• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH & ASKEP HIPERBILIRUBIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH & ASKEP HIPERBILIRUBIN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK HIPERBILIRUBIN

Dosen Pengampu: Welas Haryati Spd , S Kp , MMR

KELOMPOK 2 Anggota: 1. Kiki Arifah (P17420213014) 2. Lili Indriyani (P17420213015) 3. Mochamad Arif DS (P17420213016) 4. Moh.Galih W. (P17420213017) 5. Murni Rahayu S. (P17420213018) 6. Muslikhah Dewi P. (P17420213019) 7. Mutia Dewi R. (P17420213020) 8. Patricia Candra D. (P17420213021) 9. Putri Arisetia N. (P17420213022) 10. Rahmania Ananda (P17420213023) 11. Ranitasari (P17420213024) 12. Rendi Saifinuha H. (P17420213025) 13. Retno Purwati (P17420213026)

(2)

14. 15.

16. Kelas 2A / Semester 4 17.

18. KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 19. POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

20. PRODI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO 21. 2015

22. BAB I

23. PENDAHULUAN

24. 25. 1.1 Latar Belakang

26. Setiap ibu yang telah melahirkan menginginkan anaknya lahir dalam keadaan sehat dan tidak ada kelainan – kelainan pada bayi tersebut. Tetapi keinginan tersebut tidak akan diperoleh oleh setiap ibu. Karena sebagian kecil ada yang lahir dalam keadaan

abnormal. Misalnya anak lahir dengan BBLR, ikterus, hidrosefalus, dan kelainan – kelainan lainnya. Hal ini di sebabkan oleh banyak factor pencetusnya. Seperti kurang teraturnya antenatal care ibu saat hamil, asupan gizi yang kurang baik pada ibu maupun pada janin yang di kandung, atau penyakit yang diturunkan oleh ibu sendiri.

27. Kurangnya pengetahuan ibu untuk mengenali tanda – tanda kelainan yang mungkin timbul pada bayi baru lahir,seperti bayi dengan hiperbilirubin, dimana kebanyakan ibu membawa bayinya ke Rumah Sakit dalam derajat yang tinggi. Sebagaimana kita ketahui bahwa ikterik itu terjadinya dimulai dari wajah. Di sini jelas bahwa kurangnya pengetahuan ibu atau orang tua tentang hiperbilirubin tersebut, dan kurangnya memperoleh pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan. Untuk itulah penulis mengangkat makalah ini dengan judul Hiperbilirubin pada Bayi.

28.

29. 1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan hiperbilirubin ?

2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya hiperbilirubin ? 3. Apa saja klasifikasi penyakit hiperbilirubin ?

4. Bagaimana manifestasi klinis penyakit hiperbilirubin? 5. Bagaimana patofisiologi terjadinya penyakit hiperbilirubin, ? 6. Bagaimana komplikasi yang terjadi pada penyakit hiperbilirubin? 7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada penyakit hiperbilirubin?

(3)

8. Apa saja penatalaksanaan penyakit hiperbilirubin ? 9. Apa saja pencegahan penyakit hiperbilirubin ?

10. Bagaimana proses asuhan keperawatan pada penyakit hiperbilirubin? 30.

31. 32. 33.

34. 1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui deskripsi tentang definisi hiperbilirubin.

2. Untuk mengetahui deskripsi tentang penyebab terjadinya hiperbilirubin. 3. Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit hiperbilirubin.

4. Untuk mengetahui gambaran tentang manifestasi klinis penyakit hiperbilirubin. 5. Untuk mengetahui gambaran tentang patofisiologi terjadinya penyakit

hiperbilirubin.

6. Untuk mengetahui gambaran tentang komplikasi yang terjadi pada penyakit hiperbilirubin.

7. Untuk mengetahui deskripsi tentang pemeriksaan penunjang pada penyakit hiperbilirubin.

8. Untuk mengetahui gambaran tentang penatalaksanaan penyakit hiperbilirubin. 9. Untuk mengetahui gambaran tentang pencegahan penyakit hiperbilirubin.

10. Untuk mengetahui gambaran tentang proses asuhan keperawatan pada bayi dengan penyakit hiperbilirubin. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49.

(4)

50. 51. 52. 53. 54. BAB II 55. TINJAUAN TEORI 56. 57. 2.1 Pengertian

58. Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal, Biasanya terjadi pada bayi baru lahir. (Suriadi, 2001).

59.

60. Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002).

61. Hiperbilirubin adalah keadaan icterus yang terjadi pada bayi baru lahir, yang dimaksud dengan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir adalah meningginya kadar

bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga terjadi perubahaan warna menjadi kuning pada kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya. (Ngastiyah, 2000).

