• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM KORPUS MEDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM KORPUS MEDI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM KORPUS MEDIA SUNDA

(MANGLÈ, 1958-2013)1

Susi Yuliawati Universitas Padjadjaran

susi.y@unpad.ac.id

Makalah ini mendeskripsikan penelitian tentang representasi perempuan dalam korpus majalah Manglè dari periode 1958 hingga 2013. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana perempuan dipandang oleh majalah Manglè dari masa ke masa melalui analisis unsur-unsur leksikal. Pemilihan majalah Manglè sebagai sumber data didasari oleh keberadaan majalah tersebut yang dipandang sebagai majalah berbahasa Sunda dengan usia penerbitan terlama (57 tahun) dan bahkan hingga saat ini majalah tersebut masih tetap terbit. Dengan menggunakan perspektif diakronis, data dibagi ke dalam empat periode berdasarkan konteks ideologi gender negara, yaitu (1) demokrasi terpimpin (1958-1965), (2) orde baru (1966-1998), (3) transisi menuju demokrasi (1999-2003), dan (4) reformasi (2004-2013). Berdasarkan pembabakan tersebut, korpus majalah Manglè dikonstruksi dari sampel yang dipilih dengan menggunakan teknik proportional cluster random sampling. Corpus software,

WordSmith Tools 6.0, selanjutnya digunakan untuk menentukan frekuensi penggunaan leksem yang bermakna perempuan dan kolokasi signifikannya di setiap periode. Untuk menginterpretasi representasi perempuan berdasarkan penggunaan leksem-leksem yang bermakna perempuan, kolokasi signifikannya, dan kecenderungan perubahannya dari periode ke periode, yang diperoleh dari metode linguistik korpus, kajian semiotika akan digunakan.

Keywords: Manglè, Sunda, perempuan, linguistik korpus, semiotika

1. Pendahuluan

Kata Sunda mengacu pada masyarakat dan juga bahasanya. Dalam kaitannya dengan masyarakat, Sunda adalah kelompok etnis kedua terbesar di Indonesia yang tinggal di bagian barat Pulau Jawa. Sementara itu, dalam kaitannya dengan bahasa, Sunda adalah bahasa lokal di Indonesia dengan jumlah penuturnya sekitar 39 juta. Struktur masyarakat Sunda, seperti kelompok etnis lainnya di Indonesia, dikonstruksi oleh berbagai unsur yang didasari atas kategori sosial seperti usia, gender, agama, kedudukan, dan sebagainya. Menurut Weatherall & Gallois (2003: 487-505), di antara kategori sosial tersebut, para psikolog berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan manusia adalah identitas gender. Identitas gender ini dilekatkan pada setiap manusia sejak mereka lahir yang selanjutnya akan sangat memengaruhi pola interaksi sosialnya. Berbicara mengenai gender, khususnya perempuan, masyarakat Sunda memiliki pandangan tertentu mengenai peran dan kedudukan perempuan.

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu dari perspektif sejarah dan kebudayaan, perempuan dalam masyarakat Sunda pada awalnya direpresentasikan sebagai sosok yang

(2)

memiliki kekuatan untuk menuntut laki-laki demi menjaga kehormatannya. Hal ini, sebagai contoh, tercermin dalam cerita Sangkuriang. Cerita tersebut mengisahkan tentang seorang perempuan, bernama Dayang Sumbi, yang menuntut syarat perkawinan demi mempertahankan kehormatannya kepada Sangkuriang yang ingin menikahinya. Selain itu, perempuan digambarkan pula sebagai pihak yang memiliki kekuatan dan martabat yang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini, sebagai contoh, tampak dalam cerita pantun Lutung Kasarung. Cerita pantun tersebut mengisahkan dua perempuan yang bernama Sunan Ambu

dan Ratu Purbasari yang masing-masing memiliki kekuasaan. Sunan Ambu diposisikan sebagai penguasa di alam kahyangan, sedangkan Ratu Purbasari sebagai penguasa di kerajaan (dunia). Akan tetapi, dalam tradisi tulis yang ditemukan pada abad ke-19, Wawacan Sajarah Galuh, dan abad ke-20, Wawacan Carios Munada, posisi perempuan telah mengalami pergeseran (Marlina, 2006). Di sini, perempuan direpresentasikan memiliki posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Menurut Stuers (1960) dan Wiraatmadja (1980), perubahan ini terjadi disebabkan oleh feodalisme yang menempatkan perempuan sebagai simbol status laki-laki sehingga perempuan dijadikan sebagai objek dan juga kebiasaan masyarakat Sunda seperti pernikahan muda, kawin paksa, dan perceraian sepihak yang diputuskan oleh pihak laki-laki tanpa persetujuan dari pihak perempuan (dalam Marlina, 2006).

