• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Koroner Akut 2.1.1 Definisi - Hubungan Antara Kadar Serum Asam Urat Dan Kejadian Klinis Kardiovaskular Mayor Selama Perawatan Di Rumah Sakit Pada Pasien Penderita Sindroma Koroner Akut Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Ad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Koroner Akut 2.1.1 Definisi - Hubungan Antara Kadar Serum Asam Urat Dan Kejadian Klinis Kardiovaskular Mayor Selama Perawatan Di Rumah Sakit Pada Pasien Penderita Sindroma Koroner Akut Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Ad"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindroma Koroner Akut 2.1.1 Definisi

Sindroma koroner akut (SKA) merupakan suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum penyakit arteri koroner yang bersifat trombotik. Kelainan dasarnya adalah aterosklerosis yang akan menyebabkan terjadinya plaque aterom. Pecahnya plaque aterom ini akan menimbulkan trombus yang nantinya dapat menyebabkan iskemia sampai infark miokard (Achar, 2005).

(2)

APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS (Hamm, 2004). Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. (Wright R, 2011). Sedangkan pada STEMI terjadi oklusi koroner total yang bersifat akut sehingga diperlukan tindakan reperfusi segera, komplit dan menetap dengan angioplasti primer atau terapi fibrinolitik (Levine, 2011). 2.1.2 Epidemiologi

Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Data dari GRACE 2001, didapatkan bahwa dari semua pasien yang datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada ternyata penyebab terbanyak adalah STEMI (34%), NSTEMI (31%) dan APTS (29%) (Budaj, 2003).

Angka mortalitas dalam rawatan rumah sakit pada STEMI ialah 7 % sedangkan NSTEMI adalah 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka kematian pasien NSTEMI ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien STEMI (Budaj, 2003).

2.1.3 Faktor Risiko

(3)

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain seperti : merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, diet tinggi lemak, dan kurangnya aktivitas fisik. Faktor-faktor risiko ini masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain seperti : usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat penyakit (Bender, 2011).

2.1.4 Patofisiologi

Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK. Aterosklerosis merupakan suatu proses multifaktorial dengan mekanisme yang saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan endotel, pembentukan foam cell (sel busa) dan fatty streaks (kerak lemak), pembentukan fibrouscap (lesi jaringan ikat) dan proses ruptur plak aterosklerotik yang tidak stabil. Inflamasi memainkan peranan penting dalam setiap tahapan aterosklerosis mulai dari perkembangan plak sampai terjadinya ruptur plak yang dapat menyebabkan trombosis. Aterosklerosis dianggap sebagai suatu penyakit inflamasi sebab sel yang berperan seperti makrofag yang berasal dari monosit dan limfosit merupakan hasil proses inflamasi (Hansson, 2005).

(4)

merokok dan faktor-faktor risiko lain misalnya homosistein dan kelainan hemostatik (Packard, 2008).

Pembentukan aterosklerosis terdiri dari beberapa fase yang saling berhubungan. Fase awal terjadi akumulasi dan modifikasi lipid (oksidasi, agregasi dan proteolisis) dalam dinding arteri yang selanjutnya mengakibatkan aktivasi inflamasi endotel. Pada fase selanjutnya terjadi rekrutmen elemen - elemen inflamasi seperti monosit ke dalam tunika intima. Awalnya monosit akan mengalami adhesi pada endotel, penempelan endotel ini diperantarai oleh beberapa molekul adhesi pada permukaan sel endotel, yaitu Inter Cellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1), Vascular Cell Adhesion Molecule -1 (VCAM-1) dan Selectin. Molekul adhesi ini diatur oleh sejumlah faktor yaitu produk bakteri lipopolisakarida, prostaglandin dan sitokin. Setelah berikatan dengan endotel kemudian monosit bermigrasi ke lapisan lebih dalam dibawah lapisan intima. Monosit-monosit yang telah memasuki dinding arteri ini akan teraktivasi menjadi makrofag dan mengikat LDL yang telah dioksidasi melalui reseptor scavenger. Hasil fagositosis ini akan membentuk sel busa atau "foam cell" dan selanjutnya akan menjadi “fattystreaks”. Aktivasi ini menghasilkan sitokin dan growth factor yang akan merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media ke tunika intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin dan kolagen, yang mengakibatkan pembesaran plak dan terbentuk fibrous cap.

