• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pe"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

S

istem

I

novasi

D

aerah:

(2)
(3)

Mohamad Ariin

Dudi Hidayat

Setiowiji Handoyo

Sri Mulatsih

Prakoso Bhairawa Putera

Dini Oktaviyanti

Galuh Syahbana Indraprahasta

S

istem

I

novasi

D

aerah:

(4)

Penulis:

Mohamad Ariin Dudi Hidayat Setiowiji Handoyo Sri Mulatsih

Prakoso Bhairawa Putera Dini Oktaviyanti

Galuh Syahbana Indraprahasta

Copyright © 2013 IPB Press

Penyunting bahasa : Galuh Syahbana Indraprahasta dan Nia Januarini Penata letak : Noval Tensai

Desainer sampul : Sani Etyarsah Korektor : Dwi M Nastiti

PT Penerbit IPB Press

Kampus IPB Taman Kencana Bogor Cetakan Pertama : Mei 2013

Dicetak oleh Percetakan IPB

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang

Dilarang memperbanyak buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit - Anggota IKAPI

(5)

K

ata

P

engantar

Buku ini merupakan hasil penulisan kembali dari penelitian mengenai Penguatan Inovasi Teknologi dalam Rangka Mendukung Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Penguatan inovasi yang berorientasi pada spesialisasi kewilayahan menjadi kunci keberhasilan pengembangan riset dan aplikasinya. Seiring dengan itu, pergeseran paradigma pembangunan dari yang bersifat sentralistik top-down menjadi desentralisasi bottom-up telah menempatkan daerah sebagai salah satu ujung tombak pembangunan nasional. Untuk itu perlu dipetakan kegiatan inovasi teknologi yang dilakukan oleh UKM, khususnya industri makanan dan minuman dalam rangka mendukung PEL. Lokus kegiatan ini adalah Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, dan Kota Salatiga. Keempat daerah tersebut dipilih karena memiliki potensi daerah yang dapat dikembangkan untuk mendukung ekonomi lokal dari hasil inovasi teknologi. Fokus kegiatannya meliputi a) Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT), industri berbahan baku ketela; b) Agaricus Sido Makmur Sentosa (ASIMAS), industri berbahan baku jamur; c) Bangkit Cassava Mandiri (BCM), industri berbahan baku singkong; dan d) UKM Sehati, industri berbahan baku kedelai.

Industri yang dikelola oleh SPAT dan ASIMAS dalam mengembangkan produk dari hasil inovasinya, tercermin dari tiga indikator inovasi yang baik, yaitu (i) perusahaan ini mampu mengoptimalkan penggunaan teknologi dalam meningkatkan eisiensi dan efektivitas produksi, termasuk menggunakan teknologi dalam pembibitan; (ii) keinovatifan perusahaan yang ditandai dari terbukanya manajemen terhadap ide-ide baru terkait dengan peningkatan kualitas produk, terutama ide-ide varian produk dan pengemasan; dan (iii) kapasitas berinovasi dari perusahaan ini terlihat sangat baik, tidak hanya dari bagaimana perusahaan memaksimalkan produksi setiap tahunnya tetapi juga mampu menghasilkan berbagai varian dari produk.

(6)

vi

serta teknologi packaging-nya masih rendah. Untuk kasus UKM Sehati dalam pengembangan usaha tidak terlepas dari adanya keterbukaan pemilik untuk selalu mencari berbagai informasi berkaitan dengan pengelolaan UKM yang baik dan berusaha untuk terus mencoba menerapkan ide-ide kreatif yang muncul ke dalam berbagai bentuk inovasi, mulai dari inovasi proses, inovasi produk, dan inovasi pemasaran. Berbagai bentuk inovasi tersebut pada akhirnya berperan dalam memajukan UKM yang ia kelola dan turut mengangkat pengembangan ekonomi lokal, minimal di sekitar tempat UKM Sehati berada.

Akhirnya tim penulis yang merupakan peneliti dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek-LIPI mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset dan Teknologi yang telah memberikan dana kegiatan ini melalui Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Tak lupa tim penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyampaikan pemikirannya serta memberikan masukan dalam penyusunan akhir buku ini.

Jakarta, Januari 2013

(7)

Hal

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar ...xv

Prolog ... xvii

B

ab 1 Strategi Pengembangan Ekonomi Wilayah

dengan Pendekatan Sistem Inovasi Daerah

(SIDa): Hambatan dan Prospek

...1

1.1 Pendahuluan ... 1

1.2 Konsep Sistem Inovasi dalam

Diskursus Ekonomi Wilayah ... 2

1.3 Pokok-pokok Konsep Sistem Inovasi ... 4

1.3.1 Pengertian SINas ... 5

1.3.2 Dasar Pemikiran Perlunya Konsep SINas ... 6

1.3.3 Konsep SINas bagi Negara Berkembang ... 8

1.4 Isu-isu Penting dan Permasalahan dalam

Pengembangan SIDa di Indonesia ... 11

1.5 Interaksi antara Praktik Inovasi, Kebijakan Inovasi,

dan Teori Inovasi ... 15

1.6 Penutup ... 19

Daftar Pustaka ... 19

(8)

viii

B

ab 2 Kajian Potensi Sumber Daya Lokal dalam

Pengembangan Inovasi Daerah

...23

2.1 Pendahuluan ... 23

2.2 Konsep Sistem Inovasi Daerah ... 25

2.3 Inovasi dan Pertumbuhan Ekonomi ... 27

2.4 Kebijakan Inovasi dan Kebijakan Daerah ... 28

2.5 Potensi Daerah ... 30

2.5.1 Kota Salatiga ... 31

2.5.2 Kabupaten Trenggalek ... 33

2.5.3 Kabupaten Malang ... 36

2.5.4 Kabupaten Pasuruan ... 39

2.6 Penutup ... 41

Daftar Pustaka ... 42

B

ab 3 Potensi Pengembangan Singkong sebagai

Pengganti Tepung Terigu: Kasus di

Kabupaten Trenggalek

...45

3.1 Awal Mula Pengembangan Mocaf

di Trenggalek ... 45

3.2 Mocaf dan Potensi Kemandirian Bangsa ... 48

3.3 Konsep Pengembangan Mocaf

di Kabupaten Trenggalek ... 53

3.4 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi Lokal ... 55

3.5 Potensi Keberlanjutan Mocaf

di Kabupaten Trenggalek ... 60

3.6 Penutup ... 65

(9)

