Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB)
Oleh: Risman
UU Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Banguan (BPHTB) merupakan undang-undang yang pertama kalinya mengatur BPHTB secara jelas hingga kemudian Undang-undang tersebut diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 tahun 1997 tentang BPHTB. Namun demikian seiring berjalannya waktu maka telah terbit Undang-undang yang baru yaitu UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang di dalamnya mengatur bahwa pengelolaan atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan BPHTB menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
Dengan demikian pengelolaan BPHTB yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat cq. DJP maka mulai tanggal 01 Januari 2011 akan beralih dengan Undang-undang PDRD, sebagai berikut:
UU BPHTB UU PDRD
Subjek Orang pribadi atau badan yang memperolehhak atas tanah dan atau bangunan (Pasal 4)
Sama
(Pasal 86 Ayat 1)
Objek Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (Pasal 2 Ayat 1) Sama (Pasal 85 ayat 1)
Tarif Sebesar 5%(Pasal 5) Paling Tinggi 5%(Pasal 88 ayat 1)
NPOPTKP
Paling banyak Rp300 Juta untuk Waris dan Hibah Wasiat
(Pasal 7 ayat 1)
Paling rendah Rp300 Juta untuk Waris dan Hibah Wasiat
(Pasal 87 Ayat 5)
Paling banyak Rp60 Juta untuk Selain Waris dan Hibah Wasiat
(Pasal 7 Ayat 1)
Paling rendah Rp60 Juta untuk Selain Waris dan Hibah Wasiat
(Pasal 87 Ayat 4)
BPHTB
Terutang 5% x (NPOP – NPOPTKP)(Pasal 8) 5% (Maksimal) x (NPOP-NPOPTKP)(Pasal 89)
Keterangan:
DJP masih melaksanakan BPHTB untuk TA 2010, selanjutnya mulai tahun 2011 BPHTB menjadi tanggung jawab Kab/Kota. (Pasal 182 Ayat 2, UU nomor 28/2009)
Ketentuan secara teknis mengenai BPHTB menurut UU PDRD akan diuraikan berikut ini. Yang dimaksud Bea Perolehan Hak atas Tanah dan /atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Hak atas tanah dimaksud adalah sebagaimana yang diatru di dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 yang meliputi: a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak milik atas satuan rumah susun; dan f. hak pengelolaan.
Sedangkan yang dimaksud Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
Adapun Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi:
1. pemindahan hak karena: jual beli; 2) tukar menukar; 3) hibah; 4)
hibah wasiat; 5) waris; 6) pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lain; 7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8)
penunjukan pembeli dalam lelang; 9) pelaksanaan putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha; 12) pemekaran usaha; atau 13) hadiah.
2. pemberian hak baru karena: 1) kelanjutan pelepasan hak; atau 2) di
luar pelepasan hak.
Pengecualian objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh: a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan f. orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
nilai pasar; l. peleburan usaha adalah nilai pasar; m. pemekaran usaha adalah nilai pasar; n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Jika NPOP (kecuali lelang) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB).
Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Namun dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, maka NPOPTKPnya ditetapkan paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB (maksimum 5%) dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi NPOPTKP. Hal yang sangat penting lainnya adalah BPHTB yang terutang hanya dapat dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
Referensi:
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Peraturan Bersama Menteri Keuangan Menteri Dalam Negeri Nomor 213/PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2010 tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah.
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agaria.