• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Di negara Jepang misalnya, kulit menjadi kunci sebuah kecantikan. Perempuan Jepang sangat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Di negara Jepang misalnya, kulit menjadi kunci sebuah kecantikan. Perempuan Jepang sangat"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cantik adalah sebuah kata yang identik dengan perempuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cantik merupakan kata sifat yang berarti elok, molek, indah, dan mengacu pada bentuk fisik seperti tubuh ataupun wajah seseorang. Individu yang selalu memperhatikan keelokan, kemolekan, serta keindahan bentuk fisik dan wajahnya tidak lain adalah para perempuan. Oleh karena itu, cantik maupun kecantikan sangat erat dan tidak dapat terlepas dari kajian perempuan sebagai kaum feminis.

Di setiap daerah dan negara sekalipun, pasti memiliki konsep kecantikan masing-masing. Di negara Jepang misalnya, kulit menjadi kunci sebuah kecantikan. Perempuan Jepang sangat fokus terhadap perawatan kulit wajah mereka agar selalu tampak bersih dan halus. Selain itu rambut lurus di Jepang juga dianggap cantik. Tidak jauh berbeda dengan Jepang, di India, kulit dan rambut yang indah menjadi tolak ukur kecantikan perempuan India. Sedangkan di negara Iran, perempuan cantik adalah mereka yang memiliki hidung mancung dan mungil. Hal ini membuat banyak perempuan Iran mengoperasi hidung mereka agar sesuai dengan kriteria cantik yang berlaku. Di negara Paris, cantik adalah langsing, anggun, cantik, dan berkelas. Fenomena cantik yang paling menarik adalah di negara Mauritania. Di negara itu wanita dianggap cantik jika mereka memiliki badan besar, yang berarti Big is Beautiful. Hal ini tentunya sangat berbanding terbalik dengan konsep kecantikan di negara-negara lain yang setuju jika perempuan cantik adalah yang berbadan langsing. Sehingga para perempuan di Mauritania tidak perlu bersusah payah untuk menjaga tubuh agar tetap ideal.

(2)

12 Beda lagi dengan di Indonesia yang merupakan negara dengan beragam budaya. Indonesia memiliki berbagai macam adat istiadat, suku, bahasa, serta ragam budaya lainnya. Banyaknya budaya disebabkan karena banyaknya suku dan ras yang ada di Indonesia. Berbagai suku sampai hari ini masih eksis di berbagai daerah di Indonesia. Di setiap pulau besar di Indonesia, paling tidak ada satu suku yang tinggal pada daerah tersebut. Misal di Papua, ada suku Dani yang sampai sekarang masih tinggal dalam Honai (rumah adat), suku Dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan, suku Jawa di sebagian besar pulau Jawa, suku Sasak di Lombok, dan lainnya.

Di setiap suku ini juga memiliki pandangan mengenai norma, budaya, dan adat istiadatnya sendiri. Selain itu, mereka juga memiliki pandangan tentang nilai-nilai estetika yaitu keindahan. Hal ini berelevansi dengan adanya konsep kecantikan pada setiap suku di Indonesia. Seperti pada suku Jawa yang menganggap perempuan cantik bila mereka dapat menjaga sikap dan sopan santun, serta berkulit kuning langsat seperti putri-putri keraton. Kemudian suku Dayak yang menyebut perempuan cantik adalah mereka yang memanjangkan telinga sampai ke bawah. Tujuan dari pemanjangan telinga ini adalah untuk melatih kesabaran dan juga menambah pesona kecantikan. Semakin panjang telinga perempuan Dayak maka akan dianggap semakin cantik. Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa konsep kecantikan di Indonesia juga memiliki berbagai macam versi sesuai dengan suku-suku yang ada.

Konsep kecantikan jika dilihat dari sudut pandang paradigma dapat dibedakan menjadi dua yaitu paradigma tradisional dan paradigma modern (http://www.tumblr.com). Konsep kecantikan dengan sudut pandang paradigma tradisional berarti kecantikan dilihat dari segi budaya dan segi feodal. Sedangkan konsep kecantikan menurut sudut pandang paradigma modern adalah melihat kecantikan pada instrumen-instrumen yang terkait. Dari kedua sudut

(3)

13 pandang tersebut tetap saja dikatakan bahwa kata cantik telah membuat para perempuan tersihir untuk berusaha menjadi cantik meskipun itu bisa membuatnya menderita.