Daftar Isi

ix

B

ab 4 Peran Inovasi Teknologi dan Potensi

Unggulan Daerah dalam Pengembangan

UKM Sehati Salatiga

...67

4.1 Pendahuluan ... 67

4.2 Inovasi Teknologi dan Potensi Keunggulan Daerah

sebagai Faktor Pendorong Pengembangan

Ekonomi Lokal ... 74

4.3 Perkembangan UKM Sehati, Salatiga

di Bidang Makanan Olahan ... 76

4.4 Model Peran Inovasi Teknologi

dan Potensi Unggulan Daerah dalam Mendukung

Pengembangan UKM Sehati, Salatiga ... 80

4.4.1 Potensi Unggulan Daerah ... 81

4.4.2 Inovasi Teknologi... 83

4.4.3 Kebijakan Pemerintah ... 88

4.5 Penutup ... 91

Daftar Pustaka ... 91

B

ab 5 Kinerja Bisnis Agaricus Sido Makmur

Sentosa dalam Penguatan Inovasi

Teknologi Mendukung Pengembangan

Ekonomi Lokal

...93

5.1 Pendahuluan ... 93

5.2 Proil Wilayah Lawang-Malang (Jawa Timur) ... 95

5.3 Perspektif Sejarah Pembentukan

Agaricus Sido Makmur Sentosa ... 99

5.4 Kegiatan Usaha dan Produksi... 101

(10)

x

5.6 Pola Hubungan Kinerja

Bisnis-Inovasi-Mendukung Ekonomi Lokal ... 108

5.7 Penutup ... 113

Daftar Pustaka ... 114

B

ab 6 SPAT dan Kontribusinya untuk

Pengembangan Ekonomi Lokal

...117

6.1 Otonomi Daerah, Pengembangan Ekonomi Lokal,

dan SPAT ... 117

6.2 SPAT dan Aktivitasnya ... 121

6.2.1 Sejarah ... 121

6.2.2 Kelembagaan ... 122

6.2.3 Produk SPAT ... 124

6.3 Inovasi dan Pengembangan Ekonomi Lokal ... 126

6.3.1 Pengembangan Inovasi ... 126

6.3.2 Pengembangan Ekonomi Lokal... 128

6.3.3 Tantangan Pengembangan Inovasi dalam Mendukung PEL ... 130

6.4 Kesimpulan ... 131

Daftar Pustaka ... 131

B

ab 7 Penerapan Teknologi Pascapanen (Studi

Kasus: Penerapan Teknologi Pascapanen

di Kabupaten Malang)

...133

7.1 Pendahuluan ... 133

7.2 CV Agrindo Cipta Mandiri ... 141

7.2.1 Inovasi Teknologi... 142

7.2.2 Kompleksitas Aset Khusus ... 144

(11)

Daftar Isi

xi

7.3 CV Inovasi Anak Negeri (Susu Listrik) ... 146

7.3.1 Inovasi Teknologi... 148

7.3.2 Kompleksitas Aset Khusus ... 150

7.3.3 Diferensiasi Produk... 150

7.4 Dampak Inovasi Teknologi Pascapanen terhadap

Pengembangan Ekonomi Lokal

dan Permasalahannya ... 151

7.5 Penutup ... 155

7.5.1 Kesimpulan ... 155

7.5.2 Saran ... 156

Daftar Pustaka ... 156

B

ab 8 Inovasi Teknologi Industri Makanan

dan Minuman untuk Mendukung

Pengembangan Ekonomi Lokal

...159

8.1 Pendahuluan ... 159

8.2 Kompleksitas Alat Khusus ... 163

8.3 Inovasi Teknologi di Industri Makanan

dan Minuman ... 164

8.4 Inovasi Teknologi dan Potensi Daerah

sebagai Faktor Pendorong Pengembangan

Ekonomi Lokal ... 171

8.4.1 Sumber Daya Alam ... 174

8.4.2 Inovasi Teknologi... 174

8.4.3 Kompleksitas Aset Khusus ... 175

8.4.4 Diferensiasi Produk... 175

8.4.5 Kebijakan Pemerintah ... 176

8.5 Penutup ... 178

(12)

xii

(13)

Bab III

Potensi Pengembangan Singkong sebagai

Pengganti Tepung Terigu:

Kasus di Kabupaten Trenggalek

Galuh Syahbana Indraprahasta

3.1 Awal Mula Pengembangan Mocaf di

Trenggalek

Indonesia memiliki beragam sumber daya alam dan pertanian untuk dapat dikembangkan. Keberadaan sumber daya alam ini belum dapat termanfaatkan secara optimal sehingga masih berupa potensi yang perlu dikelola lebih lanjut. Salah satu potensi sumber daya ini adalah tanaman ubi kayu atau lebih dikenal dengan singkong (cassava). Sama dengan komoditas pertanian lainnya, khususnya tanaman pangan dan hortikultura, luas lahan singkong berkurang secara konsisten akibat pengembangan lahan terbangun (built-up area). Sebagai gambaran, pada tahun 1993 luas panen singkong di Indonesia adalah 1.388.700 ha. Luas ini secara konsisten menurun di mana pada tahun 2012, luas panen singkong menjadi 1.116.802 ha. Meskipun secara luasan menurun, produktivitas nasional singkong secara konsisten meningkat dari 123,97 ku/ha tahun 1993 menjadi 203,06 123,97 ku/ha tahun 2012. Pada tahun 2012, ada 3 provinsi yang mempunyai proporsi luas panen singkong terluas di Indonesia, yaitu Bengkulu (31,07%), Jawa Timur (16,83%), dan Jawa Tengah (14,62%). Provinsi lainnya di Indonesia memiliki proporsi luas panen total, masing-masing kurang dari 10%. Tiga lokasi dengan luas lahan panen tertinggi tersebut juga mempunyai produktivitas tertinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya, kecuali Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

(14)

46

Konotasi sebagai komoditas marginal ini membuat pengelolaan (termasuk pengolahan) singkong menjadi ala kadarnya dan cenderung jalan di tempat. Kondisi seperti inilah yang kemudian coba diterobos oleh beberapa pihak di Kabupaten Trenggalek. Pihak-pihak ini kemudian mencoba mengembangkan singkong menjadi tepung singkong (modiied casava lour atau mocaf). Salah satu pihak yang berusaha menginisiasi ini adalah Soeharto, Bupati Kabupaten Trenggalek pada periode 2005–2010. Ada berbagai pertimbangan yang dijadikan Soeharto untuk menjadikan singkong sebagai pendorong ekonomi lokal Kabupaten Trenggalek, antara lain pertimbangan dari aspek sosial, teknik, dan ekonomi. Uraian singkatnya adalah sebagai berikut (Soeharto 2008).

