BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapanya yang diperuntukan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel. (Undang-Undang No. 38 Tahun 2004)
Pada dasarnya jalan terbagi atas dua jenis, yaitu jalan khusus dan jalan umum. Jalan khusus merupakan jalan yang dibangun bukan diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan, sedangkan jalan umum adalah suatu kesatuan sistem jaringan dengan peran pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan wilayah. Jalan tol merupakan alternatif lintas jalan umum dengan spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi dari jalan umum yang ada, (Tinjauan UU No. 38/2004 dan PP No.15/2005).
Mengingat jalan tol merupakan jalan umum yang mempunyai karakteristik lebih tinggi dibanding dengan karakteristik jalan arteri serta mempunyai fungsi vital makan jalan tol harus memenuhi berbagai macam spesifikasi serta persyaratan teknis, yaitu antara lain:
a. Jalan tol mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang lebih tinggi dari jalan umum yang ada dan dapat melayani arus lalu lintas jarak jauh dengan mobilitas tinggi.
b. Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antar kota di desain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 Km/jam dan untuk jalan tol di wilayah perkotaan di desain dengan kecepatan rencana paling rendah 60 Km/jam. c. Jalan tol d idesain untuk mampu menahan Muatan Sumbu Terberat (MST)
paling rendah 8 ton.
d. Setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran, dan dilengkap dengan fasilitas penyebrangan dalam bentuk jembatan atau terowongan.
e. Pada tempat-tempat yang dapat membahayakan pengguna jalan tol, harus diberi bangunan pengaman yang mempunyai kekuatan dan struktur yang dapat menyerap energi benturan kendaraan.
f. Setiap jalan tol wajib dilengkapi dengan aturan perintah dan larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas, marka jalan, atau alat pemberi isyarat lalu lintas.
2.1.1 Penyelenggaraan Jalan Tol
Penyelenggaraan jalan tol diatur dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Dalam bahasan bab tersebut disebutkan bahwa jalan tol diselenggarakan untuk :
- Memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang.
- Meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi.
- Meringankan beban dana pemerintah melalui partisipasi pengguna jalan.
- Meningkatkan pemerataan hasil pembangunan dan keadilan. Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh pemerintah dan/ atau badan usaha yang memenuhi persyaratan.
2.1.2 Spesifikasi Jalan Tol
Untuk mencapai spesifikasi jalan tol, dalam merancang suatu jalan tol terdapat sejumlah standar perencanaan yang harus dijadikan acuan. Perencanaan geometrik jalan tol adalah standar yang dikeluarkan oleh Bina Marga, yaitu:
- Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, No. 13/1970.
- Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Jalan Bebas Hambatan, 1976. - Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Dalam Kota,
1992.
- A Policy on Geometric Design of Highways and Streets, AASHTO 1994.
- Draft RSNI Standar Geometrik Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol, 2009.
Parameter standar desain jalan tol pada saat ini mengacu pada Draft RSNI Standar Geometrik Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol, 2009 yang disajikan pada Tabel 2.1, 2.2 dan 2.3.
Tabel 2.1 Standar Desain Geometrik untuk Jalan Tol
Kecepatan Rencana 80 – 120 km/jam
Superelevasi Maksimum 10 %
Jari – jari Minimum 135 meter
Kelandaian Relatif 1/200
Jarak Pandang Henti 130 meter (minimum) Jarak Pandang Menyusul 550 meter (maksimum)
Kelandaian Maksimum 2% - 4%
Jarak Minimum antara 2 Lajur Pendakian 4,5 km
Jumlah lajur dan Arah 4 Lajur 2 Arah
Lebar lajur 3,60 meter
Lebar Bahu Luar 3,00 meter
Lebar Bahu Dalam 1,00 meter
Lebar Median 5,50 meter
Sumber : Draft RSNI Standar Geometrik Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol, 2009
Tabel 2.2 Standar Desain Geometrik untuk Ramp
Kecepatan Rencana 60 km/jam
Superelevasi Maksimum 10 %
Kemiringan Normal 2 %
Lebar Median 2,80 meter
Lebar Bahu Luar 3,00 meter
Lebar Bahu Dalam 1,00 meter
Panjang Lajur Percepatan Minimum 65,00 meter Sumber : Draft RSNI Standar Geometrik Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol, 2009
Tabel 2.3 Standar Desain Geometrik untuk Interchange
Kecepatan Rencana 60 km/jam
Superelevasi Maksimum 10 %
Kemiringan Normal 2 %
Lebar Median 2,80 meter
Lebar Bahu Luar 3,00 meter
Lebar Bahu Dalam 1,00 meter
Panjang Lajur Percepatan Minimum 65,00 meter Sumber : Draft RSNI Standar Geometrik Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol, 2009
Selain standar desain jalan tol, terdapat pula standar yang harus dipenui jalan tol, yaitu Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol, yang dapat dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Standar Pelayanan Minimum (SPM) Jalan Tol
Indikator Cakupan / Lingkup Tolak Ukur
Kekesatan Seluruh ruas jalan tol > 0,33 μm Ketidakrataan Seluruh ruas jalan tol IRI ≤ 4m/km Tidak ada lubang Seluruh ruas jalan tol 100%
Jalan Tol dalam Kota ≥ 1,6 kali kec. tempuh rata - rata jalan non tol Jalan Tol luar Kota ≥ 1,8 kali kec. tempuh rata - rata jalan non tol Gerbang tol sistem terbuka ≤ 8 detik setiap kendaraan Gardu masuk ≤ 7 detik setiap kendaraan Gardu keluar ≤ 11 detik setiap kendaraan Kapasitas sistem terbuka ≤ 450 kendaraan per jam per gardu Gardu masuk ≤ 500 kendaraan per jam Gardu keluar ≤ 300 kendaraan per jam 2 Kecepatan Tempuh Rata - rata Kecepatan Tempuh Rata - rata
No. Substansi
Pelayanan
Standar Pelayanan Minimum
Kondisi Jalan Tol 1
Gerbang tol sistem tertutup : Kecepatan Transaksi
Rata - Rata
Jumlah Gardu Tol Kapasitas sistem tertutup : 3 Aksesibilitas
Sumber : SPM Jalan Tol, PERMEN PU No. 392/PRT/M/2005
Indikator Cakupan / Lingkup Tolak Ukur
Wilayah Pengamatan/
Observasi Patroli 30 menit per siklus pengamatan Mulai informasi diterima
sampai ke tempat kejadian ≤ 30 menit Penanganan akibat kendaraan
mogok
Melakukan penderekan ke pintu gerbang tol terdekat/bengkel terdekat dengan menggunakan derek resmi (gratis)
Patroli kendaraan derek 30 menit per siklus pengamatan
Perambuan Kelengkapan dan kejelasan perintah dan larangan serta petunjuk 100%
Marka Jalan Fungsi dan manfaat Jumlah 100 % dan reflektifitas ≥ 80 % Guide Post/reflektor Fungsi dan manfaat Jumlah 100 % dan reflektifitas
≥ 80 % Patok kilometer setiap
1 km Fungsi dan manfaat 100% Penerangan jalan
umum (PJU) wilayah
perkotaan Fungsi dan manfaat Lampu menyala 100% Pagar rumija Fungsi dan manfaat Keberadaan 100 %
Korban kecelakaan Dievakuasi gratis ke rumah sakit rujukan Kendaraan kecelakaan Melakukan penderekan gratis sampai ke pool derek (masih di
dalam jalan tol) Pengamanan dan
penegakan hukum Ruas jalan tol
Keberadaan polisi patroli jalan raya (PJR) yang siap panggil 24 jam
Ambulans Ruas jalan tol 1 unit per 25 km atau minimum 1 unit (dilengkapi standar P3K dan paramedis)
LHR > 100.000 kend/hari 1 unit per 5 km atau minimum 1 unit LHR ≤ 100.000 kend/hari 1 unit per 10 km atau minimum 1 unit
LHR > 100.000 kend/hari 1 unit per 15 km atau minimum 1 unit LHR ≤ 100.000 kend/hari 1 unit per 20 km atau minimum 1 unit Patroli jalan tol
(operator) Ruas jalan tol
1 unit per 15 km atau minimum 2 unit
Kendaraan rescue Ruas jalan tol 1 unit per ruas jalan tol (dilengkapi dengan pelayanan penyelamatan)
Sistem informasi Informasi dan komunikasi kondisi lalulintas Setiap gerbang masuk
No. Substansi Pelayanan
Standar Pelayanan Minimum
6 Unit pertolongan/penyel amatan dan bantuan pelayanan Kendaraan derek
Ruas jalan tol:
Polisi patroli jalan raya (PJR)
Ruas jalan tol: 4 Mobilitas Kecepatan
penanganan lalu lintas
5 Keselamatan
Sarana Pengaturan lalulintas
Penanganan kecelakaan
2.2 Perkerasan
Pada umumnya ada tiga jenis konstruksi perkerasan, yaitu : 1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Perkerasan lentur merupakan struktur lapisan perkerasan yang melentur atau bersifat elastis jika menerima beban. Yang digolongkan kedalam jenis perkerasan ini adalah lapisan perkerasan yang menggunakan bahan pengikat dari aspal.
Perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan. Lapisan teratas atau lapisan permukaan harus memiliki kualitas material yang sangat baik karena lapisan ini mengalami kontak langsung dengan beban lalu lintas. Struktur perkerasan lentur dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Struktur Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) Penyebaran beban pada perkerasan lentur :
Gambar 2.2 Penyebaran beban pada perkerasan lentur (flexible pavement)
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan diatas tanah dasar yang terlah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan dibawahnya.
Pada Gambar 2.2 terlihat bahwa beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui bidang kontak roda berupa beban terbagi rata P0. Beban
tersebut diterima oleh lapisan permukaan dan disebarkan ke tanah dasar menjadi P1 yang lebih kecil dari daya dukung tanah dasar. Pendistribusian beban ini
merupakan salah satu faktor yang mendukung terbentuknya kekuatan pada perkerasan lentur. Selain itu, nilai ketebalan lapisan pun cukup berpengaruh pada kekuatan perkerasan lentur. (Sukirman, 1999)
2. Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Perkerasan kaku merupakan struktur lapisan perkerasan jalan dimana lapis atas menggunakan pelat beton (concrete slab) dengan atau tanpa tulangan yang terletak diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi dan jenis perkerasan ini tidak melentur jika menerima beban. Yang dapat digolongkan kedalam perkerasan ini adalah lapisan perkerasan yang menggunakan bahan pengikat dari semen.
Gambar 2.3 Struktur Perkerasan Kaku (Rigid Pavement) Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 (empat) jenis, yaitu:
1. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan 2. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan 3. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan 4. Perkerasan beton semen pra-tegang
Penyebaran beban pada perkerasan kaku :
Gambar 2.4 Penyebaran beban pada perkerasan kaku (rigid pavement)
Lapisan pondasi atas dan pondasi bawah memberikan sumbangan terbesar terhadap daya dukung perkerasan yang lebih banyak dipikul oleh beton. Hal itu disebabkan oleh sifat beton yang cukup kaku sehingga dapat menyebarkan beban di bidang yang luas, dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan-lapisan di bawahnya.
Lapis pondasi bawah pada perkerasan beton semen adalah bukan merupakan bagian utama yang memikul beban, tetapi merupakan bagian yang berfungsi sebagai berikut :
a. Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.
b. Mencegah intrusi dan pemompaan pada sambungan, retakan dan tepi-tepi pelat.
c. Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat. d. Sebagai perkerasan lantai kerja selama pelaksanaan.
Pelat beton semen mempunyai sifat yang cukup kaku serta dapat menyebarkan beban pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan-lapisan di bawahnya. (Pd T-14-2003)
3. Perkerasan Komposit (Composite Pavement)
Perkerasan Komposit merupakan gabungan dari struktur lapisan perkerasan lentur dan perkerasan kaku, dimana perkerasan kaku dengan pelat beton sebagai lapis pondasi dan aspal sebagai lapis permukaannya, kedua lapisan ini bekerja sama memikul beban lalu lintas. Untuk itu maka perlu ada persyaratan ketebalan perkerasan aspal agar mempunyai kekakuan yang cukup serta dapat mencegah
retak refleksi dari perkerasan beton di bawahnya. Konstruksi ini umumnya mempunyai tingkat kenyamanan yang lebih baik bagi pengendara dibandingkan dengan konstruksi perkerasan kaku sebagai lapis permukaan tanpa aspal.
Gambar 2.5 Struktur Perkerasan Komposit (Composite Pavement) Penyebaran beban pada perkerasan komposit
Gambar 2.6 Penyebaran beban pada perkerasan komposit (composite pavement)
Penyebaran beban pada perkerasan komposit merupakan gabungan dari penyebaran beban pada perkerasan lentur dan kaku. Beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui bidang kontak roda berupa beban terbagi rata yang diterima oleh lapisan beraspal dan kemudian didistribusikan ke lapisan plat beton yang ada dibawahnya. Lapisan beton merupakan lapisan kaku yang dapat menyebarkan beban di bidang yang luas, sehingga menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan dibawahnya yaitu tanah dasar.
2.3 Kinerja Perkerasan
Sukirman (1999) menjelaskan bahwa kinerja perkerasan merupakan kondisi perkerasan yang dapat memberikan pelayanan kepada pemakai jalan selama kurun waktu perencanaan tertentu. Kinerja perkerasan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
1. Keamanan, yang ditentukan oleh besarnya gesekan akibat adanya kontak antara ban dan permukaan jalan.
2. Struktur pelayanan, yang berhubungan dengan kondisi fisik dari jalan yang dipengaruhi oleh beban lalu lintas dan lingkungan.
3. Fungsi pelayanan, yang berhubungan dengan bagaimana perkerasan tersebut memberikan pelayanan kepada pengguna jalan.
Tingkat kenyamanan ditentukan berdasarkan anggapan-anggapan sebagai berikut: 1. Kenyamanan pada dasarnya merupakan faktor subjektif, tergantung
penilaian masing-masing pengemudi, tetapi dapat dinyatakan dari nilai rata-rata yang diberikan oleh pengemudi.
2. Jalan disediakan untuk memberikan keamanan dan kenyamana pada pemakai jalan.
3. Pelayanan yang diberikan oleh jalan dapat dinyatakan sebagai nilai rata-rata yang diberikan oleh pemakai jalan.
4. Kenyamanan berkaitan dengan bentuk fisik dari perkerasan yang dapat diukur secara objektif serta mempunyai nilai korelasi dengan penilaian subjektif masing-masing pengemudi.
Kinerja perkerasan dapat dinyatakan dengan:
1. Indeks Permukaan (Serviceability Index), diperkenalkan oleh AASHTO yang diperoleh dari pengamatan kondisi jalan meliputi kerusakan-kerusakan seperti retak-retak, alur-alur, lubang-lubang, lendutan pada lajur roda, kekasaran permukaan dan lain sebagainya yang terjadi selama umur jalan tersebut. Indeks Permukaan bervariasi dari angka 0-5, masing-masing angka menunjukan fungsi pelayanan sebagai berikut:
Tabel 2.5 Nilai Indeks Permukaan
Indeks Permukaan (IP) Fungsi Pelayanan
4 – 5 Sangat baik
3 – 4 Baik
2 – 3 Cukup
1 – 2 Kurang
0 – 1 Sangat kurang
2.3.1 Jenis Evaluasi Jalan
Untuk mengetahui kinerja dari suatu perkerasan perlu dilakukan survey secara periodik. Evaluasi perkerasan dapat diklasifikasikan menjadi evaluasi fungsional dan evaluasi struktural.
1. Evaluasi fungsional, yaitu evaluasi berupa informasi tentang karakteristik perkerasan jalan yang secara langsung mempengaruhi keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan serta pelayanan jalan. Karakteristik utama yang disurvey pada evaluasi fungsional ini adalah dalam hal keamanan berupa kekesatan permukaan jalan (skid
resistance) dan tekstur permukaan jalan (surface texture), serta
ketidakrataan jalan (road roughness) dalam hal pelayanan
(serviceability). Survey fungsional biasanya dilakukan dengan cara
survey kondisi permukaan, yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kenyamanan (rideability) permukaan jalan. Survey dapat dilakukan secara visual ataupun dengan bantuan alat mekanis. Survey secara visual meliputi:
- Penilaian kondisi lapisan permukaan yang dikelompokan menjadi: baik, kritis, atau rusak.
- Penilaian kenyamanan berkendara dikelompokan menjadi: nyaman, kurang nyaman, dan tidak nyaman.
- Penilaian terhadap kerusakan yang terjadi secara kualitas dan kuantitas.
