• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 100/PHP.BUP-XIV/2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 100/PHP.BUP-XIV/2016"

Copied!
227
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---

RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 100/PHP.BUP-XIV/2016

PERIHAL

PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN BUPATI DAN

WAKIL BUPATI KABUPATEN KEPULAUAN SULA

ACARA

MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI DAN/ATAU

AHLI PEMOHON, TERMOHON, PIHAK TERKAIT, DAN

PEMBERI KETERANGAN

(III)

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

--- RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 100/PHP.BUP-XIV/2016 PERIHAL

Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sula PEMOHON PERKARA NOMOR 72/PHP.BUP-XIV/2016

1. H. Safi Pauwah, SH dan Faruk Bahanan TERMOHON

KPU Kabupaten Kepulauan Sula ACARA

Mendengarkan Keterangan Saksi dan/atau Ahli Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, dan Pemberi Keterangan (III)

Selasa, 2 Februari 2016, Pukul 13.15 – 16.19 WIB Pukul 16.56 – 17-57 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)

2) I Dewa Gede Palguna (Anggota)

3) Manahan M.P. Sitompul (Anggota)

(3)

Pihak yang Hadir:

A. Pemohon Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. H. Safi Pauwah 2. Faruk Bahanan

B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Misbahuddin Gasma 2. Robinson

3. Junaidi

4. Janter Manurung 5. Samsudin

C. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. I Gusti Putu Artha

D. Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Sahbudin Lumbessy 2. M. Ali Anwar

3. Asra Fokaaya 4. Ilham

5. Julkifli Umagapi

E. Termohon (KPU Kabupaten Kepulauan Sula):

1. Bustamin Sanaba (Ketua KPU Kab. Kepulauan Sula) 2. Ramli K. Jacub (Anggota KPU Kab. Kepulauan Sula) 3. Yuni Yunengsih Ayuba (Anggota KPU Kab. Kepulauan Sula) 4. Abdul Haris Umanailo (Anggota KPU Kab. Kepulauan Sula)

F. Kuasa Hukum Termohon Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. A.H. Wakil Kamal 2. Hedi Hudaya 3. Huqun Guntoro 4. Ahmad Taufik 5. Iqbal Pasaribu

G. Saksi dari Termohon Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Sudirman Marius 2. Abdilah Umasugi

(4)

4. Moardi Samuel 5. Mohdar Umasugi

H. Pihak Terkait Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Zulfahri Abdullah

I. Kuasa Hukum Pihak Terkait Perkara Nomor

100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Hendra Karyanga 2. Nikson Gans Lalu

J. Ahli dari Pihak Terkait Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Saldi Isra

K. Saksi dari Pihak Terkait Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016:

1. Iksan Umasugi 2. Basir Makian 3. Abubakar Gailela 4. Halik Juwile L. Panwaslu: 1. Hasan Kabau 2. Hamzah 3. Ifan S. Buamona M. Bawaslu: 1. Muksin Amrin

(5)

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 100/PHP.BUP/XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

Saya cek kehadirannya. Pemohon siapa yang hadir?

2. KUASA HUKUM PEMOHON: MISBAHUDDIN GASMA

Ya. Pemohon hadir bersama Kuasa Hukum bersama Prinsipal H. Muhammad ... H. Safi Pauwah dan Ir. H. Faruk Bahanan. Saya Kuasa Hukum Misbahuddin Gasma, Robinson, Janter dan Junaidi. Terima kasih, Yang Mulia.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Termohon, siapa yang hadir?

4. KUASA HUKUM TERMOHON: HEDI HUDAYA

Kita hadir semua, Yang Mulia. Lima Kuasa Hukum hadir dengan lima Prinsipalnya KPU Kabupaten Sula.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Pihak Terkait?

6. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: HENDRA KARYANGAN

Yang Mulia. Pihak Terkait, hadir bersama dengan saksi 4 orang.

7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, baik. Supaya efisien kita ambil sumpah seluruhnya. Untuk Pemohon menghadirkan ahli Pak Putu Artha, betul ya?

(6)

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Pak Putu untuk maju ke depan. Saksi Sahuddin Lumbessy, M. Ali Anwar, Asra Fokaaya, Rusmin Umasugi dan Julkifli Umagapi. Silakan maju ke depan.

10. KUASA HUKUM PEMOHON: ROBINSON

Mohon izin, Yang Mulia.

11. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Dari mana ini?

12. KUASA HUKUM PEMOHON: ROBINSON

Pemohon.

13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya.

14. KUASA HUKUM PEMOHON: ROBINSON

Yang Saksi Nomor 4 diganti dengan Ilham Engelan.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Yang Nomor 4?

16. KUASA HUKUM PEMOHON: ROBINSON

Ya, yang (...)

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Identitasnya sudah dimasukkan ke sini?

18. KUASA HUKUM PEMOHON: ROBINSON

Sudah, Yang Mulia. Diganti dengan ... yang M. Rusmin Umasugi, Yang Mulia.

(7)

19. KETUA: ARIEF HIDAYAT Rusmin Umasugi diganti?

20. KUASA HUKUM PEMOHON: ROBINSON

Ilham Engelan.

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ilham. Silakan Ilham. Ada identitasnya, ya. Enggak, yang Ilham identitasnya belum sampai di sini. Kalau saksi gelap enggak mau saya. Silakan diambil. Betul namanya Ilham Engelan, ya?

Sekarang dari Pihak Termohon. Saksi Sudirman Marius, Abdilah Umasugi. Mana, maju ke depan. Yusri Umasugi, Moardi Samual dan Mohdar Umasugi. Ini satu fam semua ini Umasugi semua ini, makanya Umasugi yang Pemohon langsung di ... oh tapi masih ada Julkifli Umasugi.

Terus dari Pihak Terkait. Tolong diatur ya tempatnya, ya. Pihak Terkait ahlinya Prof. Saldi Isra terus Pak Iksan Umasugi, Pak Basir Makian, Pak AbuBakar Gailela yang terakhir hanya 4 orang Haliq Dwilla. Silakan maju ke depan.

Selain dan selebihnya, semua muslim. Hanya 1 Pak Putu Artha yang Hindu, ya. Agak terpisah. Tolong ini dibelakangnya. Dua orang ini di belakang. Ini ya di belakang. Saksi, ya. Nah, di situ.

Silakan, Yang Mulia. Ya, untuk Pak Putu Artha.

22. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Ya, silakan tangannya masti karana dulu. Ikuti lafal sumpah yang saya bacakan.

” Om Atah Paramawisesa. Saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Om santi, santi, santi om.”

23. AHLI BERAGAMA HINDU BERSUMPAH:

Om Atah Paramawisesa. Saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Om santi, santi, santi om.

24. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Terima kasih, Pak Palguna. Sekarang ahli Prof. Saldi terlebih dahulu.

(8)

”Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”

25. AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH:

Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.

26. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih. Sekarang saksi seluruhnya yang muslim, ya. Tangannya di bawah lurus, disampingnya tidak ada yang ke depan, ya. Dengan khidmat, ya. Saudara bersumpah menurut agama Islam.

”Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.”

27. PARA SAKSI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH:

Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.

28. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih. Rohaniwan, terima kasih. Prof. Saldi, Pak Putu, silakan kembali ke tempat. Silakan kembali ke tempat. Tempat duduk seperti yang tadi sudah diatur. Yang kita dengar Ahlinya terlebih dahulu. Silakan Pak Putu Artha dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Apa yang akan Anda sampaikan. Kemudian nanti Prof. Saldi. Baru kemudian nanti kita perdalam. Kalau masih dibutuhkan. Silakan Pak Putu Artha.

29. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Oleh karena keterangan Ahli ini pada sidang pada perkara sebelumnya dengan Majelis Hakim yang sama juga sudah pernah saya sampaikan dan saya kira tidak ada perubahan signifikan, maka saya mencoba meringkasnya sedemikian rupa.

30. KETUA: ARIEF HIDAYAT

(9)

31. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA Om swastiastu. Assalamualaikum wr. wb.

32. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumussalam wr. wb.

33. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Salam sejahtera untuk kita semua. Om nama Buddhaya. Prinsip dasar pengaturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 sejatinya kalau dilihat dari sisi penyelesaian sengketa, penyelesaian pelanggaran, dan batas waktunya. Itu memang diatur dengan jauh lebih tertib. Jadi, misalnya dari konteks kelembagaan. Masing-masing telah memiliki fungsi yang sama ... fungsi yang berbeda sesuai dengan ini nya masing-masing ... perkara yang ditanganinya masing-masing. Sehingga ketika berbicara soal batas waktu penyelesaian misalnya. Penyelesaian pelanggaran administrasi itu menjadi ranah Bawaslu. Maksimum hanya 5 hari dan sudah ... dan dalam tempo 7 hari sudah harus ditindaklanjuti oleh KPU. Sedangkan sengketa pemilihan harus sudah diputus dalam 12 hari. Pidana 40 hari sudah selesai sampai inkracht di pengadilan tinggi. Bahkan secara khusus Pasal 150 mengatakan, “Lima hari sebelum Pleno rekapitulasi, seluruh perkara pidana harus sudah putus.” Nah, penyelesaian Tata Usaha Negara juga demikian. Bertingkat sedemikian rupa sampai di level Mahkamah Agung hanya butuh waktu 69 hari. Kalau dihitung dari penetapan calon, pada hari H sampai kemudian pemungutan suara itu rentang waktunya 105 hari.

Dengan cerita ini, saya ingin mengatakan bahwa konstruksi Undang-Undang Nomor 8 ini telah memberi ruang kepada semua lembaga. DKPP, Kepolisian Republik Indonesia untuk masalah pidana, Bawaslu, menyelesaikan persoalannya masing-masing sebelum kemudian pemungutan suara dilakukan. Dengan jalan seperti itu diharapkan tidak seperti pada 5 tahun lalu atau dengan Undang-Undang 32, maka residu-residu hukum masih terjadi.