62.

63. Nilai normal : bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl. Sesungguhnya hiperbilirubinemia merupakan keadaan normal pada bayi baru lahir selama minggu pertama, karena belum sempurnanya metabolisme bilirubin bayi. Ditemukan sekitar 25-50% bayi normal dengan kedaan hiperbilirubinemia. Kuning/jaundice pada bayi baru lahir atau disebut dengan ikterus neonatorum merupakan warna kuning pada kulit dan bagian putih dari mata (sklera) pada beberapa hari setelah lahir yang disebabkan oleh penumpukan

bilirubin. Gejala ini dapat terjadi antara 25%-50% pada seluruh bayi cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada bayi prematur. Walaupun kuning pada bayi baru lahir merupakan keadaan yang relatif tidak berbahaya, tetapi pada usia inilah kadar bilirubin yang tinggi dapat menjadi toksik dan berbahaya terhadap sistim saraf pusat bayi.

64.

65. 2.2 Faktor Penyebab Hiperbilirubin

66. Hiperbilirubin pada bayi baru lahir paling sering timbul karena fungsi hati masih belum sempurna untuk membuang bilirubin dari aliran darah.

(5)

a) Ikterus fisiologis

68. Merupakan bentuk yang paling sering terjadi pada bayi baru lahir. Jenis bilirubin yang menyebabkan pewarnaan kuning pada ikterus disebut bilirubin tidak terkonjugasi, merupakan jenis yang tidak mudah dibuang dari tubuh bayi. Hati bayi akan mengubah bilirubin ini menjadi bilirubin terkonjugasi yang lebih mudah dibuang oleh tubuh. Hati bayi baru lahir masih belum matang sehingga masih belum mampu untuk melakukan pengubahan ini dengan baik sehingga akan terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang ditandai sebagai pewarnaan kuning pada kulit bayi. Bila kuning tersebut murni disebabkan oleh faktor ini maka disebut sebagai ikterus fisiologis

69. b) Breastfeeding jaundice, dapat terjadi pada bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif. Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada hari kedua atau ketiga pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak memerlukan pengobatan. 70. c) Ikterus ASI (breastmilk jaundice), berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang

ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang disusukannya bergantung pada kemampuan bayi tersebut mengubah bilirubin indirek. Jarang mengancam jiwa dan timbul setelah 4-7 hari pertama dan berlangsung lebih lama dari ikterus fisiologis yaitu 3-12 minggu.

71. d) Lebam pada kulit kepala bayi yang disebut dengan sefalhematom dapat timbul dalam proses persalinan. Lebam terjadi karena penumpukan darah beku di bawah kulit kepala. Secara alamiah tubuh akan menghancurkan bekuan ini sehingga bilirubin juga akan keluar yang mungkin saja terlalu banyak untuk dapat ditangani oleh hati sehingga timbul kuning

72. e) Ibu yang menderita diabetes dapat mengakibatkan bayi menjadi Kuning. 73.

74. 2.3 KLASIFIKASI

75. a. Derajat I : Daerah kepala dan leher, perkiraan kadar bilirubin 5,0 mg%. 76. b. Derajat II : Sampai badan atas, perkiraan kadar bilirubin 9,0 mg%. 77. c. Derajat III : Sampai badan bawah hingga tungkai, bilirubin 11,4 mg%. 78. d. Derajat IV : Sampai daerah lengan, kaki bawah lutut, 12,4 mg%. 79. e. Derajat V : Sampai daerah telapak tangan dan kaki, 16,0 mg%. 80. Bilirubin Ensefalopati Dan kernikterus

81. Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal

(6)

ganglia dan pada berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons, dan serebelum.

82.

83. 2.4 MANIFESTASI KLINIS

84. Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor.

Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat(Nelson, 2007). 85. Gambaran klinis ikterus fisiologis:

86. a) Tampak pada hari 3,4 87. b) Bayi tampak sehat(normal) 88. c) Kadar bilirubin total <12mg%

89. d) Menghilang paling lambat 10-14 hari 90. e) Tak ada faktor resiko

91. f) Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al, 1994) 92. Gambaran klinik ikterus patologis:

93. a) Timbul pada umur <36 jam 94. b) Cepat berkembang

95. c) Bisa disertai anemia

96. d) Menghilang lebih dari 2 minggu 97. e) Ada faktor resiko

98. f) Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994) 99.

100. 2.5 PATOFISIOLOGI

101. 1. Pigmen kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksidase, biliverdin reduktase dan agen pereduksi nonenzimatik dalam sistem retikuloendotelial.