Dalam konteks yang lebih luas, isu tentang perempuan Sunda sebagai bagian dari isu perempuan Indonesia dapat ditinjau dari ideologi gender negara yang dikemukakan oleh Blackburn (2004). Menurutnya, ideologi gender negera mengacu pada asumsi gender yang dijadikan dasar oleh negara untuk bertindak dan memengaruhi konstruksi gender dalam masyarakat. Asumsi tersebut mengekspresikan apa yang diyakini negara tentang bagaimana pantasnya laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Selain itu, Blackburn (2004) mendeskripsikan ideologi gender negara berdasarkan konteks politik Indonesia menjadi tujuh periode, yaitu 1) masa kolonial 1900-1942; 2) pendudukan Jepang 1942-1945; 3) Revolusi 1945-1949; 4) negara demokrasi1949-1958; 5) Demokrasi Terpimpin 1958-1965; 6) Order Baru, 1965-1998; and 7) transisi menuju demokrasi, 1998-2003. Ekspektasi negara berkaitan dengan peran dan kedudukan perempuan dijabarkan di setiap periodenya.

Isu tentang perempuan Sunda ini telah menarik perhatian sejumlah peneliti untuk mengkajinya dari beberapa perspektif seperti sastra, sejarah, sosiologi, dan linguistik. Khususnya dari perspektif linguistik, sejauh pengamatan penulis, belum ditemukan penelitian yang membahas isu perempuan Sunda dari metode linguistik korpus2. Daya tarik utama dari

(3)

metode linguistik korpus ini adalah kemampuannya dalam mengelola teks dalam skala besar dan mengidentifikasi pola penggunaan bahasa dan frekuensinya, yang mungkin sulit jika diidentifikasi dengan mengandalkan kemampuan penglihatan manusia. Selain itu, dengan metode ini peneliti mampu menjelaskan secara empiris pola penggunaan bahasa berdasarkan kemunculannya yang berulang-ulang di dalam korpus. Lebih jauh lagi, Baker (dalam Viana dkk., 2011: 25-26) berpendapat bahwa linguistik korpus memiliki kontribusi terhadap tiga aspek penelitian gender. Salah satunya disebutkan bahwa metode linguistik korpus dapat membantu mengungkap representasi gender dalam masyarakat, misalnya bagaimana laki-laki dan perempuan dibincangkan atau dituliskan serta bagaimana representasi tersebut berubah dari masa ke masa. Ini mengindikasikan bahwa metode linguistik korpus memungkinkan peneliti untuk menyelidiki bagaimana perempuan digambarkan melalui teks-teks yang terdapat di dalam majalah Manglè dari masa ke masa.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana perempuan direpresentasikan oleh majalah Manglè melalui unsur-unsur leksikal yang terdapat di dalam teks secara diakronis dalam periode 1958-2013. Mempertimbangkan panjangnya kurun waktu tinjauan dan untuk mempermudah pengamatan kecenderuangan perubahan representasi perempuan, data dibagi ke dalam empat periode berdasarkan ideologi gender negara. Untuk memperoleh jawaban dari permasalahan utama tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu dijelaskan, yaitu:

1. Secara paradigmatik, bagaimana perempuan ditandai melalui leksem dari satu periode ke periode lain?

a. Leksem apa yang bermakna perempuan di setiap periode?

b. Bagaimana frekuensi kemunculan leksem tersebut di setiap periode?

c. Bagaimana kecenderungan penggunaan leksem berdasarkan perbandingan frekuensi kemunculannya dari satu periode ke periode lain?