Dalam konteks sosiokultural saat ini, yang turut membentuk struktur pengalaman perempuan atas tubuhnya adalah tuntutan sosial yang tinggi untuk mementingkan aspek kepentingan fisik sebagai sumber nilai dan makna tubuh (Melliana, 2006: 51). Sehingga para perempuan ini rela berkorban untuk memperbaiki penampilan fisik sesuai dengan standar kecantikan yang dipersepsikan oleh masyarakat saat itu. Selain itu, banyak penelitian yang membuktikan bahwa daya tarik fisik bukanlah semata-mata masalah selera perorangan, melainkan merupakan stereotipe fisik yang telah disetujui bersama sebagai alat pengukur kecantikan (Berscheid dan Walster, 1974). Kecantikan telah memukau hati para perempuan dan membuat mereka terjerumus ke dalam budaya fetisisme, yaitu pemujaan terhadap kecantikan tubuh.

Standar kecantikan juga selalu berubah dari masa ke masa. Pada tahun 1950-an aktris Marlyin Monroe yang memiliki berat badan 67 kg dan tinggi 163 cm, saat itu dijadikan simbol seks (Melliana, 2006: 64). Hal ini mendefinisikan bahwa kecantikan pada masa itu adalah wanita dengan tubuh yang gemuk dan jauh dari kata langsing. Sementara itu, pada tahun 1960-an, mendadak tubuh kurus justru menjadi simbol kecantikan (Melliana, 2006: 67). Terbukti dari digandrunginya tubuh seorang model Inggris, Twiggy, yang saat itu menjadi representasi gerakan pembebasan wanita dari mitos kecantikan yang sebelumnya dikaitkan dengan fungsi reproduksi (Kompasiana, 2012).

Tidak hanya para artis saja yang telah menjadi simbol kecantikan bagi masyarakat luas. Bahkan, boneka Barbie pun diciptakan oleh perusahaan Mattel sebagai sebuah ikon kecantikan yang ditanamkan sejak dini pada anak-anak sampai orang dewasa. Kecantikan dalam hal ini,

(4)

14 diidentifikasi dengan sosok Barbie sehingga orang yang cantik di mata umum adalah yang paling mirip dengan Barbie yaitu berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, dan bertubuh langsing (Moore, 2009: 6).

Di lain sisi, kehadiran globalisasi belakangan ini ternyata juga telah membuat pihak kapitalisme memonopoli kecantikan sesuai dengan kepentingan-kepentingannya. Beragam versi kecantikan yang tadinya hanya berlaku di setiap negara maupun daerah sesuai dengan budaya masing-masing, pada akhirnya diseragamkan menjadi suatu makna kecantikan yang universal. Adanya ajang Miss World menjadi salah satu indikasi bahwa standar kecantikan telah diseragamkan. Cantik tidak lagi disesuaikan dengan budaya di masing-masing negara maupun daerah. Tetapi ia telah direduksi oleh lembaga maupun media massa yang merasa mempunyai wewenang menentukan kriteria perempuan tercantik di dunia, seperti pada ajang Miss World.

Di dalam ajang ini perempuan cantik ditandai dengan perempuan yang berbadan langsing, postur tubuh tinggi, hidung mancung, kulit putih bersih, serta rambut yang panjang. Tidak jauh berbeda dengan Miss World, di Indonesia juga memiliki kontes kecantikan yaitu Miss Indonesia. Kriterianya pun hampir mirip dengan kriteria perempuan cantik pada ajang Miss World. Miss World menjadi sebuah ajang kecantikan yang terbesar dan diketahui oleh seluruh dunia karena lingkupnya yang mendunia. Oleh karena itu, sebagian besar perempuan di dunia mengkiblatkan kecantikan sesuai dengan standar Miss World. Sedangkan Miss Indonesia mewakili ajang perempuan cantik versi Indonesia.

