• Tidak ada hasil yang ditemukan

WANITA FILSAFAT DAN OLAHRAGA kajian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "WANITA FILSAFAT DAN OLAHRAGA kajian "

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

WANITA, FILSAFAT DAN OLAHRAGA

MAKALAH

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu

Dosen Mata Kuliah : Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd

OLEH :

Tisri Laura Wajong (1403019)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN OLAHRAGA SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan

tuntunan-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana adanya.

Adapun judul makalah ini adalah “Wanita, Filsafat dan Olahraga”. Berbagai sumber penulis kumpulkan demi kesempurnaan makalah ini. Penulis

juga ucapakan terima kasih pada dosen pengampu Prof. Dr. H. Cece Rakhmat,

M.Pd yang telah memberikan pembelajaran, sehingga penulis dapat menyerap

ilmu-ilmu yang diberikan dan penulis tuangkan dalam makalah ini.

Kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa, maka dari itu penulis

menyadari akan kekurangan yang mungkin terdapat dalam tulisan yang penulis

buat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengarapkan kritik dan saran dari pembaca

sekalian untuk menghasilkan karya tulisan yang lebih baik. Semoga makalah ini

dapat memberi manfaat bagi pembaca sekalian dan menjadi bahan bacaan untuk

dikritisi bersama.

Penulis,

(3)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Apa itu filsafat dan apa juga gunanya? Mengapa mempelajari filsafat dan mengapa pula mengajarkannya di dunia akademis? Bagaimana filsafat dapat menjadi penting bagi hidup ini? Itu semua kira-kira-kira pertanyaan yang akan muncul jika membicarakan mengenai filsafat. Selama ini umumnya masyarakat umum mengenal filsafat sebagai ilmu yang membekali tentang pengetahuan, realitas, keadilan dan kebijaksanaan. Filsafat dikatakan memberikan masukan-masukan kritis bagi ilmu lain, dan itu sebabanya filsafat begitu bangga dapat berdialog dengan berbagai ilmu lainnya seperti ilmu keolahragaan atau juga pendidikan olahraga dan bidang olahraga lainnya. “Apa memang benar bahwa filsafat telah memberikan pandangan mendalam dan menyeluruh bagi persoalan-persoalan kehidupan maupun masalah-masalah akademis?” (Arivia, 2003).

Pertanyaan umum tersebut dapat diformulasikan secra konkret. Para pengajar filsafat berulangkali menegaskan bagaimana filsafat menawarkan alat untuk dapat berpikir secara jernih kritis dan konseptual. Kerangka kerja yang ditawarkan filsafat adalah untuk membuat segala sesuatu menjadi masuk akal dengan perhitungan rasionalitas dan kebijaksanaan. Tapi lagi-lagi perlu dipertanyakan, apakah benar bahwa filsafat telah memenuhi janjinya?

(4)

Nama- nama filsuf perempuan tersebut sangat jarang muncul ke permukaan jika tidak mau dikatakan tidak ada. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan sebab sudah sejak lama ada upaya- upaya untuk memboikot perempuan berfilsafat dan ini memang sudah sering dilakukan. Pada 12 Mei 1732, seorang perempuan bernama Laura Bassi berhasil meraih gelar doktor dalam bidang filsafat. Namun menariknya di sini, geral tersebut ia raih dengan susah payah setelah mempertahankan 49 tesis tentang filsafat alam di depan publik dan berdebat dengan 5 profesor. Ia memakan waktu selama satu bulan penuh dan ini sangat di luar kebiasaan yang ada. Perjuangan Laura Bassi sendiri tidak hanya berhenti sampai di situ karena ia memiliki cita-cita untuk bisa mengajar filsafat di universitas. Pada tahun yang sama pada bulan Oktober, ia akhirnya diberikan ijin mengajar fisafat di universitas tapi dengan syarat “boleh” mengajar asal mendapatkan ijin dari atasannya. Persyaratan ini tampaknya memang hanya khusus dibuat untuk Laura Bassi mengingat karena jenis kelaminnya perempuan (O'Neil, 1998).