2. Secara sintagmatik, bagaimana perempuan direpresentasikan melalui analisis kolokasi dari satu periode ke periode lain?

a. Apa kolokasi signifikan untuk setiap leksem dalam setiap periodenya?

b. Bagaimana profil semantis setiap leksem di setiap periode berdasarkan preferensi semantis dan prosodi semantis?

c. Apa kecenderungan semantis yang ditunjukkan melalui perbandingan profil semantis dari satu periode ke periode lain?

3. Bagaimana perempuan direpresentasikan berdasarkan profil semantis melalui kajian semiotika?

(4)

2. Korpus Majalah Manglè

Dalam penelitian ini, penulis mengonstruksi korpus dari kumpulan teks yang diambil dari majalah berbahasa Sunda, Manglè. Fokus kajiannya adalah keseluruhan rubrik yang ada di dalam majalah tersebut, seperti catatan redaksi, cerita fiksi, laporan, sajak, dan sebagainya. Sementara itu, bagian dari majalah yang tidak akan dijadikan sebagai data adalah teka-teki silang, kuis, dan iklan. Secara historis3, majalah Manglè dilahirkan pada 21 Oktober 1957 di

Bogor, dan menerbitkan edisi pertamanya pada 21 November 1957. Pada awalnya majalah ini terbit satu bulan satu kali, tetapi kini Manglè terbit setiap minggu. Ditinjau dari sejarah perkembangan media Sunda, majalah Manglè termasuk ke dalam salah satu media Sunda tertua yang mampu bertahan hingga kini, bahkan pernah mengalami masa kejayaannya pada tahun 1960-an dengan menerbitkan edisinya sebanyak 90.000 eksemplar4.

Majalah Manglè memiliki visi menjadi kebanggan orang Sunda seumur hidup. Sementara itu, misinya adalah menjaga dan memelihara bahasa, sastra, dan filosofi Ki Sunda; menjadi media komunikasi orang-orang Sunda sampai akhir zaman; menjaga dan melestarikan budaya Sunda dengan kalangan etnis lainnya; dan profit oriented yang seimbang antara rasa memiliki terhadap Sunda dengan taraf hidup pada masanya. Majalah ini berisi 55% rubrik hiburan dan human interest; 20% rubrik sejarah, kebudayaan, agama serta pendidikan; dan 25% informasi berita.

Kata Manglè sendiri berarti hiasan bunga yang digunakan sebagai hiasan sanggul perempuan. Kata tersebut melambangkan cita-cita majalah Manglè yang ingin berkembang seindah dan seharum bunga5. Jika dilihat dari sampulnya, majalah ini selalu menampilkan

sosok perempuan Sunda dengan balutan kebaya dari edisi pertama hingga kini. Di sebagian kecil sampul edisi Manglè ditampilkan sosok lelaki, tetapi selalu didampingi oleh perempuan. Selain itu, banyak tulisan di majalah tersebut yang sering menyebut majalah Manglè sendiri dengan sebutan Nyi Manglè. Nyi dalam bahasa Sunda adalah kata sapaan untuk perempuan muda. Dengan demikian, meskipun majalah Manglè bukanlah majalah khusus untuk perempuan, penulis melihat bahwa isu perempuan memiliki peran dalam majalah tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana majalah ini memperbincangkan perempuan dan bagaimana perempuan diperbincangkan.

Dalam penelitian ini, pembabakan dalam mengonstruksi korpus didasari oleh konteks ideologi gender negara dari Blackburn (2006) dalam rentang tahun 1958-2003. Akan tetapi, 3 Website: http://sejarah.kompasiana.com/2011/07/05/hikayat-mangle-376605.html

4 Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Manglé

(5)

karena pembabakan yang dibahas oleh Blackburn (2006) hingga tahun 2003, sedangkan penelitian ini meliputi teks yang terbit hingga tahun 2013, penulis menambahkan satu periode yang dikenal secara umum di masyarakat dengan sebutan Reformasi. Berikut adalah rincian pembagian periode dalam korpus: 1) Demokrasi Terpimpin (1958 - 1965); 2) Oder Baru (1966 - 1998); 3) Transisi menuju demokrasi (1999 - 2003); dan 4) Reformasi (2004 -2013). Jumlah edisi majalah Manglè yang telah terbit dari tahun 1958-2013 adalah 2.455 edisi. Mengingat banyaknya jumlah edisi Manglè dalam kurun waktu tersebut dan keterbatasan kapasitas corpus software, korpus tidak dikonstruksi dari keseluruhan populasi majalah, melainkan diambil dari sampel per periode saja. Dengan menggunakan teknik proportional cluster random sampling, korpus disusun dari 92 edisi majalah yang tersebar secara proporsional dari masing-masing periode.