102. 2.

(7)

103. intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada alairan darahhepatik dan adanya ikatan protein.

104. 3.Bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam hati dirubah (terkonjugasi) oleh enzi masam uridin disfosfoglukuronat (UDPGA :Uridin Diphospgoglucuronic Acid ) 105. Glukuronil transferase menjadi bilirubin mono dan diglukuronida yang

polar larut dalam air (bereaksi direk)

106. 4. Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melalui g injal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melalui

membran kanalikular.

107. 5. Akhirnya dapat masuk ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bak teri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi

kembali menjadi sirkulasi enteroheptik

108. 6. Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi, non-polar (bereaksi indirek).

109. 7. Pada bayi hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukuronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan penurunan aliran darah hepatik

110. 8. Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambata n kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang terdapat dalam ASI. Terjadi 4 sampai 7 hari setelah lahir. Dimana terdapat

111. kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25 sampai 30 mg/dl selama minggu ke-2 sampai minggu ke-3. Biasanya dapat mencapai usia 4 minggu dan menurun 10 minggu.

(8)

112.9. Jika pemberian ASI dilanjutkan, hiperbilirubinemia akan menurun berangsur-angsur dan dapat menetap selama 3 sampai 10 minggu pada kadar yang lebih rendah. 113. 10. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan

cepat., biasanya mencapai normal dalam beberapa hari.

114. 11. Penghentian ASI selama 1 sampai 2 hari dan penggantian ASI dengan formula mengakibatkan penurunan bilirubin serum dengan cepat, sesudahnya

pemberianASI dapat dimulai lagi dan hiperbilirubin tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumnya.

115. 12. Bilirubin yang patologis tampak ada kenaikan bilirubin dalan 24

jam pertamakelahiran. Sedangkan untuk bayi dengan ikterus fisiologis, muncul antara 3 sampai5 hari sesudah lahir.

2.6 Komplikasi

a. Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (keadaannya disebut kern ikterus).Kern ikterus adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan bilirubin di dalam otak, sehingga terjadi kerusakan otak.

b. Efek jangka panjang dari kern ikterus adalah keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang abnormal, cerebral palsy), tuli dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.

116.

117. 2.7 Pemeriksaan laboratorium 1. Pemeriksaan bilirubin serum

a. Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.

b. Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis. 2. Pemeriksaan radiology

118. Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma

3. Ultrasonografi

119. Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.

(9)

4. Biopsy hati

120. Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma. 5. Peritoneoskopi

121. Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

6. Laparatomi

122. Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

123.

124. 2.8 Penanganan Hiperbilirubin pada bayi baru lahir 1. Penanganan sendiri di rumah

a) Berikan ASI yang cukup (8-12 kali sehari)

b) Sinar matahari dapat membantu memecah bilirubin sehingga lebih mudah diproses oleh hati. Tempatkan bayi dekat dengan jendela terbuka untuk mendapat matahari pagi antara jam 7-8 pagi agar bayi tidak kepanasan, atur posisi kepala agar wajah tidak menghadap matahari langsung. Lakukan penyinaran selama 30 menit, 15 menit terlentang dan 15 menit tengkurap. Usahakan kontak sinar dengan kulit seluas mungkin, oleh karena itu bayi tidak memakai pakaian (telanjang) tetapi hati-hati jangan sampai kedinginan

2. Terapi medis

a) Dokter akan memutuskan untuk melakukan terapi sinar (phototherapy) sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin pada nilai tertentu berdasarkan usia bayi dan apakah bayi lahir cukup bulan atau prematur. Bayi akan ditempatkan di bawah sinar khusus. Sinar ini akan mampu untuk menembus kulit bayi dan akan mengubah bilirubin menjadi lumirubin yang lebih mudah diubah oleh tubuh bayi. Selama terapi sinar penutup khusus akan dibuat untuk melindungi mata

b) Jika terapi sinar yang standar tidak menolong untuk menurunkan kadar bilirubin, maka bayi akan ditempatkan pada selimut fiber optic atau terapi sinar ganda/triple akan dilakukan (double/triple light therapy)

c) Jika gagal dengan terapi sinar maka dilakukan transfuse tukar yaitu

(10)

khusus dan dilakukan pada fasilitas yang mendukung untuk merawat bayi dengan sakit kritis, namun secara keseluruhan, hanya sedikit bayi yang akan membutuhkan transfusi tukar

125. 126.

127. 2.9 Pencegahan

128. Pada kebanyakan kasus, kuning pada bayi tidak bisa dicegah. Cara terbaik untuk menghindari kuning yang fisiologis adalah dengan memberi bayi cukup minum, lebih baik lagi jika diberi ASI.