2. Evaluasi struktural, yaitu evaluasi berupa informasi tentang kinerja struktur perkerasan terhadap beban lalu lintas dan kondisi lingkungan. Dalam hal ini, survey karakteristik juga akan membantu dalam memperoleh informasi tentang kinerja struktur perkerasan, kerusakan perkerasan dan sifat mekanikal/ struktural jalan. Kerusakan perkerasan secara tidak langsung akan mempengaruhi masalah fungsional jalan seperti kegemukan pada jalan (pavement
bleeding), kekesatan permukaan jalan (skid resistance), dan retak
pada sambungan jalan yang akan mempengaruhi ketidakrataan jalan
(road roughness). Survey kelayakan struktural kondisi perkerasan
dapat ditentukan dengan 2 (dua) cara yaitu secara destruktif dan non destruktif. Pemeriksaan destruktif yaitu pemeriksaan dengan cara membuat test pit pada perkerasan jalan lama. Sedangkan pemeriksaan secara non destruktif yaitu suatu cara dengan mempergunakan alat yang diletakan diatas permukaan jalan. (Jurnal Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara, 2012)
2.3.2 Ketidakrataan
Ketidakrataan adalah penyimpangan permukaan jalan yang berbeda dengan permukaan jalan normal dengan karakteristik dimensi yang mempengaruhi dinamika kendaraan, kualitas berkendara, dinamika beban, dan drainase. (the American Society od Testing and Materials (ASTM)).
Martin (1999) menjelaskan bahwa ketidakrataan jalan atau road
roughness merupakan parameter kondisi yang paling banyak digunakan
dalam mengevaluasi perkerasan jalan karena data ketidakrataan jalan relatif mudah untuk diperoleh, objektif dan berkorelasi baik dengan biaya operasional kendaraan serta parameter kondisi yang paling relevan dalam pengukuran perilaku fungsional jalan dalam waktu jangka panjang.
Pengukuran ketidakrataan:
Cara memasang alat roughometer adalah dengan ditempelkan pada sumbu belakang roda kendaraan penguji. Prinsip dasar dari alat ini adalah mengukur jumlah gerakan vertikal sumbu belakang roda kendaraan pada kecepatan tertentu. Cara pemasangan dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut.
Gambar 2.7 Ilustrasi cara kerja alat roughometer
Fenxuan Hu (2004) mengatakan bahwa ada beberapa penyebab ketidakrataan jalan, yaitu: beban lalu lintas, efek dari lingkungan, bahan dari pembuatan jalan serta penyimpangan pada proses konstruksi jalan. Pada proses konstruksi jalan, semua perkerasan jalan raya memiliki penyimpangan pengerjaan sehingga menyebabkan ketidakrataan jalan. Ketidakrataan jalan dapat meningkat dikarenakan oleh beban lalu lintas dan lingkungan. (Jurnal Teknik Sipil Sumatera Utara, 2012)
2.3.3 International Roughness Index (IRI)
International Roughness Index (IRI) atau tingkat kerataan jalan
dikembangkan oleh Bank Dunia pada tahun 1980an (UMTRI, 1998). IRI digunakan untuk menggambarkan suatu profil memanjang dari suatu jalan dan disahkan sebagai standar pengukuran. Satuan yang biasa direkomendasikan adalah meter per kilometer (m/km) atau milimeter per meter (mm/m).
IRI adalah parameter ketidakrataan yang dihitung dari jumlah kumulatif naik turunnya permukaan arah profil memanjang dibagi dengan jarak atau panjang permukaan yang diukur. Sayer et al (dalam Jurnal Teknik Sipil Sumatera Utara, 2012) telah mengembangkan nilai IRI untuk berbagai
umur perkerasan dan kecepatan. Untuk perkerasan jalan baru nilai IRI < 4 m/km yang dapat ditempuh pada kecepatan 100 km/jam dan untuk jalan lama nilai IRI < 6 m/km dengan kecepatan sekitar 80 km/jam, sepeti terlihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.8 Skala penentuan nilai IRI Sumber: Jurnal Teknik Sipil Sumatera Utara
IRI memperlihatkan skala ketidakrataan, sehingga IRI menjadi suatu
indikator penting pada kondisi jalan. Menurut Kimpraswil (2001), nilai IRI berkisar antara 0 sampai 16 yang ditunjukkan pada tabel 2.6.
Tabel 2.6 Nilai IRI
Nilai IRI Kondisi Permukaan Secara Visual 0 – 3 Sangat rata dan teratur
3 – 4 Sangat baik dan umumnya rata 4 – 6 Baik
6 – 8 Sedikit atau tidak ada lubang namun permukaan tidak rata 8 – 10 Ada lubang, permukaan tidak rata
10 – 12 Rusak, bergelombang, dan banyak lubang
12 – 16 Rusak berat, banyak lubang dan seluruh perkerasan hancur > 16 Tidak bisa dilalui kecuali kendaraan 4WD
Sumber: Sukirman (1999)
2.3.4 Kekesatan
Kekesatan adalah koefisien gesekan antara permukaan perkerasan yang basah dan permukaan ban kendaraan penguji yang sedang bergerak pada kecepatan dan sudut arah tertentu. Mu-meter adalah alat yang digunakan untuk menentukan kekesatan permukaan perkerasan. (SNI 03-6748-2002).
Kekesatan permukaan jalan akan berpengaruh pada keamanan dalam berkendara, yaitu kendaraan akan mengalami selip ketika proses pengereman, percepatan serta manuver karena gesekan yang terjadi melebihi batas kekuatan gesekan yang dihasilkan oleh roda kendaraan dan permukaan jalan. Oleh karena itu, kekesatan permukaan jalan dapat didefenisikan sebagai batas koefisien gesekan antara roda kendaraan terhadap permukaan jalan dan rasio antara gaya horizontal pada proses pengereman, manuver, dan pada proses menikung terhadap gaya vertikal yang terjadi pada roda kendaraan akibat dari beban kendaraan.
Peralatan yang digunakan dalam pengujian kekesatan antara lain adalah: a. Mu-Meter (ukuran ban 16 x 4 x 6 lapis; garis tengah 416,6 mm;
lebar 109,2 mm; permukaan halus; tekanan ban 0,70+0,035 kg/cm2,
ban belakang 2,10+0,14 kg/cm2; membentuk sudut 75±0,05o; beban 76,1+0,9 kg; alat ukur kekuatan pada posisi angka 500 lbf atau 2225 N serta kekuatan gesek 10o Mu Number).
b. Kendaraan penarik yang dilengkapi tangki air (kapasitas minimum 200 liter, kompresor, jumlah air bersih yang disemprotkan 55 liter/menit pada kecepatan 64+1,6 km/jam).
c. Kotak pencatat terdiri dari penghitung jarak dengan ketelitian 1 meter, penghitung kekesatan (harus menunjuk angka 0-2225 N), dan grafik pencatat (menunjuk angka (0-100%).
Kekesatan permukaan jalan dihasilkan dari fungsi utama tekstur permukaan jalan. Ketika tekstur permukaan jalan bersentuhan dengan roda kendaraan, gaya gesekan dapat dihasilkan. Dari survey ini didapatkan data
koefisien kekesatan permukaan yang menggambarkan licin tidaknya perkerasan. Hubungan antara kekesatan dengan kondisi permukaan perkerasan jalan adalah semakin besar nilai kekesatan, maka semakin aman terhadap terjadinya gelincir. Sebaliknya, semakin kecil nilai kekesatan maka semakin besar pula bahaya terhadap terjadinya gelincir.
2.4 Beban Standar Lalu Lintas
Beban lalu lintas merupakan beban yang langsung diterima oleh lapis perkerasan. Beban terulang atau repetition load merupakan beban yang diterima oleh struktur perkerasan dari roda-roda kendaraan yang melintasi jalan raya secara dinamis selama umur rencana. Umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang bersifat struktural (sampai diperlukan overlay lapisan perkerasan). Besar beban yang diterima bergantung dari berat total kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang kontrak antara roda dan kendaraan serta kecepatan kendaraan tersebut. Hal ini akan memberikan suatu nilai kerusakan dari perkerasan oleh muatan sumbu roda yang melintas setiap kali pada ruas jalan. (Jurnal Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara, 2012)
Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh beban lalu lintas tidaklah sama antara satu kendaraan dengan yang lainnya. Perbedaan ini mengharuskan suatu standar yang bisa mewakili untuk semua jenis kendaraan, sehingga semua beban yang diterima dapat disamakan kedalam satu beban standar. Beban standar ini digunakan sebagai batasan maksimum yang diijinkan untuk satu kendaraan.
Beban yang sering digunakan sebagai batasan maksimum yang diijinkan untuk satu kendaraan adalah beban gandar maksimum. Beban gandar standar ini diambil sebesar 18.000 pounds (18 kips = 8,2 ton) pada sumbu gandar tunggal. Diambilnya angka ini karena rusak yang ditimbulkan beban gandar terhadap perkerasan bernilai satu. Semua beban kendaraan lain dengan gandar yang berbeda diekivalen ke beban gandar standar dengan menggunakan angka ekivalen beban sumbu tersebut.