Tabel 3.1 Pertimbangan pengembangan mocaf

No Aspek Keterangan

1 Sosial • Jumlah keluarga miskin (gakin) tahun 2007 sebanyak 73.099 kepala keluarga (KK)

Singkong merupakan tanaman turun-temurun

Singkong digunakan sebagai sumber makanan

Singkong ini ditanam di seluruh desa

Jumlah keluarga petani singkong tahun 2007 sebanyak

• +

120.000 orang

2 Teknis • Teknologi sederhana sehingga dikuasai oleh petani 3 Ekonomi • Areal produksi singkong seluas 16.427 ha (2007)

Produksi singkong sebesar 365.981 ton (September 2008)

Produktivitas singkong sebesar 222,79 kw/ha (2007)

Awal mula pengembangan mocaf (modiied cassava lour) sebagai produk olahan singkong sebenarnya juga tidak terlepas dari inovasi yang dihasilkan oleh Achmad Subagio, seorang Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember, melalui teknik fermentasi sel singkong sehingga dihasilkan tepung mocaf. Subagio mulai mencoba memperkenalkan produknya untuk dapat diujicobakan. Pada tahun 2005 dalam suatu kesempatan, Subagio memaparkan produknya di depan Bupati Trenggalek dan gayung pun bersambut.

(15)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

47

sebagai 1 dari 100 peneliti muda inovatif Indonesia. Selain publikasi yang telah dihasilkan dari teknologi yang dikembangkan, kontribusi nyatanya secara empiris khususnya di Kabupaten Trenggalek menjadi salah satu bukti bagaimana Subagio menjadi salah satu pemain penting dalam pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek.

Aktor lainnya yang sangat penting berkontribusi adalah duet Subadianto dan (alm.) Mulyono Ibrahim yang mengembangkan Koperasi Gemah Ripah Loh Jinawi (GRLJ). Kombinasi antara dukungan pemerintah, komunitas-bisnis, serta akademisi menjadi pemicu dimulainya pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek, sekaligus meningkatkan harkatnya.

Upaya yang telah dilakukan Kabupaten Trenggalek dalam pengembangan mocaf telah mendapatkan perhatian luas, bahkan secara nasional. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Pengolahan Hasil Pertanian Dinas Pertanian Jawa Timur, Bambang Heryanto (www.kabarbisnis.com 2011) bahwa pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek telah menjadi proyek percontohan pengembangan tepung mocaf nasional.

(16)

48

Gambar 3.1 Peta Kabupaten Trenggalek

Sumber: BPS (2012)

Untuk mencoba mengkaji secara singkat tetapi menyeluruh, tulisan ini dibahas dalam 5 bagian, bagian pertama sudah dibahas pada subbab ini. Adapun keempat bagian bahasan lainnya terdiri atas subbab mocaf dan potensi kemandirian bangsa, konsep pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek, inovasi mocaf dan pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Trenggalek, serta kesimpulan. Pendekatan dari studi ini merupakan eksplorasi mendalam dari kerangka analisis yang dipaparkan dalam Bab 2 buku ini, utamanya menempatkan inovasi sebagai pendorong ekonomi lokal.

3.2 Mocaf dan Potensi Kemandirian Bangsa

Tepung terigu (kata terigu berasal dari bahasa Portugis trigo yang berarti gandum1) mempunyai banyak penggunaan di Indonesia, antara lain sebagai

bahan pembuatan roti, mi, kue, pastri, biskuit, dan bakso. Dapat dikatakan bahwa tepung terigu sudah menjadi kebutuhan dasar bagi banyak makanan di Indonesia. Oleh karena itu kedudukan olahan gandum ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Meskipun demikian, gandum sebagai bahan dasar dari tepung terigu sebenarnya bukan berasal dari Indonesia. Tanaman ini pada awalnya dibudidayakan di lahan dengan iklim subtropis.

(17)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

49

Beberapa intervensi teknologi dan pengembangan membuat gandum dapat dibudidayakan di daerah tropis seperti Indonesia. Penanaman gandum di Indonesia sudah dimulai di Indonesia secara terbatas sejak awal abad ke-20 di Jawa, terutama di Pengalengan, Dieng, Tengger, dan Amanumbang (Surabaya Post 2012). Kusuma (2012) menjelaskan gandumisasi Indonesia dimulai pada tahun 1969 melalui PL480 atau Paket Kerja Sama Public Law Nomor 480 di era Pelita I. Pada rentang 1960–1970an, Amerika Serikat sedang mengalami surplus gandum. Untuk menstabilkan harga, kelebihan gandum tersebut disimpan di lumbung negara dan digunakan sebagai alat propaganda politik luar negeri. Indonesia menerima bantuan pangan ini karena harga beras saat itu tinggi dan upaya diversiikasi tanaman pangan masih berjalan.

