• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KETEPATAN DOSIS ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSI SULTAN AGUNG SEMARANG BULAN AGUSTUS- DESEMBER TAHUN 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI KETEPATAN DOSIS ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSI SULTAN AGUNG SEMARANG BULAN AGUSTUS- DESEMBER TAHUN 2015"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KETEPATAN DOSIS ANTIBIOTIK PADA PASIEN

DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSI

SULTAN AGUNG SEMARANG BULAN

AGUSTUS-DESEMBER TAHUN 2015

ARTIKEL

Oleh

RIZKA NAFI’ATUZ ZAHRO

NIM. 050112a079

PROGRAM STUDI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO

UNGARAN

(2)
(3)

1

EVALUASI KETEPATAN DOSIS ANTIBIOTIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID ANAK DI INSTALASI RAWAT INAP RSI SULTAN AGUNG

SEMARANG BULAN AGUSTUS-DESEMBER TAHUN 2015

*Rizka Nafi’atuz Zahro, **Niken Dyahariesti, ***Sikni Retno K Program Studi Farmasi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran,

Email : novirizka75@yahoo.com

ABSTRAK

Latar Belakang : Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Antibiotik merupakan obat utama yang digunakan untuk mengobati penyakit demam tifoid.

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengobatan kausal dan ketepatan dosis antibiotik pada pasien demam tifoid anak di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang pada bulan Agustus-Desember tahun 2015.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kesehatan yang bersifat deskriptif non analitik dengan teknik pengambilan data dengan metode retrospektif. Data diambil melalui rekam medik pada pasien demam tifoid anak di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang bulan Agustus-Desember tahun 2015 sebanyak 77 anak. Kemudian diambil secara acak sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi sampai memenuhi jumlah sampel yang dibutuhkan sebanyak 43 anak. Data ketepatan dosis disesuaikan dengan pedoman standar Drug Information Handbook (DIH) edisi 20 tahun 2011-2012 dan dianalisis menggunakan analisis univariat.

Hasil : Penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid anak di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang bulan Agustus-Desember tahun 2015 adalah seftriakson (46,5%), sefotaksim (44,2%), dan kloramfenikol (9,3%). Dari hasil evaluasi diketahui bahwa dosis tepat (39,5%) dan dosis tidak tepat (60,5%).

Simpulan : Antibiotik yang digunakan adalah seftriakson sebanyak 20 (46,5%) pasien, sefotaksim sebanyak 19 (44,2%) pasien, dan kloramfenikol sebanyak 4 (9,3%) pasien. Evaluasi ketepatan dosis antibiotik pada pasien demam tifoid anak adalah tepat dosis sebanyak 17 (39,5%) pasien dan tidak tepat dosis (dosis kurang) sebanyak 26 (60,5%) pasien.

Kata kunci : Ketepatan Dosis, Demam Tifoid, Antibiotik, RSI Sultan Agung Semarang

Kepustakaan : 46 (1984-2013)

* : Mahasiswa

** : Dosen pembimbing utama *** : Dosen pembimbing pendamping

(4)

2

ABSTRACT

Background : Typhoid fever is an acute systemic infection disease caused by Salmonella typhi. Antibiotics are the main drugs used to treat typhoid fever.

Aim : This study aims to reveal the description of causal treatment and the accuracy ofantibiotics dose in children with typhoid fever in inpatient room of Sultan Agunghospital Semarang in August-December 2015.

Method : This research was a health research using descriptive non-analytic technique and data collecting technique used retrospective method. Data were collected through the medical records in children with typhoid fever in inpatient room of Sultan Agung hospital Semarang in August-December 2015 as many as 77 children. Then they were chosen randomly according to the inclusion and exclusion criteria to meet the required number of samples as many as 43 children. Accuracy data of the dose was adjusted to the standard guidelines ofDrug Information Handbook (DIH) 20th edition in 2011-2012 and analysis used univariate analysis.

Result : The use of antibiotics in children with typhoid fever in inpatient room of Sultan Agung hospital Semarang in August-December 2015 was ceftriaxone (46.5 %) , cefotaxime (44.2 %) , and chloramphenicol (9.3 %) . From the evaluation known that the right dose was 39.5 % and incorrect dosage was 60.5 %.

Conclusions : Antibiotics used were ceftriaxone as many as 20 patients (46.5 %), cefotaxime were 19 patients (44.2 %), and chloramphenicol were 4 patients(9.3 %). The evaluation of the accuracy of the dose of antibiotics in children with typhoid fever was correct dose in 17 patients (39.5 %) and incorrect dose (underdose) in 26 patients (60.5 %).