Kerusakan jalan sebagian besar disebabkan oleh beban lalu lintas yang merupakan beban berulang. Analisa lalu lintas didasarkan kepada angka Ekivalen (E) masing-masing golongan sumbu. Rumus dasar yang digunakan untuk menentukan E adalah seperti diperlihatkan pada persamaan 2.1, 2.2, 2.3 dan 2.4 atau pada Tabel 2.8.
a. Angka ekivalen sumbu tunggal roda tunggal [
] b. Angka ekivalen sumbu tunggal roda ganda
[
] c. Angka ekivalen sumbu dua roda ganda
[
] d. Angka ekivalen sumbu triple roda ganda
[ ] Sumber: Pd T 05-2005 B
Tabel 2.7 Ekivalensi beban sumbu kendaraan (E)
Beban sumbu (ton)
Ekivalen beban sumbu kendaraan (E)
STRT STRG SDRG STrRG 1 0,00118 0,00023 0,00003 0,00001 2 0,01882 0,00361 0,00045 0,00014 3 0,09526 0,01827 0,00226 0,00070 4 0,30107 0,05774 0,00714 0,00221 5 0,73053 0,14097 0,01743 0,00539 6 1,52416 0,29231 0,03615 0,01118 7 2,82369 0,54154 0,06698 0,02072 8 4,81709 0,92385 0,11426 0,03535 9 7,71605 1,47982 0,18302 0,05662 10 11,76048 2,25548 0,27895 0,08630 11 17,21852 3,30225 0,40841 0,12635 12 24,38653 4,47697 0,57843 0,17895 13 33,58910 6,44188 0,79671 0,24648 14 45,17905 8,66466 1,07161 0,33153 15 59,53742 11,41838 1,41218 0,43690 16 77,07347 14,78153 1,82813 0,56558 17 98,22469 18,83801 2,32982 0,72079 18 123,45679 23,67715 2,92830 0,90595 19 153,26372 29,39367 3,63530 1,12468 20 188,16764 36,08771 4,46320 1,38081 Sumber: Pd T-05-2005-B
Dalam menentukan akumulasi ekivalen beban sumbu standar (CESA) selama umur rencana dapat ditentukan dengan rumus :
∑
dimana :
CESA = kumulatif ekivalen beban sumbu standar selama umur rencana m = jumlah masing-masing jenis kendaraan
365 = jumlah hari dalam satu tahun
E = angka ekivalen beban sumbu kendaraan (Tabel 2.7) C = koefisien distribusi kendaraan (Tabel 2.8)
N = faktor hubungan umur rencana yang sudah disesuaikan dengan perkembangan lalu lintas (Rumus 2.6)
[
] r = pertumbuhan lalu lintas (%)
n = jumlah tahun.
Koefisien distribusi kendaraan ditentukan berdasarkan jenis kendaraan, jumlah arah dan jumlah lajur seperti yang terlihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Koefisien distribusi kendaraan (C) Jumlah
Lajur 1 Arah Kendaraan Ringan 2 Arah 1 Arah Kendaraan Berat 2 Arah
1 1,00 1,00 1,00 1,00 2 0,60 0,50 0,70 0,50 3 0,40 0,40 0,50 0,475 4 - 0,30 - 0,45 5 - 0,25 - 0,425 6 - 0,20 - 0,40 Sumber : SKBI (1988)
2.5 Metode Rehabilitasi Perkerasan
Jalan raya merupakan prasarana yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial suatu masyarakat. Hal ini terjadi karena prasarana jalan akan memberikan kemudahan kepada manusia untuk dapat bergerak, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Untuk itu setelah pembangunan jalan raya diperlukan pemeliharaan ataupun rehabilitasi untuk mempertahankan kondisi jalan itu baik kondisi fungsional maupun struktural perkerasannya.
Kondisi jalan raya yang baik akan memberikan tingkat pelayanan yang tinggi sehingga memberikan waktu tempuh yang lebih cepat bagi pemakai jalan mencakup kekasaran permukaan, tahanan gesekan antara permukaan dengan roda kendaraan serta keamanannya.
Secara tidak langsung kondisi fungsional akan berpengaruh pada keadaan struktur perkerasan dalam menerima beban lalu lintas yang akan menurun sesuai
dengan waktu. Kegagalan struktural disebabkan daya dukung yang hilang serta kerusakan material yang sesuai dengan waktu dan repetisi beban lalu lintas serta pengaruh keadaan alam sekitarnya. Kejadian ini dapat ditanggulangi dengan cara merehabilitasi jalan tersebut dengan cara melakukan lapisan tambah (overlay) dan non lapis tambah (non overlay), tergantung kepada tingkat kerusakannya yang bisa diketahui melalui survey kondisi.
Perbaikan non overlay dilaksanakan dengan cara seperti perawatan permukaan jalan (surface treatment), penambalan (patching), injeksi material penutup (joint and crack sealing), pendongkrakan (slab jacking), penyumbatan
(subsealing-undersealing), rekonstruksi parsial (grinding and milling) dan
membuat alur (grooving). Untuk perbaikan overlay diusahakan lapisan perkerasan yang ada untuk dapat kembali mempunyai nilai kekuatan, tingkat kenyamanan, tingkat kekedapan terhadap air dan tingkat kecepatannya mengalirkan air.
2.5.1 Rehabilitasi Jalan Non Overlay
Rehabilitasi non overlay dapat dilakukan dengan laburan penutup
(seal coats) yang dipakai untuk semua kelas jalan tipe perkerasan lentur.
Perbaikan dengan metode ini untuk menanggulangi kondisi permukaan perkerasan yang mengalami kerusakan yang disebabkan keretakan, yaitu terlepasnya butir-butir perkerasan, pelicin serta pengelupasan.
Laburan penutup dilakukan dengan menambah aspal dan agregat pada bagian yang mengalami kerusakan dengan kedalaman tidak lebih dari 1 inci. Cara ini tidak langsung memperbaiki kondisi perkerasan namun hal ini dapat memperpanjang umur perkerasan dan mempertahankan kapasitas strukturnya.
Metode non overlay dapat dipakai pada perkerasan lentur maupun kaku. Cara penggunaannya dilaksanakan pada daerah sambungan atau retak-retak yang disebabkan oleh lepasnya penutup material, sehingga sudah dapat diperbaiki. Tetapi apabila ternyata hasil survey pada drainase menyebabkan kelembaban yang dapat menyebabkan kerusakan pada struktur perkerasan,
maka cara ini tidak dapat digunakan. Penanganan metode ini dapat bertahan selama 10 (sepuluh) tahun.
Untuk mengisi bagian yang rusak pada permukaan jalan selain dengan laburan penutup juga bisa dilakukan dengan menambal bagian yang rusak (patching), slab jacking yaitu menaikan plat beton yang tidak rata, sub
sealing yaitu mengisi rongga udara antara beton dengan lapisan pondasi
atau lapisan tanah dasar karena rongga udara dapat menyebabkan terjadinya patahan atau juga cara injection yaitu dengan cara menginjeksi dengan semen atau aspal semen.
2.5.2 Rehabilitasi Jalan Overlay
Metode overlay bertujuan untuk meningkatkan kemampuan struktural perkerasan jalan lama dalam menerima beban. Dengan memberikan lapisan tambahan, lendutan yang terjadi akibat beban lalu lintas dapat berkurang sampai lebih kecil dari lendutan yang diizinkan. Overlay dikategorikan berdasarkan tipe overlay, tipe perkerasan lama dan kinerja sistem perkerasan. Overlay dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
overlay perkerasan lentur dan overlay perkerasan kaku.
Overlay perkerasan lentur meliputi perkerasan Asphalt Concrete
(AC) diatas lapisan granular dan dapat dikonstruksikan diatas perkerasan lentur maupun kaku. Jika lapisan granular digunakan diantara lapisan perkerasan kaku dengan menggunakan overlay maka lapisan granular menjadi lapisan pengikat.