(18)

50

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa gandum dapat dibudidayakan di Indonesia dan produksi tepung terigu dapat dilakukan di Indonesia. Untuk memahami lebih lanjut mengenai tepung terigu maupun gandum, menarik untuk menelaah beberapa data dan informasi. Menurut Media Data Riset (2010) pada tahun 2009, konsumsi tepung terigu nasional sebesar 4,6 juta ton. Adapun impor tepung terigu sebesar 646,7 ribu ton atau 14,2% dati total konsumsi. Permintaan tepung ini akan terus meningkat dan diproyeksikan pada tahun 2014, konsumsi ini mencapai 5,7 juta ton atau tumbuh 7,4 %. Meskipun proporsi impor tepung terigu terkesan minor, data lebih menakjubkan akan tergambarkan jika melihat besarnya impor gandum Indonesia. Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (2012) per Agustus 2012, Indonesia merupakan negara importir gandum terbesar ketiga di dunia, yaitu sebesar 6,6 juta ton atau 4,83% dari total impor dunia. Adapun Mesir menjadi negara importir terbesar pertama dengan 9,5 juta ton dan Brazil di posisi kedua dengan 7 juta ton. Meskipun dianggap dapat memproduksi gandum, tetapi beberapa laporan dunia menyangsikan kemampuan produksi lokal gandum Indonesia. Salah satunya adalah analisis yang dilakukan oleh Weigand (2011) yang tidak melihat Indonesia mampu memproduksi gandum. Weigand kemudian memaparkan bahwa impor gandum Indonesia tumbuh 35% selama 1 dekade terakhir. Diprediksikan bahwa pada tahun 2050, impor gandum Indonesia akan meningkat 34% dari tahun 2010.

(19)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

51

Gambar 3.2 Beberapa produk tepung terigu lokal (a) bogasari, (b) sriboga2

Meskipun demikian, terlepas dari dapat atau tidaknya gandum untuk dibudidayakan secara lokal, mocaf mempunyai potensi untuk dapat digunakan sebagai subsitusi tepung terigu maupun gandum (sebagai bahan baku tepung terigu) yang selama ini banyak diimpor. Mocaf yang berasal dari pengolahan singkong tentunya berakar dari budaya dan sumber daya lokal yang lebih kuat. Mocaf sebagai alternatif subsitusi tepung terigu dapat memperkuat diversiikasi pangan. Posisi beras saat ini yang dianggap makanan pokok wajib bagi hampir semua wilayah di Indonesia telah menimbulkan beberapa dampak negatif, utamanya karena laju produksi beras tidak bisa mengikuti laju pertumbuhan penduduk. Kondisi yang terjadi pada beras seperti ini sebaiknya dapat diantisipasi oleh pola konsumsi-produksi gandum-tepung terigu. Ketahanan pangan, apalagi kedaulatan pangan tentu dapat menjadi alasan logis untuk mengembangan mocaf sebagai aset asli sumber daya lokal Indonesia.

Pada tahun 2011, luas panen ubi kayu atau singkong di Indonesia berkisar 1.184.696 ha atau sekitar 8,97% dari luas panen padi. Besaran ini menunjukkan cukup baiknya potensi singkong yang tersedia di Indonesia, baik untuk dapat dikonsumsi langsung sebagai panganan pokok maupun diolah lebih lanjut menjadi tepung. Tren luas produksi singkong selama 10 tahun terakhir (2001–2011) cukup stabil, meski ada kecenderungan sedikit menurun. Dibandingkan dengan jenis komoditas penghasil kaborhidrat lainnya seperti padi dan jagung, kecenderungan penurunan pada singkong menandakan adanya pergeseran pola konsumsi dan produksi panganan pokok di Indonesia (Gambar 3.3).

2 Sumber gambar: http://www.bogasari.com/0_images/about/static/201113117285693.jpg dan

(20)

52

Gambar 3.3 Tren luas panen komoditas pangan nasional (ha)

Di Kabupaten Trenggalek, singkong dijadikan sebagai bahan makanan pokok penghasil karbohidrat selain beras. Pada tahun 2011, konsumsi singkong di kabupaten ini sebesar 116,27 kg/tahun yang menempati urutan kedua terbesar setelah beras. Dibandingkan dengan komoditas beras dan jagung secara total, konsumsi singkong per tahun sebesar 33,21%, di mana beras 42,74% dan jagung 24,05%. Luas panen singkong juga cukup besar, yaitu 28,36 ha atau 33,21% jika dibandingkan dengan padi dan jagung secara total (Gambar 3.4).

(21)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

53

Gambaran di atas memberikan deskripsi awal jika singkong di Kabupaten Trenggalek menjadi sumber daya lokal yang patut untuk dikembangkan. Singkong, jika dilihat dari sisi konsumsi dan produksi (diwakilkan oleh luas panen) merupakan komoditas pokok yang sudah mengakar di masyarakat Kabupaten Trenggalek. Pengembangan luas panen singkong meski berada di posisi kedua setelah padi, graiknya cenderung menurun (tahun 2007–2011). Hal ini berbeda misalnya dengan padi yang ada kecenderungan untuk naik. Gejala monoisasi beras di Kabupaten Trenggalek tampaknya juga terjadi meski dalam skala yang lambat. Untuk itu, tanpa memarginalisasi peran padi/beras serta dalam rangka kedaulatan pangan di Kabupaten Trenggalek, singkong dapat menjadi penggerak ketahanan pangan sekaligus ekonomi lokal (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Tren luas panen komoditas pangan di Kabupaten Trenggalek (ha)

3.3 Konsep Pengembangan Mocaf

di Kabupaten Trenggalek

(22)

54

ke pusat pengolahan (pabrik pengolahan) untuk dijadikan mocaf. Mekanisme kerja sama antara klaster dan PT Bangkit Cassava Mandiri (PT BCM) adalah kemitraan dengan Koperasi Gemah Ripah Loh Jinawi (GRLJ) sebagai fasilitator. Peran Koperasi GRLJ dalam hal ini adalah menyediakan enzim sebagai input industri kepada klaster secara gratis. Koperasi GRLJ sendiri mendapatkan biaya hak paten enzim dari PT BCM. Koperasi GRLJ beserta PT BCM berlokasi saling berdekatan di Desa Kerjo, Kecamatan Karangan.

Selain sebagai fasilitator enzim, koperasi berperan dalam penyediaan fasilitas “lunak”. Pengembangan mocaf ditujukan langsung untuk mengembangkan ekonomi pedesaan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, upaya pengembangan mocaf sangat menekankan pada penguatan UMKM. Koperasi berperan sebagai pengawas dan pemberi pinjaman kelompok penghasil chip ubi kayu (klaster/kelompok). Selain aspek inansial, koperasi ini juga memberikan bimbingan teknis untuk membuat produk yang lebih berkualitas dan eisien (Astuti 2010; Sari 2011).