Penyebaran konstruksi cantik itu tidak terlepas dari peran media. Iklan merupakan media massa yang sangat berperan penting dalam misi penyebaran konstruksi tersebut. Iklan hadir di televisi dan media cetak sebagai alat yang menggambarkan citra cantik sesuai dengan keinginan pasar atau industri kapitalisme. Melalui iklan di televisi maupun di majalah, produk kecantikan

(5)

15 dapat menunjukkan kekuatannya dalam mengkonstruksi realitas sosial. Hal ini membuat seluruh masyarakat percaya bahwa simbol-simbol kecantikan yang benar adalah yang ada pada iklan media massa.

Konstruksi cantik itu terbentuk karena adanya iklan-iklan di media massa yang menggambarkan kecantikan adalah para wanita yang mempunyai kulit putih, tubuh langsing, serta rambut yang panjang. Demikian halnya menurut Aquarini Priyatna Prabasmoro (2006) di dalam bukunya yang berjudul Kajian budaya feminis: tubuh, sastra, dan budaya pop. Di dalam buku tersebut ia juga mengakui bahwa iklan yang tersebar di media massa telah berhasil membentuk konstruksi mengenai kecantikan menurut versi iklan, yang dalam bahasannya adalah iklan produk pemutih kulit.

Perkembangan iklan kecantikan pun selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di Indonesia iklan-iklan kecantikan mulai booming sejak memasuki pertengahan tahun 1990-an. Dipelopori oleh produk dari Sari Ayu Martha Tilaar, iklan kecantikan yang beredar berusaha menanamkan konsep cantik sesuai dengan produk-produk yang dikeluarkan Sari Ayu. Di dalam iklannya Sari Ayu menggambarkan perempuan cantik Indonesia adalah mereka yang memiliki kulit kuning langsat. Hal ini sesuai dengan produk-produk yang dikeluarkan Sari Ayu, dimana ia mengangkat tema kecantikan asli perempuan Indonesia.

Akan tetapi, pada akhir tahun 1990, banyak produk kecantikan dari luar yang datang ke Indonesia dengan tampilan iklan yang lebih menarik. Sejak saat itulah, masyarakat Indonesia khususnya perempuan lebih tertarik menggunakan produk-produk yang datang dari luar tersebut. Misalnya seperti produk Pond’s dan Vaseline. Kedua produk tersebut mengiklankan dirinya sebagai produk pemutih kulit, dan berusaha mengkonstruksikan bahwa perempuan cantik adalah yang berkulit putih.

(6)

16 Konstruksi tersebut dimulai dari digunakannya model-model iklan berkulit putih dan cantik dengan tujuan untuk menarik minat perempuan Indonesia untuk memilih produk-produk pemutih kulit tersebut. Padahal secara logika, model-model yang dipakai dalam iklan tersebut bukanlah perempuan asli Indonesia, melainkan perempuan blasteran yang memang berkulit putih. Perempuan Indonesia yang pada kodratnya memiliki kulit sawo matang tentu akan sangat sulit untuk mendapatkan kulit putih seperti pada iklan. Namun, hal itu tidak jadi masalah bagi mereka yang telah terkonstruksi dan mendambakan dirinya menjadi cantik. Bahkan mereka malah semakin gencar mencari produk pemutih yang paling efektif. Sebab mereka telah terpengaruh oleh konstruksi yang dibangun oleh iklan-iklan terebut.

Pada saat ini iklan-iklan tidak hanya ditampilkan lewat media televisi saja. Perkembangan jaman yang semakin maju telah membuat iklan-iklan mengenai kecantikan berinovasi untuk bisa selalu dilihat oleh masyarakat. Sehingga mereka akan semakin percaya dan meng-iya-kan cantik yang dilukiskan oleh iklan tersebut. Iklan kecantikan juga ditampilkan pada billboard atau spanduk-spanduk yang tersebar di sepanjang jalan. Dengan kehadiran iklan-iklan kecantikan tersebut, masyarakat akhirnya menjadi terbiasa mengakui bahwa cantik itu sesuai yang digambarkan pada iklan. Hal ini karena di setiap kesehariannya, masyarakat selalu dihadapkan dengan media.