1. Pencegahan Primer

a) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk beberapa hari pertama.

b) Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

2. Pencegahan Sekunder

a) Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

b) Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.

129.

2.10 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Penyakit Hiperbilirubin 1. Pengkajian

1. Identitas

130. Berisi biodata bayi dan ibu, diantaranya nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat.

2. Riwayat Kesehatan

a. Riwayat Kesehatan Sekarang

131. Bayi dengan kesadaran apatis, daya isap lemah atau bayi tak mau minum, hipotonia letargi, tangis yang melengking, dan mungkin terjadi kelumpuhan otot ekstravaskular.

b. Riwayat kesehatan dahulu

132. Ibu dengan diabetes melitus, mengkonsumsi obat-obatan tertentu, misalnya salisilat, sulfonamidoral, pada rubella, sitomegalovirus pada proses persalinan dengan ekstraksi vakum, induksi, oksitoksin, dan perlambatan pengikatan tali pusat atau trauma kelahiran yang lain

(11)

133. Penyakit ini terjadi bisa dengan ibu dengan riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan atau sibling sebelumnya, penyakit hepar, fibrosiskistik, kesalahan metabolisme saat lahir (galaktosemia), diskrasiasi darah atau sfeosititas, dan definisi glukosa-6 fosfat dehidrogenase (G-6P).

3. Pemeriksaan Fisik

a. Kesadaran : apatis sampai koma b. Keadaan umum : lesu, letargi, koma c. Tanda – tanda vital :

134. Pernapasan : 40 kali per menit. 135. Nadi : 120-140 kali per menit. 136. Suhu : 36,5-37 oC.

d. Pemeriksaan Head to Toe 1. Daerah kepala dan leher

137. Kulit kepala ada atau tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti : vakum atau terdapat kaput, sklera ikterik, muka kuning, leher kaku.

2. Pernapasan

138. Riwayat asfiksia, mukus, bercak merah (edema pleural, hemoragi pulmonal).

3. Abdomen

139. Pada saat palpasi menunjukkan pembesaran limpa dan hepar, turgor buruk, bising usus hipoaktif.

4. Genitalia

140. Tidak terdapat kelainan. 5. Eliminasi

141. Buang air besar (BAB): proses eliminasi mungkin lambat, feses lunak cokelat atau kehijauan, selama pengeluaran bilirubin.

142. Buang air kecil (BAK): urin berwarna gelap pekat, hitam kecokelatan (sindrom bayi Gronze).

6. Ekstremitas

143. Tonus otot meningkat, dapat terjadi spasme otot dan epistotonus.

7. Sistem integumen

144. Terlihat joundice di seluruh permukaan kulit. 145.

146.

2. Diagnosa Keperawatan

147.Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :

1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.

2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi.

(12)

3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.

4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan perpisahan dan penghalangan untuk gabung.

5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi. 6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi

7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi) berhubungan dengan tranfusi tukar.

148.

149. 3. Intervensi Keperawatan

1. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi

150. Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :

151. - Jumlah intake dan output seimbang

152. - Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal 153. - Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL

154. Intervensi & Rasional : a. Kaji reflek hisap bayi

155. ( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi ) b. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat

156. (R: menjamin keadekuatan intake )

c. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces 157. ( R : mengetahui kecukupan intake )

d. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam

158. (R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tandadehidrasi )

e. Timbang BB setiap hari

159. (R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi). 2. Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi

160. Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.

Intervensi dan rasionalisasi :

a. Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam 161. (R : suhu terpantau secara rutin )

b. Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin serta ekstra minum

162. ( R : mengurangi pajanan sinar sementara ) c. Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi

163. ( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari 164. hipertermi ).

(13)

3. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi

166. Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria : 167. · tidak terjadi decubitus

168. · Kulit bersih dan lembab 169. Intervensi :

a. Kaji warna kulit tiap 8 jam

170. (R : mengetahui adanya perubahan warna kulit ) b. Ubah posisi setiap 2 jam

171. (R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu

172. lama ).

c. Masase daerah yang menonjol

173. (R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah tersebut ).

d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab 174. ( R : mencegah lecet )

e. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun 175. menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan

176. (R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama ) 177.

4. Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan perpisahan dan penghalangan untuk gabung.

178. Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.

179. Intervensi :

a. Bawa bayi ke ibu untuk disusui

180. ( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi ) b. Buka tutup mata saat disusui

181. (R: untuk stimulasi sosial dengan ibu ) c. Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya

182. (R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ). d. Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan

183. ( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ). e. Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya

184. (R: mengurangi beban psikis orangtua)

5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi. 185. Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam perawatan.