Keberadaan kelompok/klaster singkong juga memegang peranan penting, khususnya di level hulu untuk meningkatkan kualitas pasokan bahan baku mocaf. Tugas utama dari klaster adalah mengupas, mencuci, dan menggiling singkong segar menjadi irisan singkong (chip). Chip ini kemudian direndam dalam larutan bakteri fermentasi. Setelah itu, chip ini dibawa ke PT BCM untuk dilakukan proses penepungan. Tidak semua 60 kelompok (klaster) singkong aktif berproduksi. Terhitung hanya 20 kelompok yang paling aktif dalam berkegiatan (Astuti 2010). Tentunya ada berbagai faktor yang memengaruhi, salah satunya adalah gagal panen akibat faktor cuaca. Kendala lainnya dalam pasokan singkong ke klaster adalah pada mekanisme penjualan yang diterapkan, yaitu mengkuti mekanisme pasar. Mekanisme ini memperbolehkan petani singkong untuk bebas menjual singkongnya kepada siapa saja, baik di dalam maupun luar klaster. Harga dan jumlah singkong yang beredar di pasaran ditentukan dari mekanisme permintaan-penawaran.

(23)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

55

Tiga Pilar Sentosa Food dan PT Dua Kelinci. Mekanisme pembelian dan penjualan antara PT BCM dengan dua industri tersebut dan pembeli lainnya mengikuti mekanisme pasar. Oleh karena itu, daya saing mocaf harus sesuai dengan kualitas yang diminta pasar (Bappenas 2009).

Ulasan tersebut memberikan gambaran bahwa ada 4 (empat) aktor/ pihak kunci dalam pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek sesuai dengan konsep yang ada, yaitu para petani sebagai pemasok singkong yang dipanen, klaster sebagai pengumpul dan pemrosesan sederhana singkong dari beberapa petani, koperasi sebagai manajer umum, dan pabrik sebagai tempat pembuatan mocaf. Aktivitas akhir dari produksi mocaf ini adalah pemasaran, baik untuk kebutuhan industri makanan maupun kebutuhan rumah tangga secara individual. Proses produksi mocaf secara singkat dapat dilihat pada Gambar 3.6 berikut.

Gambar 3.6 Sistem pengembangan mocaf Kabupaten Trenggalek

3.4 Inovasi dan Pengembangan

Ekonomi Lokal

(24)

56

dapat diaplikasi untuk membuat produk olahan baru, terutama membuat mocaf yang mempunyai bau tidak menyengat. Inovasi inilah yang kemudian membedakan dengan inovasi pengembangan mocaf lainnya. Keunikan yang dihasilkan serta aplikasi massal di Kabupaten Trenggalek menjadikan inovasi yang dihasilkan mempunyai nilai guna yang banyak.

Selain itu, yang perlu dicermati adalah inovasi teknologi. Inovasi teknologi khususnya terkait dengan peralatan maupun mesin yang digunakan untuk memproduksi mocaf kurang terjadi. Peralatan maupun mesin yang terdapat di PT BCM maupun Koperasi GRLJ, beberapa di antaranya dibuat sendiri dengan prinsip teknologi tepat guna. Beberapa lainnya dibeli langsung karena prioritas pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek masih difokuskan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat. Sejak berdirinya pabrik tahun 2006, proses pengembangan teknologi dalam peralatan dan mesin berjalan secara inkremental yang lambat. Fokus pada pengembangan ekonomi masyarakat dengan produk akhir mocaf membuat pengembangan teknologi dalam konteks ini kurang diperhatikan. Salah satu lembaga litbang nasional yang pernah terlibat dalam pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek juga tidak memperkaya teknologi dan inovasi, justru yang dilakukan adalah memberikan peralatan gratis yang dibeli dari produsen tertentu3.

Pengembangan sumber daya manusia maupun unit penelitian dan pengembangan (litbang) untuk mendukung inovasi tidak ditemukan dalam alur bisnis pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek, baik yang disediakan secara internal oleh PT BCM, Koperasi GRLJ dan Pemerintah Kabupaten Trenggalek, maupun secara eksternal seperti perguruan tinggi dan lembaga litbang. Kondisi seperti ini membuat proses pembaruan berjalan di tempat. Dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia yang terlibat dalam pengembangan mocaf ini pasca-inovasi yang dilakukan oleh Subagio tampaknya juga tidak dikhususkan untuk mengembangkan pengetahuan maupun kecapakan dalam mendukung inovasi lebih lanjut. Hal ini tentunya memberikan indikasi lain bahwa fokus pengembangan sumber daya manusia (termasuk pengetahuan yang melekat di dalamnya) belum menuju pengembangan sumber daya manusia yang menunjang terjadinya inovasi lebih lanjut. Selama ini, sumber daya manusia internal yang mempunyai pengalaman serta diharapkan mengawal dalam proses litbang dan inovasi adalah Cahyo Handriadi. Saat ini Cahyo berperan sebagai bendahara Koperasi GRLJ serta sebelumnya pernah menjadi Anggota Peneliti Program Rusnas Kementerian Riset dan Teknologi ‘Pengembangan Modiied Cassava Flour’.

3 Berdasarkan wawancara dengan Cahyo Hendriadi, bendahara Koperasi GRLJ pada tanggal 27

(25)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

57

Untuk inovasi dalam aspek diferensiasi produk, produk dari PT BCM kurang bervarian. Produk utama yang dihasilkan adalah mocaf (tepung singkong). Beberapa produk turunan lainnya berupa pembuatan kue (kering), kue lapis, brownies, dan beragam panganan lainnya dengan penggunaan mocaf 100% (tidak menggunakan terigu). Untuk pemasaran lebih besar, mocaf ini kemudian didistribusikan pada beberapa perusahaan, terutama mi untuk dijadikan bahan pengganti tepung terigu. Dari perspektif diferensiasi produk terlihat jika target pasar dari produk mocaf ini adalah perusahaan makanan yang tidak terlalu mementingkan aspek packaging. Begitupun dengan pasar rumah tangga yang jumlahnya terbatas dan lebih banyak lokal. Diferensiasi produk yang terbatas ini juga terkait dengan pasokan singkong yang belum stabil, utamanya dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang tidak menentu.

