh dideskripsikan

dalam Tabel 4.6:

Tabel 4.6

Deskripsi Data Penelitian

Variabel Hipotetik Empirik

Min Maks Rerata Min Maks Rerata Sikap 27 108 67,5 76 106 91,13 Catatan

Data hipotetik = Skor yang diperoleh oleh subjek

Data empiris = Skor yang sebenarnya diperoleh dari hasil penelitian

Berdasarkan data hasil penelitian, skor variabel akan

(58)

Klasifikasi dilakukan dengan mengasumsikan bahwa skor

populasi subjek mempunyai distribusi normal, sehingga dapat

dibuat skor hipotetik yang terdistribusi menurut model normal

(Azwar, 2003).

Dilihat dari data penelitian diketahui bahwa mean yang

diperoleh menunjukkan hasil yang tinggi, untuk meyakinkan

hasil tersebut maka dilakukan uji t. Dalam penelitian ini hanya

digunakan satu variabel, maka digunakan uji one sample t test.

Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat bantu Program

SPSS versi 16.00 for windows.

Cara pengujian adalah dengan melihat nilai one sample t

test yang dihasilkan dalam penelitian. Jika one sample t test bernilai positif, berarti subjek mempunyai kecenderungan sikap

positif. Sebaliknya jika one sample t test bernilai negatif, berarti

subjek mempunyai kecenderungan sikap negatif. Selanjutnya

untuk mengetahui apakah nilai one sample t test tersebut

signifikan atau tidak, maka dilihat p value hasil pengujian. P

value adalah tingkat kesalahan yang terjadi dalam perhitungan, sedangkan α adalah tingkat kesalahan yang ditolerir. Pendekatan

kaidah pengambilan keputusan biasanya memilih α sebesar 0,05

atau 0,01 atau kadang-kadang sebesar 0,10 (Winarno, 2007).

Dalam penelitian ini α yang digunakan adalah 0,05 (5%) karena

(59)

value ≤ α (alpha) maka dikatakan signifikan. Sebaliknya jika nilai p value > α (alpha) maka dikatakan tidak signifikan.

Berdasarkan pengujian yang dilakukan diperoleh nilai one

sample t test sebesar 70,395 (positif). Hal ini menunjukkan bahwa subjek mempunyai kecenderungan sikap positif terhadap

pernikahan. Untuk mengetahui apakah sikap yang terbentuk

tersebut signifikan atau tidak, dilakukan perbandingan nilai p

value dengan α. Dari perbandingan yang dilakukan diketahui bahwa nilai p value (0,000) < α (0,05). Artinya, bahwa

kecenderungan subjek untuk bersikap positif terhadap

pernikahan adalah signifikan.

b. Kategorisasi

Pada skala sikap terhadap pernikahan dengan jumlah

aitem sebanyak 27 buah, skor minimum yang dapat diperoleh

dari subjek adalah 27 x 1 = 27 dan skor maksimum yang dapat

diperoleh adalah 27 x 4 = 108, sehingga jarak sebarannya adalah

108 – 27 = 81 dan setiap satuan deviasi standar (σ) bernilai 81/6

= 13,5 serta mean hipotetiknya (M) = 81 – 13,5 = 67,5.

Berdasarkan hasil perhitungan ini maka Skala Sikap terhadap

Pernikahan dapat diklasifikasikan menjadi tiga klasifikasi

(60)

Tabel 4.7

Klasifikasi Evaluatif Skala Sikap Terhadap Pernikahan Kategori Ketentuan Nilai Frekuensi Persentase (%) Tinggi X > M + 1σ X > 81 32 84,21 Sedang M - 1σ < X ≤ M + 1σ 54 < X ≤ 81 6 15,79

Rendah X ≤ M - 1σ X ≤ 54 0 0

Catatan:

M = Rerata hipotetik

σ = Setiap satuan standar deviasi

Berdasarkan hasil klasifikasi sebagaimana dimuat dalam

Tabel 4.7, diketahui bahwa 6 orang subjek (15,79%) memiliki

skor sedang, dan 32 orang (84,21%) memiliki skor tinggi. Jika

dilihat dari jumlah subjek, maka dapat dikatakan bahwa

mayoritas subjek dalam penelitian ini memiliki persentase tinggi.

Hal ini terbukti dari rata-rata skor empirik subjek yang lebih

tinggi dibandingkan rata-rata skor hipotetik.