(5)

Trombosis sering terjadi setelah rupturnya plak aterosklerosis, terjadi pengaktifan platelet dan jalur koagulasi. Apabila plak pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu arteri koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil/progresif yang dikenal juga dengan sindroma koroner akut.(Packard, 2008).

(6)

Ruptur plak memegang peranan penting untuk terjadinya sindroma koroner akut. Resiko terjadinya ruptur plak tergantung dari kerentanan atau ketidakstabilan plak. Ciri-ciri plak yang tidak stabil antara lain gumpalan lipid (lipid core) besar menempati > 40% volume plak, fibrous cap tipis yang mengandung sedikit kolagen dan sel otot polos serta aktivitas dan jumlah sel makrofag, limfosit T dan sel mast yang meningkat. Trombosis akut yang terjadi pada plak yang mengalami ruptur memegang peran penting dalam kejadian sindroma koroner akut. Setelah plak mengalami ruptur, komponen trombogenik akan menstimulasi adhesi, agregasi dan aktivasi trombosit, pembentukan trombin dan pembentukan trombus (Ismail, 2001, Therax,1998).

Trombus yang terbentuk mengakibatkan oklusi atau suboklusi pembuluh koroner dengan manifestasi klinis angina pektoris tidak stabil atau sindroma koroner lainnya. Bukti angiografi menunjukkan pembentukan trombus koroner pada > 90% pasien STEMI, dan sekitar 35-75% pada pasien UAP dan NSTEMI (Antman, 2004).

(7)

perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung > 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural (Ismail, 2001, Antman, 2004).

Lipid core mengandung bahan-bahan yang bersifat sangat trombogenik karena mengandung banyak tissue factor yang diproduksi oleh makrofag.Tissue factor adalah suatu protein prokoagulan yang akan mengaktifkan kaskade pembekuan ekstrinsik sehingga paling kuat sifat trombogeniknya. Faktor jaringan akan membentuk komplek dengan faktor Vva dan akan mengaktifkan faktor IX dan faktor X yang selanjutnya terjadi mata rantai pembentukan trombus. (Rauch, 2001).

Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada patogenesis sindroma koroner akut. Ini terjadi sebagai respon terhadap disrupsi plak khususnya trombus yang kaya platelet dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskuler dengan melepaskan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal dengan Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin dan faktor kontraksi seperti endothelin-1, thromboxan A2, prostaglandin H2. Trombus kaya platelet yang mengalami disrupsi, terjadi platelet dependent vasoconstriction yang diperantarai serotonin dan thromboxan A2 sehingga menginduksi vasokonstriksi pada daerah ruptur plak atau mikrosirkulasi (Therax, 1998).

2.1.5 Diagnosis Sindroma Koroner Akut

(8)

dengan rasa berat/ditindih/dihimpit didaerah retrosternal yang dapat menjalar kelengan kiri, leher rasa tercekik atau rasa ngilu rahang bawah dimana nyeri biasanya berdurasi > 20 menit dan berkurang dengan istirahat dan pemberian nitrat. Nyeri dada juga biasanya disertai gejala sistemik lain berupa mual, muntah dan keringat dingin.

Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dapat dijumpai perubahan berupa depresi ST segmen atau T inversi, elevasi segmen ST, dimana pada awal masih dapat berupa hiperakut T yang kemudian berubah menjadi ST elevasi, dapat dijumpai LBBB baru yang juga merupakan tanda terjadinya infark gelombang Q. Marker yang biasa dipakai sebagai penanda adanya kerusakan miokard ialah enzim CK (Creatinine kinase) dan CK-MB (Creatinine kinase myocardial band). Enzim ini akan meningkat setelah 4 jam serangan. Sehingga pada awal serangan nilainya masih dalam batas normal. Selain enzim tersebut, juga dapat dinilai Troponin T dan I yang biasanya meningkat 3-12 jam setelah infark (Kumar, 2009).

Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS) dapat ditegakkan apabila dijumpai kriteria sebagai berikut yaitu adanya angina pada waktu istirahat/ aktivitas ringan serta pada EKG dapat dijumpai gambaran depresi segmen ST ≥ 0,05 mV atau inversi gelombang T > 0,1 mV pada dua lead yang berdampingan serta enzim jantung yang tidak meningkat.

(9)

gelombang T > 0,1 mV pada dua lead yang berdampingan dengan prominent R atau rasio R/S >1 dan peningkatan enzim jantung.

Diagnosis ST elevation myocardial infarction (STEMI) dapat ditegakkan apabila didapatkan adanya nyeri dada khas infark yang terjadi pada saat istirahat selama > 20 menit, Elevasi segmen ST baru pada J point pada 2 lead yang berdampingan dengan cut point ≥ 0,1 mV pada semua lead selain V2-V3 dimana pada lead V2-V3 cut point ialah ≥ 0,2 mV pada pria atau ≥ 0,15 mV pada wanita dan peningkatan serial dari enzim jantung (Kumar 2009, Thygesen, 2012).

2.2 Kejadian Klinis Kardiovaskular Mayor (KKvM) pada Sindrom Koroner Akut

Pada studi randomisasi yang ada, angka mortalitas jangka pendek pada pasien SKA yang telah mendapatkan terapi farmakologi yang agresif adalah berkisar 6,5-7,5% dimana berdasarkan data observasional didapatkan presentasi mortalitas pasien SKA di komunitas ialah 15-20%. kejadian klinis kardiovaskular mayor (KKvM) merupakan hasil endpoint yang terdiri dan kematian oleh sebab apapun, infark miokard berulang, tindakan intervensi perkutan kononer berulang dikarenakan adanya gejala, dan stroke yang dialami pasien setelah mengalami onset SKA (Antman EM, 2012).

2.2.1 Definisi Kematian Kardiovaskular

(10)

• Kematian akibat infark miokard akut merujuk pada kematian oleh berbagai

mekanisme (aritmia, gagal jantung, low output ) selama 30 hari setelah onset IMA. Kematian yangterjadi berhubungan dengan konsekuensi imediet dan IMA, seperti gagal jantung kongesti, cardiac output yang tidak adekuat, atau aritmia yang sulit diatasi. Kematian yang diakibatkan dan prosedur intervensi koroner perkutan atau untuk penatalaksanaan terhadap komplikasi dan IMA juga harus dipertimbangkan sebagai kematian akibat IMA. Kematian akibat prosedur dalam penatalaksanaan angina atau kematian akibat infark miokard yang terjadi sebagai akibat langsung dari investigasi, prosedur atau operasi harus dipertimbangkan sebagai kematian akibat sebab kardiovaskular.

Sudden Cardiac death merujuk pada kematian yang tidak terduga, yang tidak

mengikuti IMA dan termasuk kematian berikut:

a. Kematian disaksikan dan seketika tanpa adanya perburukan gejala atau gejala baru.

b. Kematian yang disaksikan diantara 60 menit dari onset perburukan gejala atau adanya gejala baru, kecuali gejala merujuk pada IMA.

c. Kematian yang disaksikan dan dihubungkan dengan aritmia. d. Kematian setelah resusitasi cardiac arrest yang gagal.

e. Kematian setelah resusitasi dan cardiac arrest yang berhasil dan tanpa adanya sebab non-kardiovaskular.

(11)

• Kematian akibat gagal jantung atau syok kardiogenik merujuk pada kematian

yang terjadi dalam kontek perburukan gejala klinis atau adanya tanda gagal jantung tanpa adanya penyebab lain kematian dan tidak ada tanda diikuti IMA. • Kematian akibat Stroke merujuk pada kematian yang terjadi 30 hari setelah

stroke atau stroke atau yang diakibatkan oleh komplikasi stroke.