Untuk membuat korpus majalah Manglè, semua sumber data harus dalam versi elektronik. Oleh karena itu, sumber data dalam versi cetak harus diubah ke dalam versi elektronik dengan cara dipindai dengan menggunakan pemindai OCR (optical character recognition). Proses tersebut akan memungkinkan hasil pemindaian terbaca sebagai teks dan disimpan dalam bentuk plain text atau txt.

3. Linguistik Korpus

Meneliti sampel penggunaan bahasa yang secara aktual diperoleh dari masyarakat, dengan menggunakan bantuan komputer untuk menyimpan dan memanipulasi data, dikenal dengan nama linguistik korpus. Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengobservasi kumpulan teks (lisan maupun tulisan) dalam skala besar secara empiris. Selanjutnya, berdasarkan bukti penggunaan bahasa yang ada tersebut, peneliti dapat mengkaji beragam aspek bahasa sesuai dengan tujuan penelitiannya.

(6)

dua kata ataupun lebih. Sebagai contoh, dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata yang menandai perempuan, misalnya mojang, wanoja, dan awèwè. Berdasarkan daftar frekuensi kata, dapat diketahui mana yang paling sering atau jarang digunakan di antara ketiga kata tersebut. Namun, tentunya analisis lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencari implikasi-implikasi apa yang dapat dibahas dari tingkat frekuensi kemunculan kata-kata tersebut.

Selain daftar frekuensi kata, linguistik korpus menyediakan data statistik mengenai kolokasi signifikan. Kolokasi di sini mengacu pada pola kemunculan kata-kata yang menyanding suatu kata. Berdasarkan uji statistik, dapat diketahui kata-kata mana yang memiliki tingkat kedekatan yang lebih erat dengan suatu kata dibandingkan tingkat kemunculannya berdasarkan peluang. Analisis kolokasi ini bukan hanya digunakan untuk menunjukkan bagaimana suatu kata diasosiasikan dengan makna tertentu, tetapi dapat pula ditujukan untuk membuat profil semantis6. Pola semantis yang ditawarkan oleh Sinclair

(2003), untuk membuat profil semantis, adalah preferensi semantis7. Bila profil semantis

suatu kata ditafsirkan lebih lanjut, bagaimana kata digunakan untuk mengkonstruksi makna pada tataran ekstra-linguistik dapat ditunjukkan (Lauder, 2009: 10-16). Artinya, jika suatu kata dimaknai secara kuat dengan serangkaian kata tertentu, pemaknaan tersebut menunjukkan keyakinan, pemahaman, atau ekspektasi penutur akan suatu realitas.

Firth (1957), Sinclair (1987, 2004), dan Stubbs (2002) berpendapat bahwa suatu kata memang memiliki kecenderungan untuk disandingkan dengan kata-kata tertentu dalam konteks tertentu oleh penutur. Kecenderungan tersebut sangat erat kaitannya dengan kebudayaan dalam kompetensi komunikasi. Jawarska & Khirsnamurthy (2012: 405) mempertegas pula bahwa secara normal, komunitas tutur suatu bahasa memang memiliki suatu rentang leksikal yang digunakan dalam berkomunikasi. Akan tetapi, untuk mengacu pada suatu fenomena atau kelompok tertentu, mereka cenderung memilih pilihan-pilihan kata tertentu dibandingkan jenis kata lainnya yang menunjukkan pandangannya akan realitas. Stubbs (2002: 19) menambahkan bahwa pemilihan kata tersebut sangat bergantung pada konvensi linguistik dan inferensi-inferensi yang diperoleh dari pengetahuan akan realitas.