2.6 Lendutan
Lendutan adalah besarnya gerak turun vertikal suatu permukaan perkerasan akibat beban. Lendutan perkerasan didapat dengan menetapkan korelasi antara beban roda, lendutan balik perkerasan dan repetisi (pengulangan) beban. Prosedur umum menggunakan lendutan perkerasan untuk evaluasi struktural adalah sebagai berikut :
1. Menentukan panjang perkerasan yang termasuk dalam evaluasi struktur. 2. Melakukan survey lendutan.
3. Menghitung lendutan wakil (RRD).
4. Memperkirakan jumlah beban standar (ESA). 5. Menentukan tebal lapis tambah.
Salah satu metode pengukuran lendutan pada struktur perkerasan adalah percobaan pembebanan permukaan (surface loading test). Dalam melakukan pengukuran lendutan pada permukaan dapat dibagi berdasarkan metode pembebanan yang dipakai yaitu pembebanan statis dan pembebanan dinamis. Metode pembebanan statis dapat digunakan alat-alat seperti Benkelman Beam,
California Traveling Deflectometer dan lain-lain. Sedangkan pada metode
pembebanan dinamis dipakai Dynaflect, Road Tater dan Falling Weight
Deflectometer. (Nefiadi, 1990). 2.6.1 Benkelman Beam
Pengukuran defleksi dilakukan dengan balok yang didesain oleh
A.C. Benkelman yang digunakan bersama dengan truk yang telah baku
dimensinya. Balok ini mempunyai suatu lengan lurus panjang yang dapat naik turun di antara kedua roda ganda belakang truk. Poros dari balok tersebut umumnya terletak pada 1/3 panjang balok dan berada pada rangka yang didukung oleh kaki yang dapat diatur, sehingga alat benar-benar dalam keadaan horisontal. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.9 Rangkaian Alat Benkelman Beam (BB)
Gambar 2.10 Skema Alat Benkelman Beam
Dalam pemeriksaannya dilapangan alat ini harus dilindungi dari sinar matahari untuk mengurangi distorsi yang disebabkan radiasi sinar matahari, sehingga besar defleksi yang didapatkan lebih teliti. Selain itu harus ada jarak dengan kendaraan lalu lintas agar tidak terjadi perubahan angka pada arloji pembacaan. Pada saat pembacaan alat tersebut harus digetarkan dengan vibrator atau diketuk-ketuk dengan tangan.
2.6.2 Falling Weight Deflectometer (FWD)
Alat Falling Weight Deflectometer telah digunakan sejak awal tahun enam puluhan di Perancis, Denmark dan Ceko-Slovakia. Alat ini baru memungkinkan untuk menghasilkan suatu beban dengan waktu puncak pembebanan dan pensimulasian geometri beban lalu lintas yang sangat kecil. National Danish Road Laboratory dan perusahaan Dynatest secara berangsur-angsur mengembangkan Falling Weight Deflectometer untuk dipakai dalam percobaan non-destruktif jalan raya dan perkerasan pada lapangan terbang. Dengan semakin berkembangnya zaman, dapat dilihat pemakaian FWD semakin baik dan beragam, dan memiliki pengembangan yang luar biasa terutama dalam hal penggunaan program komputer untuk mendapatkan data lendutan hasil dari FWD tersebut.
Prinsip kerja FWD adalah memberikan beban impuls terhadap struktur perkerasan, khususnya perkerasan lentur melalui pelat berbentuk sirkular (bundar), yang efeknya sama dengan kendaraan. Pelat sirkular diletakkan pada permukaan perkerasan yang akan diukur, kemudian beban dijatuhkan padanya sehingga menimbulkan gaya yang bervariasi. Berat beban sebelum jatuh relatif lebih kecil dibanding berat sebenarnya, biasanya
sekitar 3-14% dari berat maksimum. Pulsa beban yang diberikan akibat beban jatuh ke dalam seperangkat pegas kira-kira setengah gelombang sinus. (Jurnal Teknik Sipil Sumatera Utara, 2012)
Efek beban yang timbul akan ditangkap oleh tujuh buah deflektor yang diletakkan dengan jarak-jarak tertentu tertentu pada batang pengukur, sehingga secara keseluruhan lendutan itu akan membentuk suatu cekung lendutan (deflection bowl) seperti pada gambar berikut ini.
Gambar 2.11 Bidang cekung lendutan
Besarnya lendutan langsung dapat dibaca pada layar monitor komputer dan disimpan dalam bentuk data atau dapat langsung dicetak. Selanjutnya data tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan program-program yang ada. Berikut adalah gambar rangkaian alat FWD dan trailernya.
Gambar 2.12 Rangkaian Alat Falling Weight Deflecyometer (FWD)
Gambar 2.13 Trailer Alat Falling Weight Deflecyometer (FWD) Beberapa keuntungan dari alat FWD, yaitu :
1. Dapat memberikan ide menyeluruh mengenai pavement performance melalui pengukuran lendutan, dan memberikan nilai layer modulus struktur perkerasan.
2. Dapat melakukan pengukuran secara cepat, dengan ketelitian yang cukup tinggi, dan alat dapat dioperasikan secara relatif mudah. 3. Beban pelat dan tinggi jatuh beban dapat diatur, sehingga menyamai
intensitas beban yang diinginkan, baik beban kendaraan ataupun beban roda pesawat.
Berikut adalah perbedaan antara lendutan menggunakan alat
Benkelman Beam (BB) dan Falling Weight Deflectometer (FWD),
dijelaskan dalam Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Perbedaan alat BB dan FWD
Perbedaan Benkelman Beam Falling Weight Deflectometer
Jenis Pembebanan Statis Dinamis
Jumlah Sensor 3 buah sensor 7 buah sensor
Jenis lendutan Lendutan balik Lendutan langsung
2.7 Structural Number Corrected (SNC)
Structural Number (SN) disebut juga sebagai Indeks Tebal Perkerasan (ITP)
yang merupakan suatu besaran untuk penentuan tebal lapis perkerasan lentur. Sedangkan Structural Number Corrected (SNC) merupakan suatu nilai untuk menghasilkan tebal peningkatan perkerasan (overlay). Persamaan dasarnya adalah sebagai berikut:
Menurut AASHTO ’86
SN = a1.D1 + a2.D2.m2 + a3.D3.m3 ………(2.7)
dimana:
SN = Stuctural Number
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan (Tabel 2.11)
D1, D2, D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan m2, m3 = Koefisien drainase (Tabel 2.13)
SN dipengaruhi oleh kekuatan bahan penyusun (a), untuk bahan perkerasan
dengan aspal, nilainya ditetapkan dengan Marshal Stability, bahan perkerasan dengan semen atau kapur ditetapkan dengan Triaksial Test (kuat tekan) dan lapis pondasi ditetapkan dengan nilai California Bearing Ratio (CBR). Untuk mengetahui nilai SN dari perkerasan komposit, maka perlu dilakukan konversi dari perkerasan kaku ke perkerasan lentur. Konversi tersebut disajikan pada Tabel 2.10 berikut ini.
Tabel 2.10 Faktor konversi lapis perkerasan lama untuk perencanaan lapis tambahan menggunakan perkerasan beton aspal
Klasifi- kasi
Bahan Deskripsi Bahan
Faktor Konversi
(Fk) I Tanah dasar asli, tanah dasar perbaikan dengan bahan berbutir, atau stabilisasi kapur 0
II
Lapis pondasi atau pondasi bawah yang terdiri dari bahan berbutir bergradasi baik, keras mengandung bahan halus bersifat plastis, dengan CBR ≥ 20. Fk = 0,2 untuk PI (Plastisitas Indek) ≤ 6, dan 0,1 untuk PI > 6.
0,1-0,2
III Lapis pondasi atau pondasi bawah yang distabilisasi semen atau kapur dengan PI ≤ 10 0,2-0,3
IV
a. Lapis permukaan atau lapis pondasi dengan bahan pengikat aspal emulsi atau aspal cair yang telah retak menyeluruh, pelepasan butir, penurunan mutu agregat, pengaluran pada jejak roda, dan penurunan stabilitas.
b. Perkerasan beton semen (termasuk perkerasan yang telah ditutup lapis peraspalan) yang telah patah-patah menjadi potongan-potongan dengan berukuran ≤ 0,6 m dalam arah dimensi maksimum. Fk = 0,5 apabila digunakan lapis pondasi bawah, dan 0,3 apabila pelat langsung diatas tanah dasar.
0,3-0.5 0,3-0,5
V
a. Lapis permukaan dan lapis pondasi beton aspal, yang telah menunjukkan pola retak yang jelas.
b. Lapis permukaan dan lapis pondasi, dengan bahan pengikat aspal emulsi atau aspal cair, yang telah menunjukkan retak halus, pelepasan butir atau penurunan mutu agregat, dan alur kecil pada jejak roda tapi masih mantap.
c. Perkerasan beton semen (termasuk perkerasan yang telah ditutup peraspalan) yang telah retak dan tidak rata dan tidak bisa ditutup secara baik. Potongan-potongan pelat berukuran sekitar 1 sampai 4 m2, dan telah diperbaiki.