Dulu misalnya, masih ada putusan yang menggantung di MA. Bahkan MA memutus salah satu pasangan calon tidak memenuhi syarat. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah memutus yang bersangkutan menang dan mereka sudah dilantik. Jadi, antar lembaga negara itu bisa putusannya berbeda.

Nah, dengan konstruksi yang sekarang ini. Seluruh perkara baik pidana segala macam. Kalau kemudian dilakukan dengan baik, dengan konsisten oleh semua pemangku kepentingan, sudah selesai. Sudah selesai sekurang-kurangnya H-5 untuk pidananya sebelum rekapitulasi.

(10)

pertimbangan hukum Majelis bahwa menjadi tidak relevan lagi. Sekali lagi, menjadi tidak relevan lagi hal-hal yang sifatnya kualitatif. Kemudian dipaksakan di tempat ini dan memfungsikan Mahkamah menjadi keranjang sampah. Jadi, itu barangkali juga kritik saya untuk Pemohon. Kalau misalnya ada sifatnya Pegawai Negeri Sipil tiba-tiba ada masalah di situ. Ini ada masalah di situ, maka pertanyaan besarnya adalah semua pihak yang bersengketa. Apa yang sudah dilakukan selama proses pemungutan ... pra pemungutan suara kemarin sampai pada masa kampanye. Jadi, apakah sudah memfungsikan lembaga-lembaga itu? Kalau tidak, berarti Anda yang bersalah. Lalu tidak bisa serta-merta dibawa ke Mahkamah Konstitusi seluruhnya. Harusnya seluruhnya tuntas di level itu. Pertanyaan besarnya adalah, “Apa berarti pelanggaran-pelanggaran itu dibiarkan waktu itu kemudian tidak dibawa ke Mahkamah Konstitusi?” Tidak. Konstruksinya adalah semua persoalan itu putus di situ. Putusan-putusan yang berkekuatan hukum tetap inilah yang dipakai bukti di persidangan ini untuk dipakai Majelis mengambil putusan. Apakah kemudian ada masalah dengan proses pemungutan suara itu. Itu yang pertama.

Nah, persoalannya kemudian pada tataran normatif diimplementasinya memang tidak sering ... tidak ... tidak selaras. Para pihak kemudian tidak berkontribusi dengan sangat signifikan untuk menjadikan roh dari undang-undang ini berjalan dengan baik. Soal kualitas daftar pemilih misalnya. Masih sering menjadi persoalan di mana-mana padahal KPU sudah memberi kesempatan sampai 3 kali. Nanti akan ada cerita soal DKTB ... DPKTB.

Kemudian keterlambatan penyusunan undang-undang dan peraturan dibawahnya juga telah berimplikasi pada keterlambatan penyusunan perangkat di level bawah. Persoalannya adalah para penyelenggara di semua level akhirnya dipaksa oleh situasi waktu. Pada waktu yang sama mereka belajar memahami undang-undang sambil mensosialisasikan regulasi kepada semua pemangku kepentingan.

Intinya, ruang dan waktu untuk memahami dan mensosialisasikan aturan amat terbatas. Akibatnya kualitas sumber daya manusia penyelenggara di level KPPS relatif masih harus ditingkatkan lagi. Problem inilah yang menjelaskan sejumlah persyaratan admisitratif pengisian formulir C-1 terutama sertifikat C-1, belum lagi ada fakta sejumlah penyelenggara di level bawah acap kali bertindak partisan pada sejumlah calon tertentu.

Persoalannya kemudian adalah apakah perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi kemudian serta-merta hanya aspek-aspek yang kuantitatif. Menurut pandangan saya derajat akurasi hasil pemilihan itulah, saya stretching derajat akurasi hasil pemilihan itulah yang seyogyanya jadi bahan pengujian dalam persidangan ini. Apakah betul hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan oleh KPU setempat angkanya akurat dan benar. Saya tadi mengistilahkan dengan kopi satu gelas, apakah kopi satu gelas ini adalah benar-benar kopi yang bersih, tidak ada sianidanya, tidak

(11)

ada Jessica nya di situ gitu. Sehingga tidak ada orang terbunuh gara-gara minum kopi ini kalau suara sah itu kita anggap sebagai kopi. apakah rekapitulasi suara yang benar itu, satu gelas kopi itu berasal dari bahan baku yang bersih, atau dari proses pemungutan suara yang berjalan dengan luber dan jurdil. Nah, ketika bicara administratif parameternya sebenarnya sederhana, apabila data rekapitulasi suara per-TPS yang dimiliki Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, panwaslih sama, maka hemat saya hasil rekapitulasi itu dalam konteks angka telah akurat dan benar. Persoalannya kemudian adalah angka yang benar dan akurat itu apakah diperoleh dengan proses pemungutan suara yang luber dan jurdil. Oleh karena itulah, walaupun seluruh perkara-perkara kualitatif itu kemudian sudah ditangani oleh lembaga lain, tetapi ada ruang, ada ruang ada kasus yang memang masuk ke Mahkamah Konstitusi, setidak-tidaknya dari masa tenang sampai kemudian proses rekapitulasi suara.

Di masa tenang misalnya, ketika berbicara soal pembagian C-6 itu kemudian baru terkonfirmasi bukan pada saat pemungutan suara, tetapi pada saat kemudian rekapitulasi di kabupaten pada rek … pada saat rekapitulasi di kecamatan baru terkonfirmasi bahwa ada sejumlah tempat, ada sejumlah TPS yang ternyata C-6 nya tidak dibagikan misalnya. Artinya karena itu tidak terkonfirmasi melalui manajemen komplain berjenjang di level bawah dia menjadi absah kemudian masuk ke ranah Mahkamah Konstitusi.

Kemudian yang kedua, isu seksi yang kedua yang menyangkut masalah DPKTB atau saya bacakan saja langsung biar lebih terurut. Tiga isu sentral yang menjadi komplain berkaitan dengan kualitas bahan baku yang menentukan apakah hasil rekapitulasi suara bersih atau kotor adalah pertama soal sertifikat Formulir C-1, kedua soal Formulir C-6, dan ketiga soal DPTB2 yang dinilai cukup besar.

Mutu anggota KPPS yang rendah dan bimbingan teknis yang kurang berkualitas menyebabkan pengisian berita acara, sertifikat, dan lampiran Formulir C-1 sering tidak utuh dan keliru. Di pihak lain saksi pasangan calon juga tidak memilliki kapasitas-kapasitas untuk melakukan kontrol di TPS atas pengisian formulir tersebut karena tidak memiliki pemahaman yang memadai. Itulah sebabnya mekanisme rekapitulasi suara di jenjang PPK seharusnya menjadi penting untuk mengoreksi dan menyelaraskannya, sehingga tidak perlu lagi berlanjut ke kasus ini, kasus ini ke Mahkamah Konstitusi. Jika hanya sekedar sertifikat itu salah hitung, salah tempat segala macam silakan selesaikan di PPK.

Tapi problem kualitatif yang bisa terjadi di situ, ada suara sah yang diangkat di tempat lain kemudian muncul di sertifikat dan sangat bisa terlacak, tiba-tiba suara sahnya membesar, sedangkan yang datang memilih misalnya 400 surat suara yang tersedia di situ 500 tiba-tiba suara sahnya menjadi 500-sekian, terkonfirmasi pasti ada masalah di situ berkaitan dengan angka sertifikat. Dan itu pasti akan terlacak dalam proses

(12)

Distribusi formulir model C-6, hampir menjadi masalah di semua daerah yang menggelar pemilihan pada tahun ini. Di Karawang di 38 Formulir C-6 ditemukan di tempat sampah. Di Denpasar enam orang ditangkap karena menggunakan C-6 milik orang lain. Di Karang Asam seorang petugas KPPS di pecat karena membawa baju kaus men … mengkampanyekan pasangan calon lain sambil membagikan C-6. Di Boyolali, seorang KPPS di pecat karena membagikan formulir lalu memberikan uang Rp 25.000 kepada pemilih dan mengarahkan kepada calon tertentu. Saya kira data-data soal ini di Bawaslu Republik Indonesia terkompilasi dengan baik.

Fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa distribusi Formulir C-6 rawan disalahgunakan dan berimplikasi menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu. Problemnya adalah apabila dia di … hanya karena problem administratif barangkali kesalahan KPU pada tingkat pelanggaran undang-undang, tetapi ketika di kategorikan sebagai motif politik dan jika ada kesengajaan, maka itu sangat punya pengaruh sangat besar dan bisa mempengaruhi suara pasangan calon. Apapun motifnya yang jelas adalah jika C-6 tidak terdistribusi, maka ini parameter penyelenggara di level bawah tidak profesional dan persoalan menjadi serius kemudian jika berpengaruh terhadap hasil akhir pemilihan yang berselisih tipis itu. Jika tidak ada surat pemberitahuan memang betul bisa datang ke TPS membawa KTP, KK, passport, dan identitas lain, dan menggunakan haknya. Namun fakta pula disejumlah daerah dan komunitas informasi tersebut kurang tersosialisasi tanpa diberikan surat pemberitahuan mereka malu dan enggan memilih. Posisi surat pemberitahuan seperti ini, seperti undangan pernikahan. Jika tidak memegang kartu undangan seseorang merasa malu menghadiri pesta pernikahan walaupun yang menikah itu diujung gang tempatnya tinggal.