C. Pembahasan

Hasil dari penelitian sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal

yang mengalami perceraian orang tua adalah individu dewasa awal memiliki sikap

positif terhadap pernikahan. Hasil dari penelitian ini tidak mendukung pendapat

Rini (2002) yang mengungkapkan bahwa perceraian orang tua dapat

mempengaruhi sikap seorang individu terhadap pernikahan. Hasil penelitian ini

juga tidak sejalan dengan pandangan Astrella (dalam Dewi, 2006) yang

berpendapat bahwa perceraian akan mengubah sikap individu terhadap peranan

orang tua dalam keluarga, gambaran peran suami-istri dalam masyarakat,

(61)

Santoso (2009) mengungkapkan bahwa akibat perceraian orang tua,

anak-anak di masa dewasanya bisa mengalami phobia berupa takut akan pernikahan.

Mereka dihantui kekhawatiran akan bercerai seperti yang dialami oleh kedua

orang tuanya. Namun dampak negatif perceraian tersebut kemungkinan dapat

dicegah dengan beberapa cara, antara lain: orangtua meminta maaf kepada

anak-anak atas langkah perceraian yang terpaksa mereka tempuh dan memberikan

penjelasan yang menyejukkan bagi mereka, orang tua tidak melakukan

pertengkaran di depan anak, dan setelah bercerai orang tua tetap menjaga

hubungan baik satu dengan yang lain, serta melakukan aktivitas bersamaan

dengan anak sehingga dapat menjalin komunikasi dengan baik.

Rini (2002) mengungkapkan bahwa seorang anak yang berhasil dalam

proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan

kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal

beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak

berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak

tersebut, setelah dewasa menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang

dekat dengan orang lain atau lawan jenis. Akan tetapi bagi anak yang dapat

beradaptasi mereka akan menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak

lagi bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orangtua, dapat

menerima rasa kehilangan, tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri

sendiri, serta menjadi dirinya sendiri lagi sehingga pandangan terhadap

pernikahan tidak negatif, dan tetap dapat menjalin hubungan yang baik dengan

(62)

apabila seorang individu tidak berhasil dalam proses adaptasi. Dalam penelitian

ini, sikap subjek terhadap terhadap pernikahan yang positif dimungkinkan karena

subjek dapat beradaptasi dengan baik.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 walaupun orang tua sudah bercerai, mereka

masih terikat pada kewajiban memelihara anak-anak yang telah dilahirkan dari

pernikahan mereka. Kesejahteraan anak yang dilindungi oleh Undang-Undang

yang menuntut orang tua untuk tetap menjalankan kewajibannya tersebut dapat

membuat anak tetap merasa diperhatikan oleh orang tuanya, sehingga sikap positif

terhadap pernikahan dapat terbentuk dikarenakan subjek tidak kehilangan figur

orang tua lengkap, kendati orang tuanya bercerai, mereka masih meluangkan

waktu yang banyak bersama subjek, mengetahui perkembangan subjek, dan

mencurahkan perhatian. Figur orang tua juga bisa diisi oleh orang lain selain

orang tua subjek, yang dapat memberikan kontribusi positif pada diri subjek.

Selain itu orang tua juga menanamkan pada diri subjek bahwa perceraian yang

dilakukan oleh orang tuanya merupakan jalan keluar yang terbaik dari

permasalahan yang dihadapi orang tuanya, dan bukan dikarenakan kesalahan

subjek. Hal ini sejalan dengan pendapat Widyarini (2007) yang mengungkapkan

bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh orangtua yang

bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak bahwa

mereka tidak bersalah. Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah

mencarikan orang dewasa lain seperti tante atau paman, yang untuk sementara

dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya agar

Gambar

Tabel 3.2
Tabel 3.3 Uji Daya Beda 27 Aitem
Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia
Tabel 4.3 Karakteristik Subjek Berdasarkan Pendidikan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Usaha para partisipan sebagai orang tua dalam mengatasi kecemasan terhadap kehidupan masa depan anak yang tunarungu, di antaranya adalah selalu mendukung dan

Dari hasil analisis, didapat parameter pemesinan yang optimal dan urutan parameter yang memiliki kontribusi terbesar hingga terkecil untuk mendapatkan kualitas geometrik yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal apa saja yang menyebabkan pihak yang bersangkutan melelang agunan debitur dan bagaimana prosedur dalam

Analisis terhadap curah hujan di Pulau Jawa (Gambar 10 kolom kanan), saat kondisi El Niño modoki dengan ASPL positif tinggi yang diikuti konvergensi angin horizontal di

Gelar Vokasi Ahli Madya ( A.Md ) dalam Bidang Ilmu Perpustakaan.

KARTA JAYA H TAMBUNAN. Kelayakan Usaha Penangkapan Ikan dengan Purse Seine 56 GT di Kota Sibolga Sumatera Utara. Dibimbing oleh MULYONO S BASKORO dan ROZA

Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya

Hasil pengembangan dari sistem informasi dalam Laboratorium Sistem Produksi dipergunakan sebagai sebuah alat bantu dalam proses manajemen inventaris dan telah didesain untuk