Hal lain yang menjadi kendala bagi seorang filsuf perempuan adalah jarang ada publikasi yang menampilkan pemikiran- pemikiran mereka. Hal ini disebabkan bukan karena kurangnya penerbitan wacana-wacana filsafat saat itu, karena melalui catatan sejarah pun kita mengetahui bahwa di masa Renaissance filsafat didiskusikan di hampir semua tempat termasuk di tempat-tempat minum. Sementara itu, media filsafat yang ada juga beragam. Selain buku dan surat kabar, ada pula pamflet- pamflet yang ditempelkan di dinding-dinding. Lalu mengapa publikasi filsuf- filsuf perempuan awal begitu langka dan sulit sekali ditemukan? Filsuf perempuan Perancis, Michele le Doeuff, menulis bahwa yang terjadi adalah peminggiran terhadap filsuf- filsuf perempuan dan hal ini buka sesuatu yang baru karena memang telah terjadi untuk waktu yang lama (Doeuff, 1977).

(5)

Bob Kneppers seorang pelatih dan pemain bola basket USA mengungkapkan bahwa “suatu hal yang saya yakini, bahwa Tuhan tidak menciptakan tubuh kaum wanita untuk melakukan pekerjaan yang penuh kekerasan. Tubuh mereka hanya dipersiapkan untuk menjalani segala sesuatu yang berbau feminis.” Wanita seakan-akan tak harus mendapat dan mengambil bagian dalam kegiatan olahraga. Fleskin (Sutresna, 2011) mengungkapkan “namun gagasan bahwa kaum wanita memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki mendorong kaum wanita dari segala tingkat dan kalangan untuk lebih berpartisipasi dan menunjukkan kemampuannya dalam kegiatan olahraga.”

Wanita, filsafat, dan olahraga merupakan suatu kesatuan bahasan yang menarik untuk ditelaah lebih dalam. Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji secara teoritis isyu tentang wanita, filsafat dan olahraga.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan di atas, rumusan masalah dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pergerakan feminisme dalam filsafat? 2. Bagaimana hubungan filsafat dan feminisme?

(6)

BAB II. PEMBAHASAN A. Filsafat dan Feminisme

1. Pergerakan Feminisme dalam Filsafat

Pergerakan sosial dan juga politik yang paling lama bertahan adalah pergerakan feminisme. Menurut Simone de Beauvoir, pergerakan perempuan paling awal dapat ditemui sejak abad ke 15 (Arivia, 2003). Christine de Pizan pada abad tersebut telah mengangkap penanya dan menulis soal ketidakadilan yang dialami perempuan (Schneir, 1972). Namun, pergerakan awal yang dianggap merupakan pergerakan yang cukup signifikan ditemui pada tahun 1800an. Pergerakan tersebut sifatnya adalah perjuangan hak-hak politik atau lebih spesifik lagi perjuangan hak untuk memilih. Perjuangan ini menampilkan para tokoh perempuan, seperti Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton. Kedua perempuan ini juga dikenal sebagai para penulis yang sempat memiliki surat kabar sendiri. Lewat surat kabar mereka The Revolution, mereka menulis artike-artikel yang mempersoalkan perceraian, prostitusi dan peran gereja dalam mensubordinasi perempuan (Schneir, 1972). Mereka dikatakan telah diilhami oleh Mary Wollstonecraft (1759-1797) yang menulis A Vindicatin Rights of Woman pada tahun 1792. Wollstonecraft adalah feminis pertama yang menuduh bahwa pembodohan terhadap perempuan terjadi bukan karena sesuatu yang alamiah tetapi adanya tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tersubordinasi.

Oleh sebab itu, untuk mengatasinya, perempuan harus mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan yang sama dengan laki-laki. Feminis-feminis awal ini dapat dikatakan lebih banyak menggunakan perbendaharaan kata-kata “hak” dan tulisan-tulisan mereka baru bersifat deskriptif. Artinya, mereka hanya menggambarkan situasi perempuan dalam masyarakat pada saat itu.