Itulah sebabnya rekomendasi saya di masa depan seperti halnya kartu pemilu yang sekarang ditiadakan, maka surat pemberitahuan ini atau Formulir C-6 ini sebaiknya dikaji ulang dan dicari metode yang lain. Sehingga tidak menjadi alat politik untuk kemudian disalahgunakan di lapangan.

Soal penggunaan KTP atau identitas lain DPTb-2 dalam pemilihan juga mengundang sejumlah tang … tanda tanya. Dengan proses pemutakhiran daftar pemilih tetap yang dilakukan berulang kali tiap hajatan demokrasi, ditambah lagi dibukanya kran pencatatan pemilih tambahan jadi sampai tiga kali ada DPT, ada DPTb-1 ada DPTb-2, hingga tujuh hari sebelum pemilihan, maka seharusnya penggunaan KTP di tiap-tiap TPS menunjukkan angka yang relatif sedikit. Sebagai ilustrasi saja pada saat kebijakan ini mulai dibuka tahun 2009 ketika pilpres saat itu, rata-rata per TPS hanya menggunakann KTP ¾ orang se-Indonesia jadi tidak sampai 1 orang. Penggunaan KTP yang cukup besar per-TPS pertama-pertama pastilah karena kualitas pemutakhiran DPT di level penyelenggara yang kurang berkualitas dan ini saya kira juga kontribusi semua pasangan calon

(13)

ada di situ karena tidak secara proaktif untuk ikut membantu penyelenggara di level bawah.

Namun belakangan muncul pula tudingan motif politik atas penggunaan KTP tersebut. Ada dugaan mobilisasi pemilih yang tidak memenuhi syarat ke TPS dengan penggunaan KTP bekerja sama dengan oknum KPPS 4 dan KPPS 5. Sebetulnya KPU pusat sudah ada terobosan baru di regulasi yang ada sekarang. Kalau dulu hanya 1 orang KPPS 4 saja ada di depan menerima pemilih sekarang ada 2 tetapi toh kenapa juga masih ada KTP yang cukup besar yang kemudian masuk mereka berkonspirasi untuk menguntungkan pasangan, menguntungkan pasangan calon tertentu. Nah, agar persoalan penggunaan KTP ini dapat dijelaskan di persidangan ini apakah karena problem kualitas DPT yang buruk atau karena motif politik, maka menurut pandangan saya kita dapat membuktikannya dengan menghadirkan Formulir Model Atb.2-KWK di persidangan ini terhadap TPS-TPS yang memiliki angka DPTb 2 di sertifikat C-1 yang cukup besar.

Satu catatan kritis adalah kalau di salinan DPT diserahkan kepada saksi pasangan calon ke semuanya, tetapi kalau salinan DPTb 2 dalam bentuk Atb.2 hanya dimiliki oleh penyelenggara. Jadi, 3 pasangan calon atau berapapun pasangan calon yang bertempur tidak punya mekanisme kontrol terhadap posisi orang-orang yang menggunakan KTP ini dan di situ tidak bisa dikoreksi, tidak bisa diteliti apa betul yang menggunakan KTP sesuai dengan persyaratan.

Di Formulir Model Atb.2-KWK itulah bisa diidentifikasi hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah jumlah pengguna KTP yang tercatat dalam sertifikat itu sama dengan jumlah pengguna KTP yang ada di absensi atau di ATB 2. Nah, kalau di situ berselisih di sertifikat lebih besar, di absensi lebih sedikit berarti ada masalah di situ dalam bentuk mark up.

2. Apakah nama-nama pengguna KTP dalam pemilihan adalah

memang pemilih yang berdomisili di RT/RW atau kelurahan desa setempat sesuai dengan petunjuk undang-undang. Jika terdapat lebih dari 1 ternyata tidak berasal di desa setempat apalagi ber-KTP di daerah lain, maka ada pemilih yang tidak berhak memilih menggunakan hak pilihnya di TPS itu dalam pemilihan. Fakta ini memiliki konsekuensi terjadinya pemungutan suara ulang di TPS itu sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 8 yang menyebutkan bahwa pemungutan suara ulang di TPS itu dilakukan apabila terbukti ditemukan lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS tersebut.

Saya kira poin yang ingin saya sampaikan dalam persoalan-persoalan kasus hari ini adalah mana kala perdebatannya ada urusan C-6 terutama DPTb 2 segala macam, maka persidangan ini melalui proses pembuktian dan saksi-saksi harus bisa mengkonfirmasi semua itu. Katakanlah misalnya

(14)

masalah KTP, maka pandangan saya Pihak Termohon harus bisa menjeleaskan dan membuktikan bahwa dokumen yang dimilikinya, siapa-siapa mereka itu KTP-nya mana saja sehingga terkonfirmasi apakah memang benar memenuhi syarat atau memang benar sesuai dengan aturan atau jangan-jangan memang ada motif politik kemudian sejumlah orang diminta memilih ke tempat itu untuk menentukan pasangan calon tertentu. Point of viewnya saya kira di situ.

Demikianlah keterangan saya dalam persidangan ini yang saya pertanggungjawabkan sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala kekurangan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sekian semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru. Om santi, santi, santi om. Terima kasih. Wassalamualikum wr.wb.

34. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr.wb. Terima kasih, Pak Putu Artha. Berikutnya Prof. Saldi Isra saya persilakan.

35. AHLI PIHAK TERKAIT: SALDI ISRA

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua, Om Swastiastu.

Ketua dan Anggota Panel Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, Kuasa Termohon, Kuasa Pihak Terkait yang saya hormati, hadirin sekalian yang berbahagia. Perkenankan saya membacakan keterangan hampir 9 halaman, 9 halaman pas. Mudah-mudahan waktunya bisa dipercepat.

Mengamati proses Persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sula Tahun 2015 yang tengah berlangsung saat ini dengan selisih suara sebanyak 169 suara atau setara dengan 0,94% menurut perhitungan Termohon, Pemohon dalam permohonannya mempersoalkan masalah pengurangan jumlah perolehan suara, manipulasi penggunaan kertas suara, dan kesalahan pencatatan data pemilih, pemilih siluman melalui daftar pemilih tambahan atau DPTb 2, dan politik uang.

Terkait kesalahan penghitungan yang didalilkan disebabkan adanya kesengajaan untuk mengurangi jumlah perolehan suara Pemohon sebanyak 6 suara sebagaimana dikemukakan di dalam Permohonan, Termohon telah membantah melalui jawaban karena itu sebaiknya hal ini diserahkan kepada proses pembuktian dengan bersandar pada bukti tertulis yang diajukan oleh masing-masing pihak dalam persidangan ini sebab hal tersebut merupakan masalah angka-angka yang sepenuhnya tergantung kepada dokumen hasil pemilihan yang dijadikan alat bukti. Apabila Pemohon merasa benar dengan hasil perhitungannya tentu bukti-bukti pendukung yang sah mesti ada jikalau tidak tentu klaim pengurangan menurut Pemohon sama sekali tidak akan dipertimbangkan oleh Majelis

(15)

Hakim Konstitusi. Hanya saya, jika pun misalnya dalil Pemohon terbukti di mana terjadi pengurangan suara Pemohon akibat kelalaian penyelenggara, hal itu pun tidak signifikan untuk mengubah hasil perolehan suara dalam pilkada Kabupaten Sula sehingga tidak akan mengubah posisi suara pasangan calon yang telah ditetapkan Termohon sebagai peraih suara terbanyak.

Selain itu, Pemohon juga menyampaikan persoalan bahwa telah terjadinya pelanggaran berupa mobilisasi dan/atau penambahan pemilihan … pemilih sebagaimana tercatat dalam DPTB-2 yang diklaim memberikan keuntungan pasangan calon peraih suara terbanyak. Hal ini dilakukan karena adanya pemilih yang menggunakan KTP atau identitas kependudukan lainnya seperti surat keterangan tempat tinggal pada ketika memberikan suara. Pertanyaan yang muncul, bagaimana sebetulnya persoalan tersebut harus dibaca dan sekaligus diselesaikan dalam konteks penyelesaian sengketa hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Sula?

Saya akan mencoba menjelaskan lebih jauh terkait persoalan dimaksud. Sebab dari pilkada ke pilkada, persoalan daftar pemilih selalu menjadi masalah yang dipersoalkan ketika terjadi sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Bahkan ini tidak hanya di sengketa pilkada, juga di sengketa pileg dan pemilu presiden dan wakil presiden. Ahli sebetulnya diminta untuk menjelaskan soal yang sama ketika penyelesaian sengketa hasil pemilu presiden yang lalu.

Ketua dan Anggota Panel Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi negara tegas menganut paham kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945.” Daulat rakyat bermakna kuasa tertinggi ada pada rakyat. Dalam pelaksanaan, kedaulatan rakyat merupakan gabungan keseluruhan dan kemauan masing-masing pribadi yang jumlahnya dalam masyarakat tersebut ditentukan oleh hasil pemilihan. Adapun proses penentuan suara terbanyak dilakukan melalui sebuah pemilihan umum atau pemilihan secara langsung. Karena itulah mengapa pemilu dan pilkada disebut sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Sebagai pemegang kuasa tertinggi, rakyat dalam menentukan pilihannya dalam kontestasi dalam pemilihan kepala daerah juga mendapat perlindungan dan jaminan konstitusional. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, masalah ini dinyatakan dalam beberapa pasal, misalnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 20D ayat (3), “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan.” Sekalipun rumusan dua pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut tidak secara eksplisit

(16)

konstitusi, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 11 dan 17 PUU-1/2003 tanggal 24 Februari 2004 menafsirkan bahwa pasal-pasal tersebut sebagai jaminan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih.