Gambar 3.7 (a) Produk mocaf PT BCM, (b) kue kering, (c) kue lapis

Sumber: Soeharto (2008)

(26)

58

Gambar 3.8 Produk turunan singkong

Sumber: Bappenas (2009)

Inovasi yang dihasilkan oleh Subagio tidak akan berdampak terhadap PEL jika jaringan produksi dan pemasaran di Kabupaten Trenggalek khususnya yang dilakukan oleh Bupati Trenggalek, Koperasi GRLJ, dan PT BCM tidak memfasilitasinya. Soeharto, Bupati Trenggalek menunjukkan beberapa inisiatif dalam mendorong pengembangan mocaf secara massal, salah satunya adalah dengan membangun pabrik pengolahan (menjadi bagian dari PT BCM)4. Pengembangan pabrik ini sangat penting untuk memproduksi secara

(27)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

59

Gambar 3.9 (a)Kondisi dalam pabrik; (b) mesin slicer dan mesin press

Sumber: Soeharto (2008)

Peran Soeharto, Bupati Trenggalek, dalam memasarkan mocaf maupun turunannya sangat besar. Dia terjun langsung dari pameran ke pameran, baik yang dimaksudkan sebagai promosi ke masyarakat luas dan kalangan bisnis maupun untuk mempromosikan manfaat singkong pada masyarakat Kabupaten Trenggalek sendiri. Upaya ini menjadi indikasi kuatnya komitmen pimpinan daerah dalam mengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek, khususnya yang dipimpin oleh Soeharto pada periode 2005–2010.

Gambar 3.10 (a) Pameran di JCC April 2007, (b) Pameran di Kab. Trenggalek April 2008

Sumber: Soeharto (2008)

Pengembangan ekonomi lokal dalam kasus mocaf di Kabupaten Trenggalek dijalankan dalam payung prioritas pengentasan kemiskinan. Jumlah petani singkong yang pada umumnya berasal dari keluarga miskin

(a) (b)

(28)

60

menjadikan prioritas PEL untuk mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Trenggalek, terutama untuk membuka lapangan kerja baru maupun meningkatkan penghasilan para pekerja yang bergerak di industri mocaf.

Pada tahun 2008, ada 1.236 tenaga kerja yang terlibat dalam pengembangan industri mocaf di Kabupaten Trenggalek, di mana 1.060 orang di klaster (petani), 159 orang sebagai pengepul dan buruh, dan 17 orang di pabrik (Soeharto 2008). Gambaran ini memang belum mencerminkan penyerapan tenaga kerja yang signiikan, terutama jika melihat terdapat sekitar 120.000 petani singkong di Kabupaten Trenggalek. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pasokan singkong masih menjadi kendala karena petani bebas menjual ke siapa pun dengan harga pasar. Petani tidak mempunyai ikatan kontrak pada klaster, sehingga mempunyai posisi tawar yang baik khususnya terkait dengan harga. Kondisi ini juga membuat industri sering kali membeli singkong dari luar untuk memenuhi produksinya. Gambaran ini bisa mengindikasikan potensi PEL yang belum tergali di Kabupaten Trenggalek dengan pengembangan mocaf saja. Potensi ini menjadi lebih besar jika mempertimbangan keragaman produk turunan singkong yang dapat dikembangkan lebih lanjut selain mocaf. Potensi yang masih besar inilah yang tampaknya perlu intervensi pemerintah yang lebih besar, khususnya untuk menciptakan keterkaitan antara aktivitas hulu-hilir yang lebih kuat.

3.5 Potensi Keberlanjutan Mocaf

di Kabupaten Trenggalek

Pascakepemimpinan Soeharto sebagai Bupati Kabupaten Trenggalek berakhir, keberlanjutan pengembangan mocaf tampak kurang signiikan. Hal ini banyak disebabkan oleh adanya fokus pembangunan daerah yang bergeser dari pimpinan daerah yang menggantikannya4. Padahal salah

satu syarat utama keberlanjutan dari PEL ini adalah perlunya pemahaman terhadap konsep evolutif pembangunan ekonomi (evolutionary concepts of economic development). Konsep evolutif memandang bahwa PEL berjalan pada jalur tertentu yang terkoneksi secara historis (path dependent), sehingga perubahan yang terjadi lebih bersifat inkremental. Pembangunan ekonomi merupakan hasil dari kumulasi pembelajaran dari praktik (learning by doing) dan pembelajaran dari interaksi (learning byinteracting) (Nelson dan Winter 2002). Cunningham and Meyer-Stemer (2005) menegaskan bahwa ekonomi

4 Berdasarkan wawancara dengan salah satu Staf Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten

(29)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

61

evolutif (evoltionary economics) lebih menggambarkan realita perekonomian sesungguhnya karena ekonomi lokal penuh dengan kegagalan pasar dan idiosyncracies5 (keistimewaan). Selain itu, PEL tidaklah hanya menyangkut

pembelajaran dari sektor swasta semata, tetapi juga para pemangku kepentingan lokal lainnya termasuk perbedaan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, konsistensi kebijakan pemerintah daerah masih memegang peranan penting bagi PEL yang masih dalam tahap tumbuh (infant).

Status pengembangan mocaf sebagai bagian dari PEL merupakan proses yang berjenjang dan kontinu. Inovasi utama yaitu enzim yang dikembangkan oleh Achmad Subagio merupakan pengungkit bagi berkembangnya ekonomi dan industri di Kabupaten Trenggalek. Dengan dukungan Soeharto, saat itu perkembangan mocaf dan PEL terlihat meskipun dengan derajat inkremental yang sedang. Oleh karena itu, perubahan fokus kebijakan di daerah akan memengaruhi “rumah yang sudah dibangun”. Pengembangan PEL di Kabupaten Trenggalek bisa mengalami perkembangan yang kurang signiikan jika sektor swasta utama yang terlibat, yaitu Koperasi GRLJ dan PT BCM tidak mampu meningkatkan daya kreativitas dan keinovatifan di tengah kebijakan yang berubah. Pengalaman yang ada menunjukkan komitmen Koperasi GRLJ sebagai pusat dari aktivitas pengembangan mocaf sangat tinggi. Komitmen inilah yang menjadi faktor internal kunci dalam kontinuitas pengembangan mocaf dan PEL di Kabupaten Trenggalek. Inovasi yang relatif berjalan lambat, termasuk kurang tersedianya dukungan perguruan tinggi maupun lembaga litbang lokal mengindikasikan perlunya keterlibatan perguruan tinggi maupun lembaga litbang luar.