Sebagai ilustrasi bagaimana kata-kata menciptakan makna kultural dan sosial, dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata yang digunakan untuk menyebut perempuan, di antaranya awèwè, istri, mojang, dan wanoja. Keseluruhan kata tersebut menandai perempuan,

6 Profil semantis adalah penyajian serangkaian makna kata yang diidentifikasi dari analisis preferensi semantis kolokasi signifikan (Lauder, 2009: xiv).

(7)

tetapi dalam penggunaannya masing-masing kata tersebut tidak memiliki makna yang serupa, sehingga tidak selalu dapat saling menggantikan dalam konteks yang berbeda. Artinya, masing-masing kata memiliki kecenderungan untuk menggambarkan atau menilai perempuan dalam konteks yang berbeda-beda. Berdasarkan teks yang ada di dalam korpus yang penulis buat, misalnya terdapat beberapa kalimat seperti di bawah ini:

(1) ...ceuk pamajikanana, eta awèwè teh jahat....

‘...menurut istrinya, perempuan itu jahat...’

(2) Tapi saupami istri kahiji sareng kadua masih jumeneng...

‘Akan tetapi, seandainya istri pertama dan kedua masih hidup...’

(3) Samemeh paturay jeung MR, mojang geulis nu mikaresep olahraga,...

‘Sebelum berpisah dengan MR, perempuan cantik yang menyukai olahraga,...

(4) Suksesna Cikal ti 4 sadulur jadi wanoja karir, teu leupas ti rorojongan sepuhna...

‘Kesuksesan Cikal di antara empat saudaranya menjadi wanita karir, tidak lepas dari dukungan orangtuanya..’

Berdasarkan keempat contoh di atas, tampak bahwa terdapat perbedaan dalam menandai perempuan (awèwè, istri, mojang, dan wanoja) dan kata-kata tersebut dikaitkan dengan topik yang berbeda pula dalam beragam konteks. Berdasarkan kata-kata yang menyandingnya, kata

awèwè tampak dikaitkan dengan karakter yang tidak baik (jahat), istri dengan institusi perkawinan (kahiji sareng kadua ‘pertama dan kedua’), mojang dengan penampilan secara fisik (geulis ‘cantik’), dan wanoja dengan pekerjaan (karir ‘karir’). Kata-kata tersebut tentu tidak begitu saja dipilih oleh penutur bahasa Sunda, melainkan ada hal-hal yang melatarbelakanginya seperti keyakinan, ekspektasi, dan penilaian penutur tentang identitas perempuan. Untuk dapat menafsirkan latar belakang diperlukan kajian semiotika sehingga dapat ditelusuri konsep, yang ada dalam kognisi, yang direpresentasikan melalui kata-kata yang dipilih.

4. Semiotika

Para Antropolog, Kroeber dan Kluckhon (1963), mendefiniskan kebudayaan, berdasarkan 150 definisi kualitatif tentang kebudayaan yang tersebar di beragam literatur ilmiah, sebagai berikut:

 Kebudayaan adalah cara hidup yang didasari oleh sistem pemaknaan bersama.

 Kebudayaan diturunkan dari generasi ke generasi melalui sistem pemaknaan bersama.

Sistem pemaknaan bersama yang dimaksud dikenal dengan istilah signifying order.

(8)

tinggi sistem teknologinya, akan melacak asal usul signifying order leluhurnya. Oleh karena itu, kebudayaan manusia dapat didefinisikan sebagai cara hidup yang didasari oleh signifying order yang dikembangkan dalam konteks sukunya serta diturunkan melalui signifying order

tersebut dari generasi ke generasi (Danesi dan Peron, 1999). Hal ini mengidikasikan pula bahwa untuk memahami suatu kebudayaan, diperlukan suatu kajian yang mempelajari tanda.

Ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia disebut dengan semiotika. Artinya segala sesuatu yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus dimaknai (Hoed, 2011: 3). Kajian semiotika tidak hanya meliputi tanda dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga segala sesuatu yang mewakili sesuatu (Chandler, 2002: 2). Berdasarkan model tanda yang dikemukakan oleh Peirce, disebutkan bahwa sesuatu yang pertama (bersifat konkret) adalah suatu “representasi” yang dinamai dengan

representamen (sign vehicle atau ground), sedangkan sesuatu yang kedua (terdapat dalam kognisi) disebut object (referent). Proses hubungan dari representamen ke object disebut dengan semiosis. Dalam pemaknaan suatu tanda, proses semiosis ini belum lengkap karena kemudian ada satu proses lagi yang disebut interpretant (proses penafsiran). Oleh karena itu, pemaknaan suatu tanda terjadi dalam bentuk proses semiosis dari yang konkret ke dalam kognisi manusia yang hidup bermasyarakat.

5. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan metode gabungan. Dengan menggunakan rancangan ini, penulis akan mengintegrasikan atau menggabungkan metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Holmes & Meyerhoff (dalam Litosseliti, 2010: 32) berpendapat bahwa metode gabungan ini menggunakan pola-pola yang diidentifikasi melalui analisis kuantitatif sebagai dasar yang esensial untuk menginterpretasi teks secara kualitatif dengan lebih terperinci.

(9)

dengan penelitian yang mengandalkan intuisi semata) adalah data kuantitatif terpercaya yang disediakan oleh korpus. Uji statistik dalam linguistik korpus ini biasanya digunakan untuk menghitung frekuensi, baik berupa raw frequency maupun normalized frequency, dan menentukan kolokasi signifikan, baik dengan menggunakan uji chi-square, MI (mutual information), t-score, z-score, atau log-likelihood. Akan tetapi, hasil dari uji statistik ini tidak serta merta dapat mengungkap banyak hal berkenaan dengan validitas hipotesis penelitian. Oleh karena itu, perlu interpretasi data lebih lanjut secara kualitatif.

Software yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak pencari pola kata yang disebut dengan Wordsmith Tools Version 6. Perangkat lunak ini dapat mengidentifikasi pola kata dalam teks dengan menggunakan dua fitur utamanya, yaitu konkord (concord) dan daftar kata (wordlist). Berikut adalah langkah-langkah metodologis yang diterapkan dalam penelitian ini:

1. menyusun korpus majalah Manglé dari semua teks dalam rubrik majalah, kecuali teka-teki silang, kuis, dan iklan. Kumpulan teks tersebut dipilih dari sampel edisi yang diperoleh dari kurun 1958-2013 dengan menggunakan teknik proportional cluster random sampling.

2. Pengidentifikasian secara paradigmatik leksem-leksem yang bermakna perempuan berdasarkan frekuensi kemunculannya di setiap periode. Pengidentifikasian ini dilakukan dengan membuat wordlist untuk setiap periode. Tingkat frekeunsi kemunculan leksem di setiap periode tersebut kemudian dinormalisasi, sehingga dapat dilihat bagaimana kecenderungan penggunaan dan perubahannya secara diakronis.

3. Pengidentifikasian secara sintagmatik relasi setiap leksem yang termasuk ke dalam medan leksikal perempuan dengan kata-kata penyandingnya melalui analisis kolokasi. Dalam hal ini, ditentukan kolokasi untuk setiap leksem yang mengacu pada medan leksikal perempuan di setiap periode melalui uji statistik mutual-information (MI). Uji statistik ini menghitung derajat kedekatan setiap leksem dengan kata-kata yang menyandingnya, sehingga diperoleh kolokasi signifikan untuk setiap leksem di setiap periode.

4. Pembuatan profil semantis untuk setiap leksem yang termasuk ke dalam medan leksikal perempuan di setiap periode berdasarkan preferensi semantis dari kolokasinya.

5. Menginterpretasi profil semantis dengan kajian semiotika untuk merumuskan representasi perempuan oleh majalah Manglè dari masa ke masa.

DAFTAR PUSTAKA

(10)

Baker, P. 2010. Will Ms ever be as frequent as Mr? A corpus-based comparison of gendered terms across four diacronic corpora of British English. Equinox Publishing.

Baker, P., Hardie, A. & McEnery, T. 2006. A Glossary of Corpus Linguistics. Edinburg: Edinburg University Press.

Baker, P., 2005. Public Discourses of Gay Men. London: Routledge.