Dalam putusan dimaksud, Mahkamah Konstitusi menyatakan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih right to vote and right to be candidate adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, konvensi internasional. Sehingga pembatasan, penyimpangan, dan peniadaan serta penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.

Hak memilih dan dipilih sebagai hak konstitusional warga negara, di satu pihak dan pemilu atau pemilukada sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di pihak lain menuntut untuk dipenuhinya dua kualitas berbeda secara bersamaan. Dua kualitas tersebut adalah.

1. Kualitas administrasi pemilu atau pilkada yang professional. 2. Kualitas pelayanan terhadap pemenuhan hak konstitusional terhadap setiap warga negara yang telah memilih … memiliki hak pilih.

Keduanya harus sama-sama dipenuhi. Namun ketika dalam pelaksanaan terjadi benturan antara keduanya, maka pemenuhan kualitas kedua yang harus diutamakan. Sedangkan kualitas pertama mesti dinomorduakan. Sebab sebagai sarana pelaksana kedaulatan rakyat, esensi dari sebuah proses pemilu atau pilkada adalah terpenuhinya hak setiap warga negara yang memiliki hak pilih ketika menunaikan haknya. Karena itu, pemenuhan hak pilih dan hak dipilih tersebut tidak boleh dirintangi dengan alasan administrasi kepemiluan. Walau demikian, hak memilih dan dipilih tetap harus ditunaikan dengan mengikuti tertib administrasi sepanjang ditujukan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan hak yang dapat menyebabkan hilangnya integritas pemilihan umum.

Cara berpikir demikian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102 Tahun 2009 tekait pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hak-hak warga negara untuk memilih sebagaimana diuraikan di atas, telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara atau constitutional rights of citizens. Sehingga oleh karenanya, hak konstitusional tersebut di atas tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Atas dasar itulah kemudian ketentuan Pasal 28, Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (5), sebab Pasal 28 dan Pasal 11 Undang-Undang 42 Tahun 2008 mensyaratkan bahwa hanya warga negara yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap atau DPT dan daftar pemilih tambahan ap … atau DPTb-1 saja yang dapat menggunakan hak pilih dalam pemilu presiden dan wakil presiden.

(17)

Terdaftar dalam DPT termasuk dalam DPTb-1 dinilai MK sebagai prosedur administratif, sehingga tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial, yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilu maupun pemilukada.

Atas dasar pertimbangan begitu, MK berpendapat bahwa untuk melindungi hak pilih setiap warga negara penggunaan KTP atau paspor yang masih berlaku untuk menggunakan hak pilih bagi warga negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT merupakan alternatif paling aman untuk melindungi hak pilih setiap warga negara. Hanya saja penggunaan KTP atau paspor tersebut juga dengan syarat sebagaimana dinyatakan dalam salah satu pertimbangan hukum diktum putusan MK tersebut yang ada lima poin yang disebutkan di situ, misalnya WNI yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilih dengan menunjukan KTP yang masih berlaku atau paspor yang masih berlaku bagi WNI yang berada di luar negeri. WNI yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan kartu keluarga atau nama sejenisnya.

Penggunaan hak pilih warga negara yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat dilakukan di TPS yang berada di RT, atau di RW, atau nama sejenisnya sesuai dengan nama alamat yang tertera dalam KTP tersebut.

Keempat. Bagi warga negara yang sebagaimana dimaksud angka 3 sebelum menggunakan hak pilihnya terlebih dulu mendaftarkan diri kepada KPPS setempat.

Yang kelima. Bagi WNI yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau paspor dilakukan pada satu jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS. Ini untuk menghindari agar orang yang tidak terdaftar mau menggunakan hak pilihnya tidak memilih di banyak lokasi.

Putusan itu kemudian dijadikan dasar hukum oleh KPU untuk memberi ruang bagi warga negara yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu Presiden 2009 menggunakan hak pilihnya. Harus diakui putusan tersebut telah menyelamatkan proses penyelenggaraan Pemilu 2009 dari tuduhan melakukan pengabaian hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT pada saat pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 yang sangat ramai dengan persoalan banyaknya warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT.

Dalam konteks pilkada, putusan tersebut telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2015. Dimana tidak hanya warga negara yang terdaftar dalam pet … DPT dan DPTb-1 atau DPT tambahan saja yang dapat menggunakan hak pilihnya, melainkan juga warga negara yang tidak terdaftar dengan memenuhi persyaratan memberikan hak pilih yang ditentukan dengan … sesuai dengan putusan yang dimaksud. Hal ini diatur dalam Pasal 57 ayat

(18)

warga negara tidak terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat pemungutan suara menunjukan KTP elektronik, kartu keluarga, paspor, dan/atau identitas lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Walaupun sudah diatur demikian rupa adanya warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb-1 yang menggunakan hak pilihnya, nah itu pemilih yang terdaftar dalam DPTb-2, justru masih saja dipersoalkan dalam sengketa hasil Pilkada Sula yang saat ini sedang diperiksa. Kondisi ini sesungguhnya menggambarkan ketaknyamanan kontestan pilkada atas … atau terhadap penggunaan DPTb-2 ketika dukungan masyarakat tidak sesuai yang diharapkan, hanya dapat dikonfirmasi dengan kondisi dimana ketika dalam pilkada sebelum tahun 2009 misalnya, yang dipersoalkan adalah banyaknya warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT, lalu ketika telah disediakan jalan keluar bagi warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb-1 menggunakan hak pilihnya yang dipersoalkan justru adalah pemilih yang dalam DPTb-2 yang menggunakan hak pilihnya menggunakan KT … KTP atau identitas lainnya.

Dalam pandangan saya adanya pemilih yang memberikan suara dan tercatat dalam DPTb-2 tidak identik dengan adanya keuntungan bagi salah satu pasangan calon saja. Sebab siapapun yang akan dipilih menjadi hak atau merupakan hak mereka. Jadi tidak masuk akal kalau menuding bahwa ada dep … pemilih yang masuk melalui DPTb-2, lalu memberikan suaranya kepada salah satu pasangan calon saja karena itu tidak mungkin diidentifikasi.

Mencoba menghubungkan keduanya dan mempersoalkan pemilih yang tercatat dalam DPTb-2 sebagai hal yang menguntungkan peraih suara terbanyak adalah tidak tepat, sebab bisa saja diantara pemilih yang tercatat dalam DPTb-2 justru memberikan suaranya kepada Pemohon dalam kasus ini.

Oleh karena itu, sepanjang pemilih yang menggunakan KTP atau identitas lainnya memberikan haknya sesuai dengana syarat dan waktu yang ditentukan maka wajib hukumnya bagi penyelenggara pilkada untuk memfasilitasi warga … warga negara yang menggunakan hak pilihnya. Justru ketika penyelenggara pilkada tidak mengizinkan pemilih yang terda … tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb-1 yang memenuhi syarat penggunaan KTP, atau paspor, atau identitas lainnya, penyelenggara akan dinilai melakukan tindakan menghalang-halangi hak seorang warga untuk memberikan hak pilih dalam pilkada. Dengan basis argumentasi demikian, menyatakan sikap penyelenggara pilkada mengakomodir hak pilih warga negara dengan menggunakan KTP atau identitas lainnya sebagai keberpihakan untuk memenangkan salah satu pihak merupakan dalil yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Ketua dan Anggota Panel Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Termohon, Kuasa Pemohon, dan Kuasa Pihak Terkait yang saya hormati, Hadirin sekalian yang berbahagia. Lalu, bagaimanakah dengan

(19)

penggunaan Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT)? Apakah dokumen tersebut dapat dipergunakan sebagai dasar menggunakan hak pilih dalam pilkada? Pertanyaan tersebut akan dapat dijawab setelah menjawab pertanyaan berikut. Apakah SKTT termasuk dokumen atau surat keterangan kependudukan atau bukan? Jika ya, tentunya SKTT dapat dipergunakan sebagai identitas lainnya. Terkait hal itu, dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dinyatakan sebagai berikut.

Dan/atau … dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Sesuai ketentuan tersebut, SKTT mengenai status tinggal tetap merupakan bagian dari surat keterangan kependudukan. Sehingga, SKTT yang demikian merupakan bagian dari maksud identitas lainnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.

Oleh karena itu, apa yang diatur KPU dalam poin 5 Surat Edaran Nomor 1.003 KPU/XII-2015 tanggal 6 Desember 2015 perihal pelaksanaan DPTb-2 adalah benar dan sesuai dengan apa yang dimaksud dalam Undang-Undang Adiministrasi Kependudukan dan Undang-Undang Pilkada. Dalam poin 2, poin 5, dan 7 surat edaran tersebut dinyatakan sebagai berikut.

Poin 2, “Pendaftaran pemilih DPTb-2 dapat dilakukan dengan menunjukkan kartu tanda penduduk, kartu keluarga, paspor, atau identitas lainnya kepada KPPS.”

Poin 5, “Yang dimaksud dengan identitas lainnya disebutkan dalam huruf, yakni surat keterangan tempat tinggal.”

Poin 7, “surat keterangan tempat tinggal sebagaimana dimaksud pada angka 6 yang dikeluarkan oleh kepala desa, lurah diberikan kepada warga yang nyata-nyata sudah lama tinggal di desa atau di kelurahan tersebut, namun belum atau tidak memiliki identitas kependudukan dan surat keterangan tersebut secara kolektif untuk lebih dari satu warga atau pemilih.”

Materi semuatan surat edaran KPU di atas, sejalan dengan apa yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, dimana surat keterangan tempat tinggal yang dimaksud adalah tempat tinggal tetap dimana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, keterangan tempat tinggal tetap merupakan surat keterangan kependudukan dengan status sebagai surat keterangan kependudukan, maka dokumen tersebut sah dijadikan identitas ketika menggunakan hak pilih warga … ketika menggunakan hak pilih bagi warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT maupun DPTb-1.