Masyarakat masa kini tentunya tidak bisa terlepas dari adanya televisi dan media massa. Padahal di dalam televisi dan media massa tersebut terdapat iklan-iklan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi persepsi dan pemaknaan mereka tentang kecantikan. Terlebih dengan hadirnya iklan di billboard atau spanduk yang mana pasti akan lebih mudah terlihat oleh masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas tinggi.

(7)

17 Berkembangnya makna kecantikan tersebut, pada akhirnya memunculkan berbagai macam alternatif lain yang tidak hanya bertumpu pada penggunaan produk kecantikan semata. Saat ini banyak layanan jasa kecantikan yang tersebar di seluruh dunia, apalagi di Indonesia. Kehadiran salon-salon kecantikan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perempuan akan perawatan kecantikan disambut baik oleh mereka yang selalu terpukau oleh sihir cantik. Selain itu, saat ini juga tengah marak menjamurnya aesthetic clinic atau jasa perawatan kecantikan dan keindahan perempuan. Jasa perawatan jenis ini sangat diminati oleh perempuan yang tinggal di daerah perkotaan karena umumnya mereka menginginkan jasa perawatan kecantikan yang efektif dan mudah dijangkau. Apalagi bagi para perempuan yang kesehariannya telah disibukkan dengan rutinitas kegiatan perkotaan. Tentunya mereka mengharapkan hadirnya jasa perawatan kecantikan yang dapat memanjakan dirinya serta mempercantik dan memperindah penampilan fisik mereka.

Yogyakarta merupakan salah satu kota besar yang menjadi tempat menjamurnya jasa perawatan kecantikan seperti klinik kecantikan (aesthetic clinic) itu. Di setiap sudut kota, kita pasti akan selalu menjumpai tempat-tempat yang berlabel aesthetic clinic. Misalnya saja, Natasha, LBC (London Beauty Center), Larissa, dan lainnya. Menjamurnya berbagai klinik kecantikan di Yogyakarta tidak secara tiba-tiba. Diawali dengan berdirinya klinik kecantikan bernama London Beauty Center (LBC). LBC berdiri pada tahun 19981, yang merupakan klinik kecantikan pertama di Yogyakarta. Karena banyaknya wanita di Yogyakarta yang menggunakan jasa klinik kecantikan, barulah muncul berbagai klinik kecantikan lain seperti Natasha yang berdiri pada tahun 1999, Larissa, dan lainnya.

Kehadiran beberapa klinik kecantikan ini tentunya bukan tanpa sebab. Keinginan masyarakat Jogja, khususnya perempuan perkotaan untuk mendapatkan jasa perawatan

1

(8)

18 kecantikan yang bagus dan terpercaya inilah yang kemudian memicu hadirnya beberapa klinik kecantikan (aesthetic clinic). Mereka hadir di lokasi-lokasi yang mudah terjangkau di sekitar Kota Yogyakarta. Bahkan ada klinik kecantikan yang hadir dalam kemasan menarik dengan gedung yang mewah layaknya sebuah mall. Ini dapat kita lihat pada Natasha yang berlokasi di Jalan Kaliurang.

Berbagai klinik kecantikan tersebut menyediakan berbagai jasa perawatan kecantikan yang disesuaikan dengan permintaan masyarakat. Hal tersebut, selain untuk memuaskan konsumen, juga digunakan untuk menarik lebih banyak konsumen agar tertarik menggunakan jasa-jasa perawatan kecantikan yang ada. Oleh karena itu, kehadiran klinik kecantikan selain untuk menjawab kebutuhan para perempuan akan keinginannya menjadi cantik, secara tidak langsung ia juga turut membentuk sebuah konstruksi mengenai cantik tersebut. Agar produk perawatannya disukai oleh para perempuan, maka para klinik kecantikan ini juga menawarkan produk yang diminati oleh mereka. Klinik kecantikan juga menanamkan sebuah makna kecantikan pada para perempuan bahwa cantik itu adalah yang terawat, putih, bersih, mulus, dan bersinar.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa makna dan konstruksi cantik itu bisa berubah seiring berjalannya waktu. Konstruksi cantik sendiri juga pasti berbeda pada setiap individu. Selain itu, konstruksi cantik juga dapat muncul karena adanya berbagai macam hal. Oleh karena itu, kita dapat melihatnya dengan melakukan penelitian mengenai persepsi makna cantik pada setiap individu, khususnya para konsumen jasa klinik kecantikan (aesthetic clinic).