0,5-0,7
0,5-0,7
0,5-0,7
VI
a. Lapis permukaan dan lapis pondasi beton aspal yang telah menunjukkan retak halus dengan pola setempat-setempat dan alur kecil pada jejak roda tapi masih mantap.
b. Lapis permukaan dan lapis pondasi dengan bahan pengikat aspal emulsi atau aspal cair yang masih mantap, secara umum belum retak, tidak menunjukkan kegemukan (bleeding), dan terjadi alur kecil pada jejak roda.
c. Perkerasan beton semen (termasuk perkerasan yang telah ditutup lapis peraspalan) yang masih mantap dan telah ditutup (undersealed), telah retak-retak tapi tidak terdapat potongan-potongan pelat yang berukuran lebih kecil dari 1 m2
0,7-0,9
0,7-0,9
0,7-0,9
VII
a. Lapis permukaan dan lapis pondasi beton aspal, secara umum belum retak, dan terdapat alur kecil pada jejak roda.
b. Perkerasan beton semen yang masih mantap, sudah ditutup (undersealed) dan umumnya belum retak
c. Lapis pondasi beton semen, dibawah lapis permukaan beraspal, yang masih mantap, tidak terjadi pamping (pumping) dan memberikan retak refleksi yang kecil pada permukaan
0,9-1,0 0,9-1,0
0,9-1,0
Sumber : Pedoman Perencanaan Perkerasan Jalan Beton Semen
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai SN dipengaruhi oleh kekuatan bahan penyusun (a). Untuk menentukan nilai (a) eksisting dapat diketahui dari jenis kerusakan yang ada misalnya retak, seperti yang terlihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Koefisien kekuatan relatif (a)
Bahan Kondisi Permukaan Koefisien kekuatan
Relatif (a)
Lapis permukaan beton aspal
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau <5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
0.35 – 0.40 0.25 – 0.35 0.20 – 0.30 0.14 – 0.20 0.08 – 0.15 Lapis pondasi yang distabilisasi
Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau <5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau <10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi >10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau >10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
0.20 – 0.35 0.15 – 0.25 0.15 – 0.20 0.10 – 0.20 0.08 – 0.15 Lapis pondasi/ pondasi bawah granular
Tidak ditemukan adanya pumping, degradation atau contaminations by fines
Terdapat pumping, degradation atau contaminations by fines
0.10 – 0.14 0.00 – 0.10 Sumber : Pd T 01-2002-B
Koefisien drainase adalah faktor yang digunakan untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif sebagai fungsi yang menyatakan seberapa baiknya struktur perkerasan dapat mengatasi pengaruh negatif masuknya air ke dalam struktur perkerasan. Tabel 2.12 memperlihatkan definisi umum mengenai kualitas drainase.
Tabel 2.12 Definisi kualitas drainase Kualitas Drainase Air hilang dalam
Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali Air tidak akan mengalir Sumber: Pd T 01-2002-B
Faktor untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini adalah koefisien drainase (m) dan disertakan ke dalam persamaan Structural Number (SN) bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif (a) dan ketebalan (D). Tabel 2.13 memperlihatkan nilai koefisien drainase (m) yang merupakan fungsi dari kualitas drainase dan persen waktu selama setahun struktur perkerasan akan dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh.
Tabel 2.13 Koefisien drainase (m) Kualitas
drainase
Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh
< 1 % 1 – 5 % 5 – 25 % >25 % Baik sekali 1,40 – 1,35 1,35 – 1,30 1,30 – 1,20 1,2 Baik 1,35 – 1,25 1,25 – 1,15 1,15 – 1,00 1 Sedang 1,25 – 1,15 1,15 – 1,05 1,00 – 0,80 0,8 Jelek 1,15 – 1,05 1,05 – 0,80 0,80 – 0,60 0,6 Jelek sekali 1,05 – 0,95 0,08 – 0,75 0,60 – 0,40 0,4 Sumber: Pd T 01-2002-B
Untuk menentukan nilai SNC maka nilai SN harus dijumlahkan dengan fungsi CBR dengan persamaan sebagai berikut :
SNC = SN + 3,51(log10.CBRs) - 0,85(log10.CBRs)2 – 1,43 ………..(2.8)
dimana:
SNC = Structural Number Corrected CBR = California Bearing Ratio
2.8 Kerusakan Jalan
Kerusakan jalan disebabkan antara lain karena beban lalu lintas berulang yang berlebihan (overloaded), panas/ suhu udara, air dan hujan, serta mutu awal produk jalan yang buruk. Oleh sebab itu disamping direncanakan secara tepat jalan harus dipelihara dengan baik agar dapat melayani pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana. Pemeliharaan jalan rutin maupun berkala perlu dilakukan untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan jalan bagi pengguna jalan dan menjaga daya tahan/ keawetan sampai umur rencana.
Survey kondisi perkerasan perlu dilakukan secara periodik baik struktural maupun fungsional untuk mengetahui tingkat pelayanan jalan yang ada. Pemeriksaan fungsional antara lain bertujuan untuk memeriksa kerataan
(roughness), kekasaran (texture), dan kekesatan (skid resistance). Pengukuran
sifat kerataan lapis permukaan jalan akan bermanfaat di dalam usaha menentukan program rehabilitasi dan pemeliharaan jalan. (Suwardo, 2004)
Jalan dikatakan mampu memberi rasa aman dan nyaman bagi para penggunanya jika memenuhi dua kriteria utama, yaitu:
1. Kriteria berlalu lintas
Dipandang dari segi kenyamanan dan keamanan pengguna jalan, konstruksi perkerasan perlu memenuhi syarat-syarat berikut ini :
a. Permukaan yang rata, tidak berlubang, tidak melendut, dan tidak bergelombang.
b. Permukaan cukup kaku, sehingga tidak mudah berubah bentuk akibat beban yang bekerja diatasnya.
c. Permukaan cukup kesat, memberikan gesekan yang baik antara ban dan permukaan jalan sehingga tidak mudah slip.
d. Permukaan tidak mengkilap, tidak silau jika terkena sinar matahari. 2. Kriteria kekuatan struktural perkerasan jalan
Dipandang dari kemampuan memikul dan menyebarkan beban, harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :
a. Ketebalan yang cukup sehingga mampu menyebarkan beban atau muatan lalu lintas ke tanah dasar.
b. Kedap terhadap air, sehingga air tidak mudah meresap ke lapisan di bawahnya.
c. Permukaan mudah mengalirkan air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya dapat cepat dialirkan.
d. Kekakuan untuk memikul beban yang bekerja tanpa menimbulkan deformasi yang berarti.
Penanganan terhadap suatu kerusakan permukaan perkerasan apakah itu bersifat pemeliharaan, penunjang, peningkatan, ataupun rehabilitasi dapat dilakukan dengan baik setelah kerusakan-kerusakan yang timbul pada perkerasan tersebut dievaluasi mengenai penyebab dan akibanya. Kerusakan pada perkerasan jalan dapat disebabkan oleh :
a. Lalu lintas yang berupa peningkatan beban dan repetisi beban.
b. Air yang berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik, naiknya air dari tanah dengan sifat kapilaritas.
c. Material konstruksi perkerasan yang kurang baik.
d. Iklim. Indonesia beriklim tropis, dimana suhu udara dan curah hujan umumnya tinggi yang merupakan salah satu penyebab kerusakan jalan. e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh sistem
pelaksanaan yang kurang baik, atau disebabkan oleh tanah dasar yang memang buruk.
f. Proses pemadatan di atas tanah dasar yang kurang baik.
Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul tidak disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi merupakan gabungan penyebab yang saling kait mengait. Dalam mengevaluasi kerusakan jalan perlu ditentukan:
- Jenis kerusakan (distress type) dan penyebabnya. - Tingkat kerusakan (distress severity).
- Jumlah kerusakan (distress amount).
2.8.1 Penyebab Kerusakan
1. Faktor Lalu Lintas
Kerusakan pada konstruksi perkerasan jalan terutama disebabkan oleh beban kendaraan, distribusi kendaraan pada perkerasan, pengulangan beban lalu lintas dan sebagainya. Damage factor atau daya rusak kendaraan dinyatakan terhadap daya rusak kendaraan standar sebesar 8,16 ton. Sehingga apabila suatu beban as tunggal dinaikan dari 8.160 kg menjadi 16.320 kg (kurang lebih dua kalinya) maka kerusakan pada jalan yang akan terjadi adalah 16 kalinya. Dengan adanya pertambahan volume lalu lintas maka akan mempercepat terjadinya kerusakan dan umur rencana dari perkerasan tidak akan tercapai.
2. Faktor Non Lalu Lintas
Selain faktor lalu lintas, ada pengaruh lain yang memberikan pengaruh yang besar dalam kerusakan jalan yang termasuk dalam non lalu lintas. Faktor non lalu lintas tersebut adalah: bahan perkerasan, pelaksanaan pekerjaan, dan lingkungan atau cuaca. Terjadinya kerusakan akibat faktor-faktor non lalu lintas ini dapat disebabkan oleh:
a. Kekuatan tanah dasar dan material perkerasan. b. Pemadatan tanah dasar dan lapis perkerasan. c. Faktor pengembangan dan penyusutan tanah dasar. d. Kedalaman muka air tanah.
e. Curah hujan.
f. Variasi temperatur sepanjang tahun.