Oleh karena itu, sekalipun misalnya dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten Sula terdapat pemilih yang menggunakan surat keterangan tempat tinggal tetap, hal demikian tidak dapat dinilai sebagai pelanggaran sebab penggunaan hak pilih dengan cara demikian sama sekali tidak

(20)

Apalagi batasan menggunakan SKTT sangat jelas, yaitu hanya bagi warga negara yang tinggal lama di suatu daerah tertentu. Terkait hal itu, tentunya SKTT sama sekali tidak dapat dipergunakan oleh warga negara yang hanya ber … berdomis … berdomisili di daerah tertentu untuk waktu tertentu saja. Dalam arti, tidak tinggal tetap.

Pada saat yang sama, membolehkan SKTT atau tempat tinggal tetap sebagai salah satu wujud identitas lain sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 merupakan keputusan yang sejalan dengan semangat putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana saya singgung sebelumnya.

Dengan semangat itu, kelemahan dalam proses pencatatan warga negara yang memiliki hak pilih dengan alasan apapun tidak boleh dijadikan alasan untuk mengurangi hak pilih … mengurangi hak pilih yang merupakan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dapat dipilih.

Majelis Panel, yang saya muliakan. Lalu, apakah kemudian masalah DPTb-2 sebagaimana dikemukakan dan didalilkan Pemohon dapat dijadikan alasan untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di lebih kurang 9 TPS di 3 desa Kabupaten Kepula … Kepulauan Sula sebagai diminta oleh Pemohon? Berdasarkan pengalaman penyelesaian sengketa hasil pemilu dan pemilukada di MK, PSU hanya terjadi dalam perkara yang dalam pemeriksaannya terbukti dan telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM serta berdampak terhadap hasil atau keterpilihan pasangan calon.

Dalam beberapa putusan penyelesaian sengketa hasil pilkada sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah memberikan definisi terhadap pelanggaran yang terkategori sebagai pelanggaran yang bersifat TSM, dimana TSM oleh MK dikatakan pada pelanggaran yang memang terencana, didesain sejak semula dan dilakukan dengan melibatkan aparatur negara termasuk penyelenggara pilkada dan pelanggaran harus dilakukan secara meluas, bukan sporadis.

Pada saat bersamaan, pelanggaran yang bersifat TSM juga mesti berpengaruh siginifikan terhadap perolehan suara atau keput … keterpilihan seorang calon. Dalam arti, pelanggaran TSM yang terjadi haruslah pelanggaran yang berdampak terhadap keuntungan salah satu pasangan … salah satu pasangan atau merugikan salah satu pasangan calon. Hal itu sejalan dengan prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal. Tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan dan oleh penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.

Sesuai dengan prinsip tersebut. Bilamana pelanggaran yang terjadi tidak berakibat menguntungkan atau merugikan salah satu pihak. Maka pelanggaran seperti itu tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif yang berdampak terhadap perolehan suara hasil pilkada.

Jika dihubungkan dengan persoalan banyaknya pemilih yang menggunakan KTP atau identitas lainnya sebagai bentuk kebijakan

(21)

penyelenggara pilkada dalam mengakomodasi pemenuhan hak pilih dan dipilih setiap warga negara.

Kebijakan tersebut tidak dapat di nilai sebagai pelanggaran yang merugikan atau menguntungkan salah satu pihak. Dengan demikian, berangkat dari semangat diakomodirnya pemilih yang menggunakan KTP atau identitas lainnya akan menjadi tidak logis mengkategorikannya sebagai sebuah pelanggaran yang bersifat TSM.

Oleh karena itu, tidak tersedia celah yang cukup bagi Mahkamah dalam perkara ini untuk mengabulkan permohonan yang disampaikan kepada Pemohon.

Demikianlah hal ini disampaikan, semoga bisa membantu Majelis Hakim Konstitusi dalam memeriksa Permohonan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Bupati Wakil Bupati Kepulauan Sula Tahun 2015 dengan seadil-adilnya.

Terima kasih. Saya kembalikan kepada, Yang Mulia.

36. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Prof. Saldi. Dari meja Hakim sudah klir. Enggak ada yang akan dimasalahkan, ditanyakan. Sekarang saya persilakan dari Pihak Pemohon. Apakah ada yang perlu didalami untuk Ahli dari Pemohon dan Pihak Terkait. Silakan.

37. KUASA HUKUM PEMOHON: ROBINSON

Masing-masing satu, Yang Mulia.

38. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, silakan.

39. KUASA HUKUM PEMOHON: ROBINSON

Baik. Kepada Ahli Pak Putu, ya. Tadi Ahli menerangkan terkait penggunaan KTP dan identitas lain yaitu DPTb-2. Yang menurut Ahli mengandung tanda tanya. Menurut pendapat Ahli, penggunaan KTP atau identitas lain itu apakah bisa di salahgunakan atau bisa menguntungkan salah satu pasangan calon dalam pemilhan kepada daerah? Demikian, Yang Mulia.

40. KETUA: ARIEF HIDAYAT

(22)

41. KUASA HUKUM PEMOHON: ROBINSON

Baik. Lanjut ke Ahli Prof. Saldi. Terkait penggunaan DPTb-1 dan DPTb-2. Apabila setelah pencoblosan terjadi perselisihan, umpamanya ada perdebatan antara pemo … salah satu pasangan calon yang terkait jumlah pengguna DPTb-1 atau DPTb-2 di salah satu TPS itu yang benar menurut versi salah satu pasangan calon umpamanya 50, yang satu bilang 100. Ya kan begitu.

Nah, menurut Ahli untuk membuktikan DPTb-1 atau DPTb-2 betul-betul ada yang menggunakan hak pilihnya di salah satu TPS itu. Apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara, terkhusus lagi kalau umpamanya persoalan itu dibawa ke Mahkamah Konstitusi?

Nah, penyelenggara atau KPU dalam hal ini Termohon untuk membuktikan dalil atau tuduhan Pemohon itu. Apa yang harus dilakukan atau dijadikan dasar?

Demikian. Terima kasih, Yang Mulia.

42. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Di kompilasi dulu. Dari Termohon ada?

43. KUASA HUKUM TERMOHON : AH. WAKIL KAMAL

Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaannya satu tapi untuk dua Ahli sekaligus, Yang Mulia.

44. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Silakan.

45. KUASA HUKUM TERMOHON : AH. WAKIL KAMAL

Berkaitan dengan penggunaan DPTb-2 ada pemilih siluman, ada di bawah umur, ada yang sudah meninggal, dan lain sebagainya. Pertanyaan saya sederhana kepada dua Ahli pada Pak Putu Artha dan Prof. Saldi Isra. Adalah ketika ternyata dalam proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS, saksi pasangan calon tidak ada keberatan, tidak ada temuan dari PPL panwas lapangan dan saksi … seluruh saksi pasangan calon menandatangani di tingkat TPS, demikian juga ketika pada saat Pleno di kecamatan juga tanda tangan, tidak ada keberatan, tidak mempersoalkan ada bahwa ada pemilih siluman, dan lain sebagainya, hanya dari lima kecamatan hanya ada satu kecamatan yang tidak tanda tangan, hanya itu persoalan mengenai angka-angka.

Pertanyaan saya. Apakah dalam kerangka menegakkan hukum sebagai tool of social engineering. Ya, fungsi panwas, fungsi PTUN, fungsi

(23)

polisi, Gakkumdu, dan lain sebagainya supaya berfungsi nanti ke depan rekayasa sosial bahwa pemilu seluruh sistem dan sub sistem ini berjalan dengan baik. Apakah … ternyata Pemohon juga tidak melaporkan ke panwas. Kan seharusnya kalau ada hal-hal … ada pemilih siluman saksi keberatan di lapangan lapor ke panwas, panwaslih (suara tidak terdengar jelas). Ternyata sampai hari ini juga tidak ada laporan. Bagaimana pandangan Ahli berkaitan dengan tahu-tahu … tadi Pak Putu Artha itu juga menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak bisa dapat dijadikan sebagai keranjang sampah seluruh persoalan di bawah Mahkamah Konstitusi.

Dan yang kedua. Lanjutan kepada Prof. Saldi Isra kaitannya dengan TSM. Kalau bicara terstruktur, sistematis, dan masif ada pelanggaran serius itu dalam perspektif pilkada rezim pemilu. Dalam rezim pemilu memang ada karena Mahkamah dalam pertimbangannya, Mahkamah mengadili berdasarkan konstitusi. Berbeda dengan saat ini yang pilkada itu adalah bukan rezim pemilu. Sehingga dalam konteks ini belum ada yurisprudensi, logika, TSM, itu Prof. Jadi, Mahkamah bahkan dalam beberapa pertimbangannya dari hampir 100 lebih pertimbangan. Itu mendorong bagaimana seluruh sistem ... sistem penegak hukum baik merupakan pelanggaran administratif, pidana, dan lain sebagainya berjalan dengan ... dengan baik. Yaitu hukum sebagai tool of social engineering. Kira-kira itu pertanyaan saya, Yang Mulia. Terima kasih.

46. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Dari Pihak Terkait ada? Silakan.

47. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HENDRA KARYANGA

Ada, Yang Mulia.

48. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Silakan.

49. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT : HENDRA KARYANGA

Masing-masing satu. Kami mulai dengan Ahli Pak Putu. Tadi Ahli menerangkan mutu kualitas sumber daya manusia yang tidak memadai, sering menimbulkan persoalan kesalahan dalam pengisian data atau input data oleh penyelenggara. Dalam perkara a quo, ada salah input oleh penyelenggara dalam hal ini KPPS. Kalau terjadi peristiwa yang seperti ini, bagaimana menurut Ahli penyelesaiannya? Apakah ini masuk dalam administrasi? Ataukah menurut Ahli gimana? Itu Pak Putu.

(24)

Yang kedua Pak Prof. Saldi Isra. Menyangkut dengan money politics. Dalam perkara a quo, Pemohon mendalilkan ada terjadi money politics di beberapa desa. Satu, kami sebutkan, Desa Waisakai, Kecamatan Mangoli Utara Timur. Desa Waigai, Kecamatan Sulabesi Selatan. Desa Wa Ina, Kecamatan Sulabesi Barat. Desa Orifola, Kecamatan Mangoli Tengah. Desa Fagudu, Kecamatan Sanana. Desa Umaloya, Kecamatan Sanana. Desa Aupohia, Kecamatan Mangoli Selatan. Dan Desa Lekokadai, Kecamatan Mangoli Barat.

Sangkaan atau tuduhan-tuduhan tersebut sudah dilaporkan ke panwas dan Gakkumdu. Tetapi oleh Gakkumdu, laporan itu tidak ditindaklanjuti proses penyidikan dan penuntutan ke pengadilan karena tidak ada bukti. Menurut Ahli, kalau panwas atau Gakkumdu tidak lagi menindaklanjuti peristiwa-peristiwa money politics itu, apakah masih bisa dinilai oleh Mahkamah? Terima kasih.

50. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Silakan, Ahli. Dari Pak Putu terlebih dahulu. Kemudian nanti Pak Prof. Saldi.

51. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Saya langsung jawab semua dalam satu cerita, Bapak.

52. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Silakan.

53. AHLI DARI PEMOHON: I GUSTI PUTU ARTHA

Pertama, kenapa saya ada tanda tanya soal DPTb? Karena fakta sejak dibukanya keran KTP tahun 2009, itu data statistiknya hanya ¾, tidak lebih dari 1 orang per KTP. Kecenderungannya di banyak tempat, kemudian sekarang semakin meningkat. Logika ini ... fakta ini menjadi tidak nalar ketika justru regulasinya di semua tingkatan melalui undang-undang dan peraturan KPU sekarang memberi ruang sangat besar untuk pemutakhiran. Ada pemutakhiran pada level DPT, kalau tidak terdaftar juga ada DPTb-1, kalau enggak baru bisa pakai KTP.

Nah, lebih-lebih lagi pada level penyelenggara. Sebetulnya ada namanya petugas pemutakhiran daftar pemilih (suara tidak terdengar jelas) bawah. Jadi, buat kami di lapangan, ini benar-benar menimbulkan persoalan, tanda tanya besar. Kenapa dengan sistem yang sudah dibuat sangat apa ... ruang yang sangat terbuka untuk persema ... pemutakhiran, kemudian pada level penyelenggara ada proses PPDP. Tidak juga terakomodir semua pemilih dalam DPT itu, sehingga buat saya di lapangan

(25)

kalau ada di 1 TPS sampai lebih dari 5 saja, KTP. Itu bermasalah. Bermasalah dari sisi kapasitas penyelenggara untuk memutakhirkan dan punya potensi bermasalah atas muatan-muatan yang barangkali secara poltik masuk ke sana. Nah, ini logika berpikirnya.

Nah, kemudian saya menawarkan dalam risalah saya tadi. Sudahlah, oke, kita … titik lemahnya kemudian begini, Majelis, para pihak, para saksi di lapangan … sekaligus menjawab pertanyaan kedua, itu tidak bisa mengkonfirmasi posisi siapa yang masuk ke sana. Kenapa? Pada akhir sesi, salinan ATb-2, absen-absen itu tidak pernah bisa diberikan kepada saksi. Masuk akal. Karena harus difotokopi segala macam. Tapi, seharusnya regulasi KPU mesti di masa depan harus diubah. Kalau C-1 Plano bisa difoto, C-1 Plano bisa difoto, maka harus ada regulasi yang memberi ruang kepada saksi untuk memfoto DPTb-2 ... untuk memfoto ATb-2. Nah, sehingga bisa terkonfirmasi. Karena ini penting, sekaligus menjawab pertanyaan kedua, kalau ada problem-problem di lapangan, betul saksi harus ... harus protes. Ya, saya sepakat. Ada ini diprotes. Nah, kalau urusan DPD ... DPTb-2, posisi maping TPS itu saksinya jauh dari KPPS 4 dan KPPS 5. Jadi, saksi secara ... secara langsung tidak bisa mengidentifikasi ini KTP darimana segala macam dan mungkin saksinya tidak tahu dia orang masuk darimana atau tidak. Sehingga di masa depan, dengan regulasi yang lebih tajam itu, kemudian posisi saksi ketika nanti terjadi pemilih-pemilih yang jam 12.00 WIB itu orang boleh masuk, masuk ke TPS harus atas konfirmasi saksi. Saksi harus tahu, “Oh ini bener layak masuk ke TPS, masuk.” Jadi tidak seperti sekarang, posisi saksi agak jauh, kemudian ini masuk.

Itulah yang menjelaskan kenapa sekarang peraturan KPU nya dua KPPS ada di situ, tidak hanya empat saja, dulu empat saja. Artinya KPU sebetulnya di pusat menyadari ada problem di situ, gitu, tetapi tidak pernah bisa terkonfirmasi siapa dan bagaimana mereka. Sekarang ada dua di situ, tetapi saksi tidak bisa meng … mengkonfirmasi kehadiran mereka di situ. Sehingga persidangan ini agar fair dibuka saja, Pemohon mempermasalahkan DPTb-2 di mana 10 TPS, sudah, Termohon buka ada mereka punya absennya kok, ATb-2 nya, cek masing-masing, nanti akan ketemu persoalannya. Pemohon mengatakan ini ada selisih, ternyata disertifikat KTP-nya ada 40, tetapi ternyata kenapa di absennya cuma 10, ada mark up 30. Kalau pas sama-sama jumlahnya tidak ada masalah. Tinggal di cross-check saja orang ini memang berdomisili di RT/RW di desa itu, nanti akan ketemu jawabannya kalau dia memang misalnya ber-KTP tidak di Sula, tapi ber-KTP di kabupaten lain sengaja bedol desa di bawa ke situ, ketemulah dia pelanggaran atas Pasal 112 bahwa yang bersangkutan tidak punya hak pilih di Sula, tapi dipaksa oleh satu situasi datang ke situ menggunakan hak pilih Sula hanya karena konspirasi, sehingga dia memenuhi syarat kemudian di TPS itu kalau lebih dari satu yang kemudian apa menggunakan KTP tidak pada tempatnya karena dia tidak punya hak pilih, sangat dimungkin … dimungkinkan ditempat itu terjadi pemungutan

(26)

Jadi khusus untuk C-6 dan DPTb ini saya ingin mengatakan kepada Pihak Termohon yang bertanya tadi memang konfirmasi apa yang kita sebut komplain berjenjang itu tidak bisa dilakukan, mengkonfirmasi itu, dia hanya bisa keberatan saja, “Oh ini kenapa KTP-nya besar,” tapi dia tidak pernah tahu datanya saksi di bawah itu, siapa dia dan seterusnya karena posisi, kecuali kalau besok-besok regulasinya mengatur siapapun bawa KTP harus atas konfirmasi saksi, ini tidak akan ada lagi cerita-cerita soal KTP ini. Nah, apakah akan kemudian bisa disalahgunakan? Sudah saya jawab bisa disalahgunakan. Apakah kemudian akan menguntungkan salah satu pihak? Kalau salah satu pihak itu sengaja melakukan itu, masuk ke situ, untuk kemudian membuat suaranya jadi besar, lalu berkonspirasi dengan penyelenggara, bisa. Tetapi kita tidak pernah bisa menyimpulkan orang bawa KTP 40 lalu suaranya masuk ke sini, masuk ke situ, tidak bisa. Yang bisa kita simpulkan adalah kalau itu terjadi KTP, tetapi dia tidak punya hak di situ karena bukan KTP di situ, maka di situ memenuhi syarat pelanggaran Pasal 112 ayat (2) huruf b tadi, ada lebih satu orang tidak berhak memilih di situ menggunakan haknya dan itulah indikator untuk syarat pemungutan ulang di tempat itu. Melalui proses cross-check data inilah saya kira persidangan ini bisa melakukan.

Kemudian Kuasa Hukum Pihak Terkait kesalahan soal pengisian C-1, ada salah input, bagaimana penyelesaiannya? Itu tadi yang saya sebut manajemen komplain berjenjang. Jadi kalau di TPS ada persoalan diselesaikan di situ, nanti pasti ada persoalan administratif juga, PPK lah yang merapikan. Nanti akan ketemu jawabannya, apakah kemudian sertifikat C-1 nya, apakah kemudian karena salah input, salah isi, atau memang ada motif politik di situ? Kalau memang dia salah input ketika menulis 571 menjadi 157 akan ketahuan. Misalnya ketika di cek suara sahnya berapa? “Oh ini salah tulis.” Saya sempat mempelajari punya pemohon ada yang salah input, begitu di cek DPT-nya, oh DPT-nya benar, oh ini pasti salah tulis ini karena DPT-nya benar sejumlah sekian. Tapi yang tidak bisa di … di … di jelaskan dan itu pasti motif penggelembungan, kalau ternyata kemudian suara sah yang ada di situ jumlahnya 300, kemudian pengguna hak pilihnya menjadi 300 … apa namanya … menjadi 320 pengguna hak pilihnya, dan kemudian misalnya DPT-nya cuma 300, ini pasti penggelembungan, dipaksakan 320 padahal DPT-nya 300, padahal misalnya suara yang tersedia di situ 300. Itu pasti akan ketemu celah-celah itu di sertifikat. Tapi jawaban saya penyelesaiannya secara berjenjang.