(7)

Simone de Beauvoir. Buku ini memuat perbendaharaan kata-kata baru seperti “kesetaraan” dan kemudian para feminis pada tahun 1960an mulai menggunakan kata-kata “penindasan” dan “pembebasan” (Hum, 1989). Pergerakan dasyat para feminis di akhir 1960an dan sepanjang 1970an ini pada gilirannya membawa hasil yang luar biasa dalam perubahan sosial di dunia belahan barat. Isu- isu perempuan tampil ke permukaan seperti cuti haid, aborsi, hak-hak politik, hak-hak ekonomi, dan lain sebagainya. Pergerakan ini pada akhirnya berhasil menekan pemerintah dan kemudian diikuti dengan lahirnya berbagai undang-undang atau peraturan yang lebih menguntungkan perempuan.

Pada masa-masa ini konsep patriarki mulai mengental dan tampil ke permukaan. Konsep ini diterjemahkan sebagai sebuah sistem dominasi laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik dan ekonomi. Kenyataannya adalah bahwa budaya patriarki mengejawantah dalam bentuk- bentuk historis jenis apapun juga. Apakah itu dalam sistem feudal, kapitalis maupun sosialis. Patriarki mendapatkan legitimasinya melalui laki-laki yang mendominasi struktur-struktur yang ada, baik di luar rumah maupun di dalam rumah. Konsep ini sangat penting dalam pemikiran feminisme modern sebab feminisme membutuhkan suatu istilah yang dapat menggambarkan penindasan totalitas perempuan.

Pergerakan perempuan baik di tahun 1800an maupun di tahun 1970an telah membawa dampak yang luar biasa untuk kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai disitu. Dalam tahun- tahun terakhir ini, tepatnya tahun 1980an dan awal 1990an, wacana-wacana baru bermunculan. Terutama yang mempesoalkan non- kulit putih atau perempuan berkulit hitam, Amerika Latin, Asia atau perempuan- perempuan di Dunia Ketiga pada umumnya.

2. Filsafat dan Feminisme

(8)

pandangan- pandangan yang bias gender. Karenanya tidak terlalu mengherankan juga jika banyak kalangan feminis yang tidak terlalu suka, atau bahkan menolak filsafat. Bagi kalangan feminis, perjuangan untuk mempermasalahkan atau menghapuskan ketidakadilan perempuan hanya bisa dicapai apabila kita meletakkan perempuan sebagai titik sentral dalam kajian-kajian kita. Yang kita pahami selama ini adalah bahwa filsafat telah mengabaikan perdebatan wacana gender di dalamnya, dan dengan demikian tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa filsafat sebetulnya secara inheren menganut teori partiarkhal. Kalangan feminis seperti Mary Daly dan Spender misalnya, sangat yakin akan hal ini dan percaya bahwa para pemikir filsafat atau filsuf secara sadar mempunyai niatan- niatan misogini. Mereka berpendapat budaya memainkan peranan penting di sini, dan arenanya budaya yang misoginis telah menciptakan cendekia- cendekia yang misoginis pula (Daly, 1978).

Pandangan Daly dan Spender dianggap oleh beberapa feminis sebagai pandangan yang naïf. Minchele le Doeuff misalnya, seorang filsuf dan feminis, menulis masalah tersebut sebagai berikut:

Suka atau tidak suka, kita berada dalam filsafat, dikelilingi oleh nuansa maskulin-feminin yang diartikulasikan dan disempurnakan oleh filsafat. Pesoalannya adalah apakah kita ingin tetap berada di sana dan dinominasi oleh mereka, sebuah posisi yang lambat laun akan mempreteli wacana perempuan. Posisi metafisis yang paling tidak menguntungkan adalah yang mengadopsi pandangan filsafat tetapi meyakini bahwa pandangan tersebut berada di luar filsafat (Doeuffe, 1991).

(9)

kemanusiaan, kebudayaan, politik dan linguistik. Objek ini buka objek yang bersifat statis dengan cirinya yang tertutup tapi justru sebaliknya, yakni objek filsafat yang bersifat dinamis dan terbuka.