2.8.2 Mekanisme Kerusakan
Pada perkerasan beraspal, kerusakan dapat terjadi melalui berbagai mekanisme sebagaimana yang diilustrasikan pada Gambar 2.14. Akibat beban kendaraan, pada setiap lapis perkerasan terjadi tegangan dan regangan. Pengulangan beban mengakibatkan terjadinya retak lelah pada lapis beraspal serta deformasi pada semua lapisan. Cuaca mengakibatkan lapis beraspal menjadi rapuh (getas) sehingga makin rentan terhadap terjadinya retak dan disintegrasi (pelepasan). Bila retak sudah mulai terjadi, luas dan keparahan retak akan berkembang cepat hingga akhirnya terjadi lubang.
Di samping itu, retak memungkinkan air masuk ke dalam perkerasan sehingga mempercepat deformasi dan memungkinkan terjadinya penurunan kekuatan geser dan perubahan volume. Deformasi kumulatif pada jejak roda dapat terjadi dalam bentuk alur pada permukaan, sedangkan perbedaan deformasi akan mengakibatkan ketidakteraturan bentuk atau distorsi profil yang disebut ketidakrataan atau roughness. (Departemen PU, 2005)
Gambar 2.14 Mekanisme dan interaksi kerusakan beraspal Sumber: Departemen PU, 2005
Ketidakrataan permukaan perkerasan merupakan hasil dari rangkaian mekanisme kerusakan serta gabungan pengaruh berbagai modus kerusakan. Besarnya ketidakrataan ini dapat menunjukan gambaran kondisi perkerasan.
2.8.3 Jenis Kerusakan Pada Perkerasan Lentur
Faktor penyebab kerusakan pada perkerasan dikelompokkan atas 2 (dua) macam, yaitu :
1. Kerusakan Struktural
Kerusakan struktural adalah kerusakan pada struktur jalan, sebagian atau seluruhnya, yang menyebabkan perkerasan jalan tidak lagi mampu menahan beban yang bekerja di atasnya. Untuk itu perlu adanya pemeliharaan pada struktur dari perkerasan dengan cara pemberian lapisan ulang (overlay) atau perbaikan lapisan perkerasan yang ada.
2. Kerusakan Fungsional
Kerusakan fungsional adalah kerusakan pada permukaan jalan yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi jalan tersebut. Kerusakan ini dapat berhubungan atau tidak dengan kerusakan struktural. Pada kerusakan fungsional, perkerasan jalan masih mampu menahan beban yang bekerja namun tidak memberikan tingkat kenyamanan dan keamanan seperti yang diinginkan. Untuk itu lapisan permukaan perkerasan harus dirawat agar permukaan kembali baik. (Kajian Perkerasan Jalan, 2008).
Kerusakan jalan dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, dapat dilihat pada Tabel 2.14 berikut ini :
Tabel 2.14 Klasifikasi kerusakan jalan pada perkerasan lentur
Jenis
Kerusakan Deskripsi/ Ciri Penyebab Perbaikan Gambar
Fatigue (alligator)
cracking
Retak saling bersambung disebabkan rusak kelelahan pada permukaan hotmix akibat lalu lintas berulang. Retak memanjang akan saling tersambung membentuk bersudut banyak dan terbentuk seperti kulit buaya.
Perkerasan tidak cukup kuat menanggung struktur karena menurunnya kekuatan base dan
subbase karena beban melebihi
beban rencana. Akibatnya tebal efektif perkerasan berkurang.
Lakukan test pit atau coring. Jika rusak setempat menunjukan subgrade yang lemah, perbaiki drainasenya lalu di tambal dengan material baru. Dan jika retak yang luas menunjukan kerusakan struktur lakukan overlay.
Block cracking
Retak terhubung yang membagi perkerasan menjadi beberapa persegi. Blok luas di klasifikasikan sebagai retak memanjang dan melintang. Block
cracking terjadi pada bagian
perkerasan yang jarang dilalui lalu lintas.
Terjadi shringkage atau penyusutan akibat temperatur berulang, umunya disebabkan tidak mampunya aspal mengembang dan mengerut akibat
cyles temperature.
Kerusakan ringan dgn lebar retak <1/2 inci seal retak untuk menghindari masuk air. Kerusakan berat dgn lebar retak >1/2 inci bongkar dan diperbaiki dgn overlay.
Depression
(Melendut)
Daerah setempat perkerasan yang lebih rendah dari elevasi yang sesungguhnya, lendutan ini umumnya terjadi setelah hujan dan air masuk ke tepi perkerasan.
Settlement subgrade akibat
pemadatan yg tidak cukup, atau ada bagian subgrade yg lemah.
Jika disebabkan subgrade yang turun maka daerah yang turun dibongkar dan diganti dengan material yang baik, lalu tutup dengan tambalan.
Jenis
Kerusakan Deskripsi/ Ciri Penyebab Perbaikan Gambar
Joint reflection
cracking
Retak ini terjadi pada overlay diatas perkerasan kaku, retak terjadi tepat ditas sambungan perkerasan kaku.
Pergerakan plat beton dibawah perkerasan hotmix karena perubahan kadar air, biasanya tidak disebabkan oleh beban lalu lintas, namun demikian lalu lintas dapat memperparah kerusakan.
Kerusakan ringan dgn lebar retak <1/2 inci seal retak. Kerusakan berat dengan lebar retak >1/2 inci bongkar dan diperbaiki dgn overlay.
Longitudina l cracking
Retak yg paralel terhadap as jalan atau arah penghamparan, biasanya jenis fatigue cracking.
Pelaksanaan sambungan yg buruk. sambungan merupakan daerah perkerasan yg kurang padat, oleh sebab itu harus dibuat diluar jejak roda sehingga beban berkurang.
Kerusakan ringan dgn lebar retak <1/2 inci seal retak. Kerusakan berat dengan lebar retak >1/2 inci bongkar dan diperbaiki dengan overlay.
Patching
(tambalan) Daerah perkerasan yg telah diganti dengan material baru untuk memperbaiki perkarasan lama.
Kerusakan perkerasan setempat yg dibuang dan ditambal, pemotongan utilitas
Lakukan tambalan atau perbaikan yang disesuaikan dengan peranannya sebagai struktural atau non struktural.
Jenis
Kerusakan Deskripsi/ Ciri Penyebab Perbaikan Gambar
Polished aggregate
Daerah perkerasan dimana agregat pada bagian permukaan perkerasan beraspal sangat sedikit atau tidak ada sama sekali butiran agregat yang bersudut.
Pengerusan lalu lintas yang berulang, umumnya akibat perkerasan menua yang menyebabkan butiran bersudut menjadi licin.
Berikan lapisan skid resistance seperti slurry seal atau BST atau overlay.
Raveling
(pelepasan butir)
Kerusakan yang berlanjut pada lapisan hotmix dari permukaan berlanjut ke bawahnya sebagai akibat terlepasnya butiran agregat.
Hilangnya ikatan butiran agregat dan aspal sebagai akibat, debu yang menyelimuti butiran agregat, segregasi agregat, pemadatan yang tidak cukup saat pelaksanaan.
Rusak yang kecil dibuang dan ditambal ulang. Rusak yang besar mengindikasikan kerusakan umum, buang bagian yang rusak dan di overlay.
Rutting
(beralur) Depresi permukaan perkerasan pada jejak roda, terjadi jembulan sepanjang sisi yang beralur. Alur akan nampak setelah turun hujan dan terisi air. Subgrade rutting terjadi bila menunjukan subgrade depresi akibat beban.
Penyebab khususnya adalah:
a) kurang pemadatan lapisan hotmix saat pelaksanaan, b) Subgrade
rutting akibat tidak memadainya
struktur perkerasan, c) tidak memadainya perencanaan campuran.
Rutting yang kecil < 1/3 inci (7
mm) dalamnya biasanya dibiarkan saja, sedangkan
rutting yang berat harus
diratakan dan di overlay.
Jenis
Kerusakan Deskripsi/ Ciri Penyebab Perbaikan Gambar
Bleeding Suatu film aspal pada permukaan
perkerasan, yang biasanya terlihat licin dan seperti kaca yang seterusnya dapat lengket pada roda kendaraan.
Terjadi bila ruang antar agregat diisi seluruhnya oleh aspal terutama saat cuaca panas yang mengembang ke permukaan perkerasan.
Bleeding terbatas gunakan pasir
kasar untuk blot up kelebihan aspal dan bleeding yang luas buang dengan grader atau
heater palner, lalu di
resurfacing. Corugation
and shoving
(renjul dan terdorong)
Suatu pergerakan plastis biasanya keriting atau terdorong melintang permukaan perkerasan, kerusakan biasanya melintang arah lalu lintas dan terjadi dipersimpangan.