Demikian Majelis, Terima kasih.

54. KETUA: ARIEF HIDAYAT

(27)

55. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: SALDI ISRA

Terima kasih, Yang Mulia. Sebetulnya sebagian pertanyaan itu sudah dijawab Pak Putu juga, jadi soal ini walaupun beda posisi kita sebagai Ahli, tapi jawabannya beda-beda juga. Kalau yang ada masalah mestinya selesainya secara berjenjang juga.

Nah, saya akan menganggap kalau ada masalah di selesaikan ditahap itu. Begitu ada apa … ada tanda tangan di C-1, itu saya menganggap masalahnya sudah selesai, kalau enggak orang enggak akan mau tanda tangan. Kenapa saksi mau tanda tangan karena dia yakin tidak masalah lagi, fine secara apa … bukti-buktinya sudah selesai, makanya kemudian akan dilanjutkan dengan tahap berikutnya.

Yang Mulia, ini dari pengalaman saya juga sering hadir di tempat pemungutan suara dan sering juga melihat orang menggunakan DPT, itu biasanya KPPS tidak begitu saja menerima, dia akan memberikan ruang kepada saksi untuk mengecek apakah benar orang ini berada di lokasi tempat pemungutan suara, dikeluarkan identitasnya atau tidak? Menurut saya agak keliru juga kalau kemudian saksi tidak mau mengecek hanya menerima apa yang dikatakan KPPS saja, padahal putusan Mahkamah Konstitusi itukan ekplisit mengatakan kalau orang menggunakan KTP, mesti di TPS di mana KTP itu digunakan.

Jadi keputusan itu substansi itu sebetulnya menghendaki ada cross-check dan biasanya paling tidak pengalaman di tempat saya di TPS saya, KPPS akan mengundang memperlihatkan kepada apa … kepada saksi benar enggak KTP-nya itu ada di lokasi yang dikeluarkan itu. Kalau tidak, menurut saya, kebangetan juga KPPS-nya, Pak Putu, kalau yang kayak begitu tidak dikonfirmasi, itu, itu yang pertama.

Yang kedua. ini biasanya protes-protes itu kan baru muncul setelah hasil diketahui. Nah, ini yang selalu menyulitkan kita. Pengalaman pilpres misalnya, Yang Mulia, ketika di tingkat TPS, tingkat Kecamatan, tingkat kabupaten tidak ada protes baru akan dikalkulasi di tingkat provinsi, muncul penolakan karena apa? Hasil akhirnya sudah bisa dilacak lalu dicari-carilah alasan padahal semuanya sudah diselesaikan di tingkat yang lebih rendah. Jadi menurut saya sepanjang identitas diri tersebut memenuhi apa yang diatur dalam 5 poin yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi saya kira ndak ada problem dengan soal hal itu.

Saya setuju dengan Pak Putu mungkin ke depannya harus begini, harus begini, kalau bicara ke depan bicara ius constituendum, ya, kita sepakat saja yang soal-soal begitu tapi fakta hari ini kan yang diselesaikan ius constitutum. Nah, penyelesaiannya sudah disediakan ini mekanisme yang tersedia di dalam sistem kepemiluan kita hari ini. Itu termasuk juga apa ... jawaban terhadap pertanyaan kuasa Termohon, ya, kalau apa namanya ... tidak ada keberatan apa lagi yang harus dipersoalkan kalau orang tidak ada keberatan, harusnya kalau ada keberatan itu harus

(28)

yang kuat bahwa mereka tidak menerima hasil faktual yang ada di lapangan.

Ini soal TSM dulu itu muncul dalam paradigma apa ... Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sekarang masih bisa digunakan, saya menganggap kalau memenuhi itu masih bisa digunakan walaupun beda undang-undangnya karena ini kan menjadi jurisprudensi tapi seperti yang saya uraikan itu banyak komponen yang harus dinilai baru bisa memenuhi TSM, tapi kalau sekedar mendalilkan orang menggunakan orang menggunakan DPTb dan segala macamnya itu ndak masuk, kan orang tidak direncanakan bagaimana membuktikan orang direncanakan apalagi dengan sistem pengadministrasian kita yang belum begitu baik. Jadi sangat mungkin orang tidak terdaftar dan punya keinginan apalagi kalau calonnya itu menarik akan semakin banyak orang menggunakan identitas di luar apa ... daftar pemilih tetap karena apa? Dia berkepentingan, calon yang dia inginkan itu bisa terpilih.

Oleh karena itu ada ruang dia akan memanfaatkan identitas lain yang dibenarkan itu untuk datang ke tempat pemungutan suara. Jadi menurut saya, saya bahkan mengatakan Pasal 158 itu bisa diterobos dengan dalil TSM tapi sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tapi secara akademik saya menganggapnya begitu. Mudah-mudahan nanti kalau Pasal 158 direvisi di DPR dimasukkan klausul bisa diterobos kalau begini, begini, begini, dan segala macam.

Soal money politics di beberapa desa ini kan sudah dilaporkan dan tidak memenuhi unsur. Menurut saya kalau sudah ada putusan seperti itu harusnya itu menjadi bagian, ya kalau dipersoalkan di sini juga, Pak, nanti lihatkan saja bahwa ini kan sudah diselesaikan dan dianggap tidak memenuhi unsur jadi diperlihatkan saja ndak ada masalah juga kalau mau memperlihatkan seperti itu tapi menurut saya kalaupun ada money politics tidak ada jaminan juga, Pak, orang yang kasih uang itu kemudian akan memilih orang yang beri uang … uang yang dikasih uang, enggak ada jaminan, gimana melacaknya, kecuali ada paksaan Anda datang ke tempat pemungutan suara lalu mengambil tanda tertentu setelah itu dibawa ke tempat saya. Nah, itu memang berbahaya misalnya difoto lalu hasil fotonya diserahkan. Nah, kalau kayak begitu menurut saya ini memang berbahaya tapi kalau hanya sekedar tuduhan money politics dan sebagainya enggak ada jaminan, anak kita saja kita tidak bisa memaksa memilih sama dengan kita sekarang anak kita dalam keluarga, istri kita saja tidak bisa kita paksa apalagi orang yang hanya menerima Rp100.000,00, Rp200.000,00, gimana mau memaksanya orang tidak kita kawal sampai ke tempat pemungutan suara. Jadi menurut saya, Yang Mulia, soal money politics ini apa namanya ... memang poinnya penting tetapi ini tidak sederhana untuk membuktikannya. Terima kasih.

(29)

56. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Prof. Saldi dan Pak Putu, sudah memberikan keterangan yang sangat baik dan ternyata meskipun berangkat dari kubu yang berbeda masih memberikan keterangan yang konsisten hampir sama. Itu kita akui integritas 2 orang Ahli ini. Terima kasih. Silakan kalau meninggalkan ruang ini. Ya, silakan dianu ... Pak Sigit tolong dibawa. Sekali lagi terima kasih Prof. Saldi dan Pak Putu. Nanti kalau kelamaan di sini kasian Prinsipal nanti. Soft copy-nya ada enggak? Ya, nanti tolong dianu ... ya, Pak Sigit di luar silakan soft copy-nya bisa kita minta.

Baik, sebelum ke pemeriksaan saksi-saksi, saya mau menanyakan tadi terlupa saya apa ... saya terlupa ada Panwas Kabupaten Kepulauan Sula yang hadir. Mana panwas? Oh, panwasnya ada di situ ya? Baik, maaf tadi kelupaan saya anukan ... saya panggil. Panwas ini yang hadir siapa Pak Hasan? Hadir semua? Yang duduk di depan pak siapa ini? Pak Hamzah atau Pak Ifan?

57. KETUA PANWASLU: HASAN KABAU

Pak Hasan Kabau.

58. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Pak Hasan.

59. KETUA PANWASLU: HASAN KABAU

Ketua Panwas.

60. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, ketua panwasnya, ya. Yang … jadi, Pak Hasan ini yang di depan?

61. KETUA PANWASLU: HASAN KABAU

Ya, Pak.

62. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Kemudian Pak Hamzah ada juga di sini? Oh, kemudian Pak Ifan. Ada? Ya, baik. Saudara Panwas sudah memperoleh rekomendasi dari Ketua Bawaslu Prof. Muhammad, sehingga surat tugas ini melegalisasi bahwa Saudara berhak untuk memberikan keterangan di Persidangan Mahkamah Konstitusi.

(30)

Kemudian Saudara sudah menyampaikan keterangan tertulis yang sangat tebal. Kalau ini dibacakan semua, selesainya hari Senin ini. Maka saya minta yang pokok-pokok saja terutama yang berkaitan dengan permasalahan yang dimohonkan ya, yang disampaikan Pak Kabau. Silakan.

63. KUASA HUKUM PEMOHON: MISBAHUDDIN GASMA

Mohon izin, Yang Mulia. Sebelum Panwas penyampaikan sesuatu karena ini juga terkait dengan tugas panwas bahwa dalam proses perjalanan kasus ini kemudian KPU dengan alasan untuk melengkapi alat bukti persidangan, maka pada tanggal 11 Januari 2016 dilakukan pembukaan kotak suara yang disaksikan oleh Komisioner KPU, kemudian panwas, polres, dan saksi pasangan calon.