(9)

19 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan rumusan masalah yang akan menjadi objek dalam penelitian ini. Rumusan masalah ini adalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

Bagaimana makna cantik menurut wanita pekerja yang menjadi konsumen Natasha Skin Care ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dan maksud dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan makna cantik yang ada pada wanita pekerja yang menjadi konsumen Natasha.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tindakan wanita dalam mendatangi Natasha Skin Care dengan berlatar memenuhi standar cantik sesuai dengan konstruksi yang telah terbangun.

3. Untuk mengetahui implikasi sosial yang ditimbulkan dari adanya pemaknaan cantik konsumen Natasha.

D. Kerangka Teori

Sebuah teori diperlukan dalam sebuah penelitian untuk menjelaskan fakta-fakta yang nantinya akan ditemui di lapangan. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi, dan proposisi, untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep (Singarimbun, 1989: 37). Oleh karena itu teori sangat diperlukan dalam menjelaskan sebuah masalah di dalam sebuah penelitian.

(10)

20 1. Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger

Konstruksi sosial atas realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, A Treatise In the Sociological of Knowledge. Di dalam bukunya mereka menjelaskan proses sosial terjadi melalui interaksi, dimana realitas dibentuk secara terus-menerus oleh individu dan dialami bersama secara subyektif. Berger dan Luckmann mengawali penjelasan mengenai realitas sosial dengan memisahkan antara pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”.

Realitas atau kenyataan adalah kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, dan memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung dari kehendak kita sendiri; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan mempunyai karakteristik yang spesifik (Berger dan Luckmann, 1990: 1). Menurut Berger, kenyataan bersifat plural, dinamis dan dialetis. Realitas bersifat memaksa kesadaran tiap individu terlepas individu tersebut suka atau tidak. Sedangkan pengetahuan merupakan sebuah keyakinan bahwa suatu fenomena riil dan mereka mempunyai karakteristik tertentu (Samuel, 2012: 14). Bahwa pengetahuan hakikatnya merupakan sebuah realitas yang hadir di dalam kesadaran individu. Oleh karena itu, pengetahuan bersifat subjektif dan realitas bersifat objektif.

Demikian pula makna cantik dilihat dari perspektif konstruksi sosial tidak pernah merupakan realitas tunggal yang bersifat statis, namun merupakan realitas yang bersifat plural, dinamis dan dialetis. Sehingga makna cantik pun akan selalu berubah seiring berkembangnya jaman. Makna cantik berkembang menjadi sebuah realitas objektif karena pada awalnya masyarakat sendiri yang membentuk realitas tersebut. Makna cantik yang berkembang secara umum merupakan realitas sedangkan pemahaman cantik yang diterima oleh tiap-tiap individu barulah disebut dengan pengetahuan.

(11)

21 Berger memiliki pandangan tentang konstruksi realitas kehidupan sehari-hari. Ia membagi menjadi dua bagian besar yaitu masyarakat sebagai realitas objektif dan masyarakat sebagai realitas subjektif.

 Masyarakat sebagai realitas objektif

Pada dasarnya masyarakat tercipta sebagai realitas objektif karena adanya berbagai individu yang mengeksternalisasikan dirinya atau mengungkapkan subjektivitas masing-masing lewat aktifitasnya (Samuel, 2012: 27). Menurut Berger, individu cenderung untuk melakukan aktifitas yang sama dengan yang pernah ia lakukan, atau dengan kata lain mereka terbiasa (ter-habitualisasi). Dari aktifitas yang telah ter-habitualisasi inilah kemudian muncul yang disebut Berger dengan tipikasi. Tipikasi ini dapat memunculkan sebuah pranata sosial apabila, (1) ditransmisikan dari generasi ke generasi hingga usianya melampaui usia aktor-aktor yang memunculkan tipikasi mutual di masa awal, (2) mampu menjadi patokan berperilaku bagi anggota-anggota suatu kolektivitas pada umumnya (Samuel, 2012: 29). Jadi tipikasi timbal balik ini dapat berubah menjadi sebuah pranata atau institusi sosial saat ia sudah berlaku luas, eksternal (objektif), dan bersifat memaksa terhadap kesadaran tiap individu pembentuknya.