B. Wanita dan Olahraga

1. Bentuk Partisipasi Wanita dalam Kegiatan Olahraga

Informasi yang berkaitan dengan keikutsertaan wanita dalam cabang olahraga yang menekankan pada body contack masih minim. Salah satu hasil penelitian yang digarap oleh Brown dan Davis (1978) dalam (Sutresna, 2011), mengindikasikan bahwa sikap wanita terhadap jenis olahraga keras body contact masih sangat rendah, dibandingkan dengan kaum laki laki. Pada umumnya wanita kurang menyukai cabang-cabang olahraga yang sarat dengan kekerasan fisik. Peneltian yang secara berturut-turut dilakukan oleh Breidmeier dkk.(1982-1984) dalam (Sutresna, 2011) mengiformasikan bahwa pada tingkat kompetisi yang wanita telah mengarah pada partisipasi lebih tinggi baik atlet laki- laki maupun

yang lebih jauh meningkat.

Sosiolog Michael Smith menyimpulkan bahwa mulai tahun 1970-an tingkat keterlibatan wanita dalam olahraga terus meningkat. Perambahan pada cabang cabang olahraga keras sebagai mana yang dilakuakan kaum pria, bukan sesuatu yang tabu lagi. Kesadaran akan adanya kesetaraan dengan kaum laki laki semakin membuka kesadaran kaum wanita, sehingga penerapan strategi dalam cabang olahraga keras merupakan suatu yang cukup mengasikkan. Kekerasan sering diartikan sebagai lambang maskulinitas. Adanya orientasi ini akhirnya menggiring dan mempengaruhi perbedaan pemilihan jenis aktivitas ynag dilakukan kaum wanita, terutama dikaitkan dengan kehidupan sosial dan nilai sosial yang ada dimasyarakat.

(10)

a. Kesempatan baru

Sebelum datangnya tahun 1970 kaum wanita tidak ikut ambil bagian dalam kegiatan olahraga karena satu alasan yang sangat sederhana, yakni tidak adanya perkumpulan dan program yang tersdia untuk mereka. Pemikiran seperti itu lambat laun berkembang dan bahkan menghilang. Meskipun sebagian orang tua belum memiliki pemahaman yang sama terhadap perubahan pola pikir tersebut, kegiatan olahraga sudah mulai menarik kaum wanita, terutama kaum remaja putri. Kesadaran akan adnya kesempatan baru yang cukup menantang ini semakin mengundang kehadiran para remaja putri untuk turut mengambil bagian dalam kegiatan olahraga disekolah.

b. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah yang mulai menerima keberadaan wanita dalam kegiatan olahraga serta kegiatan lainya seperti ekonomi, politik dan lain lain, pada awalnya mendapat tantangan yang cukup keras dari kalangan masyarakat yang masih menganut tatanan masyarakat ortodoks. Hal ini terjadi bahkan di negara sebesar dan seliberal Amerika serikat, setelah melalui proses lobi yang berlangsung puluhan tahun. Akirnya konggres memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam pasal IX pada tahun 1972. Pasal ini mengatur segala sesuatu yang secara sepesifik ditujukan pada pengesahan dan perlindungan terhadap kaum wanita yang berpartisipasi dalam segala kegiatan.

Di Kanada perjuangan keras dari segelintir politisi yang peduli pada kaum wanita memicu terbentuknya perkumpulan olahraga amatir kaum wanita pada tahun 1980. Enam tahun kemudian publikasi yang menyoroti kehidupan kaum wanita pada dunia olahraga mulai diedarkan. Bergulirnya kebijakan yang menerima persamaan hak dan kesempatan bagi kaum wanita untuk berpatisipasi aktif dalam kegiatan olahraga, menjadikan negara Kanada sebagai negara barat pertama yang membuka peluang besar bagi kaum wanita untuk terjun secara bebas dalam aktivitas olahraga.

(11)

individu yang tersendiri, di mana aktivitas dan tantangannya tidak ditentukan atau dikendalikan oleh keluarga. Selanjutnya, nilai positif yang terkadung dalam olahraga, adalah evaluatif dan pengendalian diri yang baik. Maka, adanya partisipasi olahraga bagi wanita dapat memberikan figur baru dan jenis pemimpin yang dapat dikaitkan dengan diri mereka sendiri. Dengan menggambarkan figur pemimpin dalam situasi dan kemampuan yang berbeda, wanita akan melihat pemimpin sebagai manusia biasa yang yang tidak selalu benar dan sempurna. begitu pula jika mereka melihat kepemimpinan orangtua mereka. Hal ini akan membuat wanita menjadi lebih asertif dalam hubungannya dengan orang lain dan bukan menjadi takut akan kekuatan dan kekuasaan orang lain.