Intervensi :

(14)

186. ( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )

b. Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya

187. ( R: Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit ) c. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah

188. (R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)

6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi

189. Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkantidak terjadi injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan

190. kornea ) 191. Intervensi :

a. Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya 192. ( R : mencegah iritasi yang berlebihan).

b. Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan 193. daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir

194. (R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif ) c. Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya

195. konjungtivitis tiap 8 jam

196. (R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata ) d. Buka penutup mata setiap akan disusukan.

197. ( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).

e. Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan 198. ( R : memberi rasa aman pada bayi ).

199.

7. Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar 200. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi

201. Intervensi :

a. Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan 202. (R : menjamin keadekuatan akses vaskuler )

b. Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan 203. Tindakan

204. ( R : mencegah trauma pada vena umbilical ). c. Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan

205. (R: mencegah aspirasi )

d. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur 206. ( R : mencegah hipotermi

e. Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar

(15)

207. ( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0

f. Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit, Kejang selama dan sesudah tranfusi

208. (R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat melakukan tindakan lebih dini )

g. Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif

209. (R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan ) 210. 211. 212. 213. 214. 215. 216. 217. 218. 219. 220. 221. 222. 223. 224. 225. 226. 227. 228. 229. 230. 231. 232. 233. 234. 235. 236.

(16)

237. 238. 239. 240. BAB III 241. PENUTUP 242. A. Kesimpulan

243. Hiperbillirubin adalah suatu keadaan dimana kadar billirubin mencapai nilaiyang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus, kalau tidak

ditanggulangidengan baik.Hiperbillirubin terjadi disebabkan oleh peningkatan billirubin, gangguanfungsi hati dan komplikasi pada asfiksia, hipoglikemia, hipotermia. Gejala yang menonjol pada hiperbillirubin adalah ikterik.

244. Komplikasi yang terjadi pada hiperbillirubin adalah billirubin ensepalopatidan kernikterus. Pemeriksaan diagnostik pada hiperbillirubin adalah laboratorium,USG, Radio Isotop Scan, dan penatalaksanaannya adalah fototerapi, pemberian fenobarbital, antibiotik dan transfusi tukar.

B. Saran

245. Berdasarkan simpulan di atas, maka disarankan;

1) Mengetahui karakteristik anak merupakan langkah yang efektif dalam rangkamem berikan asuhan keperawatan pada anak, yaitu;

a. Proses fisiologis

b. Daya pikir yang berbeda

c. Struktur fisik yang berbeda dengan orang dewasa

2) Kerjasama dengan orang yang terdekat pada anak (keluarga) juga akan membantu dalam kelangsungan proses pemberian asuhan keperawatan.

3) Bahaya hiperbilirubin adalah kern ikterus, yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayi. Oleh karena itu pada bayi yang menderita

hiperbilirubin perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut : 246.1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan. 247.2. Penilaian berkala pendengaran.

248.3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa. 249.

250. DAFTAR PUSTAKA 251.

(17)

253. McCormick, Melisa. 2003. “ Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter,

Perawat, Bidan Di Rumah Sakit Rujukan Dasar “. Indonesia : MNH – JHPIEGO

254. Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. “ Buku Ajar Neonatologi Edisi I “. Jakarta : Perpustakaan Nasional

255. Hasan, Rusepno. 1997. “Ilmu Kesehatan Anak 2 “. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.

256. Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep. Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta, 2006, vol. I, hlm. 422-425

Referensi

Dokumen terkait

Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas

Pada kebanyakan bayi baru lahir , hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal , tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin

Kejang ini biasanya terjadi pada bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat.

Bayi berat badan lahir rendah ( BBLR ) adalah : bayi baru lahir yang berat badan lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gramc. Dahulu neonatus dengan berat badan

Asuhan segera bayi baru lahir adalah asuhan yang diberikan pada bayi tersebut selama jam pertama setelah kelahiran sebagian besar bayi baru lahir akan menunjukkan usaha napas

3) Indikator pengkajian bayi baru lahir, misalnya dari APGAR. 4) Penampilan dan perilaku bayi baru lahir. 5) Tumbuh kembang yang normal bayi baru lahir selama 1 bulan. 6)

Terdapat perbedaan bermakna antara jenis persalinan dengan kadar bilirubin bayi yang baru lahir, bahwa yang dilahirkan secara seksio sesarea memiliki kadar bilirubin

Berat badan lahir rendah adalah bayi baru lahir yang berat badannya pada saat Berat badan lahir rendah adalah bayi baru lahir yang berat badannya pada saat kelahiran kurang dari 2500