• Kematian akibat penyebab kardiovaskular lain merujuk pada kematian

kardiovaskular yang tidak termasuk kategori di atas (seperti: disritmia, emboli paru, intervensi kardiovaskular, aneurisma aorta, dll) (Hicks K A, 2010).

2.2.2 Kematian Non-Kardiovaskular

Kematian non-kardiovaskular digambarkan sebagai kematian yang tidak terpikirkan untuk diakibatkan oleh sebab kardiovaskular. Berikut daftar kematian non-kardiovaskular:

• Penyebab Non-malignan

a. Paru b. Ginjal

c. Gastrointestinal d. Hepatobiliari e. Pankreatik

f. Infeksi (termasuk sepsis)

g. Non-infeksi (systemic inflammatory response syndrome (SIRS)) h. Hemoragik, bukan intrakranial

(12)

j. Bedah non-kardiovaskular k. Kecelakaan atau trauma l. Bunuh diri

m.Overdosis obat • Sebab Malignan

a. Kematian akibat kanker langsung atau

b. Kematian akibat komplikasi kanker itu sendiri

c. Kematian akibat penarikan semua terapi (Hicks K A, 2010) 2.2.3 Kematian yang tidak Terdefinisikan

Kematian yang tidak dapat ditentukan penyebabnya adalah kematian yang tidak dapat dikategorikan kematian kardiovaskular dan kematian non-kardiovaskular. Hal ini mungkin terjadi akibat kurangnya informasi (Hicks K A, 2010).

2.2.4 Stroke

(13)

2.2.5 Revaskularisasi Intervensi Koroner Perkutan Berulang

Prosedur revaskularisasi koroner merupakan prosedur yang menggunakan kateter untuk memperbaiki aliran darah miokardial. Peralatan kateterisasi (balloon catheter, cutting balloons, atherectomy devices, lasers, bare metal stent, dan drug-eluting stents) digunakan untuk memperbaiki aliran darah miokardial dengan meningkatkan area luminal pada daerah lesi koroner yang mengalami obstruksi. Tindakan prosedur intervensi koroner perkutan berulang harus dilakukan pada pasien dengan perburukan gejala angina (Hicks K A, 2010).

2.2.6 Faktor Prediktor Terjadinya Kejadian Klinis Kardiovaskular Mayor (KKvM)

(14)

(1,26-1,90); peningkatan kadar kreatinin serum saat masuk perawatan, setiap 1 mg/dl juga memberikan risiko dengan OR 1,23 (1,14-1,34); gambaran deviasi segmen ST pada masuk perawatan juga meningkatkan risiko dengan OR 1,80 (1,33-2,40); Nilai Kelas Killip yang cenderung tinggi juga akan menigkatkan risiko KKvM setiap naik satu kelas dengan OR 1,97 (1,76-2,23) .Christopher P, 2003).

2.3 Asam Urat

2.3.1 Pengertian Asam Urat

Asam urat adalah produk akhir atau produk buangan yang dihasilkan dari metabolisme/pemecahan purin. Asam urat sebenarnya merupakan antioksidan dari manusia dan hewan, tetapi bila dalam jumlah berlebihan dalam darah akan mengalami pengkristalan dan dapat menimbulkan gout. Asam urat mempunyai peran sebagai antioksidan bila kadarnya tidak berlebihan dalam darah, namun bila kadarnya berlebih asam urat akan berperan sebagai prooksidan (McCrudden Francis H. 2000).

Kadar asam urat dapat diketahui melalui hasil pemeriksaan darah dan urin. Hiperurisemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar asam urat dalam darah. Batasan hiperurisemia untuk pria dan wanita tidak sama. Seorang pria dikatakan menderita hiperurisemia bila kadar asam urat serumnya lebih dari 7,0 mg/dl. Sedangkan hiperurisemia pada wanita terjadi bila kadar asam urat serum di atas 6,0 mg/dl (Berry, 2004;Hediger, 2005; Putra, 2006).