Selain itu, partisipasi olahraga juga dapat memberi peluang lepada wanita utuk melakukan koneksi dengan tubuh mereka. Tubuh wanita bukan hanya sebagai bahan konsumsi saja, namun terdapat identitas dan perasaan akan kekuatan yang ada pada tubuh tersebut. Dengan demikian, partisipasi olahraga akan mendekatkan diri mereka dengan tubuh dan meningkatkan perkembangan psikologisnya. Riset membuktikan pendapat ini, meski situasinya harus dibuat lebih bersifat membungun daripada sekadar untuk mencapai prestasi atau memecahkan rekor saja.

2. Perkembangan Keterlibatan Wanita dan Olahraga

Masuknya wanita dalam dunia maskulinitas memang berawal dari adanya gerakan sosial wanita yang terjadi secara global untuk mempertegas para wanita berkembang menjadi manusia yang sempurna dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan fisik mereka. Seperti diungkapkan oleh Coakley (2001:204) “the global women’s movement over the past thirty years has emphasized that females are enhanced as human beings when they develop their

(12)

pengembangan kompetensi dan kekuatan fisik mereka. Kenyataan tersebut di atas merupakan landasan filosofis yang kental bagaimana mulanya para wanita dapat berkecimpung dengan bebas dalam dunia olahraga. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan wanita dalam olahraga. Cortis, Sawrikar, dan Muir (2007:27) menemukan enam faktor dalam penelitiannya, yaitu (1) socio-cultural constraint, (2) access constraints, (3) affective constraints, (4) physiological constraints, (5) resources constraints, (6) interpersonal constraints. Keterbatasan-keterbatasan tersebut menjadi masalah yang cukup signifikan bagi para wanita untuk berpartisipasi dalam olahraga. Hal itu juga yang menentukan kenyamanan para wanita dalam berpatisipasi. Coakley (2001:203) menyebutkan:

“five major factors account for recent increases in sport participation among girls and women: (1) new opportunities, (2) government equal rights legislation, (3) the global women’s rights movement, (4) an expanding health and fitness movement, (5) increasesd media coverage of women in sport”.

Faktor-faktor tersebut secara kolektif sudah membantu peningkatan partisipasi olahraga diantara anak-anak perempuan dan para wanita, dan kesadaran bahwa kesetaraan gender dalam olahraga merupakan sebuah tujuan yang bermanfaat. Kesetaran gender memang sangat sulit untuk dicapai, tetapi jangan sampai kembali lagi pada keseharian anak-anak perempuan dan para wanita. Sejak dimulainya olimpiade modern di Athena, para wanita ambil bagian dalam olimpide pertamanya di paris tahun 1900 (IOC, 2007:1). Lebih lanjut IOC menjelaskan bahwa baru pada sekitar tahun 1970-an terdapat peningkatan yang tinggi mengenai kesadaran peran para wanita di dunia, dan partisipasi wanita dalam olahraga kompetitif dan olimpiade.

(13)

wanita dalam olahraga di 14 negara Asia rata-rata 40 %, Canada 86 %, dan Finlandia 73 %. Partisipasi wanita Asia 35.9 % dibandingkan dengan laki-laki 45.2 %.

Pernyataan IOC dan hasil-hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa meskipun ada kecenderungan peningkatan, tetapi partisipasi wanita dalam olahraga masih kurang, baik dalam olahraga prestasi maupun olahraga masyarakat. Di Indonesia, secara nasional partisipasi olahraga penduduk perempuan lebih kecil (20,0 %) dibandingkan dengan penduduk lakilaki (30,9 %) (BPS & Dirjen Olahraga, 2004:25). Seiring dengan tingkat partisipasi dalam olahraga yang masih kurang, para wanita juga kurang banyak terlibat dalam berbagai organisasi-organisasi keolahragaan baik ditingkat nasional maupun international. IOC (2007:2) mencatat bahwa pada tahun 2006, ada 14 wanita yang aktif sebagai anggota IOC dari 113 anggota (14 %).