Keywords :Accuracy of Doses, Typhoid fever, Antibiotics,Sultan Agung hospital Semarang

(5)

3

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Demam tifoid adalah salah satu penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman Salmonella typhi dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini merupakan penyakit menular endemik yang dapat menyerang banyak orang dan masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang berkembang (Noer dkk., 1996).

Demam tifoid merupakan penyakit yang dijumpai secara luas di daerah tropis dan sub tropis terutama di daerah dengan sumber air yang tidak memadai dengan standar higinis dan sanitasi yang rendah (Depkes RI, 2006). Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama tipus, tetapi dalam dunia kedokteran disebut typhoid fever atau thyphus abdominalis. Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak atau orang muda (Simanjutak dkk., 2007).

Penularan penyakit ini biasanya dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebiasaan jajan, kebersihan lingkungan, keadaan fisik anak, daya tahan tubuh dan derajat kekebalan anak. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan terjadi 17 juta kasus per tahun dan 600 ribudiantaranya berakhir dengan kematian. Sekitar 70 % dari seluruh kasus kematianitu menimpa penderita demam tifoid di Asia.Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid menempati urutanke-3 dari 10 penyakit pasien terbanyak rawat inap di rumah sakit tahun 2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus, yang meninggal 1.747 orang. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2010 demam tifoid juga menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit pada tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang meninggal 274 orang (Depkes RI, 2010).

Pengobatan demam tifoid masih didominasi oleh berbagai jenis antibiotik seperti kloramfenikol, amoksisilin, kotrimoksazol, ampicillin, tiamfenikol. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang farmasi, maka banyak obat-obat baru yang diproduksi, khususnya antibiotik (Juwono, 1996).

Penelitian sebelumnya di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta tahun 2009 menunjukkan bahwa antibiotik yang paling sering digunakan dari 95 pasien demam tifoid adalah sefotaksim 49,47%. Penggunaan antibiotik yang sudah sesuai dengan standar terapi dari segi ketepatan indikasinya sebanyak 100%, tepat pasien 98,95%, tepat obat 96,84%, dan tepat dosis sebanyak 82,10% (Safitri, 2009).

Data laporan pola penyakit dari unit rekam medik RSI Sultan Agung Semarang tercatat setiap tahunnya demam tifoid pada anak-anak masih merupakan penyakit yang menduduki peringkat 5 besar penyakit di instalasi rawat inap.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid

(6)

4 anak di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi dan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan.

2. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui ketepatan dosis antibiotik pada pasien demam tifoid anak di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang pada bulan Agustus-Desember tahun 2015.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid anak di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang pada bulan Agustus-Desember tahun 2015.

2. Untuk mengetahui ketepatan dosis antibiotik pada pasien demam tifoid anak di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang pada bulan Agustus-Desember tahun 2015.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif non analitik, dengan pengambilan data secara retrospektif. Data diambil melalui rekam medik pasien rawat inap di RSI Sultan Agung Semarang pada bulan Agustus-Desember tahun 2015.

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien anak-anak berumur 2-12 tahun yang menderita demam tifoid yang tercatat pada rekam medik di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang pada bulan Agustus-Desember tahun 2015 sebanyak 77 anak. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan purposive sampling. Sampel dalam penelitian adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Berikut kriteria inklusi dan eksklusi :

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien anak umur 2-12 tahun dengan diagnosis utama demam tifoid yang dirawat inap pada bulan Agustus-Desember tahun 2015.

b. Pasien anak umur 2-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid tanpa ada penyakit infeksi lain.

c. Dalam catatan rekam medik pasien menggunakan antibiotik untuk pengobatan definitif.

2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang meninggal saat pengobatan.

b. Pasien anak dengan diagnosis demam tifoid yang pulang paksa. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2016 di RSI Sultan Agung Semarang. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data berupa Lembar Pengumpulan Data (LPD). Data yang di ambil meliputi nomor rekam medik, jenis kelamin, umur, berat badan, lama perawatan, keadaan pulang, nama obat, dosis obat, frekuensi, dan tes laboratorium.

Analisis data dalam penelitian ini yaitu analisis univariat tentang ketepatan dosis antibiotik pada pasien demam tifoid anak dengan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.

(7)

5

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian kesehatan yang bersifat deskriptif non analitik dengan teknik pengambilan data dengan metode retrospektif. Data diambil melalui rekam medik pasien demam tifoid anak-anak di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang bulan Agustus-Desember tahun 2015.