2.3.2 Sifat dan Struktur Kimia Asam Urat

(15)

ion urat mudah disaring dari plasma. Kadar urat di darah tergantung usia dan jenis kelamin. Kadar asam urat akan meningkat dengan bertambahnya usia dan gangguan fungsi ginjal (McCrudden Francis H, 2000).

Di bawah mikroskop kristal urat menyerupai jarum - jarum renik yang tajam, berwarna putih, dan berbau busuk.

Gambar 2.3 Struktur Kimia Asam Urat 2.3.3 Metabolisme Asam Urat

Purin berasal dari metabolisme makanan dan asam nukleat endogen, dan terdegradasi menjadi asam urat pada manusia, melalui kerja dari enzim xanthine oxidase. Asam urata dalah asam lemah dengan pH 5,8 di distribusikan ke seluruh kompartemen cairan ekstra selular sebagai natrium urat dan dibersihkan dari Plasma melalui filtrasiglomerulus. Sekitar 90% dari asam urat direabsorpsi dari tubulus ginjal proksimal sedangkan sekresi aktif dalam tubulus distal melalui mekanisme ATP-ase yang berkontribusi terhadap clearence secara keseluruhan (Waring, 2000; Steele, 1999).

(16)

endogen) dan efisiensi clearence ginjal. Metabolisme purin ini dipengaruhi oleh diet dan faktor genetik yang mengatur pergantian sel.

Asam urat bersifat larut dalam media cair dan paparan terus-menerus terhadap kadar serum yang tinggi merupakan predisposisi deposisi kristal urat dalam jaringan lunak (Waring l, 2000; Emmerson, 1996). Manusia dan kera mengekspresikan urat oksidase, enzim yang bertanggungjawab untuk metabolisme lebih lanjut asam urat menjadi produk allantoin, limbah yang lebih mudah larut sebelum ekskresi. Pathway biokimia dari metabolism purin digambarkan pada Gambar 3.

(17)

2.3.4 Peningkatan Kadar Asam Urat (Hiperurisemia)

Beberapa hal di bawah ini menyebabkan peningkatan kadar asam urat dalam tubuh :

a. Kandungan makanan tinggi purin karena meningkatkan produk asam urat dan kandungan minuman tinggi fruktosa.

b. Ekskresi asam urat berkurang karena fungsi ginjal terganggu misalnya kegagalan fungsi glomerulus atau adanya obstruksi sehingga kadar asam urat dalam darah meningkat. Kondisi ini disebut hiperurisemia, dan dapat membentuk kristal asam urat/batu ginjal yang akan membentuk sumbatan pada ureter (Mandell Brian F. 2008).

c. Penyakit tertentu seperti gout, Lesch-Nyhan syndrome, endogenous nucleic acid metabolism, kanker, kadar abnormal eritrosit dalam darah karena destruksi sel darah merah, polisitemia, anemia pernisiosa, leukemia, gangguan genetik metabolisme purin, gangguan metabolik asam urat bawaan (peningkatan sintesis asam urat endogen), alkoholisme yang meningkatkan laktikasidemia, hipertrigliseridemia, gangguan pada fungsi ginjal dan obesitas, asidosis ketotik, asidosis laktat, ketoasidosis, laktosidosis, dan psoriasis (Murray Robert K, dkk.2006).

(18)

2.3.5 Penurunan Kadar Asam Urat (Hipourisemia)

Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar asam urat :

a. Kegagalan fungsi tubulus ginjal dalam melakukan reabsorpsi asam urat dari tubulus ginjal, sehingga ekskresi asam urat melalui ginjal akan ditingkatkan dan kadar asam urat dalam darah akan turun. (Weller Seward, E. Miller, 2002).

b. Rendahnya kadar tiroid, penyakitginjal kronik ,toksemia kehamilan dan alcoholism.

c. Pemberian obat-obatan penurun kadar asam urat. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian obat-obatan yang meningkatkan ekskresi asam urat atau menghambat pembentukan asam urat, (Steele Thomas H, 1979) cara kerja allopurinol merupakan struktur isomer dari hipoxanthin dan merupakan penghambat enzim. Fungsi allopurinol yaitu menempati sisi aktif pada enzim xanthine oxidase yang biasa ditempati oleh hypoxanthine. Allopurinol menghambat aktivitas enzim secara irreversible dengan mengurangi.