(14)

BAB III PENUTUP Kesimpulan

Membedakan gender dari laki-laki terhadap perempuan terjadi bukan karena sesuatu yang alamiah tetapi adanya tradisi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tersubordinasi. Filsafat tidak memasukkan persoalan-persoalan perempuan, dan bahkan dalam banyak hal mereka justru menguatkan pandangan- pandangan yang bias gender. Karenanya tidak terlalu mengherankan juga jika banyak kalangan feminis yang tidak terlalu suka, atau bahkan menolak filsafat. Bagi kalangan feminis, perjuangan untuk mempermasalahkan atau menghapuskan ketidakadilan perempuan hanya bisa dicapai apabila meletakkan perempuan sebagai titik sentral dalam kajian-kajian. Yang kita pahami selama ini adalah bahwa filsafat telah mengabaikan perdebatan wacana gender di dalamnya, dan dengan demikian tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa filsafat sebetulnya secara inheren menganut teori partiarkhal. Pergerakan perempuan baik di tahun 1800an maupun di tahun 1970an telah membawa dampak yang luar biasa untuk kehidupan sehari-hari perempuan. Tetapi bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai disitu. Oleh sebab itu, untuk mengatasinya, perempuan harus mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan yang sama dengan laki-laki.

(15)
(16)

DAFTAR PUSTAKA

Arivia, G. (2003). Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP).

BPS & Dirjen Olahraga. (2004). Indikator Olahraga Indonesia 2004. Proyek Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Olahraga. Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional.

Coakley, J. (2001). Sport in Society: Issues and Controversies. New york: McGraw-Hill.

Cortis, N., Sawrikar, P., dan Muir, K. (2007). “Participation in Sport and Recreation by Culturally and Linguistically Diverse Women”. Research Report. Social Policy Research Center University of New South Wales.

Daly, M. (1978). The metaetchics of radical feminine. Boston: Beacon Press.

Doeuff, M. L. (1977). Woman and Philosophy. Radical Philosophy, pp. 2-11.

Doeuffe, M. l. (1991). Femisim and philosophy. Cambridge: Polity Press.

Fan Hong. (2004). Freeing the Female Body: Women and Sport in the West and East A Comparative Study. International Conference of Asian Society for Physical Education and Sport (ASPES). 22nd - 24th July 2004, Bandung, Indonesia.

Hum, M. (1989). The dictionary of feminist theory. USA: Harvester Eheatsheaf.

O'Neil, E. (1998). Disappearing Ink: Early Modern Women Philosophers and Their Fate in History. Princeton University Press.

Schneir, M. (1972). Feminism, the essential historical writings. New York: Vintage Books.

Sutresna, N. (2011). Sosiologi Olahraga. Bandung: FPOK UPI.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat kita gunakan untuk merancang pembelajaran tatap muka di dalam kelas atau dalam

Analisis Beberapa Faktor Yang Berpengaruh Pada Kepuasan Pengguna Perpustakaan: Studi Kasus di Perpustakaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian..

Penerapan Model Sains Teknologi Masyarakat (STM) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran IPA Tentang Sumber Daya Alam di Kelas IV SDN Pasir Ipis Kabupaten

[r]

SKPD () Terlaksananya Workshop Peningkatan Kasitas Pegawai

Berkaca dari kondisi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk membedah bagaimana resistansi perempuan di era Revolusi dan Reformasi melalui tiga novel karya Pramoedya Ananta

Sebagai amana dikemukakan oleh Stooner,Freeman , dan Gilbert (1995),ada empat pilar (building blocks), yang menjadi dasar untuk melakukan proses pengorganisasian

Hal ini disebabkan karena menurut salah seorang perawat yang juga merupakan pengasuh di Panti Sosial Tresna Wreda Kasih Sayang Ibu hampir separuh lansia mengalami harga