Data-data yang diambil kemudian didistribusikan berdasarkan jenis kelamin, umur, lama perawatan, keadaan pulang, dan dosis serta gambaran pengobatan kausal demam tifoid pada anak-anak di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang Bulan Agustus-Desember tahun 2015

Tabel 1.KarakteristikPasien

Keterangan Persentase (%)

Laki-Laki 51.2

Jenis Kelamin Perempuan 48.8

Total 100.0 (2-6 tahun) 69.8 Umur (6-12 tahun) 30.2 Total 100.0 3 Hari 18.6 4 Hari 30.2 5 Hari 34.9 LOS (Lama Perawatan) 6 hari 7.0 7 hari 9.3 Total 100.0 Sembuh 2.3

Keadaan Pulang Perbaikan 97.7

Total 100.0

Ket :

LOS : Length Of Stay

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien demam tifoid pada anak-anak terbanyak adalah laki-laki sebanyak 51,2%. Kelompok umur pasien demam tifoid anak-anak terbanyak yaitu umur 2-6 tahun sebanyak 69,8%. Lama perawatan terbanyak adalah 5 hari sebanyak 34,9%. Keadaan pulang pasien demam tifoid anak-anak terbanyak adalah perbaikan sebanyak 97,7%.

Dari distribusi jenis kelamin ini terlihat bahwa anak laki-laki lebih banyak menderita demam tifoid dibandingan dengan anak perempuan, karena anak laki-laki lebih sering melakukan aktivitas di luar rumah seperti bermain di luar rumah kemudian tidak mencuci tangan sebelum makan, jajan sembarangan dan kurang memperhatikan higienitas dari makanan. Hal ini memungkinkan anak laki-laki mendapatkan resiko lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan (Hook, 1984).

(8)

6 Pada umur 2-6 tahun adalah umur rawan terjangkitnya demam tifoid, karena umur di mana anak-anak pada umumnya mulai sekolah di mana anak usia sekolah sudah mulai membeli makanan (jajan) di sekitar sekolah yang pada umumnya penjaja makanan kurang memperhatikan kebersihan dan higiene dari tempat (wadah) makanan yang dijual dan air yang dipergunakan tidak dimasak dengan baik (Bambang dkk., 2009).

Lama perawatan terbanyak adalah 5 hari karena setelah pemberian antibiotik demam akan turun pada hari keempat sampai hari kelima dan klinis anak membaik sehingga setelah itu pasien bisa dipulangkan (Tumbelaka, 2005).

Proporsi tertinggi keadaan pulang pasien adalah perbaikan karena pasien demam tifoid masih perlu istirahat untuk mencegah kekambuhan dan komplikasi. Istirahat dan menjaga higienitas dapat membantu dan mempercepat masa penyembuhan (Juwono, 1996).

Tabel 2.PenggunaanAntibiotik Antibiotik Persentase (%) Kloramfenikol 9.3 Seftriakson 46.5 Sefotaksim 44.2 Total 100.0

Berdasarkantabel di atas, dapatdiketahuibahwaantibiotik yang paling banyakdigunakanadalahSeftriaksonsebanyak46,5%.

Penggunaan antibiotik seftriakson dalam pengobatan demam tifoid di RSI Sultan Agung Semarang lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan antibiotik kloramfenikol karena seftriakson memiliki beberapa keunggulan diantaranya angka resistensi terhadap seftriakson yang rendah, efek samping lebih rendah, demam turun lebih cepat yaitu turun pada hari ke 4 begitu juga hasil kultur akan menjadi negatif pada hari ke 4 sehingga durasi terapi lebih pendek, pemberian seftriakson untuk anak dinyatakan aman dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari. Harga seftriakson lebih mahal dibandingkan dengan kloramfenikol namun karena durasi terapi yang lebih singkat jadi biaya terapi demam tifoid dengan menggunakan seftriakson lebih rendah (Sidabutar, 2010). Sedangkan pada penggunaan antibiotik kloramfenikol lama demam turun berkisar 4,1 hari, efek sampingnya berupa mual dan muntah terjadi pada 5 % pasien. Kekambuhan timbul 9-12 hari setelah obat dihentikan pada 6 % dari kasus, hal ini berhubungan dengan lama terapi yang <14 hari (Price and Anderson, 2003)

.

Tabel 3.Ketepatan DosisAntibiotik

Dosis Persentase (%)

Tepat Dosis 39.5

Tidak Tepat Dosis 60.5

(9)

7

Tabel 4. Penggunaan Antibiotik Menurut Dosis

Antibiotik Keterangan Persentase (%)

Kloramfenikol Underdose - Tepat Dosis 9.3 Overdose - Seftriakson Underdose 16.3 Tepat Dosis 30.2 Overdose - Sefotaksim Underdose 44.2 Tepat Dosis - Overdose - Total 100.0

Tepat dosis dilihat dari parameter takaran dosis dan frekuensi pemberian antibiotik. Berdasarkan tabel di atas dapat di ketahui bahwa bahwa dalam pengobatan demam tifoid pada anak-anak, mayoritas dosis antibiotik yang digunakan tidak tepat (60,5%).