Blackburn. S. 2004. Women and the State in Modern Indonesia. USA: Cambridge University Press.

Cameron, D. 1995. Rethinking Language and Gender Studies: Some Issues for the 1990s.

dalam Mills, S. (Peny.) Language and Gender: Interdiciplinary Perspectives. London: Longman.

Chandler, Daniel. 2002. The Basic: Semiotics. USA and Canada: Routledge.

Cheng, Winnie. 2012. Exploring Corpus Linguistics. Language in Action. London & New York: Routledge.

Danesi, M. & Peron, P. 1999. Analyzing Cultures: An Introduction and Handbook. USA: Indiana University Press.

Facchinetti, R. 2007. Corpus Linguistics 25 Years On. Amsterdam – New York: Rodopi. Firth, J.R. 1957. Papers in Linguistics. Oxford University Press.

Hoed, Benny H. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu.

Jawarska, S. & Krishnamurthy, R. 2012. On the F Word: A Corpus-Based Analysis of the Media Representation of Feminism in British and German Press Discourse, 1990 -2009 in Discourse & Society. Sage Publication.

Kuntjara, E. 2012. Gender, Bahasa, dan Kekuasaan. Jakarta: Libri.

Kwary, D. A. dan Arum, K. W. A. 2011. ‘Lincoln’s vs. Obama’s presidencies: A diachronic corpus based analysis of the adjectival collocates of [man] and [woman] in the American English’. ReVEL 9(17): 211–225.

Kwary, D.A. 2013. Creating and Testing the Indonesian High Frequency Word List in Kolitas 11: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Kaya Kesebelas Tingkat Internasional. Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Lauder, A. F. 2009. A Collocation Analysis of Keywords in a News Media Corpus. The role of lexis in the news agenda and issue representation.

Marlina, Itje. 2006. Kedudukan Wanita Menak dalam Struktur Masyarakat Sunda (Studi Kasus di Kota Bandung). Sosiohumaniora. Vol. B. No.2. Jul 2006: 185-205

McEnery, T. & Hardie, A. 2012. Corpus Linguistics. Cambridge.

McEnery, T., Xiao, R., & Tono, Y. 2006. Corpus-Based Language Studies: An Advanced Resources Book. New York: Routledge.

Sinclair, J. 1987. Looking Up: An Account of the COBUILD Project in Lexical Computing. London: Collins.

Sinclair, J. 2003. Reading Concordances. London: Pearson Education Limited. Sinclair, J. 2004. Trust the Text. London & New York: Routledge

Stubbs, M. 2008. Three Concepts of Keyword. Makalah yang dipresentasikan di Conference of Keyness in the Certosa di Pontignano, University of Siena.

Stubbs, M. 2002. Words and Phrases: Corpus Studies of Lexical Semantics. Blackwell Publishing.

Tognini-Bonelli, E. 2001. Corpus Linguistics at Work. Amsterdam: John Benjamins.

Viana, V., Zyngier, S., and Barnbrook, G. 2011. Perspectives on Corpus Linguistics.

Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.

Vreede-De Stuers, C. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia. Gerakan dan Pencapaian (Terjemahan). Jakarta: Komunitas Bambu.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menentukan persamaan kinetika pada proses pelarutan dan perancangan reaktor batch untuk pemisahan perak dari larutan bekas

a) Karakteristik responden pada rumah tangga nelayan rumput laut dilihat dari umur yaitu; pada kelompok umur 35-50 didominasi oleh laki- laki, sedangkan perempuan pada

Ketika konsentrasi awal sangat tinggi sehingga konsentrasi kolesterol LDL tidak mencapai target terapi absolut dengan statin dosis tinggi, maka dianjurkan untuk mencapai

[r]

PENERAPAN PENDEKATAN KOOPERATIF TIPE COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYIMAK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA KELAS V SEKOLAH DASAR1. Universitas

[r]

•฀ Multidestination Pattern: This pattern is used in a scenario where the ingestion layer has to transport the data to multiple storage components like Hadoop Distributed File System

Intelegensi adalah kecakapan yang terdiri dari tiga jenis yaitu kecakapan untuk menghadapi dan menyesuaikan ke dalam situasi yang baru dengan cepat dan efektif,