 Masyarakat sebagai realitas subjektif

Berger berpendapat bahwa hubungan antara individu dan masyarakat merupakan hubungan dialektis yang saling membentuk dan menentukan. Menurutnya, manusia lahir sebagai tabula rasa dimana ia siap untuk menerima internalisasi dari masyarakat dalam kesadarannya. Di dalam proses internalisasi inilah individu menerima definisi situasi institusional yang disampaikan orang lain (Samuel, 2012: 37). tidak hanya mampu memahami definisi orang lain, namun individu ini juga menjalin definisi tersebut bersama-sama sehingga membentuk

(12)

22 pendefinisian bersama. Setelah proses inilah individu baru dpat diterima sebagai anggota masyarakat dan berperan dalam pembentukan dan pengubahan masyarakatnya.

Senada dengan yang telah dikemukakan Berger, manusia sesuai hakikatnya sebagai makhluk pencari makna memperoleh makna kehidupan dari proses dialektika yang melibatkan tiga proses yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi (Berger dan Luckmann, 1990: 3-5). Eksternalisasi yaitu proses penyesuaian diri manusia dengan lingkungannya. Obyektivasi yaitu proses tatanan kehidupan yang dibangun oleh manusia sebagai suatu realitas obyektif yang terpisah dengan subyektivitas.

Tindakan-tindakan berpola yang sudah dijadikan kebiasaan membentuk lembaga-lembaga yang merupakan milik bersama. Lembaga-lembaga-lembaga ini mengendalikan dan mengatur perilaku individu (Berger dan Luckmann, 1990: 75-78). Internalisasi menyangkut identitas diri individu kedalam realitas obyektif. Dalam proses internalisasi, manusia menjadi produk masyarakat. Untuk mencapai taraf ini, individu secara terus menerus berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosial dan budayanya, sehingga akhirnya mereka dibentuk sebagai suatu pribadi dengan suatu identitas yang bisa dikenal secara subyektif dan obyektif (Berger dan Luckmann, 1994: 23). Ketiga proses ini merupakan momen proses dialektika yang berlangsung secara terus-menerus. Jika dalam proses ini ada momen yang diabaikan maka akan mengakibatkan terjadinya distorsi.

Proses pembentukan konstruksi tersebut juga dapat digunakan untuk menjelaskan konstruksi cantik yang sebelumnya telah terbangun di masyarakat. Dimana dalam hal ini yang turut membentuk konstruksi tersebut adalah media massa. Iklan kecantikan merupakan media massa yang berperan untuk mengendalikan dan mengatur perilaku individu dalam memaknai kecantikan. Hal tersebut sesuai dengan proses obyektivasi dalam dialektika yang mengatur

(13)

23 individu secara kolektif. Secara terus-menerus, proses pengaturan perilaku individu dilakukan oleh media massa dengan ide-ide yang terus dipaparkan kepada setiap individu. Ide-ide yang terus ditangkap oleh individu lama-kelamaan akan mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Saat individu-individu tersebut bertemu satu sama lain dan saling bertukar pendapat, saat itu juga terbentuklah suatu pemikiran obyektif hasil dari konstruksi yang diberikan oleh media massa. Hal tersebut berkaitan dengan proses internalisasi dimana manusia sebagai individu mulai dinilai juga secara obyektif. Dalam hal ini, Natasha skin care hadir di tengah-tengah masyarakat yang tengah terkonstruksi dalam hal kecantikan. Klinik kecantikan ini merupakan sebuah lembaga yang berperan sebagai sebuah alat yang memberikan layanan jasa bagi para wanita yang membutuhkannya.