Pemberian antibiotik dinyatakan tidak tepat dosis apabila takaran dosis dan frekuensi pemberian tidak sesuai dengan standar pengobatan demam tifoid pada anak-anak berdasarkan Drug Information Handbook (DIH) edisi 20 tahun 2011-2012. Dalam perhitungan dosis, frekuensi juga dapat mempengaruhi hasil perhitungan dosis. Dosis yang di lihat adalah dosis dalam sehari. Peningkatan jumlah frekuensi akan meningkatkan besaran dosisnya, peningkatan besaran dosis memungkinkan terjadinya toksik. Jika dosis yang diberikan kurang dari standarnya pengobatan menjadi tidak optimal dan kurang tercapainya efek yang diharapkan.

D. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Antibiotik yang digunakan adalah seftriakson sebanyak 20 (46,5%) pasien, sefotaksim sebanyak 19 (44,2%) pasien, dan kloramfenikol sebanyak 4 (9,3%) pasien.

2. Evaluasi ketepatan dosis antibiotik pada pasien demam tifoid anak adalah tepat dosis sebanyak 17 (39,5%) pasien dan tidak tepat dosis (dosis kurang) sebanyak 26 (60,5%) pasien.

E. UCAPAN TERIMA KASIH

Seluruh civitas akademika STIKES Ngudi Waluyo Ungaran, Ketua Program Studi Farmasi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Drs.Jatmiko Susilo, Apt., M.Kes, Dosen Pembimbing Niken Dyahariesti, S.Farm., Apt., M.Si. dan Sikni Retno K, S.Farm., M.Sc., Apt. RSI Sultan Agung Semarang serta seluruh karyawan RSI Sultan Agung Semarang, Bapak Ibu saya tercinta serta adik saya.

F. DAFTAR PUSTAKA

1. Noer, H.M.S; Waspadji, S; Rachman, A.M; Lesmana, L.A; Widodo, D; Isbagio, H; Alwi, I;dan Husodo, U.B. 1996.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi 3, 435-442, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

2. Depkes RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departeman Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

(10)

8

3. Simanjutak, C.H; Hoffman, S.L; Punjabi, N.H; Edman, D.C; Hasibun, M.A; dan Sumarmo, W. 2007. Epidemiologi demam tifoid di duatu daerah pedesaan di Paseh, 6:16-18. CDK. Jawa Barat.

4. Depkes RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

5. Juwono, R. 1996. Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

6. Safitri, I.R. 2009. Analisis Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta Tahun 2009, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

7. Hook EW. 1984. Typoid Fever Today. New England Journ of Med: 16-118.

8. Bambang W.T; Lusi K dan Ristrini. 2009. Kajian Faktor Pengaruh Terhadap Penyakit Demam Tifoid. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 12 No. 4: 313–340.

9. Tumbelaka AR. 2005.Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium infeksi pediatri - tropik dan gawat darurat anak. Surabaya Intellectual Club;h.37-47. Surabaya.

10.Sidabutar S.I.H.S. 2010.Pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak : Kloramfenikol atau Seftriakson. Sari Pediatri volume 11. 11(6) : 434-9.

11.Price and Anderson S. 2003. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta.

Gambar

Tabel 1.KarakteristikPasien
Tabel 4. Penggunaan Antibiotik Menurut Dosis

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2011 Kabupaten Bengkayang merupakan kabupaten yang mempunyai rasio panjang jalan terbesar dibandingkan kabupaten perbatasan lainnya di Pulau Kalimantan, yaitu sebesar

Pemeriksaan HBeAg dilaku- kan untuk meramalkan kemungkinan terjadinya infeksi vertikal, dan ini penting dilakukan mengingat harga HBIG sangat mahal, sehingga tidak mungkin

Dr. Rozmita Dewi Yuniarti S.Pd, M.Si NIP. Edi Suryadi, M.Si.. Di bawah bimbingan Dr. Rozmita Dewi S.Pd, M.Si. Penelitian ini mengkaji fenomena turunya tingkat likuiditas pada

Kantor Informasi dan Kehumasan yang mengalami perubahan struktural menjadi bagian Humas Setda Pemerintah Kabupaten Klaten adalah instansi yang mengurusi segala informasi

Subakti (2009) pada studi pendahuluan yang dilakukan di salah satu SMU di Kabupaten Bandung, dimana tingkat penalaran matematis siswa rendah pada keseluruhan

Hasil analisis peragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kambing kacang memiliki bobot dan persentase jaringan ikat sangat nyata lebih rendah (P&lt;0.01)

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang hubungan kemampuan siswa dalam membuat model matematika dan komputasinya terhadap

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketercapaian kriteria bahan ajar yang baik menurut metode 4S TMD (4 Step Teaching Material Development) pada tahap seleksi, pada