Dan hal yang menakjubkan yang kita temukan bahwa dari Berita Acara ini kemudian beberapa kotak suara sebagaian besar itu kosong, sebagaian besar hanya berisi beberapa saja dan dokumen-dokumen yang dibutuhkan itu tidak ada di dalamnya. Nah, ini juga sekaligus karena panwas ada yang hadir pada saat ini untuk mengkonfirmasi itu. Kalau diizinkan, kami akan jadikan bukti tambahan Berita Acara ini meskipun sebetulnya sudah selesai atau kalau (…)

64. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, jadi begini, sesuai dengan putusan KPU … putusan-putusan Mahkamah yang terdahulu itu bisa saja kotak suara itu dibuka oleh KPU dalam rangka mempersiapkan untuk menghadapi sengketa pilkada di … pilkada, pileg, atau pilpres di Mahkamah, asal pembukaan itu memenuhi persyaratan. Artinya, dibuka di hadapan panwas, di hadapan aparat keamanan, dan di hadapan para pihak, ya. Itu ada putusan itu, sehingga masalah pembukaan itu tidak ada masalah. Bukan itu pelanggaran hukum menurut MK kalau memenuhi persyaratan-persyaratan itu dan itu tidak ada perubahan apa-apa, ya. Nanti kita cek, apakah ada perubahan atau tidak di situ?

65. KUASA HUKUM PEMOHON: MISBAHUDDIN GASMA

Jadi begini, Yang Mulia, mohon maaf. Kami tidak mempersoalkan permbukaan kotaknya karena memang ini untuk (…)

66. KETUA: ARIEF HIDAYAT

(31)

67. KUASA HUKUM PEMOHON: MISBAHUDDIN GASMA

Nah, fakta … tapi faktanya itu adalah setelah kotak itu dibuka, kemudian beberapa kotak itu kosong.

68. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Nanti akan disampaikan.

69. KUASA HUKUM PEMOHON: MISBAHUDDIN GASMA

Baik, Majelis.

70. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya. Baik, silakan Panwas untuk menyampaikan termasuk yang terakhir ini yang disampaikan, bagaimana ini? Silakan, Pak.

71. KETUA PANWASLU: HASAN KABAU

Baik. Assalamualaikum wr. wb.

72. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb. Silakan.

73. KETUA PANWASLU: HASAN KABAU

Ketua dan Anggota Majelis Yang Terhormat. Hadirin undangan sekalian yang berbahagia. Keterangan tertulis Panwas Kabupaten Kepulauan Sula terkait PHP Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015. Sehubungan dengan Sidang Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara Tahun 2015 yang telah diajukan dan didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dengan Register Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016, Pemohon Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 3, H. Safi Pauwah, S. H., Ir. H. Faruk Bahanan Perkara dengan Nomor 100/PHP-BUP-XIV melawan Termohon Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kepulauan Sula.

Ketua Majelis Hakim Yang Mulia, izinkanlah kami Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara menyampaikan keterangan sebagai berikut.

Dalam penyampaikan keterangan kami, terdiri dari 3 aspek. Yang pertama, aspek pengawasan dan aspek tindak lanjut pelanggaran. Namun aspek pengawasan dan aspek penindakan sudah tidak kami bacakan karena

(32)

74. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, dianggap dibacakan, ya.

75. KETUA PANWASLU: HASAN KABAU

Karena sudah termuat dalam laporan ini.

76. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya.

77. KETUA PANWASLU: HASAN KABAU

Yang berikut, kami menyampaikan keterangan Panitia Pengawas Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Sula berkaitan dengan pokok permasalahan yang dimohonkan.

Satu. Bahwa saat pelaksanaan kampanye Pasangan Calon Nomor Urut 3, H. Safi Pauwah, S. H dan H. Faruk Bahanan di Desa Fogi pada tanggal 17 November 2015, Ketua Panwas Kabupaten Kepulauan Sula dan Ketua Panwas Kecamatan Sanana, serta staf panwas kabupaten hadir dalam melaksanakan kampanye tersebut untuk melakukan pengawasan dan menemukan terjadinya dugaan pelanggaran pidana pemilu berupa kampanye penghinaan terhadap agama yang diduga dilakukan oleh H. Ali Muchtar Ngabalin sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 69 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yakni larangan penghinaan terhadap agama. Pada kampanye tersebut, H. Ali Muchtar Ngabalin dengan terang-terangan mengucapkan bahwa jadi terlalu lucu kalau seperti di Kabupaten Kepulauan Sula semua orang beragama Islam, ada pendeta mau jadi bupati di Kabupaten Kepulauan Sula. Dan ucapan yang sama juga disampaikan pada saat kampanye sebelumnya di Desa Fagudu bahwa monimou suatu saat orang datang di istana itu dengan menghilangkan semua tata cara adat-istiadat budaya. Monimou kalimat Lailahaillallah yang ahm gantung dalam istana daerah itu diturunkan dengan diganti dengan kalimat yang lain, di mana ngoni punya nurani membodohi umat dengan mensejajarkan kepentingan agama Islam yang oleh karena kepentingan doi kecil.

Mendengar kalimat itu Ketua Panwas Kabupaten Kepulauan Sula Bapak Hasan Kabau langsung mendekati tim Pasangan Calon Nomor Urut 3 dengan maksud untuk melakukan koordinasi dengan maksud menghentikan kampanye yang bernuansa sara. Namun tujuan Panwas Kabupaten Kepulauan Sula yang baik itu justru dihadang oleh tim Pasangan Calon Nomor Urut 3, sehingga terjadilah adu mulut antara tim pasangan calon dengan Ketua Panwas Kabupaten Kepulauan Sula selanjutnya melalui kegiatan kampanye masih tetap berlangsung maka Ketua Panel Kabupaten

(33)

Sula mengangkat kedua tangan dalam berbentuk silang atau simetris sebagai isyarat untuk … sebagai isyarat meminta supaya H. Ali Muchtar Ngabalin menghentikan kampanyenya yang bernuansa sara tersebut.

Terhadap dugaan pelanggaran ini Panwas Kabupaten Kepulauan Sula telah memiliki register dengan Nomor 01/TM/Pnws-Kada/KKS/XI/2015 Panwas telah menyampaikan undangan verifikasi kepada Saudara terlapor Ali Ngabalin sebanyak 2 kali dan saksi-saksi namun yang bersangkutan dan saksi tidak memenuhi undangan Klarifikasi Panwas Kabupaten Kepulauan Sula. Atas dugaan pelanggaran kampanye tersebut Panwas Kabupaten Kepulauan Sula telah mengundang klarifikasi terhadap H. Ali Muchtar Ngabalin namun yang bersangkutan tidak hadir memenuhi undangan sih … sehingga tidak dapat … dugaan pelanggaran tersebut tidak dapat ditindaklanjuti.

Bahwa Panwas Kabupaten Kepulauan Sula me … menemukan adanya dugaan pelanggaran terkait dengan mutasi jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 juncto Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 yang dilakukan oleh Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus menjelang akhir, akhir kepemimpinannya. Atas dugaan pelanggaran tersebut maka Panwas Kabupaten Kepulauan Sula telah menyurat kepada pejabat Bupati Kepulauan Sula dengan Nomor 116/Pnws … 116/Pnws-Kada/KKS/X1/2015 tertanggal 19 November yang pada prinsipnya meminta kepada pejabat Bupati untuk melakukan evaluasi dan penertiban birokrasi dari pengaruh kepentingan politik serta upaya-upaya dalam rangka menjaga netralitas PNS.

Bahwa Panwas Kep … Kabupaten Kepulauan Sula telah menerima laporan dari Saudara Hidayat Umasugi, Istrim Leko, dan Ali Leko, Sulaiman Gelela, Muhidin Umasangaji, Julkifli Umagapi, Raista Baloluane, Yayusuf Kailul terkait dengan dugaan tindak pidana politik uang Panwas Kabupaten Kepulauan Sula telah melakukan kajian serta mengeluarkan pemberitahuan status laporan atau formulir model A2-KWK dengan kesimpulan bahwa dugaan tindak pidana politik uang tidak ada ketentuan pidananya dalam Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati menjadi Undang-Undang, maka pendengar atas pokok atas laporan tersebut menggunakan ketentuan pidana umum Pasal 149 KUHP tersebut selanjutnya walaupun politik uang merupakan tindak pidana umum Panwas Kabupaten Kepulauan Sula telah tetap menelusuri politik uang yang dilaporkan berdasarkan hasil pengawasan Panel Kabupaten Kepulauan Sula hanya ada dugaan pelanggaran politik yang ada … yang terjadi di Desa Lekokadai yang ditemukan oleh Panwas Pemilu Lapangan (PPL).

Referensi

Dokumen terkait

Selebihnya ada di dalam keterangan tertulis kami, perlu juga kami sampaikan satu hal, Yang Mulia, di luar yang tertulis, tanggapan terhadap argumentasi Pemohon yang meminta

Sepanjang yang dapat Ahli pahami pokok permohonan dalam permohonan ini adalah terkait dengan keberadaan Pasal 41 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Yang Mulia, kesimpulan kami dari Pihak Terkait adalah pertama Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan keberatan terhadap

Perkenankan kami menyampaikan keterangan Presiden, baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan atas permohonan konstitusional

Bahwa Pemohon, Pihak Terkait pada akhirnya menilai bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013

Nah, kata istri inilah yang kemudian kami anggap memiliki persoalan konstitusional yang merugikan hak konstitusional kami selaku Pemohon karena kami menganggap bahwa kata istri

Ya, nanti kalau begitu, begini, kesimpulan saja, nanti disampaikan pada kesimpulan Pemohon, kesimpulan Termohon, dan kesimpulan Pihak Terkait, nanti yang akan anu … kalau

Perkenankanlah kami menyampaikan keterangan Pemerintah baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan atas permohonan pengujian Pasal 9