Konstruksi sosial sendiri tidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi sarat dengan kepentingan-kepentingan (Berger dan Luckmann, 1990: xx). Sehingga konstruksi cantik itu juga akan terbentuk atas dasar adanya kepentingan-kepentingan. Seperti halnya Natasha skin care yang memiliki kepentingan untuk menjual jasa dan produk kecantikannnya kepada masyarakat dan konsumen khususnya. Berger menjelaskan bahwa dunia sosial dibangun oleh makna-makna yang diberikan oleh manusia dalam batasan-batasan realitas. Oleh sebab itu, keberadaan konstruksi cantik juga bergantung pada terjadinya proses sosial di dalam masyarakat.

E. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Pembuatan skripsi ini akan mengambil tempat penelitian di Kota Yogyakarta dan akan difokuskan pada salah satu klinik kecantikan yaitu, Natasha skin care. Alasan pemilihan klinik kecantikan ini dikarenakan Natasha skin care merupakan tempat jasa kecantikan yang sudah

(14)

24 terkenal di Kota Yogyakarta dan telah memiliki banyak pelanggan dari remaja sampai dewasa, baik laki-laki maupun perempuan.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis rancangan penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 2007: 3). Sehingga jenis penelitian mencakup secara luas dengan topik yang akan diteliti. Akan tetapi diperlukan batasan-batasan tersendiri agar penelitian tetap terfokus.

Prosedur dan cara-cara dalam penelitian kualitatif sangat fleksibel karena dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan. Hal inilah yang memudahkan peneliti dalam menggali informasi seluas-luasnya dari objek yang diteliti. Selain itu, diperlukan pula sebuah pendekatan deskriptif agar dapat menjawab permasalahan secara jelas dan data-data yang diperoleh dapat dipelajari dengan lengkap.

3. Unit Analisis

Peneliti akan menggunakan teknik pemilihan informan secara purposif, dengan tujuan beberapa informan tersebut nantinya bisa mewakili pencarian data. Dalam hal ini pemilihan informan berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut paut dengan karakteristik yang sudah diketahui sebelumnya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah lingkup perempuan yang difokuskan pada mahasiswa maupun wanita pekerja. Pemilihan terhadap wanita pekerja dikarenakan ia merupakan individu yang akan selalu memperhatikan penampilannya di publik. Selain itu, wanita pekerja juga dimungkinkan akan lebih memperhatikan penampilannya, karena adanya tuntutan untuk tampil menarik dan cantik di dalam dunia kerjanya. Sehingga pemilihan informan terhadap wanita pekerja dirasa tepat.

(15)

25 Jika dilihat dari kondisi lapangan, para informan ini umumnya adalah wanita karier yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta maupun non swasta. Informan yang diambil adalah mereka yang rutin melakukan perawatannya di Natasha Skin Care. Selain itu, ada informan lain yang berasal dari pihak Natasha Skin Care. Informasi tersebut misalnya adalah sejarah Natasha, jenis-jenis perawatan yang ditawarkan Natasha, serta jumlah pengunjung Natasha setiap bulannya. Dari beberapa informasi yang didapatkan itu akan digunakan sebagai data-data pelengkap dan pendukung dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data menggunakan metode: a. Penggalian Dokumentasi

Teknik penggalian dokumentasi adalah suatu cara memperoleh data dengan jalan meneliti, mengamati, dan menelaah sumber data yang didapat dari perpustakaan sosial, sumber yang berkaitan dengan masalah budaya, media massa, internet dan juga dapat berupa arsip-arsip kegiatan yang ada di lokasi penelitian. Dari penelitian ini beberapa dokumentasi yang diperoleh berasal dari buku-buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan konstruksi serta kecantikan. Selain itu, didapat pula sumber yang berasal dari majalah bulanan yang dikeluarkan oleh Natasha. Sumber dari internet pun menjadi dokumentasi yang dipakai dalam penelitian ini.

b. Wawancara mendalam

Teknik wawancara mendalam adalah teknik melakukan wawancara dengan berdialog, bertatap muka secara langsung dengan responden. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sudah disusun sebelumnya, sehingga terstruktur. Namun, dapat dimungkinkan pula muncul pertanyaan-pertanyaan baru karena dalam penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara dengan suasana bebas seperti mengobrol dengan informan. Sehingga dimungkinkan perolehan data dan informasi