2.4 Hubungan Asam Urat dengan Sindroma Koroner Akut

(19)

Kondisi iskemia pada jantung dan viseral menyebabkan peningkatan pembentukan adenosin, yang dapat berfungsi sebagai mekanisme pengaturan penting untuk memulihkan aliran darah dan membatasi daerah iskemia tersebut. Adenosine disintesis secara lokal oleh otot polos pembuluh darah dalam jaringan jantung dan terdegradasi secara cepat oleh endothelium menjadi asam urat, yang mengalami aliran keluar secara cepat kelumen pembuluh darah oleh karena pH intra seluler yang rendah dan potensial membrane yang negative (Fredholm dan Sollevi, 1986).

Aktivitas xantine oksidase (Kroll etal., 1992) dan sintesis asam urat (Castelli, 1995) meningkat secara in vivo pada kondisi iskemik dan oleh karena itu peningkatan asam urat serum dapat bertindak sebagai penanda iskemia jaringan. Dalam sirkulasi koroner manusia, hipoksia yang disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang sementara, menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat lokal. Sehingga asam urat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kapasitas antioksidan serum, namun bisa juga mengarah secara langsung atau tidak langsung terhadap cedera pembuluh darah.

(20)

memberikan efek protektif antioksidan, tetapi manfaat potensial mungkin dikaburkan oleh efek yang merugikan di tempat lain.

Beberapa studi prospektif telah menunjukkan hubungan antara hiperurisemia dan insiden penyakit jantung koroner, penyakit kardiovaskular dan kematian. Walaupun studi-studi ini sangat baik sekali dalam studi klinis, namun tak ada satupun yang mengevaluasi hubungan antara hiperurisemia dan kematian jangka pendek setelah IMA. Peningkatan produksi asam urat pada IMA disebabkan karena nekrosis sel miokard dan perusakan adenosin trifosfat.

Infark miokard yang luas dan disfungsi ventrikel kiri dapat menurunkan curah jantung, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus sehingga dapat menyebabkan pengurangan ekskresi asam urat. Berkurangnya perfusi jaringan akibat syok kardiogenik yang menyebabkan asidosis metabolik dan dapat meningkatkan produksi laktat, yang berkompetisi dengan sekresi asam urat di dalam tubulus proksimal ginjal dan dapat menurunkan ekskresi asam urat.

Pada pasien dengan IMA, volume darah dapat menurun akibat keluarnya keringat, muntah dan gangguan mekanisme haus, terutama pada usia tua, yang dapat meningkatkan reabsorbsi asam urat setelah sekresi ditubulus ginjal. Jadi, tingkat asam urat bisa menjadi salah satu indikator status hemodinamik setelah IMA (Homayounfar, 2007;Brand, 1985).

(21)

Penelitian NHANES mendapatkan peningkatan kadar asam urat dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung iskemik akibat peningkatan platelet adhesiveness, pembentukan radikal bebas dan stres oksidatif (Culleton, 1999).

Pola kenaikan kadar asam urat diteliti pada 316 subjek penderita penyakit jantung koroner yang menderita sindrom koroner akut didapatkan pola kadar asam urat meningkat pada satu minggu pertama pada saat serangan akut penyakit jantung koroner dan menurun secara gradual sampai bulan ketiga setelah serangan jantung, Hal ini terutama ditemukan pada pasien pria daripada wanita (london, 1967).