Gerakan lalu lintas (bergerak dan behenti) dikombinasi dengan low
stiffness HMA, yang disebabkan
oleh campuran terkontaminasi.
Rusak yang terbatas diatasi dengan membuang bagian rusak dan menambalnya. Rusak meluas diatasi dengan membongkar dan lapisi dengan
overlay.
Stripping Hilangnya ikatan antara agregat
dan aspal pengikat yang umumnya dimulai pada dasar
hotmix dan berlanjut kearah atas,
apabila stripping mulai dari permukaan dan berlanjut ke bawah hal ini dinamakan
ravelling.
a) sifat kimia permukaan agregat yang jelek b) air pada campuran
hotmix menyebabkan kerusakan
akibat air c) overlay diatas lapisan
existing open graded menurut
pengalaman WSDOT overlay diatas ini cenderung stripping.
Umumnya perkerasan yang rusak dibongkar dan diganti setelah dilakukan perbaikan masalah drainase bawah permukaan (subsurface drainage)
Jenis
Kerusakan Deskripsi/ Ciri Penyebab Perbaikan Gambar
Slippage cracking
(retak bergeser)
Retak bentuk bulan sabit atau setengah lingkaran umumnya mempunyai dua titik akhir sesuai arah lalu lintas.
Pengereman atau belokan roda kendaran yang menyebabkan permukaan perkerasan slip dan berubah posisi. Terjadinya slip dan deformasi disebabkan rendahnya kekuatan permukaan campuran atau ikatan yang lemah antara permukan
hotmix dengan lapisan dibawahnya.
Bongkar dan ganti bagian daerah yang rusak tersebut.
Potholes
(berlubang) Penurunan berbentuk cekungan dari permukaan perkerasan hingga seluruh lapisan hotmix sampai ke
base course nya.
Umumnya, lubang merupakan hasil dari retak buaya, lalu berlanjut akibat lalu lintas terlepasnya bagian retak menjadi lubang.
Dengan penambalan.
Water bleeding/
pumping
Pumping terjadi apabila air dan
material halus ikut keluar dari bawah lapisan pekerasan melalui retak akibat pengaruh beban lalu lintas
a) perkerasan yang porus akibat kurang pemadatan sewaktu pelaksanaan atau perencanaan campuran yang salah b) tingginya muka air tanah c) drainase yang jelek
Water bleeding harus diteliti
akar penyebabnya. Apabila masalah disebabkan muka air tanah yang tinggi atau drainase yang jelek, drainase subgrade harus diperbaiki.apabila masalah campuran yang jelek lakukan fog seal atau slurry
seal.
2.9 Pemeliharaan Jalan Tol
Jalan tol yang telah dibangun dan telah dioperasikan lambat laun akan mengalami penurunan kondisi sesuai dengan bertambahnya umur jalan yang mengindikasikan terjadinya kerusakan pada permukaan perkerasan, sehingga pada suatu saat jalan tersebut tidak dapat berfungsi lagi yang mengakibatkan ketidaklancaran perjalanan.
Di dalam melakukan penanganan konstruksi perkerasan apakah itu bersifat pemeliharaan, penunjang, peningkatan atau rehabilitasi dapat dilakukan dengan baik jika kerusakan-kerusakan yang timbul pada perkerasan itu diidentifikasi dan dievaluasi mengenai penyebab dan akibat dari kerusakan tersebut.
Untuk menjaga kondisi jalan yang senantiasa baik dan tidak rusak, diperlukan suatu sistem pemeliharaan jalan yang baik agar pengguna jalan mendapatkan kenyamanan dalam mengendarai kendaraan. Dalam mengevaluasi kerusakan jalan perlu ditentukan :
1. Jenis kerusakan (distress type) dan penyebabnya. 2. Tingkat kerusakan (distress severity).
3. Jumlah kerusakan (distress amount). Jenis Pemeliharaan Jalan:
Kegiatan pemeliharaan jalan, dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) jenis, yaitu sebagai berikut :
a. Pemeliharaan Rutin
Pemeliharaan rutin adalah pemeliharaan yang dilakukan setiap tahun yang terdiri dari perawatan jalan tol, perawatan perlengkapan jalan tol dan perawatan fasilitas jalan tol. Dalam kajian ini pemeliharaan rutin yang ditinjau adalah perawatan jalan tol yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendara (Riding Quality).
b. Pemeliharaan Berkala (Periodik)
Pemeliharaan berkala biasanya dilakukan dengan interval beberapa tahun. Kegiatan pemeliharaan ini dilakukan untuk menambah nilai
struktural ataupun memperbaiki fungsionalnya yang meliputi kegiatan-kegiatan yang bersifat pencegahan (preventive), pelaburan (resurfacing), pelapisan tambah (overlay), dan rekonstruksi perkerasan (rehabilitation). c. Pekerjaan Darurat
Frekuensi pemeliharaan darurat ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya karena kejadiaannya tersebut tidak dapat diperkirakan atau diprediksi. Pekerjaan pemeliharaan yang termasuk dalam kegiatan ini adalah perbaikan sementara untuk jalan tertutup akibat longsoran, banjir atau bekas kecelakaan kendaraan.
Berikut dijelaskan mengenai kategori pemeliharaan jalan, dapat dilihat pada Tabel 2.15 dibawah.
Tabel 2.15 Kategori kegiatan pemeliharaan jalan
Kategori Kegiatan Tipe Kegiatan Uraian Aktifitas Kegiatan Yang Dilaksanakan
Pemeliharaan Rutin (Routine Maintenance)
Pekerjaan tersebut dilaksanakan tiap tahun;
Dananya dialokasikan tiap tahun
Mempunyai siklus tertentu (cyclic)
Kegiatan pemeliharaan rutin yang dilakukan secara terjadwal dengan interval tertentu untuk mengantisipasi akibat dari pengaruh lingkungan.
Jalan beraspal/tidak beraspal:
- Pembersihan jalan dan bangunan pelengkap - Pengendalian tanaman/pemotongan rumput - Pemeliharaan gorong-gorong dan saluran
drainase samping
Keadaan/kondisi kerusakan yang ada (Reactive)
Kegiatan perbaikan kerusakan jalan secara responsif berdasarkan kondisi kerusakan yang terjadi untuk mengantisipasi kerusakan ringan akibat pengaruh lalu lintas dan lingkungan.
Jalan beraspal:
- Taburan pasir (sanding);
- Laburan aspal pasir setempat (local sealing); - Penyumbatan retak (crack sealing);
- Penambalan permukaan/ perataan permukaan (skin patching/ filling in);
- Penambalan struktural (deep patching); - Penambahan kerikil setempat (spot
regraveling patching);
- Perataan bahu dan lereng (filling on shoulder
and slopes);
- Perbaikan drainase (improvment drainase); - Perbaikan bahu jalan (shoulder improvment). Jalan tidak beraspal:
- Perbaikan lubang (potholes); - Perbaikan alur.
Kategori Kegiatan Tipe Kegiatan Uraian Aktifitas Kegiatan Yang Dilaksanakan Pemeliharaan periodik (periodic maintenance) Pekerjaan direncanakan dengan interval beberapa tahun
Secara tipikal dana harus dialokasikan untuk tiap tahun atau hanya pada awalnya saja
Pencegahan (preventive)
Penambahan lapis tipis aspal pada permukaan guna memperbaiki integritas permukaan dan sebagai lapis kedap air namun tidak meningkatkan kekuatan struktur dari perkerasan.
Jalan beraspal:
- Laburan Aspal Taburan Pasir – Buras (resealing);
- Lapis Tipis Aspal Pasir – LATASIR/ HRS; - Lapis Bubur Aspal (slury seal).
Peleburan (resurfacing)
Penambahan lapis guna memperbaiki integritas dan kedap air dan tidak untuk meningkatkan kekuatan struktur dari perkerasan.
Jalan beraspal:
- Laburan Permukaan Aspal (surfacing
dressing) yaitu Burtu dan Burda;
- Lapis Tipis Aspal Beton – LATASTON Jalan tidak beraspal:
- Regravelling
Pelapisan tambah (overlay)
Penambahan tebal lapis perkerasan dengan tebal tertentu guna meningkatkan integritas struktur dan meningkatkan kekuatan struktur perkerasan.
Jalan beraspal:
- Lapis Penetrasi Macadam – LAPEN (macadam);
- Lapis Aspal Beton – LASTON (aspal
concentrete)
Rekonstruksi Perkerasan (pavement
Reconstruction)
Mengganti sebagian atau keseluruhan dari perkerasan dan kemudian menambahnya dengan yang baru untuk meningkatkan integritas struktural dan kekuatan struktur perkerasan
Jalan beraspal: - inlay;
- Mill and Replace;
- Full Pavement Reconstruction.