(16)

26 secara luas dan akurat. Dengan teknik ini, data yang diperoleh dapat menjadi data primer karena informasi yan didapat dari informan akan digunakan sebagai sumber analisis.

c. Observasi

Teknik observasi adalah peneliti melakukan pengamatan terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh subjek yang diteliti. Penggunaan teknik ini diarahkan pada berbagai gejala yang ditampilkan secara visual. Hal ini dilakukan untuk menganalisis relevansi antara hasil wawancara dengan aktivitas-aktivitas di lapangan secara langsung. Dalam hal ini peneliti akan berperan sesuai dengan kebutuhan dalam mengamati kegiatan responden di klinik kecantikan.

Pada awalnya peneliti mendatangi konsumen Natasha dan menanyakan latar belakang pekerjaan mereka. Setelah itu peneliti mulai memberikan beberapa pertanyaan seputar kegiatan perawatan kecantikan yang mereka lakukan. Peneliti juga mendatangi klinik kecantikan Natasha untuk mengobservasi aktivitas para konsumen serta orang-orang yang ada di Natasha. Peneliti yang menjadi pengumpul data berusaha mencatat setiap peristiwa yang terjadi di dalam Natasha Skin Care. Peneliti berusaha menyaksikan setiap peristiwa yang terjadi disana, baik dengan cara melihat, mendengar, merasakan, mengamati lalu dituangkan dalam catatan dengan seobjektif mungkin.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah yang ditempuh dalam suatu penelitian kualitatif yaitu terdiri atas tiga alur kegiatan, reduksi data, pengujian data, dan kemudian penarikan kesimpulan (Usman, 1996: 86).

- Reduksi data merupakan proses penyederhanaan data yang sudah terkumpul ke dalam bentuk data yang mudah terbaca dan diinterpretasikan (Singarimbun, 1989:

(17)

27 263). Data-data yang telah diperoleh dari hasil wawancara dengan para informan dan kenyataan di lapangan kemudian diolah untuk “diperhalus” agar lebih jelas. - Pengujian data merupakan teknik analisa data dimana data yang telah terkumpul,

kemudian disusun secara deskriptif dan ditelaah dari berbagai sumber sehingga data yang disajikan berkualitas. Dari data yang telah diperoleh dalam penelitian kemudian akan disusun secara deskriptif dan naratif. Data hasil wawancara, penggalian dokumentasi, dan observasi lapangan tersebut dikumpulkan dan dipilah dengan baik sehingga akan menghasilkan tulisan yang mudah dipahami. - Penarikan kesimpulan dilakukan dimana seluruh data yang telah diperoleh dan

diproses akan ditarik kepada sebuah kesimpulan yang mengacu pada penelitian yang sudah dilakukan. Di dalam kesimpulan ini juga diberikan saran dan kritik yang merupakan verifikasi yang diberikan peneliti sebagai bentuk interpretasi dalam penelitian yang dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Hakim (2002) keyakinan diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang ada proses tertentu didalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan

Pengadaan reagen dan alat kesehatatan dilakukan oleh petugas stock opname ke bagian logistik dan farmasi, serta penyimpanannya dilakukan sesuai

2) ikiteisminio tyrimo teisëjo sprendimu, patvirtinanèio prokuroro nutarimà dël ikiteisminio tyrimo nutraukimo BPK 212 straipsnio 3–9 punktuose numatytais atvejais. Tuo- met

merupakan kelompok senyawa triterpen, khususnya nortriterpen (Guo, et al., 2005). Kuasinoid yang berhasil diisolasi dari biji Malua diantaranya brusatol, brucein D, brucein E,

Dimohon mengajukan permohonan kepada Direktur Pendididkan Tinggi Islam, Ditjen Pendis, nomor fax: 021-34833981, nomor telephon 021- 3812344 dengan menyebutkan

Untuk itu, kami mohon saudara menyampaikan kepada dosen di lingkungan saudara agar mengajukan permohonan untuk mendapatkan Mohammed VI Award for Thought and

Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang

[r]