Pada studi MY Nadkar dkk, menunjukkan bahwa kadar asam urat adalah lebih tinggi pada pasien infark miokard akut dan kadar asam urat berhubungan dengan killip kelas dimana pasien-pasien dengan kelas killip yang lebih tinggi memiliki kadar asam urat yang tinggi dan kombinasi kelas killip dan kadar asam urat setelah infark miokard akut adalah prediktor yang baik terhadap mortalitas setelah infark miokard akut (MY Nadkar, 2008).

(22)

Studi Kaya, mendapatkan kadar asam urat meningkat sebesar 26.94% pada 2,249 penderita IMA STE yang mengalami intervensi koroner perkutan. Mortalitas selama perawatan didapatkan meningkat jika kadar asam urat lebih dari 8.5 gr/dL (Kaya,2012).

Untuk penelitian yang menghubungkan kadar asam urat dapat memprediksi banyaknya pembuluh darah yang terkena pada penderita serangan jantung, ditunjukkan pada penelitian Duran dkk, Studi pada 246 subjek yang mengalami sindroma koroner akut subyek penelitian tidak mempunyai faktor risiko diabetes mellitus dan hipertensi. Hasil mendapatkan pasien dengan hiperurisemia mempunyai derajat stenosis koroner yang berat yang dinilai dari tingginya skor Gensini. Pasien dengan hiperurisemia mengenai lebih banyak pembuluh darah yang terkena, banyaknya lesi kritikal dan oklusi total koroner. Studi ini menyimpulkan bahwa kadar serum asam urat merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya lesi multivessel. (Duran,2012).

(23)

2.5 Kerangka Teori

Gambar 2.5 Diagram Kerangka Teori (Sivakumar K dkk, 2014) - Gelatinase ↑↑

Oklusi arteri koroner pada SKA

Peningkatan pembentukan Adenosin

(24)

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 2.6 Diagram Kerangka Konsep Sindroma Koroner Akut (IMA STE,

IMA NSTE, APTS)

Kadar Asam Urat

Normal Tinggi (Hiperurisemia Kadar Asam Urat

Kejadian klinis kardiovaskular mayor (KKvM) selama perawatan :

• Gagal jantung akut • Syok kardiogenik • Aritmia

Gambar

Gambar 2.1 Spektrum dan Definisi dari SKA. (PERKI,2012)
Gambar 2.2  Patogenesis Inflamasi pada Aterosklerosis (Packard 2008).
Gambar 2.3 Struktur Kimia Asam Urat
Gambar 2.4  Asam Urat sebagai Produk Akhir Metabolisme Purin pada Manusia dan Spesies lainnya (Sivakumar,2014)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan yang masih menjadi perdebatan sekarang ini adalah Hubungan antara kepribadian dengan golongan darah belum menemukan titik temu, bila dilihat dalam kajian

Melalui hasil data pada Tabel 4.4 dapat disimpulkan bahwa modul GSM SIM800L yang dipasang pada pos petugas keamanan dapat mengirimkan info melalui SMS kepada nomor handphone

Berdasarkan hasil pengolahan data VAS sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok I menggunakan paired sample t-test diperoleh nilai p: 0,00 (p<0,05) maka Ha diterima

Sistem eksitasi merupakan sistem pemberian arus searah pada kumparan medan yang terdapat pada rotor generator guna menghasilkan tegangan induksi pada kumparan jangkar yang terdapat

Untuk menjawab kekhawatiran perusahaan terhadap kemungkinan turunnya pendapatan akibat filler yang tidak menguntungkan, dan hubungannya dengan kegiatan panen, peneliti

130/2014, yang dijabarkan dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Penyusunan RDKK Pupuk Bersubsidi yang dikeluarkan Direktorat Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sikap kemandirian siswa pada siklus I sebanyak 84,1% dengan kriteria mandiri dan pada siklus II sebanyak 98,75%, sehingga mengalami

Ketiga subjek penelitian yaitu suami yang memiliki istri penderita kanker payudara yang sudah sangat membantu penulis dalam melaksanakan penelitian skripsi,