Beberapa kerja sama yang pernah dibangun sebelumnya, seperti dengan Universitas Jember bisa dikembangkan lebih lanjut dengan bentuk inovasi dan produk lainnya. Adapun dengan perguruan tinggi dan lembaga litbang lainnya yang pernah terlibat dalam pengembangan mocaf dan produk turunan lainnya dari singkong perlu direorientasi kembali sehingga mempunyai nilai tambah lebih bagi Kabupaten Trenggalek.

Meskipun faktor internal cukup kuat, kebijakan daerah akan sangat menentukan arah ekonomi daerah, termasuk pengembangan mocaf. Saat Soeharto tidak terpilih kembali menjadi Bupati Trenggalek, kebijakan daerah yang diusung oleh pimpinan baru berpotensi berbeda, meskipun tidak berkonotasi negatif. Dalam visi dan misinya pada pemilu kepala daerah tahun

5 Dideinisikan secara umum sebagai sesuatu yang istimewa/berbeda dari kondisi umum yang

(30)

62

2010 (untuk jabatan periode kedua), pasangan Soeharto dan Samsuri tetap memberikan fokus besar pada pengembangan mocaf dengan menargetkan untuk menjadikan Kabupaten Trenggalek sebagai pusat produksi dan pelatihan mocaf serta membentuk kawasan agribisnis. Artinya jika Soeharto kembali terpilih menjadi Bupati Trenggalek, besar kemungkinan akan melanjutkan pengembangan mocaf dan mampu mengeskalasi aktivitas dan dampaknya. Pada kenyataannya, Kabupaten Trenggalek mempunyai kepala daerah yang baru untuk periode 2010–2015. Untuk melihat sejauh mana kebijakan pembangunan yang ada dapat tetap mengawal pengembangan mocaf, perlu kiranya meninjau sekilas Recana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Trenggalek 2010–2015.

RPJMD Kabupaten Trenggalek 2010–2015 secara umum mendukung pengembangan aktivitas agroindustri dan agribisnis dalam bidang pertanian tanaman pangan. Pengembangan agroindustri dan agribisnis ini didekati dengan pendekatan klaster6. Lebih lanjut lagi, strategi ini dijabarkan dalam

arah kebijakan, yaitu “pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan terpadu dan pendekatan konsep pengembangan agribisnis”. Strategi dan arah kebijakan ini dapat digunakan sebagai payung pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek yang juga menggunakan pendekatan kewilayahan. Meskipun secara umum mendukung, RPJMD Kabupaten Trenggalek kurang memiliki prioritas pembangunan tertentu7. Dalam pembahasan yang lebih

detail, yaitu komoditas pertanian (tanaman pangan), tidak teridentiikasi jenis komoditas yang diprioritaskan untuk dikembangkan lebih lanjut. Tentunya kekurangjelasan prioritas dalam dokumen akan berkonsekuensi terhadap fokus sumber daya yang tersedia, baik manusia, waktu, dan inansial. Lebih detail mengenai dukungan RPJMD Kabupaten Trenggalek 2010–2015 terhadap pengembangan singkong dan mocaf dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.

Fokus kebijakan yang dicerminkan dari dokumen RPJMD Kabupaten Trenggalek 2010–2015 kurang mencerminkan dukungan yang jelas terhadap pengembangan singkong dan mocaf. Secara garis besar, kondisi ini dapat menyebabkan intensitas dukungan kebijakan pemerintah daerah yang menurun. Keberlanjutan pengembangan mocaf dalam aspek ini dapat dikatakan dalam kondisi yang kurang kondusif. Namun, jika RPJMD

6 Pendekatan ini dapat dilihat dari bagian strategi untuk menjawab bagian tujuan “revitalisasi

pertanian dan pengembangan agroindustri/agrobisnis”.

7 Dalam RPJMD Kabupaten Trenggalek 2010–2015, ada 16 program prioritas pembangunan

(31)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

63

Kabupaten Trenggalek 2010–2015 dapat dijadikan payung besar (karena secara umum bersifat makro dan kurang fokus) dan dimanfaatkan secara kreatif oleh pihak swasta, perguruan tinggi maupun lembaga litbang, serta satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, maka pengembangan mocaf akan tetap berjalan dengan baik. Prasyaratnya adalah inisiatif yang muncul khususnya dari pihak swasta, yaitu Koperasi GRLJ perlu semakin meningkat. Inisiatif yang tumbuh semakin baik di pihak swasta merupakan salah satu penghela PEL (Stohr 1993).

Tabel 3.2 Arah pengembangan agroindustriagribisnis dalam RPJMD Kabupaten Trenggalek 2010–2015

Tujuan Sasaran Strategi Arah Kebijakan Kebijakan Umum

Revitalisasi

Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan secara berkelanjutan serta meningkatkan produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan sumber karbohidrat nonberas dan pangan sumber protein

Peningkatan produksi dan ketersediaan pangan secara a.

berkelanjutan serta meningkatkan produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan sumber karbohidrat nonberas dan pangan sumber protein

Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan b.

kewilayahan terpadu dan pendekatan konsep pengembangan agribisnis

Meningkatkan pengembangan komoditas unggulan c.

daerah melalui bantuan saprodi kepada petani, penerapan teknologi pascapanen, dan pengolahan hasil pertanian Tempat pemasaran hasil pertanian secara terpadu berupa d.

sentra pengembangan agribisnis, kawasan terpadu agropolitan, dan agrowisata

Peningkatan wilayah pengembangan sentra-sentra produksi e.

dan populasi peternakan serta didukung oleh peningkatan sarana dan prasarana produksi peternakan

Peningkatan produksi perikanan melalui intensiikasi dan f.

ekstensiikasi perairan budi daya dan perairan umum, serta penyediaan sarana dan prasarana produksi

Optimalisasi pemanfaatan hutan dan lahan serta g.

pengembangan hutan tanaman secara berkelanjutan Meningkatnya

Pengembangan usaha pertanian dengan pendekatan kewilayahan

terpadu dan pendekatan konsep pengembangan agribisnis

Peningkatan pengembangan komoditas unggulan daerah melalui bantuan saprodi kepada petani, penerapan teknologi pascapanen, dan pengolahan hasil pertanian

(32)

64

Tujuan Sasaran Strategi Arah Kebijakan Kebijakan Umum

Pemberdayaan

Pengembangan UMKM yang dapat memberikan kontribusi terhadap

pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja

Pengembangan UMKM yang dapat memberikan kontribusi a.

terhadap pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja

Membangun koperasi dengan membenahi dan memperkuat b.

tatanan kelembagaan dan organisasi koperasi Pengembangan industri kecil dan menengah dengan c.

pembentukan klaster-klaster industri pengolahan hasil pertanian dan perkebunan

Pengembangan jaringan informasi produksi dan pasar serta d.

perluasan pasar lokal dan regional Membangun koperasi dengan

Pengembangan industri kecil dan menengah dengan pembentukan

klaster-klaster industri pengolahan hasil pertanian dan perkebunan

Pengembangan jaringan informasi produksi dan pasar serta perluasan

pasar lokal dan regional

Sumber: RPJMD Kabupaten Trenggalek (2010–2015), diolah

(33)

Potensi Pengembangan Singkong sebagai Pengganti Tepung Terigu: Kasus di Kabupaten Trenggalek

65

3.6 Penutup

Keterkaitan antara inovasi dengan PEL di Kabupaten Trenggalek diawali pada aplikasi enzim (yang dikembangkan Achmad Subagio) pada singkong sehingga menghasilkan mocaf. Inovasi lainnya kurang terjadi dalam perkembangan selanjutnya karena fokus aktivitas berpusat pada produksi massal dari mocaf ini. Dalam batas tertentu, ada dampak produksi mocaf terhadap PEL, kendala utama dalam melibatkan keselurahan petani adalah faktor mekanisme pasar yang ditetapkan antara petani dan klaster. Kondisi ini menjadi salah satu alasan mengapa pasokan singkong ke pabrik sering kali kurang mencukupi permintaan. Kontinuitas pengembangan mocaf sangat dibutuhkan dalam kondisi perubahan kebijakan daerah. Inisiatif swasta, khususnya Koperasi GRLJ menjadi sangat penting untuk menjadi penghela PEL di Kabupaten Trenggalek berbasis utilisasi singkong lokal.

Daftar Pustaka

Astuti RS. 2010. Mocaf Trenggalek dalam Seiris Blackforest. Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2010/10/15/02570744/ pada tanggal 12 September 2012.

Bappenas. 2009. Pengembangan Agroindustri Pangan dalam Perspektif Pembangunan Perdesaan. Laporan Kajian Pembangunan Perdesaan dan Pertanian Berbasis Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agroindustri. Staf Ahli Meneg PPN/Bappenas Bidang Revitalisasi Perdesaan, Pertanian dan Agroindustri. Jakarta: Bappenas.

BPS. 2012. Kabupaten Trenggalek dalam Angka. Trenggalek: BPS.

Cunningham, Meyer-Stemer. 2005. Planning or Doing Local Economic Development? he Problems with the Orthodox Approach to LED. Diakses dari www.mesopartner.com/publications/ pada tanggal 3 Janurai 2013.

Media Data Riset. 2010. Permintaan Tepung Terigu. www.mediadata.co.id Nelson, Winter. 2002. Evolutionary heorizing in Economics. he Journal of

Economic Perspectives. 16 (2): 23–46.

Puspita AAD. 2009. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sari RP. 2011. Analisis Nilai Tambah dan Kelayakan Usaha Agroindustri

(34)

66

Cassava Flour) di Kabupaten Trenggalek [skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya.

Stohr WB. 1990. Global Challenge and Local Response. (ed). London: Mansell Publishing Limited.

United States Department of Agriculture. 2012. Grain: World Market and Trade. Circular Series FG 08-12. August 2012.

Weigand C. 2011. Wheat Import Projections Towards 2050. US Wheat Associates.

Kusuma L. 2012. Mengenai Politik Gandum: Masalah di Masa Lalu. Diakses dari http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/06/mengenai-politik-gandum-masalah-di-masa.html#.UE_zz3lRW1s pada tanggal 12 September 2012.

Soeharto. 2008. Strategi Daerah Membangun Pedesaan (Program Taskin). Disampaikan pada Seminar Akhir Strategi Pembangunan Perdesaan Bappenas. Jakarta, 30 Oktober 2008.

Surabaya Post. 2012.Indonesia Harus Tepis Mitos Sulit Tanam Gandum. Diakses dari http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id =37103fc8edfea2af2a6232a6a77af9c&jenis=d41d8cd98f00b204e9800 998ecf8427e pada tanggal 12 September 2012.

Gambar

Tabel 3.1 Pertimbangan pengembangan mocaf
Gambar 3.1 Peta Kabupaten Trenggalek
Gambar 3.2 Beberapa produk tepung terigu lokal (a) bogasari, (b) sriboga2
Gambar 3.3 Tren luas panen komoditas pangan nasional (ha)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sumberdaya Lokal Untuk Mendukung Ketahanan Nasional dalam rangka Lustrum II Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang telah dilaksanakan pada.. tanggal

Institusionalisasi Kearifan Lokal: Model Penerbitan Buku Cerita Rakyat Tribabahasa Sebagai Strategi Penguatan Aset Budaya Lokal (Untuk Mendukung Pengayaan Materi Muatan

Menyusun rencana pengembangan komoditas unggulan klaster agroindustri untuk mendukung penguatan sistem inovasi daerah kabupaten Malang...

Tulisan ini mengajukan gagasan penguatan kompetensi guru SD dengan melakukan riset kolaborasi tentang pengembangan buku cerita anak bermuatan kearifan lokal dengan pendekatan

Berdasarkan Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional Nomor

bahwa dalam rangka menguatkan Sistem Inovasi Nasional (SINas), pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan meningkatkan inovasi guna mendukung

Dalam konsep revitalisasi PEL tersebut pengembangan ekonomi lokal didefinisikan sebagai usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia

Kegiatan Riset Aksi Pengembangan Perikanan Lokal Rawa Gambut: ”Pengembangan Teknologi Budidaya Ikan Lokal Rawa Gambut Untuk Mendukung Upaya Restorasi Gambut Di Desa